You are on page 1of 22

Terorisme di Indonesia: Antara TNI & Kegagalan Polri penulis: kak inco, 30 April 2011 20:11:25 2 Berita Foto

to 28 Komentar Menarik +2

"Terorisme adalah satu ancaman dan negara-negara harus melindungi warganegaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban untuk melakukan itu. Tetapi Negara juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi atau membenarkan pelanggaran HAM." Pendahuluan Terorisme lahir sejak ribuan tahun silam dan telah menjadi legenda dunia. Cara-cara teror digunakan oleh suatu kelompok untuk memperlemah lawannya lewat pembunuhan diam-diam menggunakan racun sampai pemberontakan. Saat ini, terorisme terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia dengan berbagai alasan. Terorisme merupakan akibat dari ketidaksepakan suatu kelompok dengan kelompok lain (yang mungkin berkuasa) yang berbeda ideologi kepercayaan/agama, politik dan lain sebagainya. Terorisme memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat, terutama jika dipublikasikan secara berlebihan oleh media massa. Aksi-aksi seperti terorisme sangat menarik perhatian media massa terutama televisi. Dengan siaran langsung dari tempat kejadian, jutaan khalayak ikut mendengarkan bahkan melihat para teroris beraksi. Setiap aksi teroris merupakan event yang mahal dan "menguntungkan" bagi media. Televisi memiliki pengaruh yang sangat kuat. Di samping itu sistem komunikasi yang tersedia dan cepat - elektronik dan media cetak - telah melahirkan falsafah Cina yang terkenal: "Bunuh satu dan menakut-nakuti 10.000", dan melalui media massa dapat diartikan sebagai "Bunuh satu dan menakut-nakuti 10.000.000". Masalah terorisme seringkali disebut sebagai masalah sensasional, karena kenyataannya adalah lebih banyak orang meninggal di jalanan setiap tahun daripada yang dibunuh oleh teroris. Hal itu mungkin benar secara kuantitatif, namun terorisme tidak dapat diukur dengan hitungan banyaknya korban tewas, jumlah yang luka atau nilai materi dari kerusakan. Terorisme tidak dapat dikatakan sebagai perang, karena berada jauh dari peperangan: perang gerilya, perang revolusioner atau perang konvensional. Perang bertujuan untuk penghancuran secara total, manusia dan material secara fisik. Sedangkan terorisme cenderung menginginkan hasil kerusakan secara psikologis. Terorisme di Indonesia semakin ramai pasca runtuhnya Orde Baru 1998. Sejak tahun 2000, sejumlah pemboman telah terjadi di Indonesia, seperti bom di beberapa gereja pada malam Natal 2000, bom di Sari Club dan Paddy's Caf pada Oktober 2002 dan bom di Hotel J.W. Marriott yang meledak dua kali, yakni pada Agustus 2003 dan Juli 2009. Belakangan, aksi-aksi teror sering dilakukan secara terbuka dan terangterangan kepada pihak yang dianggap berbeda pendapat atau keyakinan, misalnya dalam peristiwa penyerangan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten yang menewaskan tiga orang. Juga aksi penusukan anggota majelis Gereja HKBP Bekasi. Sejumlah aksi kekerasan lainnya juga tercatat dilakukan secara terang-terangan oleh ormas agama terhadap pihak yang berbeda keyakinan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai aksi teror karena membuat resah dan mengintimidasi masyarakat umum.

Terorisme dan Insurjensi Berbicara tentang terorisme, seringkali kita dihadapkan pada masalah definisi. Sejauh ini belum ada definisi yang seragam tentang terorisme karena terorisme bervariasi tergantung waktu dan kondisi. Terorisme dapat dipandang sebagai tindakan yang mendekati perlawanan gerilya karena dianggap sebagai tindakan yang berada di tengah perang gerilya dan aksi frustasi golongan tertentu. Tujuan utama para teroris adalah menghancurkan sistem ekonomi, politik dan sosial masyarakat suatu negara untuk digantikan oleh struktur yang baru secara total. Dalam teori terorisme, tindakan terorisme dapat diklasifikasikan dalam: terorisme yang memiliki motivasi politis dan terorisme yang memiliki motovasi kriminal. Kelompok yang memiliki motivasi politik menganggap dirinya sebagai instrumen pengadilan dan sama sekali tidak beroperasi untuk tujuan kriminal. Walau sering terlihat sebagai aksi kriminal seperti perampokan dan penjarahan, jenis terorisme ini tidak bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk biaya operasional kelompoknya seperti pembelian senjata. Sedangkan terorisme dengan motivasi kriminal semata-mata untuk kriminal yang berkaitan dengan perolehan uang dan dinyatakan sebagai gerombolan kriminal yang menculik atau melakukan teror demi uang tebusan. Adjie dalam bukunya menyebutkan definisi terorisme sebagai berikut: Terorisme: Suatu mazab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Teroris: Pelaku atau pelaksana bentuk-bentuk terorisme, baik oleh individu, golongan atau kelompok dengan cara tindak kekerasan sampai pembunuhan disertai berbagai penggunaan senjata, mulai dari sistem konvensional hingga medern. Teror: Bentuk-bentuk kegiatan dalam rangka pelaksanaan terorisme melalui penggunaan/cara ancaman, pemerasan, agitasi, fitnah, pengeboman, penghancuran/perusakan, penculikan, intimidasi, perkosaan dan pembunuhan. Alat Peralatan Teror: Telepon, selebaran surat, bom (waktu), peledak, kendaraan darat/laut/udara, dengan menggunakanfasilitas bandara, pelabuhan, tempat-tempat umum ataupun gedung-gedung vital. Tujuan Terorisme: Melumpuhkan otoritas pemerintah sehingga dapat menerapkan mazab atau aliran yang dianut kelompok terorisme. Terorisme sangat dekat dengan insurjensi atau gerakan revolusioner yang memiliki struktur, yang terkadang tidak tampak di permukaan tapi khususnya di Indonesia seringkali pula terlihat begitu terang-terangan. Insurjensi sering dianggap sebagai gerakan subversif, ilegal, di bawah komando golongan tertentu yang ingin menggantikan pemerintahan yan sah. Insurjensi dapat diartikan sebagai suatu keadaan tidak menentu dalam suatu negara yang disebabkan oleh berbagai kelompok organisasi yang melawan (tidak menyetujui/menentang) politik pemerintah yang sah. Aksi yang ditimbulkan mengakibatkan ketegangan di dalam negara sehingga dapat mempengaruhi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Adapun bentuk-bentuk insurjensi antara lain perampokan (bersenjata) dan perlawanan terhadap angkatan bersenjata/polisi. Contoh kekerasan yang dilakukan anggota Jemaah Islamiyah dalam mencapai tujuan politiknya selain pengeboman, adalah perampokan Bank CIMB Niaga di Medan pada September 2010. Dalam berbagai macam bentuk

kegiatan/aksi terorisme dan insurjensi, apabila pemerintah terlambat atau tidak segera mengatasi maka akan berkembang dan mengakibatkan low intensity conflict. Di Indonesia, aksi insurjensi ini sering menggunakan cara-cara teror dan intimidasi dalam melakukan aksinya dan terlihat eksistensinya di depan publik. Seringkali ormasormas agama yang sebenarnya legal malah memunculkan aksi insurjensi ini seperti dapat dilihat pada Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia yang jelas menolak demokrasi dan NKRI. Pada beberapa kejadian, kelompok-kelompok radikal ini sangat tidak toleran terhadap perbedaan yang ada di Indonesia yang akhirnya malah melahirkan tindakan-tindakan kekerasan, intimidasi dan juga penyerangan kepada kelompok lain. Kelompok-kelompok ini bahkan berani menantang untuk menggulingkan pemerintah yang sah ketika presiden memberikan pernyataan bahwa kelompok-kelompok radikal di Indonesia harus dibubarkan. Tindakan ini menjadi propaganda kelompok ini bahwa pemerintah tidak mampu menguasai keadaan sehingga hanya menciptakan suatu suasana yang tidak aman untuk masyarakat. Belakangan isu tentang Negara Islam Indonesia yang telah banyak melakukan brainwash pepada banyak mahasiswa tampaknya ditanggapi setengah hati oleh pemerintah. Padahal kita tau Presiden SBY merupakan pemerintahan eksekutif yang sah melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Tidak main-main hasilnya pun 61% pemilih mendukung SBY. Namun terlihat presiden terlalu berhati-hati bahkan cenderung lamban (atau tidak berani?) dalam menanggapi aksi-aksi insurjensi ini. Masyarakat sudah lelah oleh aksi-aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh ormasormas ini. Namun pemerintah seperti tidak ada di saat rakyatnya membutuhkan perlindungan dan rasa aman. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pemerintah telah gagal menciptakan rasa aman untuk warga negaranya. Penanggulangan Terorisme Pada masa Orde Baru, TNI dan Polri saling bekerjasama dalam masalah keamanan nasional. Namun semenjak TNI keluar dari fungsi sosial politiknya pada tahun 2004 melalui UU No.34/2004 maka bisa dibilang bahwa fungsi dan kekuatan keamanan negara diserahkan kepada Polri, sedangkan TNI lebih berperan kepada ketahanan negara. Dalam kaitannya dengan terorisme, Indonesia sudah mengawali penanggulangan terorisme dengan adanya Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian atas rekomendasi Komisi I DPR pada 12 Juni 2006 dan 31 Agustus, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT adalah lembaga non-kementrian yang bertanggungjawab langsung kepada presiden dan dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Polri diberikan kekuatan khusus untuk menanggulangi terorisme dengan dibentuknya Detasemen Khusus atau Densus 88 pada 26 Agustus 2004. Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana. Densus 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat

(Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti teror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45 - 75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah.Melakukan penangkapan kepada personil atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara RI. Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopassus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror), Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU dan satuan anti-teror BIN. Ketika TNI telah menarik diri dari peran sosial politiknya di masyarakat, maka tugas untuk keamanan dalam negeri sepenuhnya diemban oleh pihak kepolisian. Sayangnya Polri dapat dikatakan gagal dalam menangani aksi-aksi terorisme dan radikalisme di Indonesia. Walau telah berhasil menangkap atau menembak mati beberapa pucuk pimpinan dari teroris namun terlihat bahwa aksi-aksi teror tetap terulang dan terjadi di masyarakat. Untuk aksi-aksi teror yang lebih tertutup memang Polri agak berhasil dalam mengatasinya. Para "dedengkot" dari gerakan terorisme di Indonesia seperti Dr. Azhari dan Noordin M. Top telah berhasil dilumpukan sehingga jaringan teroris tercerai-berai dan mengurangi kekuatannya. Dibunuhnya para pemimpin atau "otak" dari kelompok teror seperti beberapa nama yang disebutkan di atas menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah memalui Polri telah menunjukan komitmen serius dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Bila dilihat dari penanganan terhadap aksi terorisme, terjadi perbedaan sebelum dan setelah tahun 2000. Sebelum tahun 2000, saat itu marak adanya gerakan separatisme, seperti gerakan Fretilin di Timor Timur (sekarang Timor Leste), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok separatis lainnya, maka penanganan terhadap gerakan ini dilandasi oleh UU No.23/ tahun 1959 mengenai Keadaan Bahaya. Dalam undang-undang ini, di mana suatu wilayah dalam kondisi darurat sipil, maka kekuasaan di tangan Gubenur, sedangkan penanggung jawab militer adalah TNI. Kekuatan militer digunakan karena menganggap kelompok separatis ini berusaha memisahkan diri dari NKRI. Sedangkan penanganan kontra dan anti terorisme setelah tahun 2000 berbeda. Setiap peristiwa teror seperti penembakan hingga pengeboman dianggap kasus kriminal. Meskipun banyak korban jiwa yang jatuh akibat aksi tersebut, namun perangkat hukum yang dikenakan atas tindakan ini hanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka pemberantasannya pun diserahkan ke kepolisian. Akan tetapi setelah eskalasi terorisme di Indonesia meningkat, yang mencapai puncaknya saat terjadinya Bom Bali 1, 12 oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, pemerintah dan DPR baru mengeluarkan perundangan khusus mengenai tindak terorisme. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.15 tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terorisme baru dianggap kejahatan yang

serius oleh pemerintah dan bangsa Indonesia. Di dalam undang-undang ini secara jelas pelaku terorisme adalah: 1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6). 2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7). Meski Polri tetap bertanggung jawab dalam pemberantasan terorisme, namun undang-undang ini turut membidani departemen khusus pemberantasan teroris, yakni Detasemen khusus (Densus) 88. Selain melakukan penyelidikan dan penindakan yakni penangkapan terhadap teroris dan jaringannya, Densus 88 juga dapat menjalankan survaillance atau berbagai tindakan intelijen. Densus 88 dinilai berhasil dalam melakukan operasi pengungkapan jaringan teroris di Indonesia. Diantaranya penyerbuan tempat jaringan teroris Jamaah Islamiyah yang juga menewaskan teroris nomor 1 , Dr. Azhari di Malang, 9 November 2005, pada 8 Agustus 2009 penggrebekan salah satu tersangka pengeboman Bom Marriot II, Ibrahim, lalu pada 17 September 2009, penangkapan yang berakhir tewasnya teroris yang juga rekan dari Dr. Azhari, yakni Noordin Top serta sejumlah operasi penangkapan tokoh dan pengungkapan jaringan terorisme yang terkait dalam Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Pada 16 Juli 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No. 46 tahun 2010. Keppres ini menelurkan lagi sebuah lembaga khusus untuk menanggulangi terorisme, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain penindakan, BNPT memiliki tugas yang lebih luas, yakni mulai dari pencegahan, perlindungan, hingga deradikalisasi.

Tabel 1. Penanganan Terorisme Sebelum Tahun 2000

Tabel 2. Penanganan Terorisme Setelah Tahun 2000

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya negara melalui Polri telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi terorisme. Penulis juga mengakui keberhasilan tersebut. Namun penulis beranggapan bahwa Polri telah gagal menanggulangi aksi-aksi teror dalam bentuk lain yang juga ada di masyarakat dan anehnya aksi-aksi ini terlihat cukup terbuka dan lebih mudah diantisipasi karena dilakukan oleh kelompok-kelompok yang seharusnya lebih mudah diawasi melalui intelejen Polri. Polri seakan terlalu berhati-hati dalam menindak kelompok-kelompok radikal ini karena bersinggungan dengan nilai-nilai keyakinan agama. Di beberapa kesempatan, malah terlihat Polri mencoba merangkul kelompok-kelompok ini dengan berdialog dan bekerjasama. Misalkan ketika Kapolri dan Gubernur DKI Fauzi Bowo hadir pada acara Milad FPI di Jakarta. Kehadiran ini dianggap bahwa pemerintah dan Polri berkompromi dan menghalalkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini. Namun lagilagi di kemudian hari, kelompok ini kembali melakukan berbagai macam aksi kekerasan yang seakan didiamkan oleh Polri. Padahal menurut UUD 1945 yang dimaksud dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Kegagalan Polri lainnya dapat dilihat pada saat penanganan peristiwa Cikeusik yang berakibat jatuhnya korban jiwa 3 orang tewas dari pihak Ahmadiyah. Bahkan awalnya sebelum didesak oleh masyarakat dan media, Polri mengumumkan ini sebagai bentrokan dan bukan penyerangan. Harusnya pihak intel Polri mampu mengantisipasi hal ini karena melihat bahwa rencana penyerangan ini sudah direncanakan dan bukan aksi spontanitas warga setempat. Walau kemudian ada 15 orang yang ditangkap, terlihat bahwa Polri tidak mampu untuk mengungkap siapa aktor intelektual penyerangan ini karena hanya mampu menangkap sampai pada pelaku di lapangan saja. Padahal penyerangan ini terlihat sekali pola direncanakannya oleh pihak-pihak tertentu.

Peristiwa terakhir aksi bom bunuh diri di Masjid Al-Zikra Polresta Cirebon juga jelas menunjukkan kegagalan Polri karena teroris mampu masuk langsung ke daerah markas pertahanan Polri dan Polri kecolongan. Masyarakat semakin khawatir bahwa aksi terorisme dapat menjangkau siapapun dan kapanpun. Seperti dijelaskan di atas bahwa hal-hal seperti inilah yang memang diinginkan oleh teroris. Yang dirusak adalah psikologis dari masyarakat Indonesia. Melihat dari contoh kegagalan Polri di atas, penulis kemudian mempunyai pertanyaan yaitu, "Apakah dengan kegagalan Polri menciptakan rasa aman di masyarakat, TNI perlu kembali ke fungsi sosial politiknya?" Tampaknya pertanyaan itu terlalu naif dan memudahkan persoalan. Bukankah pemerintah telah mengatur dengan jelas instrumen-instrumen hukum dalam penanggulangan terorisme? Ikrar Nusa Bhakti menyebutkan bahwa dalam diri prajurit TNI ditanamkan prinsip kompetensi, di mana mereka merasa bahwa militer lebih kompeten daripada sipil dalam mengelola negara. Intervensi TNI kembali dalam masalah keamanan nasional dan penanganan terorisme ini mungkin saja terjadi karena terlihat bahwa Polri terlalu berlarut-larut dalam menangani berbagai macam aksi teror dan kekerasan yang ada selama ini di masyarakat. Dalam suatu sistem demokrasi di mana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu dapat diatasi, apalagi ketika Polri dinilai gagal. Niat untuk mengembalikan peranan TNI dalam kestabilan keamanan negara juga pernah terucap pada saat SBY masih menjabat sebagai Menkopolkam pada pada 5 Agustus 2003 yang hendak merevisi Undang-undang Anti Terorisme agar TNI dapat berperan dalam penanggulangan terorisme pasca peledakan bom di Hotel Marriot. SBY mengatakan: "...aparat kepolisian terbatas dan harus menghadapi masalah yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemisahan TNI dan Polri dilakukan pada tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor VI. Menurut aturan itu, TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara dan Kepolisian RI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Ketetapan itu juga mengatur, dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan keamanandan pertahanan, TNI dan Kepolisian RI harus bekerjasama dan saling membantu". Adalah otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara untuk mendefinisikan posisi dan peran militer. Rakyat, yang merupakan entitas politik sipil, berwenang menentukan dan sekaligus mengontrol peran dan fungsi militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Janusz, kontrol sipil atas kekuatan militer merupakan aksioma demokrasi. Hal ini sebenarnya sejalan dengan doktrin TNI yang setiap saat kita dengar: Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk TNI. Dengan begitu kita sesungguhnya berharap profesionalisme militer dapat segera terwujud di negara yang baru melek demokrasi termasuk itu Indonesia. Namun jika melihat sejarah peranan TNI dalam sosial politik pada masa Orde Baru, tentu akan menjadi dilema tersendiri dari masyarakat. Di satu sisi, Polri dinilai gagal dan kekurangan personel untuk dapat menciptakan rasa aman untuk masyarakat. Di sisi yang lain ketika kemudian TNI kembali ke fungsi keamanan negara bekerjasama dengan Polri bukan tidak mungkin peristiwa-peristiwa kekerasan yang justru dilakukan oleh TNI di masa lalu dapat terjadi kembali.

Pada masa Orde Baru, TNI sering melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984); kasus tanah petani di Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer di Aceh (1989-1999), Timor Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199); penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989); penembakan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intimidasi terhadap pendukung non-Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan empat mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas. Melihat penjelasan di atas - bahwa TNI penuh dengan kekerasan di masa lalu - kita bisa melihat apakah kembalinya TNI dalam penanganan keamanan negara bisa menjadi solusi? Penulis melihat bahwa TNI tetap harus dipisahkan secara fungsinya dengan Polri dalam menangani masalah terorisme karena sesungguhnya Polri telah memiliki posisi dan peran yang sangat jelas dalam hal ini yang didukung oleh instrumen hukum yang telah ada. Yang diperlukan adalah memaksimalkan fungsi dari Polri dalam masalah keamanan negara dan bukan kembali melibatkan TNI dalam masalah ini. Deradikalisasi: Memaksimalkan Fungsi Polri Melalui keputusan untuk membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebenarnya pemerintah Indonesia secara tidak langsung telah mengakui bahwa fokus pada penghancuran jaringan kelompok teroris saja sebenarnya tidaklah cukup. Pemerintah menyadari kebutuhan akan adanya sebuah tindak lanjut yang bersifat komprehensif dalam penanganan terorisme dengan berpusat pada penghancuran ideologi, atau dalam bahasa yang lebih familiar, sebuah program deradikalisasi kepada kelompok-kelompok terorisme di Indonesia. Walau banyak pemimpin Jamaah Islamiyah yang terlibat dalam terorisme, seperti Dr. Azhari, Noordin Moh Top, serta Dulmatin telah tewas dalam sejumlah operasi Densus 88, namun, hingga kini masih banyak terpidana terorisme yang masih ditahan di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia. Berdasarkan laporan dari International Crisis Group (ICG), hingga tahun 2007 sebanyak 170 orang yang terindikasi terlibat dalam jaringan teroris, dimana setengahnya adalah anggota Jamaah Islamiyah ditahan. Mereka mendapat masa tahanan dari 4 tahun sampai seumur hidup. Meski berhasi ditahan, mereka inilah yang harus diwaspadai dan menjadi perhatian khusus dari Pemerintah dan Bangsa Indonesia. Karena jika tidak ditangani dengan baik, keterlibatan mereka kembali dalam terorisme setelah keluar dari Lapas, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Salah satu mantan narapidana yang kembali ke "dunia" terorisme adalah Abu Tholut alias Mustofa. Dalam jumpa pers pada tanggal 20 September 2009, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menjelaskan Abu Tholut adalah narapidana kasus Bom Kedubes Australia 2004 yang telah bebas setelah menjalankan hukuman selama 4 tahun. Kini ia masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena terlibat dalam

perampokan bersenjata Bank CIMB di Medan, Sumatera Utara, Agustus 2010. Berdasarkan laporan dari International Crisis Group (ICG), pada tahun 2007 lalu sekitar 150 narapidana yang terlibat baik langsung maupun hanya kaki tangan dalam tindakan terorisme dalam rentang tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 telah dibebaskan. Untuk menangkal kembalinya para terpidana ini kembali ke jaringan terorisme, diperlukan upaya deradikalisasi. Dr. Petrus Reinhard Golose membeberkan tiga kunci dalam program deradikalisasi para mantan teroris, yakni humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput. Humanis adalah pendekatan deradikalisiasi pertama yang langsung menyentuh teroris dan keluarganya. Ketika teroris ditangkap, mereka langsung diamankan dengan cara yang manusiawi, dan keluarga mereka juga diperhatikan kesejahteraannya. Pendekatan ini belum bisa berjalan dengan baik karena sejauh ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak serius menangani isu terorisme (terbukti dari pernyataan beliau bahwa terorisme adalah murni kriminalitas, tidak ada unsur politik). Faktor utama terorisme adalah deprivasi: kemiskinan, rendahnya pendidikan dan marginalisasi politik. Kesejahteraan keluaga teroris tidak diperhatikan. Salah satu contoh sasaran pendekatan dalam koridor humanity adalah keluarga Ali Ghufron, Imam Samudra dan Amrozi Nurhasyim atau yang lebih dikenal sebagai trio Bom Bali. Sejak ketiganya tertangkap sampai kini, dua tahun setelah mereka dihukum mati di Nusa Kambangan, anak-anak ketiga teroris tersebut harus berpindah-pindah karena stigma anak teroris. Ini tentu berpengaruh pada mental mereka. Soul Approach adalah pendekatan dimana kekerasan dan intimidasi untuk menghentikan terorisme tidak digunakan. Sebaliknya, soul approach memperlakukan narapidana terorisme sebagai manusia, metode counseling oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang menuju kepada re-orientasi dan re-edukasi. Dalam re-orientasi dan re-edukasi, mantan terorisme yang sudah bertobat diberdayakan untuk menyadarkan teman-teman teroris yang belum bertobat. Salah satu success stories dalam soul approach ini adalah Ali Imron, salah satu perakit Bom Bali yang pertama yang terjadi pada 2002. Dalam bukunya "Ali Imron Sang Pengebom", Ali Imron mengakui terjun ke dalam terorisme merupakan kesalahan dan di akhir bukunya dia meminta maaf pada keluarga korban, keluarganya sendiri (dia menyatakan menyesal telah meninggalkan istrinya saat hamil, dan ketiga anaknya lahir tanpa kehadirannya) dan masyarakat pada umumnya. Ali Imron kini giat membantu polisi dalam memerangi terorisme dan memberikan counseling bagi teroris yang belum sadar. Menyentuh Akar Rumput, program ini tidak hanya ditujukan kepada para tersangka maupun terpidana terorisme, akan tetapi program ini juga diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal, serta menanamkan multikulturalisme kepada masyarakat luas. "Radikalisme" berasal dari kata bahasa Yunani "radix" yang berarti akar. Jadi "akar" dalam radikalisme menjelaskan indoktrinasi yang ditanamkan pada bibit-bibit teroris. Indoktrinasi susah diberantas karena dia mengakar di dalam bibit teroris sejak dini, contohnya melalui pesantren. Dalam kasus pesantren radikal seperti pesantren di Ngruki, diperlukan peran Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua departemen

tersebut sebaiknya bekerja sama dalam menyeleksi bahan-bahan pendidikan agama (membuang unsur radikalisme) dan para gurunya. Beruntung Indonesia selama tiga tahun terakhir ini telah menjalankan program Deradikalisasi ini. Elemen kunci dari program yang dijalankan di Indonesia adalah komunikasi dan perhatian terhadap narapidana terorisme serta menanggapi keperluan khusus mereka, yang seringkali berkaitan dengan kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Dalam kasus berbagai aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh kelompokkelompok tertentu yang bersifat insurjensi seperti FPI dan HTI, maka Polri juga harus lebih tegas. Kelompok ini mungkin tidak perlu dibubarkan, namun ketika terjadi kekerasan, harus diambil tindakan yang tegas dan juga hukuman yang berat. Polri juga harus meningkatkan kualitas intelejennya sehingga dapat memprediksi segala aksi kekerasan yang akan terjadi di masyarakat. Demonstrasi yang menjurus kepada aksi kekerasan harus segera disikapi dengan tegas oleh Polri. Janganlah keragu-raguan akan melanggar HAM menjadi hambatan akan hal ini. Selama dilakukan berdasarkan SOP yang tepat maka kemungkinan itu akan dapat diperkecil walau mungkin akan tetap terjadi juga. Namun Polri harus juga bisa melihat prioritas kepentingan bahwa kepentingan masyarakat luas yaitu terciptanya rasa aman jauh lebih penting daripada kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja. Hal yang perlu diingat adalah bahwa Polri tidak mendeskriditkan agama apalagi sampai mengekang kebebasan beragama pihak tertentu. Namun yang dilakukan oleh Polri adalah bahwa ketika hak tersebut telah masuk dan mengganggu ke ranah hak orang lain dan terciptanya rasa khawatir dan tidak aman maka Polri harus bertindak tegas. Bahwa rasa aman adalah hak setiap warna negara Indonesia dan tidak mengenal perbedaan.

Pidato Kofi Anan, Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 21 November 2011. Adjie S., MSc. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Hal. 9 Adjie S., MSc. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Hal. 11 Ikrar Nusa Bhakti. Reformasi Setengah Tiang. Jakarta: Mizan, 2005. Bab 5: Agenda dan Tujuan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Hal. 150 "Hadapi Terorisme, Pemerintah Ingin Peran TNI Diperbesar", Koran Tempo, 15 Agustus 2003. International Crisis Group (ICG) reports "Deradicalisation and Indonesian Prisons, Executive Summary and Recommendation" Crisis Group Asia No. 142, 19 November 2007. Abu Tholut Pernah Divonis 8 Tahun, Bebas Karena Remisi, detikNews, 20 September 2010. Ibid, ICG ReportNo. 142, 19 November 2007. Dr. Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme, Yayasan Pengembangan Ilmu Kepolisian, 2009. Ibid, ICG Report No. 142, 19 November 2007.

IMPLEMENTASI POLMAS TERHADAP PENANGGULANGAN KONFLIK AHMADIYAH CIKEUSIK BANTEN

IMPLEMENTASI POLMAS TERHADAP PENANGGULANGAN KONFLIK AHMADIYAH CIKEUSIK BANTEN I. PENDAHULUAN Aksi anarkis masyarakat dalam penyeleaian konflik seolah menjadi salah satu jalan penyelesaian sebagian masyarakat, hal ini tercermin dari aksi anarkis masyarakat seperti tawuran, pengrusakan, kerusuhan yang melibatkan massa dan yang baru-baru ini terjadi adalah penganiayaan massa terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten yang menimbulkan kerugian moriil, materiil maupun korban jiwa. Fenomena yang terjadi di masyarakat tersebut tentu tidak dapat dibiarkan, perlu penegakan hukum agar pelaku penganiayaan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Namun demikian, hal ini bukan semata-mata dapat diselesaikan melalui upaya represif kepolisian saja, akan tetapi perlu dikedepankan langkah-langkah pre-emtif dan preventif melalui pemberdayaan masyarakat seperti dengan mengimplementasikan Polmas (perpolisian masyarakat) agar masyarakat dapat bersama-sama kepolisian guna menciptakan kemitraan sejajar dalam penyelesaian permasalahan di masyarakat. II. PEMBAHASAN 1. Kerusuhan Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Konflik Ahmadiyah yang selama ini sempat terhenti dengan dikeluarkannya SKB 3 (Tiga) Menteri kini kembali terulang di Cikeusik Pandeglang Banten dengan menelan kerugian yang besar baik berupa moril, materil dan korban jiwa. Konflik ahmadiyah di Cikeusik tersebut bermula ketika warga Ahmadiyah yang tengah melakukan pengajian di rumah Parman diserang 1.500 massa yang tidak dapat dikendalikan, meskipun saat itu polisi tengah bersiaga karena isu penyerangan tersebut telah terdeteksi sebelumnya oleh kepolisian. Akan tetapi jumlah massa penyerang yang cukup besar membuat polisi kewalahan dan akhirnya massa dapat menyerang langsung ke rumah Parman dan melakukan penyerangan terhadap warga Ahmadiyah yang tengah berada di dalam rumah. 2. Peran Polmas dalam penanggulangan kerusuhan di Cikeusik pandeglang Banten. Kerusuhan massa di Cikeusik Pandeglang Banten sebenarnya dapat dicegah apabila masyarakat Cikeusik lebih menyadari peran dan kewajibannya dalam menjaga keamanan lingkungannya, sehingga berbagai ancaman yang ada dapat segera ditangani oleh masyarakat tanpa melalui jalur-jalur kekerasan. Kurangnya terimplementasinya Polmas menjadi salah satu penyebab kurangnya pengetahuan warga masyarakat dalam menjaga dan memelihara keamanan lingkungan, sehingga berbagai ancaman dan gangguan Kamtibmas dapat dengan mudah terjadi karena lemahnya daya tangkal, daya cegah dan daya lawan masyarakat terhadap berbagai gangguan Kamtibmas yang terjadi dilingkungannya. Penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat melalui implementasi Polmas tentunya bukan hanya retorika semata, karena melalui Polmas tersebut, masyarakat diajak secara langsung untuk melakukan kemitraan dengan kepolisian dalam

menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dan pada akhirnya dengan kemitraan tersebut dapat mengurangi kejahatan, rasa ketakutan akan terjadi kejahatan, dan meningkatkan kualitas hidup warga setempat. Dengan kurang terimplementasinya Polmas di warga masyarakat Cikesuik, maka peran masyarakat sebagai kekuatan inti Kamtibmas pun belum mampu diberdayakan dengan optimal, yang menyebabkan potensi-potensi konflik yang selama ini terpendam di masyarakat Cikeusik dapat dengan mudah berubah menjadi konflik terbuka seperti dengan terjadinya kerusuhan terhadap warga Ahmadiyah saat ini. 3. Implementasi Polmas dalam penanggulangan kerusuhan massa di Cikeusik Pandeglang Banten. Peran Polmas dalam menanggulangi kerusuhan massa di Cikeusik Pandeglang Banten tentu dapat memberi kontribusi besar dalam mengantisipasi, mencegah bahkan mengatasi kerusuhan massa yang terjadi. Namun demikian, implementasi Polmas dalam penanggulangan kerusuhan massa di Cikeusik Pandeglang Banten tentu sebelumnya perlu diimplementasikan dengan baik, melalui langkah-langkah: a. Penunjukan petugas Polmas yang secara aktif melakukan sosialisasi Polmas kepada masyarakat. b. Membuka Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) disetiap wilayah seperti Desa / Kelurahan, sehingga masyarakat dapat secara langsung melakukan komunikasi dengan kepolisian. c. Membangun Balai Kemitraan Polisi Masyarakat (BKPM) sebagai sarana untuk melakukan pertemuan kemitraan antara polisi dan masyarakat dalam membahas berbagai permasalahan yang ada. d. Melakukan sosialisasi terhadap masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui maksud dan tujuan penyelenggaraan Polmas di lingkungannya. III. PENUTUP 1. Kesimpulan Polmas sebagai strategi Polri dalam memberdayakan peran masyarakat masih kurang terimplementasi dengan optimal disetiap wilayah, seperti di Cikeusik Pandeglang Banten dengan adanya kerusuhan Ahmadiyah yang tidak dapat ditanggulangi melalui peran Polmas sebagai kekuatan baru Polri dan masyarakat melalui kemitraan dalam mencegah, menangkal dan menanggulangi gangguan Kamtibmas. Melatar belakangi hal tersebut, peran Polmas di Cikeusik Pandeglang-Banten tentu perlu diimplementasikan dengan optimal agar berbagai potensi gangguan Kamtibmas dapat segera ditangani melalui peran Polmas. 2. Rekomendasi a. Perlu adanya standar pengawasan dan pengendalian secara konsisten agar kegiatan Polmas dapat di monitor. b. Agar Polda dapat merevitalisasi kembali kebijkan implementasi Polmas menjadi prioritas dalam penyelenggaraan tugas Polri, sehingga Polmas dapat segera diimplementasikan dengan optimal. Indonesia
Peranan POLRI dalam menindaklanjuti aliran islam garis keras

Pengantar

Hak semua agama dan aliran kepercayaan untuk hidup dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah dijamin oleh pelbagai undang-undang. Hal itu misalnya eksplisit ditegaskan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 281, ayat 1, yang berbunyi: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hal ini juga memperoleh penegasan di dalam Piagam Deklarasi Universal Hakhak Asasi Manusia (DUHAM) dan dua kovenannya, yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, seperti tercantum dalam UUD (perubahan kedua), Bab X tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28. Sebagai bentuk pelaksanaan undang-undang, aparat negara, dalam hal ini kepolisian, diberi wewenang untuk mengatur dan menjaga kebebasan beragama tersebut. Hal ini dengan gamblang dijabarkan dalam UU Kepolisian nomor 2 tahun 2002. Dalam UU tersebut disebutkan (pasal 13), bahwa tugas-tugas pokok kepolisian adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugastugas pokok tersebut kemudian dijabarkan dalam tugas operasional polisi (pasal 14), sebagai berikut: Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; dan Melakukan menyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakan pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

KILAS BALIK
No. : 130/ TH III / KKI / 2005 Perihal : Konspirasi Politik untuk mengamandemen UU N0. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI

Yang terhormat BAPAK H.R. AGUNG LAKSONO KETUA DPR RI

Dengan Hormat, Legalitas hukum fungsi keamanan Polri kembali dipermasalahkan. Belakangan ini, muncul Konspirasi Politik yang bakal mempercundangi Polri. Kali ini, tahapan pada penggunaan kekuatan politik di parlemen dengan fenomena untuk mengamandemen Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Pendapat yang menjadi alasan krusial berkisar pada : I. Polri negara dalam negara II. Polri arogan dan sombong III. Polri tak mau dikritik dan dikontrol IV. Polri gagal dalam menanganani keamanan I. Polri negara dalam negara Kewenangan Polri terlalu berlebihan, sebagai aparat penegak hukum, Polri juga sebagai aparat penertiban, pengayom, pelindung dan juga bertindak selaku aparat keamanan. Penyidik sebaiknya tidak hanya Polri saja melainkan ada aparat lain. Akan halnya dengan wewenang keamanan yang dimiliki Polri tidak mutlak menguasainya, melainkan TNI juga diberi wewenang karena dalam sepuluh tahun mendatang ancaman pertahanan diperkirakan belum ada, karena Polri tak mampu mengatasi keamanan secara keseluruhan maka TNI peran aktif sangat diperlukan. Polri sebaiknya tidak di bawah presiden langsung, namun Polri ditempatkan di Departemen Dalam Negeri, atau ditempatkan di Departemen Kehakiman atau kalau tidak ditempatkan di Departemen Pertahanan. Nuansa politik belakangan ini ditumbuhkembangkan ke segala sudut penjuru -- fenomenanya jelas agar terbentuk opini -- yang muaranya menuju ke opini parlemen. Sehubungan dengan konspirasi ini, kiranya kita semua patut memahami tentang Polri yang erat kaitan tugasnya dengan keamanan. Masalah keamanan sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum. Kalkulasinya Polri bekerja berdasarkan dinamika kebutuhan, harapan persyaratan para stakeholder ( pemerintah, swasta, masyarakat ) di bidang keamanan yang terjamin dari ketentuan hukum peraturan perundang-undangan berlaku sesuai yang diamanatkan pada Polri. Fungsinya sebagai penerima amanah ,kepercayaan public di bidang perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat serta pemelihara kamtibmas dan penegak hukum untuk mewujudkan keamanan dalam negeri artinya Polri berkiblat pada fluktuasi yang berkembang di masyarakat. Apabila situasi tentram dan damai, hukum belum diperlukan sebab fluktuasi yang berkembang cukup diselesaikan dengan pranata sosial yang ada. Artinya jika ada perselisihan atau beda pendapat penyelesaiannya cukup dengan adat istiadat daerah setempat secara damai.Bila terjadi masalah yang sebaliknya, artinya masalah itu tidak bisa diselesaikan dengan pranata sosial atau adat istiadat yang berlaku -- kemudian gangguan keamanan tak bisa dikendalikan, maka hukum nasional baru diterapkan dengan langkah polisionil untuk menindak para pelakunya. Setelah tindakan polisionil dilakukan, kemudian Polri berupaya untuk memulihkan dengan menegakan ketertiban, mengurangi tindakan yang mengarah pada anarkisme, setelah itu dilakukan langkah pengayoman, ujudnya patroli, penjagaan dan dialog serta bentuk pelayanan yang sesuai dengan domein masyarakat setempat. Peranan masyarakat sangat penting dalam menciptakan rasa aman. Kalkulasinya, rasa aman sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dilindungi Negara. Ini semua bisa terwujud bila hubungan dan interaksi sosial antara

ketiga domien Good Goverment sektor pemerintah / Negarasektor swasta dan sektor usaha serta masyarakat tidak saling eksplotatif tetapi membangun sinergi melalui kemitraan yang harmonis dalam upaya mencapai tujuan nasional yang disepakati bersama sebagai tercantum dalam alinea ke 4 UUD 1945.Dari rasa aman itu lahirlah bentuk partisipasi aktif yaitu patuh hukum. Jadi pada dasarnya keamanan adalah tanggung jawab negara -- yang dilakukan dengan membentuk Lembaga Kepolisian Negara RI. Kinerjanya dibantu oleh segenap masyarakat melalui perbuatan patuh hukum. Artinya keamanan diselenggarakan dengan payung hukum dan Polri bertindak sebagai penegak hukumnya. Penjabarannya, keamanan adalah upaya menengakan hukum nasional. Berkaitan dengan itu, Polri merupakan Polisi Nasional. Apabila sudut pandang ini dijadikan acuan, maka nuansa paradigma baru akan terlihat jelas dan nyata -karena dalam memandang keamanan dalam rangka hukum bukan bagian dari eskalasi ancaman menghadapi musuh. Artinya, masyarakat bukanlah musuh, melainkan warga Negara yang harus dilindungi. Berbicara tentang penegakan hukum, anggota Polri dalam menjalankan tugasnya atas perintah negara -- yang diakomodir dalam ketentuan hukum yang berlaku. Dalam melaksanakannya, sekalipun Polri di bawah Presiden -- dalam penanganan hukum tidak bisa diintervensi oleh Presiden, apalagi Kapolri, Kapolda atau Kapolres. Independensi inilah yang sering diartikan lain. Polri memiliki wewenang yang berlebihan. Sebagai penyidik Polri ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai tersurat pada pasal 6 ayat ( 1 ) yang menyatakan penyidik adalah : a Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia b. Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang oleh Undang-undang Artinya, Polri bukan merupakan institusi negara dalam negara melainkan sebagai aparat penegak hukum untuk kepentingan negara, Polri diciptakan untuk menjaga hukum agar dipatuhi -- oleh siapapun dan mengambil tindakan -- terhadap siapapun -- berdasarkan hukum jika terjadi pelanggaran ketentuan ( norma ) hukum, sehingga terwujud kepatuhan masyarakat atas hukum. Misi inilah yang disalah artikan oleh beberapa pihak hingga sekali lagi Polri memperoleh predikat negara dalam negara. Kalau semua pihak memahami, maka akan memberikan penilaian lain , ternyata Polri menjalankan misinya untuk kepentingan negara. Tentang ambisi Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono TNI untuk memiliki wewenang keamanan, sebagaimana yang diungkapkan dalam media massa beberapa saat yang lalu -landasan hukumnya tak jelas. Dalam konstelasi ketatanegaraan peranan TNI jelas yaitu berfungsi mempertahankan kedaulatan negara. Mengapa mesti merambah pada fungsi keamanan ? Itu semua bagaikan melihat fatamorgana. Jelasnya, jika ancaman kedaulatan dinyatakan sampai 10 tahun belum bakal ada, mengapa dari sekarang tidak memulai merancang Konsep Pertahanan .Tiba-tiba muncul kasus Ambalat terlihat tidak solidnya sistem pertahanan. Konspirasi politik menempatkan Polri dalam konstelasi ketatanegaraan kembali terulang, setelah Maret 2000 gagal menempatkan Polri di bawah Menteri Dalam Negeri, kemudian diulangi akhir Juli 2000 , melainkan ditempatkan di bawah Menteri Kehakiman Sehubungan dengan konspirasi politik ini, sekali lagi Komisi Kepolisian Indonesia menegaskan, sebagai institusi Polri yang berada dalam Criminal Justice System, Polri yang bertugas digarda terdepan tak hanya mengejar tujuan hukum saja -- tetapi Polri harus mengemban tujuan sosialnya sebagai aparat keamanan, ketertiban dan pengayoman masyarakat.

Dalam pada itu, Polri tidak bisa ditempatkan di Departemen manapun atau bahkan membentuk departemen sendiri -- sebab departemen mengemban fungsi eksekutif. Karena Polri perangkat kebijakan, maka tidak dapat dikelompokan ke dalam fungsi eksekutif. Polri juga tidak bisa ditempatkan di lembaga yudikatif agar dalam melaksanakan penegakan hukum ada chek and balance. Perannya terbatas ikut merumuskan peraturan pelaksanaan bersifat administratif. Apalagi ditempatkan satu atap di bawah Menteri Pertahanan -- misalnya karena domeinisasi sisinya berlainan, bidang pertahanan merupakan perimbangan kekuatan antar negara terutama kekuatan senjata. Sedangkan bidang keamanan adalah perlindungnan warganya dan orang lain dalam wilayah Negara secara legal berdasarkan hukum dan cara-cara yang diatur menurut hukum. II. Polri Arogan dan Sombong Sikap arogan dan sombong sangat kental dan melekat baik pada pejabat teras Polri, sejumlah Kapolda, ratusan Kapolres. Pejabat tersebut merasa dirinya menjadi pejabat yang paling penting -- seharinya sangat sibuk -- hingga jika ada masyarakat yang menemuinya harus melalui jalur protokoler yang ketat dan itu pun belum tentu bisa ditemui semua ini erat kaitannya untuk menjaga wibawa agar nampak tinggi. Sikap inilah yang bertolak belakang dengan misi Polri sebagai Pelayan, Pelindung, dan Pengayom masyarakat. Jadi bagaimana mungkin masyarakat bisa dilayani, bagaimana mungkin masyarakat bisa dillindungi, bagaimana mungkin masyarakat bisa diayomi jika elite kepolisian semuanya bermental pejabat ?! Sinyalemen ini, memang ada benarnya tapi tidak terjadi pada semua pejabat di lingkungan Polri secara keseluruhan. Berdasarkan pemantauan Komisi Kepolisian Indonesia pejabat yang arogan dan sombong hanya ada pada pejabat yang lingkungannya menghasilkan banyak uang hasil KKN dari satu kelompok tertentu saja. Jika disebut sejumlah Kapolda dari hasil pemantauan Komisi Kepolisian Indonesia memang benar dan pejabat Kapolda -- ini juga ada pada lingkungan kelompok tertentu pada jabatan basah banyak uang dari hasil korupsi, kolusi dan Nepotisme. Akan halnya Kapolres sebagaimana sinyalemen yang berkembang. Selain Kapolres tersebut banyak menghasilkan uang yang dihalalkan. Jika ternyata permainannya terungkap mereka kemudian berlindung pada elite di Polda atau kelompok elite di Mabes Polri. Jadi arogansi fungsi dan sombong tetap melekat pada pejabat di lingkungan tertentu dari kelompok tertentu saja. Lain halnya dengan Kapolda. Kapolres yang dilingkungan kerja kering artinya nyaris bersih dari KKN -- mereka ini menjalankan tugas-tugas kepolisian penuh dedikasi yang membagakan adalah prestasi. Jumlah pejabat Polri model yang ini sangat banyak jika dikalkulasi ada sekitar 87 persen. Mereka yang jelas tidak mengenal apa itu arogan dan apa itu sombong -- mengapa mesti arogan, toh yang dikejar prestasi kerja!! III . Polri tak mau dikritik dan tidak ada yang mengontrol Jika yang dimaksud pejabat Polri tidak mau dikritik menurut pemantauan KKI memang ada dan ini ada dilingkungan elite di Mabes ,Polri di Jawa ada dua Kapolda , di luar Jawa ada lima Kapolda , pejabat tersebut juga dari kelompok tertentu dan lingkungan tertentu dari dinasti tersendiri. Cirinya , pejabat tersebut jika dikritik menganggap orang yang melontarkan kritik itu memusuhinya . Kritik selalu dianggap menyudutkannya . sekalipun kritik itu sebenarnya dari hasil koreksi kebijakan -kebijakan yang kurang proporsional. Polri pada umumnya selalu terbuka untuk kritik , karena kritik merupakan titik tolak dari dari

pembenahan . Berangkat dari penataan ulang itu banyak Kapolda , Kapolres yang prestasi cukup mengagumkan . Adanya anggapan bahwa Polri tidak mau dikontrol dan tidak ada yang mengontrol , Komisi Kepolisian Indonesia dengan tegas menolak anggapan itu . Secara rinci internal dalam tubuh Polri ada Lembaga Kontrol yaitu , Inspektur Pengawas Umum , Divisi Profesi Pengamanan .Di Polres ada unit P3 D ( Pelayanan, Pengaduan, Penegak Disiplin ). Inspektur Pengawas Umum ini menangani penyalah gunaan wewenang tentang manajerial dalam lembaga Kepolisian . Baik Deputy dilingkungan Mabes Polri , Kapolda, hingga Kapolres jika melakukan penyelewengan terhadap manajemen Polri . Divisi Profesi dan Pengamanan yang bertugas melakukan tindakan terhadap anggota Polri yang menyalah gunakan kekuasaan dan wewenang .Sekitar 130 orang anggota Polri ditindak oleh divisi itu, ujud tindakan yang dilakukan berupa PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat ) baik dari tingkat perwira berkas perkaranya pada reserse apabila ternyata anggota Polri melanggar ketentuan pidana , tetapi jika mereka ternyata hanya kena tuduhan yang kemudian tidak terbukti divisi inilah yang merehabilitir nama anggota Polri tersebut. Selain itu masih ada Komisi Kode Etik, lingkup tugasnya menindak para anggota Polri yang melanggar kode etik. Kontrol external , selain masalah penggunaan anggaran yang secara periodik dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan , Polri dalam menentukan arah kebijksaan, penanganan kasus-kasus langsung dikontrol oleh DPR RI . Dalam Criminal Justice System , Polri dikontrol oleh lembaga Pra Peradilanapabila dalam menerapkan pasal dalam kasus tersebut salah atau melakukan kesalahan dalam penyelidikan atau penyidikan . Untuk selanjutnya dalam menangani perkara Polri langsung diawasi oleh Kejaksaan yang muaranya pada Hakim Selain itu , Komisi Kepolisian Indonesia ( KKI ) sejak awal Maret 2002 berperan aktif unruk mengontrol kinerja Polri serta ikut serta memecahkan masalah , kendala yang dihadapi Polri. Disamping itu, ada LSM lain. Bahkan awal Februar lahir Komisi Kepolisian Nasional yang ditugasi pemerintah untuk mengontrol Polri. IV. Gagal melaksanakan keamanan Pertengahan Februari 2005, Polri kembali dipercundangi, konsep langkah mundur telah disiapkan Dephan yaitu RUU Sinkronisasi Kerja TNI/ Polri. Alasannya, pemisahan TNI/ Polri merupakan langkah kebablasan dari reformasi 1998. RUU ini akan melihat keterpaduan yang baik antara Polri dan TNI karena kalau dipisahkan dalam Undang-undang itu malah akan merepotkan kerja di lapangan kata Menhan Juwono Sudarsono seperti yang dikutip harian Kompas 16 Februari 2005. Lebih lanjut dijelaskan RUU Hankam untuk menjadi induk perundang-undangan yang mengatasi ketimpangan fungsi pertahanan dan keamanan. Dibagian lain Juwono menolak anggapan penyusunanan RUU Hankam dimaksudkan menggabungkan TNI/Polri. Ditambahkan, secara ekspilisit Pasal 30 UUD 1945 masih mengatur keterlibatan kedua institusi terkait usaha pertahanan Negara , yang dilakukan melalui sistem pertahanan rakyat semesta. Sekarang ini kondisinya masih timpang, ada UU TNI, ada UU Kepolisian, tetapi tidak ada UU Keamanan Dalam Negeri, ujar Menhan sebagaimana dikutip Harian Kompas 17 Februari Keterlibatan TNI mengatasi keamanan dalam negeri ternyata masih diperlukan, ujar Menhan. Dalam beberapa kasus konflik seperti Maluku, pertikaian bisa diatasi setelah pasukan TNI turun.

Konflik yang masih dalam koridor keamanan dalam negeri. Akan tetapi keberadaan TNI masih dibutuhkan untuk mengatasi masalah -- terutama ketrika pemerintah daerah maupun kepolisian sudah menyatakan tidak sanggup lagi Sejak pemisahan itu keberadaan TNI selama ini menjadi terpinggirkan, ujar Menhan sebagaimana dimuat Kompas, terutama masalah- masalah ketertiban masyarakat. Padahal beberapa kasus, pemerintah daerah pada kenyataannya malah sering meminta pengerahan pasukan TNI bukan polisi. Hal itu dinilai Juwono sekaligus juga menunjukan kultur masyarakat yang masih belum sepenuhnya menerima keberadaan polisi soal keamanan dalam negeri maupun ketertiban masyarakat, baik karena Polri memang tidak sanggup ataupun karena terbatasnya jumlah personil. Nuansa analisa yang titik tolaknya dari kasusistis ini kemudian akan dijabarkan menjadi naskah akademik UU Hankam --- dengan dalih ketimpangan yang terajdi di lapangan terlihat Menhan Juwono sangat gegabah tanpa mau melihat fakta hukum yang ada. Produk hukum yang memayungi bentuk kerjasama TNI/ Polri sudah ada. Tapi pemerintah lamban mengimplementasikan amanat UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara pasal 41 ayat 1 dan ayat 2 maka bentuk kerjasama antara kedua institusi itu tidak ada legimitasi hukumnya. UU Hankam sama sekali belum dan bahkan tidak akan diperlukan.Justru yang diperlukan adalah Peraturan Pemerintah sebagai amanat UU No 2 Tahuin 2002.Jadi pemeritah seyogyanya mengambil langkah untuk menerbitkan PPlangkah ini merupakan langkah bijak untuk menepis egoisme sektoral institusi yang merupakan faktor penyebab ketidaktertiban sistem yang sangat berpengaruh pada upaya penegakkan hukun.Solusi terbaik setelah PP terbit adalah mengembalikan pada fungsi dan peran masing-masing sesuai dengan tatanan yang ada. Keamanan Dalam Negeri spektrumnya sangat luas - dari ancaman yang paling ringan yaitu gangguang ketertiban, ketentraman umum serta kriminalitas, pelanggaran lalulintas sampai pada gangguan terhadap keamanan Negara, seperatis bersenjata, sabotase, terorisme dan subversi. Sumber anacamannya bisa datang dari luar negeri, namun bisa berasal dari dalam negeri sendiri dimensinya bisa berasal dari masalah idologi, politik, ekeonomi, sosial budaya maupun keamanan yang kesemuanya dipengaruhi lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional. Polri yang memiliki otoritas penanggung jawab keamanan harus mencermati kemudian mengantisipasi agar totalitas Polri dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, penegakkan hukum sekaligus pemelihara Kamtibmas dapat melaksanakan dengan optimal. Di sisi lain, anggaran untuk melaksanakan operasional Kepolisian yang dialokasikan dalam APBN Polri masih jauh dari kebutuihan ideal bahkan boleh dikatakan tidak mencukupi dari kebutuhan minimal. Selama ini anggaran yang dialokasikan lebih kurang 30 % dari kebutuhan ideal. Realisasi anggaran yang minimal itu dimanfaatkan secara maksimal berbagai kegiatan operasional untuk 913 strata organisasi dari tingkat Mabes Polri, sampai Polsek.

Barometer penegakkan hukum salah satunya adalah mampu dan tidaknya Polri mengungkapkan kasus tindak pidana. Sebanyak 5.500 kasus tindak pidana hanya mampu diselesaikan sekitar 1.600 kasus. Terbatasnya pengungkapan kasus-kasus tindak pidana itu --- bukan karena tidak

profesionalnya penyidik Polri melainkan dukungan anggaran penyidikan sangat kecil. Manakala pihak Badan Reserse Kriminal mengajukan anggaran sebesar RP 990 milhyar realisasi dukungan anggaran penyidikan itu hanya Rp 46 milyar dibagi untuk 30 Polda.

Sisi lain: sistim pembinaan personil atas selera pimpinan. Polri dalam paradigma baru hendaknya tidak dipandang sebagai institusi profesi saja, melainkan dilihat sebagai representasi fungsi negara dalam melindungi warganya dengan payung hukum . Peranan Polri di sini wajib untuk menegakan sesuai dengan aturan hukum positif yang dipertanggungjawabkan secara hukum pula. Polri sebagai penegak hukum yang ada dalam wadah criminal justice system berada di garda terdepan dalam menegakan hukum karena pada dasarnya hukum untuk kepentingan negara. Sesuai dengan karakteristik utamanya Polri memiliki wewenang dalam menegakan hukum dan bersenjata. Kewenangan yang demikian besar, hingga tak dimiliki oleh instansi lain seperti Hakim, jaksa. Dengan kewenangan itu, Polri sering dipandang sebagai sosok yang menakutkan. Penyalahgunaan kekuasaan baik secara individual maupun organisatorik kerap terjadi dalam sejarah perkembangan kepolisian dunia. Bahkan secara organisatorik kepolisian digunakan untuk kepentingan politik penguasa Polisi memiliki kekuasaan yang berlebihan. Kewenangan yang demikian besar itu yang belakangan ini dijadikan komoditi politik . Arogan dan sombong memang masih menyelimuti tubuh oknum Polri. Kedua sifat itu lahir karena oknum pejabat itu merasa diri kuat dalam menduduki jabatan itu. Mereka jika dikritik, dengan spontan mengatakan jabatan yang saya pangku datangnya bukan dari orang yang suka mengkritik itu, melainkan dari atasan langsung. Kenapa mesti takut ?! Jadi biarkan saja mereka mengkritik . Biarkan anjing menggonggong kafilah berlalu. Jadi, yang penting tetap baik di mata pimpinan Polri dan pimpinan negara ( Presiden Megawati waktu itu ). Sikap arogan dan sombong ini lahir dari satu sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia yang menggunakan sistem By Window (siapa yang dilihat dan diingat, siapa yang dekat dan dari mana dia ) di luar jangkauan ini hanyalah mereka menunggu nasib.Alias teraniaya. Maka berbondong-bondong perwira-perwira Polri ( semasa pemerintahan Megawati ) untuk dekat dengan pejabat yang masuk kategori dekat pimpinan Polri dan ( Presiden Megawati ), serta merta mereka ikut dalam konfigurasi politik praktis untuk mendukung Megawati -- hasilnya tentu tidak mengecewakan. --- jabatan Kapolda pun mudah didapat, jabatan Direktur Lalu Lintas mudah diraih, jabatan Direktur Reserse dan Kapolres daerah basah pun mudah diduduki.Akanhalnya pangkat seperti Kombes, Brigjen hingga Irjen Pol. Jadi Dewan Kebijakan ( sebutan populernya Wanjak ) yang semestinya mengacu pada perjalan karir anggota Polri saat itu hanya formalitas -- De Jure berupa persetujuan pejabat tertentu dengan paraf, namun rapat Dewan Kebijakan ( de facto ) tak ada . Penentuan jabatan megacu perintah Kapolri. .Warisan ini, membuat tatanan sistim SDM Polri berantakan disektor tertentu;

1. Brigjen langsung promosi Irjen Pol tanpa melalui jenjang sekolah Lemhanas atau Sespati dan langsung memangku jabatan Kapolda ( basah ). 2. Tiga Brigjen serta merta naik pangkat Irjen Pol padahal ketiganya terlibat kasus. 3. Kombes langsung promosi Brigjen padahal Akpol angkatan 1983 sementara angkatan 1979, 1980, 1981,1982 seorang pun belum ada yang promosi Brigjen. 4. AKBP angkatan 1985 langsung Kombes sementara angkatan 1984 seorang pun belum ada yang promosi Istimewanya Kombes ini menjabat Kapolres Jakarta yang semestinya dijabat oleh seorang Kombes yang senior. Soliditas institusi, nampak rapuh sekali manakala Megawti tidak terpilih jadi Presiden. Kebijakan Kapolri tentang penempatan sejumlah perwira tinggi maupun perwira menengah mendapat kritikan tajam. Berbareng dengan itu para pati dan pamen yang ikut dalam konfigurasi politik praktis itu menjadi cemas. Apalagi ketika ada isu Kapolri akan diganti soliditas institusi nampak semakin kacau balau empat orang tanpa sungkan-sungkan mencalonkan diri sebagai Kapolri - masing-masing akses ke kubu Presiden terpilih -- ada yang langsung namun adapula yang lewat orang terdekat SBY. Konspirasi ini menandakan bahwa Kapolri sudah tidak punya wibawa sama-sekali. Dilain fihak para pati dan pamen yang cemas tadi semakin tambah cemas. Walhasil organisasi Polri nyaris mengalami stagnasi baik tingkat Mabes Polri dan Polda-polda -- yang Kapolda ikut konfigurasi politik praktis. Bulan belakangan ini ada sedikit pembenahan , Dewan Kebijakan kembali berfungsi. Penentuan jabatan diatur secara otonom atas usulan Kapolda.Jadi jabatan Kapolres tidak lagi ditentukan dari Mabes Polri -- namun tetap ada intervensi dari Kapolri . Dalam pada itu , Kapolda memiliki wewenang penuh penambahan personil di Polda masing-masing. Setiap tahunnya Polri menambah 26.000 bintara untuk sekolah Polisi Negara yang ada di Polda seluruh Indonesia. Masing-masing Polda menerima kuota 700 siswa.sistem rekrutmen menggunakan cara magang, 5 bulan sekolah, lima bulan praktek dan sebulan sekolah lagi untuk diadakan evaluasi, baru setelah itu diangkat menjadi Bintara Polri. Sistem rekrutmen semacam ini dilakukan oleh Polisi Belanda, Polisi Inggris, Polisi Jerman dan Polisi Amerika Serikat. Idealnya untuk Polri penambahan jumlah personil setiap tahunnya adalah 66.000 orang.Namun karena anggaran serta kemampuan lembaga pendidikan yang terbatas, jadi untuk mencapai ratio jumlah Polri dengan jumlah penduduk 1:300 sebagaimana standar yang ditentukan oleh PBB -- masih 15 tahun lagi. Namun Polri menargetkan jumlah Polri 1 : 500 manakala penduduk Indonesia yang setiap tahunnya bertambah 2 % pada tahun 2006 jumlah menjadi 250 juta dengan anggota Polri menjadi 500.000 orang.

IV. Kondisi Polri saat ini. .Pada kurun waktu 2003 - 2005, Komisi Kepolisian Indonesia melihat adanya fenomena budaya penguasa yang sangat kental menyelimuti gaya kepemimpinan Polri, baik dari elite Polri sampai pada para Kapolda. Gaya kepemimpinan yang demokratis, nampak hanya lips service saja, berupa pernyataan-pernyataan resmi serta sanggahan-sanggahan apabila muncul kritik dari opini publik. Padahal kurang solidnya manajemen Polri imbasnya -- memperlemah kinerja yang tidak sinergis. Kurangnya kebersamaan antara elite Polri ada kesan pimpinan yang sentralistik eksklusivisme, kelompok, angkatan mengkristal hingga membentuk barisan sendiri .

Gaya-gaya kepemimpinan militeristik, juga masih nampak kentara sekali, baik di lingkunganlingkungan kerja elite Polri, Kapolda sampai Kapolres. Dari sikap arogansi fungsi ini fenomena publik menjadi terbalik, semula dengan arus reformasi ini elite Polri diharapkan sudah menanamkan moral dan jati diri sebagai aparatur penegak hukum, pengayom masyarakat, pelindung serta pelayan dan pembimbing, ternyata yang ada adalah supremasi power yang mengaburkan tegaknya supremasi hukum. Hingga awal Mei 2005 gaya kepemimpinan ini, belum diadakan instrospeksi internal yang dilakukan secara total dengan mengubah mental penguasa menjadi penyedia jasa pelayanan. Suasana lingkungan masih diwarnai dengan nuansa kekuasaan . Sikap antagonis dengan opini publik belum dirubah dengan membentuk citra positif -- hingga yang terjadi justru malah kontra dengan opini publik . Sebagaimana yang dilakukan elite selama ini yang merupakan fungsinya sebagai pengayom dan pelindung bertindak dengan bersikap untuk meyakinkan masyarakat masih menyalahkan masyarakat. Kalau saja ada kemauan politik untuk menghapus gaya kepemimpinan yang klasik itu --kemudian yang ada gaya kepemimpinan demokratis, partisipatis, mampu bertindak sebagai motivator, stimulator, pasilitator, serta memiliki ketauladanan yang kuat. Menghapus sikap lebih banyak memerintah, lebih banyak memberikan instruksi-instruksi tanpa mempedulikan serta aspirasi anggotanya, niscaya figure pimpinan yang arif akan terlihat. Gaya kepemimpinan yang didominasi lebih meghitung kesalahan, ketimbang memberikan penghargaan atas prestasi, yang berdampak pada anggota selalu menjadi korban akibat pelampiasan stresor melawan dianggap melanggar kode etik kemudian dimutasikan sebagai Pagugas ( perwira penunggu tugas ) . VI Perlukah UU No 2 Tahun 2000 diamandemen ?! Tahun belakangan ini, sebagai penegak hukum anggota Polri cenderung bersikap represif. Peran dan fungsinya sebagai pelayanan masyarakat dan pemeliharaan ketertiban sebagai upaya prefentif makin jauh ditinggalkan padahal fungsi prefentif jauh lebih substansial, penting lagi pula strategis ketimbang tindakan represif itu. Semakin jauh meninggalkan upaya-upaya prepentif yang demokratis lagi persuasif itu, mengakibatkan adanya kebuntuan dalam penegakan hukum. Berkaitan dengan itu, maka perlu dengan segera mengembalikan status Polri berdasarkan fungsinya yang akomodatif, antisifatif terhadap perkembangan. Setelah melihat fakta yang ada, kelemahan berada pada tingkat manajerial bukanlah perangkat undang-undang atau peraturan. Jadi kesimpulannya, amandemen UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI kiranya belum perlu dilakukan. Soliditasnya cukup handal. . Penyusunan UU No2/ 2002 melalui proses yang sangat demokratis sesuai dinamika Reformasi. Saat ini UU no2 / 2002 masih obyektif dilingkungan strategis dan untuk mendatang UU No2/ 2002 masih dalam korido membangun Polri yang proporsional dan profesional. Justru yang perlu dibenahi adalah personil mengawaki organisasi Polri masih banyak yang kurang profesional Artinya, para pejabatnya dipilih yang lebih memihak kepada masyarakat atau kepentingan bangsa. Dengan demikian akan lahir dampak positif, hilangnya dominasi kekuasaan, kemudian menjelma ciri baru yang dibangun berdasarkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta perlindungan HAM. Merunjuk hakekat fungsi kepolisian sebagai aparatur negara penegak hukum, kedudukan Polri perlu ditata dalam kesatuan penyelenggaraan kebijakan pidana criminal policy dan sistem penuntutan yang berada di bawah tanggung jawab Jaksa Agung. Tetapi di sini peranan Polri

tetap sebagai penyidik utama. Semata-mata bertujuan agar terwujudnya obyektivitas penyidikan dan penuntutan. Sedangkan sebagai aparatur ketertiban dan pelayan masyarakat, kedudukan Polri perlu ditata dalam tatanan kebijakan dengan Departemen Dalam Negeri, setidak-tidaknya dalam hubungan sinergis. Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan fungsi dan status Polri kiranya perlu segera dilakukan reposisi Polri yang sangat berkaitan dengan fungsi Kejaksaan dan Departemen Dalam Negeri. Cukup beralasan dan logis, jika kepolisian dibangun sebagai lembaga yang terkait secara teknis administratif dengan Departemen Dalam Negeri dan dari aspek juridis investigasi, berkoordinasi dengan kejaksaan, namun tetap bertanggung jawab dengan presiden sebagai kepala negara. Degan konstruksi ini, niscaya Polri dalam menyelenggarakan fungsinya sesuai dengan harapan masyarakat.Terima kasih atas kerjasamanya Jakarta 2 Juni 2005 KOMISI KEPOLISIAN INDONESIA

ATHAR KETUA

Sejarah islam di Indonesia Peraturan tentang beragama tujuan utama para teroris adalah menghancurkan sistem ekonomi, politik dan sosial masyarakat suatu negara untuk digantikan oleh struktur yang baru secara total.

You might also like