You are on page 1of 14

Demokrasi Lokal (di Desa): Quo Vadis?

*
Januari 12, 2010 tags: Aceh, BPD, deca, desa, desentralisasi, GAM, Irine H. Gayatri, jawa, kepala desa, muatan lokal, Orde Baru, UU 22/1999, UU 32/2004, UU No. 11/ 2006, UU No. 5/1979, Yayasan Interseksi oleh syukriy Irine H. Gayatri (Peneliti YAYASAN INTERSEKSI, Jakarta) Pengantar Pada masa Orde Baru dengan alasan stabilitas politik untuk menunjang pembangunan nasional, desa diartikan sebagai konsep administratif yang berkedudukan di bawah kecamatan. Struktur pemerintahan desa diseragamkan melalui UU No. 5/1979. Masa reformasi merupakan titik tolak dari slogan kembali ke desa, yang menekankan pada pembaruan otonomi desa, yang ditandai oleh desentralisasi kekuasaan dengan terbitnya UU No. 22/1999. Dalam konteks ini, pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) dipandang mencerminkan berjalannya prinsip demokrasi desa. Namun tak lama muncul kecenderungan resentralisasi melalui UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilatarbelakangi dengan perubahan fungsi BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa. Hal ini mengisyaratkan bahwa desa belum sepenuhnya otonom sebagai suatu entitas yang berdaya secara politik dan ekonomi. Inti tulisan ini adalah prospek demokrasi lokal di desa dengan berlakunya UU No. 32/2004 dilihat dari (1) aspek kelembagaan (pemerintahan) desa sebagai media perangkat politik pemerintahan desa melakukan praktek politik; dan (2) partisipasi rakyat desa terhadap proses politik dan ekonomi di desa. Kata kunci: desa, dentralisasi, otonomi, demokrasi, sistem politik. Demokrasi Lokal = Demokrasi Desa? Konsep demokrasi secara umum mengandaikan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Ide dasar demokrasi mensyaratkan keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah lokal mengacu kepada arena tempat praktek demokrasi itu berlangsung, yaitu pada entitas politik yang terkecil, desa.

Desa secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai a group of houses and shops in a country area, smaller than a town. [1] Istilah desa hanya dikenal di Jawa, sedangkan di luar Jawa misalnya di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, sebutan untuk wilayah dengan pengertian serupa desa sangat beranekaragam,sesuai dengan asal mula terbentuknya area desa tersebut, baik berdasarkan pada prinsip-prinsip ikatan genealogis, atau ikatan teritorial, dan bahkan berdasarkan tujuan fungsional tertentu (semisal desa petani atau desa nelayan, atau desa penambang emas) dan sebagainya. [2] Desa atau nama lainnya, sebagai sebuah entitas budaya, ekonomi dan politik yang telah ada sebelum produk-produk hukum masa kolonial dan sesudahnya, diberlakukan, telah memiliki asas-asas pemerintahan sendiri yang asli, sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonomi, serta kebutuhan dari rakyatnya. Konsep desa tidak hanya sebatas unit geografis dengan jumlah penduduk tertentu melainkan sebagai sebuah unit teritorial yang dihuni oleh sekumpulan orang dengan kelengkapan budaya termasuk sistem politik dan ekonomi yang otonom. Bagaimanakah konsep demokrasi tersebut diimplementasikan di tingkat desa? Demokrasi desa merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu terbentuk sebelum negara Indonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era kolonial. [3] Ciri-ciri dari demokrasi desa antara lain adanya mekanisme pertemuan antar warga desa dalam bentuk-bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/ rapat, dan ada kalanya mengadakan protes terhadap penguasa (raja) secara bersama-sama. Dengan pengertian demokrasi desa seperti di atas, pada tataran realitas terdapat keterkaitan antara aspek ekonomi dan politik dalam konteks rakyat pedesaan. Misalnya di Jawa pada kurun waktu pasca revolusi kemerdekaan hingga 1960an, Moh. Hatta berpendapat, di desa-desa yang sistem demokrasinya masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian (dari) adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi. Ia juga menambahkan, struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa.[4] Perkembangan jaman menunjukkan desa-desa di Jawa mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kemampuan adaptasi desa terhadap tekanan eksternal, misalnya migrasi penduduk, atau terhadap bentuk proyek kebijakan ekonomi dan politik lainnya. Saat ini, demokrasi (lokal) dan desentralisasi, merupakan dua isu utama dalam statecraft Indonesia pasca Orde Baru. Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Perspektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan perspektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.[5] Jika desentralisasi merupakan arena hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (Negara) yang bertujuan untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, serta membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, dan mewujudkan otonomi desa[6], maka demokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintah (desa) menjadi lebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat; mendorong parlemen desa berfungsi sebagai badan perwakilan dan intermediary agent (dalam aspek artikulasi dan agregasi kepentingan,

formulasi kebijakan serta kontrol terhadap eksekutif desa); serta memperkuat partisipasi masyarakat desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga menandai keikutsertaan kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Sedangkan desentralisasi politik ini pada tingkat desa menekankan pada aspek kelembagaan desa, pembagian peran serta berfungsi atau tidaknya kelembagaan desa. Kelembagaan Politik Desa Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal. Peran penting desa ini disadari oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa politik kolonial, melalui penerbitan Indlandsche Gemeente Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83, yaitu aturan hukum yang memberikan ruang bagi desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri (self governing community) dalam bentuk pengakuan hak-hak budaya desa, sistem pemilihan kepala desa, desentralisasi pemerintahan pada tingkat desa, parlemen desa dan sebagainya. [7] Pada masa ini penduduk pribumi diperintah secara langsung oleh penguasa pribumi, dan secara tidak langsung oleh penguasa Belanda. Sistem pemerintahan berdasarkan ras ini berlangsung hingga 1942, dengan penguasa pribumi memegang jabatan mulai dari karesidenan, kawedanan hingga tingkat kecamatan, dan membawahi kepala desa. [8] Hal ini sesuai dengan skema dimana pemerintah kolonial melakukan penguasaan sumberdaya dengan memegang elite politik lokal, meskipun demikian secara tradisional struktur pemerintahan ini bersifat otonom. Strategi indirect rule[9] melalui elite lokal ini juga berlangsung di luar Jawa, semisal di Sumatra (Aceh, Medan, Palembang) yang memudahkan pemerintah kolonial mengekspoitasi sumberdaya alam dan manusia untuk kepentingan perdagangan internasionalnya. Sedangkan, proyek politik untuk menata pemerintahan negara Indonesia pada kurun waktu paska kemerdekaan, dilakukan dalam konteks penataan institusi pemerintahan di daerah, tetapi masih dalam bingkai negaraisasi, memperlakukan desa dalam wawasan pemerintah pusat. Bagaimana hal ini direfleksikan dalam praktek berlakunya UU tersebut, dan bagaimana pengaruhnya pada pemerintahan asli desa? Pada masa rejim Orde Baru yang berkarakter represif secara politik untuk mendukung pembangunan ekonomi, aktivitas ekonomi desa terseret dalam pusaran modernisasi sektoral, yang menyebabkan penciutan lahan pertanian untuk pembangunan pabrik, ekploitasi hutan untuk kepentingan ekspor kayu, dan alih profesi para petani tradisional menjadi buruh pabrik atau pekerja tambang. Penekanan terhadap stabilitas politik untuk mendorong laju ekonomi ini dalam penataan pemerintahan diwujudkan dalam UU No. 5/1979 yang berwawasan kontrol. Dengan mengartikan desa sebagai konsep administratif, maka desa terletak di bawah struktur pemerintahan kecamatan. Kepala desa dan dewan desa bertanggungjawab kepada pemerintah supra desa, bukan kepada warga, sehingga desa lebih merupakan kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat. Akibatnya terjadi kecenderungan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa. Desa tidak ubahnya sebagai mesin birokrasi kepanjangan dari birokrasi negara.

Pasal 3 UU No. 5/1979 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), yang merupakan lembaga musyawarah atau permufakatan antar elite pemerintahan desa dengan tokoh masyarakat desa. Secara praktis, UU tersebut mengesahkan posisi dan fungsi kepala desa sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai ketua LMD. Selain LMD, terdapat juga LKMD (lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) yang No. 28/ 1980 dan dikukuhkan oleh Instruksi Mendagri No. 4/ 1981 yang berfungsi sebagai koordinator pelaksanaan proyek pembangunan desa. Keanggotaan LKMD seperti halnya LMD terdiri dari para elite desa yang cenderung dekat dengan kepala desa, sementara pembentukan pengurus LKMD harus disetujui oleh kepala desa, camat, dan bupati atau walikota untuk disahkan.Oleh karenanya baik LKMD maupun LMD tidak bisa menyuarakan pandangan kritis terhadap kepala desa. Untuk menjaga loyalitas dari kalangan masyarakat desa, pesta demokrasi, yang dikomandoi oleh para klien negara di desa, diselenggarakan secara periodik diadakan lima tahun sekali. Desa menjadi sumber untuk mobilisasi dukungan terhadap partai-partai politik. Secara perlahan, dengan praktek ekonomi dan politik seperti di atas, otonomi asli dan masyarakat hukum yang otonom semakin menghilang.[10] Pada masa reformasi, dalam kerangka desentralisasi politik dan demokratisasi maka ketentuan tentang pemerintahan desa disesuaikan dengan keanekaan kekhasan sosial, budaya dan ekonomi desa. Ruang politik yang semakin terbuka juga ditandai oleh munculnya asosiasi-asosiasi kemasyarakatan desa serta seruan dari berbagai pihak untuk menghidupan kembali struktur pemerintahan adat. Di Aceh, misalnya, terdapat pola struktur pemerintahan nanggroe yang federatif menggambarkan tingkatan-tingkatan mulai dari unit terendah setingkat desa yaitu gampong, kemudian struktur di atasnya yaitu mukim (federasi gampong), federasi mukim yaitu sagoe dan strata pemerintahan teratas yaitu nanggroe. Setiap elemen ini memiliki perangkat pemerintahan sendiri yang dapat dipersamakan dengan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada masa kini, (dalam konteks desentralisasi, dan khususnya sebagai bagian dari proses resolusi konflik antara pihak RI dan GAM), UUPA No. 11/ 2006 mengakomodasi kembalinya format otonomi asli pemerintahan Aceh tersebut. Pada tataran implementasinya, kabupaten-kabupaten di Aceh mengeluarkan qanun atau peraturan daerah untuk menjadi dasar pembentukan lembaga daerah sampai tingkat gampong. Di Kalimantan Tengah, pemerintah daerah mengakomodasi struktur pemerintah adat kedemangan dalam struktur pemerintahan modern berdasarkan UU No. 22/1999. Di Sumatra Barat, dikenal sebutan nagari yang tingkatan sistem pemerintahannya hampir serupa dengan Nanggroe, demikian juga dengan fungsi perangkat pemerintahannya. Harus diakui bahwa satu keutamaan reformasi adalah keberhasilan mengakomodasi dan menyesuaikanformat pemerintahan asli ini ke dalam penyelenggaraan negara, meskipun masih banyak kekurangannya di sana-sini. UU No. 22/1999 pada intinya menerapkan kerangka desentralisasi politik, yang ditandai oleh pembatasan kekuasaan pusat dan pemberian otoritas yang lebih luas kepada pemerintah daerah [11]. UU No. 22/1999 menjadi prinsip utama untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan keberadaan BPD, serta adanya pemberdayaan peran dan fungsi parlemen daerah, [12] untuk tujuan meningkatkan demokratisasi lokal melalui perluasan ruang partisipasi politik rakyat.

Pemerintahan desa dalam UU No. 22/1979 diatur dalam pasal-pasal 93 hingga 111. Dalam pasal 95, pemerintah desa- atau disebut dengan nama lain- terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. [13] Pasal 104 mencantumkan keberadaan BPD (Badan Perwakilan Desa) yang befungsi sebagai pengayom adat istiadat, pembuat peraturan desa (perdes), penampung dan penyalur aspirasi masyarakat, serta pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini menandakan perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa, dimana kepala desa harus bersama-sama BPD menjalankan fungsi administrasi, anggaran dan pembuatan keputusan desa.[14] Dari aspek keanggotaan, Pasal 105 mengatur bahwa anggota BPD sebagai wakil rakyat desa dipilih dari dan oleh masyarakat desa. Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD, dan dalam Pasal 102 diatur bahwa kepala desa melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada bupati. Namun demikian, tidak semudah itu menerapkan konsep-konsep ideal demokrasi sesuai dengan UU No. 22/1979. Seperti disampaikan di muka, keberagaman latar belakang sosial, budaya dan ekonomi di daerah-daerah di Indonesia menjadikan corak kelembagaan pemerintah desa pun menjadi beragam. UU No. 22/1999, yang substansinya mendukung keanekaragaman dalam masyarakat desa, ironisnya, tetap menyeragamkan struktur pemerintahan desa. Dalam prakteknya, konsep pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU ini dipertemukan dengan sisa-sisa pola patron-klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa Orde Baru. Belum lagi faktor-faktor keanekaragaman pola budaya yang terus berubah. Secara khusus, idealnya para pembuat keputusan mengenai pemerintahan desa harus mempertimbangkan pengaruh dari apa yang oleh kalangan pengamat politik pedesaan disebut sebagai fenomena khas, yaitu bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat transisi yang permanen[15], karena tidak lagi tradisional sepenuhnya, namun juga belum bergerak ke arah masyarakat modern (dalam pengertian modernisme Barat yang menekankan pada asas rasionalitas dan individualisme). Sehingga, jika alasan tersebut di atas dapat dipahami oleh para pembuat keputusan, maka solusi terhadap praktek demokrasi yang hanya terjadi di tingkat prosedural artinya demokrasi hanya sebatas aspek prosedur, namun tidak diikuti oleh proses politik yang mencerminkan perilaku atau budaya demokratis tidak hanya sebatas dengan keluarnya peraturan baru yang dampaknya tambal sulam. Para pengambil keputusan seharusnya memahami latar belakang sosial, budaya dan ekonomi di pedesaan, dan kemudian menjadikan faktor-faktor tersebut sebagai variabel penentu dalam penataan pemerintah desa, baik dari aspek kelembagaan maupun pranata desa, yang sesuai dengan asas demokrasi. Sebagai contoh, terdapat kasus di beberapa daerah dimana anggota BPD, yang terpilih secara demokratis, menggunakan akses komunikasi politik langsung ke Bupati untuk menjatuhkan kepala desa, yang tidak lagi memainkan peran sentral dalam perpolitikan desa. Ada kalanya, untuk memuluskan pencapaian tujuan kepentingan politik atau ekonomi, kades juga dapat berkolaborasi dengan BPD (kolusi) sehingga tidak lagi mengawasinya.[16] Pemilihan kepala desa dan BPD juga seringkali diwarnai oleh isu politik uang atau intrik politik lainnya, yang diikuti pula dengan kecenderungan anarkisme dari massa pendukung yang tidak puas. Hal ini berarti bahwa suatu sistem demokrasi tidak bisa berlangsung tanpa adanya jaminan penegakan hukum oleh Negara di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat dan elite politik ) di pihak lain.[17] Perbedaan budaya di antara warga juga seringkali disikapi dengan kekerasan sebagaimana jaman penjajahan atas dalih rust en orde, dan malangnya, ini dilakukan oleh sesama warga Negara.[18] Meskipun terdapat fenomena negatif dalam praktek politik seperti di atas, upaya demokratisasi di desa-desa memang memerlukan proses yang panjang, sebab terjadi transformasi besar-besaran

pada dua aras yaitu pertama, pola berpikir dan praktek politik para elite desa, dan kedua, pada internal masyarakat desa sendiri, dalam konteks transisi politik sejak 1998. BPD saja baru terbentuk kurang dari 5 tahun (terhitung sejak 2004), sudah tentu memerlukan waktu untuk sepenuhnya menjalankan fungsi sebagai Badan Perwakilan Desa. Masyarakat desa memerlukan perenungan atau penyesuaian terhadap mekanisme pemilihan langsung wakilwakilnya, setelah sekian lama terbiasa dalam proses politik yang serba ditentukan dari atas. Sesungguhnya kurun waktu antara 1999 hingga 2004 inilah periode penting untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi (baik asli maupun demokrasi Barat) dalam praktek politik desa yang peluangnya ada di tangan organisasi non pemerintah, masyarakat desa, serta pelbagai pemangku kepentingan di desa. Maka, upaya untuk mengintrodusir demokrasi di tingkat desa, dengan memperkuat kapasitas masyarakat akar rumput di desa menjadi percuma ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 32/2004 yang cenderung mengembalikan kekuasaan di tangan kepala desa dan mencabut peran badan perwakilan desa, dan sekali lagi, menyeragamkan struktur kelembagaan pemerintah desa. UU No.32/2004 tersebut keluar dengan latar belakang dominannya perspektif resentralisasi pemerintah pusat (Depdagri), selain adanya anggapan bahwa kecenderungan konfliktual antara BPD dan kepala desa sudah tidak dapat dikontrol lagi. Tampaknya pemikiran bahwa desentralisasi politik hanya melahirkan konflik politik dan akibat negatif lainnya masih mendominasi pemerintah pusat, padahal yang perlu dipertimbangkan oleh mereka adalah bahwa reformasi politik mengandung konsekuensi tampilnya diskursus-diskursus baru (pembaruan diskursus) dalam politik desa, termasuk konsep demokrasi, yang memerlukan proses penyesuaian dalam prakteknya oleh masyarakat desa dan elite politik desa. Tak pelak lagi, gerakan resentralisasi oleh pemerintah pusat menyebabkan desa kembali dimaknai sekedar sebagai saluran administratif kewenangan negara lewat kabupaten/kota, tanpa memiliki daya tawar terhadap berbagai kebijakan negara. Sebagai peraturan pelaksanaan UU No.32/2004 diterbitkanlah PP No.72/2005 yang memuat beberapa perubahan penting berkaitan dengan peran Badan Permusyawaratan Desa sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa; serta tentang peran dan kedudukan kepala desa. Pasal 29 PP menegaskan bahwa kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa, artinya posisi BPD berada di bawah eksekutif. Sementara pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. BPD dikurangi kedudukan dan perannya dari fungsi badan legislatif menjadi badan permusyawaratan; di samping itu keanggotaan BPD yang awalnya dalam UU No. 22/1999 dipilih secara demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah. [19] Kecenderungan pemusatan kembali ke atas dalam pertanggungjawaban kepala desa sangat tampak dalam pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 yang menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati atau walikota; sedangkan tanggung jawab kepala desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan mereka hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada rakyat.[20] Tentu saja ini berarti tidak ada lagi fungsi check and balances sebagai prinsip demokrasi dalam pola hubungan antara BPD dan kepala desa; serta hubungan BPD dengan lembaga supra desa. Bahkan, terdapat kontradiksi antara pasal 15 ayat (2) PP yang mengatur bahwa BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan

peraturan kepala desa, dengan pasal 35 (b) PP tentang desa. Meskipun pada pasal 35(c) PP tentang desa disebutkan bahwa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada bupati/walikota, namun jika mengacu pada pasal 15 (2) PP Desa di atas, terlihat ambivalensi pengaturan kewenangan pengawasan BPD. [21] Selain sentralisasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, perencanaan pembangunan desa pun disesuaikan dengan perencanaan pembangunan nasional. Artinya, desa tidak lagi memiliki otonomi untuk mengatur pembangunan ekonominya sendiri. Pasal 63 PP Desa menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota; sedangkan pasal 150 UU No. 32/2004 menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Singkatnya, PP itu tidak menawarkan rumusan untuk memperkuat demokrasi di desa, malahan melemahkannya dengan mengembalikan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa, dan mempreteli fungsi dan wewenang BPD, selain melemahkan otonomi pembangunan desa. Kerja ke Depan Untuk konteks negara Indonesia yang tengah melakukan eksperimen politik sejak kemerdekaannya tahun 1945, desa masih dipandang setengah mata sebagai wilayah yang memiliki demokrasi asli dan otonomi sendiri, meskipun beberapa di antaranya sebelum masa kolonial sudah memiliki otonomi asli. [22] Penerapan otonomi daerah ala UU No. 32/2004) yang menekankan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, dengan demikian mengesampingkan posisi desa sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan negara. Padahal dalam kerangka UU No. 22/1999, demokrasi pada tingkat desa sedang mulai tumbuh, dan dapat memperkuat kehidupan demokrasi di kabupaten/kota, provinsi dan akhirnya negara. Keluarnya UU ini cenderung menghasilkan democratic defisit atau kegagalan sistem demokrasi (yang telngah dirancang) untuk berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Mencermati narasi di atas tampaklah bahwa kecenderungan penyeragaman, resentralisasi[23], dan pembentukan lembaga baru oleh pemerintah pusat terhadap pemerintahan desa masih tetap dominan, sebagaimana ditampilkan oleh UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004. Beberapa persoalan pokok yang ditampilkan oleh UU no 32/2004 adalah masalah keterwakilan masyarakat desa dalam lembaga BPD dan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan desa. Dengan kondisi sedemikian, bagaimana nasib demokrasi desa? Mesti ada mekanisme yang diciptakan, berbasis jaringan antar komunits, untuk memberikan perlindungan dan penguatan lembaga-lembaga asli desa, penguatan kapasitas politik kelembagaan desa yang mencerminkan asas keterwakilan rakyat desa yang hakiki, serta upaya untuk memperkuat ekonomi desa. Referensi Cahyono, Heru, dkk., Konflik Elite Politik di Pedesaan, (Yogya: Pustaka Pelajar, 2005). Cahyono, Heru (ed.), Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999, (Jakarta: LIPI, 2006) Chabal, Patrick, and Jean Pascal-Daloz, Culture Troubles, Politics and The Interpretation of Meaning, (London: Hurst & Co., 2006). Collin, P.H. Dictionary of Politics and Government, (London: Bloomsbury, 2004), Haris, Syamsuddin. Demokrasi Desa, Perlukah Diatur?, kertas kerja, 2006.

Hidayat, Syarif. Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2000) Reid, Anthony (ed.), Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem, (Singapore: NUS Publishing, 2006) Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983) KOMPAS, Selasa, 03 Mei 2005, PNBK Ajukan Hak Uji UU No 32/2004 WASPADA, 8 April 2007, UU No 32 Halangi Calon Independen Pikiran Rakyat, 22 April 2005, UU 32/2004 Mengulang Orba

* Makalah untuk diskusi Perkumpulan INISIATIF, Bandung, 16 April 2007. Catatan Kaki [1] P.H.Collin, Dictionary of Politics and Government, (London: Bloomsbury, 2004), hal.257. [2] Heru Cahyono (a) (ed.), Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999, (Jakarta: LIPI, 2006), hal. [3] Ibid. [4] Prijono Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983), hal. 17-18. [5] Syarif Hidayat, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2000). [6] Tim Lapera, Otonomi versus Negara: Demokrasi di Bawah Bayang-Bayang Otoriterisme, (Yogya: Lapera Pustaka Utama, 2005), hal. 153. [7] W. Riawan Tjandra, Desa, Entitas Demokrasi Riil, dalam Kolom Demokrasi Desa http://www.forumdesa.org/mudik/mudik6/kolom diakses pada 5 April 2007. [8] Agus R. Rahman, Sejarah Perkembangan Demokrasi Desa di Indonesia, dalam Heru Cahyono (a), ed., ibid., hal. 65-106. [9] Di Aceh, misalnya, penguasa territorial dari kelompok elite keturunan bangsawan yang disebut uleebalang, selain merupakan tangan kanan sultan juga dikenal dekat dengan Belanda posisi mereka yang secara politik, kultural dan ekonomi strategis.Lihat, Rodd McGibbon, Local Leadership and the Aceh Conflict, dalam Anthony Reid, (ed.), Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem, (Singapore: NUS Publishing, 2006), hal. 318-319. [10] Heru Cahyono (b), dkk., Konflik Elite Politik di Pedesaan, (Yogya: Pustaka Pelajar, 2005), hal.340. [11] Lihat Pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999.

[12] Lihat pasal 14, UU No.22/ tahun 1999, juga pasal-pasal 18, 19, 20 dalam UU No.22/1999 memperlihatkan besarnya peran DPRD sebagai ujung tombak demokratisasi pada tingkat lokal., yang idealnya membawa perbaikan bagi transparansi dan akuntabilitas di daerah. [13] Heru Cahyono(b), (ed).ibid., hal. 3-5. [14] Op.cit. [15] Clifford Geertz, Agricultural Involution and 1965, The Social History of an Indonesian Town. [16] Cahyono (b), op.cit. [17] Syamsuddin Haris, Demokrasi Desa, Perlukah Diatur?, kertas kerja seminar FPPM, tt, 2006. [18] Ibid. [19] W. Riawan Tjandra, ibid. [20] Op.cit. [21] Tjandra, ibid. [22] Mengenai sejarah demokrasi desa-desa sebelum era kolonial, termasuk masa Kerajaan baca selengkapnya pada Agus R. Rahman, Sejarah Perkembangan Demokrasi Desa di Indonesia, dalam Heru Cahyono (a), ed., ibid., hal. 65-106. [23] Pikiran Rakyat, 22 April 2005, UU 32/2004 Mengulang Orba. Sumber: Yayasan Interseksi Jakarta.

Pengantar Ekonomi Politik Pedesaan PENDAHULUAN

Dalam Ministry of Environment (2002) dikatakan bahwa pada saat ini dunia internasional tengah menghadapi situasi serius terkait dengan eksploitasi sumber daya alam dan energi dunia.1 Hal ini sejalan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada dibawah garis kemiskinan, dimana hal tersebut justru semakin memperlebar kesenjangan ekonomi dan sosial masyarakat (khususnya didaerah pedesaan). Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 80 % penduduk miskin Indonesia bermukim didaerah pedesaan, dimana jumlah desa hingga tahun 2003 mencapai 58.858 desa atau 5.509 keluruhan.2 Desa sendiri secara ideal diharapkan memiliki kemampuan untuk memenuhi kebuhtuhannya sendiri, disamping peranannya dalam usaha pemenuhan kebutuhan (pangan) masyarakat perkotaan. Menurut Hasan Basri (199) mengatakan bahwa penyebab rendahnya tingkat sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan disebabkan karena lemahnya lembaga sosial ekonomi masyarakat dalam membentuk jaringan produksi dan distribusi desa, ketidakjelasan struktur ekonomi sektoral yang mampu membuka lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat, rendahnya daya dukung potensi desa tersebut (sumber daya alam, kondisi geografis, sarana dan prasarana yang mampu mempengaruhi pola produksi dan distribusi komoditas desa.3 Hal ini menggambarkan bahwa permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya tingkat sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat desa (dalam hal ini pemerintah desa) dalam mengelola potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mereka miliki dalam rangka membangun desa. Disisi lain Erwidodo menjelaskan bahwa kesenjangan yang terjadi antara pedesaan dan perkotaan telah memunculkan kompleksitas permasalahan yang ada.4 Misalnya peningkatan arus migrasi penduduk desa ke kota, lebih lanjut dijelaskan bahwa percepatan (peningkatan) kemajuan perekonomian masyarakat akan tercapai sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat desa, tersedianya lapangan kerja secara merata, hingga tersedianya bahan konsumsi dan produksi untuk masyarakat itu sendiri. Disamping itu penguatan hubungan desa dan kota serta meningkatnya lembaga organisasi ekonomi masyarakat desa juga dianggap mampu memecahkan permasalahan kesenjangan ekonmi desa, dimana fungsi dari pembangunan pedesaan seharusnya mampu melestarikan kehidupan masyarakat desa yang berkelanjutan, yang mampu meredam arus urbanisasi dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan negara. Menurut Kurnia modernisasi perekonomian negara dapat dilakukan karena adanya dukungan / tersedianya infrastruktur pedesaan (pasar, jalan, listrik dll). Kesenjangan menurut Soemadiningrat (1997) dikenal sebagai kenyataan yang ada didalam sebuah pembangunan dan membutuhkan sebuah solusi pemecahan permasalahan melalui keberpihakan terhadap pemberdayaan pelaku ekonomi lemah secara nyata.5 Dimana ia menjelaskan tahapan pemberdayan masyarakat itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yang harus dilalui secara bertingkat, pertama munculnya inisiatif dari pemerintah untuk memberdayakan masyarakat guna menunjang perekonomian secara umum, kedua tumbuhnya kesadaran untuk ikut serta dalam program pemberdayaan masyarakat yang dirumuskan oleh pemerintah melalui berbagai macam program kerja pemberdayaan masyarakat. Berangkat dari tahapan tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam rangka memberdayakan masyarakat dibutuhakan keseriusan pemerintah untuk merumuskan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengembangkan potensi suatu daerah dan partisipasi aktif dari para stakeholders terkait. Karena luasnya ranah kerja pemerintah pusat dan desakan dari pemerintah daerah untuk mengambil alih pemerintahan dalam rangka mengembangkan perekonomian di desa maka munculah gagasan desentralisasi daerah.

Modernisasi dan Globalisasi Menurut Soejono Soekanto (2005) Modernisasi dipandang sebagai proses transformasi nilai-nilai menuju kehidupan yang lebih baik, dimana perwujudan dari transformasi tersebut adalah berkembangnya aspek kehidupan modern (peningkatan pendapatan, media massa yang akuntabel, dan penyesuaian angka urbanisasi.6 Dalam hal ini modernisasi diarahkan sebagai usaha untuk memperbaiki keadaan supaya menjadi lebih baik lagi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa karakteristik masyarakat modern antara lain ialah adanya pemusatan tenaga kerja diwilayah urban, etos kerja efektif dan efisien, penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam usaha peningkatan produktivitas kerja, sistem persaingan pasar tebuka, hingga terjadinya sebuah ketimpangan sosial dalam struktur masyarakat itu sendiri. Ketimpangan tersebut disebabkan karena tidak terjadi pemerataan pendapatan masyarakat, meskipun terjadi peningkatan pendapatan. Menurut Marx kesenjangan seperti inilah yang menyebabkan terjadinya konflik sosial dalam masyarakat Hal tersebut menunjukan telah terjadi peningkatan peranan individual dalam sistem sosial, yang tercipta sebaga konsekuensi dari apa yang dikatakan Smith sebaga spesialisasi, yang mendasarkan dirinya pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan ekonomis. Menurut Giddens modernisasi (globalisasi) terkesan menyenangkan bagi negara-negara maju karena mereka bisa memperluas kewenangan mereka atas negara-negara berkembang, begitu pula sebaliknya. Adapun efek dari modernisasi tersebut antara lain ialah terjadinya pembagian kerja yang menjadi semakin rumit, penerimaan status seseorang berdasarkan prestasi kerja, memiliki tolak ukur penilaian kerja, pemberian sanksi secara proporsional secara bertingkat, dll. Termasuk masuknya kepentingan para pemodal dalam ranah kerja pelayanan publik, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah itu sendiri. Semangat kemandirian ekonomi di Indonesia sendri dapat dilihat melalui UU No.32 Tahun 2004, secara khusus pasal 214 (BUMDes) berbunyi bahwa desa dapat mendirikan badan usaha sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa itu sendiri. BUMDes sendiri memiliki peranan strategis dalam perkembangannya didesa karena bersentuhan langsung dengan masyarakat desa, termasuk melndungi masyarakat desa dar intervensi para tengkulak dalam mengatur harga pasar. Hal ini disinyalir dapat membendung derasnya arus intervensi modal asing yang selama ini membawa keuntungan secara sepihak, bahkan mengesampingkan masyarakat itu sendiri. Desentralisasi Menurut Syaukani dkk bahwa tujuan utama desentralisasi adalah membebaskan pemerintah pusat dari berbagai macam beban-beban domestik pemerintahan daerah sehingga pemerintah pusat dapat belajar dari berbagai macam permasalahan yang ada untuk dijadikan refrensi dalam konteks persaingan global guna memperoleh manfaatnya. Disisi lain pemerintah pusat juga dituntut berkonsentrasi dalam merumuskan kebijakan makro nasionalyang sifatnya strategis. Dari sudut pandang yang berbeda desentralisasi diharapkan dengan adanya desentralisasi kewenangan maka daerah akan cenderung mengalami pemberdayaan yang cukup signifikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa desentralisasi merupakana simbolisme kepercayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menurutnya melalui pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 pemerintah dan masyarakat daerah dipersilahkan oleh pemerintah pusat untuk urusannya masing-masing supaya lebih bertanggung jawab, atau dengan kata lain pemerintah pusat tidak lagi memiliki hak untuk mendominasi jalannya pemerintahan daerah. Peranan pemerintah pusat sendiri terkait dengan hal ini terbatas pada pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan desentralisasi pemerintahan itu sendiri. Secara spesifik desentralisasi dibidang ekonomi dinyatakan sebagai kebebasan pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan lokal dan regional untuk mendayagunakan potensi ekonomi yang ada

diaerahnya masing-masing, dalam hal ini termasuk gagasan tawaran fasilitas investasi terhadap berbagai macam infrastruktur hingga perizinan usaha yang mampu menunjang perputaran ekonomi didaerahnya. Patron-client Relationship Hubungan antara modernisasi dan desentralisasi bermula pada keinginan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi daerahnya masing-masing, termasuk membangun daerahnya (modernisasi) secara maksimal. Oleh karena itu munculah gagasan desentralisasi sebagai wujud aktif kepentingan pemerintah daerah dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat lokal. Memang gagasan desentralisasi tidak mutlak keinginan dari pemerintah daerah karena terjadi reduksi kewenangan dari pemerintah pusat yang tidak mampu mengelola daerah secara khusus, maka dari itu pemerintah daerah mendapatkan mandataris untuk mengelola pemerintahan daerah dalam rangka mencapa tujuan bersama yakni kesejahteraan bangsa dan negara. Namun dalam kenyataannya desentralisasi daerah terasa seperti melahirkan, bahkan memelihara apa yang disebut Maswadi Rauf sebagai Patron-client Relationship.7 Adapun elemen penting dari patron-client relationship itu sendiri adalah hubungan kekuasaan, dimana patron yang memiliki kekuasaan atas klien-klien dengan pertimbanganpertimbangan kemampuan maupun akses melakukan transaksi untuk memenuhi kebutuhan client, dimana terjadi hubungan mutualisme satu sama lain. Hubungan yang real dalam kehidupan demokrasi era desentralisasi seolah menempatkan pemerintah dan para pemilik modal dapat melakukan transaksi politis yang saling menguntungkan. Misalnya pemerintah membutuhkan modal para pemilik modal untuk membangun daerahnya, namun disisi lain para pemilik modal juga diuntungkan karena dapat menuntut kemudahan perizinan birokrasi, keamanan dalam berbisnis hingga fasilitas-fasilitas lainnya yang menguntungkan para pemilik modal. Termasuk tukar menukar komoditas kepentingan dan kekuasaan antar elit pejabat pemerintahan yang menimbulkan ketergantungan satu sama lain. Menurut Geertz relasi seperti dapat bertahan lama karena adanya solidaritas kelompok yang berusaha menjaga dan memelihara kondisi seperti ini, karena usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan merupakan kegiatan pokok manusia (baik personal maupun kelompok).

PEMBAHASAN Pada dasarnya kita sepakat bahwa modernisasi memang dipandang sebagai proses transformasi nilainilai menuju kehidupan yang lebih baik, dimana perwujudan dari transformasi tersebut adalah berkembangnya aspek kehidupan modern, modernisasi diarahkan sebagai usaha untuk memperbaiki keadaan supaya menjadi lebih baik lagi. Adapun efek dari modernisasi tersebut antara lain ialah terjadinya pembagian kerja yang menjadi semakin rumit, penerimaan status seseorang berdasarkan prestasi kerja, memiliki tolak ukur penilaian kerja, pemberian sanksi secara proporsional secara bertingkat, dll. Termasuk masuknya kepentingan para pemodal dalam ranah kerja pelayanan publik, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah itu sendiri. Namun dalam perkembangan pengelolaan pemerntahan desa justru diwarnai oleh relasi kekuasaan patron-client antara pemerintah dengan pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi tersebut. sehngga munculah gagasan pembagan kewenangan yang kita kenal sebaga desentralisasi yang disinyalir sebagai manifestasi pemeliharaan relas kekuasan patron-client. Ada tiga peluang yang mampu menguntungkan pemerintahan desa, pertama kewajiban dan keinginan untuk mewujudkan pemerintahan desa yang bersih dengan mengedepankan sistem ekonomi masyarakat setempat, hal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipas masyarakat desa itu sendiri dalam sistem ekonomi pedesaan. Kedua peran aktif pemerintah dalam merangsang kreatifitas perekonomian masyarakat desa yang berbasis kearifan lokal guna menjaga nilai-nilai luhur masyarakat desa setempat, ketiga pengutatan kemampuan dan ketrampilan masyarakat melalui berbagai macam keterampilan yang mendukung perkembangan potensi

ekonomi masyarakat pedesaan itu sendiri, terakhir adanya jeminan dari pemerintah erhadap kelangsungan kehidupan masyarakat pedesaan dalam menjalankan roda ekonomi pedesaan. Kesadaran masyarakat sendiri pada dasarnya hanya dapat ditumbuhkan melalui penyadaran terhadap permasalahan mereka sehingga mereka paham akan hak dan kewajiban mereka sebagai bagian dari sistem kemasyarakatan. Karena pada dasarnya kemandirian ekonmi akan sejalan dengan interaksi masyarakat dengan lembaga sosial setempat, disamping pengoptimalisasian pengelolaan potensi yang ada. Pada dasarnya proses pembangunan dan pemerataan (modernisasi) desa merupakan tanggung jawab bersama, khususnya pemerintah lokal setempat. Namun menjadi ironis ketika ranah pelayanan publik ini justru dikotori oleh hubungan patron-client karena hanya akan berbicara soal keuntungan pihak-pihak tertentu saja dalam hal ini tentu saja pihakpihak seperti para pemilik modal, oknum nakal para elit pemerintah, dan mereka yang memiliki kuasa atas daerah (tokoh masyarakat, tokoh agama, dan orang-orang yang punya pengaruh didesa). Hal ini tentu sejalan dengan ranah kajian ekonomi politik pedesaan, yang menempatkan desa sebagai fokus kajian utamanya. Padahal ketika bicara soal pemerintahan maka tidak akan lepas dari tujuan utama dari pemerintahan itu sendiri yakni menciptakan kesejahteraan umum, maka tidak heran ketika terjadi penyimpangan akan berdampak langsung terhadap terciptanya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat desa itu sendiri. Kemiskinan sebagai wujud nyata dari hadirnya kesenjangan ekonomi sosial masyarakat dapat diartikan sebagai ketiadaan kemampuan dari masyarakat desa itu sendiri. Dan elemen penting dalam usaha pengentasan kemiskinan tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan kemandirian masyaraka desa itu sendiri. Memang dalam usaha membangun sebuah desa dibutuhkan modal yang cukup besar dan butuh waktu yang lama untuk menciptakan kondsi sejahtera, hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Soejono Soekanto bahwa perubahan sosial (khsusnya masyarakat desa) tidak dapat dilakukan secara revolusioner, melainkan secara bertahap dan bertingkat serta dilakukan secara berkelanjutan sehingga apa yang sudah dicita-citakan sebelumnya tidak berhenti ditengah jalan ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan (khususnya pemerntahan desa). Penguatan sektor ekonomi menengah-kebawah pada dasarnya dirasa mampu untuk membawa desa sebagai kekuatan penopang inti kehidupan negara (dengan tetap mengedepankan prinsip Spesialisasi Smith yang mengedepankan optimalisasi potensi dalam pasar). KESIMPULAN Bahwa pihak-pihak yang dituntungkan dalam isu desentralisasi desa adalah oknum pejabat tingkat atas, pemilik modal, tokoh masyarakat setempat sebagai orang yang memiliki pengaruh dalam masyarakat desa, dimana seluruh elemen ini membangun dan memelihara relasi kekuasaan patron-client untuk mencapai kepentingan tertentu. Adapun konsekuensi dari relasi kekuasaan patron-client tersebut adalah terjadinya ketimpangan atau kesenjanagan dibidang ekonomi masyarakat desa itu sendiri secara signifikan, termasuk adanya intervensi dominan dari para pemilik modal dalam merumuskan kebijakan yang akan berlaku untuk masyarakat desa. Adapun hal-hal yang menjadi obyek transaksi politik yang dalam kehidupan masyarakat pedesaan patron-client adalah kekuasaan, kewenangan, kekayaan, dan penghormatan (prestige). Dimana transaksi tersebut hanya akan menguntungkan dua belah pihak saja, mengesampingkan pemenuhan kebutuhan masyarakat desa sebagai prioritas pembangunan desa.

Berdasarkan uraian diatas maka ada baiknya pemerintah menghindari transaksi politik yang berusaha menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam perumusan maupun mplementasi kebijakan karena hanya akan merugikan masyarakat desa itu sendiri. Padahal jika masyarakat desa itu sendiri mengalam kelumpuhan dibidang perekonomian maka secara tidak langsung akan menghambat perekonomian

suatu pemerintahan desa yang sangat ketergantungan pada komoditas desa itu sendiri DAFTAR PUSTAKA Basri, Hasan. 1999. Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan. : PT Bina Rena Pariwira Biro Pusat Statistik. 2003. Survey Usaha Terintegrasi Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia Tahun 2003 . Jakarta : Indonesia Erwidodo. 1999. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Rakyat di Pedesaan. Liddle, Willaim. 2005. Revolus dari Luar : Demokratisasi Indonesia. Jakarta : Freedom Institute Ministry of Enviroment. 2000. Global Enviromental Nurgoho, Riant. 2008. Kebijakan Publik : Teori Kebijakan, Proses Kebijakan, dan Metode Penelitian Kebjakan. Jakarta : Gramedia Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik : Sebuah Penjagaan Teoritis. Jakarta : Depdiknas Soemardiningrat, Gunawan. 1997. Membangun Perekonmian Rakyat. Jogjakarta : IDEA dan Pustaka Pelajar

You might also like