You are on page 1of 11

BAHAN BAKAR ALTERNATIF Inovasi penggunaan bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan juga sedang digiatkan

oleh beberapa negara yang selama ini menjadi konsumen utama bahan bakar minyak. Sampai saat ini, riset dan publikasi bahan bakar alternatif terutama banyak ditujukan untuk mesin Diesel (compression ignition engine). Konsep penggunaan bahan bakar alternatif bukanlah sama sekali baru. Pada tahap awal pengembangannya, prototype mesin diesel dirancang untuk menggunakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. Bahkan, kendaraan yang dirancang pertama kali oleh Henry Ford bekerja dengan bahan bakar etanol. Murah dan melimpahnya bahan bakar minyak di awal abad ke-20 menyebabkan bahan bakar non minyak mendapat status alternatif. Tapi beberapa tahun terakhir, kepentingan untuk mengurangi tekanan atas lingkungan dan kekhawatiran atas menipisnya cadangan minyak bumi, membuat kemungkinan penggunaan bahan bakar alternatif mendapat perhatian kembali Hal yang membuatnya mendapat perhatian kembali adalah karena tidak seperti bahan bakar minyak, bahan bakar alternatif berasal dari sumber yang dapat diperbaharui dan sudah tersedia (renewable and readily available resources). Sumber bahan bakar alternatif (BBA) melimpah mulai dari batang tebu, minyak jarak hingga kelapa sawit. Penggunaan BBA juga mengurangi tekanan terhadap lingkungan hidup karena sedikit mengotori udara. Sayangnya ongkos produksi yang masih tinggi menyebabkan nilai ekonomis BBA masih di bawah BBM.

BIODIESEL Siapa yang tidak mengetahui biodisel? Mengingat isu keterbatasan stock bahan bakar fosil dunia sepertinya hampir semua orang mengetahui tentang bahan bakar nabati yang dalam hal ini adalah biodisel. Biodisel merupakan senyawabahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester dari rantai

panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar bagi mesin diesel Jumlah kebutuhan biodiesel akan sangat besar di dalam negeri dan luar negeri. Di Indonesia diperkirakan pemakai solar per tahun 44 juta kiloliter. Menurut data dari Direktorat Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk industri sekitar 6 juta kiloliter solar. Bila memakai 20 persen biodiesel maka diperlukan 1.200.000 kiloliter/tahun Untuk kebutuhan PLN sekitar 12 juta kiloliter solar, bila memakai 20 persen biodiesel maka dibutuhkan 2.400.000 kiloliter/tahun. Sedangkan sektor transportasi saja membutuhkan 26 juta kiloliter solar dan jika memakai 2 persen biodiesel maka dibutuhkan 520.000 kiloliter. Total kebutuhan biodiesel secara nasional mencapai 4.120.000 kiloliter/tahun. Sementara kemampuan produksi biodiesel pada 2006 baru 110.000 kiloliter/tahun. Pada 2007 baru akan ditingkatkan kapasitasnya sampai 200.000 kiloliter/tahun Sementara produsen lain pada 2007 akan mulai beroperasi. Mungkin kapasitas akan mencapai sekitar 400.000 kiloliter/tahun.jumlah tersebut masih kurang dari kebutuhan. Dari kacamata bisnis hal tersebut merupakan sebuah peluang usaha yang besar Hingga saat ini setidaknya terdapat empat BBA yang dapat digunakan pada mesin diesel yaitu biodiesel, e-diesel, water-in-diesel emulsion, dan gas-toliquid diesel fuel. Dari keempat BBA tersebut, biodiesel merupakan yang paling populer saat ini karena kelimpahruahan bahan bakunya Biodiesel merupakan campuran bahan bakar diesel (minyak solar) dengan metil ester yang diperoleh dari minyak nabati. Melalui proses transesterification, asam lemak yang berasal dari minyak sawit, minyak jarak, kedelai, biji bunga matahari, maupun jelantah diubah menjadi metil ester. Metil ester ini kemudian dicampur (blend) dengan minyak solar biasa (dalam komposisi tertentu) menjadi Biodiesel. Secara teori, produk transesterification dapat langsung digunakan hingga 100% (dikenal sebagai B100). Sampai saat ini yang umum digunakan adalah B5 hingga B20

Pemerintah Brazil telah mencanangkan penggunaan biodiesel (bahan baku utamanya adalah minyak jarak dan biji bunga matahari) untuk transportasi pada tahun 2005 dengan harapan mendapatkan perbaikan kualitas udara perkotaan, menciptakan lapangan kerja baru di bidang pertanian sehingga secara tidak langsung mengurangi tingkat kemiskinan. Thailand juga telah memasukan penggunaan biodiesel dalam energy saving plan mereka di tahun 2011. Sedangkan di Indonesia, sebagaimana dirilis oleh Kompas, BPPT telah merintis penggunaan biodiesel untuk kendaraan bermotor pada September 2005 sebagai bagian dari Landmark Energy 2020 Selain kelimpahan bahan baku, keuntungan lain yang didapat dari penggunaan biodiesel dalam transportasi adalah sifat pelumasannya yang lebih baik sehingga mengurangi tingkat keausan pada komponen injeksi bahan bakar. Nilai setana (cetane number) yang lebih tinggi juga meningkatkan kualitas pembakarannya diatmbah dengan gas buang yang lebih bersih (particulate matter rendah). Sedangkan nilai minusnya selain ongkos produksinya yang tinggi adalah adanya sedikit peningkatan NOx, pengurangan tenaga mesin (power loss), stabilitas yang rendah (sehingga mengurangi masa simpan dan masa pakai) serta kemampuan alir pada temperatur rendah (cold flow properties) yang buruk. Ketidakstabilan dan cold flow properties yang buruk dapat dikurangi dengan penambahan beberapa zat aditif. Berikut ini beberapa bahan baku untuk pembuatan bakar alternatif biodiesel : A. Klobot Jagung Pemanfaatan jagung sebagai bioetanol untuk mengurangi ketergantungan pada premium. Pada 2010, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan, konsumsi premium nasional bakal mencapai 38,27-miliar liter. Hampir dipastikan lebih dari 20% diimpor. Ironis, padahal Indonesia kaya sumber energi fosil non-BBM, kata Dr Ir Agus Eko Tjahyono MEng, kepala Balai Besar Teknologi Pati, BPPT.

Etanol adalah hasil fermentasi bahan sebelum diolah lebih lanjut menjadi bioetanol pengganti premium. Jagung berpotensi memproduksi etanol lebih baik lantaran rendemennya paling tinggi, 55%. Biaya produksinya pun murah. Untuk menghasilkan satu liter etanol cuma diperlukan 2,5 kg jagung seharga Rp1.000/kg. Proses fermentasinya membutuhkan uap air 3,8 kg seharga Rp304 dan listrik 0,2 kwh (Rp200). Jika harga pekerja dihitung Rp300 per liter, maka biaya produksi etanol per liter hanya Rp3.304. Menurut Andy Gumala, ASEAN business manager PT DuPont, jika etanol diproyeksikan menggantikan 10% konsumsi BBM dalam negeri saat ini, maka dibutuhkan 14,4-juta ton jagung atau setara 3-juta hektar lahan jagung. Investasi jagung relatif rendah ketimbang tanaman lain, hanya Rp3-juta/ha. Bandingkan dengan jarak sebagai bahan biodiesel yang membutuhkan investasi Rp8-juta-Rp9-juta/ha. Konsumsi jagung dewasa ini diutamakan untuk konsumsi manusia dan pakan ternak. Menurut Karin O Hgren dari Departemen Teknik Kimia, Lund University, Swedia, tak hanya pati jagung yang berfungsi menjadi bahan baku bioetanol. Kulit jagung atau klobot dapat dijadikan bahan utama bioetanol. Klobot mengandung 2 jenis gula yaitu glukosa dan silosa yang diperoleh dengan merebus awal lalu dihidrolisis. Selanjutnya biarkan ragi roti Saccharomyces cerevisiae bekerja. Hasilnya, 20% etanol. Jagung yang kaya serat cuma salah satu bahan bioetanol. Menurut Dr Tatang H Soerawidjaja dari Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, ada 3 kelompok bahan baku etanol alami yaitu nira bergula, pati, dan bahan serat alias lignoselulosa. Semua bahan baku etanol itu mudah didapatkan dan dikembangkan di Indonesia karena negara ini memiliki lahan luas dan subur.

B. Tebu Tebu mengandung gula sehingga mudah diproses menjadi bioetanol. Satu ton tebu mampu menghasilkan 70-90 liter etanol. Bagas (sisa batang tebu yang

diperas airnya, red) dan daun keringnya juga harus digunakan, kata Yahya Kurniawan, periset Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Dari bagas tebu bisa diperoleh 27-33 liter etanol/ton tebu dan daun keringnya menghasilkan 11-16 liter etanol/ton. Menurut Prof Goeswono Soepardi, mantan direktur P3GI, beberapa jenis tebu genjah seperti jatimulyo dan mlale berproduksi rata-rata 75 ton/ha. Artinya, setiap hektar lahan tebu menghasilkan tebu setara dengan 750 liter bioetanol. Dengan perhitungan seperti itu, tebu bisa menjadi andalan bahan baku bioetanol di masa depan. C. Kelapa Buah kelapa tak hanya diolah menjadi minyak goreng atau santan. Cairan dari buah serbaguna itu ternyata juga bisa menggantikan solar. Bahan bakar minyak dari buah kelapa kini tengah diproduksi di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Bahan bakar alternatif itu bisa digunakan oleh masyarakat umum dan merupakan sumber energi bagi alat pertahanan-keamanan milik TNI. PT Incofact Bio-Energy Baluran adalah perusahaan yang memproduksi bahan bakar minyak alternatif itu. Teknologi biodiesel dari bahan baku utama buah kelapa semoga akan menjawab kelangkaan bahan bakar minyak solar di Indonesia, kata Wakil Komandan Komando Pendidikan Angkatan Laut Brigadir Jenderal Marinir Slamet Santoso. Slamet berharap teknologi ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Hal itu disampaikannya seusai penandatanganan kontrak kerja sama PT IBB Situbondo dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Sekolah Teknologi Tinggi Angkatan Laut di Situbondo. Untuk sementara, hasil produksi tersebut masih dikonsumsi warga sekitar. Sejak awal 2006, warga menggunakan solar-kelapa itu untuk bahan bakar diesel mesin perahu dan diesel untuk pengairan atau irigasi sawah.

Kelebihan biodiesel asal kelapa ini, selain ramah lingkungan, harganya relatif murah. Kami membeli Rp 4.000 per liter, lumayan menghemat biaya untuk melaut, tutur Fathur Dasuki, 38 tahun, salah seorang nelayan warga Desa Sumberrejo. Limbah tempurung kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alat pendorong roket. Kelebihan inilah yang membuat teknologi biodiesel dilirik oleh lembaga penelitian milik Angkatan Laut itu. Apalagi Indonesia merupakan penghasil buah kelapa, jadi kita bisa langsung memanfaatkan potensi alam itu untuk menghemat energi, terutama untuk menjawab kelangkaan BBM solar, D. Jerami Selama ini, jerami hanya jadi bahan buangan setelah padi dipisahkan untuk diolah jadi beras. Kalaupun ada yang memanfaatkan, jerami digunakan untuk bahan pembersih atau juga kerajinan tangan. Meski begitu, jumlahnya pun tak banyak dan justru akhirnya hanya dibakar atau jadi bahan pakan ternak. Kini, dengan penelitian lebih lanjut, jerami ternyata juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Hebatnya, tak hanya memberikan nilai tambah, pemanfaatan jerami juga mencegah pelepasan karbon ke atmosfer saat terbakar. Siklus karbon ke atmosfer dapat diperpanjang dengan mengubahnya menjadi biofuel. Terobosan ini telah dilirik produsen ethanol di China. Apalagi, sebagai salah satu negara terbesar, setiap tahun sekitar 230 juta ton batang jerami dibuang begitu saja. Karena itu, di sana sudah ada tiga fasilitas pengolahan jerami yang telah dibangun sampai saat ini. Meski begitu, untuk mengolah jerami bukan hal yang mudah. Batang jerami yang kaya selulosa tidak mudah terurai bakteri yang biasa dipakai dalam proses pembuatan biomassa. Untuk itu, para peneliti memanfaatkan larutan alkali sodium hidroksida untuk melunakkannya sebelum proses fermentasi atau peragian. Semua dilakukan pada suhu kamar, tanpa energi tambahan, dan butuh sedikit air, sehingga secara keseluruhan prosesnya sederhana, cepat, efektif biaya,

dan ramah lingkungan, sebut Xiujin Li dari Universitas Teknologi Kimia Beijing. Metode ini juga digunakan untuk memproduksi ethanol di lebih dari 30 negara. Namun, bahan yang diolah adalah tebu, jagung, dan kedelai yang notebene merupakan sumber pangan utama manusia, bukan bahan buangan. Sementara di China, jerami diolah agar menghasilkan biogas. Penggunaan larutan tersebut telah terbukti meningkatkan produksi campuran gas methan dan karbon dioksida hingga 65 persen. Residu atau sampah olahannya juga bermanfaat sebagai kompos.
E. Merang

Bahan baku etanol lain adalah limbah pertanian merang padi. Menurut penelitian Seung Do-Kim dari Department of Chemical Engineering & Materials Science, Michigan State University, Amerika Serikat, satu kilogram merang menghasilkan 0,28 liter etanol. Merang mengandung selulosa dan hemiselulosa. Honda Motor telah memanfaatkan etanol asal merang pada awal 2006.
F. Limbah Tomat Dan Nanas

Penelitian bioetanol berbahan tomat apkir dilakukan oleh I Del Campo dari Biomass Energy Department, CENERNational Renewable Energy Centre, Spanyol. Tomat mengandung 50,20% gula. Setelah fermentasi menghasilkan 18% etanol. Biomass Resources Corp di Amerika Serikat mengembangkan etanol dari ekstraksi limbah pabrik nanas. Selain 20% bioetanol, perusahaan itu memproduksi hasil samping berupa enzim bromelain, silitol, dan protein yang nilainya tinggi.
G. Singkong Dan Sagu

Umbi ubijalar juga pantas dilirik. Menurut Dr Tatang H Soerawidjaja, 1.000 kg ubijalar menghasilkan 150-200 kg gula. Dengan proses fermentasi lanjutan menghasilkan 125 liter bioetanol. Itu berarti rendemen ubijalar 12,5%.

Potensi lain dimiliki oleh sagu yang memilki rendemen 9%. Dari 1 ton sagu dihasilkan 120-160 liter gula atau 90 liter etanol. Singkong atau ubikayu paling berpotensi sebagai bahan bioetanol. Hanya dengan memfermentasi 7 kg singkong, satu liter bioetanol dapat dituai dengan biaya produksi Rp2.400. Itu berarti ongkos produksi jauh di bawah harga premium, Rp4.500 yang hingga saat ini masih disubsidi sebesar Rp1.800/liter. Kerabat karet itu dapat tumbuh di lahan kritis dan resisten terhadap penyakit. Singkong dipanen setahun setelah penanaman. Produksi ubikayu Indonesia mencapai 104.136 ton dari luas panen 9.198 ha pada 2004. Untuk mensosialisasikan program penggunaan bioetanol, Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) memiliki pabrik pembuatan bioetanol di Desa Sulusuban, Bandar Jaya, Lampung Tengah. Pabrik itu mengolah 50 ton singkong menjadi 8.000 liter bioetanol/hari. Pasokan bahan baku diperoleh kebun milik Balai seluas 700 hektar dengan tingkat produktivitas 25-30 ton/hektar. Proses produksi etanol sangat mudah, tak perlu investasi alat mahal (baca: Mengebor Bensin di Kebum Singkong, hal 150). Dengan keanekaragaman hayati amat tinggi, Indonesia punya banyak pilihan untuk memproduksi biopremium.
H. Air Laut

John Kanzius, 63 tahun, telah berhasil menciptakan alternatif bahan bakar dari air laut. Secara kebetulan, teknisi broadcast ini menemukan sesuatu yang menakjubkan. Pada kondisi yang tepat, air laut dapat menyala dengan temperatur yang luar biasa. Dengan sedikit modifikasi, tidak menutup kemungkinan di masa depan, ini dapat di jadikan sebagai alternatif bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Selama percobaannya dengan RFG, dia menemukan bahwa RFG dapat menyebabkan air yang berada di sekitar test tube mengembun. Jika RFG dapat menyebabkan air mengembun, seharusnya ini dapat juga untuk memisahkan garam dari air laut. Mungkin, ini dapat digunakan untuk men-desalinitasi air laut.

Sebuah peribahasa tua tentang laut, air, air dimana-mana, dan tidak satu tetespun dapat diminum. Pada test pertamanya, dia melihat efek samping yang mengejutkan. Ketika dia arahkan RFG-nya pada tabung yang berisi air laut, air itupun seperti mendidih. Kanzius lalu melakukan test kembali. Saat ini dengan kertas tisue yang terbakar dan menyentuhkannya ke dalam air laut yang sedang di tembak oleh RFG. Dia sangat terkejut, air laut dalam tabung terbakar dan tetap menyala sementara RFG dinyalakan. Awalnya berita tentang eksperiment ini dianggap suatu kebohongan, tapi setelah para ahli kimia dari Penn State University melakukan percobaan ini, ternyata hal ini memang benar. RFG dapat membakar air laut. Nyala api dapat mencapai 3000 derajat Fanrenheit dan terbakar selama RFG dinyalakan. Lalu bagaimanakah air laut dapat terbakar? Dan kenapa jika puntung rokok di lemparkan ke dalam laut tidak menyebabkan bumi meledak? Ini semua berhubungan dengan hidrogen. Dalam keadaan normal, air laut mempunyai komposisi Natrium Klorida (garam) dan Hidrogen, oksigen (air) yang stabil. Gelombang radio dari RFG milik Kanzius mengacaukan kestabilan itu, memutuskan ikatan kimia yang terdapat dalam air laut. Hal ini melepaskan molekul hidrogen yang mudah menguap, dan panas yang keluar dari RFG memicu dan membakarnya dengan cepat.
I.

Briket Batu Bara Briket batubara merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari batubara,

bahan bakar?padat ini murupakan bahan bakar alternatif atau merupakan pengganti Minyak tanah yang?paling murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam waktu yang relatif?singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana. Teknologi pembuatan briket tidaklah terlalu rumit dan dapat dikembangkan oleh masyarakat maupun pihak swasta dalam waktu singkat. Sebetulnya di Indonesia telah mengembangkan briket batubara sejak tahun 1994

namun tidak dapat berkembang dengan baik mengingat Minyak tanah masih disubsidi sehingga harganya masih sangat murah, sehingga masyarakat lebih memilih Minyak tanah untuk bahan bakar sehari-hari. Namun dengan kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005, mau tidak mau masyasrakat harus berpaling pada bahan bakar alternatif yang lebih murah seperti Briket Batubara.

DAFTAR PUSTAKA http://www.anneahira.com/bahan-bakaralternatif.htmhttp://karyonz.blogspot.com/2010/05/biosolar-bahan-bakaralternatif.html http://www.andriewongso.com/artikel/aw_corner/2048/Jerami_Sebagai_Bahan_B akar_Alternatif/ http://sciencebiotech.net/air-laut-bahan-bakar-alternatif/ http://esdikimia.wordpress.com/2010/10/26/bahan-bakar-alternatif/

10

11

You might also like