You are on page 1of 32

NORMA

Psychometric PWD 222

Norma
Kebermaknaan Skor Contoh: Mengukur berat badan seseorang! - Berat badan ideal, overweight, obesitas? Atas dasar apa? Mengukur tinggi badan, kelompok Laki-laki & Perempuan Di Eropa tinggi 150-155cm = pendek. Di suku Picmic, afrika tinggi badan maksimal = 140-145cm Subjek A memiliki tinggi badan 153, tergolong apakah ia?

Norma
Kebermaknaan Skor Skor akan bermakna apabila dihubungkan dengan suatu skala. Skala: Cm, Kg, Km, dll Skor Individu akan memiliki makna bila dihubungkan dengan skor-skor orang lain dalam kelompoknya menggambarkan kedudukan individu terhadap individu lain. Contoh: Gajinya paling rendah dibandingkan dengan orang lain dalam perusahaannya. Mungkin saja diperusahaan lain dapat dianggap paling tinggi.

1. Pengertian Norma
Setelah individu diukur, skor-skor yang diperoleh diinterpretasi berdasarkan suatu pedoman tertentu. Pedoman tersebut dikenal sebagai norma. Terdapat berbagai macam pengertian norma terkait dengan fungsi setiap norma tersebut. Seperti misalnya, pada norma kelompok (within-group norm) , norma didenisikan sebagai suatu patokan yang digunakan untuk menentukan posisi individu dalam suatu kelompok. Sementara pada norma perkembangan, norma diartikan sebagai patokan untuk menentukan posisi individu pada suatu rentang perkembangan psikologis manusia normal.

1.1. Denisi Norma


Penyebaran skor-skor dari suatu kelompok yang digunakan sebagai patokan untuk memberi makna pada skor-skor individu. Sampel yang digunakan untuk membuat norma disebut: Sampel Standarisasi / Sampel Normatif Hal-hal yang diperlukan diperhatikan mengenai sampel standarisasi
Kelompok Standarisasi / normatif dipilih berdasarkan tujuan pengukuran. Kelompok normatif yang memadai: - n cukup besar semakin besar maka akan semakin stabil norma tersebut - Mewakili polupali yang dituju oleh pengukuran (sesuai dengan tujuan pengukuran: siapa & berapa banyak) REPRESENTATIF

Berikut ini akan dibahas beberapa jenis norma yang biasanya digunaka dalam pengukuran psikologi.

2. Norma Perkembangan
Norma perkembangan digunakan oleh tes-tes inteligensi yang dikonstruk atas teori yang menyatakan bahwa perkembangan inteligensi manusia meningkat sejalan dengan bertambahya usia hingga usia tertentu dan kemudian cenderung menurun pada usia lanjut. Beberapa macam norma perkembangan diantaranya adalah mental age, basal age, dan skala ordinal.

2.1. Mental age


Norma ini digunakan pada Binet-Simon Scale. Istilah mental age diperkenalkan oleh Binet yang aslinya mental level. Skala Binet memuat item-item yang terbagi berdasarkan kelompok-kelompok usia tertentu (usia 3 11 th). Tiap kelompok usia terdiri dari 4 item yang menggambarkan perkembangan manusia 3 bulan (1 kelompok usia = 12 bulan).
6

Perhatikan tabel berikut ini.


Tabel E.1. Penyebaran skor pada Tes Binet-Simon

Usia 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Item 1 + + + + + 2 + + + + + 3 + + + + + 4 + + + + + -

Masalah muncul ketika ditemukan bahwa perkembangan inteligensi anak tidak selurus yang tergambar pada tabel. Maksudnya: anak usia 7 th hanya bisa mengerjakan soal smp 7 th & gagal pada item-item berikutnya. Perkembangan inteligensi individu bersifat menyebar (scatter). Perhatikan tabel berikut ini. Contoh: Anak usia 3 tahun dapat menampilkan perilaku khas 3 th sebanyak 2 item, gagal 2 item tapi berhasil menampilkan perilaku khas 4 th sebanyak 3 item, dan 1 perilaku khas usia 5 th.
7

Tabel E.2. Penyebaran skor yang scatter pada Tes Binet-Simon

a 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Item
1 2 3 4

+ + + -

+ + -

+ + + -

+ + + + -

Dengan adanya perkembangan yang bersifat scatter ini muncul konsep pengukuran baru yaitu basal age Basal age = batas usia di mana individu berhasil mengerjakan seluruh item pada suatu kelompok usia; Dan berhasil menyelesaikan seluruh item pada kel usia dibawahnya, dan beberapa item pada kelompok usia di atasnya. Pada tabel di atas basal age anak ini adalah 4 th.
8

Dengan adanya basal age, maka muncul konsep lain yakni kredit. Kredit = item-item yang berhasil diselesai kan di atas basal age. Pada tabel di samping jumlah kredit = 4 (3 item pada kel usia 5 th & 1 item pada kel usia 6 th). Jika nilai 1 kredit = perkembangan 3 bulan, maka usia mental anak dapat dihitung sebagai berikut: Mental age = Basal age + kredit = 4 th + 12 bulan = 5 th
MA ----- x 100 CA

IQ =

5 th IQ = ------ = 125 4 th

2.2. Grade Equivalent (GE)


Grade equivalent biasanya digunakan untuk menginterpretasi kemampuan siswa dalam lingkup tingkat kelas, di mana norma ini sangat erat kaitannya dengan tes prestasi. Bentuk interpretasinya menggambarkan penguasaan materi seorang siswa setara dengan penguasaan materi siswa-siswa kelas tertentu, contohnya pada tes matematika kemampuan A setara dengan kemampuan siswa-siswa kelas 4 cawu 2 Cara menyusun Grade Equivalent Guru menyusun sebuah alat tes yang mewakili materi pelajaran tertentu mulai dari materi kelas 1 sampai kelas 6 Tes diberikan kepada seluruh siswa (kls 1 6) Hitung mean RS pada tiap kelompok soal (kel soal kels 1 kls 6) Mean RS inilah yang menjadi patokan untuk menginterpretasi kemampuan seseorang Jika hasilnya tidak tepat pada mean, maka perlu dilakukan perhitungan interpolasi.

10

Contoh norma GE: Mean RS GE 33 3 45 4 61 5 82 6

Seorang anak mendapat skor 50, posisi dia di GE brp? Gunakan interpolasi: Jarak dari satu grade ke grade lain = 9 bulan (1 thn ajaran), Dalam 1 thn ajaran ada 3 cawu, 1 cawu = 3 bulan. Skor 50 menunjukkan bahwa anak tsb sudah menguasai materi kelas 4, tapi belum menguasai materi kelas 5. Anak ini sudah menguasai materi kelas 5, tapi cawu berapa?

Cara hitung: Jarak dari skor 45 61 = 16 poin. Jarak dari GE 4 5 = 9 bulan. Kenaikan skor pada 1 bulan = 16 : 9 = 1.7 poin Jarak dari skor 45 50 = 5 poin. Kenaikan 5 poin menunjuk pada perkembangan penguasaan sebesar = 5 : 1,7 = 2,9 bulan ~ 3 bulan. Jadi, anak tersebut telah menguasai materi kelas 5 cawu 1.

11

Kelemahan GE: Tidak semua mata pelajaran yang diambil seorang siswa sama pada tiap tingkatnya, seperti misalnya pada SMU yang sudah ada penjurusan. Mata pelajaran di kelas 1 tidak sama dengan mata pelajaran di kelas 3. Hal ini menyebabkan performa pada suatu mata pelajaran bersifat mandiri, hanya untuk mata pelajaran itu saja. Kekuatan GE: Kepentingan penggunaan GE adalah untuk diagnosis siswa-siswa yang tertinggal pelajaran. Dengan menentukan GE seorang siswa dalam hitungan tingkat kelas dan cawu, guru dapat mempertimbangkan pendekatan ke siswa yang dimaksud.

12

2.3. Ordinal Scales


Norma ini digunakan untuk menginterpretasi skor-skor pada alat tes yang mengukur konstruk yang bersifat tahapan seperti misalnya tahap2 perkembangan kognitif Piaget, Gessel & Yates, dsb (Anastasi & Urbina, 1997). Dasar teoritis dari norma ini adalah bahwa individu akan sampai pada suatu tahap tertentu setelah melewati tahap sebelumnya. Dalam norma ini, tahap perkembangan anak tidak bisa melompat. Tahap perkembangan kognitif Piaget: 1.Psikomotorik 2.Pra operasional 3.Concrete operasional 4.Formal operational Tahap perkembangan bayi & anak dari Gessel & Yate: 1.Locomotion 2.Sensory discrimination 3.Linguistic communication 4.Concept formation

13

3. Norma kelompok (Within-group Norm) 3.1. Pengertian norma kelompok


Norma kelompok adalah standar atau patokan yang disusun dari skor-skor sejumlah orang dari suatu kelompok tertentu. Dengan demikian, jika kita menyusun norma dari suatu kelompok yang berasal dari suatu populasi tertentu, maka norma tersebut belum tentu dapat digunakan untuk menginterpretasi seseorang yang berasal dari kelompok populasi yang berbeda. Kelompok yang datanya dijadikan sebagai norma alat tes disebut dengan kelompok normatif / kelompok standarisasi. Kondisi kelompok normatif harus merepresentasikan populasi. Sampel yang representatif populasi dapat diperoleh dengan mengambil sampel dalam jumlah yang besar (misalnya N 1000) dan karakteristik sampel yang ada di dalamnya bervariasi. Dalam penyusunan norma kelompok informasi paling dasar yang dibutuhkan dalam penyusunan norma adalah skor mentah (raw score). Namun demikian, skor mentah saja tidak cukup, dibutuhkan suatu standar untuk menentukan posisi seseorang di dalam kelompoknya.

14

Perhatikan tabel berikut ini! Tentukan siswa mana yang berprestasi paling baik pada dua mata pelajaran tersebut!
Tabel E.3. Data skor mentah hasil ulangan mata pelajaran Fisika dan B. Inggris dari 4 orang siswa yang berasal dari 2 kelas yang berbeda Nama Siswa W X Y Z Mata Pelajaran Fisika 40 50 60 70 B. Inggris 60 50 60 50

Kelas 2A 2B

Dari tabel E.3. dapat dilihat bahwa siswa Z merupakan siswa dengan prestasi di bidang Fisika terbaik dibandingkan dengan teman-temannya. Sementara siswa W dan Y merupakan siswa prestasi paling baik dalam bidang Bahasa. Perbandingan yang dilakukan pada data tersebut, semata-mata adalah perbandingan antar skor mentah.

15

Lanjutan...
Tabel E.4. Data hasil ulangan Fisika & B.Inggris dengan Nilai mean pada tiap kelas Mata pelajaran Kelas Nama Siswa W X Y Z RS 40 50 60 70 Fisika Mean 40 80 B. Inggris RS 60 50 60 50 Mean 50 70

2A 2B

Dari tabel E.4. dapat dilihat bahwa siswa yang berprestasi di bidang Fisika dan B. Inggris telah berubah karena adanya nilai mean pada masing-masing kelas. Berdasarkan posisi mereka terhadap mean kelas, dapat dilihat bahwa siswa yang berprestasi di bidang Fisika adalah X dan di bidang B. Inggris adalah W.

16

Dalam hal ini nilai mean merupakan standar norma kelompok yang digunakan untuk menginterpretasi performa/posisi individu
Nilai-nilai statistik yang digunakan dalam penyusunan norma adalah: 1.Central tendency yang terdiri dari mean, median, dan mode 2.Variabilitas yaitu standard deviasi 3.Skewness (bentuk distribusi) yaitu, normal, juling negatif, atau juling positif Dalam kegiatan penyusunan norma kelompok, skor-skor mentah diubah ke dalam bentuk skor lain. Skor mentah hasil transformasi sering disebut sebagai derived scores (skor turunan). Transformasi dalam kegiatan penyusunan norma terdiri dari dua jenis, yaitu transformasi linier dan nonlinier. Transformasi linier biasanya digunakan untuk mengubah suatu skor dari suatu skala menjadi skor baru pada skala lain tanpa mengubah bentuk distribusi skor asal. Apapun bentuk distribusi skala skor asal, baik itu normal ataupun juling, ketika dipindahkan ke dalam skala baru, bentuk distribusi skala skor baru akan sama dengan bentuk distribusi skala lama. Lainnya halnya dengan transformasi nonlinier, biasanya transformasi jenis ini digunakan untuk mengubah skor yang berasal dari skala yang berbentuk juling menjadi skor baru pada skala yang berdistribusi normal. Agar interpetasi / makna skor dapat dipercaya, distribusi skor kelompok normatif harus berbentuk normal!
17

3.2. Macam-macam norma kelompok


3.2.1. Percentile
Percentile rank menunjukkan persentase orang dari kelompok normatif yang berada dibawah raw skor tertentu. Contohnya, PR17 = 36 artinya skor 17 membawahi 36% orang dalam kelompok normatif. Dalam kasus, dapat diambil contoh, Jane mendapat skor 17 untuk tes analogi verbal, maka terdapat 36% siswa yang skor analogi verbalnya berada dibawah Jane atau Skor Jane lebih tinggi dibandingkan dengan skor dari 36% teman-temannya

18

Cara menghitung PR:


Tabel E.2. Penyebaran skor yang scatter pada Tes Binet-Simon

RS 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

f 2 1 6 5 12 17 21 28 19 15 10 5 3 4 2

cf 2 3 9 14 26 43 64 92 111 126 136 141 144 148 150

PR 01 02 04 08 13 23 36 52 67 79 87 92 95 97 99

Rumus: c + 0.5 () PR = ---------------- x 100% N 43 + 0.5 (21) PR17 = -------------------- x 100% 150 PR17 = 36

O O

frekuensi komulatif di bawah skor yang sedang dianalisis frekuensi skor yang sedang dianalisis skor yang sedang dianalisis

19

3.2.2. Standard scores


3.2.2.1. z-scale
Nilai z menggambarkan posisi relatif seseorang dalam suatu distribusi skor, terkait dengan nilai mean dan standar deviasi hasil pengukuran di kelompok tersebut. Rumus mencari nilai z: RS - M z = ---------------SD

20

Contoh:
Mean = 50; SD = 8. Pada kelas I X, siswa A mendapat skor 35, Siswa B mendapat skor 50 dan siswa C mendapat skor 70. Posisi relatif ketiga siswa tersebut dalam skala z adalah sebagai berikut:

21

Meskipun nilai z memberikan keuntungan, karena perhitungannya yang sederhana, namun nilai tersebut memiliki kelemahan dalam fungsinya sebagai suatu nilai standar, yaitu adanya nilai negatif dan mengandung desimal. Agar dapat lebih dipahami oleh orang awam, maka nilai negatif dan desimal tersebut dihilangkan dengan cara melakukan transformasi secara linier ke dalam skala lain.

22

Pada gambar E.1. terlihat bagaimana bentuk distribusi skor asal, yaitu A tidak berubah ketika ditransformasikan ke beberapa skala, yaitu skala B, C, dan D. Sebagai pembanding ditampilkan distribusi E yang cenderung normal.
Gambar E.1. Perbandingan bentuk distribusi skor pada transformasi linier

23

3.2.2.2. Standardized scores (Normalized standard Scores)


Transformasi dari skala z ke skala lain mendorong para ahli untuk menyusun standardized scores. Standardized scores yang populer adalah T-scale yang memiliki Mean = 50 dan SD = 10. Standardized scores lainnya antara lain adalah Stanine scale, C-scale, Deviation IQ, dsb. Untuk mentransformasi z-score ke dalam skala-skala yang terstandarisasi ini, perlu dipastikan dulu bahwa distribusi skor yang sedang kita analisis berbentuk normal, karena skala-skala yang terstandarisasi ini disusun atas dasar penelitian suatu kelompok yang berdistribusi normal. Dengan demikian, jenis transformasi yang digunakan adalah transformasi nonlinier.

24

Gambar E.2. Posisi individu pada transformasi nonlinier

Pada transformasi nonlinier , posisi individu di dalam kelompok berubah. Perhatikan posisi individu M dan L pada distribusi asal (distribusi yang juling). Jarak posisi mereka sama dengan jarak antar individu lainnya. Ketika ditransformasi ke dalam skala normal, posisi M dan L menjadi lebih jauh dibandingkan jarak pada distribusi asal.
25

Langkah-langkah menyusun norma kelompok dengan melibatkan transformasi:

kedua jenis

1.Tentukan nilai-nilai yang sesuai dengan kolom 1, 2, 3, dan 4 pada tabel D.4. 2.Nilai z pada kolom 5 ditentukan dengan bantuan tabel distribusi normal yang ada pada buku-buku statistik. Proses transformasi nonlinier terjadi pada kolom 5, yaitu mengubah skor ke dalam nilai z-normal. 3.Oleh karena ada keterbatasan nilai z seperti yang telah dikemukakan di atas, yaitu adanya nilai negatif dan desimal, maka nilai z-normalized ini perlu ditransformasikan lagi ke skala lain. Di sini transformasi linier digunakan. 4.Skala baru yang digunakan pada transformasi linier di sini sudah boleh menggunakan standardized scores yang disusun oleh para ahli, yaitu T-scale, C-Sclae, Stanine, Deviation IQ, dsb.
Tabel E.5. langkah-langkah transformasi nonlinier: 1 RS 2 Frekuensi 3 Frekuensi komulatif (cf) 4 Proporsi komulatif (cp) cf cp = ------N 5 z-normalized 6 T-scores

26

4. Prol Norma
Setelah transformasi selesai dilakukan. Langkah terakhir dalam penyusunan norma adalah pembuatan tabel norma. Contoh table norma terlihat pada gambar E.3. Setelah tabel norma selesai dibuat, ketika seorang individu diukur dengan menggunakan beberapa alat tes, maka untuk menginterpretasi performa individu secara komprehensif, peneliti perlu menyusun prol norma individu tersebut.

27

Tabel E.6. Contoh content meaning

Alat tes Vocabulary

Prol norma seseorang

Standardized scores (T-scale)

28

5. Domain reference testing


Domain reference testing adalah suatu standar yang digunakan untuk memberi makna pada hasil pengukuran yang mengarah pada materi tertentu, misalnya seorang siswa menguasai operasi aritmatika yang mana, atau keterampilan bahasa Inggris yang mana: komunikasi lisan, menulis, atau lainnya. Norma jenis ini lebih sering digunakan di bidang pendidikan untuk menggambarkan prestasi siswa. Dalam menggambarkan prestasi siswa, ditentukan dua metode interpretasi yaitu content meaning dan mastery testing. Content meaning lebih berfokus pada apa yang dilakukan individu dan apa yang diketahui siswa, dan bukan ke arah perbandingan antar siswa. Apa yang dilakukan individu berkaitan dengan tahap berpikir siswa, mulai dari konkrit hingga abstrak. Apa yang diketahui individu berkaitan dengan materi yang diketahui siswa. Content meaning erat kaitannya dengan dasar pengukuran pada tes-tes edukatif, yaitu Taxonomi Bloom. Tahap berpikir siswa berkaitan dengan tahap kognitif yang hendak dicapai dalam setiap pembelajaran, sementara materi yang diketahui siswa berkaitan dengan materi pelajaran.

29

Gambar E.3. Tabel norma dan Prol Norma


Tujuan Instrusksional Mata Kuliah Psikometri Materi Knowledge Comprehensive Application Analysis Synthesis Evaluation

Reliabilitas

20 soal pilihan ganda tentang term-term (istilah) penting reliabilitas

Uraikan prosedur kegiatan reliabilitas 5 soal essay

Ambil ke- simpulan Mengkritik ketepatan Tentukan metode Interpretasi hasil tentang fungsi pada pemilihan metode reliabilitas pada 10 pengukuran pada 1 saat estimasi true reliabilitaspada 1 sub tes kasus penelitian score kasus penelitian

Max score Skor Andi Mastery

20 20 20/20 = 100%

10 5 5/10 = 50%

20 5 5/20 = 25%

5 1 1/5 = 20%

3 1 1/3 = 33%

10 3 3/10 = 30%

Pada mastery testing, skor individu diinterpretasi dalam hal menguasai atau tidak menguasai materi. Secara umum penguasaan materi dilihat dari 80-85% item dijawab benar atau tampilnya 80-85% perilaku yang dituntut oleh tujuan instruksional Misalnya, pelajaran olah raga bermain basket, pada berapa domain materi seorang siswa dinyatakan menguasai basket, bisa men-dribble, passing, dan pivot sudah cukup, atau perlu sampai mampu menembak bola masuk ke dalam keranjang. Pada mastery testing, interpretasi bisa dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu mastery, nonmastery, atau review interval. Batasan setiap kategori, tergantung dari denisi guru pada tiap tujuan instruksional.
30

6. Expectancy tables
Expectancy tables adalah suatu standard yang digunakan untuk menginterpretasi skor tes seseorang berdasarkan probability performa (persentase keberhasilan) di masa depan yang diharapkan. Jenis norma ini banyak digunakan pada kegiatan seleksi / perekrutan. Perlu dicatat bahwa expectancy table baru dapat disusun setelah ada bukti bahwa alat tes tepat memprediksi kriteria (validitas prediktif).

31

Contoh expectancy tables tampil pada tabel E.7. berikut ini.


Tabel E.7. Contoh expectancy tables: Hubungan antara DAT Numerical Reasoning Test dengan nilai matematika dari 211 siswa SMP kelas 1 Persentase Keberhasilan Pada Tiap Grade D C B A 5 9 37 43 0 21 37 36 36 43 24 14 59 27 3 7

Skor tes 30 ke atas 20 29 10 19 Di bawah 10

Jumlah siswa 22 104 71 14

Tabel E.7. menunjukkan probabilitas mendapatkan nilai A, B, C dan dibawah D untuk nilai matematika di kelas 1 SMP dari skor tes deret angka mulai dari skor dibawah 10 hingga 30 ke atas. Dari data yang terdapat di dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi skor deret angka seorang siswa semakin tinggi probabilitasnya mendapatkan skor A dan B.

32

You might also like