You are on page 1of 17

Tag: pendidikan demokrasi The Moral Life of Schools Revisited: Preparing Educational Leaders to Build a New Social Order

for Social Justice and Democratic Community


by thantienhidayati on Oct.02, 2009, under Reviews <! @page { margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } A:link { color: #0000ff } >
: : JOURNAL REVIEW 1. JUDUL JURNAL Judul jurnal yang direview adalah The Moral Life of Schools Revisited: Preparing Educational Leaders to Build a New Social Order for Social Justice and Democratic Community. Jurnal ini didapatkan dari International Journal of Urban Education Leadership (IJUEL) Vol.1/2006 halaman 113 yang diakses pada 14 April 2008 dari http://www.uc.edu/urbanleadership/current_issues.htm. 2. PROFIL PENULIS JURNAL Penulis jurnal ini adalah Dr. Louise Anderson Allen. Beliau adalah Associate Professor dan Ketua Program Studi Doktoral Educational Leadership di Fayetteville State University, South Carolina, USA. Selain itu, beliau juga menjadi administrator staf utama di public schools of Charleston, South Carolina, USA. Beliau mendapatkan post-doctoral fellowship dari Avery African-American Research Center di College of Charleston. Penelitiannya meliputi publikasi nasional dan presentasi mengenai Southern Women Educational Leaders of the Progressive Era, kepemimpinan dalam pendidikan, dan sejarah kurikulum di abad 20. 3. ALASAN PEMILIHAN JURNAL Jurnal ini dipilih untuk direview sebab pokok bahasan dalam jurnal tersebut berhubungan dengan pengembangan profesi kependidikan. Jurnal ini menggambarkan usaha -usaha penulis jurnal dalam kapasitasnya sebagai ketua program studi doktoral Educational Leadership pada Fayetteville State University di South Carolina, USA, dalam rangka mengembangkan kompetensi profesi mahasiswanya yang mayoritas adalah kepala sekolah (pimpinan lembaga pendidikan) melalui perbaikan kurikulum program studi doktoral tersebut. Selain itu, jurnal ini merupakan jurnal berskala internasional sehingga kredibilitas penulis jurnal tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Topik yang diambil oleh penulis jurnal ini secara umum juga sangat relevan dengan kondisi yang terjadi pada ruang lingkup jurusan MKPP UMM, sehingga dengan direviewnya jurnal ini, harapannya dapat menjadi bahan refleksi bagi pengembangan jurusan MKPP UMM di masa mendatang. 4. SISTEMATIKA POKOK BAHASAN JURNAL Dalam penulisannya, jurnal ini secara sistematis terbagi dalam beberapa pokok bahasan yang terbingkai dalam 6 sub judul sebagai berikut:

1. The Challenge for New Social Order


Dalam sub judul ini, penulis jurnal menguraikan latar belakang permasalahan yang dijadikan dasar pemikiran penulisan jurnal tersebut (paragraf 1-5), dan juga gambaran mengenai pokok-pokok bahasan yang akan diuraikan dalam jurnal tersebut secara singkat (paragraf 5 7).

1. Program Evaluation
Penulis jurnal memaparkan metode penelitian yang digunakannya untuk mendapatkan data mengenai pokok permasalahan yang dihadapi oleh program pendidikan doktor l yang a dipimpinnya, berikut hasil dari penelitian tersebut (paragraf 1-8).

1. Diversity and Critical Theory/Inquiry


Dalam sub judul ini, penulis jurnal merujuk berbagai macam teori yang dijadikan landasan olehnya dalam mengemukakan pernyataan-pernyataan (paragraf 1-5). Sebagai metode dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi, teori tersebut juga dijadikan sebagai dasar pemikiran oleh penulis jurnal dalam merumuskan metode pemecahan permasalahan tersebut (paragaraf 6). Penulis jurnal kemudian memaparkan bahwa data awal mengenai pokok-pokok permasalahan yang dihadapi oleh program pendidikan doktoral yang didapatkan melalui penelitian yang telah dilakukan olehnya dan teori-teori yang relevan telah mendukung terjadinya perubahan dalam program studi tersebut sebagaimana akan dijelaskan pada sub judul selanjutnya (paragaf 7).

1. Creating Democratic Classroom


Metode dalam memecahkan permasalahan masih dibahas oleh penulis jurnal pada pokok bahasan awal dalam sub judul ini (paragraf 1-2). Selebihnya, penulis jurnal mengusung konsep-konsep pendidikan demokratis sebagai dasar pemikiran dalam menciptakan kelas yang demokratis pada program pendidikan doktoral yang dipimpin olehnya (paragraf 3 -7).

1. The Moral Life of Schools


Dalam sub judul ini, penulis jurnal masih memaparkan metode pemecahan permasalahan yang telah diaplikasikannya (paragraf 1-2), berikut bahasan mengenai hasil pemecahan permasalahan tersebut (paragraf 3-8).

1. Future Directions
Penulis jurnal menguraikan kesimpulan yang dibuat olehnya (paragraf 1-3), dan juga memberikan saran (paragraf 4), serta rekomendasi (paragraf 5), terkait dengan pokok bahasan dalam jurnal tersebut. 5. REVIEW JURNAL Sepintas kita akan terpesona ketika membaca judul jurnal karya Louise Anderson Allen ini: The Moral Life of Schools Revisited: Preparing Educational Leaders to Build a New Social Order for Social Justice and Democratic Community. Kemudian, kita akan langsung mengarahkan pikiran kita pada suatu bentuk program pendidikan yang memang dipersiapkan untuk melahirkan pemimpin pemimpin generasi baru yang sangat menjunjung keadilan sosial dan demokrasi dalam membangun tatanan sosialnya yang baru. Dari judul tersebut kita akan berasumsi bahwa telah lahir sebuah program pendidikan alternatif yang begitu menjunjung moralitas dan tentunya sangat berbeda dengan program-program pendidikan yang telah ada saat ini. Dan setelah membaca keseluruhan jurnal ini, ternyata pembaca akan cukup dikejutkan dengan apa yang disuguhkan oleh Allen, sebab ia memberikan lebih dari sekedar judul yang membuat kita terpesona, yaitu sebuah konsep yang sebenarnya sudah cukup lama dikemukakan namun aplikasinya terbilang cukup baru karena diterapkan pada program pendidikan doktoral Educational Leadership di Fayetteville State University, South Carolina, USA, dimana Allen menjadi ketua program studinya. Konsep yang dimaksud tentunya adalah konsep The Moral Life of Schools, yang sebenarnya adalah judul dari sebuah buku referensi yang digunakan dalam program pendidikan doktoral tersebut. Buku karya P. Jackson, R. Boostrom, dan D. Hansen yang diterbitkan pada tahun 1993 tersebut mengetengahkan isu moralitas dalam kurikulum, kelas, budaya dari beberapa sekolah yang berbeda (hal 7). Isi jurnal ini memang cukup tidak terduga, sebab ketika kurikulum perguruan tinggi telah meminimalisir mata kuliah yang

berkaitan dengan pokok bahasan demokrasi dan tidak secara terang -terangan mempraktekkan kelas yang demokratis, Allen mencoba untuk mengaplikasikannya pada program pendidikan doktoral, dan memang hasilnya sangat mengejutkan. Alasan yang paling utama mengapa hal tersebut begitu tidak terduga sebenarnya adalah karena asumsi yang telah berkembang pada masyarakat bahwa belasan tahun studi pada pendidikan tingkat dasar dan menengah dianggap telah lebih dari cukup untuk memahami bagaimana seharusnya demokrasi dipraktekkan. Namun kita tahu bahwa memahami demokrasi adalah dengan mempraktekkan demokrasi itu sendiri, dan demokrasi yang selama ini dipelajari di sekolah-sekolah adalah hanya sebatas definisi dari sebuah konsep yang didapatkanoleh peserta didik melalui metode hapalan sebab kebanyakan sekolah mempraktekkan apa yang disebut oleh Paulo Freire dengan banking concept of education (Freire, 2003). Sehingga sebenarnya cukup masuk akal bila mahasiswa pada tingkat doktoral sekalipun ternyata masih belum memiliki kesadaran kritis dalam memandang isu seputar keadilan sosial dan demokrasi dalam dunia pendidikan sebelum akhirnya disadarkan oleh perubahan yang diprogramkan oleh Allen (hal 3). Jurnal ini diawali oleh Allen dengan paparannya mengenai latar belakang permasalahan yang dihadapi oleh yang ia sebut dengan the new social order. Walaupun setting permasalahan yang dikemukakan oleh Allen adalah permasalahan yang terjadi di benua Amerika, namun permasalahan permasalahan tersebut juga dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia. Terutama masalah kesenjangan antara teori dan praktek pada program-program pendidikan di perguruan tinggi, yang juga dihadapi oleh perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Implikasi yang fatal dari permasalahan tersebut bukanlah peningkatan jumlah pengangguran terdidik, seperti di Indonesia melainkan inkompetensi lulusan yang telah berprofesi. Allen menjelaskan bahwa permasalahan kesenjangan antara teori dan praktek yang terjadi pada perguruan tinggi akan berakibat cukup fatal. Sebabnya, program-program pendidikan tersebut diantaranya melahirkan para pemimpin lembaga pendidikan yang memiliki peran strategis dalam proses pembelajaran peserta didik, terlebih lagi di era yang sangat mengedepankan akuntabilitas dan standarisasi di segala bidang (hal 1). Sehingga bila program pendidikan tersebut hanya berorientasi pada teori yang tidak membumi, maka akan dapat diramalkan bahwa para pemimpin lembaga pendidikan hasil program pendidikan pada perguruan tinggi tidak akan dapat menjawab dengan tuntas segala tantangan permasalahan yang akan mereka hadapi. Allen juga memaparkan bahwa segala tuntutan dari stakeholder seperti masyarakat, pemerintah, dan peserta didik sendiri, menjadi hal yang cukup dilematis bagi perguruan tinggi yang diharapkan dapat memuaskan keinginan dari seluruh pihak tersebut (hal 1). Nyatanya, tuntutan semacam itu juga dialami oleh perguruan tinggi di Indonesia. Tetapi sayangnya, kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia hanya berusaha memuaskan keinginan para pengelola pasar yang memang didukung oleh kebijakan pemerintah dibalik alasan minimalisasi jumlah pengangguran terdidik sebagaimana tercantum dalam HELTS 2003-2010 (Depdiknas, 2003). Memang kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia telah mengedepankan relevansi teori dan praktek dengan konsep link and match, tetapi dalam dunia kerja perburuhan, dan bukan konsep tersebut yang dimaksudkan oleh Allen dalam jurnal ini. Melainkan kesinambungan antara teori dan praktek dalam bingkai teori kritis. Sehingga tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia (Murtiningsih, 2006) benar-benar dapat dicapai oleh lembaga pendidikan yang dipimpin oleh para pemimpin lembaga pendidikan yang menjadi peserta didik dalam program pendidikan di perguruan tinggi. Dan menurut Allen, memang sudah saatnya bagi para pendidik perguruan tinggi untuk mulai mengevaluasi bagaimana mereka mempersiapkan para pimpinan lembaga pendidikan yang menjadi peserta didik dalam program pendidikan tersebut, dalam menghadapi kompleksitas budaya dan persekolahan dengan membantu mereka untuk membingkai kembali isu seputar pendidikan, mengembangkan kemampuan mereka dalam menganalisis pendapat mereka tentang sekolah, dan menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai ekuitas dan keadilan sosial (hal 1). Pada paragraf ketiga, Allen menyatakan bahwa dirinya sangat sepakat bahwa sekolah dan tentu saja pimpinan sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokratis (hal 1). Namun sayangnya, Allen juga menyebutkan hasil dari beberapa penelitian untuk mendukung pernyataannya tersebut, bahwa struktur pembelajaran yang demokratis akan meningkatkan prestasi peserta didik, yang menurut saya kurang relevan dengan tujuan pendidikan yang diusung para pedagog pendidikan kritis. Kecuali prestasi yang dimaksudkan olehnya adalah prestasi dalam hal peningkatan pemahaman peserta didik akan fitrahnya sebagai manusia dalam memahami konteks realitas dehumanisasi yang telah terjadi di sekitarnya.

Allen menyepakati apa yang pernah dinyatakan oleh Dewey bahwa lembaga pendidikan harus menjunjung tinggi asas demokrasi sehingga kebebasan dalam berpendapat dan akses informasi juga harus terjadi (hal 2). Namun yang menjadi pertanyaan Allen, terkait dengan definisi Dewey tersebut, adalah bagaimana sekolah dapat benar-benar bersifat publik, bila program-program pendidikan pada perguruan tinggi tidak menjunjung tinggi kepemimpinan yang demokratis diantara peserta didiknya dalam rangka mempersiapkan mereka untuk menghadapi kompleksitas budaya dan persekolahan? Dan bagaimana para pimpinan sekolah dapat menciptakan sekolah yang demikian di era standarisasi dengan keberagaman peserta didik yang terus berkembang? Menurut Scheurich dan Laible, seperti dikutip oleh Allen, bahwa yang menjadi pertanyaan bukanlah apa yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi untuk merubah diri, melainkan sebuah kemauan dari perguruan tinggi tersebut untuk merubah diri. Dan inilah yang akan diuraikan secara panjang lebar oleh Allen pada bagian jurnal yang selanjutnya, yaitu evolusi dari program pendidikan doktoral yang diketuai olehnya dalam melakukan sebuah perubahan diri. Jurnal ini akan memaparkan bagaimana pihak program studi doktoral tersebut menggunakan data hasil evaluasi program studi dalam menciptakan kelas yang mempraktekkan pemikiran kritis dan refleksi, serta mengajarkan peserta didik yang notabene adalah para pimpinan lembaga pendidikan dan administrator sekolah untuk mengembangkan budaya konstientiasi (hal 2). Perubahan yang diusung oleh Allen melalui proyek The Moral Life of Schools ini diadakan setelah ia melakukan penelitian pada tahun 2001. Pada penelitian tahap pertama tersebut, Allen terbilang cukup baru dalam institusi tersebut sehingga keseluruhan data dikumpulkan sendiri olehnya. Data yang dikumpulkan adalah hasil evaluasi perjalanan program studi doktoral tersebut setelah 5 tahun berdiri (hal 2). Responden terdiri dari seluruh kelompok stakeholder termasuk mahasiswa yang sedang menempuh studi maupun yang telah menyelesaikan studi, para pegawai, pengawas, dosen, dan pihak dekanat fakultas (hal 3). Data dikumpulkan melalui metode survey dan wawancara yang terfokus pada pengalaman responden selama menempuh studi pada program pendidikan doktoral. Data dari responden selain mahasiswa dikumpulkan melalui survey dengan pertanyaan yang terfokus pada seberapa baik program pendidikan doktoral ini mempersiapkan mahasiswa dalam pengerjaan tugas-tugas tertentu berikut tanggung jawab yang menyertainya. Menurut saya, penelitian yang oleh Allen dianggap sebagai data awal sebelum pelaksanaan proyek The Moral Life of Schools ini adalah suatu metode dalam merumuskan masalah yang sedang dihadapi oleh program doktoral yang diketuai olehnya. Berikut ini adalah hasil dari penelitian tahap pertama tersebut yang tentunya menggambarkan kondisi permasalahan yang sedang dihadapi oleh program pendidikan doktoral tersebut: y Hampir seluruh respon dari hasil penelitian pertama menyatakan bahwa responden menyukai pengalaman yang telah mereka dapatkan selama menempuh studi pada program pendidikan doktoral tersebut. Allen menjelaskan bahwa ada 6 rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian pertama, namun cukup disayangkan karena Allen tidak menyebutkan apa saja ke -6 item tersebut. Ia hanya menyatakan bahwa yang menjadi pokok bahasan dalam jurnal tersebut hanyalah item rekomendasi yang terakhir, yaitu: mereview kurikulum program studi doktoral untuk menyertakan mata kuliah yang terfokus pada bahasan mengenai isu kurikulum dan isu keberagaman budaya (hal 3). Selain itu, ada sebuah respon yang sangat men arik dari seorang staf dekanat fakultas yang mengatakan bahwa kebanyakan mahasiswa program pendidikan doktoral tersebut tidak memahami hal-hal pokok yang menjadi kunci dalam perdebatan mengenai isu-isu pendidikan (hal 5).

Dari hasil penelitian tesebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh program studi doktoral yang diketuai oleh Allen ini adalah bagaimana pihak program studi dapat memfasilitasi keinginan para stakeholder untuk menyertakan mata kuliah yang terfokus pada bahasan mengenai isu kurikulum dan isu keberagaman budaya melalui review kurikulum. Dan masalah tersebut dipecahkan oleh Allen dengan merekonstruksi silabus perkuliahan dengan mengadakan proyek penugasan pada 2 mata kuliah (hal 5), yang nantinya akan banyak dibahas secara le terperinci bih pada sub judul berikutnya. Keberhasilan Allen atas metode pemecahan masalah tersebut didokumentasikan olehnya melalui penelitian tahap kedua yang dilakukan setelah perubahan pada kurikulum program studi doktoral tersebut diimplementasikan. Penelitian tahap kedua diadakan pada tahun 2003 oleh para mahasiswa

sendiri. Menurut Allen, hal ini dilakukan untuk menjamin keterbukaan dan kebebasan respon para mahasiswa itu sendiri (hal 2). Data diperoleh melalui survey dan focus group interviews dengan 28 orang dari jumlah total 32 orang mahasiswa doktoral yang menempuh studi sejak perubahan dilakukan secara terprogram oleh pihak program studi doktoral. Pertanyaan dalam survey meliputi isu seputar keadilan sosial, ekuitas, pembelajaran terpusat pada peserta didik, No Children Left Behind, dan pedagogik kritis untuk perbaikan lembaga pendidikan (hal 3). Survey ini dilakukan untuk meminimalisir respon yang memaparkan bagaimana keyakinan filosofis para responden mengalami perubahan sebagai implikasi dari proses pembelajaran yang mereka lakukan, dan yang memaparkan bagaimana pemahaman mereka mengenai hubungan antara teori dan praktek. Sedangkan focus group interview juga dilakukan dengan pertanyaan seputar isu keadilan sosial, dan aplikasinya pada program pendidikan doktoral tersebut, serta bagaimana mencapai keadilan sosial di era yang begitu mengedepankan akuntabilitas seperti saat ini. Responden pada penelitian tahap dua sangat menyukai program pendidikan doktoral yang kurikulumnya memfokuskan diri pada isu keberagaman, pedagogik kritis, dan demokratisasi. Berikut ini adalah hasil survey dari 28 orang responden: y 85% dari keseluruhan responden memberikan indikasi respon bahwa mereka mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai peran yang sangat penti g dari isu keberagaman n dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat pada masa mendatang, selama studi yang telah mereka tempuh. 88% responden menyatakan bahwa educational leaders harus memastikan bahwa seluruh pendapat yang terkait dengan sekolah dan perubahan sistem secara menyeluruh harus didengarkan. 93% responden merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab dalam membuka peluan g bagi seluruh stakeholder pada sekolah mereka.

Berikut ini adalah hasil dari focus group interviews berdasarkan 3 pertanyaan yang dikemukakan pada responden: y Diindikasikan bahwa para responden menyadari bahwa mereka telah menyadari bahwa dirinya telah mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai keadilan sosial pada sekolah mereka, setelah menempuh studi pada program pendidikan doktoral (hal 3). Respon terhadap pertanyaan mengenai keadilan sosial di era akuntabilitas sangatlah bervariasi dan sarat dengan berbagai macam pertanyaan (hal 3-4). Terungkap dari hasil respon bahwa para mahasiswa tersebut yakin bahwa pembelajaran mengenai keadilan sosial memiliki korelasi langsung dalam dalam mengubah para educational leaders dalam kapasitasnya sebagai praktisi (hal 4). Hasil dari seluruh jawaban responden mengindikasikan kebutuhan mereka yang teramat sangat untuk studi lebih lanjut mengenai penelitian yang terkait dengan keadilan sosial (hal 4), dan studi yang telah mereka tempuh tersebut selalu berimplikasi pada aksi sosial yang mereka terapkan pada lembaga pendidikan mereka (hal 3-4).

y y

Proyek inisiasi Allen tersebut dapat dikatakan cukup berhasil dalam mengubah mahasiswa. Para mahasiswa yang dulunya hanya memiliki kesadaran magis dan naif, beranjak berubah me miliki kesadaran kritis akibat studi yang telah mereka tempuh pada program doktoral tersebut. Terbukti dari pernyataan seorang mahasiswa yang seolah terkejut dengan realitas yang selama ini dipahaminya sebagai sesuatu parsial, My understanding was embryonic; I tended to view injustices as isolated happenings; what Ive come to understand is: social injustices is built into education as a wholeas long as you are part of establishment you are part of the problem. And you have to break out that mold to open your eyes (hal 3). Dan mahasiswa tersebut dapat diindikasikan telah sampai pada kesadaran kritisnya, sebagaimana dikemukakan oleh Paulo Freire bahwa kesadaran kritis adalah kesadaran manusia dalam melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah dan men ghadapi ketidakadilan dengan mengidentifikasinya, menganalisis bagaimana ia bekerja, dan bagaimana mentransformasinya (Topatimasang, dkk, 2001). Sebagaimana dipaparkan oleh Giroux (Nuryatno, 2003), bahwa kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) pada sebuah lembaga pendidikan merujuk pada norma, nilai, dan sikap bawah sadar

yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi sosial di kelas maupun pada lingkungan lembaga pendidikan tersebut. Dalam artian yang positif, saya sangat sepakat bahwa kurikulum gubahan Allen tersebut dapat menjadi salah satu kekuatan yang cukup besar sebagai media pertumbuhan kesadaran kritis mahasiswa mengenai isu seputar keadilan sosial dan demokrasi dalam dunia pendidikan melalui bingkai The Moral Life of Schools. Pada sub judul yang ketiga, Allen membahas mengenai isu keberagaman dan teori kritis. Sebagaimana dikutip oleh Allen dari hasil penelitian Orozco, dinyatakan bahwa sebagian besar proyeksi demografis memperkirakan bahwa pada tahun 2040, separuh penghuni Amerik Serikat a adalah penduduk yang dulunya adalah kaum minoritas. Dan menurut Allen, kebanyakan program pendidikan pada perguruan tinggi tidak mempersiapkan mahasiswa yang menjadi calon pimpinan lembaga pendidikan untuk memahami dan menerima perubahan tersebut terkait implikasinya dengan sekolah mereka (hal 4). Walaupun sebenarnya keberagaman yang dimaksud tidak hanya sebatas keberagaman etnis dan budaya saja, melainkan termasuk pula keberagaman ide yang tentunya lebih luas lagi cakupannya. Allen juga mengutip pernyataan McLaren yang disepakatinya, bahwa teori kritis menjadi semacam kacamata bagi para pimpinan lembaga pendidikan dalam merefleksikan secara kritis dan menganalisis asumsi dan sistem kepercayaan mereka mengenai keberagaman, sementara itu teori kritis juga membantu mereka dalam menemukan solusi yang lebih baik dalam praktek praktek persekolahan yang mereka jalani (hal 4). Lalu Allen mengakhiri tulisan pada sub judul ketiga ini dengan menyatakan bahwa rangkuman data hasil penelitian yang ia lakukan ten tang evaluasi program studi doktoral yang diketuainya tersebut dan juga studi pustaka yang relevan telah menjadi dasar bagi perubahan yang telah dilakukan oleh program studi doktoral tersebut, yang hasilnya memang telah cukup kentara dalam melakukan transformasi pada keyakinan dan praktek-praktek yang dilakukan oleh para pimpinan lembaga pendidikan ini. Pokok bahasan yang disampaikan oleh Allen pada sub judul ke empat adalah tentang bagaimana menciptakan kelas yang demokratis. Sebagaimana diindikasikan dari hasil penelitian tahap pertama, bahwa mahasiswa harus dipersiapkan dengan lebih baik dalam menghadapi isu keberagaman, maka perubahan pada program studi doktoral tersebut diawali dengan pengajaran mengenai keberagaman pada mata kuliah pengantar dan seminar inter disipliner yang terarah pada ide, nilai, budaya dan isu kontemporer yang mempengaruhi masyarakat secara umum, dan pendidikan secara khusus, dan untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai multikulturalisme, ras, etnis, gender, dan penyandang cacat (hal 5). Dengan struktur silabus yang sangat terbuka, dosen pengampu diarahkan agar tidak terfokus pada arti keberagaman secara definitif melainkan pada implikasi keberagaman pada sekolah atau lembaga pendidikan, dan bagaimana para pimpinan lembaga pendidikan dapat mewadahi keberagaman menjadi hal yang positif bagi peserta didik dan warga sekolah lainnya. Allen berharap untuk mengaplikasikan konsep John Dewey mengenai konsep pendidikan yang demokratis dalam kelas program pendidikan doktoral yang d iketuainya, sebab itulah ia cukup banyak mengulas secara terperinci mengenai praktek pendidikan yang demokratis ala John Dewey dalam jurnalnya (hal 6-7). Pada sub judul selanjutnya, Allen menguraikan dengan cukup jelas mengenai proyek pengerjaan tugas yang bertajuk The Moral Life of Schools yang diterapkan pada program pendidikan doktoral tersebut (hal 7-9). Proyek pengerjaan tugas tersebut bertujuan untuk mengembangkan sense of community mahasiswa melalui kenyataan yang terjadi di sekolah mereka masing-masing, lalu menganalisisnya, dan mengidentifikasi isu sosial, politik, dan permasalahan yang dihadapi oleh kurikulum sekolah. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa kerangka yang digunakan dalam proyek penugasan tersebut adalah buku The Moral Life o Schools sebagai alat untuk f menganalisis prioritas-prioritas sekolah dengan kacamata kepemimpinan yang bermoral (hal 7). Berdasarkan buku tersebut, 13 orang mahasiswa program pendidikan doktoral tersebut mengerjakan sebuah proyek investigasi mengenai ekspresi moral dari isu keadilan sosial dalam subkultur kurikulum dari beberapa sekolah secara kualitatif (hal 7). Investigasi yang dilakukan meliputi observasi kelas yang dilakukan selama 8 minggu di sekolah, dan hal ini tentunya menjadi tidak mudah bagi para pimpinan lembaga pendidikan tersebut (hal 8). Dari hasil investigasi yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut, banyak yang merasa sangat terkejut dengan berbagai ketidakadilan yang secara nyata terjadi di sekolah mereka, semisal dengan pembunuhan karak siswa melalui ter marjinalisasi yang dilakukan oleh guru, metode drilling dan hapalan yang dilakukan oleh guru untuk sekedar mengejar nilai tes kelulusan, dan tidak adanya pendidikan moral yang ditanamkan oleh guru pada siswa (hal 8). Fakta-fakta hasil pengamatan para mahasiswa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Dehumanisasi pendidikan dengan tidak memanusiakan peserta

didik melalui metode hapalan dan tes-tes kelulusan malahan selalu didukung oleh kebijakan pemerintah, begitu pula dengan yang terjadi di Indonesia. Masih segar dalam ingatan, kasus gugatan terhadap pemerintah karena implementasi kebijakan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dianggap merugikan para peserta didik yang terjadi pada awal tahun 2007. Dalam putusanny Majelis hakim a, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pemerintah sebagai tergugat telah dinyatakan lalai memenuhi hak pendidikan warga negara dan diwajibkan meninjau ulang sistem pendidikan nasional, memperbaiki mutu guru, sarana pendidikan dan penyebaran informasi yang tidak sama di seluruh daerah sebelum pelaksanaan UAN selanjutnya. Selain itu, pemerintah juga diperintahkan untuk menyerap aspirasi dari masyarakat dalam menyusun kebijakan sistem pendidikan nasional. Namun, kenyataan pada hari ini berbicara lain, pasalnya, hingga tahun ajaran 2008-2009 ini pun, pemerintah tetap saja mengadakan ujian berstandar nasional yang digunakan sebagai standar penentu kelulusan peserta didik yang secara terang-terangan juga bertentangan dengan implementasi KTSP. Pendidikan yang memanusiakan manusia tentunya tidak akan menggunakan sistem penilaian secara kuantitatif hanya untuk sekedar mengukur kemampuan peserta didik secara kognitif. Sebab education is not schooling sehingga pendidikan terjadi sepanjang hayat dan kehidupanlah yang berhak menilai peserta didik atau individu tersebut. Tidak sedikit kasus peserta didik yang mengalami depresi karena adanya proses penilaian dalam lembaga pendidikan mereka yang jelas sekali merugikan mereka secara psikologis. Melongok pada sistem pendidikan Finlandia yang sering disebut-sebut sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia, peserta didik malah menjadi sangat berkembang. Evaluasi yang mereka lakukan pada peserta didik, hasilnya digunakan untuk menilai keberhasilan tenaga pendidik dan lembaga pendidikan dalam proses pendidikan dan bukan digunakan untuk menilai keberhasilan siswa menghapal ilmu pengetahuan yang ditransfer dari tenaga pendidik dan buku teks pelajaran semata, yang tentu saja mengabaikan maksim moral Immanuel Kant. Jelas sekali bahwa sistem pendidikan di Finlandia sangatlah memahami definisi assesment in education secara filosofis, yaitu untuk mengevaluasi keberhasilan lembaga pendidikan, sebagaimana diungkapkan oleh Alexander W. Austin, sehingga sekolah tidak berfun gsi sebagai produsen angka-angka yang sangat merendahkan peserta didik dan mempersempit makna proses pendidikan. Menurut Allen dalam pokok bahasannya pada sub judul terakhir, memang tidak ada jaminan bahwa perubahan program dan kurikulum yang diadakan pada program pendidikan doktoral yang diketuai olehnya dapat berimplikasi lebih luas dari sekedar mahasiswa-mahasiswa tersebut (hal 9). Namun, saya sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Allen bahwa bila kita ingin melakukan sebuah perubahan, maka kita harus memulainya pada suatu tempat, entah dimanapun tempatnya. Ia menyimpulkan bahwa pendidik harus memiliki pemikiran yang kritis sehingga dapat menganalisis praktek-praktek yang memarjinalisasikan siswa dan mengistimewakan siswa lainnya (praktek ketidakadilan), dan kompetensi pendidik yang demikian akan dapat dicapai bila program pendidikan pada perguruan tinggi mempersiapkan kurikulum yang akan melahirkan pendidik yang berparadigma kritis. Dan dengan kompetensi tersebut, harapannya mahasiswa yang menjadi pimpinan lembaga pendidikan atau administrator sekolah maupun pendidik dapat menularkan kesadaran kritisnya pada warga sekolah lainnya (hal 9-10). Sehingga jumlah individu yang tersadarkan secara kritis akan semakin meluas. Penelitian yang dilakukan oleh Allen ini sangatlah efektif bagi saya dalam memahami bahwa pengembangan kompetensi profesi tenaga pendidik dan kependidikan akan dengan sendirinya dilakukan oleh individu-individu tersebut secara sadar bila mereka disadarkan melalui program pendidikan yang melahirkan mereka. Sehingga pengembangan kompetensi profesi tersebut secara utama, sebenarnya merupakan tanggung jawab lembaga pendidikan tenaga pendidik dan kependidikan. Dan bila lembaga-lembaga pendidikan tersebut tidak segera memutus siklus dehumanisasi yang diusung oleh paham neoliberal dewasa ini, maka proses penjinakan budaya dan dehumanisasi yang terjadi di sekolah-sekolah akan terus berlangsung.

DEMOKRASI PENDIDIKAN
1. A. Pengertian Demokrasi Pendidikan Pendidikan yang demokratik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya. Pengertian demokratik di sini mencakup arti baik secara horizontal maupun vertikal. Maksud demokrasi secara horizontal adalah bahwa setiap anak, tidak ada kecualinya, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan sekolah. Hal ini tercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu : Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Sementara itu, demokrasi secara vertikal ialah bahwa setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan sosial, dan sebagainya). Di kalangan Taman Siswa dianut sikap tutwuri handayani, suatu sikap demokratis yang mengakui hak si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya. Dengan demikian, tampaknya demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelola pendidikan. Sedangkan demokrasi pendidikan dalam pengertian yang luas mengandung tiga hal yaitu : 1. Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia Demokrasi pada prinsip ini dianggap sebagai pilar pertama untuk menjamin persaudaraan hak manusia dengan tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama dan bangsa. Dalam pendidikan, nilai-nilai inilah yang ditanamkan dengan memandang perbedaan antara satu dengan yang lainnya baik hubungan antara sesama peserta didik atau hubungan dengan gurunya yang saling menghargai dan menghormati. 1. Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat Dari prinsip inilah timbul pandangan bahwa manusia itu harus dididik, karena dengan pendidikan itu manusia akan berubah dan berkembang ke arah yang lebih sehat, baik dan sempurna. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik untuk berpikir dan memecahkan persoalanpersoalannya sendiri secara teratur, sistematis dan komprehensif serta kritis sehingga anak didik memiliki wawasan, kemampuan dan kesempatan yang luas. 1. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama

Dalam konteks ini, pengertian demokrasi tidaklah dibatasi oleh kepentingan individuindividu lain. Dengan kata lain, seseorang menjadi bebas karena orang lain menghormati kepentingannya. Oleh sebab itu, tidak ada seseorang yang karena kebebasannya berbuat sesuka hatinya sehingga merusak kebebasan orang lain atau kebebasannya sendiri. Kesejahteraan dan kebahagiaan hanya tercapai bila setiap warga negara atau anggota masyarakat dapat mengembangkan tenaga atau pikirannya untuk memanjukan kepentingan bersama karena kebersamaan dan kerjasama inilah pilar penyangga demokrasi. Berkenaan dengan itulah maka bagi setiap warga negara diperlukan hal-hal sebagai berikut : 1. pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah kewarganegaraan (civic), ketatanegaraan, kemasyarakatan, soal-soal pemerintahan yang penting; 2. suatu keinsyafan dan kesanggupan semangat menjalankan tugasnya dengan mendahulukan kepentingan negara atau masyarakat daripada kepentingan sendiri; 3. suatu keinsyafan dan kesanggupan memberantas kecurangan-kecurangan dan perbuatan-perbuatan yang menghalangi kemajuan dan kemakmuran masyarakat dan pemerintah. 4. B. Prinsip-prinsip demokrasi dalam pendidikan Dalam setiap pelaksanaan pendidikan selalu terkait dengan masalah-masalah antara lain : 1. Hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan 2. Kesempatan yang sama bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan 3. Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka Dari prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat banyak dipengaruhi oleh alam pikiran, sifat dan jenis masyarakat dimana mereka berada, karena dalam realitasnya bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan penghidupan masyarakat. Misalnya masyarakat agraris akan berbeda dengan masyarakat metropolitan dan modern, dan sebagainya. Apabila yang dikemukakan tersebut dikaitkan dengan prinsip-prinsip demokrasi pendidikan yang telah diungkapkan, tampaknya ada beberapa butir penting yang harus diketahui dan diperhatikan,diantaranya : 1. Keadilan dalam pemerataan kesempata belajar bagi semua warga negara dengan cara adanya pembuktian kesetiaan dan konsisten pada sistem politik yang ada; 2. Dalam upaya pembentukan karakter bangsa sebagai bangsa yang baik; 3. Memiliki suatu ikatan yang erat dengan cita-cita nasional. Sedangkan pengembangan demokrasi pendidikan yang berorientasi pada cita-cita dan nilai demokrasi, akan selalu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini : 1. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan nilai-nilai luhurnya 2. Wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur 3. Mengusahakan suatu pemenuhan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran nasional dengan memanfaatkan kemampuan pribadinya,

dalam rangka mengembangkan kreasinya ke arah perkembangan dan kemajuan iptek tanpa merugikan pihak lain. 4. C. Prinsip-prinsip demokrasi dalam pandangan islam Acuan pemahaman demokrasi dan demokrasi pendidikan dalam pandangan ajaran Islam bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. 1. Di dalam Al-quran : 1. Surat Asy-Syura ayat 38

dan (bagi) orang-rang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. 1. Surat An-Nahl ayat 43

dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. 1. Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim (baik pria maupun wanita) 1. D. Demokrasi pendidikan di Indonesia Sebenarnya bangsa Indonesia telah menganut dan mengembangkan asas demokrasi dalam pendidikan sejak diproklamasikannya kemerdekaan hingga sekarang. Hal ini terdapat dalam : 1. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2. 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5, 6, 7 dan pasal 8 ayat 1, 2 dan ayat 3. 3. Garis-garis Besar Haluan Negara di Sektor Pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006 Prasetya Tri, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000

DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI


Oct 27, 2009 masri.prima | Uncategorized

Pengertian demokrasi
Secar etimologis, demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan atau kratein yang berarti memerintah. Demokrasi dapat diterjemahkan sebagai Rakyat berkuasa . Dengan kata lain demokrasi adalah pemerintahan yang dijalan kan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung ( melalui perwakilan ). Den gan demikian dalam suatu Negara yang menganut sistem pemerinthan demokrasi, kekuasaan tertinggi nyaada ditangan rakyat sebagaimana pengertian demokrasi yang diucapkan olehAbraham Lincoln the goverment from the people, by the people and for the people ( suatu pemerinthan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakya) Jadi demokrasi berarti kekuasaan berarti kekuasaan dari rakyat. Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan rakyat yang berkuasa sekaligus diperintah pemerintahan dalam Negara demokrasi pada dasarnya adalah pilihan rakyat yang berdaulat dan diberi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan Negara serta mempertanggung jawabkan pada rakyat demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Dewasa ini , bentuk demokrasi paling umum dengan jumlah penduduk kota ratusan ribu bahkan jutaan orang adalah demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan dalam demokrasi tidak langsung, para pejabat membuat UU dan menjalan kan prog ram untuk kepentingan umum atas nama rakyat. Hak hak rakyat dihormati dan dijunjung tinggi, karena pejabat itu dipilih dan diangkt oleh rakyat.

2. Pengertian pendidikan demokrasi Pendidikan demokrasi diartikan sebagai upaya sistematis yang dilakukan Negara dan masyarakat untuk memfasilitasi individu warga negaranya agar memahami, meghayati, megamall kan dan mengembangkan konsep, prinsip dan nilai demokrasi sesuai dengan status dan peran nya dalam masyarakat ( winataputra, 2006 : 12) Demokrasi memang tidak diwarisi , tetapi ditangkap dan dicerna melalui proses belajar oleh karena itu untuk memahaminya diperlukan suatu proses pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi dalam nerbagai konteks, dalam hal ini untuk pendidikan formal ( disekolah dan perguruan tinggi), non formal ( pendidikan diluar sekolah dan informal ( pergaulan dirumah dan masyarakat kulturaluntuk membangun cita cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam berbagai konteks(Winaputra,2006:19) System pemerintahan demokrasi demokrasi sebanyak cita cita kan oleh berbagai Negara. Namun upaya untuk menuju kehidupan demokrasi yang ideal tidak lah mudah. Proses mengimplementasikan demokrasi inilah sebagai system politik dalam kehidupan bernegara.

Demokrasi bertujuan menghasilkan demokrasi yang mengaju pada cirri cirri sebagai berikut : a. Proses yang tak pernah selesai, dalam arti bertahap, berkesinambungan terus menerus. b. Bersifat evolusioner dalam arto dilakukan secara berlahan. c. Perubahan bersifat damai dalam arti tanpa kekerasan ( anarkis) d. Berjalan melalui cara musyawarah; dalam arti pebedaan yang ada siselesaikan dengan cara musyawarah. Jadi, budaya demokrasi dimasyarakat akan terbentuk bialmana nilai nilai demokrasi itu sudah berkembang luas, merata, dihayati dan dijalankan sebagai sikap dan prilaku hidup pada hakikat nya budaya demokrasi akan mengembangkan nilai nilai demokrasi 3. Sejarah pertumbuhan demokrasi Pada awal nya di era yunani kuno abad ke 6-3 SM dilaksanakan demokrasi dengan system demokrasi langsung yaitu suatu bentuk proses pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara berdasarkan procedure mayoritas sistem demokrasi langsung ini efektif dalam sederhana wilayah nya terbatas, jumlah penduduk nya sedikit dan bahkan tidak semua warga Negara mempunyai hak untuk ikut menentukan keputusan keputusan politik. Pada awal pertengahan ini masyarakat bercirikan feodal dan dualisme kekuasaan antara kekuasaan antara paus dan para pejabat keagamaanlain nya dalam politik kenegaraan sering terjadi pertikaian antara kedua pusat kekuasaan tersebut. Tokoh tokoh terkenal dalam konteks adalah john locke and property dan montesquiew (1689 1755) dari perancis denan gagasan tias politika yang membagi kekuasaan mengadili ( yudikatif) Demokrasi mempunyai wujud konkret sebagai program dan system politika pada akhir abad pertengahan yang merupakan wujud pemikiran akan adanya hak hak politik rakyat agar ada jaminan hak hak politik rakyat tersebut berjalan lebih efektif, munculah gagasan untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang wenang melalui kontitusi baik yang besifat tertulis maupun tidak tertulis ( konvensi) gagasan in disebut sebagai kontitualisme. Gagasan ini dikenal sebagai Negara konstitusional ( constitutional sate) atau dalam pembahasan UUD 1945 disebut sebagai Rechtstaab atau Negara hokum. Menurut stahl ada emapat unsure Negara hokum (Re chtss taat) dalam arti klasik, yaitu adanya : 1. Hak hak manusia 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak itu; 3. Pemerintahan berdasarkan aturan atau UU;

4. Peradilan Administrasi.
Dari praktik demokrasi abad ke 19 yang menekan kan pada paham liberalism dan akses aksesnya mengubah pikiran para ahli menandai wajah baru constitutional abad ke 20

4. Teori dan konsep demokrasi Menurut Torres demokrasi dapat dilihat dari dua aspek yaitu pertama, Formal democratif dan yang kedua, substance democracy yaitu menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan ( Winataputra, 2006) System presidensial : system ini menekankan penting nya pemilihan presiden secara langsung dari rakyat. Dalam system ini kekuasaan eksekutif ( kekuasaan men jalankan pemerintah) sepenuh nya berada ditangan presiden. System parlementer : system ini menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuasaan eksekutif dan legislative. Kepala eksekutif (head of government) adalah berada ditanga seseorang perdana mentri. 1. Demokrasi Perwakilan Liberal Prinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat kenegaraan bahwa manuisa adalah sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh karena itu dalam system demokrasi ini kebebasan individu sebagai dasar fundamental dalam pelaksanaan demokrasi Menurut Held (2004:10), bahwa demokrasi perwakilan liberal merupakan suatu pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi problema keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasab. Namun demikian perlu disadari bahwa dalam prinsip demokrasi ini apapun yang dikembangkan melalui kelembagaan serta jaminan atas kebebasan individu dalam hidup bernegara. 2. Demokrasi satu partai dan komunisme Demokrasi satu partai ini lazim nya dilaksankan dinegara Negara komunitas seperti , rusia, china, Vietnam, dan lain nya. Kebebasan formal berdasarkan demokrasi liberal akan menghasilkan kesenjangan kelas yang semakin lebar dalam masyarakat, dan akhirnya kapitalislah yang emnguasai Negara. Dalam hubungan ini Marx mengembangkan pemikiran system demokrasi commune structure(struktur persekutuan ). Memnurut system demokrasi ini masyarakat tersusun atas komunitas komunitas yang terkecil. Oleh karena itu menurut komunis, Negara post kapitalis tidak akan melahirkan kemiripan apapun dengan suatu rezim liberal, yakni rezim perlementer. Semua perwakilan atau agen Negara akan dimasukkan kedalam lingkungan seperangkat institusi institusi tunggal yang bertanggung jawab secara langsung. Menurut pandangan kaum Marxis-Leninis, system demokrasi delegatif harus dilengkapi, pada prinsipnya dengan suatu system yang terpisah tetapi sama pada tingkat partai komunis.

5. Kaitan Demokrasi dan Bentuk Pemerintahan Rumuan kedaulatan ditangan Rakyat menunjuk kan bahwa kedudukan rakyatlah yang tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan Negara dan sebagai tujuan kekuasaan Negara. Oleh karena itu rakyat adalah merupakan paradigm sentral kekuasaan Negara. Adapun rincian structural ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut : a. Konsep kekuasaan Konsep kekuasaan Negara menurut demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut : 1. Kekuasaan ditangan Rakyat. a. Pembukaan UUD 1945 alinia IV b. Pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 c. Undang Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (1) d. Undang Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2) 2. Pembagian kekuasaan 3. Pembatasan Kekuasaan b. Konsep Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut : 1. Penjelasan UUD 1945 tentang pokok pikiran ke III, yaitu ..Oleh karena itu system negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia 2. Putusan majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya pasal 7B ayat 7 Ketentuan-ketentuan tersebut diatas mengandung pokok pikiran bahwa konsep pengambilan keputusan yang dianut dalam hokum tata Negara Indonesia adalah berdasarkan: a) Keputusan didasarkan pada suatu musyawarah sebagai azasnya, artinya segala keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. b) Namun demikian, jikalau mufakat itu tidak tercapai,maka dimungkinkan pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak

c. Konsep pengawasan Konsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut: 1) Pasal 1 ayat 2, Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. 2) Pasal 2 ayat 1, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas DPR dan anggota DPD. Berdaarkan ketentuan tersebut, maka menurut UUD 1945 hasil amandemen, MPR hanya dipilih melalui Pemilu. 3) Penjelasan UUD 1945 tentang kedudukan DPR disebut, kecuali itu anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka konsep kekuasaan menurut demokrasi Indonesia sebagai tercantum dalam UUD 1945 pada dasarnya adalah: a) Dilakukan oleh seluruh warga Negara. Karena kekuasaan di dalam system ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat. b) Secara formal ketatanegaraan pengawasan ada di tangan DPR d. Konsep Partisipasi Konsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut: 1) Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang dasar 1945 Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya. 2) Pasal 28 UUD 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang 3) Pasal 30 ayat 1 UUD 1945 Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara. 6. Implementasi Pendidikan Demokrasi Pembahasan tentang peranan Negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan yaitu:

a. Hamper semua Negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebihd ari 100 sarjana barat dan timur, sementaa Negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada Negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda. b. Demikrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertinggi tetapi ternyata berjalan dalam jalur yang berbeda-beda. Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam system pemerintahan, demokrasi juga melahirkan system yang bermacam-macam seperti: a. Sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan member dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. b. Sistem Parlementer yang meletakkan pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan sebagai pemerintahan dan bukan kepala Negara sebab kepala Negara bias diduduki oleh raja atau presiden yang hanya sebagai symbol kedaulatan dan persatuan. c. Sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian dari parlemen. Di beberapa Negara ada yang menggunakan system campuran antara presidensial dengan parlementer, yang antara lain dapat dilihat dari system ketatanegaraan di Prancis atau Indonesia berdasar UUD 1945 7. Esensi Demokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sejak diproklamasikan kemerdekaan RI dan disyahkan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ). Secara formal Indonesia menganut demokrasi konstitusional. Namin sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang telah terjadi perubahan konstitusi Negara sebagai berikut: a. Periode 1945-1949 menggunakan UUD 1945 b. Periode 1949-1950 menggunakan UUD RIS c. Periode 1950-1959 menggunakan UUDS d. 1959-sekarang menggunakan UUD 1945
Perubahan penggunaan UUD ini berimplikasi pada system pemerintahan, begitu pula praktik pemerintahannya tidak jarang menyimpang dari landasan dasarnya. Sistem pemerintahan adalah presidential namun dalam prakteknya parlementer, sampai digunakan UU RIS dan D UUDS bentuk pemerintahan menggunakan system parlementer. Jadi system presidensil murni dapat dilakukan setelah dekrit presiden 1959. Maka untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia secara sederhana, kita dapat membagi menjadi 3 periode yai u: t

a. Masa demikrasi parlementer tahun 1945-1959 b. Masa demikrasi terpimpin tahun 1959-1965 c. Maa demokrasi pancasila tahun 1965 sampai sekarang
Dalam pelaksanan pemilu meskipun dirasakan kekurangan, namun kalau kita lihat dari proses perkembangan tampak adanya kemajuan. Beberapa pelanggaran terjfadi oleh peserta pemilu sebagai akibat dari upaya masing-masing peserta pemilu untuk memperoleh dukungan masyarakat. Hal yang perlu dicatat pada masa orde baru adalah adalah adanya upaya pengembangan demokrasi Pancasila yaitu demokrasi yang dilandasi nilai-nilai Pancasila. Dalam Demokrasi Pancasila ada dua nilai dasar yang dikembangkan sebagai budaya politik yaitu tidak dikenalnya istilah oposisi dan nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Budaya politik oposisi sebagai wujud budaya barat tidak dikenal atau sekurang kurangnya belum dapat diaplikasikan dalam masyarakat Indonesia

You might also like