You are on page 1of 19

Pengertian konstitusi menurut lima para ahli

Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak


KC Wheare. mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (non legal); Berdasarkan konsep konstitusi C.F. Strong konstitusi memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara; James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain, hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan; Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang konstitusi yang diberikan oleh CF Strong lebih luas dari pendapat James Bryce. Walaupun dalam pengertian Yang dikemukakan James Bryce itu merupakan konstitusi dalam kerangka masyarakat politik (Negara) yang diatur oleh hukum. Akan tetapi dalam konstitusi itu hanya terdapat pengaturan mengenai alat-alat kelengkapan Negara yang dilengkapi dengan fungsi dan hak-haknya. Dalam batasan Storng, apa yang dikemukakan james Bryce itu termasuk dalam kekuasaan pemerintahan semata, sedangkan menurut pendapatnya, konstitusi tidak hanya mengatur tentang hak yang diperintah.

1. Arti sempit : Konstitusi dalam arti sempit pengertiannya disamakan dengan UUD, yaitu menunjuk pada pokok dokumen yang berisi aturan mengenai susunan organisasi negara beserta cara organisasinya. 2. Arti luas : Konstitusi dalam arti luas mencakup segala ketentuan yang berhubungan dengan keorgasnisasian negara baik yang terdapat dalam UUD, undang-undang organik (pelaksanaan UUD), peraturan lainnya
Contohnya hukum, social polotik

E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945 Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945: Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). MPR

Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan MPR adalah penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden. Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.

Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:


y y y y y y

Presiden, sebagai presiden seumur hidup. Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut. Memberhentikan sebagai pejabat presiden. Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya. Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden. Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.

PRESIDEN
y y y y y

Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak neben akan tetapi untergeordnet. Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president). Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

DPR
y y y y

Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden. Memberikan persetujuan atas PERPU. Memberikan persetujuan atas Anggaran. Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.

DPA DAN BPK


y

Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.

F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI Setelah Amandemen UUD 1945: Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
y

y y y y

Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law. Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim. Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing. Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945. Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum. Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

MPR
y y y y y y

Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK. Menghilangkan supremasi kewenangannya. Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN. Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu). Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD. Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.

DPR
y y

Posisi dan kewenangannya diperkuat. Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU. Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.

Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

DPD
y

y y y

Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR. Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia. Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu. Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

BPK
y y

y y

Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.

PRESIDEN
y

y y y y y

Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR. Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja. Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR. Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR. Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

MAHKAMAH AGUNG
y y

Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)]. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.

Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

MAHKAMAH KONSTITUSI
y y

Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution). Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD. Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

Sejarah
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya. Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa Badan Permusyawaratan berubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).

[sunting] Masa Orde Lama (1945-1965)

Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saait itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR. Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar. Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante. Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
y y y

Pembubaran Konstituante, Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950, Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
y y y y y

MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.

Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk. Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul Nawaksara ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Walaupun kemudian Presiden Seokarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama Pelengkap Nawaksara, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai Nawaksara beserta pelengkapnya berpendapat bahwa Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila. Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
[sunting] Masa Reformasi (1999-sekarang)

Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-

lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal. Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. , setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945. Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan UndangUndang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

[sunting] Tugas dan wewenang


[sunting] Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar

MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya. Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan. Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.

Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
[sunting] Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum

MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
[sunting] Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.
[sunting] Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden

Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya. Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

[sunting] Memilih Wakil Presiden

Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
[sunting] Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

[sunting] Keanggotaan
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undangundang. Jumlah anggota MPR periode 20092014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.

[sunting] Hak dan kewajiban anggota


C. Wheare menyatakan bahwa perubahan konstitisi ada 4 (empat) metode, yang berbeda dengan metode Strong, yaitu:[8] (a) some primary forces; (b) formal amendment; (c) judicial interpretation; (d) usage and convention.

Perubahan konstitusi melalui tindakan hukum MPR tersebut menurut Harun Alrasid dapat dilihat dari contoh-contoh sebagai berikut:[12] 1. Penambahan syarat umur pada calon Presiden pada TAP MPR,[13] sehingga terjadi perubahan terhadap Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen), sehingga bunyinya menjadi; Presiden dan Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli yang berumur sekurang-kurangnya 40 tahun. 2. MPR melalui TAP MPR No. I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib yang juga mengatur mengenai proses pengambilan keputusan telah menyebabkan terjadinya perubahan makna teks Pasal 2 Ayat (3) UUD 1945 (sebelum amandemen) menjadi, Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan cara musyawarah untuk mufakat atau pemungutan suara dengan mengutamakan cara pertama. 3. Dalam hal berkaitan dengan kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden telah pula merubah Pasal 8 UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi berbunyi sebagai berikut; Jika Presiden mangkat, berhenti, tidak dapat melakukan kewajiban, atau diberhentikan, maka ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya. 4. Dalam hal kekosongan hukum mengenai pengisian jabatan Wakil Presiden telah menyebabkan terjadinya perubahan UUD 1945 menjadi berbunyi seperti berikut ini; Jika Wakil Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibanya, atas permintaan Presiden dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, MPR mengadakan sidang istimewa untuk memilih Wakil Presiden baru yang memegang jabatannya selama sisa masa jabatan Wakil Presiden yang digantikannya. 5. Kemudian Harun Alrasid memberikan contoh telah terjadinya perubahan konstitusi pada masa Orde Lama yang berkaitan dengan masuknya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang sebelumnya bernama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sebelumnya bernama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) sehinga perubahan tersebut menyebabkan Pasal 10 UUD menjadi berbunyi sebagai berikut; Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara.

Pokok - Pokok Pikiran Dalam Pembukaan UUD 1945 Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, pokok-pokok
pikiran tersebuta dalah :

1.

Pokok pikiran pertama:

Negara begitu bunyinya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam pengertian ini diterima pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya.

Jadi negaa mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian ini menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan. Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran persatuan dengan pengertian yang lazim, negara, penyelenggara negara dan setiap warganegara wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupun perseorangan.

2.

Pokok pikiran kedua,

negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, ini merupakan pokok pikiran keadilan sosial yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat.

3.

Pokok pikiran ketiga,

yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem negara yang termasuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan kedaulatan rakat dan berdasar asas pemusyawaratan perwakilan. Aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia, pokok pikiran kedaulatan rakyat yang menyatakan kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun hasil amandemen UUD 1945 yang tercantum dalam Pasal 6A Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal ini membuktikan bahwa ada perubahan kedaulatan rakyat yang tadinya dilakukan sepenuhnya oleh MPR, khusus untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat Indonesia.

4.

Pokok pikiran keempat

yang terkandung dalam Pembukaan negara berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusia yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara yang lain untuk memlihara budi pekerti kemanusia yang luhur. Hal ini menegaskan pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha

Esa menurut Dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ini membuktikan bahwa pokok pikiran ini merupakan dasar falsafat negara Pancasila.

Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Sistem Otonomi Pokok


Posted on 2 April 2011 by Rachmad Revanz

Pelaksanaan Otonomi Daerah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah untuk mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, pada bagian ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sistem Otonomi Pokok Terdapat beberapa sistem otonomi pokok, yaitu sistem otonomi materiil, sistem otonomi formal, dan sistem otonomi riil. 1). Sistem Otonomi Materiil Dalam pengertian Sistem Otonomi Materiil, antara pcmerintah pusat dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab) yang secara jelas diatur dalam undang undang pembentukan daerah. Artinya, yang tidak termasuk undang-undang pembentukan daerah merupakan urusan pemerintah pusat. 2). Sistem Otonomi Formal Dalam pengertian Sistem Otonomi Formal, tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan urusan yang diatur oleh daerah-daerah otonom. Artinya, apapun yang dilakukan oleh negara (pemerintah pusat) pada prinsipnya dapat pula dilakukan oleh daerah-daerah otonom. Jika ada pembagian tugas, hal itu semata-mata disebabkan adanya pertimbangan yang rasional dan praktis, seperti efisicnsi penyelenggaraan tugas pelayanan publik. Dengan kata lain, pembagian tugas bukan disebabkan materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan adanya keyakinan bahwa kepentingan daerah dapat lebih baik dan berhasil apabila diselenggarakan sendiri oleh daerah masing-masing daripada oleh pemerintah pusat. 3) Sistem Otonomi Riil Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas kewenangan kepada daerah didasarkan faktor

nyata atau riil, kebutuhan atau kernampuan dari daerah atau pemerintahan pusat, maupun pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Sistem ini mengandung perpaduan dari sistem otonomi formal dan sistem otonomi materiil. Dengan kata lain, sistem ini merupakan jalan tengah atau percampuran dari sistem otonomi formal dan materiil sehingga dapat dikatakan sebagai sistem tersendiri.

Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak


Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. 1. Kewenangan Daerah yang meliputi: a. Kewenangan Daerah Otonom sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999. b. Kewenangan Daerah yang dilaksanakan di Kabupaten Jombang. 2. Keuangan Daerah a. Realisasi pelaksanaan Kewenangan Daerah di Kabupaten Jombang. b. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 3. Dukungan dan Kendala Pelaksanaan Kewenangan Daerah, meliputi: a. Dukungan pelaksanaan kewenangan. b. Kendala pelaksanaan kewenangan (internal dan eksternal).
Menurut Harris Soche Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah. .(http://www.scribd.com) Menurut Hennry B. Mayo Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi kebebasan politik. Menurut International Commission of Jurist Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan poliTik diselenggarakan oleh warga Negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang

bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas. (http://nugrohoandirama.blogspot.com) DEMokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

insip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan soko guru demokrasi. Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah: 1. Kedaulatan rakyat; 2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; 3. Kekuasaan mayoritas; 4. Hak-hak minoritas; 5. Jaminan hak asasi manusia; 6. Pemilihan yang bebas dan jujur; 7. Persamaan di depan hukum; 8. Proses hukum yang wajar; 9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional; 10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik; 11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Ciri-ciri pemerintahan demokratis


Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat).[14] Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.[14] Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.[14] 1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). 2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang. 3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara. 4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. 5. PELAKSANAAN seluruh agenda reformasi sangat tergantung pada penyelenggaraan pemilu menurut Dr Mochtar Pabottinggi di depan Komisi DPR (Kompas, 4 Juni). Mochtar bersama Dr Miriam Budiardjo menyarankan untuk tidak tergesa-gesa menyelenggarakan pemilu, sebelum segalanya dipersiapkan dengan baik. Dua hal penting yang harus diperhatikan adalah apakah sebaiknya memakai sistem pemilihan proporsional atau distrik dan kedua, jumlah partai politik. 6. Menurut Dr William Liddle ("Proporsional atau Distrik?" Kompas2 Juni), demokrasi memerlukan kepemimpinan politik yang memiliki dua sifat: representatif dan mampu

memerintah. Sistem pemilihan proporsional lebih unggul dari segi perwakilan (representatif). Proporsi kursi suatu orpol dalam badan legislatif akan persis sama dengan proporsi suara yang diperoleh (persentase kursi = persentase suara). 7. Akan tetapi sistem distrik rupanya lebih menghasilkan pemerintahan yang mampu memerintah, sebab jumlah orpol cenderung berkurang dan kemungkinan pemerintah koalisi yang lemah lebih kecil. Rizal Mallarangeng ("Tunda Dulu Sistem Distrik," Kompas, 2 Juni) meragukan kesimpulan ini. Rizal berpendapat sistem distrik memperlemah basis kepartaian dan mendorong meluasnya "personalisasi" politik. 8. Sejauh ini pembahasan mengenai sistem pemilihan sangat teoretis. Walaupun hal ini berguna, perdebatan tingkat teoretis perlu didasarkan pada analisa empiris dan data historis. Untuk itu saya akan mencoba menganalisa data empiris dari Pemilu 1955 yang mungkin dapat membantu menjelaskan perdebatan teoretis tersebut. Kenapa Pemilu 1955? Jawaban saya adalah bahwa Pemilihan Umum 1955 dianggap oleh banyak pakar satu-satunya pemilihan umum yang paling dekat dengan kriteria demokrasi. Pertama jumlah dan pengorganisasian orpol tidak dibatasi. Kedua, pelaksanaan pemilu luber betul. Ketiga, pluralisme kehidupan politik agak sama dengan era reformasi sekarang. 9. Seperti kita ketahui, hanya sistem proporsional telah berlaku di Indonesia mulai Pemilu 1955 sampai sekarang. Kebanyakan pakar setuju bahwa Pemilu 1955 telah menghasilkan DPR yang sangat representatif (28 partai politik terwakili). Tetapi hasil pemilu ini tidak menyebabkan munculnya pemerintahan yang kuat. Tujuh puluh tujuh persen dari jumlah suara dibagi oleh empat partai "besar": PNI (22,3 persen), Masjumi (20,9 persen), NU (18,4 persen) dan PKI (15,4 persen). Hasil pemilu itu tidak meyakinkan sebab partai "terkuat" hanya didukung oleh kurang dari seperempat pemilih. Hasil ini menunjukkan adanya fragmentasi yang sangat besar di DPR. Perbedaan apakah yang akan muncul jika sistem distrik diterapkan pada Pemilihan Umum 1955? Apakah akan muncul pemerintahan yang lebih mampu memerintah?
10. ***

11. MENJAWAB pertanyaan tersebut di atas, saya perlu membuat beberapa asumsi tentang jumlah distrik dan jumlah wakil dari setiap distrik. Pertama, adanya 189 distrik sama dengan jumlah daerah administratif (kabupaten, karesidenan) yang sebenarnya digunakan pada waktu itu. 12. Asumsi kedua mengenai jumlah wakil. Dari setiap distrik kita asumsikan bahwa ada minimal satu wakil. Akan tetapi muncul persoalan adanya variasi jumlah penduduk di antara distrik-distrik itu. Umpamanya, Kabupaten Bandung memiliki jumlah penduduk 1.289.478 pada 1955, sedangkan Kotamadya Cirebon memiliki jumlah penduduk 100.867. Kalau kedua distrik itu diwakili oleh wakil-wakil dengan jumlah yang sama, akan muncul persoalan representatifnya sistem. Untuk mengurangi masalah ini, kita sebaiknya perlu memperhitungkan keberadaan variasi jumlah penduduk. 13. Kita dapat menggunakan rasio yang dipakai pada Pemilu 1955, yaitu satu wakil untuk setiap 300.000 penduduk. Rumus itu kita terapkan dengan prosedur berikutnya: apabila jumlah penduduk 300.000 atau kurang, maka dapat satu wakil. Jika lebih dari 300.000, maka jumlah penduduk harus dibagi dengan 300.000. Apabila kita kembali ke contoh di atas, kalau kita bagi 1.289.478 dengan 300.000 hasilnya empat wakil (setelah dibulatkan). 14. Jadi, dengan menggunakan rumus di atas, sepertiganya dari keseluruhan distrik akan mendapat tambahan wakil (lebih dari satu). Jumlah wakil keseluruhan akan bertambah menjadi 265. Asumsi sistem distrik selanjutnya adalah partai yang

memperoleh suara terbanyak berhak atas semua wakil dalam distrik itu. Saya merasa asumsi-asumsi dan prosedur ini logis dan masuk akal. 15. Analisa pada hasil Pemilu 1955 dengan menggunakan asumsi dan prosedur di atas menghasilkan penemuan-penemuan terlihat pada kolom sebelah kanan di Tabel.
16. ***

17. PERHATIKANLAH jumlah wakil partai-partai dengan sistem distrik (hipotetis) berbeda secara mencolok dari jumlah dengan sistem proporsional (sebenarnya). Dengan sistem proporsional Masjumi dan PNI sama kuatnya, kedua-duanya dapat 57 wakil. Tetapi, sistem distrik akan mengakibatkan keunggulan PNI dengan 96 wakil. Perbedaan penting lain adalah konsentrasi wakil-wakil rakyat pada jumlah partai yang kian berkurang. Dengan perkataan lain, sistem distrik akan menghasilkan partai unggul (tetapi bukan partai mayoritas) yang mempunyai amanat memimpin pemerintah koalisi. 18. Kekuatan Masjumi akan kira-kira sama, tetapi PKI akan muncul sedikit lebih kuat dari NU. Akhirnya, jumlah partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya satu wakil akan turun dari 28 (sebenarnya) ke 12. Dengan sendirinya, pengaruh partai kecil akan berkurang yang memberikan mereka dorongan untuk bergabung sebelum pemilu masa mendatang. 19. Seandainya sistem distrik telah berlaku pada Pemilu 1955 kemungkinan besar menghasilkan pemerintahan yang mampu memerintah secara efektif. Fragmentasi kekuatan politik dalam DPR akan berkurang. Kursi di DPR akan dibagi di antara lebih sedikit jumlah partai politik. Dua belas partai yang memperoleh wakil/kursi akan diperkuat, sedangkan 16 partai yang gagal memperoleh wakil akan diperlemah. Para pakar yang menganjurkan bahwa sistem distrik memperlemah basis kepartaian sebaiknya mengubah posisinya. Lebih benar, sistem distrik akan memperkuat partai-partai agak besar, dan memperlemah partai-partai agak kecil. Oleh karena sistem distrik ini menyebabkan jumlah partai menjadi berkurang, bisa jadi DPR seperti ini dinilai relatif kurang representatif. 20. Namun, seandainya Pemilu 1955 diselenggarakan dengan sistem distrik maka akan menghasilkan kabinet lebih kuat. PNI akan muncul sebagai partai yang unggul, amanatnya dari rakyat akan lebih kuat, kepemimpinannya dalam pemerintah koalisi akan diakui dan pengaruh partai-partai kecil berkurang. Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Daftar isi
[sembunyikan]
y y

y y

1 Tahapan 2 Hasil o 2.1 DPR o 2.2 Konstituante 3 Dekret Presiden 4 Pranala luar

] Tahapan
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
y y

Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu, Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

[sunting] Hasil
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partai-partai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, PRD (bukan PRD modern), ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso). Menurut Prof. Miriam Budiarjo, sifat-sifat Negara tersebut adalah :

1. Sifat memaksa. Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah. Sifat memaksa ini dapat diartikan juga bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal.

2. Sifat monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.

3. Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua tanpa terkecuali[5].

You might also like