You are on page 1of 8

Nama Kelas

: Rayhan Ahmad Hidayat : Aksel 1

Pemerintah Sebagai Pelaku dan Pengatur Ekonomi

Artikel
1. Peran Pemerintah sebagai Fasilitator Pemberdayaan UKM
Faktor nonekonomi berupa oligarki-ekonomi cenderung memunculkan monopoli dan oligopoli karena peran negara yang diminimalkan yang mana seharusnya berfungsi sebagai pengayom dengan memberikan jaminan hukum dan perundang-undangan. Akan tetapi, sebagai konsekuensi dari sistematika pembangunan ekonomi pro growth yang dijalankan, terkadang hal tersebut memunculkan citra akan peran negara atau pemerintah yang tidak mengayomi dan memberikan jaminan hukum dan perundang-undangan pada potensi kegiatan ekonomi yang potensial, layaknya UKM. Padahal, fenomena kemakmuran di Asia, menurut Stiglitz dalam laporan penelitiannya yang berjudul The World Bank Research Observer (Vol. 11, No. 2, 1996) yang dinyatakan oleh Prasetyantoko (2001:21), menyiratkan kalimat sebagai berikut: fenomena keajaiban yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Menurut dia, dari penelitiannya di delapan negara tersebut menemukan adanya berbagai kombinasi faktor yang sangat mempengaruhi kinerja ekonomi. Pertama, tingginya angka tabungan (saving rate ) yang ditopang oleh peningkatan sumber daya manusia (human capital ). Kedua, adanya lingkungan yang berorientasi pada mekanisme pasar, namun tetap mengakui adanya campur tangan pemerintah secara aktif sehingga memungkinkan transfer teknologi dengan baik. Secara singkat, dari deskripsi di atas informasi yang ingin diekstrak adalah: bahwa peran pemerintah dalam ekonomi pasar khususnya di Asia posisinya tidak dapat dimimalkan begitu saja.Selain pentingnya peran pemerintah, faktor stabilitas ekonomi makro di tahun 2006 yang menunjukkan perbaikan signifikan terhadap penguatan kurs rupiah yang mencapai level Rp 9.800/dolar AS; melonjaknya IHSG pada posisi 1.500 serta cadangan devisa yang tidak kurang dari 43 miliar dolar AS (Suara Merdeka, 12 Mei 2006) menimbulkan peluang dan masalah berbentuk labirin pada suatu perekonomian. Peluang serta masalah tersebut menurut Krugman adalah sebagai fenomena ekonomi balon yang mana dominasi sektornontradeable berkembang pesat dibanding sektor tradeable. Berdasarkan data Bank Dunia di tahun 2004 menunjukan pertumbuhan sektor tradeabledi Indonesia sebesar 2,9 persen dibanding sektor nontradeable yang sebesar 7,2 persen. Persentase data yang mencuat secara statistik mengindikasikan fenomena dari pertumbuhan ekonomi yang tumbuh tetapi tidak terserap pada lapangan kerja atau (malah melemahkan sektor riil) yang di tahun 2006 pada tingkat

1 persen pertumbuhan hanya menyerap 42.000 orang yang mana situasinya lebih rendah dibanding tahun 2001 yang mencapai 253.000 dan di tahun 2003 mencapai 248.000 orang tenaga kerja. Untuk kebutuhan dalam penyerapan tenaga kerja, usaha kecil dan menengah (UKM) dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional. Perannya dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja diharapkan menjadi langkah awal bagi upaya pemerintah menggerakkan sektor produksi pada berbagai lapangan usaha. Akan tetapi, eksistensinya di dalam struktur APBN kerap mengalami ketidakadilan ekonomi, seperti halnya untuk memenuhi permintaan dana tanggap darurat bencana dari daerah. Alokasi dana yang seharusnya digunakan bagi pengembangan UKM diminta untuk dialokasikan bagi bencana banjir. Kondisi di atas berbeda dengan negara India yang mana seperti diungkapkan oleh Asisten Manajer Divisi Hubungan Ekonomi Internasional Departemen Analisis Ekonomi dan Kebijakan (DEAP) Bank Sentral India, T. R. Chandasekharan, yang mengatakan, Salah satu yang pantas dipuji dari India adalah sistem finansialnya yang tidak mendiskriminasikan UKM (Kompas, 6 Desember 2006). Jika situasi-situasi seperti di atas dapat dimaknai, maka kemandirian ekonomi Indonesia akan dapat diwujudkan. Meskipun menghindari investasi asing dalam perekonomian Indonesia juga merupakan sesuatu yang sangat tidak mungkin di era globalisasi ini, tetapi gagasan dari pengembangan UKM ini, paling tidak, dapat membantu perekonomian Indonesia untuk mengurangi ketergantungan dari pihak asing.Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang kokoh tersebut, UKM perlu diberdayakan agar dapat menjadi tangguh dan mandiri serta dapat berkembang. Dalam kaitannya dengan kondisi di atas, maka pemerintah melalui berbagai elemennya, seperti Departemen Koperasi, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Bappenas serta BUMN juga institusi keuangan baik bank maupun nonbank, melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Dukungan diwujudkan melalui kebijakan maupun pengadaan fasilitas dan stimulus lain. Selain itu, banyak dukungan atau bantuan yang diperlukan berkaitan dengan upaya tersebut, misalnya bantuan berupa pengadaan alat produksi, pengadaan barang fisik lainnya juga diperlukan adanya sebuah metode, mekanisme dan prosedur yang memadai, tepat guna, dan aplikatif serta mengarah pada kesesuaian pelaksanaan usaha dan upaya pengembangan dengan kemampuan masyarakat sebagai elemen pelaku usaha dalam suatu sistem perekonomian yang berbasis masyarakat, yaitu dalam bentuk UKM.

2. ACFTA, antara Harapan dan Realitas


Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan asosiasi industri, ada sekitar tujuh sektor kemungkinan merugi, termasuk baja, elektronika, tekstil dan produksi tekstil (TPT), dan furniture. Potensi kerugian di sektor industri senilai triliunan rupiah terjadi sesaat setelah pemberlakuan ACFTA dan akan dirasakan kalangan industri dalam kuartal pertama 2010. Adapun dampak tak langsung adalah penurunan penjualan produk-produk dalam negeri akibat kalah bersaing dengan produk China ataupun negara lain.Setelah pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Area, sebanyak 1.017 pos tarif ChinaIndonesia akan dihapuskan. Dari jumlah itu, 828 pos tarif telah diturunkan pada periode 2004-2009 dan 200 pos tarif akan menyusul dihapuskan. Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan asosiasi industri, ada sekitar tujuh sektor kemungkinan merugi, termasuk baja, elektronika, tekstil dan produksi tekstil (TPT), dan furniture. Potensi kerugian di sektor industri senilai triliunan rupiah terjadi sesaat setelah pemberlakuan ACFTA

dan akan dirasakan kalangan industri dalam kuartal pertama 2010. Adapun dampak tak langsung adalah penurunan penjualan produk-produk dalam negeri akibat kalah bersaing dengan produk China ataupun negara lain. Sementara pemerintah berjanji mencari solusi melalui berbagai langkah, di antaranya 1) menganalisa untuk menekan biaya tinggi, 2) Pembenahan infrastruktur, terutama pelabuhan, 3) memperbaiki sistem logistik dan pelayanan publik, seperti national single window, 4) perizinan perdagangan dalam dan luar negeri akan menjadi online, 5) memperketat surat keterangan asal (country of origin), dan 6) meningkatkan pencitraan Indonesia (national branding) di dalam dan luar negeri. Namun, jika baru dimulai sekarang, akan perlu waktu lama, sekitar 3 tahun-5 tahun. Berdasarkan kenyataan dan temuan Komisi VI DPR, masih terjadi ekonomi biaya tinggi, bahkan sangat tinggi, bagi pelaku ekonomi nasional.Ini menyebabkan RI tidak bisa bersaing dengan China. Ongkos pelabuhan tinggi (sumber: Asosiasi Pertekstilan Indonesia), termasuk biaya bongkar muat mencapai 95 dollar AS per kontainer, padahal di Malaysia 88 dollar AS, Thailand 63 dollar AS dan Vietnam 70 dollar AS.Kualitas sumber daya manusia (SDM) juga rendah. Indonesia di urutan ke-107, jauh di bawah Singapura (25), Brunei (30), Malaysia (63), Thailand (78), China (81), dan Vietnam (105) serta menyebabkan daya saing tenaga kerja serta produk RI menjadi sangat rendah. Peringkat daya saing Indonesia sangat rendah, ke-95 dari 133 negara (World Competitiveness Report), akibat sistem logistik buruk, korupsi, dan pungutan liar. Terkait SDM, kualitas dan kuantitas aparat kita juga masih relatif rendah untuk menjaga luas wilayah dan seluruh pelabuhan di Indonesia.Jumlah personel Bea dan Cukai hanya 10.600 orang dan pegawai Direktorat Jenderal Perhubungan Laut hanya 17.000 orang.Hal ini diperburuk dengan sistem pengawasan dan masih rendahnya gaji serta tingginya penyalahgunaan kewenangan di kalangan birokrasi.Investasi di daerah masih terkendala buruknya infrastruktur, terutama jalan, listrik, dan pelabuhan serta retribusi dan biaya-biaya yang dipungut pemerintah daerah. Di sinilah pentingnya program National Concern atau kesadaran semua pihak untuk bahu-membahu mendorong daya saing dunia usaha dan investasi. Implementasi ACFTA memang menjadi pilihan sulit bagi Pemerintah RI. Di satu sisi, ACFTA sudah telanjur ditandatangani, di sisi lain terlalu besar pertaruhannya bagi bangsa ini untuk menerapkan ACFTA secara tergesa-gesa. Dampak dari penerapan ACFTA yang tergesa-gesa adalah ketergantungan ekonomi Indonesia semakin tinggi termasuk produk-produk sensitif, seperti pangan dan tekstil. Selain itu, pemulihan ekonomi tahun 2010 ke depan sangat rentan. Ini mengakibatkan melemahnya daya serap tenaga kerja dan melambatnya pertumbuhan investasi.Padahal, dibutuhkan investasi Rp 2.000 triliun untuk pembangunan infrastruktur.Kolapsnya industri manufaktur padat karya, seperti tekstil, mebel, dan baja, akan meningkatkan pengangguran. Namun, tak kalah penting, terjadinya perubahan pola perilaku ekonomi Indonesia dari produsen menjadi pedagang barang-barang murah China. Pada akhirnya, ACFTA hanya akan menjadikan RI sebagai pasar, tetapi dengan daya beli rendah karena masyarakatnya banyak yang menganggur. Janji dan fakta

Pemerintah menyatakan, ACFTA tak bisa ditunda atau dibatalkan. Kenyataannya, ACFTA dapat ditunda melalui proses pengajuan penundaan lewat badan resmi yang ditunjuk, dalam hal ini Sekretariat Jenderal ASEAN selama pemerintah (Menteri Perdagangan) mempunyai itikad untuk hal tersebut. Pemerintah (Menteri Perdagangan) sepertinya mengambil keputusan sendiri untuk masalah sangat strategis ini. Kenyataannya, dalam proses ACFTA, DPR tidak dilibatkan, mulai dari proses perundingan internasional hingga penandatanganan, padahal perjanjian tersebut secara hukum nasional masih perlu diadopsi ke dalam hukum nasional oleh DPR. Pemerintah (Menteri Perdagangan) menyatakan, dengan ACFTA peluang pasar akan membesar, dengan mendekati 2 miliar penduduk di kawasan ASEAN dan China. Kenyataannya, jika pelaku bisnis kita kalah bersaing, Indonesia tidak dapat memanfaatkan ACFTA, tetapi justru akan kehilangan potensi ekonomi dan lost generation. Contoh menarik, Indonesia telah mempromosikan pariwisata ke China sejak 2006.Malangnya, turis Indonesia justru jauh lebih banyak berkunjung ke China dengan berbagai alasan, termasuk untuk berobat.Pemerintah (Menteri Perdagangan) menyatakan akan mencari solusi bagi pelaku ekonomi nasional yang terkena dampak negatif ACFTA. Namun, akan sangat terlambat jika baru ditangani sekarang karena pelaku ekonomi nasional telanjur dirugikan secara finansial ataupun ketenagakerjaan.Dalam berbagai kesempatan, pemerintah seakan menyalahkan pemerintah sebelumnya dengan mengatakan perjanjian ACFTA merupakan hasil kebijakan rezim sebelumnya. Ini sikap tidak tepat mengingat pemerintah (baca: eksekutif) seharusnya menerima tugas apa pun guna mencari penyelesaian problematika bangsa, bukan mencari kambing hitam. Negara-negara lain telah mempersiapkan diri setidaknya lima tahun. Thailand, misalnya, menjalankan suatu kebijakan dual track economy, yakni insentif untuk mendorong investasi dan industrialisasi terutama untuk perusahaan multinasional, secara simultan dengan pemberian insentif untuk produk lokal unggulan dalam rangka menggenjot daya saing produk domestik.Sementara Singapura mengambil langkah kebijakan teknologi inovatif, yakni memperkuat keunggulan kompetitif agar tidak disaingi oleh produk China.Saat ini mereka tinggal memetik keuntungan dari ACFTA.Malaysia tak ketinggalan menyiapkan kebijakan manufaktur teknologi tinggi dalam rangka menyiapkan daya saing produk domestik sekaligus menggenjot industri jasa, khususnya pariwisata.Mereka menyadari, tanpa persiapan, mustahil mampu bersaing dengan China yang secara ekonomi mampu memproduksi barang murah. Bagaimana dengan Indonesia? Memang pemerintah berupaya meningkatkan daya saing usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) melalui kebijakan pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2008 lewat peningkatan akses pembiayaan dan pembinaan manajemen UMKM. Pemerintah menyatakan ekspor kita naik.Namun, jika dicermati, ekspor tetap bertumpu pada bahan mentah, seperti minyak bumi dan hasil tambang.Hal ini tentu sangat naif karena ekspor bahan mentah bergantung pada pertumbuhan ekonomi negara pembeli.Pemerintah saat ini memang terlihat berupaya menggalakkan program Aku Cinta Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing pelaku ekonomi nasional. Namun, jika melihat fakta di lapangan, Pasar Tanah Abang, misalnya, sudah dibanjiri produk tekstil China jauh sebelum penerapan ACFTA. Solusi

Apa solusinya? Jelas tak ada solusi jangka pendek karena permasalahan Indonesia dalam kasus ACFTA sudah menjadi permasalahan kumulatif. Pertama, diperlukan suatu badan yang bertugas menghantar Indonesia menuju era perdagangan bebas ACFTA.Prinsipnya, badan ini memastikan kemampuan dan persiapan bangsa ini menjadi memadai menghadapi persaingan bebas, terutama dengan China. DPR sendiri merasa perlu membentuk panitia kerja setelah melihat proses persiapan ACFTA, pemerintah tidak siap dan tak transparan. Kedua, Indonesia perlu membangun keunggulan berkelanjutan dan jangka panjang (sustainability competitiveness). Perlu melibatkan dan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk pelaku ekonomi swasta dan legislatif agar cara pikir lama dapat ditransformasikan ke cara pikir masa depan menghadapi ACFTA. Ketiga, pembangunan infrastruktur terutama kelistrikan menjadi mutlak dan tidak bisa ditundatunda lagi, sebagai syarat utama peningkatan daya saing.Peran swasta mutlak diperlukan.Investasi swasta di kelistrikan saat ini tidak menarik.Pembenahan birokrasi dalam kerangka reformasi birokrasi juga harus dipercepat.Seluruh parameter efisiensi, seperti perizinan, peruntukan lahan, hingga biaya pajak dan retribusi, harus ditata kembali secara serius. Tak kalah penting adalah kepastian hukum dalam rangka menjamin iklim investasi kondusif dalam meningkatkan kepercayaan investor terhadap masa depan berusaha. Keempat, diperlukan badan yang bersifat extraordinary untuk mengawasi transisi.Badan itu berfungsi memastikan koordinasi standardisasi produk, legalisasi di dunia usaha dan investasi, hingga pengawasan persaingan usaha berjalan dalam suatu sistem. Badan ini juga akan menjadi troubleshooter dari hambatan birokrasi dan koordinasi antarinstansi, khusus menghadapi ACFTA. Situasi di era ACFTA ini harus ditangani secara serius karena dampak salah kebijakan akan fatal bagi masa depan bangsa kita. Referensi :

http://www.swbtc.net/peran-pemerintah-sebagai-fasilitator-pemberdayaan-ukm/satyawacana-business-technology-center/ http://www.transparansi.or.id/artikel/acfta-antara-harapan-dan-realitas/

Pengertian
Pemerintah sebagai Pelaku Kegiatan Ekonomi
Peran pemerintah sebagai pelaku kegiatan ekonomi berarti pemerintah melakukan kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi: a ) Kegiatan produksi Pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pelaku ekonomi, mendirikan perusahaan negara atau sering dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.BUMN dapat berbentuk Perjan (Perusahaan Jawatan), Perum (Perusahaan Umum), dan Persero (Perusahaan Perseroan).Mengenai ciri-ciri dari ketiga bentuk perusahaan negara di atas telah kalian pelajari di kelas VII semester 2.BUMN memberikan kontribusi yang positif untuk perekonomian Indonesia. Pada sistem ekonomi kerakyatan, BUMN ikut berperan dalam menghasilkan barang atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha hampir di seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri, dan perdagangan serta konstruksi. BUMN didirikan pemerintah untuk mengelola cabang-cabang produksi dan sumber kekayaan alam yang strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya PT Dirgantara Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), PT Pos Indonesia, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan tersebut didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta untuk mengendalikan sektor-sektor yang strategis dan yang kurang menguntungkan. Secara umum, peran BUMN dapat dilihat pada hal-hal berikut ini: Mengelola cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai pengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara efektif dan efisien. Sebagai alat bagi pemerintah untuk menunjang kebijaksanaan di bidang ekonomi. Menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sehingga dapat menyerap tenaga kerja.

b ) Kegiatan konsumsi Seperti halnya yang telah kalian pelajari pada bab 8 mengenai pelaku-pelaku ekonomi, pemerintah juga berperan sebagai pelaku konsumsi. Pemerintah juga membutuhkan barang dan jasa untuk menjalankan tugasnya.Seperti halnya ketika menjalankan tugasnya dalam rangka melayani masyarakat, yaitu mengadakan pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, atau jalan raya. Tentunya pemerintah akan membutuhkan bahan-bahan bangunan seperti semen, pasir, aspal, dan sebagainya. Semua barang-barang tersebut harus dikonsumsi pemerintah untuk menjalankan tugasnya.Contoh-contoh mengenai kegiatan konsumsi yang dilakukan pemerintah masih banyak, seperti membeli barang-barang untuk administrasi pemerintahan, menggaji pegawai-pegawai pemerintah, dan sebagainya.

c ) Kegiatan distribusi Selain fungsi produksi dan konsumsi, pemerintah juga memiliki kegiatan yang termasuk dalam kategori distribusi.Berikut adalah beberapa kegiatan pemerintah selaku pelaku distribusi. 1. Mewujudkan kemakmuran masyarakat 2. Membangun sistem distribusi 3. Peran pemerintah dalam distribusi pendapatan Pemerintah harus berperan dalam bidang distribusi untuk menjaga kestabilan harga antar daerah dan antar periode waktu. Barang-barang yang tidak dapat di distribusikan secara lancar ke daerah-daeran akan berakibat pada kenaikan harga barang yang bersangkutan.

Pemerintah sebagai Pengatur Kegiatan Ekonomi


Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi tidak hanya berperan sebagai salah satu pelaku ekonomi, akan tetapi pemerintah juga berperan dalam merencanakan, membimbing, dan mengarahkan terhadap jalannya roda perekonomian demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam rangka melaksanakan peranannya tersebut pemerintah menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan berikut ini: a) Kebijaksanaan dalam dunia usaha Usaha untuk mendorong dan memajukan dunia usaha, pemerintah melakukan kebijaksanaankebijaksanaan berikut ini. Pemerintah mengeluarkan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1992 mengatur tentang Usaha Perbankan.

Pemerintah mengubah beberapa bentuk perusahaan negara agar tidak menderita kerugian, seperti Perum Pos dan Giro diubah menjadi PT Pos Indonesia, Perjan Pegadaian diubah menjadi Perum Pegadaian.

b ) Kebijaksanaan di bidang perdagangan Di bidang perdagangan, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa kebijaksanaan ekspor dan kebijaksanaan impor.Pemerintah menetapkan kebijakan ekspor dengan tujuan untuk memperluas pasar di luar negeri dan meningkatkan daya saing terhadap barang-barang luar negeri.Adapun kebijakan impor dimaksudkan untuk menyediakan barang-barang yang tidak bisa diproduksi dalam negeri, pengendalian impor, dan meningkatkan daya saing.

c ) Kebijaksanaan dalam mendorong kegiatan masyarakat Kebijaksanaan pemerintah dalam mendorong kegiatan masyarakat mencakup hal-hal berikut ini: Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana umum. Kebijaksanaan menyalurkan kredit kepada pengusaha kecil dan petani. Kebijaksanaan untuk memperlancar distribusi hasil produksi.

Referensi : http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/pelaku-pelaku-ekonomi-bab-8/ http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/pemerintah-sebagai-pelaku-ekonomi/

You might also like