You are on page 1of 4

UU PERBANKAN SYARIAH

Secara urgensi dibuatnya UU Perbankan syariah secara tersendiri bukan sebagai konsekwensi dari adanya UU No. 10 Tahun 1998 dan juga UU No. 23 Tahun 1999. Namun, lebih dari itu, regulasi adanya UU Perbankan Syariah yang perlu dipisahkan dari UU Perbankan konvesional, di dasari sebagai niatan untuk meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Paling tidak, menurut Dosen Hukum Bisnis, Fakultas Syariah Universitas IAIN SU dan Graha Kirana, Mustafa Kamal Rokan, ada empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan syariah, mengapa harus mempunyai dasar hukum sendiri. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat secara luas yang tidak mau menerima sistem bunga. Ekonomi syariah tidak hanya dipahami sebagai sistem nilai. Namun, juga nilai yang telah diterapkan dalam sistem perekonomian. Karakteristik operasi bank syariah adalah larangan terhadap bunga (riba), proses transaksi secara tidak transparan (gharar), dan yang bersifat spekulatif (maysir). Bahkan sekarang ini, sistem perbankan syariah menjadi salah satu sistem yang marak dan digandrungi di dunia perbankan. Oleh karena itu, adanya UU Perbankan syariah di luar undang-undang perbankan yang sudah ada, merupakan cara jitu untuk mengakomodasi kebutuhan jasa perbankan dengan sistem bebas bunga. Selain itu, kebutuhan terhadap jasa perbankan syariah semakin meningkat, bisa dilihat dari perkembangan perbankan konvensional yang mulai membuka unit usaha syariah (UUS). Bahkan, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan 10 buah Bank Umum Syariah (BUS) pada tahun 2009 mendatang akan berkecimpung di dalamnya. 10 BUS itu, menambah lima (5) atau enam (6) Bank Umum Syariah (BUS) dari tiga Bank Umum Syariah (BUS) yang telah ada saat ini (Bank Muammalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Mega Syariah (BMS). Hal yang kedua, bisa terciptanya konsep dual banking system yang utuh. Ini untuk mengakomodir baik perbankan yang konvensional maupun perbankan dengan prinsip syariah. Artinya, dengan adanya UU Perbankan Syariah maka penggunaan perbankan konvensional dan perbankan syariah, akan memperkuat hubungan kedua sistem bank tersebut untuk berjalan secara paralel. Untuk itulah, kedua sisitem perbankan ini, perlu dipisahkan, agar bank syariah dapat juga berkonstribusi secara signifikan dalam meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional. Singkatnya, kegiatan bisnis syariah perlu di regulasikan secara khusus sebab ada bagian-bagian tertentu, yang meliputi aspek hukum seperti, hukum perbankan, dagang, perusahaan, akan

terdapat permasalahan yang sulit terhindarkan karena adanya kontradiksi antara hukum positif dengan prinsip-prinsip syariah dan selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan perbankan tersebut. Ketiga, dapat mengurangi resiko yang sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia. Dengan kata lain Indonesia belum mampu untuk keluar dari kegagalan sistem keuangan yang terjadi selama ini. Sistem ekonomi syariah melalui perbankan syariah merupakan alternatif untuk bisa keluar dari resiko tersebut. Sebagai buktinya bank yang berprinsip syariah telah menunjukkan performanya untuk selamat pada saat krisis moneter tahun 1997 yang lalu. Hal itu terlihat pada angka Non Performing Finansings (NPFs) yang lebih rendah dibanding sistem perbankan konvensional. Di samping itu, perbankan syariah menunjukkan tidak adanya negative spread, serta konsisten dalam menjalankan fungsi intermediasi (intermediary function). Yang keempat, mampu mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil, dan membatasi spekulasi atau tidak produktif, karena pembiayaan yang dilakukan selama ini, hanya ditujukan pada usaha-usaha yang berlandaskan nilai-nilai moral. Untuk itu, sesungguhnya peran intermediasi perbankan ini haruslah mendapatkan perhatian yang serius dan dibutuhkan upaya yang optimal dari lembaga keuangan syariah yang notabenenya mempunyai produk dan orientasi yang lebih banyak pada sektor riil. Melihat begitu besarnya dorongan dan dukungan dari masyarakat agar disusun UU Perbankan Syariah yang terpisah dari UU Perbankan konvensional, DPR RI mengajukan inisiatif penyusunan RUU Perbankan Syariah, dan selanjutnya mendapat tanggapan positif dari Pemerintah sehingga terbuka jalan untuk segera menyelesaikan RUU Perbankan Syariah, dan akhirnya setelah melalui pembahasan intensif UU Perbankan Syariah berhasil diselesaikan, dan mulai diberlakukan per 16 Juli 2008, menyusul telah diberlakukannya UU No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara pada 7 Mei 2008. Dukungan yang begitu besar dari berbagai kalangan dapat dilihat dari proses penyusunan dan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah RUU Perbankan Syariah yang dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Dengan telah diberlakukannya UU tentang Perbankan Syariah, maka terdapat 2 (dua) UU yang mengatur perbankan di Indonesia, yaitu UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Walaupun telah terdapat 2 (dua) UU yang masing-masing mengatur bank

berdasarkan prinsip syariah dan bank konvensional, namun dalam masa peralihan ini masih dikenal Unit Usaha Syariah, yang membuka kesempatan bagi bank konvensional untuk melakukan kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah. Hal ini menyebabkan bank konvensional di satu sisi tunduk pada UU Perbankan (bagi kantor bank yang beroperasi secara konvensional), dan di sisi lain tunduk pada UU Perbankan Syariah (bagi UUS dan KC Syariah dari bank konvensional dimaksud). Asas, Tujuan dan Fungsi Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian (Pasal 2). Berbeda dengan UU Perbankan, pengaturan yang menyangkut asas ini, lebih menekankan pada frasa berasaskan Prinsip Syariah. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik dari perbankan syariah. Adapun yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam hal ini adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 12), dan lembaga yang memiliki kewenangan tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Jika UU Perbankan konvensional tujuannya lebih ditekankan untuk meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, maka dalam UU Perbankan Syariah tujuannya lebih ditekankan untuk meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi syariah yang menekankan pada aspek kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will), dan tanggung jawab (responsibility). Sama halnya dengan bank (konvensional), fungsi pokok bank syariah adalah menghimpun danmenyalurkan dana masyarakat atau melaksanakan fungsi intermediasi. Di samping fungsi tersebut, bank syariah (dan UUS) mempunyai kekhususan, yaitu dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).

Daftar Pustaka

1.

http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/mengkaji-uuperbankan-syariah.html http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/40B277F4-2C92-480786C761D01BE47127/15112/03_Sekilas_Ulasan_UU_Perb ankan_Syariah1.pdf

2.

You might also like