You are on page 1of 6

Presiden Indonesia dan Wakilnya

Soekarno-Hatta
Sejak kemerdekaannya, negara Republik Indonesia baru memiliki 6 orang presiden, namun wakil presidennya berjumlah lebih dari 10 orang. Lho mengapa demikian ? Yup, karena ada presiden yang menjabat lebih dari satu kali masa jabatan dan setiap periode wak il presidennya selalu baru. Presiden Soekarno, yang menjabat sekitar 20 t ahun hanya didampingi satu orang wakil presiden yaitu Drs. Mohammad Hatta. Itupun tidak selamanya karena wakil presiden Drs. Mohammad Hatta mengundurkan diri. Presiden Soeharto yang paling banyak memiliki wakil presiden karena beliau menjabat selama lebih dari 30 tahun dan setiap periode jabatannya selalu didampingi wakil presiden dari orang yang berbeda.Inilah para wakil presiden pada era Soeharto.

y y y y y y

Sri Sultan Hamengku Buwono IX Adam Malik Umar Wirahadikusumah Sudharmono Try Sutrisno Habibie

Ketika menggantikan Presiden Soeharto, Habibie tidak didampingi Wakil Presiden. Sedangkan Presiden Abdul Rachman Wahid dibantu oleh wakil presiden Megawati Soekarnoputri yang selanjutnya menggantikannya sebagai presiden. Presiden Megawati Soekarnoputri dibantu oleh Hamzah Haz selaku wakil presiden. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Budiono untuk

Sby-berBudi mendampinginya sebagai wakil presiden pada masa jabatan keduanya. Pada periode sebelumnya, SBY dibantu oleh M. Yusuf Kalla sebagai wakil presiden. Atas bantuan Sinopi yang smart, saya kutipkan selengkapnya data Presiden dan Wakil Presiden RI dari masa ke masa sebagai berikut :

Presiden RI :
1. Ir. Soekarno (18 Agustus 1945 11 Maret 1967) 2. H.M. Soeharto (27 Maret 1967 21 Mei 1998) 3. B.J. Habibie (21 Mei 1998 20 Oktober 1999) 4. H.Abdurrachman Wahid (23 Oktober 1999 22 Juli 2001) 5. Hj.Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 2004) 6.Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2004 s/d 20 Oktober 2009 dan dipilh kembali untuk masa jabatan kedua kalinya 2009-2014)

Wakil Presiden RI :
1. Dr. H. Mohammad Hatta 1945 1956 2. Sri Sultan Hamengkubuwono IX 1973 1978 3. H. Adam Malik 1978 1983 4. Jend. TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah 1983 1988 5. Letjend. TNI (Purn.) Sudharmono, S.H. 1988 1993 6. Jend. TNI (Purn.) Try Sutrisno 1993 1998 Golongan Karya 7. Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie 1998 1998 8. Hj. Megawati Soekarnoputri 1999 2001 9. Dr. H. Hamzah Haz 2001 2004 10. Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla 2004 2009 11. Budiono 2009-sampai sekarang.

SEKILAS TENTANG SEJARAH PEMILU DI INDONESIA Pengantar Sampai tahun 2004, Indonesia telah menyelenggarakan delapan kali pemilihan umum. Pemilu untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 1955. Setelah itu ada masa vakum yang cukup lama (kurang lebih enam belas tahun) sampai diselenggarakan pemilu kedua pada tahun 1971. Pemilu kedua ini digelar dalam konteks politik yang berbeda, karena ada proses transfer kekuasaan dari rezim Soekarno ke rezim Orde Baru pada tahun 1966. Rezim Orde Baru cukup konsisten menjalankan pemilu secara regular- lima tahunan- mulai dari dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan terakhir 1997. Setelah era kekuasaan Orde Baru berakhir tahun 1998, maka penyelenggaraan pemilu dipercepat dari jadwal yang seharusnya, tahun 2002. Namun, perubahan konstelasi politik, memaksa Presiden Habibie untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999 diikuti oleh pergelaran pemilu untuk ke sembilan kalinya pada tahun 2004. Pemilu 2004 mempunyai nuansa yang berbeda agak berb eda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, karena disamping memilih anggota legislatif, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah. Berikut sejarah perjalanan pemilu-pemilu di Indonesia, mulai dari Pemilu 1995-2004.

Pemilu 1955 Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Walaupun masih berusia muda, namun kehidupan politik kepartaian sangat dinamis. Hal ini didorong oleh keluarnya Maklumat X, a tau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Selain mengajurkan pendirian partai politik, Maklumat tersebut menyebutkan akan diselenggarakannya pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR pada bulan Januari 1946. Namun, rencana untuk mengadakan pemilu tahun 1946 tidak bisa dilaksanakan karena kondisi politik yang tidak memungkinkan. Setelah gagal menggelar pemilu tahun 1946, pemerintah tetap merumuskan undang-undang pemilu. Hal terlihat jelas dari dirumuskannya UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan R UU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dariMasyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipili oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Dalam masa pemerintahan kabinet Wilopo lahirlah UU No. 7 Tah un 1953 tentang Pemilu. Undang-undang ini menjadi payung hukum Pemilu 1955. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan amanat UU no. 7 Tahun 1953, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Pemiu l pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Pemilu kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggotaanggota Dewan Konstituante. Pemilu 1955 diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Dalam UU No. 7 tahun 1953 disebutkan bhawa pemilu 1955 menggunakan sistem proporsional. Sistem proporsional yang diambil masih murni karena penentuan kursi di tiap daerah benar-benar didasarkan pada proporsi jumlah penduduk. Perkecualian ada anggota DPR yang diangkat, tidak dipilih, yaitu: 3 orang wakil Irian Jaya, 6 orang golongan Tionghoa, 3 wakil golongan Arab, dan 3 wakil golongan Eropa. Struktur pemeilihannnya menggunakan sistem daftar tertutup atau meminjam isitilah liphajrt- closed list system. Berarti pemilih hanya memilih partai politik perseta pemilu bukan memilih calon Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Sejalan dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden un tuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 membuat perubahan konstelasi politik nasional yang selanjutnya membuat pemilu tidak bisa diselenggarakan. Pemilu-pemilu di era Orde Baru Sistem pemilihan yang diterapkan pada pemilu-pemilu di masa Orde Baru adalah sistem proporsional tapi tidak murni. Sebab penentuan jumlah kursi masing-masing daerah pemilihan tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah penduduk tapi juga didasarkan pada wilayah administrasi. Dengan kata lain pemilu-pemilu di masa Orde Baru menggunakan sisitem proporsional yang dikombinasikan dengan sedikit sistem distrik. Hal ini dlakukan untuk mengurangi kesenjangan Jawa dan luar Jawa akibat perbedaan jumlah penduduk. Berikut di amika n perjalan sistem dan proses pemilu di masa Orde Baru: Pemilu 1971 Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang

dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. Undang-undnag yang digunakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MP DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, R, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangatsignifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah konsep netralitas birokrasi bahwa birokrasi dan para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral . Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971, birokrasi dan para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar.

Pemilu 2004 a. Sistem Pemilihan DPR/DPRD Berdasarkan UU No.12/2003, sistem yang digunakan dalam pemilihan legislatif adalah sistem proporsional dengan daftar terbuka (ps.6 ayat 1). Dalam sistem ini, selain dicantumkan lambang partai sekaligus daftar nama calon legislatif. Dengan demikian, para pemilih dapat memilih partai dan calon yang dikehendaki. Melalui sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, masyarakat pemilih tidak lagi hanya mencoblos tanda gambar partai, tetapi boleh memilih orang dari masing-masing kontestan. Parpol dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% dari jumlah kursi satu daerah pemilihan (ps. 65 ayat 2). Daftar calon yang diajukan oleh parpol disusun berdasarkan nomor urut yang ditetapkan parpol sesuai dengan tingkatanya (ps. 67 ayat 3). Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka dapat menghindari bias terhadap parpol kecil yang merupakan salah satu kelemahan sistem distrik. Artinya, suara yang diperoleh partai tidak serta merta hangus dan sia-sia jika tidak memenuhi bilang pembagi. Secara teknis, sistem ini juga memperingan beban calon dalam meniti karir di partai politik. Selain itu, partai politik tidak bisa sewenang -wenang menetapkan calon terpilih kecuali jika suara tidak memenuhi BPP. Dengan demikian, akuntabilitas calon terhadap pemilihan dandaerah pemilihan jauh lebih besar dibanding pemilu sebelumnya. Namun, jika kita mementingkan tingkat akuntabilitas, permasalahan yang mengemuka pada pemilu DPR/DPRD adalah tidak adanya keharusan bagi pemilih untuk mencoblos nama calon legislatif. Suara dianggap sah jika lambang partai yang di oblos atau pemilih c mencoblos lambang partai dan nama calon, sementara suara dianggap tidak sah jika pemilih hanya mencoblos nama calon. Celah re gulasi ini, dimanfaatkan oleh partai untuk menyerukan kepada pemilih agar mencoblos lambang partai saja. Terbukti hanya sedikit calon yang terpilih karena telah memenuhi bilangan pembagi. b. Sistem Pemilihan DPD Berbeda dengan logika yang dibangun dalam sistem pemilu DPR/DPRD, logika keterwakilan dalam DPD dibangun dengan beberapa asum si, Pertama, DPD merupakan perwakilan ruang. Artinya DPD tidak mewakili orang sebagaimana DPR. DPD mewakili wilayah yang disebut sebagai provinsi. Setiap wilayah yang diwakili DPD dianggap memiliki kekhususan lokal yang harus diapresiasi dalam tingkat naional. s Kedua, komposisi suara DPD dalam MPR dipakai sebagai penyeimbang perwakilan antara Jawa-luar Jawa. Jumlah anggota DPR yang mewakili orang akan sebanding dengan jumlah penduduk dimana 70 % penduduk tinggal di Jawa. Sedangkan dalam sistem perwakilan DPD dimana setiap provinsi memiliki keterwakilan yang sama yaitu 4 orang, Jawa hanya akan memiliki 24 orang wakil dari 6 provinsi. Sedangkan luar Jawa akan memiliki sekitar 104 wakil dari 26 provinsi. Sistem pemilihan DPD dilaksanakan dengan menggunakan sistem distrik berwakil banyak (UU 12/2003, Pasal 6 Ayat 2). Tujuan penggunaan sistem ini untuk peningkatkan keterikatan anggota DPD dengan warga daerah konstituenya. Artinya, dengan sistem ini berarti anggota DPD memiliki tanggungjawab moral maupun politik yang besar untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Dengan kata lain, anggota DPD sangat terikat dan tidak bisa lari dari konstituennya. Keuntungan lain dari sistem pemilihan ini adalah secarapolitis anggota DPD memiliki legitimasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan anggota D Karena dukungan bersifat distrik maka hubungan antara PR. konstituen dengan anggota DPD lebih riil dan langsung. Bahkan, jika anggota DPD cukup tekun, maka berdasarkan hasil perolehansuara, dia bisa mempunyai peta politik tentang pengaruhnya dan bisa menyusun perkiraan tentang karakter dan aspirasi konstituen (Legowo, dkk, 2005:171). Sungguhpun demikian, sistem distrik yang digunakan dalam pemilihan DPD di Indonesia tidak sama dengan sistem distrik yang dip akai di Amerika, Canada, India, New Zealand, dsb. Beberapa perbedaan tersebut adalah: (Pratikno, 2004) 1. Tidak memperhitungkan jumlah penduduk. Padahal dalam sistem distrik yang lazim, jumlah penduduk merupakan penentuan bagi jumlah distrik dan keterwakilannya, karena mewakili distrik tertentu dianggap mewakili orang yang ada di distrik tersebut. Dengan demikian, sistem distrik dalam pemilu DPD menggunakan logika perwakilan ruang bukan orang. 2. Setiap pemenang memperoleh suara yang berbeda-beda. Jumlah suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi DKI akan jauh lebih banyak dari suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi Gorontalo. Usaha untuk memenangkan pemilu DPD pada daerah padat penduduk akan lebih susah dari yang penduduknya sedikit. Pada sistem distrik yang lazim, suara yang didapatkan untuk setiap kandidat relatif sama, karena distrik dibagi berdasarkan jumlah penduduk. 3. Pemilih hanya diberi kesempatan memilih satu kali untuk 4 orang perwakilan. Hal ini menyebabkan prosentase suara yang dida patkan pemenang sangat bergantung kepada peserta pemilu DPD untuk setiap Provinsi. Dalam sistem Block Vote, pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kandidat yang akan mewakili setiap distrik.

4. Pemenang tidak akan mencapai mayoritas. Pemenang maksimal hanya akan mendapatkan dukungan 20 % seandainya peserta DPD hanya 5 orang dengan asumsi semua orang memiliki dukungan yang hampir sama. Prosentase ini akan semakin kecil dengan semakin banyakya jumlah kandidat. Dalam Block Vote System, kandidat yang terpilih dapat memperoleh mayoritas suara lebih dari 50%. Block Vote lebih menunjukkan tingkat dukungan riil yang didapatkan.

c. Sistem Pemilihan Presiden Sistem pemilihan presiden langsung di Indonesia mengacu pada pasal 6 A terutama dalam ayat 3 dan 4. Dimana calon dinyatakan s ebagai pemenang bila memperoleh minimal 50+1 suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Jika tidak ada yang mendapatkan suara itu diadaka pemilu n ulang diantara dua calon yang memperoleh suara terbanyak. Menurut Smita Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini (Notosusanto, 2002): 1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung; 2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya; 3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau electoral college secara sebagian atau sepenuhnya; 4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang; 5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya. d. Pemilihan Kepala Daerah Amandemen UUD 1945 mengamanatkan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Peserta dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pengertian partai politik dan gabungan partai politik tentu saja partai yang memiliki kursi di legislatif. Yang sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan umum serta memperhatikan pendapat dan tanggapan dari masyarakat. Secara umum, sistem pemilihan kepala daerah sama dengan sistem pemilihan presiden yaitu menggunakan two round system. Namun, yang membedakan adalah putaran kedua pada pemilihan kepala daerah hanya dilakukan ketika tidak ada kandidat yang menang 25% pada putaran pertama. Tata Cara Dan Proses Perhitungan Pemilu Legislatif Jika dibandingkan dengan pemilu Presiden, Gubernur/Bupati/Walikota, dan DPD yang menggunaan sistem pluralitas-mayoritas, tata cara dan proses penghitungan pemilu legislatif di Indonesia lebih rumit. Ini disebabkan pemilu legslatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka dimana anggota legislatif terpilih bukan hanya yang memenuhi BPP tetapi juga menghitung jumlah suara yang part politik ai untuk dikonversi menjadi kursi. Untuk itu, pada bagian ini yang akan dibahas hanyalah tata cara dan proses penghitungan suara legislatif. Pemungutan suara pemilihan anggota DPR/DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak pada hari dan tanggal yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada saat pemberian suara, pemilih dapat mencoblos dengan dua cara, yaitu mencoblos gambar partai atau mencoblos gambar partai dan gambar calon anggota legislatif. Suara dianggap tidak sah jika pemilih hanya mencoblos gambar calon anggota legislatif. Dalam pemilu legislatif metode penghitungan suara untuk menentukan alokasi kursi yang diperoleh setiap parpol peserta pemiludiatur dalam Pasal 105 dan 106 UU No.12/2003. Metode penghitungan suara dilakukan melalui dua (2) tahapan penghitungan suara: Tahap 1 Hitung perolehan suara sah setiap parpol dan totalnya dari satu daerah pemilihan Hitung Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yaitu total suara sah satu daerah pemilihan dibagi jumlah kursi yang diperebutkan di da erah tersebut (ps 105,2). Suara sah setiap parpol dibagi dgn BPP. Parpol yang suara sahnya lebih dari angka BPP akan langsung mendapat kursi. Kelebihan suara dan suara sah parpol yg kurang dari BPP menjadi sisa suara. Tahap 2 Kursi yang belum habis terbagi pada tahap pertama akan didis-tribusikan pada perhitungan tahap kedua Sisa kursi akan diberikan kepada parpol satu persatu berdasarkan urutan parpol yang memperoleh sisa suara terbanyak Setelah semua kursi satu daerah pemilihan telah habis terbagi, sisa suara yang lain hangus. Tidak lagi diatur penggabungan suara dengan daerah lain baik dalam satu maupun gabungan parpol. Stembus Accord dilarang. Setelah setiap parpol mengetahui alokasi kursi yang diperolehnya, maka langkah berikutnya adalah menentukan caleg terpilih yang akan menduduki kursi-kursi yang telah diperoleh parpol dalam proses penghitungan suara tahap ke 1 dan ke 2. Langkah-langkah yang harus diambil dalam penetapan calon terpilih adalah : Melihat hasil perhitungan perolehan suara setiap caleg.

Caleg yang perolehan suaranya mencapai BPP langsung ditetapkan sebagai calon terpilih. Caleg yang tidak mencapai BPP tidak memperoleh kursi, parpol kemudian menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut dalam daftar parpol di daerah pemilihan tersebut. Teknik penghitungan di atas tentunya bukan tidak memunculkan problem baik problem teknis maupun substanstif. Berikut problemproblem yang muncul dalam penghitungan suara pada pemilu legislatif.

Pada Pemilu 1999, Daerah Pemilihan (DP) merupakan satu kesatuan daerah administratif pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/ Kota). Pada Pemilu 2004 DP merupakan gabungan dari dua atau lebih daerah administratif pemerintahan (kabupaten/ kota atau kecamatan) (Ps. 46/1). Berdasarkan UU No.12/2003 Pasal 46, maka: 1. Daerah Pemilihan Anggota DPR adalah Provinsi atau bagian-bagian provinsi. 2. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi adalah Kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota. 3. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah Kecamatan atau Gabungan Kecamatan. Jika ditelururi secara seksama, pembagian daerah pemilihan seperti itu bukanlah tanpa masalah. Masalah yang ditimbulkan oleh aturan tentang pembentukan DP berkait dengan rentang jumlah kursi di setiap DP. Dalam UU No. 12 tahun 2003 rentang jumlah kursi di s etiap DP yang berjumlah 3 sampai dengan 12, akan menghasilkan keterwakilan yang sangat berbeda (Ps. 46/2), yaitu: (Cetro, 2004) 1. Semakin ke arah 3 maka hasil pemilu semakin tidak proporsional, semakin sulit bagi partai untuk meperoleh kursi di DaerahPemilihan tersebut. Hal ini disebabkan karena nilai satu kursi menjadi sangat mahal (Harga satu kursi = 1/3 atau 33,3 % suara). 2. Semakin ke arah 12 maka hasil pemilu semakin proporsional, semakin mudah bagi partai untuk memperoleh kursi karena nilai s kursi atu = 1/12 atau 8,4% suara untuk DP dgn 12 kursi). 3. Akibatnya, semakin besar ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi yang diperebutkan, semakin besar peluang bagi parpol menengah dan kecil untuk memperoleh kursi. Sebaliknya semakin kecil ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi di daerah pemilihan terse but, semakin besar peluang bagi parpol besar. 4. Pengaturan tersebut lebih mirip pembatasan (threshold) tersembunyi. 5. Di wilayah yang sudah didominasi satu atau dua partai politik daerah pemilihan kecil akan menyulitkan partai yang berada d iurutan bawah. 6. Efek threshold tersembunyi juga akan mengurangi peluang terpilihnya caleg perempuan. Semakin kecil ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut, semakin kecil peluang caleg perempuan untuk terpilih kecuali bila diletakkan di n omor jadi. Hal ini disebabkan karena di DP dengan jumlah kursi kecil, maka insentif bagi parpol untuk mencalonkan caleg perempuan akan kecil

You might also like