You are on page 1of 23

1.

NORMA-NORMA AKAD (KONTRAK) DALAM FIQH ISLAM


A.Sekilas tentang Sejarah Akad
Al-Aqd (akad/kontrak) berasal dari kata aqadayaqiduaqd[an]; jamaknya adalah al-uqd. Secara bahasa al-aqd bermakna ar-rabth (ikatan), asy-syadd (pengokohan), at-taqwiyah (penguatan). Jika dikatakan, aqada al-habla (mengikat tali), maksudnya adalah mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya. Al-aqdu juga bisa bermakna al-ahdu (janji) atau al-mtsq (perjanjian). Adapun al-uqdah (jamaknya al-uqad) adalah obyek ikatan atau sebutan untuk sesuatu yang diikat. Di dalam al-Quran kata aqada disebutkan sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat: kata aqada bermakna sumpah (QS 4: 33; 5: 89); al-uqd bermakna al-ahdu atau janji (QS 5: 1; 20: 27); uqdah bermakna ikatan (QS 2: 235, 237) dan al-uqad bermakna simpul atau buhul (QS 113: 4). Menurut al-Jashash sumpah disebut aqd jika berupa sumpah untuk perkara yang akan datang. Pada awalnya kata aqada digunakan untuk benda padat seperti tali dan bangunan, namun kemudian dengan majaz istirah kata ini juga diterapkan untuk selainnya seperti: aqd al-bay (akad jual-beli), aqd al-ahd (akad perjanjian), aqd an-nikh (akad nikah), dsb. (komitmen atau irtibth/pertautan). Abu Bakar menyatakan, al-aqd adalah apa yang diakadkan (diwajibkan) oleh orang yang berakad atas suatu perkara yang harus ia lakukan, atau ia akadkan terhadap orang lain untuk melakukannya, dalam bentuk mengharuskan atau mewajibkan perkara itu kepadanya. Al-aqd, meski asalnya secara bahasa bermakna asy-syadd (pengencangan), ia kemudian mengalami transformasi makna, seperti sumpah dan akad; akad jual beli dan sebagainya. Yang dimaksud tidak lain adalah kewajiban memenuhi apa yang disebutkan dan ditawarkan. Ini tidak lain diimplementasikan pada sesuatu yang ditunggu pemenuhannya ke depan. Jual-beli, nikah, ijrah dan seluruh akad Dalam konteks ini, aqada dimaknai sebagai ilzm (pengharusan) dan iltizm

dengan kompensasi disebut sebagai akad karena masing-masing pihak telah mewajibkan diri untuk memenuhinya. Makna tersebut kemudian dalam penggunaannya lebih menonjol dan menjadi urf (tradisi). Karena itu, secara urf, al-aqd adalah iltizm
1|Akad Ekonomi Islam

al-jnibayn li syayin wa muqbiluhu (komitmen dua pihak untuk suatu perkara berikut kompensasinya). Menurut Ibn Manzhur, Jika Anda berkata. qadtuhu, atau aqadtu alayhi, maka takwilnya adalah: Anda mengikat (mengharuskan) dia atas hal itu dengan isttsq (meminta janji/komitmen) dan membuat kontrak (kesepakatan) dan perjanjian. Dengan demikian, al-aqd adalah transaksi dan kesepakatan, atau komitmen dengan konotasi al-isttsq. Itu tentu tidak akan terjadi, kecuali di antara dua pihak yang saling berakad. Adapun al-ahd (janji) bisa berlangsung dari satu pihak saja. Karenanya, al-ahd lebih umum daripada al-aqd, karena tidak semua al-ahd (janji) merupakan al-aqd (akad). Sebaliknya, semua al-aqd (akad) merupakan al-ahd (janji).

B.Alat Akad
Alat akad bisa dalam bentuk tulisan atau secara lisan, berikut hal-hal yang dibutuhkan (di sebutkan satu per satu) sehingga akad dapat dinyatakan sah.

C.Dasar-dasar dalam Hukum Islam


1) Makna Akad (Kontrak) Akad berasal dari bahasa arab ( ) AlAqad yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Pengertian ialah umumnya yakni sesuatu yang di ikatkan seseorang bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus. Akad atau perjanjian sendiri mempunyai banyak arti yang keseluruhannya kembali pada bentuk ikatan atau penghubungnnya terhadap dua hal. Menurut musthofa as zawqa, setiap akad adalah tindakan hukum yang dilakukan dua atau lebih yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati, sehingga untuk menyatakannya masing-masing diungkapkan dalam suatu pernyataan ijab dan qobul. Pihak yang melakukan ijab disebut mujib () Pihak yang melakukan qobul disebut qaabil ( .)
2|Akad Ekonomi Islam

Biasanya pihak pertama yang menyatakan adalah mujib baru kemudian qaabil seperti dalam akad nikah. Namun dalam muamalah boleh qaabil dulu baru mujib. Keduanya mengucapkan ungkapan/pernyataan akad atau shighah al-aqd ( .) Hukum akad adalah wajib bagi pihak-pihak yang terikat hingga akad selesai ditunaikan ataupun akadnya batal. 2) Macam-macam Akad Menurut ulama fiqih, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Apabila dilihat dasri segi keabsahannya menurut syara, maka akad dibagi dua, yaitu: Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Dengan demikian, segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku kepada kedua belah pihak. Ulama Mahzab Hanafi dan Mahzab Maliki, membagi lagi akad sahih ini menjadi dua macam: a. Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. b. Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan. Akad tersebut seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang menjelang akil baligh (mumayyiz). Akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum setelah mendapat ijin dari wali anak itu. Menurut Mahzab Syafii dan Mahzab Hambali, bahwa jual-beli yang mauquf itu tidak sah. Lebih lanjut jika dilihat dari sisi mengikat atau tidak jual-beli yang sahih itu, ulama fiqih membaginya kepada dua macam: a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual-beli dan sewa-menyewa. b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, seperti titipan). Akad yang tidak sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi
3|Akad Ekonomi Islam

ariyah

(pinjam-meminjam)

dan

wadiah

(barang

kedua belah pihak yang melakukan akad itu. Kemudian Mahzab Hanafi membagi lagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu: akad yang batil dan akad yang fasid. Suatu akad dikatakan batil apabila akaad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari syara. Umpamanya: objek akad (jual-beli) itu tidak jelas seperti menjual ikan dalam empang (lautan), atau salah satu pihak tidak mampu (belum pantas) bertindak atas nama hukum seperti anak kecil atau orang gila. Suatu akad dikatakan fasid, adalah suatu akad yang pada dasarnya dibenarkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas, seperti menjual mobil tidak disebutkan merknya, tahunnya dan sebagainya. 3) Prinsip Syariah tentang Cara Memahami Persyaratan Akad 1. Akad termasuk dalam lingkup hukum muamalah. Hukum asal muamalah ialah segala sesuatu boleh kecuali ada ketentuan yang melarangnya. 2. Segala sesuatu yang menyangkut masalah akad seperti subjek, objek dan pernyataan akan harus sesuai dengan prinsip syariah. 3. Adanya ketertbukaan, kejujuran, kepercayaan dan ketulusan antara pihak-pihak yang melakukan akad. 4. Memandang adanya manfaat untuk akhirat. 5. Sebaiknya semua akad perjanjian ditulis dan dipersaksikan didepan saksi-saksi. 6. Akad yang ditulis bisa dengan tulisan tangan langsung ataupun dengan mengajukan ke notaries seperti pada akad jual beli tanah sehingga akad yang ada memiliki kekuatan hokum tetap. 4) Rukun-Rukun Akad / Kontrak Menurut jumhur (mayoritas) lugaha, rukun akad terdiri atas: 1. Pihak-pihak yang melakukan akad (Aqid). 2. Objek yang dilakukan akad (maqud alaih). 3. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighah al-aqd). Menurut ulama Mahzab Hanafi, rukun akad hanya shighah al-aqd, sedangkan pihak yang berakad dan objek akad adalah syaratnya. Ketentuan shighah al-aqd: 1. Tujuan akad harus jelas dan dapat dipahami.
4|Akad Ekonomi Islam

2. antara ijab dan qabul harus ada kesesuaian. 3. Pernyataan ijab dan qabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.

5) Syarat-Syarat Akad Disamping syarat-syarat khusus akad seperti dalam akad jual beli, akad sewa maupun akad lainnya, terdapat beberapa syarat umum. Antara lain: 1. Pihak-pihak yang melakukan akad dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). Bila belum mampu dapat diwakilkan oleh walinya. 2. objek akad diakui syara meliputi: a. Berbentuk harta b. Dimiliki oleh seseorang c. Bernilai harta menurut syara (misalnya bukan barang haram, najis) d. Barang tersedia saat akad dan dapat diserahkan usai akad kecuali untuk aqad salam (indent), istihna(pesanan barang), musaaqah(transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya). Pengecualian dibenarkan karena akad-akad seperti itu sudah umum menjadi adat kebiasaan masyarakat. 3. Akad tidak dilarang oleh nash syara. 4. Akad yang dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syaratsyarat umum. 5. Akad itu bermanfaat. 6. Ijab tetap utuh sampai terjadi qabul. 7. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis atau waktu yang sama. Jumhur ulama fiqih selain Mahzab SyafiI membolehkan adanya tenggang waktu antara ijab dan qabul. Bahkan Mahzab maliki membolehkan jika penerima meminta tenggang waktu sebelum mengucapkan qabul. Mahzab SyafiI mengharuskan setelah ijab sesegera mungkin dijawab qabul.
5|Akad Ekonomi Islam

a. Tujuan akad harus jelas dan diakui syara. b. Harus sama ridho dan iklas. c. Ijab dan qabul harus jelas dan gamblang terhindar dari khiyar (penafsiran ganda) yang dapat menimbulkan kesalhpahaman antar pihak yang bersepakat. Dalam akad memiliki kebebasan mangajukan syarat, ada yang bersifat mutlak, tanpa batas selama tidak ada larangan dalam Al Quran dan sunnah seperti yang diutarakan uleh ulama Mahzab Hambali dan Mahzab Maliki. Sedangkan menurut ulama Mahzqab Hanafi dan Mahzab SyafiI syarat yang ada tetap ada batasannya walaupun tidak ada dalil yang melarang seperti syarat jika sesudah menikah nanti suami akan menafkahi istri. Syarat tersebut tidak boleh karena suami menafkahi istri adalah kewajiban sehingga tidak bias menjadi syarat. 6) Syarat-Syarat Rukun Akad Ada beberapa syarat yang harus terdapat dalam akad, namun dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad. Kedua, syarat khusus, yaitu syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-syarat ini biasa juga disebut syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus ada di samping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi, untuk terjadinya nikah, tidak boleh adanya ta'liq dalam aqad muawadha dan aqad tamlik, seperti jual beli dan hibah . Ini merupakan syarat-syarat idhafiyah. Sedangkan syarat-syarat yang harus terdapat dalam segala macam akad adalah: a. Ahliyatul 'aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau ahli). b. Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima hukuman). c. Al-Wilyatus syar'iyah fi maudhu'il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si 'aqid sendiri). d. Alla yakunal 'aqdu au madhu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (janganlah akad itu yang dilarang syara) seperti bai' munabadzah.
6|Akad Ekonomi Islam

e. Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberikan faedah). f. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu'il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul). g. Ittihadu majalisil 'aqdi (bertemu di majelis akad). Maka ijab menjadi batal apabila berpisah salah seorang dari yang lain dan belum terjadi qabul

2. JENIS-JENIS AKAD (TRANSAKSI)


A.Akad Pertukaran Jual Beli
1) Berdasarkan perbandingan harga jual dan harga beli Al Musawwamah Yang dimaksud dengan Musawamah adalah Jual beli yang keuntungannya hanya diketahui penjual. Al Tauliah Yang dimaksud dengan Tauliah adalah Jual beli yang tidak ada keuntungan bagi penjual (komisi). Al Muwadhaah Yang dimaksud dengan Muwadhaah adalah Jual beli yang harganya dibawah harga jual (diskon). Al Murabahah Al Murabahah jual beli barang pda harga asal dengan tembahan keuntungan yanng disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syariah murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian nasabah, pembelian yang dimana bahan disepakati Bank baku antara Bank Syariah dengan untuk yang menyediakan atau modal pembiayaan kerja lainnya

dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Dalam bai' al murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk Imam pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam al-Umm,

7|Akad Ekonomi Islam

Syafii menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-syira . Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. mengenai Kedua belah pihak serta membuat kesepakatan barang tersebut

kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada di tangan pemesan. Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhan (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR. Ibn Majah) Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan dilakukan bersama. Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen. Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai dengan masa
8|Akad Ekonomi Islam

sebagai secara

tambahannya. sesuai

Pembayaran dengan

dapat

angsuran

kesepakatan

pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkankan mengubah harga yang telah diperjanjikan/ diakadkan. Pada lembaga keuangan konvensional, dimungkinkan membuat sebuah klausul untuk meningkatkan bunga seperti karena akibat ketergantungan pada situasi pasar, krisis BBM, dan krisis nilai tukar. Keunggulan dari sebuah produk jual beli murabahah adalah memberikan kepastian dan kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran pembiayaan. Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen, nasabah diberi uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian. Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga utang perolehan/pembelian nasabah itu akan barang berkurang ditambah sebesar keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga. Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pemebelian dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon. Diskon adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah akad murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.
9|Akad Ekonomi Islam

Jika

nasabah

dalam

transaksi

murabahah

melakukan

pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan bank syariah 2) Berdasarkan jenis barang pengganti Al Mughayabah Yang dimaksud dengan akad Al Mughayabah adalah tukar menukar barang dengan barang. Al Mutlaq Yang dimaksud dengan akad Al Mutlaq adalah tukar menukar uang dengan barang. As Sharf Penelusuran tentang transaksi mata uang ( As Sharf ) dalam kitab fiqh sedikit dan terbatas, keterbatasan ini dapat dipahami, karena mungkin pada masa lampau, ketika kitab fiqh sedang ditulis oleh fuqaha masalah jual beli mata uang bukan masalah yang menonjol sebagaimana masalah muamalat lainnya. Dengan demikian perhatian tidak cukup banyak terhadap masalah ini. Masalah valuta muncul ke permukaan dan menjadi perbincangan ulama baru ketika terjadi ketidakstabilan nilai tukar emas dan perak pada masa kesultanan Mamluk, tepatnya masa Nasir Muhammad bin Qalamun semasa Imam Ibnu Taimiyah6. Kitab fiqh yang membicarakan bab transaksi valuta asing dikenal dengan As Sharf, sering menempatkan pembahasannya sebagai bagian dari bab jual beli, sub bab macam macam Jual Beli (Wahbah Az Zuhaili ) sedangkan As Sharf dalam Bidayatul Mujtahid Juz II pembahasan setelah bab jual beli. Secara umum jual beli mata uang / As Sharf dalam kitab kitab fiqh diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dan emas atau perak dengan perak. Oleh karena itu dalam kitab fiqh apa saja yang menjadi ketentuan/ syarat rukun dalam transaksi berlaku juga dalam transaksi mata uang ( As Sharf ), hanya saja kategorinya lebih

10 | A k a d E k o n o m i I s l a m

khusus. sepanjang

Transaksi Valuta asing dari ketentuan tersebut memenuhi ketentuan dalam transaksi Islam perlu

adalah kegiatan yang ditolelir tetapi, meski boleh, dibuat semacam untuk memenuhi

catatan karena pada dasarnya Islam permintaan dan penawaran/ money

memandang uang harta sebagai alat tukar bukan komoditas, demand for transaction bukan spekulasi. Dalam Kamus al Munjid fi al Lugah7 disebutkan bahwa al sharf berarti menjual uang dengan uang lainya. Istilah al sharf yang berarti jual beli valuta dapat ditemukan dalam beberapa kamus. Muhammad al Adnani mendefinisikan al sharf dengan tukar-menukar uang.8 Yang dalam istilah Inggris adalah money changer. Menurut Istilah Syara Sharf adalah jual beli satu mata uang dengan mata uang yang lain baik mata uang tersebut satu jenis atau berlainan jenis. Jual beli mata uang mendasarkan pada QS;2, 275 tentang Kebolehan Jual beli; Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba. Dan hadits tentang jual beli mata uang (As- Sharf) diantaranya mendasarkan pada Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit tentang tukar menukar emas dan perak. Syarat Syarat jual beli mata uang ( As- Sharf ): a) Serah terima dalam majlis kontrak b) Jika sama c) Tidak boleh ada khiyar syarat d) Tidak boleh ditangguhkan, masing masing pihak yang bertransaksi tidak boleh menangguhkan penyerahan barang untuk jangka waktu tertentu karena barang tersebut harus diterima dan jatuh sebagai hak milik masing masing pembeli sebelum mereka berpisah. Dalam jual beli mata uang harus memenuhi syarat khusus; tiada penundaan, yang berarti harus tunai dan tiada pelebihan yang berarti dengan syarat keseimbangan. Dalam jual beli mata uang asing Ulama sepakat dengan syarat tunai, tetapi mereka berbeda tentang waktu yang membatasi
11 | A k a d E k o n o m i I s l a m

dengan mata uang yg sama, jumlahnya harus

pengertian tunai ini. selama keduabelah

Imam pihak

Hanafi dan belum

Imam Syafii baik itu

berpendapat bahwa jual beli mata uang terjadi secara tunai berpisah, penerimaannya itu segera atau lambat. Jadi penerimaannya bisa dengan perjanjian waktu tertentu. Berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat bahwa jika penerimaan pada majlis terlambat, maka jual beli itu batal, meski kedua belah pihak belum berpisah. Karena ia tidak menyukai janji janji didalamnya. Sementara itu ulama Kontemporer, seperti al Qardawi, dalam hal memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, mengatakan tidak diperbolehkan. Selanjutnya beliau mengatakan tidak sah jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf al-Qardhawi syara telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat kebiasaan yang berlaku. Merujuk uraian diatas, dapat ditarik benang merah bahwa semua pendapat sepakat tentang dibolehkannya jual beli mata uang dengan syarat syarat khusus, tunai dan kadarnya sama, Hanafi hanya saja perbedaan terletak pada interpretasi batasan istilah tunai dalam transaksi. Syafii dan berpendapat bahwa tenggang waktu bisa diundur selama kedua belah pihak belum meninggalkan majlis, sedangkan Malik tidak ada tenggang waktu antara terjadinya akad dengan terjadinya serah terima barang. Dalam keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional, secara umum memberi justifikasi bahwa jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan:
12 | A k a d E k o n o m i I s l a m

a) Tidak untuk spekulasi (untung untungan); b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga jaga (simpanan); c) Jika mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai; d) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (Kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. Untuk jenis transaksi valuta asing, hukumnya boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi Internasional. Sedangkan untuk transaksi Forward, Swap dan Option hukumnya haram, karena didalamnya ada unsur spekulasi (maisir). 3) Berdasarkan waktu penyerahan Bithaman Ajil Ciri-ciri perjanjian pada pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil adalah : a) Perjanjian campuran (sui generis) karena di satu sisi perjanjian dilaksanakan atas negosiasi para pihak (perjanjian timbal balik) dan di sisi lain ditetapkan oleh bank secara sepihak (perjanjian baku). b) Janji menurut ketentuan Hukum Islam harus ditepati. Bila memungkiri perjanjian (wan prestasi) bukan tanda-tanda orang beriman Bai as Salam Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syari adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171). Allah swt berfirman : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS al-Baqarah: 282). Ibnu Abbas ra berkata, Saya bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya ditentukan sampai waktu tertentu,
13 | A k a d E k o n o m i I s l a m

benar-benar

telah

dihalalkan

Allah

dalam

Kitab-Nya,

dan

padanya Dia membolehkannya. Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1369, Mustadrak Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18). Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, Nabi saw datang di Madinah, sedang mereka biasa membeli kurma secara ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, buat satu masa tertentu. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 429 no: 2240, Muslim III: 1226 no: 1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, Aunul Mabud IX: 348 no: 3446, Ibnu Majah II: 765 no: 2280 dan Nasai VI: 290). Dalam jual beli secara ijon tidak dipersyaratkan pihak penjual secara ijon harus sebagai pemilik penuh. Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia berkata: Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk menemui Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, Tanyakanlah kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw biasa membeli hinthah secara ijon? (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa menjawab, Dahulu kami biasa membeli hinthah, syair dan minyak kepada petani dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu tertentu (pula). Saya bertanya, Kepada orang yang punya modal pokok? Jawab Abdullah, Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. Kemudian saya diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin Abza, Adalah para sahabat Nabi saw biasa membeli barang secara ijon pada masa Beliau saw namun kami tidak pernah bertanya kepada mereka, apakah mereka punya ladang ataukah tidak. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Aunul Mabud IX: 349 no: 3447, NasaI VII: 290 dan Ibnu Majah II: 766 no: 2282). Bai as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima. Dengan kata lain, barang yang diperjualbelikan belum ada wujudnya. Pada

14 | A k a d E k o n o m i I s l a m

bank konvensional konsep ini dikenal dengan sebagai bridging financing. Dalam transaksi Bai as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot). Bai as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah Salam Paralel. Bai u Al Istisna Transaksi Bai al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan. Dalam sebuah kontrak Bai al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini dikenal sebagai Istishna Paralel Bai u Al Istijrar Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara terminologis ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu membayarnya sesudah itu. Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang ketika mengambilnya, bukan karena
15 | A k a d E k o n o m i I s l a m

pembayarannya yang ditunda sampai waktu penghitungannya. Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah, sehingga termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang menetapkan disyariatkannya jual beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang menjadi perdebatan di antara para ulama. Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena tidak diketahuinya harga pembayaran. Kalangan Hambaliyah dalam salah satu riwayat dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan. Itulah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Hal itu menurut mereka sama dengan sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah mahar. Jumlah mahar itu dikembalikan dengan standar mahar secara umum. Dan harga barang dalam jual beli ini pun dikembalikan kepada harga standar. Kemungkinan di antara dalil yang paling jelas yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini adalah karena bentuk jual beli ini sudah demikian populer di berbagai negeri dan belahan dunia, sampai di kalangan mereka yang melarangnya sekalipun. Dan tak seorangpun di antara mereka yang berani menyatakan bahwa jual beli itu batal. Abu Daud menjelaskan dalam al-Masail bab: Membeli Tanpa Mengetahui Harga, "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang seorang lelaki yang mengirim orang ke tukang sayur dan mengambil kebutuhannya satu demi satu, baru di kemudian hari ia menghitung semua pembeliannya. Beliau menjawab, 'Saya harap jual beli semacam itu tidak ada apa-apa.' Beliau ditanya, 'Apakah saat itu juga disebut sebagai jual beli?' Beliau menjawab, 'Tidak'." Ibnul Qayyim menyebutkan dalam I'lamul Muwaqqi'in: "Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga diputuskan tanpa perkiraan harga barang sesungguhnya pada saat transaksi. Bentuk aplikatifnya: Jual beli yang dilakukan dengan rekan bisnis, seperti tukang roti, tukang daging atau penjual minyak samin, atau yang lainnya. Ia mengambil kebutuhannya dari mereka dan
16 | A k a d E k o n o m i I s l a m

menghitung seluruhnya di awal bulan atau awal tahun, lalu membayarnya. Namun sebagian besar ulama melarangnya. Mereka menganggap serah terima barang itu tidak memindahkan kepemilikan. Itu adalah serah terima rusak seperti halnya serah terima barang rampasan. Karena serah terima itu dilakukan dengan transaksi yang rusak. Namun mereka semua juga melakukan jual beli tersebut, selain orang yang bersikap ekstrim. Karena mereka tidak menemukan jalan lain, meskipun mereka menyebutkan fatwa bahwa jual beli semacam itu batil, dan bahwa barang itu masih dalam kepemilikan oleh si penjual. Ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu, dalam arti mereka tidak mungkin menawar setiap kali ia membutuhkan sesuatu yang diambil, murah atau mahal. Kalau serah terima barang harus dilakukan dengan pelafalan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan pelafalan ijab dan qabul (serah terima). Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan: "Pendapat kedua: dan inilah pendapat yang tepat yakni yang selalu diamalkan oleh umat Islam di segala masa dan di segala tempat, yakni dibolehkannya jual beli itu sampai batas harga termahal. Itulah pendapat yang dinyatakan oleh Ahmad dan dipilih oleh guru kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Aku pernah mendengarnya berkata, "Itu lebih menyenangkan hati pembeli daripada tawar menawar. Dalam hal ini saya juga memi-liki panutan. Saya hanya memilih pendapat yang telah diambil oleh ulama selain saya." Kemudian jual jual beliau beli melanjutkan, itu tersebut. "Orang-orang tidak mereka yang turut melarang beli semacam tetap Bahkan mungkin

meninggalkan

melakukan-nya juga. Sementara dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah bahkan juga ijma' kaum muslimin, atau sekedar pendapat seorang sahabat maupun qiyas yang sah, tidak ada yang menjelaskan keharamannya. Di sisi lain umat Islam telah bersepakat mengang-gap sah nikah tanpa mengetahui jumlah mahar dengan memberikan mahar standar. Bahkan kebanyakan ulama juga membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan pembayaran standar, seperti me-nyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan, tukang membersihkan dan
17 | A k a d E k o n o m i I s l a m

dapur. Namun setidaknya jual beli tersebut dengan menggunakan harga standar. Jual beli semacam itu dibolehkan, sebagai-mana halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli ini ataupun jual beli lainnya. Inilah qiyas yang tepat, yang hanya dengan analogi inilah kepentingan umat dapat ditegakkan

B.Akad Titipan / Al Wadiah


Wadiah adalah perjanjian antara pihak yang memiliki barang (termasuk uang) untuk menyimpan barangnya dengan pihak lain (termasuk Bank) dengan tujuan supaya barang itu disimpan dan dijaga keselamatannya. Wadiah yang dilakukan tanpa satu syarat pun disebut Amanah (Yad Amanah). Dalam hal ini, pihak yang menyimpan tidak bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang yang

disimpan, kecuali jika kerusakan atau kehilangan itu disengajanya. Jika pihak yang menyimpan meminta izin dari pihak pemilik barang untuk untuk menggunakan barang itu atau tetap menggunakan barang itu tanpa izin, maka Wadiah seperti itu adalah Jaminan (Yad Dhamanah). Dalam hal ini, pihak yang menyimpan bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan itu. Dalam Wadiah yang berbentuk Jaminan (Yad Dhamanah), semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan barang itu menjadi hak pihak yang menyimpan.

C.Akad Bersyarikat
1) Al Musyarakah Musyarakah adalah perjanjian perkongsian antara dua atau lebih pemilik modal untuk menjalankan suatu proyek perniagaan, di mana mereka semua setuju untuk menyumbangkan modal dan berkongsi bagi hasil. Modal yang disumbangkan hendaklah berupa uang atau harta benda lainnya yang bisa dinilai dengan uang. Semua modal yang disumbangkan hendaklah dicampur, supaya semua modal itu akan menjadi hak proyek tersebut dan sudah bukan hak milik perseorangan para pemilik modal.

18 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Pengurusan proyek boleh dilakukan oleh semua pemilik modal atau beberapa orang dari mereka. Jika hanya dilakukan oleh beberapa pemilik modal, maka perlu mendapat izin dari pemilik modal yang lain. Pembagian keuntungan antara para pemilik modal dilakukan menurut nisbah yang telah mereka setujui. Nisbah pembagian keuntungan antara para pemilik modal tidak harus sejumlah dengan sumbangan modal mereka masing-masing dalam proyek tersebut. Jika ada kerugian, hendaklah ditanggung bersama oleh para pemilik modal menurut nisbah sumbangan modal masing-masing. Al Musyarakah dalam aplikasi lembaga keuangan Syariah dapat berbentuk: a) Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul). b) Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan. 2) Al Mudharabah Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga. Allah swt berfirman: Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. (QS Al-Muzzammil : 20). Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan keuntungannya. Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212). Bagi hasil antara pemilik modal dengan pengusaha adalah secara nisbah, seperti 50 : 50, 40 : 60 atau 30 : 70 menurut perundingan dan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari

19 | A k a d E k o n o m i I s l a m

persetujuan antara kedua belah pihak. Penentuan nisbah ini hendaklah dipastikan dalam perjanjian. Jika ada kerugian, semuanya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali jika kerugian itu disebabkan oleh kecurangan, penyelewengan atau penyalah-gunaan pengusaha.Produk dengan akad Mudharabah biasanya digunakan untuk produk tabungan dan deposito. Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya. (al-Ijma hal. 125). Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku. (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111). Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada pihak penyimpan dana, akad Mudharabah dibagi 2, yaitu : Mudharabah Mutlaqah Pihak bank bebas dalam menggunakan dana yang dihimpun Mudharabah Muqayyadah Pemilik dana dapat menetapkan syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh pihak bank. Akad Mudharabah Muqayyadah dibagi menjadi dua, yaitu Mudharabah Muqayyadah on balance sheet yang berarti bank ikut serta dalam proyek tersebut dan mendapat bagi hasil; sedangkan Mudharabah Muqayyadah of balance sheet bank hanya sebagai konsultan yang akan mendapat komisi karena telah mempertemukan pemilik dana dengan pelaksana usaha. 3) Muzaraah

20 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Menurut bahasa, kata muzaraah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Dari Nafi dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, Aunul Mabud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401). Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Jafar, ia berkata, Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzaraah adalah Ali, Saad bin Malik, Abdullah bin Masud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin. (Fathul Bari V: 10). Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak. Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga. Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri. Dalam muzaraah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, Bagianku sekian wasaq. Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi bin Khadij, ia bercerita, Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu. Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya
21 | A k a d E k o n o m i I s l a m

kepada Rafi, Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham? Maka jawab Rafi, Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham. Al-Laits berkata, Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai hal pengetahuan termaksud, perihal halal dan mereka haram tidak memperhatikan niscaya

membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya. (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasai VII: 43 tanpa perkataan al-Laits). Dari Hanzhalah juga, ia berkata, Saya pernah bertanya kepada Rafi bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi, Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang. (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, Aunul Mabud IX: 250 no: 3376 dan Nasai VII : 43)

D.

Akad Memberi Kepercayaan


Merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/yang ditanggung. Ada 5 jenis Kafalah, yaitu : Kafalah bin Nafs, yaitu akad yang memberikan jaminan atas diri seseorang yang dihormati dan disegani Kafalah bin Maal, yaitu jaminan pembayran barang/pelunasan barang Kafalah bin Taslim, yaitu akad yang biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada masa sewa berakhir Kafalah Al Munjazah, yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu
22 | A k a d E k o n o m i I s l a m

1) Al Kafalah

Kafalah Al Muallaqoh, yaitu penyederhanaan dari kafalah Al Munjazah baik oleh industri perbankan asuransi.

2) Al Hawalah Kata hawalah, huruf haa dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil (pemindahan) atau dari kata haaul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala anil ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu. Rasulullah saw bersabda: Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 5876). 3) Al Jualah Jualah ialah pemberian fee (hadiah) kepada pihak yang berhasil memenangkan (melaksanakan) suatu pekerjaan atau prestasi tertentu.

E. Akad Memberi Ijin / AL Wakalah


Merupakan diwakilkan. pelimahan Pihak kekuasaan hanya oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang kedua melaksankan sesuatu sebatas kuasa/wewenang yang diberikan oleh pihak pertama.

23 | A k a d E k o n o m i I s l a m

You might also like