You are on page 1of 34

askep emfisema

EMFISEMA A.PENGERTIAN Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962) B.PENYEBAB 1. FAKTOR GENETIK Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin. 2. HIPOTESIS ELASTASE-ANTI ELASTASE Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. 3. ROKOK Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan. 4. INFEKSI Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae. 5. POLUSI Sebagai factor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.. 6. FAKTOR SOSIAL EKONOMI Emfisema lebih banyak didapat pada golongan social ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan factor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek. C. PATOFISIOLOGI Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan

otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas. D. PEMBAGIAN EMFISEMA Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu: 1. CLE (emfisema sentrilobular) CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mulamula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok(Sylvia A. Price 1995). 2. PLE (emfisema panlobular) Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami( Cherniack dan cherniack, 1983). PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara. D.MANIFESTASI KLINIS Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia. E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1.Pemeriksan radiologis Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu : # Gambaran defisiensi arteri

- overinflasi Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf. -oligoemia Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal. # corakan paru yang bertambah Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat. 2.Pemeriksaan fungsi paru Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang. 3.Analisis Gas Darah Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi. 4.Pemeriksaan EKG Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1. F. PENATA LAKSANAAN Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas : 1. penyuluhan 2. pencegahan 3. terapi farmakologi 4. fisioterapi dan rehabilitasi 5. Pemberian O2 dalam jangka panjang PENYULUHAN Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik. PENCEGAHAN 1. ROKOK Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan 2. menghindari lingkungan polusi Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrikpabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas 3. VAKSIN Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus. TERAPI FARMAKOLOGI Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan : 1. pemberian bronkodilator 2. pemberian kortikosteroid 3. mengurangi sekresi mucus 1. Pemberian bronkodilator a. golongan teofilin Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L b. golongan agonis B2

Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama. 2. Pemberian kortikosteroid Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 34 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan. 3. Mengurangi sekresi mucus ? Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat. ? Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida. ? Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum. ? Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin. Fisioterapi dan Rehabilitasi Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk : ? Mengeluarkan mucus dari saluran nafas. ? Memperbaiki efisiensi ventilasi. ? Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis Pemberian O2 jangka panjang Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari. G.PATHWAYS Hipotesis Elastase - Anti Elastase Elastase Anti Elastase (PMN,Makrofage) (Anti alfa -1 anti tripsin) ? Dipengaruhi Rokok, Polusi, Infeksi. Sumbangan PATWAYS Rokok, infeksi Difisiensi alfa-I anti tripsin Polusi Ketidak seimbangan antara Elastisitas & Elastisitase Elastisitas berkurang Penyempitan saluran nafas Saluran nafas lebih cepat & lebih Cepat tertutup

Fentilasi berhubungan ? GX Pertukaran Gas Tidak seimbang Hipoksia/sesak nafas keletihan/kelemahan Pola nafas tidakefektif Intoleransi aktifitas H. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pemeriksaan fisik : Inspeksi: - Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada berbentuk barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis dorsal. Palpasi : - Ruang antar iga melebar, taktik vocal fremitus menurun, Perkusi : - Terdengar hipersonor, peningkatan diameter dada anterior posterior. Auskultasi : - Suara napas berkurang, ronkhi bisa terdengar apabila ada dahak Pengkajian: 1. Kaji status pernapasan. 2. Kaji adanya sianosis. 3. Kaji fremitus faktil kedua paru. 4. Lakukan pemeriksaan tanda vital lengkap. 5. Kaji adanya nyeri tekan bila napas. 6. Lakukan pemeriksaan jantung dan paru, cari kemungkinan adanya payah jantung dan komplikasi COPD lainnya. 2. Diagnosa 1). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen. # Tujuan : -pasien bernafas dengan efektif -mengatasi masalah intoleransi aktivitas pada pasien. # Kriteria hasil : -pasien bisa mengidentifikasikan factor-faktor yang Menurunkan toleran aktivitas. - pasien memperlihatkan kemajuan khususnya dalam hal mobilitas - pasien memperlihatkan turunnya tanda-tanda # Intervensi : - kaji respon individu terhadap aktivitas Ukur tanda vital saat istirahat dan segera setelah aktivitas serta frekuensi, irama dan kualitas. Hentikan aktifitas bila respon klien : nyeri dada, dyspnea, vertigo/konvusi, frekuensi nadi, pernapasan, tekanan darah sistolik menurun. - meningkatkan aktifitas secara bertahap. - Ajarkan klien metode penghematan energi untuk aktifitas. # Rasionalisasi : - mendapatkan tanda fital pasien normal, baik saat istirahat ataupun setelah beraktifitas -masalah intoleransi aktivitas pada pasien dapat teratasi 2). Gangguan pertukaran gas berrhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi. # Tujuan : - Pertukaran gas pasien kembali normal -Tidak terjadi perubahan fungsi pernapasan. # Kriteria hasil : - pasien bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan.

- pasien tidak mengatakan nyeri saat bernapas. # Intervensi : - Lakukan latihan pernapasan dalam dan tahan sebentar untuk membiarkan diafragma mengembangkan secara optimal. - Posisikan pasien dengan posisi semi fowler agar pasien bisa melakukan respirasi dengan sempurna. - Kaji adanya nyeri dan tanda vital berhubungan dengan latihan yang diberikan. - Ajari pasien tentang teknik penghematan energi. - Bantu pasien untuk mengidentifikasi tugas-tugas yang bisa diselesaikan. # Rasionalisasi : - Pasien bernapas dengan lancer tanpa gangguan. - Fungsi paru kembali normal. 3). Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ventilasi alveoli # Tujuan : - Tidak terjadi perubahan dalam frekwensi pola pernapasan. - Tekanan nadi (frekwensi, irama, kwalitas) normal. # Kriteria hasil : - Pasien memperlihatkan frekwensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru. - Pasien menyatakan factor penyebab, jika mengetahui. # Intervensi : - Pastikan pasien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan. - Alihkan perhatian pasien dari pemikiran tentang keadaan ansietas (cemas) dengan meminta pasien mempertahankan kontak mata dengan perawat. - Latih pasien napas perlahan-lahan, bernapas lebih efektif. - Jelaskan pada pasien bahwa dia dapat mengatasi hiperventilasi melalui control pernapasan secara sadar. # Rasionalisasi : - Pola pernapasan pasien efektif. - Ventilasi alveoli normal. - Tidak terjadi gangguan perubuhan fungsi pernapasan. DAFTAR PUSTAKA Baughman,D.C & Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001 Mills,John & Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru. Jakarta : EGC Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : RSUD Dr.Soetomo http://74.125.153.132/search?q=cache:TLF9i6YmFIJ:one.indoskripsi.com/node/8107+askep%2Bempisema&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id Diposkan oleh tara di 23:24
Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun empisema dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyai tanda dan gejala kedua penyakit tersebut. Rata rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada penderita laki-laki lanjut usia. Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatan yang baik dan terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan perawatan di rumah sakit. Dan

yang lebih penting dalah perawatan untuk memberikan pengetahuan dan pendidikankepada pasien dan keluarga tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah. Hal ini diperlukan perawatan yang komprehensif dan paripurna saat di Rumah Sakit.

1.2 Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah a. Mengetahui dan memahami tentang proses penyakit, pengertian, penyebab, pengobatan dan perawatan dari Empisema. b. Mengetahui dan memahami pengkajian yang dilakukan, masalah keperawatan yang muncul, rencana keperawaatan dan tindakan keperawatan yang diberikan dan evalu keperawatan yang asi dilakukan. BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962) atau perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar.

2.2 Penyebab 2.2.1 Faktor Genetik Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksiparu pada keluarga, dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin. 2.2.2 Hipotesis Elastase-Anti Elastase Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.

2.2.3 Rokok Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan. 2.2.4 Infeksi Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksiparu bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae. 2.2.5 Polusi Sebagai factor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. 2.2.6 Faktor Sosial Ekonomi Emfisema lebih banyak didapat pada golongan social ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan factor lingkungan dan ekonomiyang lebih jelek.

2.3 Patofisiologi Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti e lastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnyasaluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.

2.4 Pembagian Emfisema Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu: 2.4.1 CLE (Emfisema Sentrilobular) CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula -mula duktus alveolarisyang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995). 2.4.2 PLE (Emfisema Panlobular) Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruhparu-paru . PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzimalfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami( Cherniack dan cherniack, 1983). PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.

2.5 Manifestasi Klinis

Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55 -60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.

2.6 Pemeriksaan Penunjang 2.6.1 Pemeriksan Radiologis Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu : * Gambaran defisiensi arteri - Overinflasi Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf. - Oligoemia Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal. * Corakan paru yang bertambah sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat. 2.6.2 Pemeriksaan Fungsi Paru Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang. 2.6.3 Analisis Gas Darah Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi. 2.6.4 Pemeriksaan EKG Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.

2.7 Penata Laksanaan Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas : 2.7.1 Penyuluhan Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik. 2.7.2 Pencegahan * Rokok Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan * Menghindari lingkungan polusi Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik -pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas. * Vaksin Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus. 2.7.3 Terapi Farmakologi Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan : * Pemberian Bronkodilator a. Golongan Teofilin Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L

b. Golongan Agonis B2 Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang

dengan pemberian agak lama. * Pemberian Kortikosteroid Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3 -4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan. * Mengurangi Sekresi Mucus a. Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat. b. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida. c. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sp utum. d. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin. 2.7.4 Fisioterapi dan Rehabilitasi Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk : * Mengeluarkan mucus dari saluran nafas. * Memperbaiki efisiensi ventilasi. * Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis 2.7.5 Pemberian O2 Dalam Jangka Panjang Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

3.1 Kesimpulan Jadi secara umum emfisema adalah suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar yang terjadi sedikit demi sedikit selama bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok yang berkisar 15-25 tahun.

Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35 45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia. 3.2 Saran Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Bagi para pembaca diharapkan dapat mengatur pola hidup sehat mulai dari sekarang seperti tidak merokok, menghidari linkungan polusi dan bila perlu dapat dilakukan vaksinasi. DAFTAR PUSTAKA

Baughman,D.C & Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001 Mills,John & Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru. Jakarta : EGC Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : RSUD Dr.Soetomo S KHAIDIR MUHAJ BLOG'SITE Tempat Asuhan Keperawatan dan Materi Kuliah Keperawatan

ASKEP EMFISEMA
Label: Askep medikal bedah, Perkuliahan 1) Definisi Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. 2) Klasifikasi Emfisema Berdasarkan Morfologi a. Centrilobural Emfisema (CLE) Terdapat pelebaran dan kerusakan brokiolus respiratorius tertentu. Dinding bronkiolus terbuka dan menjadi membesar dan bersatu cenderung membentuk sebuah ruangan bersamaan dengan membesarnya dinding. Cenderung tidak seluruh paru, namun lebih berat pada daerah atas.

b. Panlobular Emfisema (PLE) Pembesaran lebih seragam dan perusakan alveoli dalam asinus paru-paru, Biasanya lebih difus dan lebih berat pada paru-paru bawah. Ditemukan pada orang tua yang tidak ada tanda bronchitis kronis atau gangguan 1- antitripsinEfungsi paru. Khas ditemukan pada orang dengan defisiensi homozigot. 3) Etiologi Merokok belum diketahui pasti sebagai penyebab emfisema, tetapi merokok diduga merupakan penyebab utama dari penyakit emfisema. Selain itu, penyebab emfisema pada sedikit pasien yaitu diakibatkan oleh adanya predisposisi familial berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, 1 yang merupakan enzim inhibitor. Tanpa enzimE defisiensi antitripsin - inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. 4) Patofisiologi Karena dinding alveoli terus mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen sehingga mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri dan menyebabkan asidosis respiratoris. Sekresi meningkat dan tertahan menyebabakan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru-paru yang mengalami emfisema. 5) Pemeriksaan diagnostik Rontgen dada Menunjukkan hiperinflasi, pendataran diafragama, pelebaran margin intercosta, dan jantung normal. Spirometri Pemeriksaan fungsi pulmonary, biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total dan volume residual, penurunan dalam kapsitas vital dan volume ekspirasi kuat. Pemeriksaan gas-gas darah arteri Dapat menunjukkan hipoksia ringan dengan hiperkapnia. Hitung darah lengkap (HDL). 6) Penatalaksanaan Medis Bronkodilator% -adrenergik danFUntuk mendilatasi jalan nafas. Mencakup agonis metilxantin, yang menghasilkan dilatasi bronchial melalui mekanisme yang berbeda. Terapi Aerosol%

Aerosolisasi dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Aerosol yang dinebuliser menghilangkan brokospasme, menurunkan edema mukosa, d an mengencerkan sekresi bronchial. Hal ini memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi. Pengobatan Infeksi% Pasien dengan emfisema rentan terjadap infeksi paru dan harus diobati padasaat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atau trimetroprim-sulfametoxazol biasanya diresepkan. Kortikosteroid% Digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekres i. Prednison biasanya diresepkan. Oksigenasi% Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat. 7) Diagnosa Keperawatan Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi. Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas. Intervensi : 1) Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan. 2) Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB. 3) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk efektif. 4) Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan. Rasional: 1) Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronchial dan spasme muscular. 2) Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi biasanya digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi. 3) Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki. 4) Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.

Evaluasi: Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.k Melaporkan penurunan dispnea.k Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.k

Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.k Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal. Tujuan : Pencapaian klirens jalan napas. Intervensi : 1) Beri pasien 6-8 gelas cairan/hari, kecuali terdapat kor pulmonal. 2) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmaik dan batuk. 3) Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler, atau IPPB. 4) Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan. 5) Instruksikan pasien untuk menghindari iritan, seperti asap rokok, aerosol, dan asap pembakaran. 6) Berikan antibiotik sesuai yang diresepkan. RASIONAL : 1) Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran. 2) Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa harus menyebabakan sesak napas dan keletihan. 3) Tindakan ini menambahakan air ke dalam percabangan bronchial dan pada sputum menurunkan kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi. 4) Menggunakan gaya gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga s ekresi dapat lebih mudah dibatukkan atau diisap. 5) Iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir, yang kemudian mengganggu klirens jalan napas. 6) Antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi. Evaluasi : Mengungkapkan pentingnya untuk minum 6-8 gelas per hari.k Batuk berkurang.k Jalan napas kembali efektif.k Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir, bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas. Tujuan : perbaikan dalam pola pernapasan. Intervensi : 1) Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan. 2) Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. 3) Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernapasan jika diharuskan. Rasional : 1) Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan

bernapas lebih efisien dan efektif. 2) Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan. 3) Menguatkan dan mengkoordinasiakn otot-otot pernapasan. Evaluasi : Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik sertak menggunakannya ketika sesak napas dan saat melakukan aktivitas. Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak dalam k aktivitas. Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.k Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi. Tujuan : kemandirian dalam aktivitas perawatn diri. Intervensi : 1) Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas. 2) Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan. 3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan. Rasional : 1) Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas. 2) Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan. 3) Memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawtan dirinya. Evaluasi : Menggunakan pernapasan terkontrol ketika beraktivitas.k Menguraikan strategi penghematan energi.k Melakukan aktivitas perawatan diri seperti sebelumnya.k Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif. Tujuan: perbaikan dalam toleran aktivitas. Intervensi: 1) Dukungan pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur. Rasional: 1) Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, kelompok otot menjadi lebih terkondisi.

Evaluasi: Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.k Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk memperbaiki k kondisi fisik. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja. Tujuan: pencapaian tingkat koping yang optimal. Intervensi: 1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yng ditujukan kepada pasien. 2) Dorongan aktivitas sampai tingkat toleransi gejala. 3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien. Rasional: 1) Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan. 2) Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan pasien menjadi terkondisi. 3) Relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi ketidakmampuannya. Evaluasi : Mengekspresikan minat di masa depan.k Mendiskusikan aktivitas dan metode yang dapat dilakukan untukk menghilangkan sesak napas. Menggunakan teknik relaksasi dengan sesuai.k

Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di rumah. Tujuan: kepatuhan dengan program terapeutik dan perawatan di rumah. Intervensi: 1) Bantu pasien mengerti tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. 2) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Rasional: 1) Pasien harus mengetahui bahwa ada metoda dan rencana dimana ia memainkan peranan yang besar. 2) Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.

Evaluasi: Mengerti tentang penyakitnya dan apa yang mempengarukinya.k Berhenti merokok.k DAFTAR PUSTAKA Smeltzer, Suzanne. C, 1997, BUKU AJAR KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH, EDISI 8, EGC : Jakarta

Askep emfisema dan empiema (Revisi)


BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemologi yang di tandai dengan beralihnya kematian yang semula di dominasi oleh penyakit menular telah bergeser ke penyakit tidak menular ( non communicable desease). Perubahan penyakit terdsebut dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi dan sosial budaya. Emfisema tergabung dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang merupakan salah satu kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Read more: http://yayannerz.blogspot.com/2011/03/askep-emfisema-dan-empiemarevisi.html#ixzz1Pj4t0m7a

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL di lima rumah sakit di Indonesia ( Jawa Barat, Jawah Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera selatan), pada tahun 2004 menunjukan PPOK termasuk emfisema masuk dalam urutan pertama penyumbang angka kesakitan yaitu 35%, asma bronkial 33%, kanker paru 30% dan lainnya 2% . Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 sebanyak 54,5% penduduk laki laki dan 1,2 % perempuan merupakan perokok, sehingga emfisema mempunyai faktor penyebab dari rokok sebesar 92% 5.

2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan terdiri dari tujuan umum dan tujuan umum. A. Tujuan Umum Untuk memenuhi tugas perdana dari matakuliah Medikal Bedah II. Mengatahui tentang emfisema dan empiema.

B. Tujuan Khusus Mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan tentang denifinisi, etiologi, patofisiologi, gejala, komplikasi dan pemeriksaan laboratorium pada empisema dan empiema. Dapat melakukan intervensi keperawatan pada empisema dan empiema.

BAB II PEMBAHASAN 1. EMFISEMA A. Definisi Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus atau perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (The American Thorack society 1962) 1 B. Epidemologi Dari angka mortalitas, WHO memperkirakan pada tahun 2020 pasien PPOK termasuk emfisema akan meningkat dan menjadi terbesar dan menyebabkan 8,4 ju jiwa kematian ta setiap tahun. Di Indonesia emfisema paru menjadi penyakit utama yang disebabkan oleh rokok dan mencapai 70 % kematian karena rokok. Data WHO menunjukan di dunia pada tahun 1990, PPOK termasuk empfisema menempati urutan ke 6 sebagai penyebab utama kematian penyakit tidak menuular2,5.

C. Etiologi  Rokok Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara

patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.  Faktor Genetik Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin.

 Hipotesis Elastase-Anti Elastase Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Infeksi Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksiparu bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae. Polusi Sebagai factor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi1.

D. Patofisioogi

Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan1. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber anti elastase yang penting adalah pankreas. Asap

rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada
1 dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru .

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas1.

E. Pembagian Emfisema

Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:  CLE (Emfisema Sentrilobular) CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dindingdinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).

 PLE (Emfisema Panlobular) Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruhparu-paru . PLE juga ditemukan

pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzimalfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami( Cherniack dan cherniack, 1983). PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara1.

F. Tanda dan gejala Pada awal penyakit emfisema tidak memberi gejala sampai 1/3 parenkim paru tidak mampu berfungsi. Pada penyakit selanjutnya, pada awalnya ditandai oleh sesak napas. Gejala lain adalah batuk, whezeeng, berat badan menurun. Tanda klasik dari emfisema adalah dada seperti tong ( barrel chested) dan ditandai dengan sesak napas disertai ekspirasi memanjang karena terjadi pelebaran rongga alveoli lebih banyak dan kapasitas difus gas rendah3.

G. Komplikasi 1. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan 2. Daya tahan tubuh kurang sempurna 3. Proses peradangan yang kronis di saluran napas 4. Tingkat kerusakan paru makin parah6. H. Pemeriksaan labolatorium  Pemeriksan Radiologis Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu :
y Gambaran defisiensi arteri y Overinflasi

Terlihat diafragma yang rendah dan datar, kadang-kadang terlihat konkaf.


y Oligoemia

Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.


y Corakan paru yang bertambah sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan

blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.

 Pemeriksaan Fungsi Paru Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

 Analisis Gas Darah Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.

 Pemeriksaan EKG Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung.

I.

Penatalaksanaan emfisema paru

 Penyuluhan Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

 Pencegahan
 Rokok

Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan
 Menghindari lingkungan polusi

Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas.


Vaksin Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.

 Terapi Farmakologi Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:

1. Pemberian Bronkodilator  Golongan Teofilin Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L  Golongan Agonis B2 Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama. 2. Pemberian Kortikosteroid

Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3 4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan. 3. Mengurangi Sekresi Mucus  Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat.  . Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida.  Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum.  Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.

 Fisioterapi dan Rehabilitasi Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :

 Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.  Memperbaiki efisiensi ventilasi.  Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisik  Pemberian O2 Dalam Jangka Panjang Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Mike, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

 Intervensi keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus dengan empiema torakal, antara lain: 1. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan penurunan ekspansi paru -paru sekunder terhadap dorongan dalam rongga pleura. Intervensi : a) Kaji pernafasan, catat perubahan, frekuensi, kedalaman, dan kualitasnya. b) Kaji gerakan dada, perhatian tanda simetris. c) Auskultasi bunyi dada setiap 2 sampai 4 jam. d) Baringkan pada dalam posisi duduk, dengan bagian kepala tempat tidur ditinggikan 60-90 e) Berikan oksigen per nasal kanul dengan 2-6 liter/menit sesuai pesanan kecuali terdapat kontra indikasi. f) Kaji pemasangan selang dada.

g) Berikan oksigen dan IPPB sesuai pesanan. h) Pantau TD, S, P, dan nadi apikal setiap 2 jam sampai 4 jam. i) j) Berikan obat-obatan sesuai pesanan. Tinjau ulang seri pemeriksaan sinar x dada dan GDA sesuai pesanan.

k) Bantu dan ajarkan pasien untuk: a) Nafas dalam setiap 2-4 jam b) Berikan dorongan untuk menggunakan spirometer ansentif. c) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif pada ekstremitas setiap 4 jam. d) Berikan dorongan untuk batuk: bantu pasien untuk membebat bagian yang terkena ketika batuk.

e) Hindari peregangan, penjuluran atau gerakan yang tiba-tiba.

2.

Nyeri dada yang berhubungan dengan faktor-faktor biologis (trauma jaringan) dan faktorfaktor fisik (pemasangan selang dada). Intervensi : Kaji terhadap adanya nyeri (verbal dan nor verbal).

a) Berikan analgesik sesuai pesanan. b) Kaji keefektifan tindakan penurunan rasa nyeri. c) Berikan obat pada pasien sebe-lum latihan batuk /bernapas. d) Instruksikan pasien pada teknik pembebatan. e) Amankan selang dada untuk membatasi gerakan dan menghindari iritasi.

3. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan diri. Intervensi a) Kaji tingkat pengertian tentang proses penyakit. b) Diskusikan gejala untuk dilaporkan pada dokter: kesulitan bernapas, nyeri dada saat inspirasi, peningkatan suhu tubuh, batuk menetap, batuk dengan banyak mengandung sputum. c) Jelaskan pentingnya untuk menghindari orang dengan infeksi terutama ISPA. d) Diskusikan gejala demam atau flu untuk dilaporkan pada dokter. e) Diskusikan pentingnya batuk dan nafas dalam. f) Jelaskan pentingnya melakukan latihan toleransi: rencanakan waktu istirahat dan hindari keletihan. g) Jelaskan pentingnya vaksinasi influenza sesuai pesanan. h) Diskusikan obat-obatan: nama, dosis, waktu pemberian, tujuan, dan efek sampingnya. i) Jelaskan pentingnya menghindari obat-obatan yang dijual bebas tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan dokter1

2. Empiema A. Definisi

Empiema adalah adanya eksudat purulent dalam cavum pelura. Pus dalam rongga pleura yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau abses paru-paru terjadi setelah operasi atau akibat luka tusuk dada6. Empiema umumnya terjadi pada pneumonia. Sekitar 20-60 % dari seluruh kasus pneumonia berhubungan dengan efusi parapneumoni. Dengan antibiotik yang tepat, efusi parapneumoni akan sembuh tanpa komplikasi. Namun, bila efusi

tidak teratasi, maka dikatakan efusi terkomplikasi. Infeksi dan respon inflamasi yang diakibatkan menimbulkan perlekatan. Cairan yang terinfeksi menjadi pus yang terlokalisir di pleura7.

B. Etiologi . Empiema dapat disebabkan oleh penyebab selain pneumonia bakterial. Setiap proses yang membawa patogen ke dalam celah pleura dapat menyebabkan

suatu empiema.Beberapa sebab empiema adalah sebagai berikut :  Trauma thoraks  Ruptur abses paru ke dalam celah pleura  Penyebaran infeksi non pleura (mediastinitis, infeksi abdomen) C. Patofisiologi Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan timbulah peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan sel polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya endapan endapan fibrin akan membentuk kantung kantung yang melokalisasi nanah tersebut4. Sekresi dengan cairan menuju oleh celah pleura normalnya Sistem membentuk limfatik keseimbangan pleura dapat

drainase

limfatik

subpleura.

mendrainase hampir 500 ml/hari. Bila volume cairan pleura melebihi kemampuan limfatik untuk mengalirkannya maka, efusi akan terbentuk. Efusi parapnemonia merupakan sebab umum empiema. Pneumonia

mencetuskan respon inflamasi. Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat meningkatkan dari pleura. permeabilitas Sel mesotelial sel mesotelial, terkena yang merupakan lapisan sel terluar terhadap

yang

meningkat

permeabilitasnya

albumin dan protein lainnya. Hal ini mengapa suatu efusi pleura karena infeksi kaya akan protein. Mediator kimia dari proses inflamasi menstimulasi mesotelial untuk melepas kemokin, yang merekrut sel inflamasi lain. Sel mesotelial memegang peranan

penting untuk menarik neutrofil ke celah pleura. Pada kondisi normal, neutrofil tidak ditemukan pada cairan pleura. Neutrofil ditemukan pada cairan pleura

hanya jika direkrut sebagai bagian dari suau proses inflamasi. Netrofil, fagosit, mononuklear, dan limfosit meningkatkan respon inflamasi
7

dan

mengeleluarkan

mediator untuk menarik sel-sel inflamator lainya ke dalam pleura . Efusi pleura parapneumoni dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan patogenesisnya, yaitu torakis.  Efusi parapneumoni tanpa komplikasi merupakan efusi eksudat predominan efusi parapneumoni tanpa komplikasi, dengan komplikasi dan empiema

neutrofil yang terjadi saat cairan interstisiil paru meningkat selama pneumonia. Efusi ini sembuh dengan pengobatan antibiotik yang tepat untuk pneumonia.  Efusi parapneumoni komplikasi merupakan invasi bakteri pada celah pleura yang mengakibatkan peningkatan peningkatan LDH. jumlah Efusi neutrofil, ini sering asidosis bersifat cairan steril pleura karena dan bakteri konsentrasi

biasanya dibersihkan secara cepat dari celah pleura.

Pembentukan empiema terjadi dalam 3 tahap, yaitu :  Fase secara dan eksudatif cepat LDH ke yang : Selama dalam rendah, fase eksudatif, pleura. dan cairan pleura steril berakumulasi kadar WBC ini

celah

Cairan pH

pleura

memiliki

glukosa

dalam

batas

normal.

Efusi

sembuh dengan terapi antibiotik, penggunaan chest tube tidak diperlukan.  Fase fibropurulen leukosit pH dan : invasi bakteri dan terjadi debris. menurun, pada Terjadi celah pleura, dengan untuk LDH

akumulasi lokulasi, menngkat.

PMN,

bakteri

kecendrungan kadar

kadar

glukosa

sedangkan

 Fase organisasi : Bentuk lokulasi. Aktivitas fibroblas menyebabkan pelekatan pleura visceral dan parietal. Aktivitas ini berkembang dengan pembentukan perlengketan dimana lapisan pleura tidak dapat dipisahkan. Pus, yang kaya akan protein dengan sel inflamasi dan debris berada pada celah pleura. Intervensi bedah diperlukan pada tahap ini7. Gambaran seiring bakteriologis waktu. efusi parapneumoni era dengan kultur positif yang berubah umumnya Saat

berjalannya adalah

Sebelum

antibiotik,

bakteri

didapatkan ini,

Streptococcus aerob lebih

pneumoniae sering

danstreptococci

hemolitik.

organisme

diisolasi

dibandingkan

organisme

anaerob. Staphylococcus aureus dan S pneumoniae tumbuh pada 70 % kultur

bakteri gram positif aerob. Bakteriologi suatu efusi parapneumoni berhubungan erat dengan bakteriologi pada proses pneumoni. Organisme aerob gram positif dua kali lebih sering diisolasi dibandingkan organisme aerob gram negatif. Klebsiela, Pseudomonas, dan Haemophilus merupakan 3 jenis organisme aerob gram negatif yang paling sering diisolasi. Bacteroides danPeptostreptococcus merupakan organisme anaerob yang paling sering diisolasi. Campuran bakteri aerob dan anaerob lebih sering menghasilkan suatu empiema dibandingkan infeksi satu jenis organisme. Bakteri anaerob telah dikultur 36 sampai 76 % dari empiema. Sekitar 70 % empiema merupakan suatu komplikasi dari pneumoni. Pasien dapat mengeluh menggigil, demam tinggi, berkeringat, penurunan nafsu makan, malaise, dan batuk. Sesak napas juga dapat dikeluhkan oleh pasien7.

D. Gejala Empiema Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia bakteria, gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain), batuk, sesak, dan dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri abdomen dan muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak dialami penderita dengan sistem imun yang tertekan. Juga terdapat batuk pekak pada perkusi dada, dispneu, menurunnya suara pernapasan, demam pleural rub (pada fase awal) ortopneu, menurunnya vokal fremitus, nyeri dada8.

E. Komplikasi Komplikasi Yang sering timbul adalah vistula Bronchopleura dan komplikasi lainnya. Yang mungkin timbul misalnya syock, sepsis, kegagalan jantung, kongestif, dan otitis media. F. Pemeriksaan Penunjang  Ultra Sonograf( USG) Empiema merupakan perkembangan penyakit atau stadium dari efusi parapneumonia. Drainase sulit dilakukan karena cairan yang bersifat kental dan adanya lokulasi fibrin dalam ruang pleura. Meskipun beberapa penelitian menemukan adanya cara efektif mendapatkan keparahan penyakit, memperkirakan prognosis dan merencanakan penanganan penderita empiema dengan ultrasonik, terdapat ketidaksesuaian pada hasil

penelitian tersebut, karena setelah pemberian urokinase intrapleura secara acak pada anak dengan empiema, ternyata hasil ultrasonik masih tidak berpengaruh. Selain itu ultrasonik kurang spesifik dalam membedakan daerah kistik yang padat pada ruang pleura dan menentukan apakah cairan pleura sudah terinfeksi atau belum. Walaupun gambaran ultrasund penderita dengan empiema biasanya ekogenik homogen, efusi hemoragik dan kilotoraks juga memiliki gambaran yang sama. Ekogenitas cairan pleura disebabkan karena elemen-elemen sel seperti eritrosit, sel-sel radang, droplet-droplet lemak atau gelembung udara, dan uultrasonik tidak dapat membedakan elemen-elemen tersebut.  Foto dada posisi frontal, lateral, dan dekubitus  Kultur darah  Apusan nasofaringeal/ sampel sputum  Hitung arah lengkap dengan diferensiasi (tidak spesifik namun bisa mencari penyebab infeksi atau diskrasia darah)  Torakosenstesis jika etiologi efusi tidak diketahui atau tidak dapat ditentukan dari proses infeksi yang telah dicurigai sebelumn  Pemeriksaan cairan pleura  Hitung sel darah dan diferensiasi  Protein, laktat dehidrogenase (LDH), glucosa, dan Ph  Kultur bakteri aerob dan anaerob, mikobakteri, fungi, mikoplasma, dan bila ada indikasi disertai dengan pemeriksaan viral patogen8. G. Intervensi Dan Rasional. 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronchus spsame, peningkatan produksi secret. 2. Pertahankan jalan nafasa paten dengan bunyi nafas bersih. 3. Auskultasi bunyi nafas catat adanya bunyi nafas, kaji dan pantau suara pernafasan. Rasional: Untuk mengetahui adanya obstruksi jalan nafas, tachipneu merupakan derajat yang ditemukan adanya proses infeksi akut. 4. Catat Rasional: Disfungsi pernafasan merupakan tahap proses kronis yang yang dapat menimbulkan infeksi atau reaksi alergi. 5. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman , misalnya peninggian kepala tempat tidur. Rasional: adanya atau derajat dispneu, gelisah ,ansietas dan distress pernafasan

Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. 6. Bantu latihan nafas abdomen atau bibir. Rasional: Memberikan pasien berbagai cara untuk mengatasi dan mengontrol dispneu dan menurunkan jebakan udara. 7. Observasi karakteristik batuk Rasional: Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau kelemahan. 8. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml per hari sesuai toleransi jantung. Rasional: Hidrasi sekret. 9. Kaji frekwensi, kedalaman pernapasan Rasional: Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan atau kronisnya penyakit 10. Tinggikan kepala tempat tidur Rasional ; Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolap jalan napas8. membantu menurunkan kekentalan secret , mempermudah pengeluaran

BAB. III. PENUTUP A. Kesimpulan


Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus atau perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding

alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (The American Thorack society 1962) 1. Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:  CLE (Emfisema Sentrilobular)  PLE (Emfisema Panlobular) Tanda klasik dari emfisema adalah dada seperti tong ( barrel chested) dan ditandai dengan sesak napas disertai ekspirasi memanjang karena terjadi pelebaran rongga alveoli lebih banyak dan kapasitas difus gas rendah3. Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan timbulah peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan sel polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya endapan endapan fibrin akan membentuk kantung kantung yang melokalisasi nanah tersebut4. Empiema adalah adanya eksudat purulent dalam cavum pelura. Pus dalam rongga pleura yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau abses paru-paru terjadi setelah operasi atau akibat luka tusuk dada6. Efusi parapnemonia merupakan sebab umum empiema. Pneumonia

mencetuskan respon inflamasi. Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat meningkatkan dari pleura. permeabilitas Sel mesotelial sel mesotelial, terkena yang merupakan lapisan sel terluar terhadap

yang

meningkat

permeabilitasnya

albumin dan protein lainnya. Hal ini mengapa suatu efusi pleura karena infeksi kaya akan protein. B. Saran Selelah kita mempelajari apa yang telah dibahas, maka kita perlu menerapkan dalam profesi kita. Kiranya makalah ini dapat berguna dan memberi wawasan tentang patologi sistem pernapasan khusunya penyakit emfisema dan empiema.

DAFTAR PUSTAKA 1. Emfisema .( Available at : http: emfisema/askep-emfisema-

Supriono.Askep

paru.html).diakses : 8 february 2011.

2.

Anonim.Program Yankes.( www.docstoc.com/docs/33517186/program-yankes-emfisemaparu ).diakses:8 february 2011.

3.

Poppy

M.

Lintong,SpPa.Bahan

Ajar

Patologi

Anatomi.2007.Manado.

Fakultas

Keperawatan Unika De La Salle.p 46 4. Irman Somantri.Keperawatan Medikal Bedah.Dalam :Askep Sistem

Pernapasan.2007.Jakarta.Salemba Medika 5. Depkes RI.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1022/MENKES/SK/XI/2008/Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. 6. Anonim.Makalah Sistem Respirasi. (AvailableAt: http://kesehatanstikes27.wordpress.com/2011/01/13/emfisema). diakses pada : 12 February 2011 7. Anonim.Epiema Thorax ( Available at : www.scribd.com/doc/33194993/EMPIEMATORAKS)di akses pada : 12 February 2011 8. Zieshila.Askep Empiema. ( Available at :http://zieshila.wordpress.com/ibu-dan-anak/asuhankeperawatan-empiema).diakses pada:12 February 2011

You might also like