You are on page 1of 12

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMA MATA Trauma mata merupakan salah satu penyebab kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda. Kelompok usia ini mengalami sebagian besar cidera mata yang parah. Walaupun dapat dicegah, trauma dapat meyebabkan kematian, kesakitan dan kecacatan.1 Dewasa muda terutama pria merupakan kelompok yang kemungkinan besar mengalami cedera tembus mata. Kecelakaan di rumah, kecelakaan lalu lintas, kekerasan, ledakan aki, cedera akibat olahraga merupakan keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata.3 Trauma mata menjadi penyebab terbanyak dari kasus katarak, meliputi trauma fisik, mekanis dan kimia. Katarak monokuler sekunder paling banyak disebabkan oleh trauma fisik berupa trauma tembus ataupun tak tembus yang dapat merusak kapsul lensa, sehingga cairan COA sering masuk ke dalam lensa, dan menyebabkan katarak. Sementara trauma tak tembus dapat menimbulkan katarak dengan berbagai bentuk meliputi vassious ring berbentuk lingkaran kecoklatan dari pigmen iris akibat cetakan pupil pada lensa; Rosset, terjadi segera setelah trauma tumpul, berupa perubahan susunan serat-serat lensa; Lamellar berupa perubahan permeabilitas kapsul lensa yang menyebabkan degenerasi korteks superfisial, atau robeknya kapsul lensa, sehingga bahan lensa dapat keluar ke COA dan menimbulkan komplikasi lain berupa glaukoma dan absorpsi dapat mengakibatkan afakia; Wrinkled atau kapsul lensa yang keriput. Berdasarkan penyebabnya trauma mata terbagi atas trauma mekanik tumpul, trauma mekanik tajam (tembus atau perforasi), trauma panas, trauma listrik, trauma kimia dan trauma radiasi. Pada kasus trauma hal-hal yang perlu diperhatikan adalah jenis trauma, grade atau tingkat kerusakan yang didasarkan pada pemeriksaan visus awal, ada atau tidaknya defek pupil aferen pada mata yang terkena serta luas atau lokasi trauma.1 Trauma dapat menyebabkan kerusakan pada kelopak, konjungtiva, sklera, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita. Kerusakan-kerusakan tersebut akan mengakibatkan serta memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Komplikasi dari trauma mata bisa mengakibatkan hematoma palpebra, ruptura kornea, ruptura membran descement, hifema, iridopareseiridoplegia, iridodialisis, irideremia, katarak tarumatika, subluksasio lentisluksasio lentis, hemoragia pada korpus vitreum, glaukoma, ruptura sclera, ruptura retina, anopthalmus.4 Bentuk-bentuk kerusakan pada bola mata yang biasa terjadi bila disebabkan oleh benda tajam atau benda asing yang masuk ke bola mata antara lain: bilik mata dangkal, tajam penglihatan menurun, terlihatnya ruptur pada kornea dan sklera, terdapatnya jaringan yang prolaps seperti iris, lensa, badan kaca dan retina, laserasi lamellar, bentuk dan letak pupil berubah, penetrasi serta perforasi.1

Ruptur kornea merupakan trauma pada kornea baik partial- maupun fullthickness. Luka partial-thickness tidak mengganggu bola mata (abrasi). Luka fullthickness penetrasi penuh pada kornea, menyebabkan ruptur dari bola mata. Langkah pertama dalam evaluasi trauma kornea adalah menentukan apakah termasuk luka full-thickness atau bukan dan mengakibatkan rupture bola mata. Luka full-thickness akan menyebabkan aqueous humor keluar dari bilik mata depan, yang ditandai dengan korea yang rata, gelembung air di bawah kornea, atau pupil asimetris sekunder karena iris yang menonjol kearah defek kornea. Epidemiologi Terdapat sekitar 2,4 juta trauma okuler dan orbita di Amerika serikat setiap tahunnya, dimana 20.000 sampai 68.000 dengan trauma yang mengancam penglihatan dan 40.000 orang menderita kehilangan penglihatan yang signitifikan setiap tahunnya. Di Amerika Serikat trauma merupakan penyebab paling banyak dari kebutaan unilateral.5 United States Eye Injury Registry (USEIR) merupakan sumber informasi epidemiologi yang digunakan secara umum di AS. Menurut data dari USEIR, rata-rata umur orang yang terkena trauma okuli perforans adalah 29 tahun, dan laki-laki lebih sering terkena dibanding dengan perempuan. Menurut studi epidemiologi international, kebanyakan orang yang terkana trauma okuli perforans adalah laki-laki umur 25 sampai 30 tahun. Selain itu cedera akibat olah raga dan kekerasan merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan trauma.5 Benda asing intraokular merupakan penyebab pada 20-40 % cedera tembus mata. Komposisi benda asing yang biasanya didapatkan adalah logam, dan menurut laporan yang ada kecenderungannya berkisar antara 86 % sampai 96 %. Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada 297 pasien yang terkena benda asing intraokular, 98 % pasiennya adalah laki-laki, dan 80 % dari kecelakaan yang terjadi adalah saat menggunakan palu. Menurut United States Eye Injury Registry (USEIR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur rata-rata 31 tahun.3 III. 3. Etiologi dan Klasifikasi Beberapa keadaan yang bisa menyebabkan terjadinya trauma mata antara lain : kecelakaan penerbangan, kekerasan dalam tindak kejahatan, ledakan, cedera olahraga, dan juga kecelakaan kendaraan bermotor. Selain itu beberapa keadaan yang juga bisa menyebabkan cedera mata antara lain :7,8 Benda asing yang menempel di bawah kelopak mata atas atau pada permukaan mata, terutama pada kornea. Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras ataupun lambat. Trauma tumpul akibat objek yang cukup kecil

dan tidak menyebabkan impaksi pada pinggir orbita (bola squash, sumbat botol merupakan beberapa penyebab trauma). Perubahan tekanan mendadak dan distorsi bola mata dapat menyebabkan kerusakan berat. Trauma tembus bola mata biasanya disebabkan oleh benda tajam yang dapat diikuti oleh adanya benda asing yang ikut masuk kedalam bola mata. Trauma tembus dimana struktur okular mengalami kerusakan akibat benda asing yang menembus lapisan okular dan juga tertahan dalam mata. Penggunaan sabuk pengaman dalam kendaraan menurunkan insidensi cedera tembus akibat kecelakaan lalu lintas. Trauma kimia dan radiasi dimana reaksi resultan jaringan okular menyebabkan kerusakan. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian dan perang dengan senjata kimia modern. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam bentuk trauma asam dan trauma basa (alkali). Pengaruh bahan kimia sangat tergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia tersebut yang mengenai mata. Dibanding bahan asam, trauma oleh bahan alkali cepat merusak dan menembus kornea. Trauma radiasi yang sering ditemukan adalah akibat sinar infra merah, sinar ultraviolet, sinar X dan sinar terionisasi. Trauma radiasi ini biasanya dihubungkan dengan pekerjaan di bidang industri. Masuknya benda asing (logam, debu, kayu, bahan tumbuhan, kaca, dan bahkan bulu serangga) ke dalam kornea dapat terjadi saat memukulkan logam atau batu, tertiup ke mata oleh angin dan juga lewat cara-cara lain yang tidak lazim. Biasanya ukuran benda asing itu kecil, terdapat sisi yang tajam, dan dengan kecepatan yang tinggi. Hal ini dapat terjadi saat memukulkan logam ke logam, memahat ataupun mengoperasikan bor logam. Benda kecil dengan kecepatan tinggi yang masuk ke mata biasanya mengakibatkan kerusakan minimal dari jaringan sekitar. Seringkali, luka di kornea atau antara kornea dan sklera bisa menutup sendiri. Tempat akhir dari benda asing didalam mata dan juga kerusakan yang ditimbulkan olehnya ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ukuran, bentuk dan juga momentum saat terjadi benturan, serta seberapa dalam penetrasinya di bola mata.9 Berdasarkan Birmingham Eye Trauma Terminology System (BETTS), trauma okuli dibagi atas 2 yaitu:10 1. Trauma bola mata tertutup (closed-globe injury) Kontusio Laserasi lamellar 2. Trauma bola mata terbuka (open-globe injury) Ruptur Laserasi

o Penetrasi o Intraocular foreign body (IOFB) o Perforasi Saat melakukan pemeriksaan pada pasien dengan trauma okuli, adalah penting untuk menentukan klasifikasi dari trauma karena dengan ini penanganan yang cepat dapat dilakukan.11 III. 4. Patofisologi Secara anatomis, trauma mekanik bola mata dapat terjadi trauma mekanik pada kelopak mata, saluran lakrimal, konjunctiva, sklera, kornea, iris, badan siliar, lensa dan badan kaca, koroid dan retina serta orbita.11 Trauma mekanik pada kelopak mata dapat menembus sebagian tebalnya kelopak mata atau seluruh tebalnya kelopak mata. Jika mengenai levator aponeurosis, dapat menyebabkan suatu ptosis yang permanen.11 Oleh karena lokasi saluran lakrimal adalah superficial, maka trauma yang ,mengenai kantus medial, cenderung untuk merusak sistem pengaliran air mata dari punctum lakrimal sampai ke rongga hidung. Ruptur pembuluh-pembuluh darah kecil akibat trauma tajam pada konjungtiva disamping dapat menyebabkan robekan konjungtiva, juga dapat menyebabkan pendarahan subkonjungtiva.11 Dilakukan juga inspeksi pada konjungtiva bulbi untuk mencari adanya perdarahan, benda asing atau laserasi.6 Luka kecil pada sklera pada bagian depan, kadang-kadang sukar dilihat oleh karena tertutup oleh kemosis konjungtiva atau oleh perdarahan. Pada luka yang agak besar akan terlihat jaringan uvea berwarna gelap disertai bilik mata depan yang dangkal. Bila luka perforasi pada sklera, letaknya dibelakang badan siliar, biasanya bilik mata bertambah dan iris terdorong ke belakang, koroid dan badan kaca prolap melalui luka tembus.11 Ukuran, bentuk dan reaksi cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil aferen di mata yang cedera. Pada cedera mekanik dapat ditemukan dengan atau tanpa pupil yang eksentrik. Akibat perlengketan iris dengan bibir luka kornea, akan terdapat bentuk pupil yang lonjong atau perubahan bentuk pupil.5 Pada trauma mekanik retina dapat terjadi ablasio retina. Trauma pada orbita dapat menyebabkan terjadinya proptosis atau eksoftalmus karena perdarahan intra orbital, perubahan posisi bola mata, pembatasan pergerakan bola mata, protusi lemak orbital ke dalam luka perforasi dan kebutaan bila mengenai saraf optik. Gejala-gejala khusus lain pada trauma mekanik orbita yaitu bila mengenai saraf optik dengan gejala defek lapangan pandang sampai kebutaan, bila mengenai otot-otot luar mata dapat terjadi kehilangan sebagian pergerakan bola mata dan diplopia. III. 5. Gejala dan tanda klinis Perlu ditanyakan bagaimana terjadinya trauma, perubahan penglihatan, atau terasa adanya benda asing pada mata. Walaupun sensasi benda asing pada mata tidak ada, evaluasi adanya kemungkinan benda asing memasuki mata. Penetrasi pada mata dapat tidak disadari oleh pasien, terutama seperti pada

pecahan logam yang kecil dan memasuki mata, atau pada mesin dengan kecepatan tinggi sebagai sumber benda asing. Juga diperhatikan benda tumpul yang tetap dapat menyebabkan laserasi jika kontak dengan kornea. Pada kasus seperti ini, pasien mungkin mencari pengobatan setelah rasa sakit meningkat, penurunan penglihatan atau infeksi.2 Evaluasi ketajaman penglihatan segera setelah trauma merupakan pemeriksaan penting. Tes ketajaman penglihatan setiap mata dengan Snellen chart, atau hitung jari, pergerakan tangan, atau persepsi cahaya jika pasien tidak dapat membaca Snellen chart. Hal ini akan membantu dokter mata dalam menentukan intervensi, terapi, dan rehabilitasi yang mungkin diperlukan. Anamnesis tajam penglihatan pasien sebelum trauma termasuk riwayat penyakit mata sebelumnya atau operasi mata. Catat pula riwayat medis yang berhubungan, obat-obat yang dikonsumsi, alergi, dan status imunisasi tetanus. Gejala yang ditimbulkan tergantung jenis trauma serta berat dan ringannya trauma: Trauma tajam selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai tertinggalnya benda asing didalam mata. Benda asing yang tertinggal dapat bersifat tidak beracun dan beracun. Benda beracun contohnya logam besi, tembaga serta bahan dari tumbuhan misalnya potongan kayu. Bahan tidak beracun seperti pasir, kaca. Bahan tidak beracun dapat pula menimbulkan infeksi jika tercemar oleh kuman. III. 6. Diagnosis Diagnosis trauma mata ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Walaupun begitu, trauma mata jarang mengancam nyawa dan penanganan haruslah diprioritaskan ke trauma lain yang lebih mengancam nyawa. Anamnesis Pada anamnesis perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah trauma atau saat trauma terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba-tiba. Harus dicurigai adanya benda asing apabila ada riwayat pemakaian palu, pahat, ataupun ledakan, dan harus dipertimbangkan untuk melakukan pencitraan. Pemakaian palu dan pahat dapat melepaskan serpihan-serpihan logam yang akan menembus bola mata, dan hanya meninggalkan petunjuk perdarahan subkonjungtiva yang mengindikasikan adanya penetrasi sklera dan benda asing yang tertinggal. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma, namun gejala ringan dapat menyamarkan benda asing intraokular yang berpotensi membutakan.7 Anamnesis tentang ketajaman visus sebelum trauma dan riwayat penyakit mata atau operasi mata amat membantu dalam

mendiagnosis suatu trauma okuli. Riwayat penyakit sistemik, pengambilan obat-obatan, riwayat alergi, suntikan imunisasi tetanus dan pengambilan oral terakhir perlu ditanyakan sebagai kemungkinan persediaan operasi.11 Pemeriksaan fisis Sebisa mungkin dilakukan pemeriksaan oftalmik lengkap termasuk pemeriksaan visus, reaksi pupil, lapangan pandang, pergerakan otot-otot ekstraokular, tekanan intraokular, pemeriksaan slit lamp, funduskopi dan lain-lain Pemeriksaan tajam penglihatan harus dilakukan, dengan memperhatikan untuk tidak menambah tekanan pada bola mata.2 Jika memungkinkan, penentuan tajam penglihatan didahulukan daripada pemeriksaan lainnya atau pengobatan dan tes setiap mata secara terpisah dengan lensa koreksi. Tes pinhole dapat membantu membedakan kelainan refraktif dari penglihatan yang belum dikoreksi ketika kacamata tidak tersedia, Tujuan dari tes adalah untuk mendapat keterangan penglihatan secepat mungkin setelah trauma. Pemeriksa harus dapat melaporkan status penglihatan pasien kepada dokter mata. Gunakan alat pemeriksa tajam penglihatan yang sesuai usia seperti Snellen chart, logmar, atau rosenbaum. Jika penglihtan pasien terbatas, tentukan apakah pasien dapat menghitung jari, lambaian tangan, atau persepsi cahaya. Pemeriksaan Slit lamp Periksa kornea dengan slit lamp untuk mencari penetrasi pada bilik mata depan. Bilik mata depan yang dangkal, pupil yang tidak bulat (bentuk air mata), hifema (darah pada bilik mata depan), gelembung pada bilik mata depan, atau kornea yang mendatar dapat menandakan perforasi kornea. Kebocoran Aqueous humor dari bilik mata depan dapat diketahui dengan melakukan seidel test. Tes ini dilakukan dengan memberikan langsung fluoresin pada lesi kornea. Visualisasi dari zat warna yang mencair dibawah cahaya hitam (tes positif) menandakan kebocoran. Seidel tes yang negatif (tidak ada pencairan fluoresin) menandakan trauma partial-thickness tetapi mungkin terlihat kecil atau lesi yang menutup spontan. Pastikan memeriksa benda asing yang terdapat di bilik mata depan, terutama jika riwayat pasien menunjukkan laserasi kornea dari benda kecil dengan kecepatan tinggi (seperti menempa logam). Laserasi Full-thickness corneal Semua perforasi kornea perlu dirujuk ke dokter mata Jangan menekan bola mata Segera beri perlindungan pada mata yang terkena Minta pasien untuk tidak menggerakkan mata karena kontraksi otot ekstraokular dapat menyebablan ekstrusi isi intraocular.

Laserasi kornea Full-thickness sering menimbulkan hilangnya aqueous humor menghasilkan bilik mata depan yang dangkal atau datar. Prolaps atau inkarserasi iris dapat menimbulkan bentuk pupil seperti air mata. Hifema, atau adanya darah di bilik mata depan, menandakan penetrasi bilik mata depan. Hifema dapat juga ditemukan pada trauma tumpul, trauma non-penetrasi.

Pemeriksaan penunjang Foto polos2 Foto polos orbita kurang membantu dalam menentukan kelainan berbanding CT-scan. Tetapi foto polos masih dapat dilakukan. Antaranya foto polos 3 posisi, proyeksi Waters, posisi Caldwell dan proyeksi lateral. Posisi-posisi ini berfungsi untuk melihat dasar orbita, atap orbita dan sinus paranasalis. Ultrasonografi2 USG membantu dalam melihat ada tidaknya benda asing di dalam bola mata dan menentukan lokasi ruptur. CT-scan2 CT-scan adalah metode pencitraan paling sensitif untuk mendeteksi ruptur yang tersembunyi, hal-hal yang terkait dengan kerusakan saraf optic, adanya benda asing serta menampilkan anatomi dari bola mata dan orbita. MRI 2 MRI sangat membantu dalam mengidentifikasi jaringan lunak bola mata dan orbita. III. 7. Penatalaksanaan Empat tujuan utama dalam mengatasi kasus benda asing intraokular adalah9 1. Memperbaiki penglihatan. 2. Mencegah terjadinya infeksi. 3. Mempertahankan arsitektur mata. 4. Mencegah sekuele jangka panjang. Mata ditutup untuk menghindari gesekan dengan kelopak mata. Benda asing yang telah diidentifikasi dan telah diketahui lokasinya harus dikeluarkan. Antibiotik sistemik dan topikal dapat diberikan sebelum dilakukan tindakan operasi. Untuk mengeluarkan benda asing, terlebih dahulu diberikan anestesi topikal kemudian dikeluarkan dengan menggunakan jarum yang berbentuk kait dibawah penyinaran slit lamp. Penggunaan aplikator dengan ujung ditutupi kapas sedapat mungkin

dihindari, karena dapat merusak epitel dalam area yang cukup luas, dan bahkan sering benda asingnya belum dikeluarkan.7 Pengeluaran benda asing yang berada di dalam kamera anterior dilakukan secara parasentesis (bukan tepat di depan celah luka), dengan sudut 90-180 dari lokasi benda asing yang sebenarnya. Viskoelastik biasanya digunakan untuk menghindari kerusakan iatrogenik dari endotel kornea dan lensa. Benda asing yang masuk ke lensa tidak selalu menyebabkan katarak. Kecuali jika ada resiko terjadinya siderosis atau kerusakannya luas. Pada kasus seperti ini biasanya lensanya diangkat bersama benda asing didalamnya, atau bisa juga benda asingnya terlebih dahulu dikeluarkan, kemudian lensanya dan setelah itu intraocular lens (IOL) diimplantasi. Benda asing yang berada di segmen posterior memerlukan tindakan vitrektomi kecuali bila kerusakannya minimal. Prosedur yang biasa dilakukan untuk ekstraksi benda asing besi adalah dengan menggunakan magnet intraokular. Sedangkan untuk benda asing yang bukan besi biasanya digunakan forsep.12 III. 8. Komplikasi Trauma mata Trauma dapat menyebabkan terjadinya katarak traumatika. Katarak trumatika adalah katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa. Trauma yang terjadi dapat berupa trauma fisik: trauma tembus atau trauma tak tembus (tumpul). Katarak akibat trauma tembus dapat dalam bentuk laserasi, yaitu robekan pada kapsul lensa yang menyebabkan isi lensa bercampur dengan cairan aquos dan dapat menimbulkan katarak. Sedangkan katarak akibat trauma tumpul ditemukan dalam bentuk:9 a. Cetakan pupil pada lensa akibat trauma tumpul yang berbentuk vossious ring yaitu lingkaran yang terbentuk oleh granula coklat kemerahan dari pigmen iris dengan garis tengah + 1 mm. Cincin ini dapat menghilang sedikit demi sedikit. b. Katarak berbentuk roset, terjadi segera atau beberapa waktu setelah trauma. trauma tumpul mengakibatkan perubahan susunan serat lensa dan susunan sistem suture (tempat pertemuan serat lensa) sehingga berbentuk roset. c. Katarak trauma diseminata subepitel (ditemukan oleh Vogt) berbentuk kekeruhan yang berbercak-bercak dan terletak dibwah lapisan epitel lensa bagian depan. kadang-kadang bersifat permanen dan tidak prograsif. d. Katarak zonular dan lamelar. Akibat trauma, timbul perubahan permeabilitas kapsul lensa yang menyebabkan degenerasi korteks superfisial. Trauma tumpul akibat tinju atau bula dapat menyebabkan robekan kapsul sehingga bahan lensa dapat keluar dan bila diabsorpsi maka mata menjadi afakia. Lensa pada katarak traumatik menjadi putih segera setelah masuknya benda asing, karena lubang pada kapsul lensa menyebabkan humor aqueus dan kadang-kadang korpus vitreum masuk ke dalam struktur lensa. Pasien yang sering terkena adalah

seorang pekerja industri yang pekerjaannya memukulkan baja. Potongan kecil palu baja, misalnya dapat menembus kornea dan lensa dengan kecepatan yang sangat tinggi dan tersangkut di korpus vitreum. Pasien mengeluh penglihatan kabur secara mendadak. Mata menjadi merah, lensa opak dan mungkin terjadi perdarahan intraokular. Apabila humor aqueus atau korpus vitreum keluar dari mata menjadi sangat lunak. Penyulit adalah infeksi, uveitis, ablasio retina dan glaukoma. Harus diberikan antibotik sistemik dan topikal serta kortikosteroid topikal dalam beberapa hari untuk memperkecil kemungkinan infeksi dan uveitis. Atropi sulfat 1%, 1 tetes tiga sehari, dianjurkan untuk menjaga pupil tetap berdilatasi dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior.3 Trauma radiasi sinar rontgen dan ultraviolet dapat menyebabkan katarak. Sinar Rontgen biasa dipakai pada pengobatan glaukoma absolut, pterygium dan tumor yang radiosensitif. begitupun juga dengan zat toksik seperti naftalin dan dinitrofenol juga dapat menyebabkan katarak. III. 9. Prognosis Mata dapat sembuh dengan baik setelah trauma minor dan jarang terjadi sekuele jangka panjang karena munculnya sindrom erosi berulang. Namun, trauma tembus mata seringkali dikaitkan dengan kerusakan penglihatan berat dan mungkin membutuhkan pembedahan ekstensif. Retensi jangka panjang dari benda asing berupa besi dapat merusak fungsi retina dengan menghasilkan radikal bebas. Serupa dengan hal itu, trauma kimia pada mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat jangka panjang dan rasa tidak enak pada mata. Trauma tumpul dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang tidak dapat diterapi jika terjadi lubang retina pada fovea. Penglihatan juga terganggu jika koroid pada makula rusak. Dalam jangka panjang, dapat timbul glaukoma sekunder pada mata beberapa tahun setelah cedera awal jika jalinan trabekula mengalami kerusakan. Trauma orbita juga dapat menyebabkan masalah kosmetik dan okulomotor.

BAB IV ANALISIS KASUS Penderita adalah seorang anak perempuan berusia 10 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri pada mata sebelah kiri sejak 2 hari sebelum berobat ke rumah sakit. Dari anamnesis didapatkan bahwa 2 hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengaku mata kirinya terkena tusukan daun kelapa sawit saat sedang bermain di sekitar halaman sekolah. Sepulang sekolah penderita mengeluh mata kirinya menjadi merah dan sakit, lalu penderita mengucek-ngucek matanya sehingga menjadi kabur dan berair. Penderita juga mengeluh penglihatan silau, keluar darah tidak ada, dan keluar cairan seperti putih telur tidak ada. 1 hari sebelum masuk rumah sakit mata kiri penderita semakin kabur, penderita mengaku hanya dapat melihat kurang lebih sejauh 7 meter, bila melihat lebih dari 7 meter penderita mengaku melihat dengan kurang jelas dan seperti berbayang, bengkak kelopak mata, nyeri dan sulit membuka kelopak mata, penglihatan silau, seperti melihat pelangi, seperti melihat asap/kabut, kotoran pada mata tidak ada. Dari anamnesis diatas telah diketahui bahwa penyebab nyeri pada mata kiri penderita ialah karena trauma pada bola mata akibat tertusuk daun kelapa sawit. Akan tetapi, yang akan dianalisis lebih jauh pada kasus ini ialah seberapa jauh komplikasi atau dampak yang ditimbulkan dari trauma tersebut. Dari anamnesis penderita didapatkan adanya trias keratitis yakni : lakrimasi (mata kiri penderita berair), fotofobia (penderita mengeluh penglihatan mata kirinya silau), blefarospasme (penderita mengeluh bengkak kelopak mata, nyeri dan sulit membuka kelopak mata). Artinya telah terjadi masalah pada kornea penderita. Ada kemungkinan telah terjadi keratitis, erosi, ataupun ruptur pada kornea penderita. Penderita juga mengeluh seperti melihat asap atau kabut. Dari keluhan penderita yang menyatakan bahwa ia melihat seperti asap atau kabut maka kita akan berfikir ada kemungkinan terjadi sesuatu pada lensa penderita, katarak traumatika misalnya. Hasil pemeriksaan tajam penglihatan penderita, diapatkan visus mata kanan 6/6 dan visus mata kiri 1/300. Pada pemeriksaan segmen anterior mata kiri ditemukan adanya blefarospasme pada palpebra superior dan inferior, mix injeksi pada konjungtiva bulbi. Pada kornea ditemukan adanya edema kornea di sentral, tes flouresens memberikan hasil positif pada tepi luka, tes siedel juga memberikan hasil yang positif, tampak ruptur kornea parasentral arah jam 4, 2 mm dari limbus, panjang 2 mm. Bilik mata depan dangkal akibat adanya sinekia anterior di sekitar luka. Pupil

10

tampak lonjong, tertarik kearah luka, reflek cahaya tidak ada, diameter 5 mm. Lensa tampak keruh dan tes shadow positif. Trauma pada bola mata dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi, antara lain katarak ataupun glaukoma sekunder akibat trauma. Dari pemeriksaan mata yang dilakukan saat pasien masuk, didapatkan kondisi bilik mata depan OS dangkal akibat adanya sinekia anterior di sekitar luka. Akan tetapi, tidak ditemukan tanda-tanda peningkatan TIO (dari anamnesis, keluhan mual-muntah tidak ada, keluhan sakit kepala tidak ada dan keluhan seperti melihat dalam terowongan tidak ada), dan hasil tonometri yang normal (18,5 mmHg). Namun, pemantauan TIO tetap harus dilakukan berkala untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi glaukoma akibat trauma. Sedangkan dari gejala lain yang dirasakan pasien, seperti merasa melihat asap/kabut, lensa tampak keruh, shadow test (+) mengarahkan kepada kemungkinan telah terjadinya komplikasi katarak akibat trauma (katarak traumatika). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas dapat disimpulkan bahwa diagnosis penderita ini ialah trauma terbuka bola mata dengan komplikasi ruptur kornea full thicness dan katarak traumatika mata kiri. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pasien diminta untuk masuk rumah sakit untuk mendapatkan perawatan dan penanganan yang intensif. Perlu dilakukan berbagai tindakan untuk mencegah prolaps jaringan intraokuler, mengurangi rasa sakit, kontaminasi mikroba pada luka, migrasi epitel ke dalam luka, serta terjadi inflamasi intraokular. Tindakan pertama yang dilakukan adalah : Berikan pelindung mata Berikan analgetik, Paracetamol 3 x 250mg (usia 6-12 tahun). Paracetamol merupakan analgetik non opioid. Paracetamol memiliki aktivitas anti inflamasi yang rendah sehingga kurang mengiritasi lambung. Antibiotik IV, tobramisin 5mg / kgBB / hari dalam dosis terbagi tiap 8 jam. Tobramisin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang bersifat bakterisidal dan aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Tobramisin juga aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara parentral. Ekskresi melalui ginjal. Pro Rontgen Thorax Pro Laboratorium: darah rutin & kimia klinik Pro konsul bagian anak dan anestesi Pro repair ruptur + aspirasi lensa + IOL dalam anestesi umum Trauma kornea yang terjadi pada kasus ini memerlukan repair ruptur kornea. Tujuan primer repair ruptur adalah memperbaiki integritas bola mata. Tujuan sekunder adalah untuk memperbaiki visus. Selain menangani ruptur diperlukan pula aspirasi lensa dan pemasangan lensa intraokuler pada mata kiri. Repair ruptur kornea, aspirasi lensa dan pemasangan lensa intraokuler pada mata kiri dilakukan sekaligus dalam satu operasi, alasannya karena lebih ekonomis serta semakin cepat penanganan terhadap ruptur dan katarak traumatika diharapkan hasilnya dapat lebih optimal.

11

Adapun pengobatan paska operasi untuk mencegah infeksi, supresi inflamasi, kontrol TIO serta mengurangi rasa sakit, yakni : Berikan antibiotik, tobramisin IV 5 mg / kgBB/ hari selama 3-5 hari. Chloramfenicol 1% salep 3 x sehari selama 7 hari. Berikan analgetik, paracetamol 3 x 250 mg sehari atau pro renata. Berikan anti inflamasi, dexamethason 0,1% 6 x 1 tetes per hari. Berikan midriatikum, sulfas atropin 2% 3 x 1 tetes per hari. Kontrol tekanan intraokular. Jahitan kornea dapat dipertahankan hingga 3 bulan, selanjutnya dilepas secara bertahap. Pro USG. umtuk mengetahui apakah ada masalah pada segmen posterior paska operasi. Ruptur kornea dan katarak traumatika tidak mengancam kehidupan, sehingga prognosis pasien ini baik. Quo ad vitam pasien ini bonam. Berdasarkan hasil pemeriksaan USG paska operasi didapatkan hasil, axial length 23mm, lensa tidak tampak keruh, vitreus tidak ada kelainan, retina intake, dan koroid tidak ada kelainan serta hasil follow up yang menunjukkan perbaikan visus maka prognosis fungsi penglihatan pasien ini kemungkinan besar dapat kembali normal. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada kemungkinan terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, tetap harus ada pengawasan agar proses penyembuhan pasien ini dapat optimal. Quo ad functionam pasien ini dubia ad bonam.

12

You might also like