You are on page 1of 13

Belanja Daerah Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom

(provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum terdiri dari:
1. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi 2. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota

Jumlah Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden. Setiap provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan besaran yang tidak sama, dan ini diatur secara mendetail dalam Peraturan Pemerintah. Besaran DAU dihitung menggunakan rumus/formulasi statistik yang kompleks, antara lain dengan variabel jumlah penduduk dan luas wilayah. Point-point penting untuk pembahasan dalam Panja: 1. Berapa jumlah yang harus diberikan ke suatu daerah? Ini adalah pertanyaan terpenting yang untuk menjawabnya kita harus mulai dengan pendekatan pembiayaan yang mengacu pada beban fungsi (finance follows function). Pada esensinya, prinsip ini mengatakan bahwa pendekatan kebijakan alokasi fiskal harus dimulai dari penilaian terhadap fungsi-fungsi yang dijalankan oleh daerah. Dari penilaian itu, ditemukanlah total beban anggaran yang harus dipikul oleh daerah. Dari perkiraan beban anggaran tersebut kemudian dibuat kebutuhan jumlah uang yang perlu diberikan kepada daerah (untuk menjalankan fungsifungsi tersebut). Tentu saja, setelah memperhitungkan sumbersumber finansial yang dimiliki oleh daerah.
2. Ada dua faktor utama yang menentukan besarnya transfer dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Faktor pertama adalah faktor beban fungsi yang merupakan sisi kebutuhan daerah (needs). Faktor kedua adalah faktor kemampuan finansial daerah yang adalah kemampuan dasar dalam membiayai fungsi (revenue capacity). 3. Sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian alokasi

sebagaimana dimaksudkan dalam UU. Maka sudah selayaknyalah alokasi DAU ditujukan untuk membiayai sebagian dari: (1) beban fungsi yang dijalankan; (2) hal-hal yang merupakan prioritas dan target-target nasional yang harus dicapai. Perlu diingat bahwa UU telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal yang menjadi tujuan yang ingin dicapai lewat program desentralisasi. Pertama, stimulasi ekonomi daerah. Kedua, peningkatan demokrasi. Ketiga, keadilan/pemerataan. Keempat,kemampuan daerah dalam melayani masyarakat. Dengan demikian jelas terlihat bahwa sistem alokasi DAU bukanlah semata-mata ditujukan untuk pembiayaan pelayanan jasapublik. Sistem alokasi DAU bukan pula semata-mata ditujukan untuk pencapaian keadilan/pemerataan. Namun, lebih luas dari itu. Secara teoritis, DAU yang diterima daerah mampu menstimulasi ekonomi daerah lewat tiga cara. Pertama, alokasi DAU mampu mengurangi dampak negatif dari eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh daerah sekitarnya. Lewat alokasi DAU, misalnya, kemampuan daerah Bekasi dalam membangun jalan akan dapat ditingkatkan sehingga dampak negatif dari kemacetan lalu lintas di perbatasan Jakarta- Bekasi dapat dikurangi. Bila ini terjadi maka DAU sebenarnya menyumbang pada penciptaan efisiensi alokasi yang pada gilirannya akan membantu stimulasi ekonomi daerah. Kedua, lewat alokasi DAU maka daerah-daerah yang kekurangan modal akan bisa terbantu. Efek DAU dengan demikian adalah membantu menciptakan kombinasi input produksi yang lebih optimal. Artinya, DAU menyumbang pada stimulasi ekonomi daerah lewat efeknya terhadap perbaikan efisiensi produksi. Ketiga, alokasi DAU bisa didesain sedemikian rupa dikaitkan dengan upaya peningkatan PAD dan Bagi Hasil sehingga upaya penerimaan pajak, retribusi dan bagi hasil menjadi semakin meningkat. Bila ini terjadi, DAU menyumbang pada mobilisasi sumberdaya keuangan
4. Mengacu pada prinsip-prinsip diatas dan juga mengacu pada UU, ada

empat isu pokok penting yang perlu diklarifikasi berkaitan dengan perhitungan alokasi DAU untuk tiap daerah. Pertama, pengertian dan pengukuran potensi ekonomi. Kedua, pengertian dan pengukuran kebutuhan. Ketiga, bagaimana secara baik memasukkan elemen insentif kedalam sistem alokasi. Keempat, masalah pembobotan variabel penentu alokasi DAU. 5. Terakhir ada beberapa pelajaran sangat penting yang dapat ditarik untuk kepentingan alokasi DAU di Indonesia. Pertama, bantuan DAU harus memiliki tujuan yang jelas dan tercermin dalam formula alokasinya. Karena sewaktu-waktu tujuan tersebut dapat berubah (karena alasan ekonomi atau politik), maka dalam formula

alokasi tersebut, harus terdapat faktor-faktor yang dapat mencerminkan perubahan kondisi Kedua, terdapat perbedaan mendasar antara estimasi kebutuhan anggaran dan kapasitas fiskal. Pada dasarnya estimasi kebutuhan anggaran harus dapat mencerminkan paling tidak tiga hal: (1) kebutuhan pokok yang menjadi standar daerah; (2) perilaku daerah atas setiap kebutuhan daerah; (3) kebutuhan daerah yang sejalan dengan kebutuhan nasional DANA ALOKASI KHUSUS
1. Dalam UU No. 33 tahun 2004 Pasal 41 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa

daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dalam prakteknya, banyak daerah mengeluh berkesulitan dalam menyediakan Dana Pendamping 10% ini. Akibatnya banyak kasus dimana daerah tidak bisa memanfaatkan DAK tertentu. Hal ini perlu ditinjau kembali. Selain mencari solusi jangka panjang misalnya pengubahan persyaratan Pasal 41 ini, mestinya pemerintah pusat lebih banyak menggunakan kemungkinan dispensasi seperti yang diatur dalam pasal 41 ayat 3: daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping. 2. Berdasarkan UU No. 33 tahun 2004, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dalam pasal 40 UU ini diatur bahwa sebagai dasar penentuan alokasi, pemerintah menetapkan kriteria umum (Kemampuan keuangan daerah ybs), kriteria khusus (peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah) dan kriteria teknis (ditetapkan oleh kementerian negara atau kementerian teknis). Kriteria ini tentu saja tidak menjamin bahwa alokasi anggaran ke daerah-daerah akan optimal dalam rangka mendorong kemajuan ekonomi nasional secara bersama-sama. Penekanan pada strategi nasional dan bukan strategi daerah sangat diperlukan untuk menjamin keoptimalan alokasi anggaran ke daerah-daerah dan tidak terlalu terhanyut pada aspirasi tiap daerah. Pemetaan potensi-potensi secara terintegrasi perlu dilakukan untuk dijadikan acuan pembagian dana pusat, termasuk DAK. Lokasi-lokasi tertentu perlu mendapat perhatian khusus secara finansial, misalnya lokasi yang layak untuk dikembangkan menjadi gerbang ekonomi karena adanya pelabuhan laut atau aglomerasi industri yang layak dikembangkan untuk dijadikan gerbang ke negara-negara lain. Pembagian dana pusat yang cenderung merata secara nominal harus dihindari karena tidak optimal. Alokasi yang optimal adalah bila

didasarkan pada potensi yang ada di tiap daerah yang mendukung kemajuan bersama seluruh daerah. Sebagai contoh, pengembangan pelabuhan yang modern di daerah Biak akan menjadi lokomotif kemajuan seluruh daerah di sekitarnya, bukan hanya Biak saja. 3. Pemerintah setiap tahun perlu memaparkan analisis dampak pembagian Dana Pusat ke daerah termasuk DAK pada perbaikan distribusi pendapatan antar daerah. Dalam Bab V Nota Keuangan 2011, perbaikan distribusi pendapatan antar daerah digambarkan melalui penghitungan angka Indeks Williamson (tabel V.14). Indeks ini secara teoretis akan berada di antara 0 dan 1. Semakin tinggi angka indeks Williamson, semakin buruk distribusi pendapatan antar regio. Dalam tabel V.14 tersebut dipaparkan bahwa Indeks Williamson tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 di negara kita berturut-turut 0,59, 0,49. 0,48 dan 0,47. Ini menunjukkan adanya penurunan dari waktu ke waktu. Namun angka-angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan indeks yang sama di negara-negara lain yang cenderung berada pada kisaran 0,2 dan 0,3. Selain indeks Williamson, perlu dimunculkan berbagai skor lain yang melengkapi gambaran tentang dampak atau keberhasilan alokasi keuangan negara dalam memperbaiki perbedaan tingkat ekonomi, tingkat ketersediaan fasilitas ekonomi, dsb antar regio.

DANA PENYESUAIAN

Keberadaan Dana Penyesuaian pd awalnya sebagai penyeimbang bagi daerah yg memiliki DAU lebih kecil dr tahun sebelumnya, shg DAU yg diterima minimal sama dgn tahun sebelumnya. Namun prinsip nonhold harmles ini telah dihapuskan thn 2009. Pengalokasian Dana penyesuaian jg menampung program tertentu utk jangka waktu tertentu (ad hoc) dgn nomenklatur yg berganti-ganti hingga tahun 2010. Dana Penyesuaian APBN-P 2010 Tunjangan 5.800,0 1.387,8 80,2 32,0 RAPBN 2011 17.149,0 16.812,0 3.696,2 1.387,8 -

1. Dana Tambahan Profesi Guru 2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 3. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD 4. Dana Insentif Daerah 5. Kurang Bayar DAK 2008 6. Kurang Bayar DISP 2008

7. Dana Penguatan Desentralisasi 7.100,0 Fiskal & percepatan pembangunan daerah 8. Dana penguatan infrastruktur & 5.500,0 prasarana daerah 9. Dana percepatan pembangunan 1.250,0 infrastruktur pendidikan (DPPIP) TOTAL 21.150,0 39.045,0 Dari tahun ke tahun jumlah anggaran Dana Penyesuaian mengalami peningkatan dengan alokasi yang berubah-ubah. Pada tahun 2010 besar Dana Penyesuain Rp.21.150,0 atau 0,3% dr PDB dan mengalami peningkatan pada 2011 sebesar Rp. 39.045,0 atau 0,6% dr PDB, naik hampir 2x lipat. Meskipun demikian dpt terlihat bahwa alokasi Dana Penyesuaian pada tahun 2011 ini lagi-lagi dipergunakan bagi kebutuhan PNSD dan turunannya, padahal alokasi untuk kebutuhan birokrasi PNSD ini sudah menyerap hampir 80% alokasi DAU nasional sehingga nyaris sedikit sekali bagian DAU yg dpt dipergunakan utk kebutuhan yg lain yg lebih berdaya kembang (multiplier effect) seperti infrastruktur dan kebutuhan yang bersifat modal. Padahal kebutuhan infrastruktur hanya mampu dicukupi oleh APBN sebesar 30% saja. Karena makin besarnya alokasi Dana Penyesuaian setiap tahunnya, maka perlu disusun kriteria yg lebih jelas bagi peruntukan Dana Penyesuaian ini sehingga tdk tumpang tindih dengan alokasi belanja yg sudah dicover pada alokasi sumber Dana yg lain. Dan mengingat begitu besarnya kebutuhan PNSD yg harus ditanggung APBN, maka perlu dilakukan kajian mengenai kualitas PNSD dan dampaknya terhadap pembangunan, dan evaluasi mengenai hal ini harus terus menerus dilakukan.

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2011 mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintah

dan daerah dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil, serta memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan jenis penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Dalam RAPBN 2011, alokasi DBH direncanakan mencapai Rp82,0 triliun, atau 1,4 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp7,6 triliun atau 8,5 persen dari alokasi DBH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp89,6 triliun. Penurunan DBH dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karena adanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasi DBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar 49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen. Catatan : 1. Formula alokasi DBH saat ini terlalu komplek dan kurang memiliki landasan yang kuat. Rumusan bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam sangat bervariasi satu dengan yang lain, dan semenjak ditetapkan rumusan alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi makin kompleks lagi karena pemberlakuan formula yang berbeda untuk daerah-daerah dengan fasilitas otonomi khusus, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.
2. Dasar penetapan untuk bagi hasil harus dijelaskan lebih jelas kepada

daerah, karena hal ini sering membingungkan daerah. Dana bagi hasil minyak dan gas bumi kepada daerah didasarkan pada nilai netoperating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN, dan PBB) , dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas alam. Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai yang dibagihasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha dan royalti untuk produksi yang dihasilkan. 3. Pemanfaatan DBH juga ditengarai belum jelas di daerah, bahkan terkadang terjadi tumpang tindih program kegiatan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi yang berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang satunya dari kabupaten. Diperlukan koordinasi yang jelas pada setiap program yang sama dan berdekatan antara provinsi dan kabupaten kota.

4. Mekanisme penyaluran DBH di daerah juga harus diatur agar tidak terjadi keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang disalurkan pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap realisasi yang terjadi. Jumlah yang bisa dibagihasilkan untuk realisasi minyak dan gas bumi adalah maksimum 130% dari harga asumsi awal di APBN. 5. Adanya kejelasan dalam penyaluran DBH serta transparansi dalam perhitungan DBH khususnya migas. Contohnya dana bagi hasil migas daerah penghasil Bojonegoro dari blok Cepu oduksi minyak di Bojonegoro selama 2009 naik, namun pada kenyataannya dana bagi hasil yang diterima malah turun. Semula Bojonegoro mendapat pemberitahuan surat dana bagi hasil minyak sebesar Rp102 miliar. Namun setelah itu, turun surat dari Departemen Keuangan, dana bagi hasil minyak Bojonegoro, hanya Rp62 miliar. Menurutnya, dengan adanya surat tersebut akhirnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memasukkan perolehan dana bagi hasil minyak itu. "Ini setelah dilakukan revisi," katanya seraya menambahkan, namun kemudian turun surat lagi dari Departemen Keuangan, dana bagi hasil minyak yang diterima Bojonegoro 2009 hanya Rp37 miliar. Sementara itu, dana bagi hasil minyak Bojonegoro, pada 2008 yang seharusnya Rp20 miliar, yang diterima baru Rp14 miliar. "Karena ketidakjelasan itu, mengakibatkan pemerintah kabupaten (pemkab) mengalami masalah gagal bayar," katanya. 6. Anggaran DBH dalam RAPBN 2011 sebesar Rp82,0 triliun, seharusnya tidak turun 8,5 persen dari alokasi DBH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp89,6 triliun, dikarenakan target lifting pada RAPBN 2011 sebesar 0,970juta barel/ hari lebih besar dari APBN-P 2010 sebesar 0,965 juta barel/ hari. 7. Terkait Dana Bagi Hasil, bagaimana pemerintah dengan instrument APBD dapat merangsang peningkatan aktivitas perekonomian di daerah-daerah dengan DBH rendah? Pemerintah perlu mengalokasikan secara khusus pos pendanaan untuk menunjang pembangunan perekonomian daerah, khususnya yang ber-DBH kecil.

OTSUS ACEH Otsus Aceh APBN P 2010 3.849.8 RAPBN 2011 4.437.4

Dasar Hukum Otonomi Khusus Aceh adalah UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No 2 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak & Gas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.
Miliar Rupiah 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 1999 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Others Lainnya INPRES/DAK INPRES/DAK Non -tax Revenue Sharing DBH SDA Own Source Revenue PAD Special Autonomy Fund Dana Otsus SDO/DAU SDO/DAU DBH Pajak Tax Revenue Sharing

Pada tahun 2008 Penerimaan Pemerintah Aceh mulai memperoleh alokasi Dana Otsus. Penerimaan Otsus merupakan porsi hampir 50% dari Total Penerimaan Pemerintah Aceh. Jika Pemerintah Aceh mendapatkan alokasi Dana Otsus pada tahun 2008, maka pada tahun 2008, pemerintah Kab/Kota belum memperoleh alokasi dana otsus yg pada tahun 2008 alokasi OtSus untuk Aceh adalah Rp. 3,59 T. Hal ini karena masih terkendala pada perbedaan pemahaman mengenai pengelolaan Dana OtSus antara Pemerintah Aceh & Pemerintah Kab/Kota

10 0 .

n u l i r T h p R

9 . 0 8 . 0 7 . 0 6 . 0 5 . 0 4 . 0 3 . 0 2 . 0 1 . 0 0 . 0 28 0 0 29 0 0 2 6 % 3 5 %

Baa en l j Sa ip l

1 4 %

20 0* 1

Berdasarkan data DJPK, transfer dana otsus ke Aceh telah mencapai 100%, namun berdasar data Pemerintah Aceh penyerapan pada tahun 2008 berkisar 67,24% dan pada tahun 2009 hanya berkisar 22,71% (per

sept) dan 87% (per nop). Berdasar ketentuan yang berlaku, maka terhadap anggaran yg tdk dapat direalisasikan baik dari kegiatan yg tdk dapat dilaksanakan maupun sisa tender yg berasal dr dana otsus Kab/Kota akan menjadi sisa perhitungan APBA yg selanjutnya akan dialokasikan pada program dan kegiatan prioritas Pemerintah Provinsi tidak dialokasikan kembali pada masing-masing Kab/Kota yg menghasilkan SILPA. (lap.biro admin pemb. Pem.Aceh 2009, hal 35) Dimana ketentuan berlaku membatasi akses Kabupaten/Kota terhadap penggunaan dana otsus yg tidak terserap. Hal ini merupakan kerugian bagi Pemerintah Kabupaten/Kota. Pengangguran Aceh masih berada diatas rata-rata nasional pada tahun di kurun 2005-2008, padahal sempat berada dibawah rata rata nasional pada tahun 2004. (sebagai catatan bencana tsunami terjadi pada Desember 2005). Pengurangan jumlah penganggur adalah salah satu faktor yang diharapkan dengan telah dialokasikannya dana OtSus. Kemiskinan masih menjadi agenda Aceh. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 sebesar 23,53% dan sedikit menurun pada 2009, yaitu sebesar 21,80%. Indeks keparahan kemiskinan masih di angka 4.46 (makin buruk, angkanya makin besar). Penyerapan dana otsus yang maksimal diharapkan akan menurunkan lebih banyak lagi angka kemiskinan di Aceh. Di Aceh, tingkat kemiskinan pada tahun 2004 pada kisaran 28,5%, dan menurun pada 2009 yaitu sebesar 22%. Meskipun demikian, angka ini masih diatas rata-rata nasional. Dengan maksimalisasi dana Otsus diharap angka tingkat kemiskinan bisa berada dibawah rata-rata nasional. Hal ini menjadi sgt mungkin karena peruntukan dana otsus salah satunya adalah anggaran kemiskinan, dan alokasi Otsus terhadap Total Penerimaan adalah kurang lebih 50%.

IPM Aceh pada tahun 2007 adalah 70,35 lebih rendah dibanding ratarata nasional yang sebesar 72,5%. Pada tahun 2008 ketika penyerapan otsus sudah mencapai 62,34% IPM Aceh justru turun menjadi 70,76%, dan berada pada peringkat 17 pada skala nasional. Indeks Pembangunan Manusia untuk Nanggroe Aceh Darussalam tetap rendah pada saat sudah mendapatkan alokasi dana otsus. Artinya dana otsus tidak relevan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada level nasional, IPM Aceh pada ranking 17, dan tetap pada posisi tersebut pada 1 tahun setelahnya di 2008. Angka Partisipasi Pendidikan NAD pada saat dana otsus sudah diberikan juga relatif tetap, padahal diharapkan mengalami peningkatan.

Harapan tersebut dikarenakan salah satu peruntukan adalah untuk menaikkan partisipasi pendidikan masyarakat Pelaksanaan Otsus masih terjadi Multi Tafsir antara prop & Kab, Pasal 183 ayat (4) : menurut Prop (program mrpkn bagian APBA, maka pelaksanaan & pertanggungjawaban SKPA). Menurut Kab (Delegasi & Tanggungjawab di Kab).Multi Tafsir mengenai wewenang pelaksanaan dan pertanggungjawaban Dana Otsus antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kab/Kota menjadi kendala utama bagi terlaksananya seluruh program dan kegiatan yang didanai oleh Anggaran otsus .Dampak dari permasalahan tersebut adalah kurang berjalannya program/kegiatan dengan basis Dana Otsus yang tercermin pada penyerapan anggaran yang rendah . Padahal komposisi dana ini cukup besar terhadap total penerimaan. Disisi lain baik pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten/Kota memerlukan sejumlah anggaran yang dapat dipergunakan untuk memenuhi tujuan pembangunan di Aceh. Berdasar Qanun Aceh No.2 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus terdiri dari Pemerintah Aceh, pasal 12 ayat (8) menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas, pemerintah Aceh dapat dibantu oleh Tim Koordinasi TDBH Migas & Otsus. Tim Koordinasi tersebut terdiri dari : Unsusr Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota, Tenaga Ahli Yg Relevan. Tim koordinasi Otsus saat ini sedang mempersiapkan : Penyesuaian kembali Formula pengalokasian dana masing-masing Kabupaten/Kota, Menyusun Rencana Induk Pembangunan yang bersumber dari TDBH Migas dan Dana Ot Sus, Mempersiapkan Petunjuk Pelaksanaan, Mempersiapkan Petunjuk Teknis Akibat konflik perbedaan pendapat tersebut, maka pelaksanaan program dan kegiatan dana Otsus tidak relevan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yg ditunjukkan pada angka-angka indikator kemiskinan, partisipasi pendidikan, pengangguran, dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). OTSUS PAPUA & PAPUA BARAT

Sesuai dgn UU No. 21 Tahun 2001, besarnya setara 2% dr pagu DAU Nasional, terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan & kesehatan, berlaku selama 20 tahun. Pembagian lebih lanjut antara propinsi, kabupaten, kota, secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dgn memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.

Sampai dengan 2005, dgn belum terbentuknya MRP yg menetapkan Perdasus sbg dasar pembagian dana Otsus antara Provinsi Papua, Kabupaten, dan Kota di Papua. Maka diterbitkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan & Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2003 dan No. 160a/KMK.02/2003 tentang Penyaluran Dana Otonomi Khusus Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua Dengan ditetapkannya Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008 mulai Tahun 2009 Dana Otsus Papua (2% DAU Nasional) dialokasikan kepada Provinsi Papua Barat dengan proporsi 70% Provinsi Papua dan 30% Propinsi Papua Barat. Sesuai UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN Tahun Anggaran 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2008, alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat Tahun Anggaran 2009 sebesar Rp.1.118.484.600.000,- (30% x 2% DAU Nasional) digunakan terutama untuk pendanaan dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Daerah Papua Barat 2006 2007 2008 2009 1,718,48 (100%)

2010 3.494,9 6 (100%) 1.754,9 4

2011

Papua

2.913,30 (100%)

4.045,70 (100%)

3.920,14 (100%)

4.079,80 (100%)

Papua mendapatkan dana otsus semenjak tahun 2002. Pada tahun pertama tersebut realisasi dana otsus Papua sudah mencapai 85%. Dan selanjutnya hingga 2009 realisasi dana otsus Papua mencapai 100% Papua Barat memperoleh alokasi otsus semenjak 2009. Realisasi pada tahun pertama telah mencapai 100%. Tambahan Infrastruktur a. Papua 2007 2008 2009 2010 2011

750 M

330 M

800 M

800 M

100% b. Papua Barat

100% 670 M (sarpras) 80%

100% 600 M 100% 600 M

Selain mendapatkan alokasi dana otonomi khusus, papua & papua barat mendapatkan dana tambahan otsus infrastruktur mulai tahun 2008. Berdasar data depkeu DJPK realisasi untuk dana tambahan infrastruktur ini mencapai 100% kecuali untuk tahun Anggaran 2010. 2006 2007 SMP SM SD SMP SM 2008 SD SMP SM

Provinsi SD Papu a Bara t Papu a

88.1 6 78.1 1

53.9 4 47.3 6

35.3 1 33.3 6

90.6 7 80.9 2

48.7 6 48.6 0

43.1 6 35.6 6

91.2 0 82.9 0

54.4 7 48.5 6

43.1 4 35.2 3

Angka Partisipasi pendidikan di Papua Barat justru mengalami penurunan pada saat mendapatkan alokasi otsus, yang peruntukkannya justru salah satu untuk meningkatkan partisipasi pendidikan masyarakat. Untuk Propinsi Papua, angka partisipasi pendidikan juga justru terus mengalami penurunan, padahal alokasi otsus tiap tahun disalurkan hingga 100%. Indeks Pembangunan Manusia untuk Papua Barat hanya menempati ranking 30 dalam skala nasional pada tahun 2007 dan 2008. IPM untuk Papua bahkan yang paling rendah untuk skala nasional, yaitu stabil pada posisi 33 di tahun 2007 dan 2008. Realisai dana OtSus menurut DJPK adalah baik, mencapai 100%, namun indikator peningkatan kesejahteraan tidak menunjukkan arah yang sama, baik di Prop Papua maupun Papua Barat. Indikator kesejahteraan Masyarakat tidak berbanding lurus dengan besaran dana otonomi khusus yang telah dialokasikan ke Papua & Papua Barat.

Jumlah penduduk miskin stabil di tahun 2008 dan 2009, artinya program pemerintah tidak mampu menurunkan jumlah penduduk miskin pada saat itu. Indeks Keparahan Kemiskinan dan Indeks Kedalaman kemiskinan juga berada dibawah rata-rata nasional, baik untuk Papua maupun Papua Barat. Tingkat Kemiskinan Papua dan Papua Barat adalah tetinggi dalam skala Nasional. Meskipun dana otsus sudah diterima Papua semenjak tahun 2002, namun permasalahan pengentasan kemiskinan Papua masih menjadi tugas utama Pemerintah Papua. Hal ini mencerminkan adanya permasalahan pada tahapan penggunaan dana otsus. Tahapan penggunaan dana otsus bisa pada tahapan penyerapan, ataupun tahapan pelaksanaan program dan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan Otsus Papua dan Papua Barat Konflik Papua harus diselesaikan, karena seperti pada daerah konflik pada umumnya, hal ini dapat menjadi kendala bagi pelaksanaan dana otsus. Pada akhirnya akan berdampak kurang baik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dan hal ini telah tercermin pada data angka angka indikator kesejahteraan masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, IPM, dan angka partisipasi pendidikan. Ketegasan pembagian wewenang antara propinsi dan kabupaten/kota dalam penggunaan dana Otsus harus diupayakan, karena sangat membantu kelancaran pelaksanaan program dan kegiatan. Dari beberapa lembaga di tingkat pusat yang berkaitan dengan Papua dan Otsus, perlu dikaji lebih lanjut perlunya membentuk wadah koordinasi utamanya dalam hal pengawasan dan evaluasi penggunaan dana otsus ini, sehingga tujuan otsus dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua & Papua Barat lebih mudah tercapai.

You might also like