You are on page 1of 85

INTISARI AGAMA BUDDHA Penyusun : Pandita S. Widyadharma BAB II - AJARAN SANG BUDDHA 1.

KITAB SUCI AGAMA BUDDHA Kitab Suci Agama Buddha yang tertulis dalam Bahasa Pali adalah TIPITAKA, yang terdiri dari : 1. Vinaya Pitaka Yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni. 2. Sutta Pitaka Yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha 3. Abidhamma Pitaka Yang berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan. Sedangkan yang tertulis dalam bahasa Sansekerta adalah : 1. 2. 3. 4. Avatamsaka Sutra. Lankavatara Sutra. Saddharma Pundarika Sutra. Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim Kong Keng), dan lain-lain.

2. KESUNYATAAN DAN KENYATAAN 1. Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak (absolute truth), dan harus memenuhi sy arat-syarat sebagai berikut : 1. Harus benar. 2. Tidak terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang sama saja. 3. Tidak terikat oleh tempat ; di sini, di Amerika ataupun di bulan sam a saja. 2. Sammuti-sacca : Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetap i masih terikat oleh waktu dan tempat. 3. EHIPASSIKO Ehipassiko berarti "datang dan alamilah sendiri". Umat Buddha tidak diminta untu k percaya saja, tetapi justru untuk mengalami sendiri segala sesuatu. Ini menunj ukkan khas Buddhis, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama lain. 4. EMPAT KESUNYATAAN MULIA I. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha Hidup dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) : a. dilahirkan, usia tua, sakit, mati adalah penderitaan. b. berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan. c. ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan. d. tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan. e. masih memiliki lima khanda adalah penderitaan. Dukkha dapat juga dibagi sbb. : a. dukkha-dukkha ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasak an sebagai penderitaan tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susa h hati dll. b. viparinma-dukkha merupakan fakta bahwa semua perasaan sen ang dan bahagia --berdasarkan sifat ketidak-kekalan-- di dalamnya mengandung ben ih-benih kekecewaan, kekesalan dll. c. sankhr-dukkha lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ad a lima khanda tak mungkin terbebas dari sakit fisik.

II. Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha Sumber dari penderitaan adalah tanh, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-h abisnya. Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang pasrah kepada tanh sama saja dengan orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya. Ras a haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu yang m engandung garam. Demikianlah, semakin orang pasrah kepada tanh semakin keras tanh itu mencengkeramnya. Dikenal tiga macam tanh, yaitu : 1. a. b. c. d. e. f. Kmatanh : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan : bentuk-bentuk (indah) suara-suara (merdu) wangi-wangian rasa-rasa (nikmat) sentuhan-sentuhan (lembut) bentuk-bentuk pikiran

2. Bhavatanh : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepe rcayaan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada). 3. Vibhavatanh : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, b ahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedavda). III. Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya Dukkha Kalau tanh dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia s ekali, karena terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Ni bbana. a. Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana masih bersisa. Dengan 'sisa' dim aksud bahwa lima khanda itu masih ada. b. An-upadisesa-Nibbana = Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat diluki skan dengan kata-kata. Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang tepat : 't idak tahu' Sebab api itu padam karena kehabisan bahan bakar. IV. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, yaitu : Paa 1. 2. Sila 3. 4. 5. Samdhi 6. 7. 8. Pengertian Benar (samm-ditthi) Pikiran Benar (samm-sankappa) Ucapan Benar (samm-vc) Perbuatan Benar (samm-kammanta) Pencaharian Benar (samm-ajiva) Daya-upaya Benar (samm-vyma) Perhatian Benar (samm-sati) Konsentrasi Benar (samm-samdhi)

Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. : 1. Pengertian Benar (samm-ditthi) menembus arti dari : a. Empat Kesunyataan Mulia b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum) c. Hukum Paticca-Samuppda d. Hukum Kamma

2. Pikiran Benar (samm-sankappa) a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa). b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avypda-sankappa) c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihims-sankappa) 3. Ucapan Benar (samm-vc) Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini : a. Ucapan itu benar b. Ucapan itu beralasan c. Ucapan itu berfaedah d. Ucapan itu tepat pada waktunya 4. a. b. c. Perbuatan Benar (samm-kammanta) Menghindari pembunuhan Menghindari pencurian Menghindari perbuatan a-susila

5. Pencaharian Benar (samm-ajiva) Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu : a. Penipuan b. Ketidak-setiaan c. Penujuman d. Kecurangan e. Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat) Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yai tu : a. Berdagang alat senjata b. Berdagang mahluk hidup c. Berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mah luk-mahluk hidup) d. Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan keta gihan e. Berdagang racun. 6. Daya-upaya Benar (samm-vyma) a. Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin. b. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan ti dak baik, yang sudah ada di dalam bathin. c. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan s ehat di dalam bathin. d. Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-uns ur baik dan sehat yang sudah ada di dalam bathin. 7. Perhatian Benar (samm-sati) Samm-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassan-Bhvan (meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu : a. Ky-nupassan = Perenungan terhadap tubuh b. Vedan-nupassan = Perenungan terhadap perasaan. c. Citt-nupassan = Perenungan terhadap kesadaran. d. Dhamm-nupassan = Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran. 8. Konsentrasi Benar (samm-samdhi) Latihan meditasi untuk mencapai Jhna-Jhna.

Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh : 1. Sila-visuddhi Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sil a dan terkikis habisnya Kilesa. 2. Citta-visuddhi Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan S amadhi dan terkikis habisnya Nivarana. 3. Ditthi-visuddhi Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pe laksanaan Paa dan terkikis habisnya Anusaya. Untuk lebih jelasnya, hal tersebut di atas akan diterangkan lebih lanjut seperti di bawah ini : Asava Delapan Jalan Utama 1. Kilesa Kilesa 3. Ucapan Benar 4. Perbuatan Benar 5. Pencaharian Benar > Sila Line 2. Nivarana Nivarana 6. Daya-upaya Benar 7. Perhatian Benar 8. Konsentrasi Benar > Samadhi 3. Anusaya 1. Pengertian Benar 2. Pikiran Benar > Paa Asava = Kekotoran bathin, dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan besar, ya itu: 1. Kilesa = Kekotoran bathin yang kasar dan dapat jelas dilihat atau didengar. 2. Nivarana = Kekotoran bathin yang agak halus, yang agak suka r diketahui. 3. Anusaya = Kekotoran bathin yang halus sekali dan sangat su kar untuk diketahui. BHAVANA Agama Buddha mengenal 2 (dua) macam meditasi (Bhavana) : I. Samatha-bhavana = Meditasi untuk mendapatkan ketenangan ba thin melalui Jhna-Jhna. Jhna pertama : a. Vitakka = Usaha dalam tingkat perm ulaan untuk memegang obyek. b. Vicra = Pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat. c. Piti = Kegiuran d. Sukha = Kebahagiaan. e. Ekaggata = Pemusatan pikiran yang kuat. Jhna kedua : Vicra, Piti, Sukha, Ekaggata. Jhna ketiga : Piti, Sukha, Ekaggata. Jhna keempat : Sukha, Ekaggata. Jhna kelima : Ekaggata + keseimbangan bathin. Meditasi Samatha-bhvan yang sangat dipujikan ialah Brahma-Vihra-bhvan yang terdiri da ri : 1. Mett-bhvan = ek. 2. Karun-bhvan = edang menderita. 3. Mudit-bhvan = giaan orang lain. 4. Upekkh-bhvan Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang oby Meditasi welas-asih terhadap semua mahluk yang s Meditasi yang mengandung simpati terhadap kebaha = Meditasi keseimbangan bathin.

Brahm-Vihra-bhvan dapat juga dipakai untuk melemahkan kecenderungan-kecenderungan un tuk melakukan perbuatan yang tidak baik.

Tiga Akar Perbuatan Tiga hal yang di bawah ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk mel akukan perbuatan, yaitu : 1. Lobha = ulkan keserakahan. 2. Dosa = kan kebencian. 3. Moha = dan mana yang baik. Kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimb Penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbul Kebodohan ; tidak dapat menbeda-bedakan mana yang buruk

II. Vipassan-bhvan = Meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang tenta ng hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Latihan-latihan Vipassan-bhvan sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar ( samm-sati). Tujuan dari latihan-latihan bhvan ialah untuk menyingkirkan Nivarana (lihat pembah asan Asava) yang dianggap sebagai rintangan untuk memperoleh ketenangan bathin m aupun Pandangan Terang tentang hidup dan hakekat sesungguhnya dari benda-benda. Perincian dari Nivarana adalah sbb. : 1. 2. 3. 4. 5. Kmacchanda -- nafsu keinginan Vypda -- keinginan jahat, kebencian dan amarah. Thina-middha -- lamban, malas dan kesu. Uddhacca-kukkucca -- gelisah dan cemas. Vicikicch -- keragu-raguan.

Dalam tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam dua golongan : 1. Puthujjana Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga y ang belum mencapai tingkat kesucian. 2. Ariya-puggal Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga y ang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian pertama. Tingkat-tingkat kesucian Tingkat kesucian Belenggu yang harus dipatahkan ; Lahir kembali 1. Sotpanna 1. Sakkyaditthi = Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal. 2. Vicikicch = Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya. 3. Silabbataparmsa = Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membeb askan manusia dari penderitaan. Maksimum 7 kali 2. Sakadgmi Melemahkan belenggu-belenggu nomor 4 dan 5. 1 kali 3. Angmi 4. Kmarga = Nafsu Indriya. 5. Vypda = Benci, keinginan tidak baik. Setelah meninggal dunia, seorang Angmi akan terlahir di sorga Suddhavasa dan disit u akan mencapai Tingkat Arahat. Tidak akan terlahir kembali di alam manusia 4. Arahat 6. Ruparga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. 7. Aruparga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk. 8. Mna = Ketinggian hati yang halus. 9. Uddhacca = Bathin yang belum seimbang benar. 10. Avijj = Kegelapan bathin. Mencapai Nibbana Keterangan Avijj = : Perbedaan antara Avijj dan Moha. Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat menembus arti dar

i Empat Kesunyataan Mulia, Hukum Tilakkhana, Hukum Paticca-Samuppada, Hukum Kamm a. Moha = Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat membedakan apa ya ng baik dan apa yang tidak baik.

Penyusun : Pandita S. Widyadharma BAB I - PENDAHULUAN 5.HUKUM TILAKKHANA (TIGA CORAK UMUM) Hukum Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan ; berarti bahwa Hukum ini berlak u di mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak terikat oleh waktu dan tempat. 1. Sabbe sankhr anicc Segala sesuatu dalam alam semesta ini yang terdiri dari paduan unsur -unsur adalah tidak kekal. Umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak, yaitu : Uppada Petunjuk (timbul) Thiti Petunjuk (berlangsung) Bhanga (berakhir/lenyap) 2. Sabbe sankhr dukkha Apa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah penderitaan. 3. Sabbe Dhamm Anatt Segala sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti ya ng kekal/abadi. Contoh dari sesuatu yang tidak tercipta adalah Nibbana. Di samping paham anatt yang khas Buddhis terdapat juga dua paham lain yaitu : 1. Attavda Paham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan akan berlangsung sepan jang masa (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha). 2. Ucchedavda Paham bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut lenyap (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha). Uraian secara matematika tentang ketiga paham tersebut adalah sbb. : Attavda 1. 2. 3. 4. A + p = A + p (A + p) + p1 = A + p + p1 (A + p + p1) + p2 = A + p + p1 + p2 (A-p-p1-p2) + ... + pn = A + p + p1 + p2 + ... + pn

Ucchedavda 1. A + p = Nihil Anatt 1. A A 2. B p + = + = p = B Atma, roh p1 = C Pengalaman hidup

3. C + p2 = D I, II, III = Kehidupan ke I, II, III. Contoh konkrit tentang paham anatt, misalnya kalau kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dll.. Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan : ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, in i airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu di aduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama s ekali. Kesimpulan : Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, n amun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesua tu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam ben tuknya yang semula.

LIMA KHANDHA Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok ke hidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani. Saa = Pencerapan. Sankhra = Pikiran, bentuk-bentuk mental. Vedan = Perasaan. Viana = Kesadaran.

Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama (bathin), sehingga seo rang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan nama. Dalam menangkap rangsan gan dari luar, maka bekerja-samanya lima khandha ini adalah sbb. : 1. Rupa Kita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubu h yang merupakan bagian dari badan jasmani kita. 2. Viana (citta) Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsanga n. 3. Saa Rangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dar i otak kita, mengenal obyek. 4. Sankhra Rangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang du lu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita. 5. Vedan Dengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita. Proses mental ini berlangsung sbb. : Kesadaran > Pencerapan > Pikiran > Perasaan.

Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima kh andha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. De ngan cara ini, maka anatt diterangkan melalui analisa. 6.HUKUM PATICCA-SAMUPPADA Paham anatt dapat pula diterangkan melalui cara sinthesa, yaitu melalui Hukum Pat

icca-Samuppada (Hukum Sebab-musabab Yang Saling Bergantungan). Prinsip dari Huku m ini diberikan dalam empat formula pendek, yaitu : 1. Imasming Sati Idang Hoti Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. 2. Imassuppd Idang Uppajjati Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu. 3. Imasming Asati Idang Na Hoti Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. 4. Imassa Nirodh Idang Nirujjati Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu. Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup d apat diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebab-musabab) : 1. Avijj Paccay Sankhra Dengan adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk ka rma. 2. Sankhra Paccay Vinang Dengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran. 3. Vina Paccay Namarupang Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah bathin dan badan jasmani. 4. Namarupang Paccay Salyatanang. Dengan adanya bathin dan badan jasmani, maka terjadilah enam indriya 5. Salyatana Paccay Phassa. Dengan adanya enam indriya, maka terjadilah kesan-kesan. 6. Phassa Paccay Vedan. Dengan adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaan. 7. Vedan Paccay Tanh. Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanh (keinginan). 8. Tanh Paccay Updnang. Dengan adanya tanh (keinginan), maka terjadilah kemelekatan. 9. Updna Paccay Bhavo. Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses tumimbal lahir. 10. Bhava Paccay Jati. Dengan adanya proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali. 11. Jati Paccay Jaramaranang. Dengan adanya kelahiran kembali, maka terjadilah kelapukan, kematian, kelu h-kesah, sakit dll. 12. Jaramarana. Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari kelahiran kembali. Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus. Kalau kita m engambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka kita akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhenti seluruhnya dari kebodohan, maka te rhenti pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya bentuk-bentuk karma, maka te rhenti pulalah kesadaran; ..... dengan terhentinya kelahiran kembali, maka terhe nti pulalah kelapukan, kematian, kesedihan dll. 7. HUKUM KAMMA Kamma adalah kata bahasa Pali yang berarti "perbuatan", yang dalam arti umum mel iputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, la hir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Makna yang luas dan sebe narnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak membeda-beda kan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermora l), mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda : "O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Pali : Cetana) itulah yang Kami namakan Kam

ma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau pikira n." Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas berputu s-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan. Meman g segala sesuatu yang lampau mempengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini, a kan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama d engan apa yang terjadi pada saat sekarang mempengaruhi pula hal-hal yang akan da tang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekara ng ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih ak an dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada "di tang an kita" sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita haru s hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersi fat baik. Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong mahluk-mahluk lain, membuat mahluk-mahluk lain bahagia, sehingga perbuatan ini akan membawa satu kam ma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk melakukan ka mma yang lebih baik lagi. Satu contoh yang klasik adalah sbb. : Lemparkanlah batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang. Perhatik anlah bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga menjadi begitu lebar dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak tadi telah selesai, sebab bilamana gerak gelombang yang halus itu me ncapai tepi kolam, ia akan dipantulkan kembali sampai mencapai tempat bekas di m ana batu tadi dijatuhkan. Begitulah semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita seperti haln ya dengan gelombang di kolam yang kembali ke tempat dimana batu itu dijatuhkan. Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb : "Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahata n pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasaka n buah-buah dari padanya". Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamm a yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita tel ah berbuat suatu kesalahan. janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamm a-vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak mar ah dan juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak diper caya akan berlangsung terus. Terdapat dua belas jenis bentuk-bentuk kamma yang tidak diperinci di sini. Bentu k kamma yang lebih berat (bermutu) dapat menekan -- bahkan menggugurkan -- bentu k-bentuk kamma yang lain. Ada orang yang menderita hebat karena perbuatan kecil, tetapi ada juga yang hampir tidak merasakan akibat apapun juga untuk perbuatan yang sama. Mengapa? Orang yang telah menimbun banyak kamma baik, tidak akan bany ak menderita karena perbuatan itu, sebaliknya orang yang tidak banyak melakukan kamma-kamma baik akan menderita hebat. Singkatnya : Kamma Vipaka dapat diperlunak, dibelokkan, ditekan, bahkan digugurk an. Kamma dapat dibagi dalam tiga golongan :

1. Kamma Pikiran (mano-kamma). 2. Kamma Ucapan (vaci-kamma). 3. Kamma Perbuatan (kaya-kamma). 10 (sepuluh) jenis kamma baik 1. Gemar beramal dan bermurah hati akan berakibat dengan diperolehnya kekayaan dalam kehidupan ini atau kehid upan yang akan datang. 2. Hidup bersusila mengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang keadaannya berbah agia. 3. Bermeditasi berakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga. 4. Berendah hati dan hormat menyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur. 5. Berbakti berbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat. 6. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain berbuah dengan terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banya k hal. 7. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan. 8. Sering mendengarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan. 9. Menyebarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan (sama dengan No. 8). 10. Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya keyakinan. 10 (sepuluh) jenis kamma buruk 1. Pembunuhan akibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan karena te rpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada d alam ketakutan 2. Pencurian akibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang s enantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang lain. 3. Perbuatan a-susila akibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami yang tidak disen angi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seksnya. 4. Berdusta akibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai. 5. Bergunjing akibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab yang berarti. 6. Kata-kata kasar dan kotor akibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain. 7. Omong kosong akibatnya bertubuh cacad, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khal ayak ramai. 8. Keserakahan akibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan. 9. Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lain akibatnya buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela. 10. Pandangan salah akibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.

Lima bentuk kamma celaka Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah kel ahiran di alam neraka : 1. 2. 3. 4. 5. Membunuh ibu. Membunuh ayah. Membunuh seorang Arahat. Melukai seorang Buddha. Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.

8.HIRI DAN OTAPPA Dua ciri khas yang dianggap dua sifat yang membantu melindungi dunia dari kekaca uan : 1. Hiri Perasaan malu, yaitu malu melakukan hal-hal yang tidak baik. 2. Otappa Perasaan takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuat an yang tidak baik. 9. ATTHALOKA-DHAMMA Dalam penghidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari 8 (delapan) keadaan, yaitu : * lbha - albha untung - rugi * yasa - ayasa terkenal - tak terkenal * nind - pasams dicela - dipuji * sukha - dukkha gembira, bahagia - sedih, menderita dll.

BUDDHA METTEYA Metteya adalah Buddha masa depan yang sangat dinantikan dan belum dilahirkan. Se lanjutnya Beliau akan dianggap sebagai Buddha ke 25 menurut tradisi Pali. Lebih lanjut lagi, Beliau akan dihitung sebagai Buddha ke 5 dan yang terakhir di aeon sekarang yaitu Kappa Bhadda. Dipercayai bahwa Beliau akan dilahirkan saat kehidupan manusia diperpanjang sampai 84.000 tahun. Tempat kelahiranNya adalah K etumati di masa pemerintahan Chakkavatti Samkha dimana dia sendiri akan menjadi pengikut Buddha dan melepaskan kehidupan duniawi. Metteya akan dilahirkan di sebuah keluarga terpelajar yang terkenal dan namaNya adalah Ajita. Nama sukuNya juga Metteya. Nama ayahNya adalah Subrahma; dan ibuNy a adalah Brahmawati. Beliau akan menikah dengan Chandamukhi dan akan mempunyai p utra Brahmavaddhana. Beliau akan hidup di empat istana selama 8.000 tahun yaitu Sirivaddha, Vaddhamana, Siddhattha dan Chandaka. Selanjutnya Beliau akan melepas kan keduniawian setelah melihat 4 tanda. Yang akan menjadi para pengikutnya yang luar biasa adalah dua saudaraNya Isidatt a dan Purana; Jatimitta dan Vijaya diantara pengikut pria; dan Suddhana, Sanghaa dan Visakhaa diantara pengikut wanita. Yang akan menjadi murid-murid utamaNya d iantara para bhikkhu adalah Asoka dan Brahmadeva; dan diantara para bhikkhuni ad alah Paduma dan Sumana. Siha akan menjadi pembantu pribadiNya. Beliau akan menca

pai pencerahan di bawah pohon Naga. Telah menjadi tradisi bahwa Buddha akan datang berdiam di dunia Dewa Tusita deng an nama Nath. Beliau sering digambarkan atau diukir dalam mahkota-mahkota dan pe rmata-permata karena Beliau belum melepaskan kehidupan duniawi. Lihat juga pada: 1. Digha Nikaya iii.7; 2. Mahavamsa xxxxxxii. 73, 81 f; 3. Chullavamsa xxxviii. 68,; 4. Milinda Panha 159; 5. Atthasalini 415 BAB I MASA BERKELUARGA (Sumber : Riwayat Hidup Buddha Gotama; Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadhrama; Penerbit : Cetiya Vatthu Daya; Cetakan Keduabelas, 1999) Pendahuluan Pada zaman dahulu, daerah Majjhima desa (daerah tengah dari Jambudipa ~sekarang India~) dihuni oleh suku bangsa Ariyaka yang datang dari Utara Pegunungan Himala ya. Di daerah lereng Pegunungan Himalaya inilah terletak sebuah kerajaan yang be rnama Kerajaan Sakka (pada waktu itu di daerah tersebut banyak sekali terdapat p ohon sakka). Sejarah kerajaan tersebut menurut buku-buku kuno adalah sebagai ber ikut : Seorang raja bernama raja Okkaka yang memerintah daerah tersebut mempunyai empat orang putra (Okkamukha, Karanda, Hatthinika, dan Sinipura) dan lima orang putri . Pada suatu hari, Ratu (yang juga adalah saudaranya) meninggal dunia dan Raja m enikah lagi dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki . Merasa gembira sekali, Raja telah melepaskan kata-kata dan berjanji kepada Rat u (yang baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu, apapun juga ya ng akan dimintanya. Dalam kesempatan yang baik itu, Ratu memohon kepada Raja agar anaknya yang baru dilahirkan diangkat menjadi Putra Mahkota. Mendengar permintaan tersebut Raja menjadi kaget dan menolak untuk meluluskan pe rmohonan tersebut. Tetapi Ratu terus-menerus merengek-rengek serta mengingatkan Raja akan janjinya. Raja menjadi serba salah. Karena malu untuk tidak menepati j anji yang pernah diberikannya, maka akhirnya Raja memanggil keempat orang putran ya dan memerintahkan untuk membawa saudara-saudara perempuannya pergi ke suatu d aerah lain untuk membangun sebuah negara baru. Keempat putra Raja tersebut, tidak lama kemudian mohon diri dari ayahandanya dan bersama dengan saudari-saudarinya berangkat menuju sebuah hutan disertai dengan rombongan ahli-ahli dalam berbagai bidang untuk membangun sebuah negara baru. Mereka memilih sebuah hutan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon sakka di lereng Gu nung Himalaya, di dekat tempat yang sejak lama dihuni oleh seorang pertapa berna ma Kapila. Sebab itulah, maka kota yang kemudian mereka bangun diberi nama Kapil avatthu (vatthu = tempat). Di tempat itulah mereka menikah diantara mereka bersaudara, terkecuali putri yan g tertua yang menikah dengan Raja dari Devadaha. Empat pasangan yang tersebut du luan merupakan leluhur dari Dinasti Sakya dan pasangan yang belakangan merupakan leluhur dari Dinasti Koliya. Pada suatu waktu, Raja yang memerintah di kota Kapilavatthu adalah Raja Jayasena yang mempunyai seorang putra bernama Sihahanu dan seorang putri yang bernama Ya sodhara. Setelah Raja Jayasena meninggal dunia, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di Kapilav atthu dan menikah dengan Putri Kencana, yaitu adik dari Raja Anjana dari Devadah

a. Mereka diberkahi dengan lima orang putra yang diberi nama Suddhodana, Sukkoda na, Amitodana, Dhotodana, dan Ghanitodana dan dua orang putri yang diberi nama P amita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu, yaitu Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadaha dan diberkahi dengan dua orang putra yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani, dan dua orang putri yang diberi nama Maya dan Pajapat i (atau Gotami). Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana menduduki tahta Kerajaan Saky a dan kemudian menikah dengan Putri Maya. Pernikahan Raja Suddhodana dan Ratu Maya inilah yang diberkahi dengan kelahiran seorang putra tunggal yang di kemudian hari menjadi terkenal dengan nama Buddha Gotama. Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana mempunyai seorang putra yait u Ananda. Amitodana mempunyai dua orang putra yaitu Mahanama dan Anuruddha dan s eorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama Amita memp unyai seorang putra yaitu Devadatta dan seorang putri bernama Yasodhara, yang ke lak menjadi istri dari Pangeran Siddhatta. Lahirnya Pangeran Siddhatta Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang sanga t mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu waktu Ratu Maya m encapai umur kurang lebih 45 tahun. Ketika itu, Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asalha yang berlangsung tujuh ha ri lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu Maya mandi dengan air wangi, mengucap kan janji uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur. Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh mimpi yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava (Gunung Hima laya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng) Manosilatala. Kemudian p ara istri Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasa dipak ai para dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direba hkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih deng an memegang sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, mengelilingi di pan sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kana n. Ratu memberitahukan mimpi ini kepada Raja dan Raja lalu memanggil para brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut. Para brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddh a. Memang sejak hari itu Ratu mengandung, dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan. Sepuluh bulan kemudian di bulan Vaisak, Ratu mohon perkenan dari Raja untuk dapa t bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha, tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan ge mbira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat dayang-dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Sala dan dalam sika p berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki. Ketika itu tepat purnam a sidhi di bulan Vaisak tahun 623 SM. Empat Maha Brahma menerima Sang Bayi dengan jala emas dan kemudian dari langit t urun air dingin dan panas untuk memandikan Sang Bayi sehingga menjadi segar. Sang Bayi sendiri sudah bersih karena tiada darah atau noda-noda lain yang melek at pada tubuhnya. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah Utara. Setelah berjalan tujuh langkah, bayi itu lalu mengucapkan kata-kata sebagai beri kut :

"Aggo 'ham asmi lokassa, jettho 'ham asmi lokassa, settho 'ham asmi lokassa, ayam antima jati, natthi dani punabbhavo." Artinya ; "Akulah pemimpin dalam dunia ini, Akulah tertua dalam dunia ini, Akulah teragung dalam dunia ini, Inilah kelahiranku yang terakhir, Tak akan ada tumimbal lahir lagi." Seorang pertapa yang bernama Asita (yang juga disebut Kaladevala) sewaktu bermed itasi di Pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa b ahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga pertapa Asita berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut. Setelah melihat Sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapur isa ("orang besar"), pertapa Asita memberi hormat kepada Sang bayi, yang kemudia n diikuti juga oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat, pertapa Asita terta wa gembira tetapi kemudian menangis. Menjawab pertanyaan Raja Suddhodana, pertapa Asita menerangkan bahwa Sang bayi k elak akan menjadi Buddha, namun karena usianya sudah lanjut maka ia sendiri tida k lagi dapat menunggu bayi itu kelak memulai memberikan Ajaran-Nya. Selanjutnya pertapa Asita mengatakan bahwa Pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu : 1. 2. 3. 4. Orang tua. Orang sakit. Orang mati. Pertapa suci.

Kalau pangeran kelak melihat empat peristiwa tersebut, maka Beliau akan segera m eninggalkan istana dan bertapa untuk menjadi Buddha. Pada hari yang sama lahir (timbul) pula dalam dunia ini : * Putri Yasodhara, yang kemudian dikenal juga sebagai Rahulamata (ibu dari R ahula). * Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha. * Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha. * Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha. * Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Ka pilavatthu. * Seekor gajah istana. * Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Pene rangan Agung. * Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka. Lima hari setelah lahirnya Sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluargany a berkumpul, bersama-sama dengan seratus delapan orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Diantara para B rahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondaa, Bhoja, Suyama dan Sudatta. Para peramal tersebut, kecuali Kondaa, meramalkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha. Hanya Kondaa (Brahmana yang termuda) sajala h yang dengan pasti mengatakan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Nama y ang kemudian dipilih adalah Siddhattha yang berarti "Tercapailah segala cita-cit anya".

Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dan terlahir kembali di surga Tusita. Raja Suddhodana menyerahkan perawatan Sang bayi kepada Putri Pajapati (adik Ratu Maya) yang juga dinikahinya. Dari pernikahan ini kemudian lahir seorang putra, yaitu Nanda dan seorang putri, yaitu Rupananda. Perayaan Membajak Setelah Pangeran berumur beberapa tahun, Raja Suddhodana mengajaknya untuk turut pergi ke perayaan membajak bersama-sama para petani dengan menggunakan sebuah a lat bajak yang terbuat dari emas. Sewaktu perayaan berlangsung dengan meriah, dayang-dayang yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa tertarik sekali dengan jalannya perayaan itu. Mereka ing in menyaksikan perayaan tersebut dan meninggalkan Pangeran kecil di bawah bayang an pohon jambu. Setelah kembali mereka merasa heran sekali melihat Pangeran seda ng bermeditasi dan duduk bersila. Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja dengan diiri ngi para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil ter sebut. Benar saja mereka menemukan Pangeran kecil sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikann ya. Karena Pangeran saat itu telah mencapai Jhana, yaitu suatu tingkatan pemusat an pikiran, maka sama sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada lagi satu keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari tetapi tetap memayungi Pangeran kecil yang sedang bermeditasi. Melihat keadaan yang ganjil ini untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anakny a. Masa Kanak-Kanak Setelah Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk menggali tiga kol am di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai ( lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Upala), satu kolam d engan bunga yang berwarna merah (Paduma), dan satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika). Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangiwangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang waktu itu terkenal kare na menghasilkan barang-barang tersebut dengan mutu yang terbaik. Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran pergi, baik siang maupun malam hari sebagai lambang dari keagungannya. Setelah tiba waktunya untuk bersekolah, Raja memerintahkan seorang guru bernama Visvamitta untuk memberikan pelajaran kepada Pangeran dalam berbagai ilmu penget ahuan. Ternyata Pangeran cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan, dengan c epat dapat dipahami sehingga dalam waktu singkat tidak ada lagi hal-hal yang dap at diajarkan kepada Pangeran kecil. Sejak kanak-kanak, Pangeran terkenal sebagai anak yang penuh kasih sayang terhad ap sesama mahluk hidup seperti terlihat dari kisah di bawah ini. Pada suatu hari Pangeran sedang berjalan-jalan di taman dengan saudara sepupunya , Devadatta, yang pada waktu itu membawa busur dan panah. Devadatta melihat sero mbongan belibis hutan terbang di atas mereka. Dengan cekatan Devadatta membidikk an panahnya dan berhasil menembak jatuh seekor belibis. Pangeran dan Devadatta b erlari-lari ke tempat belibis itu jatuh. Pangeran tiba terlebih dahulu dan memel uk belibis itu yang ternyata masih hidup. Pangeran dengan hati-hati dan penuh ka sih sayang mencabut panah dari sayap belibis tersebut, kemudian meremas-remas be berapa lembar daun hutan dan dipakaikan sebagai obat untuk menutupi luka bekas k ena anak panah. Devadatta minta agar belibis tersebut diserahkan kepadanya karen a ia yang menembaknya jatuh. Namun Pangeran tidak memberinya dan mengatakan, "Ti dak, belibis ini tidak akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati, maka ia benar adalah milikmu. Tetapi sekarang ia tidak mati dan ternyata masih hidup. Karena a ku yang menolongnya, maka ia adalah milikku." Devadatta tetap menuntutnya dan Pa ngeran tetap pada pendiriannya dan tidak mau menyerahkannya. Akhirnya atas usul

Pangeran, mereka berdua pergi ke Dewan Para Bijaksana dan mohon agar Dewan membe rikan keputusan yang adil dalam persoalan tersebut. Setelah mendengarkan keteran gan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari kedua belah pihak, Dewan lalu memb erikan keputusan sebagai berikut : " Hidup itu adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup tidak m ungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena itu menuru t norma-norma keadilan yang berlaku, maka secara sah, belibis harus menjadi mili k dari orang yang ingin menyelamatkan jiwanya yaitu Pangeran Siddhatta." Masa Remaja Sewaktu Pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, Raja memerintahkan untuk me mbuat tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin (Ram ma), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan ( Subha). Kemudian Raja mengirim undangan kepada para orang tua yang mempunyai ana k gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana Pangeran akan memilih s eorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun para orang tua tersebut ternyata ti dak mengacuhkannya. Mereka mengatakan bahwa Pangeran tidak paham kesenian dan il mu peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat memelihara dan melindungi istrinya. Ketika hal ini diberitahukan kepada Pangeran, maka Pangeran mohon kepada Raja ag ar segera mengadakan satu sayembara, dimana berbagai ilmu peperangan dipertandin gkan. Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan pangeran-pangeran lain ya ng datang dari segenap penjuru negara Sakya, bahkan juga pangeran-pangeran dari negara lain. Semua pertandingan seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang, dan memanah ternyata dimenangkan oleh Pangeran. Khusus dalam hal memanah, Pange ran tidak ada tandingannya. Untuk membentangkan busur yang dipakai oleh Pangeran saja mereka tidak mampu karena busur itu besar dan berat, sehingga untuk membaw anya ke tempat pertandingan harus digotong oleh empat orang. Dengan mendapat sambutan yang meriah sekali dari para hadirin, Pangeran dinyatak an sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut. Dalam sebuah pesta besar yang kemudian diselenggarakan dan dihadiri oleh tidak k urang dari empat puluh ribu orang gadis cantik, pilihan Pangeran jatuh kepada se orang gadis bernama Yasodhara yang ada ikatan keluarga dengan Pangeran karena ia adalah anak pamannya yang bernama Raja Suppabuddha dari negara Devadaha dan bib inya, Ratu Amita (adik Raja Suddhodana). Setelah Pangeran Siddhatta menikah dengan Putri Yasodhara, maka kekhawatiran Raj a Suddhodana agak berkurang sebab Raja selalu ingat dengan ramalan dari pertapa Asita bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Dengan pernikahan ini, Raja berharap Pangeran akan lebih diikat kepada hal-hal d uniawi. Sekarang tinggal menjaga supaya Pangeran jangan melihat empat peristiwa tentang kehidupan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci. Karena itu Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya agar Pangeran dijaga jangan s ampai melihat empat hal tersebut. Apabila ada dayangnya yang sakit maka dayang i tu akan segera disingkirkan. Semua dayang dan pengawalnya adalah orang-orang mud a belia. Selanjutnya Raja memerintahkan untuk membuat tembok tinggi mengelilingi istana dan kebun dengan pintu-pintu yang kokoh kuat, dan dijaga siang dan malam oleh orang-orang kepercayaan Raja. Dengan demikian Pangeran Siddhatta dan Putri Yasodhara memadu cinta di tiga ista nanya yang mewah sekali dan selalu dikelilingi oleh penari-penari dan dayang-day ang yang cantik-cantik Raja merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya dan berharap bahwa Pangeran kelak dapat menggantikannya sebagai Raja negara Sakya. Melihat Empat Peristiwa Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama sekali dari dunia luar. Pada suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata, "Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yan

g kelak akan kuperintah." Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. "Baik, anakku, engkau bo leh keluar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota. Tetapi se belumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut u ntuk menerima kedatangan anakku yang baik." Setelah rakyat selesai menghias kota seperti diperintahkan oleh Raja, maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap. "Anakku, sekarang engkau boleh pergi melihat -lihat kota sepuas hatimu." Sewaktu Pangeran sedang berjalan-jalan di kota, dengan tiba-tiba seorang tua kel uar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, kul it mukanya kering dan keriput, matanya sudah hampir buta, pakaiannya compang-cam ping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong, badannya kurus kering dan dengan su sah payah serta terbungkuk-bungkuk ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa m enghiraukan orang-orang di sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara le mah dan perlahan sekali ia meminta-minta makanan dan mengatakan kalau tidak dibe ri makanan, ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan sudah be berapa hari tidak makan. Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali karena hal seperti ini baru pert ama kali dilihatnya. "Apakah itu, Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekal i? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam seperti rambutku? Apa yang salah dengan matanya? Dan giginya dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan, oh Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?" Channa menerangkan kepada Pangeran bahwa semua itulah keadaan seorang tua, tetap i bukan keadaannya sewaktu dilahirkan. "Sewaktu masih muda, orang itu seperti ki ta dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaannya telah berubah seperti yang Tuanku lihat. Sebaiknya Tuanku lupakan saja orang tua tersebut. Setiap ora ng kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti orang itu. Hal i tu tidak dapat dielakkan." Tetapi Pangeran tidak puas dengan jawaban Channa. Pangeran memerintahkan untuk s egera kembali ke istana karena pemandangan orang tua yang baru saja ia lihat tel ah membuatnya sedih sekali, dan ia ingin merenungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Mengapa sebagai seorang Pangeran dan juga orang-orang lain pada suatu hari harus menjadi tua, lemah dan sedih, dan tidak ada seorangpun yang dapat men cegahnya, meskipun ia kaya, terpandang atau berkuasa? Malam itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi Pa ngeran acuh tak acuh saja, dan tidak kelihatan gembira sewaktu berlangsungnya pe sta makan dan tari-tarian. Ia sedang sibuk merenung dan dalam hati berkata kepad a mereka yang hadir, "Pada suatu hari engkau semua akan menjadi tua, tanpa ada y ang terkecuali dan begitu pula engkau yang tercantik." Setelah pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, pikiran itu masih tetap sa ja mengganggunya. Di tempat tidur, ia masih merenung bahwa suatu hari semua oran g akan menjadi tua, rambutnya putih, kulitnya keriput, ompong dan buruk seperti tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia ingin tahu apakah ada orang yang telah menemukan cara untuk menghentikan hal yang menyeramkan itu, yaitu usia tua . Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa khawatir bahwa hal ini dapat menyebabkan Pangeran meninggalkan istana . Karena itu, Raja memerintahkan kepada dayang-dayangnya untuk lebih sering meng adakan pesta-pesta makan dan tari-tarian. Berselang beberapa hari, Pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih dahulu mem beritahukannya kepada para penduduk. Dengan berat hati Raja memberikan izinnya, karena Beliau tahu, tidak ada gunanya melarang sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih. Pada kesempatan ini, Pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti a nak keluarga bangsawan karena ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jal an. Hari itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul untuk m

engelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunga, dan p enduduk yang berpakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran melihat penduduk yang sed ang sibuk bekerja. Seorang pandai besi dengan badan penuh keringat sedang membuat pisau. Seorang pa ndai emas sedang membuat kalung, gelang, kerabu, dan cincin dari intan, emas, da n perak. Seorang tukang celup pakaian sedang mencelup pakaian dalam beraneka ragam warna yang bagus-bagus dan kemudian menjemurnya. Tukang kue sedang sibuk memanggang ro ti dan kue, lalu menjualnya kepada langganannya yang kemudian memakannya selagi masih panas. Pangeran memperhatikan orang-orang kecil ini yang sederhana dan semua orang keli hatan sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sedang merintih-rintih dan bergulingan di tanah dengan ked ua tangannya memegangi perutnya. Di muka dan badannya terdapat bercak-bercak ber warna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya megap-megap. Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, Pangeran melihat sesuatu yang membuat Beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang, deng an cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, meletakkan kepalanya di pangkuann ya dan dengan suara menghibur menanyakan, "Mengapakah engkau, engaku mengapakah? " Orang sakit itu sudah tidak dapat menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. "Channa, katakanlah, mengapakah orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Me ngapa ia tidak bicara?" "Oh, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya ber acun. Ia diserang demam pes dan seluruh badannya terasa terbakar. Oleh karena it ulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara." "Tetapi adakah lagi orang lain seperti dia?" "Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti itu. Mohon de ngan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali di tanah dan jangan menyentuhnya l agi sebab pes itu sangat menular. Nanti Tuanku juga akan sakit." "Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain sakit pes?" "Memang,Tuanku, ada ratusan penyakit yang sama hebatnya seperti sakit pes." "Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diseran g penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak?" "Betul, Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada oran g yang dapat mencegahnya, dan itu dapat terjadi setiap saat." Mendengar ini, Pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenu ngkan hal ini. Raja merasa sedih karena melihat Pangeran pada waktu akhir-akhir ini seperti kurang gembira sehubungan dengan kejadian-kejadian yang telah diliha tnya. Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan k embali melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk mela rang. Pada kesempatan ini Pangeran yang berpakaian sebagai anak seorang bangsawan deng an diiringi Channa, berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mer eka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah us ungan dipikul oleh empat orang. Di atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tida k bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan mel etakkannya di atas tumpukan kayu yang kemudian dinyalakan api. Orang tersebut tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut. "Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan orang la in membakar dirinya?" "Dia tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati." "Mati! Channa, apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan mati?" "Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seora ngpun yang dapat mencegahnya." Pangeran heran dan kaget sekali, sehinggan tidak dapat mengucapkan sepatah kata

pun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut 'mati' itu y ang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seo rang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang, dan di kamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari. "Semua orang di dunia ini pada suatu waktu harus mati, belum ada orang yang tahu bagaimana cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia i ni." Sewaktu Pangeran mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman , Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pange ran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkuk di tangan men ghampirinya. Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk y ang sedang dipegangnya. Pertapa itu menjawab, "Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa. Aku menjauh kan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar o rang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka yang berbelas kasih. Selain dari itu, aku tidak menginginka n hal-hal dan barang-barang duniawi." Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita ya ng sama dengan dirinya. "Oh, Pertapa suci, di manakah obat itu harus dicari?" "Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu." Kemudian pertapa itu berlalu dan terus menghilang. Konon diceritakan bahwa perta pa itu adalah seorang dewa yang ingin membantu Pangeran Siddhatta. Pangeran merasa gembira sekali dan berkata di dalam hati, "Aku juga harus menjad i pertapa seperti itu!" Tidak lama kemudian, datanglah dayang-dayang yang khusus mencari Pangeran untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini, Pangeran bukannya bergembira tetapi mukanya justru menjad i pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menghadap langit yang tinggi dan kemudian berkata, "Rahulajato, bandhanam jatam." Yang berarti : "Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir." Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama "Rahula". Dalam perjalanan pulang ke istana, Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami yang kare na kagumnya mengucapkan kata-kata sebagai berikut : "Nibbuta nuna sa mata, Nibbuta nuna so pita, Nibbuta nuna sa nari, Yassa yam idiso pati." Yang berarti : "Tenanglah ibunya, Tenanglah ayahnya, Tenanglah istrinya, Yang mempunyai suami seperti Anda." Pangeran terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan "Nibbuta" yang berart i: "tenang, padam semua nafsu-nafsu", sehingga Beliau menghadiahkan Kisa Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.

BAB II PELEPASAN AGUNG Pangeran Siddhattha Meninggalkan Istana Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar d an meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati me ndekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mat i. Hal ini menimbulkan amarah Raja. Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini (dik utip dari buku Mahavastu II, halaman 141/2). "Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku dela pan macam anugerah." "Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permin taanmu." "Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku: 1. Anugerah supaya tidak menjadi tua. 2. Anugerah supaya tidak sakit. 3. Anugerah supaya tidak mati. 4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku. 5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama sama dengan keraba t lain tetap hidup. 6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang. 7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat mema damkan semua nafsu keinginannya. 8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati." Mendengar pernyataan di atas, Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja men jawab bahwa hal-hal di atas itu berada di luar kemampuannya dan masih mencoba un tuk membujuknya dengan mengatakan, "Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat." "Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila su dah berhasil, akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayah." Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus me laksanakan cita-citanya. Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan terharu karena tidak lama lagi Beliau akan meninggalkannya berhubung tekadn ya yang sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benan g-benang emas dan karena letih, tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para pena ri menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran. Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran m elihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap ya ng beraneka ragam, ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya me nganga lebar, ada yang air liurnya meleleh keluar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya, ada yang mengigau, dan lain-lain. Pa ngeran merasa seperti di pekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Peman dangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil kep utusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga. Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesa yangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan an aknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bay inya. Tangannya menutupi muka Sang bayi, sehingga muka bayi tidak dapat terlihat

. Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya tetapi hal itu diurungka n karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun dan rencananya untu k meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati, "Tidak, bia rlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperole h apa yang kucari, aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah a nak dan istriku." Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur t erlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak mendapat kesukaran sewakt u hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tem bok kota. Para pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuk a pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota. Ketika itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kemb ali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu, Pangeran akan menja di Raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa Mara, yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya. Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan d i bulan Asalha dan Pangeran berusia 29 tahun. Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemu dian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma. Pangeran turun dari ku da, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisny a, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culam ani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli ( dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi. Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan keperluan seorang bhikkhu kepada P angeran yang terdiri dari delapan jenis barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Sete lah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana. "Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana." "Jangan Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali, berikan kepada Ayahku da n sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Segera setel ah aku memperolehnya, aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu , Yasodhara, Rahula, dan kepada semua orang yang ada di dunia ini." Channa memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kan thaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-usap dan men epuk-nepuk lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata, "Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi." Kanthaka ikut dengan Channa tetapi belum seberapa jauh berjalan, kuda itu berhen ti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran untuk terakhi r kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata. Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut ole h Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara memelu k leher Kanthaka dan bertanya, "Oh, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kuperb uat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?" Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati . Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta sege nap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla. Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergi

annya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondaa dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melapor kan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada . Bertapa di Hutan Uruvela Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari berdiam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha unt uk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Ra jagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang ter us mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk mak an dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatang an seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang berist irahat di Pandavapabbata. Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, n ama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa. "Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kera jaanku." "Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, ana kku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghent ikan usia tua, sakit, dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa." "Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut." "Baiklah, Baginda, aku berjanji." Dari Rajagaha, pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tem pat pertapaan Alara Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut Perta pa Gotama) berguru kepada Alara Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menya mai kepandaian gurunya. Di tempat ini Pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal lahir. Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab-mu sabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Per tapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar te ntang hal tersebut. Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta, yang pada zaman itu ter kenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai. Dari Uddaka-Ramaputta, Pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditas i yang paling tinggi sehingga mencapai keadaan "Bukan-Pencerapan Pun Bukan Bukan -Pencerapan". Karena dalam waktu singkat Pertapa Gotama sudah memahami semua pel ajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat ters ebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali. Tetapi Pertapa Gotama masih belum puas sebab ia masih belum mendapat jawaban ten tang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit, dan mati. Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah Pert apa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji, dan Kondaa) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih d iri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasi l, maka Pertapa Gotama lalu melakukan latihan yang lebih berat lagi. Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keri ngat mengucur keluar dari ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehin gga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yan g lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga. Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinny a jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke P

enerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit dem i sediki menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar melalu hidung atau m ulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan keluar melalui l ubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul d engan panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinn ya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke P enerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengura ngi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu ha ri. Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya d itekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dila pisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hit am dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakiny a gemetaran. Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak memba wanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah peru mpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir. Pertama: Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepoto ng kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu -nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil. Kedua: Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggo sok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa p anas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak aka n berhasil. Ketiga: Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan mengg osok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahma na itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung. Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut maka Pertapa Gotama mengambil kepu tusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubu knya, Pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggemb ala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga de ngan perlahan-lahan tenaga Pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kem

udian Pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demiki an kesehatannya pulih kembali. Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali karena dengan berhenti berpuasa, Pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares. Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Pertapa Gotama. Sa mbil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya menyanyi de ngan syair sebagai berikut: "Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau di tarik terlalu kendur ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terla lu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira." Mendengar nyanyian itu, Pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata, "Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharu snya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur." Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. S ujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi s eorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan unt uk membersihkan tempat di bawah pohon dimana ia ingin mempersembahkan makanan ya ng lezat-lezat kepada dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan , "Oh, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari khayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri pe rsembahan Nyonya." Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak , berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wa jah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatk an ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon. Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percaka pan antara Pertapa Gotama dengan Sujata seperti di bawah ini. "Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?" "Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah u capan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat dibe ri seorang anak laki-laki." Kemudian Pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah: "Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dip akai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku ya kin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Da lam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi adikku yang baik, coba katakan, apaka h engkau sekarang bahagia dan apakah kehidupan yang disertai cinta saja sudah me muaskan?" "Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, maka hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah m erasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak , memberi persembahan kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pek erjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menuru

t buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbua tan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang m anis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penu h racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya harus mati?" Mendengar penjelasan Sujata maka Pertapa Gotama menjawab, "Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasa nmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan y ang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebena ran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau p andang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanak an cita-citaku." "Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuan sebagaimana aku berhasil mencapa i cita-citaku." Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerajara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, "Kalau memang w aktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti a rus." Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus. Penerangan Agung Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memi lih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kem udian mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah Pertapa G otama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur. Dengan tekad yang bulat , ia kemudian berkata dalam hati, "Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari temp at ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana." Kemudian Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan me nggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Tidak berapa lama pikiran-pikiran yan g tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tid ak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat, keragu-r aguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan dihormat i dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal, tinggi hati dan mem andang rendah kepada orang lain. Perjuangan hebat dalam batin Pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu ti dak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran berikut ini. Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi Pe rtapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha bes ar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri, lebarnya 12 league dan ke b elakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri me mbawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sed ang berkumpul di sekeliling Pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan Pertapa Gotam a ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti Pertapa Gotama dengan hu jan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semu a dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi pa yung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Pertapa Gotama. Bumi telah menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percoba

an dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para d ewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Pertapa Gotama. Setelah berhasil mengalahkan Mara, Pertapa Gotama memperoleh Pubbenivasanussatian a, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahiranNya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00-22.00 . Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00-02.00, Pertapa Gotama memperoleh C utupapataana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk be rbeda dari makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkhuana, yaitu kebij aksanaan dari Mata Dewa. Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00-04.00 pagi, Pertapa Gotama memper oleh Asavakkhayaana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyelur uh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali). Dengan demikian Ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara un tuk menghilangkannya. Dengan ini Ia telah menjadi orang yang paling bijaksana da lam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadaNya. Sekarang Ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakb ahagiaan, usia tua dan kematian. Batin-Nya menjadi tenang sekali dan penuh kedam aian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan Ia telah menjadi Budd ha. Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, Pertapa Gotama dengan suara lan tang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut: "Anekajati samsaram Sandhavissam anibbissam Gahakarakam gavesanto Dukkha jati punappunam Gahakaraka! dittho'si Punageham na kahasi Sabba to phasuka bhagga Gahakutam visamkhitam Visamkharagatam cittam Tanhanam khayamajjhaga." Artinya : "Dengan sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi Semua atapmu telah Kurobohkan Semua sendi-sendimu telah Kubongkar Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nibbana Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan." Dikisahkan bahwa pada saat itu bumi bergetar karena gembira dan di udara sayup-s ayup terdengar suara musik yang merdu, seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha, pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebark an bau harum ke seluruh penjuru, binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai. Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 S.M, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.

Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan me nikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-g angguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian. Selama minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan mema ndanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai uc apan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat unt uk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang t elah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghor matan kepada pohon Bodhi. Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas y ang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah men capai Penerangan Agung. Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan -Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah men jadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, m erah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebu t diabadikan sebagai bendera umat Buddha. Selama minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (p ohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yai tu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakka n diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai m acam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan b isikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya ti ga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha. Selama minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena w aktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali d an melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memay ungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, u lar itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Budd ha mengucapkan kata kata sebagai berikut: "Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat men dengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makh luk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak me lekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya 'Sang Aku' merupakan be rkah yang tertinggi." Selama minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada h ari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang le wat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, meng hampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihan yutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha me nerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat pe njuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Se latan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan memb awa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha men erima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk . Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika . Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima seb agai pengikut. Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Budd ha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka baw

a pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beb erapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gemb ira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mere ka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini. Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha meren ung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti sehingga timbul perasaa n enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajar Dhamma. Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdir i di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati be rkata kepada Sang Buddha, "Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan menga jar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi ke kotoran batin dan mudah mengerti Dhamma yang akan diajarkan." Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati den gan permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebaga i berikut: "Brahma ca lokadhipati Sahampati Katajali andhivaram ayacatha Santidha sattapparajakkhajatika Desetu Dhammam anukampimam pajam." Artinya: "Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini Merangkap kedua tangannya dan memohon, Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka. " Dengan mata dewa, Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma. Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasih-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut: "Aparuta tesam amatassa dvara Ye sotavanto pamucantu saddhami." Artinya: "Terbukalah pintu Kehidupan Abadi Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan." Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera me mberitahukan bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perh atian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan bah wa kemarin malam Uddaka meninggal dunia. Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di Ta man Rusa di kota Benares ibukota negara Kasi. Sang Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke S ungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Te rpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya si apakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Mah a Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama seka li tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya , sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares

BAB III PEMUTARAN RODA DHAMMA Setelah tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang memasuk i Taman Rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan, "Kawan-kawan, lihat, Per tapa Gotama sedang memasuki taman, ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari kehidupan suci dan kembali ke kehidupan yang penuh k esenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya. Lagipula kita ja ngan memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk menyambut mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat dudukn ya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau, ia boleh berdiri saja . Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal?" Waktu Sang Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang beru bah dan Sang Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung, yang belum pernah mereka lihat sebe lumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat, mereka seolah-olah lupa kepada apa y ang mereka sepakati. Seorang diantara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan ju bah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lain lagi be rgegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha. Setelah mengambil tempat duduk, Sang Buddha lalu berkata "Dengarlah, oh Pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas dari kematian. Akan k uberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan. kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, b elajar, dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam kehidupan ini bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati." Tentu saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha. Seba b mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa, mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung dan sekarang Beliau d atang kepada mereka untuk memberitahukan bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu. Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan. M ereka menjawab, "Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda tela h berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemim pin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda t idak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah seka rang Anda kembali kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti be rusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?" "Kamu keliru, Pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Ak u sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri." Setelah itu kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya. Maka Sang Buddha m emberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavatt ana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang B uddha tepat pada saat purnama sidhi di bulan asalha. Dhammacakkappavattana Sutta Di bawah ini diuraikan singkatan dari khotbah tersebut. "Dua pinggiran yang ekstrim, oh Bhikkhu, yang harus dihindari oleh seorang bhikk hu. Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar nafsu-nafsu yang bersifat rendah, hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang te rikat kepada hal-hal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah. Pinggiran ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang heb at, tidak mulia dan tidak berfaedah. Jalan Tengah dengan menghindari kedua pingg

iran yang ekstrim telah kuselami, sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksa naan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan agung, dan Nibbana. Selanjutnya oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha: dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan den gan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai dan tidak mem peroleh sesuatu yang didambakan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Lima Khanda (Lima Kelompok Kehidupan/Kegema ran) itu adalah penderitaan. Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mu la Dukkha: nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada ken ikmatan dan nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati na fsu-nafsu indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk memusnahkan diri. Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Lenyapn ya Dukkha: nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh dapat disingkirk an, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan. Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Jalan M enuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Ben ar. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan , Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang dukkha y ang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan , Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mul a Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan , Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapny a Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan , Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Me nuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Selama pandangan-Ku terhadap Kesunyataan Mulia yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua belas jalannya, Aku belum dapat menunt ut dan menyatakan dengan pasti bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa, mara, brahma, pertapa, brahmana dan man usia. Dengan demikian timbul dalam diriaKu Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa Aku sekarang telah terbebas sama sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dun ia ini dan kehidupanKu yang sekarang ini merupakan kehidupan-Ku yang terakhir." Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondaa memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (aa) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna ( makhluk suci tingkat kesatu). Aa Kondaa yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dap at diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan permohonan ini dan mentahbiska nnya dengan kata-kata, "Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas . Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan." Dengan demikian Aa Kondaa menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan "eh i bhikkhu". Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut. Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemu dian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat "ehi bhikkhu". Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan di tahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat "ehi bhikkhu". Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah ked ua dengan judul Anattalakkhanasutta. Anattalakkhanasutta

Singkatan dari khotbah ini adalah sebagai berikut: Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Saa (pencerapan), Sankhara (p ikiran) dan Viana (kesadaran) adalah Lima Khandha (lima kelompok kehidupan/kegemar an) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh). Kalau sekiranya Khandha itu memilik i Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya 'Semoga Khandhaku begini dan bukan begitu.' Tetapi karena Khandha itu Anatta (tanpa roh), maka ia tidak dapat berubah sekehe ndak hatinya dan karena itu menderita sebab semua kehendak dan keinginannya tida k dapat dipenuhi, misalnya 'Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.' Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan ba tin menjadi lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai h al yang di bawah ini: "Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak keka l?" "Mereka tidak kekal, Bhante." "Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderi taan?" "Di sana terdapat penderitaan, Bhante." "Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah , apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah 'milikku', 'aku' dan 'diriku' ?" "Tidak tepat, Bhante." Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha terseb ut dengan melakukan perenungan sebagai berikut: Karena kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau a tau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangka n, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kchidupan/Kegemara n) semata-mata. Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah 'milikmu' atau 'kamu' atau 'dirimu'. Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari seg i itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keing inan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi k epada sesuatu. Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehi ngga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia s ekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan da n selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih ha rus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua da pat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas se luruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi , yaitu Arahat. Yasa Waktu itu di Benares, bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Yasa ada lah anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha, Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehi dupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa m elihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatny a jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dike lilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena tidak tahan lagi melihat keadaan

itu, maka dengan mengucapkan, "Alangkah menakutkan tempat ini! Alangkah mengeri kan tempat ini!" Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatan a. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur, "Tempat ini tidak menakutkan. Tempa t ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu." Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir, "Kalau begitu baik juga kalau tempa t ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan." Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian dud uk di sisi Sang Buddha. Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai ak ibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang d apat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat it u. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang Buddha mengulang uraian te rsebut di hadapan ayahnya. Keesokan hari seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut karena Yasa tidak ada d i kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya mem erintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pe rgi mencari ke Isipatana. Di Taman Rusa ia melihat sandal anaknya. Tidak jauh da ri tempat itu, ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha mel ihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tid ak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dulu Sang Buddh a memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu -nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan, "Aku berlindung ke pada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasak a mulai hari ini sampai akhir hidupku." Dengan demikian ayah Yasa menjadi upasak a pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Seperti dijelaskan di halaman depan, Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang B uddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma karm a pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangny a terdiri dari lima orang bhikkhu). Yasa yang untuk kedua kalinya mendengarkan u raian Sang Buddha mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat. Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa da pat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa. Ayah Yasa menegur anaknya dan mendesak agar Yasa pulang kembali ke istananya den gan mengatakan, "Yasa, ibumu sangat sedih. Ayolah pulang demi menyelamatkan nyaw a ibumu." Yasa menengok ke arah Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab, "Kepala keluarga yan g baik, beberapa waktu berselang, Yasa memperoleh Mata Dhamma sebagaimana juga A nda memperolehnya pada hari ini dan menjadi seorang Ariya yang masih membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi untuk mencapai Pembebasan Sempurna. Hari ini Yasa ber hasil menyingkirkan semua kekotoran batin dan mencapai Pembebasan Sempurna. Coba lah pikir, apakah mungkin Yasa kembali ke kehidupan biasa dan menikmati kesenang an nafsu-nafsu indria?" "Aku rasa memang tidak mungkin. Hal ini sudah menjadi rejekinya. Tetapi, bolehka h saya mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana (makan an) di rumahku disertai anakku sebagai bhikkhu pengiring?" Sang Buddha menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui perm ohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar denga n Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya. Setelah ay

ahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. S ang Buddha mentahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, "Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibab arkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci." Perbedaannya bahwa Sang Buddh a tidak mengucapkan "dan singkirkanlah penderitaan" karena Yasa pada waktu itu s udah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh or ang Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istim ewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri). Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi ho rmat. Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pu n rnemperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dap at diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup. Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Musti ka (Buddha, Dhamma, dan Sangha). Setelah itu, makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Bu ddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan siang, Sang Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa di Isipatana. Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya ya ng bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa s ekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benarbenar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupan nya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya it u menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua mem peroleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat menc apai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang. Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jau h, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu , mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semu a diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Ara hat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat. BAB IV MASA MENYEBARKAN DHAMMA Mulai Menyebarkan Dhamma Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang berjumlah e nam puluh orang Arahat dan berkata, "Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan , oh Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah, demikia n pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan kese lamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanla h Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhi rnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dal am ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya di tutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka akan kehilangan k esempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang da pat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uru vela untuk mengajar Dhamma." Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusa n dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mere ka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sen diri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melel ahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.

"Aku perkenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yan g jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mer eka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan ke mudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan me reka harus mengulang ucapanmu, "Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindun g kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya." Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat "ehi bhikkhu" dan yang kedua diberikan oleh muri d-muridNya yang dinamakan pentahbisan "Tisaranagamana". Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di pe rkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama B haddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia rn embawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu. Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Bud dha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, "Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seo rang pelacur?" Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat K esunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menj adi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk men gajarkan Dhamma. Kassapa Bersaudara Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanya k lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebela h hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga dis ebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang. Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uru vela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut: "Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu." "Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondo kku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku k hawatir Anda akan celaka." jawab Uruvela Kassapa. "Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu." "Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat." Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke d alam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra ter sebut. Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang B uddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Teta pi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-si a saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang t idak dapat ditembus. Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan mene mukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi. Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. "Tid

ak, ular itu ada di sini." jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang bias a dipakai untuk menerima dana makanan. Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Be liau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra. Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu di genangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tem pat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air "membelah" membuka jalan, sehingga ka ki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air. Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddh a dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon dit ahbiskan menjadi bhikkhu. Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai men jadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya. Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa. Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanju tnya Nadi Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhi rnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha. Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan per jalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya. Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yan g kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta. Ringkasan dari khotbah itu adalah sebagai berikut: "Oh, Bhikkhu, semuanya menyala. Apakah itu yang menyala? Mata, penglihatan, kesa daran mata, kesan-kesan mata dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak men yenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan mata (Ini adalah kelompok per tama). Telinga, suara, kesadaran telinga, kesan-kesan telinga dan semua perasaan yang m enyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan tel inga (Ini adalah kelompok kedua). Hidung, bebauan, kesadaran hidung, kesan-kesan hidung dan semua perasaan yang me nyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan hidu ng (Ini adalah kelompok ketiga). Lidah, rasa, kesadaran lidah, kesan-kesan lidah dan semua perasaan yang menyenan gkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan lidah (Ini adalah kelompok keempat). Tubuh, sentuhan, kesadaran tubuh, kesan-kesan tubuh dan semua perasaan yang meny enangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan tubuh (Ini adalah kelompok kelima). Batin, pikiran, kesadaran batin, kesan-kesan batin dan semua perasaan yang menye nangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan batin ( Ini adalah kelompok keenam). Semua itu menyala-nyala. Menyala dengan apa? Menyala dengan api dari keserakahan , kebencian dan khayalan yang menyesatkan, menyala dengan api dari kelahiran, us ia tua dan kematian, menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, duk a cita, dan putus asa. Seorang siswa Yang Ariya, yang melihat keadaan ini akan merasa jemu. Karena mera sa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu. Karena tidak melekat lagi kepada segala sesuatu akan timbul Pandangan Terang, se hingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah kehidupan nya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang h arus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk

memperoleh Penerangan Agung." Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut t erbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semu a mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat. Maha Kassapa Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka. Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali a dalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan ist rinya yang bernama Sumanadevi dari Desa Mahatittha di negara Magadha. Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adala h seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid. Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, "Oh, Kassa pa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan pa tuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engka u harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ke tiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi." Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjala nan-Nya menuju Rajagaha. Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Bu ddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari ked elapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Mah a Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memaka i baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil ), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali. Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagi aan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kelak kemudian ha ri. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yan g benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung). Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Ag ung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sa ttapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun. Raja Bimbisara Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yait u negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya te rletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maha raja negara Magadha dan Anga ters ebut dengan ibukota Rajagaha. Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya me nuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana. Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang b erada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang A rahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah men gumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali aga r keinginan orang dapat terkabul.

Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diiku ti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetap i para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ad a yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah , ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja. Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring R aja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu Sang B uddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dulu memberikan keterangan t entang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirk an keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, "Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Ap akah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu laku kan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?" Uruvela Kassapa menjawab, "Semua Yaa atau upacara dengan mempersembahkan sesajen b ertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setel ah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diingin kan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupa kan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api." Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, "Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepad a penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kass apa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan." Kassapa menjawab, "Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa d ikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan unt uk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, ta npa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-m asing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakuka n praktek pemujaan api yang dulu kulakukan." Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menut upi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kak i Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-N ya. Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah sia p untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anup ubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia. Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan t erhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil. "Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku me mpunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kera jaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung data ng di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesem patan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberi kan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu tela h terpenuhi." . Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya seb agai upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut -Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangu n dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidang an yang lezat-lezat. Keesokan hari, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengund ang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana. Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayan

i memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat dig unakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanaram a (hutan pohon bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat d engan desa di sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, ti dak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipaka i sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Panda ngan Terang. Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa Beliau berhasrat menyerahkan Ve luvanarama untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiring-Nya, sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja de ngan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebu t. Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini mer upakan sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu. Sariputta Dan Moggallana Di Rajagaha, waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana yang kaya raya , yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita b ernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli. Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk d ua orang murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandai an gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahw a siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan m emberitahukan hal itu kepada yang lain. Pada suatu hari Ayasma Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke be rbagai tempat untuk mengajar Dhamma. Sebagaimana biasa, Ayasma Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma As saji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa d an menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu ke lihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu . Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia mengan ggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, "Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Sia pakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?" Ayasma Assaji menjawab, "Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku meng abdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhik khu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Ny a yang aku ikuti." "Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?" "Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama me ngikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara ter perinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya." "Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besa rnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa." Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini: "Ye dhamma hetuppabhava,

Tessam hetum Tathagato, Tesaca yo nirodho ca, Evam vadi mahasamano." Artinya : "Semua benda yang timbul karena satu 'sebab' 'Sebabnya' telah diberitahukan oleh Sang Tathagata, Dan juga lenyapnya kembali, Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung. " Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu ) dan berkata dalam hatinya, "Yankici samudayadhammam Sabbantam nirodha dhammam." Artinya: "Segala sesuatu yang timbul karena satu 'sebab' Di dalamnya pun terdapat 'sebab' yang membuat ia musnah kembali. " Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan b ahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita. Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji da n seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkena nkan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. A khirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang mur idnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhi kkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Ar ahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kem udian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa. Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavala muttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi untuk memp eroleh Pandangan Terang. Pada suatu ketika ia merasa ngantuk sekali. Sang Buddha menghampirinya dan memberikan petunjuk untuk menanggulangi perasaan ngantuk, "Apa pun pencerapanmu pada waktu kamu diserang perasaan mengantuk, Moggallana (K olita di kemudian hari terkenal dengan nama ini yang berarti : anak Moggalli), k amu harus terus menyadari pencerapan tersebut. Cara ini dapat menolong untuk men gusir perasaan mengantuk." "Kalau cara ini tidak menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada Dhamma ya ng pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir pera saan mengantuk." "Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus mengulang dengan suara keras Dh amma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengus ir perasaan mengantuk." "Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus menggosok-gosok kupingmu dengan jeriji dan mengusap-usap tubuhmu dengan tangan. Cara ini dapat menolong untuk m engusir perasaan mengantuk." "Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus bangun dan mencuci matamu denga n air, kemudian memandang ke sekelilingmu dan mengamat-amati bintang di langit. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk." "Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada pen cerapan dari cahaya terang, dan pikiranmu selalu membayangkan 'cahaya siang hari ' baik pada waktu siang hari maupun pada waktu malam hari, membuka batinmu dari selubung yang menutupinya dan mengembangkan batinmu bermandi cahaya terang. Cara

ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk." "Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus berbaring dengan 'sikap seekor singa', yaitu miring ke kanan dengan kaki kiri di atas kaki kanan, batin dalam k eadaan 'sadar' dan pikiran terpusat kepada saat kamu ingin bangun. Setelah bangu n kamu harus segera bangkit sambil merenung 'Aku tidak ingin memanjakan diriku d engan berbaring, menyender atau tidur'. Ini Moggallana, yang kamu harus selalu i ngat." "Selanjutnya, Moggallana, kamu harus selalu ingat 'aku tidak boleh merasa ingin terlalu dihormat kalau masuk ke rumah seorang umat biasa'. Sebab kalau seorang b hikkhu masuk ke rumah seorang umat biasa dengan perasaan ingin terlalu dihormat dan pada waktu itu mungkin ada urusan rumah tangga yang sangat penting yang haru s diselesaikan terlebih dulu sehingga bhikkhu itu 'terlupakan', maka akan timbul pikiran dalam batin bhikkhu tersebut, "Siapakah yang menghasut orang ini terhad ap diriku? Orang ini kelihatannya sekarang 'acuh tak acuh'. Karena merasa tak di acuhkan lagi timbul perasaan malu, karena malu pikirannya kacau, karena pikirann ya kacau ia tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik, karena tidak dapat me ngendalikan diri dengan baik, ia gagal melakukan meditasi." "Selain dari itu, Moggallana, kamu harus selalu ingat, 'aku tidak ingin mengucap kan sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan oran g lain'. Sebab kalau orang berbicara tentang sesuatu yang dapat menimbulkan pert engkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain, maka hal itu mengakibatkan perd ebatan yang panjang. Dengan adanya perdebatan yang panjang, ia tak dapat memusat kan pikirannya. Karena tak dapat memusatkan pikirannya, ia tak dapat mengendalik an diri, karena ia tak dapat mengendalikan diri, ia gagal melakukan meditasi." "Sekarang, Moggallana, aku tidak selalu memujikan orang berkumpul dan juga aku t idak selalu menolaknya. Aku tidak memujikan berkumpul dengan orang banyak, baik itu bhikkhu atau orang biasa. Tetapi kalau ada tempat sunyi dan tidak terganggu oleh suara berisik dari orang yang lalu lalang, cocok sekali untuk seorang perta pa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mere ka yang lebih menyukai hidup menyendiri, maka berdiam di tempat demikian itu sel alu aku pujikan." Setelah diberikan petunjuk di atas, Moggallana menanyakan tentang kesimpulan ter akhir bagi orang yang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginan dan sudah siap untuk memperoleh hasil 'di luar duniawi'. Sang Buddha menjawab, "Moggallana, seorang bhikkhu yang melaksanakan Dhamma ini, tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk dilekati. Setelah tahu hal tersebut, ia kemudian mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, setelah mengamat-am ati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, ia dapat menyelami hakekat bend a-benda tersebut, maka sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, tidak menyenangk an atau netral ia memandangnya sebagai sesuatu yang tidak kekal. Jadi, ia memand angnya dengan perasaan jemu untuk kemudian menyingkir dan melepaskan diri dari p erasaan tersebut. Dengan merenung seperti itu, ia tidak melekat lagi kepada apa pun dalam dunia in i, karena tidak lagi melekat, ia tidak dapat lagi diganggu, karena tidak dapat l agi diganggu, ia dapat rnenyingkirkan semua kekotoran batin dan mengetahui bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan se lesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih ha rus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Dengan kesimpulan terakhir ini lah, Moggallana, seorang bhikkhu dapat dipandang sudah cenderung untuk menyingki rkan nafsu-nafsu keinginannya dan sudah siap untuk memperoleh hasil 'di luar dun iawi'." Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Araha t hari itu juga. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sa riputta, anak Sari), berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gu nung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha. Seorang pertapa golongan Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kat a menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya denga n mengatakan, "Yang Mulia Gotama, semua benda tidak menyenangkan hatiku. Aku tid

ak merasa tertarik kepadanya." "Kalau begitu, Aggivesana, pandangan yang demikian itu pasti tidak menyenangkan hatimu dan sudah semestinya kamu tidak tertarik lagi kepadanya." Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal t ersebut. "Ada kelompok pertapa dan Brahmana, Aggivesana, yang mempunyai pandangan bahwa s emua benda menyenangkan hati mereka, mereka tertarik kepada semua benda. Ada kelompok lain berpegang teguh kepada pandangan bahwa semua benda tidak menye nangkan hati mereka, mereka tidak tertarik kepada apa pun juga. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahwa ada benda-benda yang menyenangkan hati dan mereka tert arik kepada benda-benda tersebut. Terhadap benda-benda lain yang tidak menyenangkan hati, mereka tidak tertarik. P andangan kelompok pertama ialah condong ingin memiliki benda-benda tersebut. Pan dangan kelompok kedua condong untuk membenci atau mempunyai pikiran buruk terhad ap benda-benda. Pandangan kelompok ketiga ialah condong ingin memiliki beberapa benda-benda dan membenci benda-benda yang lain. Seorang bijaksana melihat bahwa kalau ia mengambil sikap dan mengatakan bahwa in i yang benar dan yang dua itu salah, ia akan bertentangan pendapat dengan mereka yang mempunyai kedua pandangan yang lain itu. Dengan adanya pertentangan pendapat akan timbul pertengkaran. Dengan adanya pertengkaran akan timbul perasaan benci. Dengan adanya perasaan be nci akan timbul permusuhan. Setelah menyelami keadaan ini, seorang bijaksana akan menyingkirkan pandangan it u dan juga tidak menganut pandangan pandangan yang lain. Dengan melakukan ini, i a telah melepaskan ketiga pandangan tersebut." Setelah menjelaskan tentang ketiga pandangan salah tersebut, Sang Buddha kemudia n memberikan uraian tentang cara bagaimana orang dapat menyingkirkan kemelekatan . "Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas empat unsur pokok (Mahabhutarupa), yaitu ta nah, air, hawa udara, dan api. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan m akanan nasi dan sayur-sayuran, selalu memerlukan wangi-wangian dan sabun untuk m enutupi bau yang menyerang keluar, dan selalu harus dibersihkan dan digosok (unt uk membersihkan kotoran yang melekat di kulit)." Ia ditakdirkan untuk lapuk dan membusuk. Kamu harus melihatnya sebagai sesuatu y ang tidak kekal, penderitaan, sulit untuk dipertahankan, kamu harus melihatnya s ebagai penyakit, sebagai bisul yang terkena anak panah dan menimbulkan kepedihan dan kesakitan, kamu harus melihatnya sebagai tanpa aku. Kalau melihat semua ini dengan terang, kamu dapat melepaskan keinginan terhadap kesenangan-kesenangan i ndria. "Selain dari itu, perasaan terdiri atas tiga jenis, yaitu yang menyenangkan, tid ak menyenangkan, dan yang netral. Kalau perasaan menyenangkan timbul, maka peras aan tidak menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan tidak menyenangkan timbul, maka perasaan menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan netral timbul, maka perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan tidak bisa muncul. Itulah tiga jenis perasaan yang tidak kekal dan timbul oleh sesuatu sebab dan di lahirkan oleh sebab. Perasaan itu ditakdirkan untuk mati kembali, menyusut, menc iut, dan hilang sama sekali. Siswa Yang Ariya, yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Karena jemu, ia akan melepaskan diri dari nafsu-nafsu keinginan. Tanpa nafsu-nafsu keinginan, ia akan bebas dari kemelekatan. Dalam batin yang bebas dari kemelekatan akan timbul pengetahuan bahwa batinnya s ekarang benar-benar telah bebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ini adalah kehi dupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas y ang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan u ntuk memperoleh Penerangan Agung. Bhikkhu yang demikian itu tidak mungkin akan b ertengkar lagi mengenai sesuatu pandangan. Apa pun dalil keduniawian yang dikemu kakan orang, ia dapat mengikutinya, tetapi ia tidak menganutnya dan juga tidak m elekat kepada salah satu dalil."

Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan meng ipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, "Sang Bhaga va menganjurkan untuk melepaskan ikatan kepada semua benda melalui Kebijaksanaan Tertinggi." Merenungkan arti yang terkandung dalam khotbah tersebut, batinnya terbebas dari semua kekotoran batin dengan jalan menyingkirkan kemelekatan. Setelah khotbah selesai, Dighanakha memperoleh Mata Dhamma dan.terbebas dari ker agu-raguan terhadap keampuhan dan keunggulan Dhamma. Ia memuji khotbah yang baru saja didengar dan menyatakan diri sebagai upasaka. "Indah, sungguh indah Bhante. Dengan panjang lebar Bhante telah menguraikan Dham ma, menjelaskannya sebagai seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, a tau membuka apa yang tertutup, atau menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan api sewaktu keadaan gelap gulita. Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berli ndung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup." Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat. Sang Buddha sendiri pernah menerangkan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bah wa Sariputta adalah murid-Nya yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib. Kalau Sang Buddha dinamakan Dhammaraja (Raja Dhamma) maka Sariputta diberi gelar Dhammasenapati (Jenderal Dhamma). Pertemuan Besar Para Arahat Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Ar ahat datang berkumpul. Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu: 1. 2. 3. 4. Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhia). Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan "Ehi bhikkhu". Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovadda Patimokkha.

Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha. Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 1 83;5) : "Sabba papassa akaranam, Kusalassa upasampada, Sacittapariyo dapanam, Etam Buddhana sasanam. Khanti paramam tapo titikkha, Nibbanam paramam vadanti Buddha, Na hi pabbajjito parupaghati, Samano hoti param vihethayanto. Anupavado, anupaghato, Patimokkhe ca samvaro, Mattauta ca bhattasmim, Pantham ca sayanasanam, Adhicitte ca ayogo, Etam Budhana sasanam. " Artinya: "Janganlah berbuat kejahatan,

Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiranmu, Itulah ajaran semua Buddha. Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik, Sang Buddha bersabda; Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya, Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain, Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain. Tidak menghina, tidak melukai, Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib, Makanlah secukupnya, Hidup dengan menyepi, Dan senantiasa berpikir luhur, Itulah ajaran semua Buddha." Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Pu ja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand. Kembali Ke Kapilavatthu Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ib ukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebu t 'lupa' untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka menden garkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat. Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaluday i adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bula n, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Waktu mendengar Sang Buddha memberikan khotbah, Kaludayi pun mencapai tingkat Arahat. Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat "ehi bhikkhu". Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada S ang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut dan setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta rombongan dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu. Perjalanan yang jauhnya enam puluh Yojana (1 Yojana = 16 Km) ditempuh dalam waktu enam pul uh hari, yaitu tiap hari ditempuh satu Yojana. Berita dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana bahwa Sang Buddha dan rombonga n sedang menuju ke Kapilavatthu. Beliau memerintahkan agar disiapkan tempat untu k rombongan yang akan tiba. Tempat itu terletak di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin). Waktu rombongan tiba, Raja Suddhodana berikut pengiring dengan disertai penduduk Kapilavatthu, berduyun-duyun datang ke Nigrodharama. Mengenai peristiwa penting dan menarik ini, yaitu bertemunya kembali Raja Suddho dana dengan anaknya dapat dituturkan sebagai berikut (Mhvu. III, 114-121). Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, "Bangsa Sakya terk enal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau Aku menyambut mereka dengan tetap du duk di tempat duduk-Ku, mereka mungkin akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, 'Su ngguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, Ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayah-Nya yan g sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.' Tetapi tidak ada ma khluk atau kelompok makhluk yang kepalanya tidak dibelah tujuh, kalau sekiranya Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya. Lebih baik Aku terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara." Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan mer asa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa n

aik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat diliha t oleh segenap yang hadir. Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah. Yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. Waktu itu hadir juga Yasodhara yang menuntun Mahapajapati. Mahapajapati matanya buta karena sed ih dan terlalu banyak menangis sewaktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana d an pergi bertapa di hutan Uruvela. Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, tetapi karena tidak dapat melihat , maka semua peristiwa yang terjadi harus diceritakan oleh Yasodhara. Yasodhara merasa terharu sekali melihat keadaan Mahapajapati. Dengan penuh kesujudan, Yaso dhara menampung dengan kedua tangannya air yang keluar dari badan Sang Buddha se waktu melakukan Mukjizat Ganda. Dengan air itu Yasodhara membasahi dan mencuci m ata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga air itu dapat mengembalikan p englihatan Mahapajapati. Satu mukjizat telah terjadi. Sedikit demi sedikit Mahapajapati dapat melihat kem bali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya. Sekarang Mahapajapati dapat menya ksikan sendiri peristiwa yang membuat para hadirin bersorak-sorak, sehingga memb uat hatinya gembira sekali. Setelah melakukan Mukjizat Ganda, Sang Buddha kemudian menghilang. Tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari a rah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap d i sebelah Timur. Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, sel anjutnya lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara. Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlih at duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya. Hilang sudah keragu-raguan dan sekarang semua hadirin yakin bahwa Pangeran Siddh attha sesungguhnya telah menjadi Buddha. Kemudian mereka semua berlutut memberi hormat kepada Sang Buddha. Dengan kedua t angan dirangkapkan di depan dada, Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkat a, "Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku di bawah kakimu, oh Yang Maha Tahu, pertama kali waktu seorang pertapa meramalkan bahwa anakku kela k akan menjadi Buddha, kedua kali waktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Po hon jambu dan ini untuk yang ketiga kalinya. Kemudian menuruti bisikan hatinya, Raja Suddhodana menanyakan apakah sekarang Sa ng Buddha baik-baik saja. "Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain w ol halus yang berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh g aris-garis ajaib itu harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil . Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?" Sang Buddha menjawab, "Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari semua benda dan telah terbeba s dengan musnahnya nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi digan ggu oleh perasaan enak dan tidak enak." Raja Suddhodana berkata, "Dulu para pelayan tiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembar a di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Sekarang siapak ah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku meras a lelah?" Sang Buddha menjawab, "Oh, Baginda, murni adalah arus air yang datang dari pantai kebajikan yang tak t ernoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air de wata itulah Aku telah tiba di pantai seberang. Raja Suddhodana berkata,

"Sewaktu anakku masih memakai kain buatan Benares dan memakai baju bersih yang b erbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling berca haya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seper ti ini." Sang Buddha menjawab, "Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makana n, dan juga para Penakluk tidak menghiraukan apakah yang diterimanya menyenangka n atau tidak menyenangkan." Raja Suddhodana berkata, "Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersed ia untuk dipakai dan kemana pun anakku pergi selalu ikut serta sebuah payung put ih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kantha ka, kuda yang terkenal paling bagus dan paling cepat di seluruh negeri selalu me nyertai anakku. Meskipun hingga kini masih tersedia kereta, kereta perang, kuda dan gajah, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaa n lain. Coba katakan, apakah anakku tidak lelah?" Sang Buddha menjawab, "Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dar i nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan med itasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Seorang diri Aku mengembara ke tempat-tempat yang jauh." Raja Suddhodana berkata, "Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedi a makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disa jikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku dengan tanpa perasaan muak, ma kan hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bu mbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu." Sang Buddha menjawab, "Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, yang pakai bumbu atau yang tidak pakai bumbu dengan pikiran yang terkendali guna kepentingan dun ia ini." Raja Suddhodana berkata, "Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan ban tal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut de ngan untaian bunga yang harum semerbak, sedang lantai ditutup dengan permadani y ang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-da unan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya a nakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?" Sang Buddha menjawab, "Oh, Baginda, orang seperti Aku tidak akan tidur dengan tidak nyenyak. Semua duk a cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kese dihan, Aku selalu menjaga batin-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhl uk." Raja Suddhodana berkata, "Dulu, anakku tinggal di istana yang kamarnya (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa dan diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dengan dilengka pi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan k alungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuanny a." Sang Buddha menjawab, "Sekarang, oh Baginda, di tempat ini pun yang dihuni oleh manusia terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan lagi pu la Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki." Raja Suddhodana berkata, "Dulu, diiringi musik yang merdu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu yan g anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang bercahaya di antara orang-orang d

ari suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit." Sang Buddha menjawab, "Aku sekarang menyanyikan lagu dengan khotbah dan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang bercahaya di antara bhi kkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit." Raja Suddhodana berkata, "Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku yang menyerupai tempat kediama n para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedan g. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriaka n burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, dimana pada malam hari binatang buas berkeliaran mencari mangsa. Apakah anakku tidak takut? Coba terangkan hal i ni kepadaku." Sang Buddha menjawab, "Meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, tetapi makhluk-makhluk itu tidak akan mengganggu walaupun sele mbar rambut-Ku karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. Justru karen a tanpa perasaan takut itulah Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumi mbal lahir. Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoy ahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, se perti angin tidak dapat dijerat oleh jala. Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimp in yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?" Raja Suddhodana kembali bertanya, "Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lam bang seorang Raja) dan menjadi seorang pertapa." Sang Buddha menjawab, "Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih mem iliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tid ak ada bandingannya di dunia ini." Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seora ng Sotapanna. Karena tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddh a bersama-sama dengan pengikutNya memasuki kota Kapilavatthu untuk mengumpulkan makanan. Penduduk kota Kapilavatthu menjadi heboh sekali. Memang sering mereka l ihat seorang pertapa atau Brahmana berjalan berkeliling mengumpulkan makanan dar i penduduk, tetapi baru sekarang ini mereka menyaksikan seorang dari kasta Khatt iya, putra dari seorang Raja yang masih memerintah, berjalan keliling mengumpulk an makanan. Hal ini segera diberitahukan kepada Raja Suddhodana dan Raja menjadi terkejut da n malu sekali. Dengan tergesa-gesa Raja keluar dari istana dan pergi menemui San g Buddha. Raja Suddhodana kemudian menegur, "Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapa anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putr a Raja minta-minta makanan di kota, tempat dulu ia sering mondar-mandir dengan m enggunakan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayah seperti ini?" "Aku tidak membuat ayah malu, oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kami." jawab Sang Buddha dengan tenang. "Apa? kebiasaan kita? Bagaimana mungkin?! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menj adi kebiasaan kita?" "Oh, Baginda, memang ini bukan merupakann kebiasaan seorang anggota keluarga ker ajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di zaman dulu hidup dengan jalan mengumpulkan makanan dari para penduduk." Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta pengikut-Nya men gambil makanana di istana, maka pergilah Sang Buddha beserta rombongan menuju ke istana

BAB IV MASA MENYEBARKAN DHAMMA Putri Yasodhara Setelah Sang Buddha beserta rombongan selesai makan tengah hari, berduyun-duyun orang, yang dulu pernah mengenal Pangeran Siddhattha, datang menemuinya untuk se kedar berbincang-bincang dan memberi hormat. Mereka semua merasa gembira sekali dapat bertemu lagi dengan Sang Pangeran yang dicintai dan kagum melihat Sang Pan geran, yang sekarang sudah menjadi Buddha, dihormat, dicintai, dan dipuja oleh d emikian banyak orang. Tetapi Yasodhara berada di kamarnya dan berpikir, "Pangeran Siddhattha sekarang sudah mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha. Beliau sekarang termasuk gol ongan Buddha. Apakah pantas bila aku datang menemuinya? Beliau pasti tidak dan j uga tidak mungkin membutuhkanku lagi. Karena itu, apakah pantas kalau aku sekara ng datang menemuinya? Aku rasa, lebih baik aku tunggu saja dan lihat apa yang ak an terjadi. Kalau Beliau datang menemuiku, aku akan memberi Beliau penghormatan yang layak." Setelah berbicara dengan para pengunjung-Nya untuk beberapa waktu lamanya, Sang Buddha bertanya, "Di manakah Yasodhara?" Raja Suddhodana menjawab, "Oh, Yasodhara ada di kamarnya." "Kalau begitu, marilah kita pergi menjenguknya." kata Sang Buddha. Sang Buddha menyerahkan mangkuk-Nya kepada Raja Suddhodana dan berjalan di muka menuju kamar Putri Yasodhara. Waktu tiba di depan kamar, Sang Buddha berpesan ke pada ayahNya, "Biarkan saja Yasodhara memberi hormat kepada-Ku sebagaimana yang dikehendaki. Jangan berkata apa-apa atau melarangnya." Waktu Putri Yasodhara diberi kabar tentang kedatangan Sang Buddha, Putri segera memerintahkan semua pelayannya memakai baju kuning untuk memberi hormat selamat datang kepada Sang Buddha. Setelah Sang Buddha memasuki kamar, dengan cepat Putri Yasodhara menyambutnya sa mbil berlutut dan memegang kaki Sang Buddha. Kemudian Putri Yasodhara melepaskan rasa rindunya dengan meletakkan kepalanya di atas kaki Sang Buddha dan menangis tersedu-sedu sehingga kaki Sang Buddha basah dengan air mata. Sang Buddha berdiri diam saja dan dengan batin yang waspada memancarkan gaya-gay a kasih sayang dan belas kasih kepada Putri yang sedang menangis memegangi kakiNya. Setelah lewat beberapa waktu, Putri yang sedang menangis, membersihkan kaki Sang Buddha yang basah dengan air mata untuk kemudian dengan hormat mempersilak an Sang Buddha dan Raja Suddhodana mengambil tempat duduk masing-masing yang sud ah disediakan. Setelah Putri sendiri juga mengambil tempat duduk, Raja Suddhodana berkata kepad a Sang Buddha, "Yang Maha Bijaksana, waktu Putri mendengar bahwa anakku memakai jubah kuning, P utri pun memakai baju kuning, waktu mendengar bahwa anakku makan hanya satu kali sehari, Putri pun makan hanya satu kali sehari, waktu mendengar bahwa anakku ti dak tidur di dipan yang tinggi dan mewah, Putri pun tidur di atas dipan yang ren dah dan sederhana, waktu Putri mendengar bahwa, anakku tidak lagi memakai untaia n bunga dan wewangian, Putri pun tidak lagi memakainya, waktu keluarganya mengir im pesan bahwa mereka bersedia menanggung semua keperluan hidupnya, Putri tidak menggubrisnya sama sekali. Sungguh bajik menantuku Yasodhara ini." Sang Buddha menjawab, "Bukan di kehidupan ini saja, oh Baginda, juga dalam kehidupan-kehidupan yang la mpau Yasodhara selalu melindungi berbakti, dan setia kepada-Ku." Kemudian Sang Buddha menceritakan Candakinnara Jataka, yaitu kisah tentang kehid upan-Nya yang lampau bersama-sama Yasodhara, seperti di bawah ini: "Dalam salah satu kehidupan yang lampau, Sang Bodhisatta dilahirkan sebagai seek or Kinnara (burung dengan kepala manusia) bernama Canda, yang hidup di Gunung Hi mava dengan istrinya yang bernama Canda. Pada suatu hari mereka sedang bersuka ria di dekat sungai kecil dengan bernyanyi

-nyanyi dan menari-nari. Pada waktu itu Raja Benares sedang berburu di hutan dan melihat Canda sedang bernyanyi dan menari. Seketika itu Raja jatuh cinta kepada nya. Raja memanah Canda dan matilah Canda. Istrinya, Canda, memeluk mayat suamin ya dan menangis tersedu-sedu. Raja Benares datang menghibur dengan mengatakan, " Engkau tak usah bersedih atas kematian suamimu. Aku mempersembahkan segenap cint aku dan seluruh isi kerajaanku, apabila engkau bersedia menjadi permaisuriku." Canda tidak menghiraukan hiburan Raja Benares dan terus meratap dan menangis sam bil memprotes kepada para Dewata Agung yang membiarkan suaminya mati dibunuh ora ng. Demikian keras protes Canda, sehingga menggerakkan hati Raja Dewa Sakka. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Dewa Sakka turun ke dunia dan menghidupkan ke mbali Canda. Canda ialah yang sekarang dilahirkan sebagai Pangeran Siddhattha da n Canda ialah Putri Yasodhara. Hari itu Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Sakadagami dan Putri Pajapati menjadi seorang Sotapanna. Di buku-buku suci Ti Pitaka (lihat D.P.N hal 741), Yasodhara sewaktu-waktu diseb ut sebagai Rahulamata, Bhaddakaccanna, Bimbadevi, Bimbasundari, dan Bimba. Agama Buddha aliran Utara lebih menyukai nama Yasodhara, tetapi sering juga meny ebutnya sebagai Bimba, Bhaddakacca dan Subhaddaka, dan dianggap sebagai Putri da ri Dandapani. Pangeran Nanda Pangeran Nanda adalah seorang saudara tiri Pangeran Siddhattha, yaitu anak dari Putri Pajapati, adik dari Ratu Maya. Karena Pangeran Siddhattha, putra mahkota d ari Kerajaan Sakya, telah menjadi seorang pertapa, maka Raja Suddhodana ingin me nobatkan Pangeran Nanda yang berumur 35 tahun, sebagai putra mahkota menggantika n kedudukan Pangeran Siddhattha. Pada waktu yang sama, Raja Suddhodana ingin pul a menikahkan Pangeran Nanda dengan Putri Janapada Kalyani dan memberikan sebuah istana untuk tempat tinggal kedua mempelai. Pada hari ketiga Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Raja Suddhodana mengundang Sang Buddha untuk menghadiri upacara yang penting tersebut dan memberkahi kedua mempelai. Sang Buddha datang di tempat upacara, makan hidangan yang telah disediakan, memb eri berkah kepada semua orang yang hadir dan kemudian pamitan pulang setelah mem beri mangkuk-Nya kepada Pangeran Nanda. Sang Buddha berjalan ke luar istana dengan diikuti Pangeran Nanda yang membawa m angkuk Sang Buddha. Pangeran Nanda berpikir, "Sang Bhagava akan mengambil kembal i mangkuk-Nya di pintu istana." Tetapi Sang Buddha terus berjalan ke luar. Kemud ian Pangeran Nanda berpikir, "Sang Buddha akan mengambil kembali mangkuk-Nya di pintu pagar istana." Mempelai wanita, Putri Janapada Kalyani, melihat suaminya mengikuti Sang Buddha dan berpikir, "Suami saya mungkin pergi ke vihara dan akan pamitan setelah tiba di sana." Karena itu Putri berpesan, "Kekasihku, jangan pergi terlalu lama, cepa t-cepatlah pulang." Tiba di vihara, Pangeran Nanda mengembalikan mangkuk kepada Sang Buddha. Sang Bu ddha kemudian bertanya, "Nanda, apakah engkau mau menjadi bhikkhu?" Pangeran Nan da menjawab, "Mau, Bhante." Sang Buddha kemudian mentahbiskannya menjadi bhikkhu . Setelah ditahbiskan, Nanda merasa menyesal dan menderita sekali karena terus mem ikirkan istrinya yang cantik. Hal ini dilihat oleh bhikkhu lain yang kemudian me negurnya, "Mengapakah Anda kelihatannya begitu sedih?" "Saudara, aku sebenarnya menyesal. Aku tidak menyukai kehidupan sebagai bhikkhu. Aku ingin melepaskan jubah dan pulang ke istana." jawab Nanda. Bhikkhu ini kemu dian pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha. Sang Buddha memangg il Nanda dan dengan kekuatan gaib, Beliau menciptakan seekor monyet betina dan b eberapa bidadari dan bertanya, "Nanda, coba katakan, manakah yang lebih cantik, istrimu atau monyet betina itu?" "Bhante, Janapada Kalyani dapat diumpamakan sebagai monyet betina kalau dibandin gkan dengan para bidadari."

"Bergembiralah, Nanda. Aku jamin bahwa engkau akan memiliki bidadari tersebut, b ila saja engkau mau bekerja keras." "Kalau begitu, dengan segala senang hati aku ingin terus menjadi bhikkhu." jawab Nanda. Ia kemudian dengan tekun mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh S ang Buddha dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian yang tertinggi dan tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali ke istana. Pangeran Rahula Pada hari ketujuh Sang Buddha di Kapilavatthu, Putri Yasodhara mendandani Panger an Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke sebuah jendela. Dari jend ela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Putri Yasodhara kem udian bertanya kepada Rahula, "Anakku sayang, tahukah engkau siapa orang itu?" "Beliau adalah Buddha, Ibu." jawab Rahula. Yasodhara tak dapat lagi menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, "Sayang, pertapa yang kulitnya kuning emas itu dan kelihatannya sebagai Brahma d ikelilingi oleh ribuan murid-Nya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka . Setelah ayahmu meninggalkan istana, tidak lagi diketahui apa yang terjadi deng an harta tersebut. Pergilah kepadanya dan mintalah hadiah sambil berkata, "Ayah, aku adalah Pangeran Rahula. Kalau aku kelak menjadi Raja, aku akan menjadi raja -di-raja. Aku mohon diberi harta pusaka, karena seorang anak adalah pewaris dari apa yang menjadi milik ayahnya." Pangeran Rahula yang masih murni dan belum tahu apa-apa pergi mendekati Sang Bud dha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha dan menatap muka-Nya, Rahula men gatakan apa yang tadi dipesankan oleh ibunya. Kemudian ia menambahkan, "Ayah, ba hkan bayangan Ayah membuat hatiku senang." Selesai makan siang, Sang Buddha meninggalkan istana dan Rahula mengikuti sambil terus merengek-rengek, "Ayah, berikanlah aku harta pusaka, aku kelak akan menja di raja, aku ingin memiliki harta pusaka, Ayah banyak memiliki harta, Ayah, aku mohon dengan sangat, berikanlah kepadaku warisan." Tidak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga mem biarkan saja Rahula merengek-rengek sambil terus mengikuti jalan di samping-Nya. Tiba di taman, Sang Buddha berpikir, "Rahula minta warisan harta pusaka ayahnya, tetapi semua harta dunia penuh denga n penderitaan. Lebih baik Aku memberinya warisan yang berupa Tujuh Faktor Penera ngan Agung yang Aku peroleh di bawah pohon bodhi. Dengan demikian ia akan mewari si harta pusaka yang paling mulia." Tiba di vihara, Sang Buddha minta kepada Sariputta untuk mentahbiskan Rahula men jadi Samanera. Mendengar berita bahwa Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodan a menjadi sedih sekali. Raja lalu pergi menemui Sang Buddha dan dengan sopan menegur dengan kata-kata, " Waktu dulu anakku meninggalkan istana membuat aku sedih, sedih dan sakit sekali. Waktu Nanda meninggalkan istana hatiku menjadi hancur dan menderita sekali. Kemudian aku mencurahkan cinta dan perhatianku kepada cucuku Rahula dan mencinta i melebihi cintaku kepada siapa pun juga. Sekarang Rahula dibawa kemari dan dita hbiskan menjadi samanera. Aku sangat menyesal dan tidak senang akan apa yang tel ah terjadi. Aku mohon dengan sangat agar mulai hari ini tidak lagi ada seorang b hikkhu atau samanera yang ditahbiskan tanpa izin dari orang tuanya." Sang Buddha menyetujui permohonan Raja Suddhodana dan mulai hari itu tidak menta hbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dulu mendapat izin dari orang tuany a. Keesokan harinya, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Raja Suddhodana menc apai tingkat kesucian Anagami. Ananda Setelah Sang Buddha beberapa lama diam di Kapilavatthu, 80.000 orang telah ditah biskan menjadi bhikkhu, yaitu satu orang dari setiap keluarga. Kemudian Sang Bud

dha dengan rombongan berangkat ke Rajagaha. Sewaktu dalam perjalanan, Sang Buddha berhenti di hutan mangga Anupiya dan di te mpat itu Beliau dikunjungi oleh Anuruddha, Bhaddiya, Ananda, Bhagu, Kimbila, Dev adatta, dan tukang pangkas rambut mereka yang bernama Upali. Dikisahkan bahwa lima orang dari mereka dalam waktu singkat mencapai tingkat kes ucian Arahat, Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan Devadatta tidak men capai tingkat kesucian, tetapi memperoleh kekuatan gaib yang luar biasa yang ter tinggi yang dapat dicapai seorang manusia. Ananda dilahirkan pada hari, bulan, dan tahun yang sama dengan Sang Buddha dan t erkenal sekali karena sumbangannya untuk kemajuan dan perkembangan Buddha Dhamma . Selama 20 tahun setelah mencapai Penerangan Agung, Sang Buddha belum mempunyai s eorang pembantu tetap. Setiap hari secara bergantian bhikkhu Nagasamala, Nagita, Upavana, Sunakkhata, S agata, Radha, dan Meghiya, dan samanera Cunda membantu dan melayani Sang Bhagava (Buddha), meskipun tidak teratur. Pada suatu hari dalam khotbah-Nya di Rajagaha, Sang Bhagava menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap karena merasa usia-Nya yang sudah menin gkat. Semua murid utama-Nya yang terdiri dari delapan puluh Arahat, seperti Sari putta dan Moggallana, menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap. Tetapi semua nya ditolak. Para Arahat kemudian menganjurkan Ananda, yang selama itu diam saja , untuk memohon kepada Sang Bhagava agar dapat diterima menjadi pembantu tetap. Jawaban Ananda dalam hal ini sungguh menarik sekali. Ananda mengatakan, "Kalau S ang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai pembantu tetap, Sang Bhagava boleh mengatakan-Nya." Kemudian Sang Buddha berkata, "Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menj adi pembantu tetap Sang Buddha." Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap asal saj a Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu untuk menolak emp at hal dan meluluskan empat hal lainnya. Empat hal yang Ananda mohon supaya ditolak adalah: 1. Apabila Sang Buddha menerima pemberian jubah yang bagus, maka jubah itu ti dak boleh diberikan kepada Ananda. 2. Kalau Sang Buddha menerima hadiah, maka hadiah tersebut tidak boleh diberi kan kepada Ananda. 3. Bahwa Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti). 4. Kalau Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak terma suk untuk dirinya. Ananda mengatakan kalau Sang Buddha melakukan satu dari empat hal yang tersebut di atas, maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi pembantu tetap karena in gin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal yang menyenangkan dan aga r bisa ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan. Empat hal yang Ananda mohon Sang Buddha menerimanya : 1. Kalau Ananda menerima sebuah undangan atas nama Sang Buddha, maka Sang Bud dha harus memenuhinya. 2. Kalau ada orang datang dari tempat jauh, supaya ia boleh membawanya mengha dap kepada Sang Buddha. 3. Setiap waktu ia diperbolehkan untuk bertanya kepada Sang Buddha, apabila i a merasa ada sesuatu yang diragu-ragukan. 4. Apa pun juga yang Sang Buddha khotbahkan sewaktu ia tidak hadir, supaya Sa ng Buddha bersedia mengulangnya kembali. Kalau hal ini tidak diperkenankan, orang akan bertanya-tanya, apa sebenarnya fae

dah dari pengabdian tersebut. Hanya kalau delapan permohonan ini dikabulkan, ia akan mendapat kepercayaan khalayak ramai dan mereka tahu bahwa Sang Buddha mempu nyai kepercayaan besar terhadap dirinya. Setelah Sang Buddha setuju dan memberik an anugerah (Vara) berupa Delapan Hak Istimewa tersebut, maka mulai hari itu Ana nda resmi menjadi Buddha-upatthaka (pembantu tetap Sang Buddha). Selama 25 tahun lamanya Ananda melayani Sang Buddha, mengikuti-Nya sebagai sebua h bayangan, mengambilkan air, mencuci kaki-Nya, menemani ke manapun Sang Buddha pergi, membersihkan kamar-Nya dan hal-hal lain lagi. Justru karena hubungan erat inilah, maka Ananda mempunyai kesempatan istimewa un tuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha. Dibantu dengan ingatan kuat yang dim ilikinya, maka Ananda dapat mengulang semua khotbah Sang Buddha. Karena itu Anan da juga dinamakan Bendahara Dhamma (Dhamma-bhandagarika). Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat, yaitu pad a hari pembukaan Sidang Agung Pertama di Goa Sattapanni, kota Rajagaha yang dike tuai oleh Maha Kassapa. Di sidang tersebut, Ananda mengulang khotbah-khotbah (Su tta) Sang Buddha, sedangkan Upali mengulang tata tertib (Vinaya) para bhikkhu da n bhikkhuni. Patut pula dicatat sebagai jasa Ananda bahwa berkat sokongannya yang kuat, Putri Pajapati berhasil diterima menjadi bhikkhuni oleh Sang Buddha, yang menjadi per mulaan berdirinya Sangha Bhikkhuni. Dan Ananda jugalah, atas perintah Sang Buddha merancang jubah bhikkhu dengan men gambil contoh sawah-sawah di Magadha. Ananda meninggal dunia pada usia 120 tahun. Pada hari akan meninggal dunia, Anan da pergi ke tepi Sungai Rohini, yang menjadi perbatasan antara Kapilavatthu dan negara Koliya. Setelah memberikan khotbah kepada para keluarganya yang berkumpul di kedua tepi sungai, Ananda berjalan ke tengah Sungai Rohini dan di situlah da ri tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya. Keluarganya di kedua tepi sungai mengumpulkan abu sisa badan jasmaninya, dibagi dua dan kemudian mereka mendirikan dua buah stupa sebagai penghormatan kepada An anda, satu di Kapilavatthu dan satu lagi di negara Koliya. Seperti diketahui di halaman muka, Ananda adalah putra tunggal dari Pangeran Suk kodana, adik Raja Suddhodana. Anathapindika Anathapindika dilahirkan di Savatthi. Ayahnya seorang jutawan yang bernama Suman a. Nama sebenarnya adalah Sudatta, tetapi karena kedermawanannya dan selalu bers edia menolong orang yang melarat, maka ia diberi nama Anathapindika yang berarti "Pemberi makan orang yang melarat". Istrinya bernama Punnalakkhana, kakak dari seorang jutawan di Rajagaha mempunyai seorang putra bernama Kala, serta tiga ora ng putri bernama Mahasubhadda, Culasubhadda, dan Sumana. Pada suatu hari Sang Buddha tiba di hutan Sitavana dalam perjalanan dari Kapilav atthu ke Rajagaha. Di tempat inilah untuk pertama kali Anathapindika bertemu den gan Sang Buddha, waktu Anathapindika berkunjung ke Rajagaha untuk urusan dagang. Di rumah kakak iparnya di Rajagaha, ia melihat bahwa jutawan dari Rajagaha ini sedang sibuk mempersiapkan hidangan untuk Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Dem ikian mewahnya hidangan yang sedang disiapkan, sehingga ia berpikir barangkali a da pesta pernikahan atau mungkin untuk menerima kedatangan seorang Raja. Setelah diberitahu bahwa semua hidangan itu disiapkan untuk menerima kedatangan Sang Bu ddha, maka timbul hasrat dalam dirinya untuk mengunjungi Sang Buddha. Ia bermaksud untuk mengunjungi Sang Buddha pagi-pagi sekali keesokan harinya. Me mikirkan kunjungan ini membuat Anathapindika demikian tegang, sehingga malam itu ia terbangun sampai tiga kali dari tidurnya. Waktu ia berangkat ke Sitavana, ha ri masih gelap. Ketika hendak melintasi tanah pekuburan, hatinya merasa takut se kali sehingga ia menggigil. Tetapi kepercayaannya terhadap Sang Buddha demikian kuat, sehingga dari tubuhnya keluar cahaya yang menerangi jalan yang harus dilal uinya. Lagipula seorang makhluk halus (yakkha) bernama Sivaka yang baik hati mem beri ia semangat, sehingga akhirnya tibalah Anathapindika di Sitavana. Pada wakt u itu Sang Buddha sedang jalan hilir mudik sambil menghirup udara pagi hari yang segar. Sang Buddha menyapanya dengan memanggil nama pribadinya. Kemudian Sang B

uddha memberikan uraian Dhamma yang membuat Anathapindika menjadi seorang Sotapa nna. Waktu mau pamitan pulang, Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk keesokan ha rinya makan siang di rumahnya. Setiba di rumahnya, Anathapindika sibuk mempersiapkan sendiri semua kebutuhan un tuk keesokan harinya dan menolak tawaran kakak iparnya dan Raja Bimbisara yang i ngin membantunya. Selesai makan siang yang ia layani sendiri, Anathapindika meng undang Sang Buddha untuk ber-vassa (istirahat musim hujan) di Savatthi. Sang Bud dha menerimanya dengan mengatakan, "Para Tathagata, oh kepala keluarga, menyukai tempat yang sunyi." "Saya mengerti, oh Bhagava, saya mengerti, Sugata." jawab Anathapindika. Setelah menyelesaikan urusan dagangnya di Rajagaha Anathapindika pulang ke Savat thi. Sepanjang jalan dari Rajagaha ke Savatthi, ia meninggalkan pesan kepada sah abat-sahabat dan kenalan-kenalannya agar menyiapkan tempat tinggal, taman-taman, rumah-rumah untuk istirahat dan hadiah-hadiah dalam rangka menyambut kunjungan Sang Buddha ke Savatthi. Mengetahui bahwa Sang Buddha menerima tawaran untuk ber-vassa di Savatthi, maka setibanya di Savatthi, Anathapindika mencari sebidang tanah yang luas dan sunyi untuk membuat tempat tinggal bagi Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Ia ingat ke pada taman Pangeran Jeta yang memenuhi syarat yang dikemukakan Sang Buddha. Ia m enghubungi Pangeran Jeta dan mengutarakan maksudnya untuk membeli tanah tersebut bagi tempat tinggal Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Tetapi Pangeran Jeta men jawab bahwa tamannya tidak dijual, meskipun Anathapindika sanggup membayar sepul uh juta uang emas. Karena Anathapindika terus mendesak, maka akhirnya ia setuju menjual tamannya asalkan saja Anathapindika sanggup menutupi taman tersebut deng an uang emas. Dengan tidak pikir panjang, Anathapindika segera menyuruh pelayannya untuk menge luarkan uang emas dari gudang hartanya dan menutupi taman dengan mata uang emas. Tetapi menjelang semua tanah akan tertutup dengan mata uang emas, tiba-tiba Pan geran Jeta datang dan minta agar sisa tanah yang belum tertutup uang emas diangg ap sebagai sumbangan Pangeran Jeta kepada Sang Buddha. Setelah itu Anathapindika memerintahkan untuk membuat sebuah vihara yang besar dan megah dengan biaya yan g besar sekali. Dikisahkan bahwa Sang Buddha berada di vihara Jetavanarama tersebut selama sembi lan belas vassa, khususnya pada waktu Beliau sudah berusia lanjut dan di vihara inilah Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang terbanyak. Anathapindika dua kali sehari mengunjungi Sang Buddha dan sering membawa banyak sahabatnya. Kalau datang ia selalu membawa hadiah-hadiah untuk para bhikkhu muda dan samanera. Tetapi anehnya, ia sendiri tidak pernah menanyakan sesuatu karena khawatir membuat Sang Buddha lelah. Di pihak lain, Sang Buddha sendiri sering m emberikan uraian Dhamma kepadanya. Tiap hari Anathapindika memberi makan kepada seratus orang bhikkhu dan menyediak an juga makanan untuk para tamu, penduduk desa dan mereka yang kebetulan datang ke rumahnya. Lima ratus tempat duduk selalu siap di rumahnya untuk menerima siap a saja yang datang. Seisi rumahnya berpegangan teguh kepada Paca-Sila dan pada hari-hari Uposatha (ta nggal 1, 8, 14/15, 22/23 menurut penanggalan bulan) mereka berpuasa. Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang berkeliling, Anathapindika merasa se dih sekali karena tidak ada sesuatu yang dapat dipujanya. Oleh karena itu bersam a-sama penduduk Savatthi lain ia minta kepada Ananda untuk membuat tempat di man a mereka dapat memuja dan memuliakan nama Sang Buddha. Atas saran Sang Buddha, s atu cangkokan dari pohon Bodhi di Gaya ditanam di dekat pintu-masuk Jetavanarama . Karena penanaman pohon ini dihadiri oleh Ananda, maka kemudian dikenal Anandab odhi. Karena kedermawanannya, Anathapindika diberi gelar "Pemimpin para Dayaka". Dayak a berarti penyokong Sang Buddha. Ketiga putrinya juga semua turut membantu ayahn ya mengurus segala kebutuhan para bhikkhu. Putri pertama dan kedua telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, menikah dan k emudian mengikuti suaminya. Putri yang ketiga memperoleh tingkat kesucian Sakadagami. Ia tidak menikah dan t

inggal bersama-sama ayahnya. Putranya semula tidak tertarik mendengarkan Dhamm namun berkat dorongan ayahnya ia kemudian sering mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucia n Sotapanna. Anathapindika meninggal dunia sebelum Sang Buddha mangkat. Waktu ia sakit keras, ia mengirim pesan khusus kepada Sariputta, dan Sariputta datang mengunjunginya bersama-sama Ananda. Pada waktu itu Sariputta memberikan uraian Dhamma dan selag i Anathapindika memusatkan pikirannya kepada perbuatan-perbuatannya yang baik da n mulia, seketika itu ia sembuh dari sakitnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya d an menyuguhkan kedua Thera tersebut dengan makanan dari pancinya sendiri. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia dengan tenang dan bertumimbal lahir di s urga Tusita. Reruntuhan dari Jetavanarama, di dekat Savatthi kini masih dapat dilihat di temp at yang bernama Sabet-mahet (Nepal Selatan). Visakha Visakha dilahirkan di kota Bhaddiya, negara Anga, yang terletak di sebelah Timur Magadha. Ayahnya bernama Dhanajaya, putra dari Mendaka, dan ibunya bernama Suma na. Waktu Visakha berusia tujuh tahun, Sang Buddha mengunjungi kota Bhaddiya. Wa ktu itu Mendaka minta Visakha mengunjungi Sang Buddha dan diberi lima ratus oran g pengikut, lima ratus orang budak dengan memakai lima ratus kereta. Tiba di tempat yang dituju, mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan Visakha memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Visakha kemudian mengundan g Sang Buddha beserta murid-Nya untuk makan siang keesokan harinya di rumah kake knya. Selama empat belas hari berikutnya, Mendaka menjamu Sang Buddha beserta rombonga n di rumahnya. Dikisahkan bahwa Raja Pasenadi dari negara Kosala ingin sekali mempunyai seorang yang banyak jasanya tinggal di kerajaannya. Beliau mengirim permohonan kepada R aja Bimbisara, yang waktu itu memerintah kerajaan Magadha dan Anga untuk mencari kan seorang yang banyak jasa untuk tinggal di kerajaannya. Untuk memenuhi permoh onan Raja Pasenadi, Raja Bimbisara lalu memilih Dhanajaya, ayah Visakha, untuk p indah ke Savatthi. Dalam perjalanan menuju Savatthi, Dhanajaya berhenti di satu tempat yang berada tujuh "League" dari Savatthi (1 league = 4.800 atau 5.564 m). Melihat bahwa tempat itu menyenangkan sekali, ia mohon kepada Raja Pasenadi untu k membuat tempat tinggal di tempat tersebut. Permohonan itu dikabulkan dan Dhana jaya membuat rumah di tempat tersebut, yang kemudian berkembang menjadi kota yan g dinamakan Saketa. Visakha juga ikut tinggal bersama kedua orang tuanya di Sake ta. Pada suatu hari di Saketa diadakan perayaan dan semua orang pergi ke sungai untu k mandi. Visakha, yang waktu itu berumur lima belas tahun, berdandan dan memakai baju yang bagus. Ia ingin turut menyaksikan perayaan tersebut dan bersama kawan -kawannya ia pergi ke tepi sungai. Tiba-tiba hujan besar turun dan semua gadis kawan Visakha berlari mencari tempat untuk berteduh di sebuah bangsal. Hanya Visakha yang tidak turut berlari dan ja lan saja seperti biasa. Tiba di bangsal, bajunya basah kuyup. Di bangsal itu iuga turut berteduh beberapa orang suruhan Migara, seorang jutawa n dari Savatthi, yang mencari seorang untuk dinikahkan dengan anaknya, Paavaddhana . Mereka heran melihat Visakha dengan tenang berjalan memasuki bangsal, meskipun bajunya basah kuyup dengan air hujan. Mereka bertanya, "Mengapa engkau tadi tid ak lari, sekarang bajumu basah kuyup." Visakha menjawab, "Aku punya banyak baju di rumah. Kalau aku lari, mungkin aku t erjatuh dan cedera anggota tubuhku. Hal ini akan membawa kerugian besar bagiku. Gadis sepertiku dapat diumpamakan sebagai barang dagangan yang tidak boleh mempu nyai cacat." Jawaban Visakha ternyata mengesankan sekali orang suruhan Migara. Tambahan lagi Visakha memang seorang gadis cantik yang memiliki Lima Kecantikan (Paca-Kalyani). Mereka segera menyerahkan sebuah karangan bunga sebagai tanda pinangan untuk men

ikah. Visakha menerima baik karangan bunga tersebut dan orang suruhan Migara men gikuti Visakha pulang ke rumah orang tuanya. Oleh kedua orang tuanya, pinangan i ni pun diterima dengan baik. Sekarang harus dibuat persiapan untuk merayakan pernikahan Visakha. Raja Pasenad i sendiri berkenan untuk ikut dengan rombongan yang menyertai mempelai laki-laki pergi ke Saketa. Di tempat itu mereka berdiam selama empat bulan. Selama waktu itu, lima ratus pandai emas bekerja siang dan malam untuk membuat perhiasan yang dinamakan Mahalatapasadhana. Perhiasan itu terbuat dari emas dan ditabur dengan berlian, mutiara dan batu-batu permata lainnya. Perhiasan ini berat sekali dan hanya bisa dipakai oleh orang yang tenaganya kuat. Pada hari pernikahan, Dhanajaya membekali putrinya dengan lima ratus pedati penu h dengan uang, lima ratus pedati penuh dengan emas, perak, tembaga, kain sutra, mentega, beras dan kacang-kacangan masing-masing lima ratus pedati, alat meluku dan alat pertanian lainnya lima ratus pedati, lima ratus kereta dengan membawa t iga orang budak wanita tiap-tiap kereta disertai segala keperluan mereka. Di sam ping itu juga ternak yang memenuhi lapangan seluas tiga per empat "league" panja ngnya dan delapan "cambuk" lebarnya, yang berdiri berhimpit-himpitan ditambah de ngan enam puluh ribu sapi jantan dan enam puluh ribu sapi perah. Masih ditambah lagi dengan perhiasan Mahalatapasadhana yang mahal sekali dengan disertai sepulu h pesan yang harus ditaati oleh Visakha selama berada di rumah suaminya. Sepuluh pesan tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. . 6. 7. 8. 9. 10. Kalau Kalau Kalau Harus Harus duduk, duduklah dengan tenang dan bahagia. makan, makanlah dengan tenang dan bahagia. tidur, tidurlah dengan tenang dan bahagia. menjaga baik api di rumah. menghormat dewa-dewa di rumah. Api dari dalam rumah tidak boleh dibawa ke luar rumah. Api dari luar rumah tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah. Hanya memberi kepada orang yang memberi. Tidak memberi kepada orang yang tidak memberi. Memberi kepada orang yang memberi dan juga kepada orang yang tidak memberi

Selanjutnya Dhanajaya mengangkat delapan orang kepala keluarga yang terhormat un tuk menjadi wali Visakha dan meneliti tiap dakwaan yang kelak mungkin akan ditud uhkan terhadap tingkah laku anaknya. Keesokan harinya Visakha beserta rombongan berangkat menuju ke Savatthi. Semua p enduduk Savatthi keluar dari rumahnya untuk menyambut kedatangan Visakha dan mem persembahkan aneka ragam hadiah. Semua hadiah diterima baik oleh Visakha untuk k emudian dibagi-bagikan lagi kepada penduduk Savatthi yang kurang mampu. Migara (mertua Visakha) adalah pengikut para pertapa Nigantha, yaitu pertapa yan g hidup bertelanjang bulat. Tidak lama setelah Visakha berada di rumahnya, Migar a mengundang para pertapa Nigantha datang ke rumahnya dan memerintahkan Visakha untuk melayaninya dengan baik. Tetapi Visakha, yang jijik melihat mereka bertelanjang bulat, menolak untuk memb eri hormat. Para pertapa Nigantha mendesak Migara untuk mengirim pulang Visakha, tetapi Migara ingin menunggu saat yang tepat. Pada suatu hari, ketika Migara sedang makan dan Visakha berdiri di sampingnya sa mbil mengipasinya, seorang bhikkhu datang untuk mengumpulkan makanan dan berdiri di depan pintu. Visakha minggir sedikit agar Migara dapat melihat bhikkhu terse but, tetapi Migara tidak memperdulikannya dan terus saja makan. Visakha kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut, "Jalan terus saja, Bhante, mertua saya sedang makan hidangan basi." Migara marah sekali dan mengancam untuk mengirim pulang Visakha ke rumah orang t uanya. Tetapi Visakha minta agar persoalan itu dibawa ke depan para walinya. Di hadapan para wali tersebut, Migara melontarkan beberapa dakwaan terhadap Visakha . Tetapi, setelah para wali meneliti dan mendengar segala keterangan dari yang b ersangkutan dan para saksi, mereka berkesimpulan bahwa Visakha tidak bersalah. Setelah itu Visakha memberi perintah untuk membuat persiapan pulang ke rumah ora

ng tuanya di Saketa. Tetapi kemudian Migara melihat kesalahannya dan merasa meny esal. Ia mohon maaf kepada Visakha dan permohonan ini diterima oleh Visakha deng an syarat, Migara harus mengundang Sang Buddha dan murid-Nya makan siang di ruma hnya. Waktu Sang Buddha dan para murid-Nya tiba, Migara lalu menyingkir pergi dan meme rintahkan Visakha untuk melayani-Nya. Setelah selesai bersantap, Sang Buddha mem berikan uraian Dhamma dan atas permintaan Visakha, Migara turut mendengarkan dar i belakang tirai. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Oleh karena ia memperoleh tingkat Sotapann a atas jasa dari Visakha, maka mulai hari itu ia menghormat Visakha sebagai ibun ya dan mulai hari itu Visakha mendapat nama baru, yaitu "Migaramata" yang berart i "Ibu Migara". Sekarang Visakha bebas untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagaimana y ang ia kehendaki. Setiap hari ia memberi makan kepada lima ratus orang bhikkhu. Setiap sore ia datang ke vihara mengunjungi Sang Buddha dan setelah mendengarkan uraian Dhamma, pergi berkeliling mendatangi para bhikkhu dan bhikkhuni untuk me nanyakan kebutuhannya. Sewaktu-waktu ia diutus oleh Sang Buddha untuk mendamaikan perselisihan-perselis ihan yang timbul di antara para bhikkhuni. Beberapa aturan, seperti aturan yang mengharuskan para bhikkhu memakai "baju mandi" kalau mandi, dikeluarkan atas sar an Visakha. Suatu hari Visakha mengunjungi Sang Buddha dan sebelum memasuki vihara ia membuk a perhiasan Mahalatapasadhana yang dipakainya. Waktu pulang, pelayannya lupa unt uk membawanya. Belakangan, waktu Visakha kembali untuk mengambilnya ternyata bah wa Ananda telah menyimpannya di ruang dalam. Visakha menolak untuk mengambilnya kembali, tetapi memerintahkan untuk menjualnya dan hasilnya digunakan untuk kepe rluan para bhikkhu. Tetapi, ternyata tidak ada orang yang mampu membelinya karen a perhiasan itu memang sangat mahal harganya. Karena itu Visakha mengambil keput usan untuk membelinya sendiri dan uangnya digunakan untuk membuat sebuah vihara yang disebut Migaramatupasada di taman sebelah Timur (Pubbarama) Savatthi. Selama dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan Sang Buddha, kalau sedang berada di Savatthi, Beliau membagi waktu-Nya antara Jetavana dan Pubbarama, kalau sian gnya berada di Jetavana, malamnya Beliau diam di Pubbarama atau sebaliknya. Visakha mohon dan diberikan delapan "anugerah" oleh Sang Buddha, yaitu: 1. Selama hidupnya ia diperkenankan u yang selesai ber-vassa. 2. Selama hidupnya ia diperkenankan datang di Savatthi. 3. Selama hidupnya ia diperkenankan yang pergi dari Savatthi. 4. Selama hidupnya ia diperkenankan sakit. 5. Selama hidupnya ia diperkenankan menjaga bhikkhu sakit. 6. Selama hidupnya ia diperkenankan kit. 7. Selama hidupnya ia diperkenankan dak. 8. Selama hidupnya ia diperkenankan khuni. untuk memberikan jubah kepada para bhikkh untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang untuk memberi makanan kepada para bhikkhu untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang untuk memberi makanan kepada mereka yang untuk memberi obat kepada bhikkhu yang sa untuk memberi beras untuk keperluan menda untuk memberi baju mandi kepada para bhik

Visakha mempunyai sepuluh orang putra dan sepuluh orang putri, tiap putra dan pu tri kembali mempunyai dua puluh orang anak dan tiap cucunya kembali mempunyai du a puluh orang anak. Waktu Visakha meninggal dunia pada usia seratus dua puluh ta hun, Beliau mempunyai delapan ribu empat ratus dua puluh orang anak, cucu, dan c icit yang semuanya hidup. Meskipun sudah berusia lanjut, tetapi roman mukanya ma sih seperti gadis berumur enam belas tahun. Visakha sangat terkenal sebagai orang yang dapat membawa keberuntungan. Oleh kar ena itu, penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha kalau mereka mengadakan pes

ta perayaan lain. Dengan sikapnya yang luhur, tingkah laku yang halus, ucapan ya ng ramah, menghormat kepada orang yang lebih tua dan kebaikan hatinya kepada sem ua orang, Visakha mendapat tempat yang mulia dalam hati mereka yang pernah menge nalnya. Sebagaimana halnya dengan Anathapindika, Visakha pun mendapat gelar "Pemimpin da ri para Dayika". Dayika adalah seorang wanita yang menjadi penyokong Sang Buddha . Visakha diperkirakan lebih muda sedikit dari Anathapindika, karena adik peremp uannya yang bungsu, Sujata, menikah dengan anak laki-laki dari Anathapindika, ya itu Kala. Setelah meninggal dunia, Visakha bertumimbal lahir di surga Nimmanarati dan menj adi pelayan dari raja dewa Sunimmita. (Menurut Buddhaghosa, Visakha dan Anathapi ndika akan menikmati hidup bahagia di alam surga selama seratus tiga puluh satu kappa, sebelum akhirnya mereka mencapai Nibbana). Maha Pajapati Gotami Pada tahun kedua setelah mendapat Penerangan Agung, Sang Buddha diam di Nigrodha rama, Kapilavatthu, waktu itu Putri Pajapati Gotami, istri Raja Suddhodana menja di seorang Sotapanna, setelah mendengarkan khotbah-khotbah Sang Buddha. Tiga tah un kemudian, pada tahun kelima Sang Buddha mendapat Penerangan Agung, Raja Suddh odana sakit keras. Sang Buddha, yang waktu itu berada di balairung Kutagarasalla , Vesali, datang ke Kapilavatthu dengan terbang melalui udara. Raja Suddhodana k elihatannya sudah lemah sekali, Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada a yahnya yang berada di tempat tidur, di bawah payung kerajaan yang berwarna putih . Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat setelah mendengarkan khotbah tersebut dan masih dapat menikmati berkah dan kedamaian Nibbana selama tujuh hari sebelum mangkat. Waktu itu Putri Pajapati sudah mengambil keputusan untuk menjadi bhikk huni dan menunggu waktu yang tepat untuk mohon ditahbiskan oleh Sang Buddha. Tidak lama kemudian timbul perselisihan antara negara Sakya dan negara Koliya pe rihal air Sungai Rohini, yang menjadi perbatasan antara kedua negara. Sang Buddh a kembali mengunjungi Kapilavatthu dan memberi nasehat kepada kedua belah pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa tersebut dengan berperang, tetapi sebaiknya s engketa tersebut diselesaikan melalui perundingan. Sesudah itu Sang Buddha menar ik diri di Nigrodharama, Kapilavatthu. Setelah sengketa tersebut dapat didamaikan, Sang Buddha kemudian memberikan urai an Dhamma yang dikenal sebagai Kalahavivadasutta. Setelah mendengar khotbah ters ebut, lima ratus orang Sakya yang masih muda ditahbiskan menjadi bhikkhu. Waktu inilah yang dianggap tepat oleh Putri Pajapati. Bersama-sarna lima ratus w anita muda yang suaminya telah diterima menjadi bhikkhu, Putri Pajapati pergi ke Nigrodharama dan mohon agar mereka semua ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Permoho nan ini tiga kali ditolak dan kemudian Sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu kem bali ke Vesali. Tetapi Putri Pajapati dan lima ratus wanita muda itu tidak putus asa dan mengiku ti perjalanan Sang Buddha ke Vesali, setelah terlebih dulu memotong rambutnya da n memakai jubah kuning. Mereka mengikuti dengan berjalan kaki, sehingga waktu ti ba di Vesali kaki mereka luka-luka dan bengkak serta badan penuh debu. Ananda me nemui para wanita tersebut yang sedang menangis di depan pintu dan kemudian mene ruskan permohonan mereka untuk dapat diterima menjadi bhikkhuni. Kembali Sang Bu ddha menolak sampai tiga kali. Kemudian Ananda mengubah cara mengemukakannya dan bertanya, "Kalau seorang wanita, oh Bhagava, dari kehidupan berkeluarga memasuki kehidupan seorang bhikkhuni dan menjalankan dengan tekun ajaran dan tata tertib yang dite tapkan oleh Sang Tathagata, apakah mungkin orang itu mencapai tingkat kesucian S otapanna, Sakadagami, Anagami atau Arahat?" "Seorang wanita dapat mencapainya, Ananda." "Kalau begitu, oh Bhagava, Maha Pajapati Gotami, bibi Sang Bhagava, telah besar pahalanya. Beliau adalah pengasuh-Nya, ibu tiri-Nya dan yang pernah memberikan-N ya air susu, waktu ibu-Nya sendiri meninggal dunia, Beliau mengasuh dan menyusui -Nya dari dadanya sendiri. Karena itu, oh Bhagava, alangkah baiknya wanita itu d apat diterima menjadi bhikkhuni."

"Kalau, Ananda, Maha Pajapati bersedia menerima delapan "aturan keras" (Garudham ma), maka Beliau dapat ditahbiskan." Kemudian Ananda diberitahukan tentang delapan "aturan keras" tersebut: 1. Seorang bhikkhuni, meskipun sudah ditahbiskan selama seratus tahun, harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempat duduknya, memberi hormat dengan kedu a tangan dirangkapkan di dada kepada seorang bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Dan aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. 2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalankan vassa di tempat dimana tidak ter dapat seorang bhikkhu. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar s elama hidupnya. 3. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal dari Sangha para bhikkhu, yaitu (tanggal dan) hari untuk melakukan latihan dan hari untuk m endapatkan nasehat-nasehat (teguran-teguran). Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. 4. Setelah vassa, seorang bhikkhuni harus mohon kepada Sangha para bhikkhu da n Sangha para bhikkhuni untuk mendapat teguran dan peringatan tentang apa yang d ilihat, didengar, dan dicurigai. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh d ilanggar selama hidupnya. 5. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani hukuman (mana tta) selama setengah bulan lamanya di Sangha para bhikkhu dan di Sangha para bhi kkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. 6. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang calon bhikkhu ni harus mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu dari Sangha para bhikkhu dan dari San gha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama h idupnya. 7. Seorang bhikkhu tidak boleh dicaci-maki atau dihina dengan cara apa pun ju ga oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilangg ar selama hidupnya. 8. Mulai hari ini seorang bhikkhuni dilarang memperingati (menegur) seorang b hikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang untuk memperingati (menegur) s eorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. Setelah itu Ananda pergi menemui Maha Pajapati dan memberitahukan tentang delapa n "aturan keras" tersebut yang harus diterima, sebelum ia dapat ditahbiskan menj adi bhikkhuni. Dengan gembira Maha Pajapati menerima delapan "aturan keras" tersebut dan kemudi an ditahbiskan menjadi bhikkhuni pertama. Setelah ditahbiskan, Maha Pajapati mem beri hormat kepada Sang Buddha dan kemudian berdiri di satu sisi. Sang Bhagava m emberikan uraian Dhamma dan kemudian memberikan kepadanya obyek untuk melakukan meditasi (Kammatthana). Beliau melatihnya dengan tekun dan tidak lama kemudian m encapai tingkat Arahat. Pengikut Maha Pajapati yang berjumlah lima ratus orang juga ditahbiskan menjadi bhikkhuni dan kemudian setelah mendengarkan Nandakovadasutta, semuanya mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian berdirilah Bhikkhuni Sangha yang dipimpin oleh Maha Pajapati Got ami dan berkembang terus di desa-desa, kota-kota, dan bahkan di istana raja-raja . Yasodhara (ibu Rahula) dan Rupananda (anak Maha Pajapati) juga turut memasuki Bhikkhuni Sangha. Pada satu kesempatan di hadapan Bhikkhu Sangha dan Bhikkhuni Sangha, Sang Buddha menyatakan bahwa Maha Pajapati adalah pemimpin dari para bhikkhuni yang terkemu ka (Rattau). Yasodhara, yang sewaktu-waktu juga disebut sebagai Rahulamata, Bimba, Bimbadevi, Bhaddakacca adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki kekuatan gaib (Mahabhiappatta) dan Rupananda adalah yang terkemuka dari mereka yang memili ki kekuatan meditasi (Jhayi). Dalam Bhikkhuni Sangha pun terdapat dua orang muri d utama, yaitu Khema dan Uppalavanna, sebagaimana Sariputta dan Moggallana menja di murid utama dari Bhikkhu Sangha. Kemudian sewaktu Maha Pajapati sedang berada di Vesali, Beliau mengetahui bahwa hidupnya di dunia ini sudah tidak lama lagi. Beliau pamit dari Sang Buddha dan m

eninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun. Jadwal Kegiatan Sehari-hari Kegiatan Sang Buddha tiap hari adalah sebagai berikut : Pagi hari (pukul 04.00-pukul 12.00) Sang Buddha bangun pukul 04.00 pagi, setelah mandi lantas duduk bermeditasi sela ma satu jam. Dari pukul 05.00 pagi, selama satu jam, Sang Buddha melihat dengan mata dewa ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan Beliau. Pukul 06.00 pagi memakai jubah-Nya dan pergi ke desa atau kota untuk mengumpulka n makanan atau pergi mengunjungi orang yang memerlukan pertolongan Beliau. Tiba di desa atau kota, Sang Buddha berjalan dari rumah ke rumah dengan mata dit ujukan ke tanah dan menerima makanan apa saja yang dimasukkan ke dalam mangkuk-N ya dengan tidak mengucapkan sesuatu kata pun. Kalau pergi bersama-sama dengan mu rid-Nya, mereka merupakan barisan yang panjang karena berjalan satu per satu. Pa da waktu Sang Buddha menerima juga undangan makan di rumah seorang umat. Sehabis bersantap, Beliau selalu memberikan khotbah Dhamma. Kalau ada orang yang minta diterima sebagai murid/pengikut, maka Beliau mentahbiskannya di tempat tersebut. Siang hari (pukul 12.00-pukul 18.00) Waktu ini biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Sang B uddha menjawab semua pertanyaan dengan disertai nasehat dan petunjuk mengenai me ditasi. Kalau mereka pulang, maka Sang Buddha beristirahat di kamar-Nya dan deng an mata dewa melihat ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pert olongan-Nya. Kalau Beliau melihat ada yang memerlukan pertolongan, maka Beliau s egera mengunjunginya. Kalau hari itu tidak ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau, maka Beliau k eluar dari kamar untuk bertemu dengan ratusan orang yang berkumpul di ruang khot bah (Dhammasala). Di Dhammasala, Sang Buddha memberikan khotbah dengan cara yang khas, sehingga ti ap orang merasa bahwa khotbah itu ditujukan kepada dirinya. Dengan demikian Sang Buddha memberikan kegembiraan kepada orang yang bijaksana, mempertinggi pengeta huan orang biasa dan memberi penerangan kepada orang yang sedang dihinggapi kege lapan batin. Waktu jaga pertama (pukul 18.00-pukul 22.00) Waktu ini para bhikkhu kembali datang untuk mendengar khotbah Dhamma atau untuk bertanya tentang hal-hal yang masih mereka ragukan. Selain para bhikkhu juga uma t biasa banyak yang datang menemui Sang Buddha. Waktu jaga kedua (pukul 22.00-pukul 02.00) Para dewa datang untuk mendengarkan Dhamma yang khusus ditujukan kepada mereka. Mereka tidak dapat dilihat dengan mata biasa. Waktu jaga ketiga (pukul 02.00-pukul 04.00) Dari pukul 02.00 sampai pukul 03.00, Sang Buddha mondar-mandir di luar kamar (me lakukan meditasi berjalan) sambil menghirup udara pagi. Pukul 03.00 pagi, Sang B uddha tidur satu jam dan bangun pada pukul 04.00 pagi. Empat Puluh Lima Tahun Mengajar Dhamma Tahun ke-1 Setelah memperoleh Penerangan Agung, Sang Buddha menjalankan vassa (istirahat mu

sim hujan) di Isipatana. Tahun ke-2 Sang Buddha menjalankan vassa di Veluvana, Rajagaha. Tahun ke-3 Atas permintaan Raja Suddhodana, Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu. Di Nigrodh arama, untuk pertama kalinya Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya yang d isebut Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda, yang hanya dapat dilakukan oleh s eorang Buddha. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan keluarganya dan orang Sakya la in bahwa Beliau memang benar telah mencapai tingkat Buddha. Dalam perjalanan kembali dari Kapilavatthu ke Rajagaha, Sang Buddha bertemu deng an Anathapindika dan menyetujui untuk menjalankan vassa yang akan datang di Sava tthi. Tahun ke-4 Sang Buddha ber-vassa di Veluvana, Rajagaha. Tahun ke-5 Sang Buddha ber-vassa di Kutagarasala, Vesali. Waktu itu Raja Suddhodana sakit. Sang Buddha mengunjungi Raja di Kapilavatthu dan memberikan khotbah Dhamma kepad a ayah-Nya, setelah mendengar khotbah tersebut, Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat dan meninggal dunia tujuh hari kemudian. Sangha bhikkhuni di bawah pimpinan Maha Pajapati terbentuk di tahun ini. Tahun ke-6 Ber-vassa di Mankulapabbata (Lereng Mankula). Di tahun ini untuk kedua kalinya S ang Buddha memperlihatkan Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda di bawah pohon Gandamba di Savatthi, meskipun sebelumnya Beliau melarang murid-muridNya untuk m emperlihatkan kekuatan gaib di depan umum. Hanya Beliau yang boleh memperlihatka n kekuatan gaib di depan umum, tetapi murid-muridNya dilarang melakukan hal-hal tersebut. Tahun ke-7 Sang Buddha mengunjungi surga Tavatimsa. Ibu-Nya, almarhum Ratu Maya, bersama pa ra dewa lainnya diberi pelajaran Abhidhamma, selama tiga bulan Sang Buddha ber-v assa di surga tersebut. Akhir vassa, Beliau berjalan turun dari surga Tavatimsa melalui tangga yang terb uat dari batu pualam, di Sankassa, tiga puluh "league" dari Savatthi. Waktu itu orang yang berkumpul di sekitar Savatthi dan para dewa yang berada di surga Tava timsa dapat melihat satu sama lain dengan jelas, berkat kekuatan gaib Sang Buddh a. Waktu itu kemasyhuran Sang Buddha mencapai titik tertinggi dan waktu itu pula go longan pertapa yang merasa terdesak hebat, berusaha untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan seorang wanita bernama Cica-manavika yang melancarkan f itnahan keji terhadap diri Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut : Para pertapa dari golongan paribbajika merasa sangat terdesak dengan adanya Sang Buddha yang semakin lama semakin masyhur namanya. Karena itu, mereka merencanak an satu tipu muslihat untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan Cica sebagai umpan. Cica adalah seorang wanita cantik yang banyak akalnya. Wanita ini dibujuk oleh para pertapa dari golongan paribbajika untuk pura-pura mengunjungi Sang Buddha di vihara Jetavana. Pada suatu malam, Cica pergi ke vihara Jetavana dan sengaja berjalan di tempat-te mpat yang mudah dilihat oleh khalayak ramai. Malam itu ia tidur di emper vihara dekat kamar Sang Buddha. Pagi harinya ia berjalan meninggalkan vihara dengan jug a dilihat oleh banyak orang. Ketika ditanya, Cica menjawab bahwa ia tadi malam ti dur bersama-sama Sang Buddha. Beberapa bulan kemudian dengan berpura-pura hamil (ia mengikat sepotong kayu di bagian perutnya) Cica pergi mengunjungi Sang Buddha yang sedang berkhotbah di had apan umat. Ketika itulah Cica dengan tiba-tiba membuat onar dengan menuduh Sang B

uddha sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tebal muka karena tidak mau memberi bekal untuk persalinannya. Mendengar tuduhan itu, Sang Buddha tidak berkata apa-apa dan hanya diam saja. Te tapi Dewa Sakka menjadi marah sekali. Beliau memerintahkan seekor tikus untuk me nggigit tali yang mengikat kayu di sekitar perut Cica. Tali itu putus dan kayu menimpa jari kaki Cica hingga terluka. Khalayak ramai lal u menyeretnya ke luar vihara. Waktu kakinya menginjak tanah di luar pagar vihara , kakinya terus amblas dan seluruh badannya masuk ke tanah untuk kemudian terlah ir di alam neraka. Waktu Sang Buddha kemudian ditanya, mengapa Beliau sampai mendapat fitnahan sepe rti itu, Beliau menerangkan bahwa itu adalah akibat dari perbuatan-Nya juga, yai tu bahwa dalam salah satu kehidupannya yang lampau, Beliau pernah mencaci-maki s eorang Pacceka Buddha. Jadi saat ini Beliau difitnah adalah akibat dari perbuata n-Nya yang tersebut di atas. Di kemudian hari terjadi lagi fitnahan yang serupa oleh seorang wanita bernama S undari, didalangi oleh golongan pertapa paribbajika yang masih penasaran. Kisahn ya adalah sebagai berikut: Seorang wanita bernama Sundari dibujuk oleh para pertapa paribbajika untuk mempe rlihatkan diri sedang pergi ke Jetavana dengan berdandan rapi dan memakai wangiwangian, dan membawa buah-buahan dan beberapa barang lain lagi. Kalau ada yang m enegur ia harus menjawab bahwa ia akan menemui Sang Buddha dan akan bermalam di kamarnya. Tetapi sebenarnya, ia hanya melewati saja kamar Sang Buddha dan pergi bermalam di vihara kaum paribbajika yang berdekatan. Besok pagi-pagi sekali ia h arus kembali dan supaya dilihat orang banyak berjalan dari jurusan Jetavana. Beb erapa hari kemudian para pertapa tersebut memberi upah kepada beberapa orang baj ingan untuk membunuh Sundari dan menyembunyikan mayatnya di tempat sampah dekat Jetavana. Setelah Sundari dibunuh, dengan menangis mereka menghadap Raja Pasenadi untuk me laporkan tentang hilangnya Sundari. Pencarian kemudian dilakukan oleh petugas-pe tugas raja dan tidak lama kemudian mereka menemukan mayat Sundari di dekat Gandh akuti (kamar) Sang Buddha. Dengan menggotong mayat Sundari di atas sebuah usungan, mereka mengaraknya melew ati jalan-jalan di kota sambil meneriakkan tuduhan, "Hal ini kami berterima kasi h kepada bhikkhu-bhikkhu dari suku Sakya!" Akibatnya, para bhikkhu yang mengumpulkan makanan dihina habis-habisan oleh pend uduk kota. Selama tujuh hari Sang Buddha diam saja di kamar-Nya dan tidak pergi ke kota untuk mengumpulkan makanan, sehingga Ananda mengusulkan untuk pindah saj a ke kota lain. Tetapi Sang Buddha menolak usul tersebut dan mengatakan bahwa me rupakan satu kesalahan besar untuk pergi menyingkir ke tempat lain hanya atas da sar laporan palsu. Kemudian Beliau mengatakan bahwa dalam tujuh hari persoalan i ni sudah dapat dijernihkan. Setelah mayat Sundari ditemukan di dekat Gandhakuti Sang Buddha, Raja Pasenadi t idak mau menerima begitu saja tuduhan atas diri Sang Buddha. Raja lalu mengirim banyak petugas ke seluruh penjuru untuk menyelidiki dengan ce rmat, siapa sesungguhnya yang menjadi pembunuh Sundari. Di suatu kedai arak, seorang penyelidik mendengar beberapa orang yang terlalu ba nyak minum arak sedang bertengkar tentang pembagian upah membunuh Sundari. Merek a segera ditangkap dan dibawa menghadap Raja Pasenadi. Di depan Raja, mereka men gakui perbuatan mereka membunuh Sundari atas suruhan para pertapa paribbajika. R aja kemudian memerintahkan petugas menangkap para pertapa paribbajika. Setelah d iperiksa, akhirnya para pertapa ini mengakui semua perbuatan mereka dan menarik kembali tuduhan palsu yang pernah mereka lontarkan terhadap diri Sang Buddha. Ke mudian mereka dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya. Ketika Sang Buddha kemudian ditanya mengenai peristiwa tersebut, Beliau mencerit akan kisah di bawah ini: "Ketika itu Sang Bodhisatta bernama Munali dan terkenal sebagai orang yang senan g berfoya-foya. Pada suatu hari ia melihat Surabhi (seorang Pacceka Buddha) seda ng memakai jubahnya di sebelah luar tembok kota, sedangkan di dekatnya berjalan seorang wanita. Secara senda gurau, Munali mengeluarkan kata-kata, 'Lihat, perta pa ini bukanlah orang yang hidup membujang, tetapi ia sebenarnya adalah seorang

cabul.' Akibat dari ucapan yang salah inilah yang membuat Sang Buddha dalam kehi dupan ini mendapat fitnahan dari Sundari." Tahun ke-8 Tahun ini Beliau berada di wilayah kaum Bhagga. Ketika diam di Bhesakalavana dek at Gunung Sumsumara, Sang Buddha bertemu dengan Nakulapita dan istrinya, yang di kehidupan lampau pernah menjadi ayah dan ibu-Nya sampai lima ratus kali. Tahun ke-9 Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Kosambi. Tahun ke-10 Di tahun ini terjadi perselisihan diantara para bhikkhu di Kosambi. Karena letih menghadapi perselisihan yang tak mau didamaikan, Sang Buddha ber-vassa di hutan Parileyyaka. Di hutan, Sang Buddha dijaga dan dilayani oleh seekor gajah yang b aik hati. Sehabis vassa, Sang Buddha pergi ke Savatthi. Ketika itu para bhikkhu di Kosambi sudah insyaf dan datang mengunjungi Sang Buddha untuk minta maaf. Mer eka semua dimaafkan dan dengan demikian perselisihan itu didamaikan. Tahun ke-11 Tahun ini Sang Buddha diam di Desa Ekanala dan mentahbiskan Kasi-bharadvaja. Kis ahnya ini adalah sebagai berikut (S.I-171) : Sang Buddha mengunjungi Bharadvaja pada upacara menanam padi dan berdiri di deka t tempat pembagian makanan para petani yang ikut menanam padi. Melihat Sang Budd ha, Bharadvaja menegur agar Sang Buddha pun harus ikut membajak dan menanam padi , sebagaimana ia sendiri juga turut bekerja untuk dapat makan hasilnya. Percakap an yang menarik itu dapat kita ikuti seperti di bawah ini (S.I-171) : "Pertapa, aku membajak dan menanam bibit. Setelah bekerja, aku makan. Apakah And a juga membajak dan menanam bibit dan setelah membajak dan menanam bibit lalu ma kan?" "Betul, Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bi bit, Aku makan." "Tetapi kami tidak pernah melihat regu Guru Gotama, bajaknya, pengunjam bajak, c ambuk atau sapinya. Meskipun demikian Guru Gotama masih berani mengatakan bahwa, 'Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bibit, A ku makan'." Sang Buddha menjawab, "Keyakinan adalah bibit-Ku dan hujan adalah tata tertib-Ku Pandangan terang adalah bajak-Ku disertai kayu lengkung yang sesuai. Tahu malu (hiri) adalah tiang bajak-Ku dan pikiran adalah talinya. Pemusatan pikiran adalah pengunjam bajak-Ku dan cambuk-Ku. Waspada dalam perbuatan, waspada dalam ucapan. Dan sederhana dalam makan dan minum. Aku mencabut rumput dengan Kesunyataan menyelesaikan tugas, Adalah apa yang Aku selalu dambakan. Kemauan keras adalah regu penopang beban-Ku, Yang menarik bajak-Ku menuju pelabuhan yang aman, selalu maju dan tak pernah mundur. Dan di tempat yang dilalui tak akan ada lagi yang menangis. Itulah cara-Ku membajak. Buah yang akan dipetik adalah makanan abadi. Siapa saja yang melaksanakan cara membajak seperti ini, Akan terbebas dari penderitaan dan kesedihan." Bharadvaja merasa gembira sekali dan segera menghaturkan sebuah mangkuk besar be risi nasi campur susu. Tetapi Sang Buddha menolak pemberian tersebut dengan mengatakan bahwa seorang Bu ddha tidak pernah menerima imbalan untuk berkhotbah. Atas saran Sang Buddha, Bha radvaja membuang makanan tersebut ke sungai karena tidak ada orang yang dapat me

ncernakan makanan yang pernah dipersembahkan kepada Sang Buddha. Ketika makanan itu menyentuh air sungai, terdengar suara gemercak dan api serta asap terlihat d i atas air. Bharadvaja menjadi kagum sekali dan sambil berlutut di kaki Sang Buddha menyatak an dirinya sebagai pengikut Sang Buddha untuk seumur hidup. Tidak lama kemudian, ia menjadi bhikkhu dan berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat. Tahun ke-12 Ber-vassa di Veranja atas permohonan seorang Brahmana bernama Veranja. Ketika it u berjangkit kekurangan makanan di tempat tersebut, sehingga Sang Buddha dan rom bongan-Nya harus makan makanan yang disediakan oleh lima ratus orang pedagang ku da. Moggallana menawarkan diri untuk menyediakan makanan yang layak dengan mengg unakan kekuatan gaib, tetapi ditolak oleh Sang Buddha. Tahun ke-13 Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata dan dilayani oleh seorang bhikk hu bernama Meghiya. Melihat sebidang kebun mangga di dekat sungai, Meghiya meras a tertarik sekali dan mohon izin dari Sang Buddha untuk bermeditasi di tempat te rsebut. Sang Buddha minta ia menunggu kedatangan seorang bhikkhu lain, tetapi ka rena terus didesak akhirnya Sang Buddha memberi izin juga. Meghiya pergi bermeditasi sendiri di kebun mangga, tetapi tidak lama kemudian ia dihinggapi oleh pikiran penuh hawa nafsu, kemauan tidak baik dan jahat, sehingg a dengan sangat kecewa ia kembali menemui Sang Buddha. Ketika itu Sang Buddha me mberi ia nasehat seperti berikut: Meghiya, untuk membebaskan pikiran yang belum matang diperlukan lima hal yang be rguna sekali untuk membuat ia matang : 1. Seorang sahabat baik (kalyana mitta). 2. Tingkah laku yang baik dibimbing oleh sila-sila yang penting sebagai latih an. 3. Nasehat yang baik yang menuju kepada pengekangan hawa nafsu, ketenangan, p embebasan, Penerangan Agung, dan Nibbana. 4. Daya upaya untuk menyingkirkan pikiran yang tidak baik dan memperoleh piki ran yang baik. 5. Memperoleh pandangan terang tentang timbul dan lenyapnya kembali benda-ben da. Tahun ke-14 Sang Buddha ber-vassa di Jetavanarama, Savatthi. Di tempat ini Rahula memperoleh upasampada dan menjadi bhikkhu. Menurut Vinaya, seseorang hanya diperkenankan m enjadi bhikkhu apabila telah mencapai usia dua puluh tahun dan Rahula pada waktu itu telah mencapai usia tersebut. Tahun ke-15 Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu dan tahun itu bekas mertuanya, Suppabuddha m eninggal dunia. Dalam keadaan mabuk, Suppabuddha tidak mengizinkan Sang Buddha b erjalan di jalanan Kapilavatthu, sebab ia masih mempunyai perasaan dendam bahwa Sang Buddha telah menyia-nyiakan kehidupan anaknya, Yasodhara. Tahun ke-16 Kejadian penting selama Sang Buddha diam di Alavi di tahun ini adalah penaklukan dari yakkha Alavaka yang menteror kota Alavi. Kisahnya adalah sebagai berikut ( SN.I-10): Ketika itu yakkha Alavaka menghampiri Sang Buddha dan membentak, "Pergilah, oh P ertapa!" Sang Buddha berjalan pergi dan berkata, "Baiklah, sahabat." Yakkha Alavaka kembali membentak, "Masuklah, oh Pertapa." Sang Buddha lalu masuk dan menjawab, "Baiklah, sahabat." Untuk kedua kalinya yakkha Alavaka berkata, "Pergilah, oh Pertapa!" Sang Buddha berjalan pergi dan berkata, "Baiklah, sahabat."

"Masuklah, oh Pertapa!" Sang Buddha masuk sambil menjawab, "Baiklah, sahabat." Untuk ketiga kalinya yakkha Alavaka berkata, "Pergilah, oh Pertapa!" Sang Buddha berjalan pergi sambil berkata, "Baiklah, sahabat." "Masuklah, oh Pertapa!" Sang Buddha masuk kembali sambil berkata, "Baiklah, sahabat." Untuk keempat kalinya yakkha Alavaka berkata, "Pergilah, oh Pertapa!" Sang Buddha menjawab, "Aku tidak akan pergi, engkau boleh berbuat apa yang engka u kehendaki." "Akan kuajukan sebuah pertanyaan, Pertapa. Apabila Anda tidak dapat menjawab per tanyaanku, akan kukacaukan pikiranmu atau kucabut jantungmu atau akan kupegang k akimu dan kulemparkan ke seberang sungai." "Sahabat, Aku tidak melihat suatu makhluk pun di dunia termasuk para Mara, para Brahma atau di dunia ini dari pertapa, para Brahmana, dan para dewa, dan para ma nusia yang sanggup mengacaukan pikiran-Ku atau mencabut jantung-Ku atau memegang kaki-Ku dan melempar Aku ke seberang sungai. Tetapi sahabat, engkau dapat menga jukan pertanyaan apa saja yang engkau kehendaki." Yakkha tersebut kemudian bertanya, "Apakah harta termulia bagi seorang manusia dalam dunia ini? Perbuatan manakah yang membawa kebahagiaan? Apakah yang paling manis dari semua rasa? Cara hidup bagaimanakah yang disebut termulia?" Sang Buddha menjawab, "KEYAKINAN merupakan harta termulia bagi manusia dalam dunia ini. DHAMMA, jika ditaati dengan sungguh-sungguh akan membawa kebahagiaan. KESUNYATAAN adalah yang paling manis dari semua rasa. Hidup dengan diberkahi KEBIJAKSANAAN disebut hidup yang termulia." Yakkha bertanya lagi, "Bagaimanakah orang menyeberangi arus (penjelmaan)? Bagaimanakah orang menyeberangi lautan (tumimbal lahir)? Bagaimanakah orang mengatasi derita? Bagaimanakah orang menyucikan diri?" Sang Buddha menjawab, "Orang menyeberangi arus dengan Keyakinan. Orang menyeberangi lautan dengan Kewaspadaan. Orang mengatasi derita dengan Keuletan. Orang menyucikan dirinya dengan Kebijaksanaan." Yakkha bertanya lagi, "Bagaimanakah orang mencapai Kebijaksanaan? Bagaimanakah orang memperoleh Kekayaan? Bagaimanakah orang memperoleh Kemasyhuran? Bagaimanakah orang mengikat sahabat-sahabat? Setelah meninggalkan alam sini, tiba di alam sana (setelah mati), bagaimanak ah orang tidak usah menyesal?" Sang Buddha menjawab, "Memiliki keyakinan kepada para Arahat dan Dhamma untuk mencapai Nibbana, Dan dengan pengendalian diri orang yang rajin, tekun, dan penuh perhatian me mperoleh Kebijaksanaan. Barang siapa berbuat apa yang benar,

Barang siapa bertekad teguh, sadar, ia memperoleh Kekayaan. Kemasyhuran diperoleh dengan mencintai hal-hal yang benar (sacca). Barang siapa suka memberi akan mengikat Sahabat-sahabat. Orang berkeluarga yang memiliki sifat-sifat: mencintai hal-hal yang benar, p engendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawana n, tidak akan menyesal setelah mati. Ayolah! Tanyakan kepada para pertapa lain dan para Brahmana, Apakah ada watak lain yang lebih agung dari mencintai hal-hal yang benar, pe ngendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawanan ?" Yakkha menjawab, "Mengapa aku harus bertanya kepada para pertapa dan Brahmana lain? Hari ini aku merasa beruntung dapat mengetahui sesuatu untuk kebaikan diriku di kemudian hari . Dengan sesungguhnya aku mengatakan bahwa Sang Buddha datang ke Alavi untuk keunt unganku. Hari ini dapat kuketahui pemberian kepada siapa yang dapat membawa paha la terbesar. Mulai hari ini aku akan berkelana dari desa ke desa, dari kota ke kota untuk men ghormat kepada Yang Maha Suci Buddha dan kepada Dhamma Yang Maha Sempurna." Tahun ke-17 Tahun ini Sang Buddha berada di Savatthi, tetapi mengunjungi Alavi lagi karena m erasa kasihan kepada seorang petani miskin, yang kemudian menjadi seorang Sotapa nna setelah mendengar khotbah Sang Buddha. Juga di tahun ini seorang pelacur terkenal bernama Sirima, kakak dari tabib Jiva ka, meninggal dunia. Sang Buddha menghadiri pemakaman Sirima. Ketika itu Sang Buddha minta kepada Raja untuk mengumumkan siapa diantara yang h adir ingin membeli mayat dari Sirima, sebab ketika hidupnya banyak laki-laki yan g tertarik dan mengagumi Sirima. Ternyata tidak seorang pun yang mau membelinya, bahkan diberi dengan cuma-cuma j uga mereka tidak sudi. Pada kesempatan itulah Sang Buddha memberikan penerangan kepada khalayak ramai dengan mengucapkan syair seperti berikut : "Lihatlah lukisan ini yang berupa khayalan, Badan yang penuh dengan luka, dirangkai menjadi satu, Tempat tumpukan penyakit, tempat timbunan pikiran, Dimana tak terdapat kekekalan dan kelanggengan." (Dhammapada, 147) Sang Buddha kemudian ber-vassa di Veluvanarama, Rajagaha. Tahun ke-18 Di tahun ini Sang Buddha kembali mengunjungi Alavi untuk kepentingan anak peremp uan seorang penenun. Tiga tahun yang lampau gadis ini mendengar khotbah Sang Bud dha tentang pentingnya bermeditasi terhadap kematian. Dalam pertemuan tersebut, Sang Buddha mengajukan pertanyaan kepada gadis tersebut dan semua pertanyaan dap at dijawabnya dengan baik. Jawabannya mengandung arti filsafat tinggi, sehingga para hadirin yang lain, yang tidak memperhatikan khotbah Sang Buddha dengan baik , tidak dapat mengerti jawaban gadis tersebut. Waktu itu Sang Buddha memujinya d engan mengucapkan syair seperti berikut: "Dunia ini diselubungi kegelapan, Hanya sedikit saja yang dapat melihatnya dengan terang, Seperti juga burung yang ingin melepaskan diri dari jaring, Hanya sedikit saja yang pergi ke alam bahagia." (Dhammapada, 174) Ketika Sang Buddha mendengar bahwa gadis itu sakit keras maka dengan melakukan p erjalanan sejauh tiga puluh "league" (1 league = 4.800 atau 5.564 m), Sang Buddh

a berkunjung ke rumahnya dan masih sempat memberikan uraian Dhamma, sehingga wak tu meninggal dunia, gadis itu mencapai Sotapatti phala. Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata. Tahun ke-19 Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata. Tahun ke-20 Di tahun ini Ananda ditunjuk sebagai pembantu tetap Sang Buddha dan selama dua p uluh lima tahun Ananda menjadi pembantu tetap, yaitu sampai saat Sang Buddha man gkat di Kusinara. Di tahun ini pula Sang Buddha menaklukkan seorang penyamun ganas bernama Angulim ala. Kisahnya adalah sebagai berikut : Angulimala adalah anak seorang penasehat raja negara Kosala. Ayahnya bernama Bha ggava dan ibunya Mantani. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Hari ia dilahirkan, semu a senjata di seluruh negeri, termasuk yang ada di istana, mengeluarkan cahaya ge merlapan. Raja menjadi takut sekali dan keesokan harinya memanggil penasehatnya untuk ditanyakan tentang sebab mengapa semua senjata mengeluarkan cahaya. Bhaggava menjawab, "Istriku baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, Baginda ." Raja Kosala bertanya, "Tetapi, mengapa senjata-senjata itu lalu mengeluarkan cah aya gemerlapan?" "Baginda, anakku itu kelak akan menjadi seorang penyamun, seorang penyamun yang luar biasa." Kembali Raja bertanya, "Apakah ia akan merampok seorang diri atau dengan berkawa n?" Bhaggava menjawab, "Ia akan bekerja seorang diri, Baginda." Raja kemudian berkata, "Kalau begitu, kenapa kita tidak sekarang saja membunuhny a?" Bhaggava menjawab, "Karena ia akan bekerja seorang diri, maka kita dengan mudah dapat menangkapnya." Ketika Ahimsaka mencapai umur untuk bersekolah, maka ayahnya mengirirn Ahimsaka ke sebuah sekolah di Takkasila. Ahimsaka merupakan murid yang terkuat, terpintar dan juga yang terpatuh dari semua murid di sekolah tersebut. Karma itu anak-anak yang lain rnerasa iri hati kepada Ahimsaka. Mereka sedikit demi sedikit menghasut guru mereka, sehingga akhirnya guru terseb ut juga membenci Ahimsaka. Setelah selesai belajar di sekolah tersebut, gurunya memanggil Ahimsaka dan berk ata, "Sekarang engkau sudah tamat belajar di sekolah ini, tetapi sebelum engkau pulang, terlebih dulu engkau harus membayar uang sekolah kepadaku." "Berapakah yang harus kubayar, Guru?" "Engkau tidak usah membayar dengan uang. Cukup, jika engkau memberiku seribu bua h jari tangan kanan manusia." jawab gurunya. Meskipun hal ini sangat sulit sekali, namun sebagai murid yang sangat patuh, Ahi msaka berjanji kepada gurunya untuk melaksanakan apa yang diminta oleh gurunya. Sebelum pergi gurunya kembali berpesan, "Ingat, jangan membawa dua buah jari tan gan dari orang yang sama." Sampai hari itu Ahimsaka belum pernah menyakiti orang lain dan karena itu ia tid ak tahu bagaimana harus memotong jari orang. Karena ingin mematuhi perintah guru nya, maka Ahimsaka membawa pedangnya dan pergi ke hutan Jalini di negara Kosala. Di hutan ia mencegat para pelancong yang lewat, membunuhnya dan mengambil jari tangan kanannya. Sesudah itu ia membuat kalung dari jari-jari tersebut dan mengg antung kalung itu di lehernya Karena kalung dari jari-jari tersebut, ia kemudian mendapat nama baru sebagai Angulimala (Anguli = jari, mala = kalung). Sekarang Angulimala menjadi seorang pembunuh kejam yang ditakuti. Kalau ingin me lewati hutan Jalini, para pedagang atau pelancong jalan berkelompok, berdua, ber empat, bersepuluh, berdua puluh, dan bertiga puluh. Tetapi, begitu mereka menden gar "Aku Angulimila, jangan lari!" Mereka menggigil dan gemetaran dan tidak dapa t melarikan diri lagi. Dengan mudah Angulimala membunuh orang-orang tersebut dan memotong jari tangan kanannya. Karena itu tidak ada lagi orang yang berani lewa

t hutan tersebut. Angulimala kemudian memindahkan tempat kerjanya dan di tempat yang baru ia kemba li mencegat dan membunuh orang yang lewat. Karena itu, Raja Kosala mempersiapkan tentara yang untuk menangkap Angulimala. I bunya, Manyani, mendengar tentang persiapan yang dilakukan Raja Kosala. Ia berka ta kepada suaminya, "Anak kita yang tercinta sekarang telah menjadi seorang pemb unuh. Sekarang Raja sedang membuat persiapan untuk menangkap dan membunuhnya. Ap akah kamu tidak dapat pergi menemui anak kita dan membujuknya supaya berhenti me mbunuh?" "Istriku tercinta, anak itu sekarang sudah terlalu ganas. Ia mungkin sudah berub ah seluruhnya dan kalau aku pergi menemuinya, mungkin aku pun akan dibunuhnya. A ku tidak mau mati percuma." Tetapi ibunya adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya dan mempunyai hat i yang baik. Apalagi ia mencintai anaknya lebih dari dirinya sendiri. Ia pikir, "Aku harus pergi seorang diri ke hutan untuk menyelamatkan anakku." Kemudian ia berjalan pergi ke hutan dengan membawa bekal makanan seperlunya. Ketika itu Angulimila sudah membunuh 999 orang. Berbulan-bulan lamanya ia berada di hutan tanpa memperoleh cukup makan, tidur, mandi, dan pakaian yang bersih. B adannya sudah berbau busuk. Ia benci sekali dengan hidup seperti itu. Tetapi bag aimanapun juga, ia masih harus membunuh seorang lagi untuk memenuhi permintaan g urunya berupa seribu buah jari tangan kanan manusia. Ia berpikir, "Sekarang, meskipun ibuku sendiri yang datang, aku akan membunuhnya , memotong jari tangannya untuk mencukupi jumlah seribu yang diminta guruku." Pagi hari itu, sebagaimana biasa, Sang Buddha melihat ke seluruh penjuru dunia u ntuk mencari orang yang mungkin dapat ditolong-Nya dalam bidang kerohanian. Keti ka itu Sang Buddha melihat Angulimala, yang meskipun sudah jemu dengan perbuatan membunuh dan ingin kembali menjadi orang yang baik, masih kekurangan satu orang lagi yang akan dijadikan korban. Dan korban yang terakhir ini justru adalah ibu nya sendiri. Karena merasa kasihan, Sang Buddha lalu bertekad untuk menolong Angulimala, ibun ya dan juga khalayak ramai. Karena itu, dengan membawa mangkuk-Nya Sang Buddha b erjalan menuju ke hutan tempat Angulimala bersembunyi menunggu mangsanya yang te rakhir. Penduduk desa yang melihat Sang Buddha berjalan menuju hutan, berusaha mencegahNya dengan mengatakan, "Bhikkhu, sebaiknya Anda jangan pergi ke hutan itu. Di sana bersembunyi seorang penyamun yang bernama Angulimala. Ia telah membunuh ratusan orang. Ia adalah ora ng yang kejam, buas, dan jahat. Ia juga pasti akan membunuh Anda. Banyak orang y ang sudah meninggalkan rumah dan desanya, sedangkan kami sendiri hari ini juga a kan meninggalkan tempat ini, sebab siapa tahu mungkin saja hari ini ia akan data ng ke tempat ini. Karena itu, sebaiknya Anda jangan berjalan terus. Kembalilah s ekarang juga ke tempat darimana Anda datang." Mereka menasehati Sang Buddha sampai tiga kali. Tetapi Sang Buddha hanya terseny um, mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan-Nya memasuki hutan. Ketika itu ibu Angulimala sudah terlebih dulu memasuki hutan. Angulimala melihat ibunya datang dan berpikir, "Alangkah kasihannya wanita ini. Ia datang seorang diri. Aku memang kasihan kepadanya, tetapi apa yang dapat aku lakukan? Aku harus memegang janjiku dan membunuhnya." Ia menghunus pedangnya dan berlari mendekati ibunya. Tiba-tiba Sang Buddha berdi ri di antara Angulimala dan ibunya. Angulimala berpikir, "Baik juga pertapa ini berdiri di depan ibuku. Dengan demikian aku tidak usah membunuh ibuku. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi membunuh pertapa ini dan memotong jari tangannya." Dengan pedang terhunus, ia berlari mendekati Sang Buddha. Sang Buddha berjalan s aja dengan tenang. Angulimala berlari-lari untuk menyergap dan membunuh Sang Bud dha, tetapi meskipun badannya penuh dengan keringat ia tetap tak dapat menyentuh badan Sang Buddha yang sedang berjalan dengan tenang. Angulimala kemudian menja di letih, sehingga semua sendi-sendinya merasa sakit sekali dan tidak kuat lagi untuk berlari. Ia berpikir, "Tidak pernah aku seletih ini, meskipun dulu aku ber lari-lari menangkap gajah, kuda, kereta perang, rusa atau binatang lainnya. Teta pi sekarang, sungguh mengherankan. Aneh sekali aku tak dapat mengejar pertapa in

i." Kemudian ia berteriak, "Hai berhenti, berhenti Bhikkhu!" Sang Buddha menjawab, "Aku berhenti, Angulimala! Tetapi, apakah engkau sendiri b erhenti?" Angulimala tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha dan berpikir, "Seor ang bhikkhu tidak boleh bohong. Bhikkhu ini, meskipun berjalan lebih cepat dari aku, mengatakan bahwa ia berhenti. Aku sekarang memang sangat letih. Tentu ada m aksud tertentu dalam ucapan tersebut." Kemudian ia bertanya kepada Sang Buddha, "Bagaimana Anda mengatakan berhenti, pa dahal Anda berlari lebih cepat dari aku?" Sang Buddha mengucapkan syair seperti di bawah ini : "Sebagaimana biasa, Angulimala, Aku berhenti, Karena Aku berbelas kasih terhadap semua makhluk hidup, Tetapi kamu tidak mempunyai betas kasih terhadap makhluk hidup, Karena itu Aku berhenti dan kamu tidak berhenti." Angulimala rupanya sangat terkesan dengan syair yang diucapkan Sang Buddha. Ia m embuang pedangnya dan berlutut di hadapan Sang Buddha. Sang Buddha memberi berkah dan kemudian mengajaknya pergi ke vihara. Di vihara i a ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ibu Angulimala yang menyaksikan seluruh peristiwa ini dari dekat, merasa kagum sekali kepada Sang Buddha, yang dalam waktu demiki an singkat dapat menaklukkan Angulimala dan mengubahnya menjadi orang baik. Raja Kosala, sebelum memasuki hutan untuk menangkap Angulimala, terlebih dulu da tang mengunjungi Sang Buddha untuk mohon restu Beliau. Ia datang berkunjung deng an membawa lima ratus orang prajurit berkuda. Sang Buddha bertanya, "Oh, Baginda Yang Agung, apakah Baginda mendapat kesukaran ? Apakah Raja Bimbisara menyatakan perang kepada Anda atau Pangeran dari Licchav i atau mungkin dari kerajaan lain?" "Bukan, Yang Mulia. Ada seorang penyamun yang ganas sekali di kerajaanku. Namany a Angulimala. Aku hendak menangkapnya." jawab Raja Kosala. Sang Buddha lalu berkata, "Oh, Baginda Yang Agung. Umpamanya Baginda melihat Ang ulimala sekarang sudah bercukur gundul, memakai jubah kuning, meninggalkan kehid upan sebagai seorang penyamun dan berhenti membunuh, apakah yang Baginda akan la kukan?" Raja Kosala menjawab, "Kalau demikian halnya, aku akan berlutut di hadapannya." Kemudian Sang Buddha memanggil Angulimala untuk keluar. Ketika Angulimala memasu ki ruangan, semua prajurit Raja melarikan diri. Tetapi dicegah oleh Sang Buddha. Setelah itu Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma. Suatu hari ketika sedang mengumpulkan makanan, Angulimala diserang oleh orang-or ang yang sedang berkelahi. Sang Buddha kemudian memberitahukan Angulimala agar j angan mempunyai rasa dendam dan harus menganggap kejadian ini sebagai hukuman at as kejahatan yang pernah ia lakukan. Setelah berlatih dengan tekun, Angulimala k emudian mencapai tingkat Arahat. Dikisahkan sewaktu Angulimala sudah mencapai ti ngkat Arahat, ia mendengar seorang wanita sedang merintih-rintih kesakitan waktu hendak bersalin. Hal ini menggugah hatinya, sehingga ia berkeinginan menolong w anita tersebut. Sewaktu ia menceritakan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha da n menanyakan cara untuk menolong penderitaan wanita tersebut, Sang Buddha member inya petunjuk untuk memberi wanita itu air, setelah terlebih dulu dibacakan kali mat-kalimat: "Yatoham bhagini ariyaya Jatiya jato Nabhijanami sacicca Panam jivita voropeta Tena saccena sotthi te Hotu sotthi gabbhassa." Yang berarti:

"Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya Aku tidak ingat dengan sengaja Membunuh suatu makhluk hidup Dengan pernyataan yang benar ini, semoga Anda Dan bayi dalam kandungan selamat." Dan benar saja, setelah diberi air tersebut, wanita itu segera bersalin dengan s elamat. Sampai hari ini kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai Angulimala-sutt a dan dipakai untuk membuat air guna memudahkan persalinan. Penaklukan Angulimala sering kali dicatat sebagai satu dari sekian banyak perbua tan Sang Buddha yang menolong manusia karena rasa belas kasih yang sangat besar terhadap umat manusia. Kisah ini pun dapat dipakai sebagai contoh untuk membuktikan bahwa kamma (perbua tan) baik yang orang lakukan dapat memusnahkan kamma buruk yang pernah ia lakuka n. Demikianlah kisah mengenai Angulimala. Tahun itu Sang Buddha ber-vassa di Veluvanarama, Rajagaha. Tahun ke-21 sampai dengan tahun ke-44 Selama tahun-tahun tersebut di atas, tidak dapat dipastikan secara berurutan, te mpat-tempat mana yang telah dikunjungi oleh Sang Buddha dan dimana Sang Buddha b er-vassa. Tetapi dapat diketahui bahwa delapan belas vassa dijalankan di Jetavanarama dan lima vassa di Pubbarama, Savatthi, sedangkan vassa ke-44 dijalankan di Beluva, s ebuah desa kecil yang mungkin terletak di dekat Vesali. Satu hal pasti yang dapat ditemukan dalam sutta-sutta ialah tentang mangkatnya R aja Bimbisara, delapan tahun sebelum Sang Buddha sendiri mencapai Parinibbana. K etika itulah Devadatta dengan paksa ingin mengambil alih pimpinan Sangha dari Sa ng Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut : Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddho dana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah deng an Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha. Devadatta ditahbiskan menjadi bhikkhu bersama-sama dengan Ananda, Bhagu, Kimbila , Bhaddiya, Anuruddha dan Upali di Anupiya, sewaktu Sang Buddha dalam perjalanan dari Kapilavatthu menuju ke Rajagaha, pada tahun ketiga setelah memperoleh Pene rangan Agung. Pada vassa berikutnya, Devadatta berhasil memperoleh Puthujjanika-iddhi, yaitu k ekuatan gaib tertinggi yang dapat dicapai oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian. Untuk beberapa waktu lamanya, Devadatta mendapat tempat terhormat dal am Sangha, bahkan Sang Buddha sendiri pernah memujinya sebagai orang yang mempun yai kekuatan gaib yang tinggi. Tetapi di kemudian hari, Devadatta mempunyai maks ud yang tidak baik terhadap Sang Buddha karena ia merasa iri atas kemasyhuran Sa ng Buddha. Pertama ia mencoba untuk mempengaruhi Pangeran Ajatasattu. Ia bersalin rupa menj adi anak kecil dengan memakai kalung dari beberapa ekor ular. Tiba-tiba ia jatuh di atas pangkuan Ajatasattu, sehingga membuat Ajatasattu ketakutan. Kemudian an ak kecil itu lenyap dan Devadatta berdiri di depan Ajatasattu. Peristiwa tersebu t memberi kesan yang dalam sekali di hati Ajatasattu, sehingga Beliau sangat men ghormat pada Devadatta. Tiap pagi dan petang hari, Ajatasattu mengunjungi Devadatta dengan diiringi lima ratus kereta, di samping memberikan lima ratus piring makanan setiap hari. Keja dian ini menggembirakan sekali hati Devadatta, sehingga timbul niat jahatnya unt uk mengambil alih kedudukan Sang Buddha sebagai Ketua Sangha. Seorang murid Moggallana, yang bertumimbal lahir sebagai Manomayakayikadeva, men getahui niat jahat Devadatta tersebut dan memberitahukan kepada Moggallana. Mogg allana menceritakan hal tersebut kepada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa persoalan itu tidak perlu dibicarakan sekarang, karena kelak sebelum wakt unya, Devadatta akan membocorkannya sendiri. Tidak lama kemudian, di hadapan pertemuan para bhikkhu, Devadatta mohon kepada S ang Buddha agar Sang Buddha menunjuknya sebagai Ketua Sangha, berhubung Sang Bud dha sekarang sudah lanjut usianya. Atas permohonan itu Sang Buddha menjawab, "Ak

u tidak akan mengalihkan Pimpinan Sangha kepada Sariputta atau Moggallana, maka mustahil Aku akan mengalihkannya kepada engkau, seorang yang hina-dina." Devadat ta merasa tersinggung sekali dikatakan sebagai orang yang hina-dina. Pada waktu itulah Ajatasattu dihasut oleh Devadatta untuk membunuh ayahnya, seda ngkan ia sendiri akan membunuh Sang Buddha. Ajatasattu menyetujui dan memerintahkan beberapa orang pemanah istana untuk memb antu Devadatta membunuh Sang Buddha. Para pemanah istana tersebut ditempatkan di berbagai tempat dan diatur sedemikan rupa, sehingga akhirnya tidak ada seorang pun yang masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, saat Sang Buddha mendekati pemanah pertama yang harus membunuhnya, peman ah tersebut demikian terpesona dengan keagungan Sang Buddha, sehingga seluruh ba dannya menjadi kaku. Sang Buddha menegurnya dengan kata-kata yang ramah-tamah, s ehingga pemanah tersebut membuang panahnya dan mengaku kepada Sang Buddha, apa y ang sebenarnya menjadi tugasnya. Sang Buddha memberikan uraian Dhamma kepada orang tersebut dan kemudian menyuruh nya pulang dengan mengambil jalan tertentu. Kawan-kawannya yang letih menunggu, kemudian satu per satu meninggalkan tempat penjagaannya. Mereka semua datang ke tempat Sang Buddha, karena tertarik oleh kekuatan gaib da ri Sang Buddha. Sewaktu mereka sudah berkumpul, Sang Buddha lalu memberikan urai an Dhamma kepada para pemanah tersebut. Pemanah yang pertama pergi melapor kepad a Devadatta dan mengatakan bahwa ia tidak sanggup membunuh Sang Buddha, karena S ang Buddha mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa tingginya. Devadatta lalu mengambil keputusan untuk membunuh sendiri Sang Buddha. Suatu har i, sewaktu Sang Buddha sedang berjalan di lereng Gunung Gijjhakuta, ia mendorong sebuah batu besar yang dimaksudkan untuk menimpa mati Sang Buddha. Tiba-tiba du a tonggak besar muncul dari dalam tanah untuk menahan jatuhnya batu tersebut. Meskipun demikian, pecahan batu tersebut masih dapat melukai kaki Sang Buddha. S ang Buddha kemudian diusung ke Ambavana, yaitu tempat tabib Jivaka untuk mendapa t pengobatan seperlunya. Setelah kejadian ini, siang dan malam para murid-Nya me njaga tempat tinggal Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa hal terse but tidak perlu, berhubung tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu membunu h seorang Buddha. Setelah usahanya kembali gagal, Devadatta lalu membujuk seorang pawang gajah unt uk melepaskan seekor gajah (yang terlebih dulu dibuat mabuk dengan memberinya mi numan arak) di jalan yang akan dilalui Sang Buddha. Gajah itu besar dan buas dan terkenal dengan nama Nalagiri. Dengan cepat berita ini tersiar dan Sang Buddha pun diberi tahu. Namun Sang Budd ha menolak untuk membatalkan perjalanan-Nya. Sewaktu gajah mabuk tersebut dilepa s dan memburu ke arah Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan dirinya antara Sang Buddha dan gajah dengan maksud untuk melindungi dan menjadi tameng d ari Guru Junjungannya, meskipun terlebih dulu telah dipesan dan diperingati deng an keras oleh Sang Buddha untuk tidak berbuat apa-apa. Hanya dengan menggunakan "iddhi", yaitu dengan membuat bumi mengerut, Sang Buddha berhasil berada di depa n Ananda dan dengan pancaran cinta kasih dapat menjinakkan kembali gajah tersebu t. Setelah ketiga usahanya gagal semua, Devadatta kemudian berusaha untuk memecah b elah Sangha. Ia minta kepada Sang Buddha untuk menyetujui bahwa semua bhikkhu ha rus mentaati peraturan seperti di bawah ini: 1. Semua bhikkhu harus tinggal di hutan. 2. Semua bhikkhu tidak boleh menerima undangan makan di rumah umat, tetapi me reka hanya boleh makan makanan yang diperoleh dengan jalan minta-minta. 3. Semua bhikkhu harus memakai jubah dari kain bekas pembungkus mayat dan tid ak boleh menerima persembahan jubah dari umat. 4. Di hutan, semua bhikkhu harus tidur di bawah pohon dan tidak boleh tidur d i dalam rumah. 5. Semua bhikkhu dilarang keras makan daging dan ikan. Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu yang ingin mengikuti peraturan tersebut boleh melakukannya, kecuali "tidur di bawah pohon" selama musim hujan. Tetapi Be

liau menolak untuk membuat peraturan ini berlaku bagi semua bhikkhu. Penolakan ini membuat Devadatta gembira karena sekarang ia mempunyai alasan untu k menyebarluaskan berita bahwa Sang Buddha dan murid-murid-Nya masih terlalu ter ikat kepada kemewahan dan kehidupan yang serba cukup. Meskipun sudah diperingati oleh Sang Buddha tentang akibat yang menyedihkan untuk orang yang memecah belah Sangha, namun Devadatta memberitahukan Ananda bahwa ia akan mengadakan pertemua n uposatha tersendiri tanpa dihadiri oleh Sang Buddha. Devadatta berhasil membuj uk lima ratus orang bhikkhu yang baru ditahbiskan untuk menyertainya pergi ke Ga yasisa. Diantaranya terdapat bhikkhuni Thullananda yang terus-menerus memuji Devadatta d an seorang dari suku Sakya bernama Dandapani. Sang Buddha kemudian memerintahkan Sariputta dan Moggallana pergi ke Gayasisa un tuk bicara dengan para bhikkhu yang terkena bujukan. Ketika Sariputta dan Moggallana tiba di Gayasisa, mereka diterima dengan gembira oleh Devadatta, sebab Devadatta mengira bahwa Sariputta dan Moggallana berdua j uga ingin bergabung dengannya. Malam itu Devadatta berkhotbah sampai larut malam. Waktu merasa sudah letih seka li, Devadatta minta Sariputta untuk meneruskan khotbahnya, sedangkan ia sendiri pergi tidur. Sariputta berkhotbah di depan para bhikkhu dan menerangkan bahwa De vadatta sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Sang Buddha. Pada akhir khotbahnya, lima ratus orang bhikkhu tersebut bersedia kembali kepada Sang Buddha dan meninggalkan Devadatta bersama-sama Sariputta dan Moggallana. Pengik ut Devadatta yang setia, Kokalika, membangunkan Devadatta dari tidurnya dan menc eritakan apa yang telah terjadi. Mendengar berita tersebut, Devadatta muntah darah dan kemudian sakit keras selam a sembilan bulan. Sewaktu Devadatta mengetahui bahwa ia tidak lama lagi dapat hidup di dunia ini, ia minta murid-muridnya membawa ia menghadap Sang Buddha. Ketika berita ini disampaikan kepada Sang Buddha, Beliau mengatakan bahwa hal it u tidaklah mungkin dalam kehidupan ini. Devadatta dibawa dengan sebuah usungan. Waktu tiba di dekat Jetavanna, ia minta rombongannya berhenti sebentar karena ia ingin membersihkan badan terlebih dulu di sebuah telaga yang terdapat di pinggir jalan. Sewaktu turun dari usungan dan kakinya menyentuh tanah, tanah itu membuka dan ia terjerumus masuk ke dalam tanah. Ketika ia hampir hilang masuk ke dalam tanah, ia masih sempat menyatakan bahwa ia hanya mencari perlindungan kepada Sang Buddh a. Ia masuk ke neraka Avici dan akan berada di alam tersebut selama seratus ribu ka ppa untuk kemudian lahir kembali ke dunia dan menjadi seorang Pacceka Buddha. Tahun ke-45 Di tahun ini Sang Buddha mangkat dan mencapai Parinibbana di Kusinara pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak (Mei) sebelum waktu ber-vassa.

BAB V HARI-HARI TERAKHIR Maha Parinibbana Suttanta (D.II-16) CULLAVAGGA XI (Vin. II; B.D.V) Ayasma Maha Kassapa bercerita kepada para bhikkhu : "Pada suatu waktu aku bersama-sama dengan kira-kira lima ratus bhikkhu sedang be rada dalam perjalanan dari Pava menuju Kusinara. Kemudian aku berhenti di pinggi r jalan dan mencari tempat duduk di bawah pohon yang rindang." Pada waktu itu lewat di depanku seorang pertapa "tak berpakaian" dengan membawa bunga Pohon Karang, yaitu semacam bunga yang hanya dapat ditemukan, bila terjadi

peristiwa penting. Lalu aku menyapa pertapa tersebut, "Apakah Anda kenal Guru k ami?" Ia menjawab, "Benar, aku mengenal Guru Anda, tetapi Beliau telah mangkat s eminggu yang lalu. Oleh karena itulah aku dapat memperoleh bunga Mandarava (Poho n Karang) ini." Mendengar berita tersebut, maka para bhikkhu yang masih belum terbebas dari hawa nafsu, mengangkat tangan mereka dan menangis tersedu-sedu; beberapa orang lagi berguling-gulingan di atas tanah dan menangis sambil meratap, "Terlalu cepat San g Bhagava memasuki parinibbana! Terlalu cepat Yang Terbahagia memasuki parinibba na! Terlalu cepat Sang Mata Dunia lenyap dari pandangan kami!" Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat, merenung, "Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-u nsur adalah tidak kekal. Mana mungkin hal ini tak akan terjadi?" Tetapi aku berkata, "Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Bukank ah sejak semula Sang Bhagava menerangkan bahwa segala sesuatu yang disenangi dan dicintai suatu ketika pasti akan berubah dan akan berpisah darimu? Apa yang tim bul karena suatu sebab, menjadi seorang makhluk, terdiri dari paduan unsur-unsur dan dikodratkan akan lapuk, bagaimana engkau masih menginginkan, 'Semoga itu ta k akan berubah dan hancur kembali!" Pada waktu itu hadir pula seorang bhikkhu bernama Subhadda, yang telah ditahbisk an pada usia lanjut. Subhadda kemudian turut bicara, "Cukup, Avuso, janganlah be rsedih, janganlah meratap! Sekarang kita telah terbebas dari Pertapa Tua itu. Su dah terlalu lama, Avuso, kita telah dikekang oleh Beliau dengan mengatakan, 'Ini boleh kamu lakukan, itu tidak boleh kamu lakukan!' Sekarang kita dapat berbuat sesuka hati kita dan kita tidak usah melakukan hal-hal yang kita tidak senangi." Lalu aku berkata, "Mari, Avuso, kita akan membacakan Dhamma dan Vinaya, sebelum apa yang "bukan Dhamma" mendapat angin dan berkembang, dan Dhamma akan terdesak; sebelum apa yang "bukan Vinaya" mendapat angin dan berkembang, dan Vinaya akan terdesak; sebelum mereka yang berbicara tentang yang "bukan Dhamma" menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dhamma menjadi lemah; sebelum mereka yang ber bicara tentang yang "bukan Vinaya" menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentan g Vinaya menjadi lemah." Kemudian dijawab, "Kalau demikian halnya, harap Bhante memilih bhikkhu-bhikkhu y ang akan membacakannya." Kemudian Ayasma Maha Kassapa memilih 499 orang bhikkhu, yang semuanya telah menc apai tingkat Arahat. Setelah itu seorang bhikkhu berkata, "Bhante, meskipun Bhikkhu Ananda masih seor ang siswa, tetapi ia sudah tidak mungkin lagi melakukan hal-hal yang salah karen a dorongan keinginan rendah, kebencian, nafsu-nafsu yang menggelapkan batin dan ketakutan. Selain itu Bhikkhu Ananda memahami Dhamma dan Vinaya dengan seksama d i bawah asuhan langsung Sang Bhagava. Karena itu aku mengusulkan agar Bhikkhu An anda pun diikutsertakan." Dengan demikian Bhikkhu Ananda pun terpilih. Setelah itu timbul pertanyaan, "Di manakah akan diadakan pembacaan Dhamma dan Vi naya?" Kemudian diusulkan oleh beberapa orang bhikkhu "Di Rajagaha terdapat banyak umat yang bersedia memberikan makanan dan tempat penginapan pun jumlahnya berlebih-l ebihan. Bagaimana kalau waktu bervassa di Rajagaha kita membacakan Dhamma dan Vi naya, dan bhikkhu-bhikkhu lain selama vassa (musim hujan), tidak diperkenankan u ntuk berada di Rajagaha?" Ayasma Maha Kassapa lalu berkata kepada Sangha, "Para Bhante yang terhormat, har ap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik m aka Sangha dapat memberi persetujuan agar kelima ratus bhikkhu ini membacakan Dh amma dan Vinaya pada waktu mereka bervassa di Rajagaha. Dan selama vassa itu jan gan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Inilah usulku. Para Bhante yang terhormat, Sangha sedang mempertimbangkan untuk menyetujui kelima ratus bhikkhu ini membicarakan Dhamma dan Vinaya sewaktu merek a bervassa di Rajagaha. Kalau sekiranya Sangha menyetujui, pada waktu kelima rat us bhikkhu tersebut membacakan Dhamma dan Vinaya di Rajagaha agar jangan ada bhi kkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Kalau Sangha menyetujuinya, maka aku harap Sangha diam dan kepada mereka yang berkeberatan aku persilakan untuk bicara. Kelima ratus bhikkhu tersebut, oleh Sangha telah disetujui untuk membacakan Dham

ma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha dan juga telah disetujui agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha, karena tidak ada yang bicara. Begitulah apa yang kumengerti." Kemudian kelima ratus bhikkhu tersebut berangkat menuju Rajagaha untuk membacaka n Dhamma dan Vinaya. Setibanya di Rajagaha mereka melihat banyak kayu-kayu yang patah serta lapuk di tempat mereka menginap. Mereka berpikir, "Memperbaiki bagian-bagian bangunan yan g patah serta lapuk dipujikan oleh Sang Bhagava. Mari, selama bulan pertama kita akan memperbaiki bagian-bagian yang patah serta lapuk dan kemudian baru membaca kan Dhamma dan Vinaya. Kemudian di bulan pertama mereka sibuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan mengganti kayu-kayu yang patah serta lapuk dengan yang baik. Besok akan dimulai pembacaan Dhamma dan Vinaya. Bhikkhu Ananda sedang merenung, "Besok kita akan berkumpul. Sebenarnya, sebagai seorang siswa, aku tidak layak menghadiri pertemuan itu." Setelah itu Bhikkhu An anda giat melatih meditasi dengan obyek badan jasmaninya sampai larut malam. Dan setelah merasa amat letih, Bhikkhu Ananda ingin membaringkan dirinya di atas ka sur. Ia lalu memiringkan tubuhnya, tetapi sebelum kepalanya menyentuh kasur dan kakinya sudah terangkat dari tanah, pada saat itu dengan tiba-tiba batinnya tela h bersih dari kekotoran batin dan Bhikkhu Ananda mencapai tingkat Arahat. Kemudi an pertemuan dibuka oleh Ayasma Maha Kassapa, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, ak u akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Upali mengenai Vina ya." Lalu dijawab oleh Bhikkhu Upali, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mende ngarkan apa yang akan ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassap a." Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya, "Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?" "Di Vesali, Bhante." "Mengenai siapa?" "Mengenai Bhikkhu Sudinna dari Desa Kalandaka." "Tentang persoalan apa?" "Tentang hubungan kelamin." Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan te ntang orang-orangnya yang terlibat; selanjutnya ditanyakan tentang apa yang dite tapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang d ianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. "Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang kedua?" "Di Rajagaha, Bhante." "Mengenai siapa?" "Mengenai Bhikkhu Dhaniya, anak seorang pembuat jambangan tanah." "Tentang persoalan apa?" "Tentang mengambil sesuatu yang tidak diberikan." Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan te ntang orang-orangnya yang terlibat, ... "Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang ketiga?" "Di Vesali, Bhante." "Mengenai siapa?" "Mengenai beberapa bhikkhu." "Tentang persoalan apa?" "Tentang manusia."

Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dam te ntang orang-orangnya yang terlibat,... "Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang keempat?" "Di Vesali, Bhante." "Mengenai siapa?" "Mengenai bhikkhu-bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda." "Tentang persoalan apa?" "Tentang mereka yang menggunakan tipu muslihat dengan mengaku mencapai tingkat k esucian atau memiliki kekuatan-kekuatan gaib." Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan te ntang orang-orangnya yang terlibat, selanjutnya ditanyakan tentang apa yang dite tapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang d ianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. Setelah itu ditanyakan tentang peraturan-peraturan yang lain baik yang berlaku u ntuk para bhikkhu maupun yang berlaku untuk para bhikkhuni. Semua pertanyaan dij awab oleh Bhikkhu Upali dengan terang dan jelas. Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan m ulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai Dhamma." Lalu dijawab oleh Bhikkhu Ananda, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mend engarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menja wab pertanyaan-pertanyaan mengenai Dhamma yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Ka ssapa." Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya, "Bhikkhu Ananda, di manakah Brahmajala-sutta disabdakan?" "Bhante, di tempat peristirahatan Raja di Ambalatthika antara Rajagaha dan Nalan da." "Dengan siapa?" "Dengan pertapa Suppiya dan seorang Brahmin muda bernama Brahmadatta." "Mengenai persoalan apa?" "Mengenai apa yang terpuji dan apa yang tidak terpuji." Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangny a. "Dan di manakah Samaaphala-sutta disabdakan, Bhikkhu Ananda?" "Di Rajagaha, Bhante, di taman mangga Jivaka." "Dengan siapa?" "Dengan Ajatasattu, putra dari Videhi." Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangny a. Setelah itu Bhikkhu Ananda ditanya tentang lima Nikaya yang semuanya dijawab den gan terang dan jelas. Kemudian Bhikkhu Ananda memberitahukan para hadirin, "Para Bhante yang terhormat , pada waktu Sang Bhagava hendak mencapai parinibbana, Beliau telah meninggalkan pesan, "Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sangha, maka peratu ran-peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan." "Tetapi apakah ditanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peratura n-peraturan yang kecil dan kurang penting?" "Tidak, Bhante, aku tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan peraturan-peratura n yang kecil dan kurang penting." Ada hadirin yang mengatakan, "Selain 4 (empat) peraturan Parajika, semua yang lain termasuk peraturan-peratur an kecil dan kurang penting." Ada pula yang mengatakan, "Selain 4 peraturan Parajika dan 13 peraturan Sanghadisesa, semua peraturan yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting." Ada lagi yang mengatakan,

"Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa dan 2 peraturan Aniyata, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting." Ada pula yang mengatakan, "Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa, 2 peraturan Aniyata dan 30 peraturan Nissagiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan ku rang penting." Ada lagi yang mengatakan, "Selain 4 peraturan Parajika ..dan 92 peraturan Pacittiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting." Ada juga yang mengatakan, "Selain 4 peraturan Parajika .....dan 4 peraturan Patidesaniya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting." Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku katakan . Tata tertib para bhikkhu ada juga yang berhubungan dengan umat dan umat pun me ngetahui mengenai hal tersebut. Mereka tahu bahwa ini "diperbolehkan" dan itu pasti "tidak diperbolehkan" untuk para pertapa, putra-putra Sakya. Kalau kita menghapuskan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting, mungkin di antara mereka ada yang berkata, "Pada waktu Buddha Gotama masih hidup, Beliau te lah menetapkan tata tertib untuk murid-murid-Nya. Sewaktu Buddha Gotama masih hi dup, memang mereka melatih diri dalam tata tertib tersebut, tetapi setelah Buddh a Gotama mencapai parinibbana mereka tidak lagi melatih diri dalam tata tertib t ersebut. Kalau Sangha menganggap baik, maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang bel um ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala ses uatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Inilah usulku . Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan m enghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesu ai dengan apa yang sudah ditetapkan. Kalau para Bhante setuju dengan tidak menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan d an tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan dan segala sesuatu harus b erjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, maka Sangha harap diam. K alau ada yang tidak setuju, diharap bicara. Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan mengha pus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai de ngan apa yang sudah ditetapkan. Karena Sangha diam, maka Sangha telah setuju. Begitulah apa yang kumengerti." Kemudian para Thera berkata kepada Bhikkhu Ananda "Bhikkhu Ananda, ini merupakan suatu pelanggaran, karena Anda telah lalai untuk menanyakan kepada Sang Bhagava , apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian." "Para Bhante yang terhormat, karena kurang waspada aku tidak menanyakan kepada S ang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil yang kurang pent ing. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatan kepad a para Bhante, aku mengaku melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaia n." "Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah Anda menginjaknya terlebih dulu. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas." "Para Bhante yang terhormat, bukan karena rasa kurang hormat aku telah menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah dengan tidak disengaja menginjaknya. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku kepada para Bhante, aku mengakui telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak pan tas." "Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda mengizinkan par a wanita memberi penghormat terlebih dulu terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingg

a air mata mereka mengotori jenazah Sang Bhagava. Akuilah bahwa Anda telah melak ukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas." "Para Bhante yang terhormat, karena aku pikir, lebih baik aku memberikan waktu t erlebih dulu kepada para wanita untuk memberi penghormatan terakhir terhadap jen azah Sang Bhagava, sehingga mereka nanti tidak berada dalam waktu yang tidak tep at (kalau para Thera telah berkumpul). Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yan g tidak pantas." Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena meskipun diberi isya rat-isyarat dan tanda-tanda yang jelas dapat diraba maksudnya, Anda telah lalai untuk memohon kepada Sang Bhagava, "Semoga Sang Bhagava berkenan untuk hidup ter us sampai satu kappa, semoga Sang Sugata berkenan untuk hidup terus demi kesejah teraan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas asih-Nya terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia. " Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian. "Para Bhante yang terhormat, karena pada saat itu pikiranku tergoda oleh Mara, m aka aku telah lalai tidak memohon kepada Sang Bhagava, "Semoga Sang Bhagava berk enan ...demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia." Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kel alaian." "Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai b hikkhuni. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak baik." "Para Bhante yang terhormat, aku telah melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni oleh karena a ku pikir, "Maha Pajapati adalah bibi Sang Bhagava, ibu tiri-Nya, yang merawat-Ny a, yang memberikan air susunya sendiri kepada bayi Siddhattha setelah ibu-Nya me ninggal dunia. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yan g tidak baik." Beberapa waktu setelah pembacaan Dhamma dan Vinaya selesai, Bhikkhu Ananda mengh adap para Thera dan berkata : "Pada waktu Sang Bhagava hendak memasuki parinibba na, Beliau juga telah meninggalkan pesan, "Ananda, bila Sang Tathagata sudah tid ak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhik khu Channa." "Tetapi, Bhikkhu Ananda, apakah Anda menanyakan apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu?" "Aku telah menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan hukuman bera t itu. Beliau mengatakan, "Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya." "Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhikkhu Channa. " "Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan huk uman berat tersebut kepada Bhikkhu Channa karena Bhikkhu Channa orangnya kuat da n kekar badannya." "Kalau begitu, Bhikkhu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus bhikkhu lain." "Baiklah, Bhante," jawab Bhikkhu Ananda. Kemudian berangkatlah Bhikkhu Ananda dengan lima ratus bhikkhu lain. Berselang b eberapa hari tibalah mereka di Kosambi, tidak jauh dari taman hiburan Raja Udena . Di taman itu Raja Udena sedang bersenang-senang dengan para selirnya. Kemudian p ara selir mendengar bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman tersebut dan sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka lalu memohon kepa da Raja Udena, "Paduka Tuan, telah dikabarkan bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di

dekat taman dan sekarang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang. "Perkenankanlah kami menemui Guru Ananda." "Pergilah kamu menemui Guru Ananda." Pergilah para selir Raja Udena menemui Bhikkhu Ananda. Setelah bertemu, mereka m emberi hormat dan mengambil tempat duduk. Bhikkhu Ananda kemudian memberikan wej angan tentang Dhamma yang membuat hati para selir menjadi tenang, gembira dan ba hagia. Para selir yang telah tenang hatinya, gembira dan bahagia lalu memberikan lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda dan kemudian mereka kembali ke tama n Raja Udena. Setelah tiba di sana, mereka ditanya oleh Raja Udena, "Apakah kamu telah bertemu dengan Guru Ananda?" "Kami telah bertemu dengan Guru Ananda." "Apakah kamu memberikan sesuatu kepada Guru Ananda?" "Kami telah memberikan lima ratus pakaian dalam kepada Guru Ananda." Mendengar itu, Raja Udena merasa kecewa dan mengecam Bhikkhu Ananda, "Bagaimana mungkin pertapa Ananda menerima sekian banyak baju dalam. Apakah pertapa Ananda ingin berdagang pakaian atau apakah ia ingin menawarkannya untuk dijual di toko?" Setelah itu Raja Udena sendiri pergi menemui Bhikkhu Ananda dan setelah memberi hormat sebagaimana layaknya lalu mengambil tempat duduk. Raja Udena kemudian bertanya, "Bhante, apakah para selirku tadi telah datang kemari?" "Benar, Paduka Tuan." "Apakah mereka memberikan sesuatu kepada Bhante?" "Mereka memberikan lima ratus pakaian dalam kepadaku." "Tetapi, apakah yang Bhante ingin lakukan dengan lima ratus pakaian dalam itu?" "Aku akan membagi-bagikannya kepada para bhikkhu yang jubahnya telah tipis." "Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah bekas dari para bhikkhu ters ebut?" "Kami akan memakainya sebagai jubah luar." "Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah luar yang bekas pakai itu?" "Kami akan menggunakan jubah-jubah bekas itu untuk membuat penutup kasur." "Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan tutup kasur yang lama?" "Kami akan memakainya untuk penutup lantai." "Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penutup lantai yang lama?" "Kami akan membuat penyeka-penyeka kaki." "Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penyeka kaki yang lama?" "Kami akan membuat kain-kain untuk menyeka debu." "Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan kain penyeka debu yang lama?" "Setelah mencabik-cabiknya dan mengaduknya dengan tanah fiat, kami akan gunakan untuk memplester lantai." Setelah itu Raja Udena berpikir, "Pertapa-pertapa, putra-putra Sakya, memakai se gala sesuatu dengan cara yang teratur, hemat dan tidak boros." Maka oleh karena itu, ia memberikan lagi lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu An anda. Inilah untuk pertama kali Bhikkhu Ananda mendapat hadiah seribu potong baj u dalam. Setelah itu bhikkhu Ananda pergi ke Vihara Ghosita. Di tempat itu Bhikkhu Channa, yang setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, mempersilakan Bhikkhu Ananda mengambil tempat duduk. Pada waktu itulah Bhikkhu Ananda memberitahukan Bhikkhu Channa, "Bhikkhu Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri Anda." "Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?" "Bhikkhu Channa, Anda boleh mengatakan apa saja yang Anda suka, tetapi bhikkhu-b hikkhu lain tidak diperkenankan untuk bicara kepada Anda, tidak diperkenankan un tuk menasehati Anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepa da Anda." Bhikkhu Channa lalu menjawab, "Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada bhikkhu yang boleh bicara kepadaku, tidak ada bhikkhu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada bhikkhu yang boleh memberi petunjuk kepadaku."

Kemudian ia jatuh pingsan di tempat itu. Setelah siuman, karena merasa malu, cemas dan muak dikenakan hukuman berat, Bhik khu Channa lalu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia kemudian de ngan giat, tekun dan dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri, sehingga d alam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai tingkat Arahat "Hancurlah tumimba l lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa." Dengan demikian Bhikkhu Channa menjadi Arahat. Setelah itu Bhikkhu Channa mencari Bhikkhu Ananda dan setelah bertemu, Bhikkhu C hanna lalu berkata, "Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman be rat terhadap diriku." Dijawab oleh Bhikkhu Ananda, "Bhikkhu Channa, pada saat Anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah h ukuman berat terhadap diri Anda telah dicabut kembali." (Bhikkhu Channa yang dim aksud di sini ialah bekas kusir dari Pangeran Siddhattha Gotama). Keterangan: Parajika : pelanggaran yang membuat seorang bhikkhu/ bhikkhuni dipecat/diusir ke luar Sangha. Sanghadisesa : pelanggaran yang harus diselesaikan dalam rapat resmi dari Sangha . Aniyata : pelanggaran yang masih belum ditentukan masuk golongan yang mana. Nissagiya : pelanggaran yang menyebabkan sesuatu barang disita. Pacittiya : pelanggaran yang menyebabkan seseorang harus menjalankan hukuman "pe nebusan dosa".

BAB VI TAMBAHAN KALAMA SUTTA A-I-191 Demikianlah telah kudengar: 1. Suatu ketika Yang Dirahmati (Sang Buddha) mengembara di negara Kosala dengan rombongan besar bhikkhu dan memasuki kota Kesaputta. Suku Kalama, yang menjadi penduduk kota Kesaputta mendengar bahwa Pertapa Gotama , seorang putra dari suku Sakya yang pergi bertapa, sekarang telah tiba di Kesap utta. Berita yang tersiar luas tentang Pertapa Gotama yang sekarang menjadi Buddha, me ngatakan: "Beliau adalah Arahat, Yang memperoleh Penerangan Agung, Sempurna Dalam Pengetah uan dan Pelaksanaannya, Yang Terbahagia, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, Sang Buddha, Yang Dirahmati. Beliau memberitahukan d unia ini, bersama-sama dengan alam para dewa, mara, dan brahma, disertai para pe rtapa, brahmana, para dewa, dan manusia, sesuatu yang Beliau sendiri telah menge rti melalui pengetahuan yang luar biasa. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah pa da awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, baik dalam teori maupun dalam pelaksanaannya. Secara sempurna Beliau menerangkan tentang penghid upan suci yang benar-benar bersih. Sungguh berharga sekali dapat melihat Arahat tersebut!" Karena itu, maka suku Kalama dari Kesaputta datang mengunjungi Sang Buddha. Tiba di sana, ada yang memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan kemudian duduk di satu sisi; ada juga yang memberi hormat dengan berlutut, ada yang memberi hormat hanya dengan ucapan; ada yang menyembah; ada yang member itahukan nama dan nama keluarganya; dan ada juga yang terus duduk tanpa mengucap

kan kata apa pun. 2. Setelah mereka semua duduk, kemudian seorang berkata, "Yang Mulia, banyak per tapa dan brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, tetapi mencaci maki, menghina, meren dahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Lalu datang pula pertapa da n brahmana lain ke Kesaputta. Dan mereka ini juga menerangkan dan membahas denga n panjang lebar ajaran mereka sendiri, dan mencaci-maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Kami yang mendengar merasa ragu-rag u dan bingung, siapa diantara para pertapa dan brahmana yang berbicara benar dan siapa yang berdusta." 3. "Benar, warga suku Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu, sudah sewajarn yalah kamu bingung. Dalam hal yang meragukan memang akan menimbulkan kebingungan . Oleh karena itu, warga suku Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, ata u sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau ke simpulan belaka; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga ap a yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seora ng pertapa yang menjadi gurumu. Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'H al ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaks ana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut." 4. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau keserakahan (lobha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu membawa keuntungan atau kerugian? " "Akan membawa kerugian, Yang Mulia." "Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang serakah dicengkeram oleh keserakaha n dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin aka n membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perz inahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan b aginya untuk waktu yang lama?" "Memang demikian, Yang Mulia." 5. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kebencian (dosa) ti mbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugia n?" "Akan membawa kerugian, Yang Mulia." "Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang membenci, dicengkeram oleh kebencia n dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin aka n membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perz inahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan b aginya untuk waktu yang lama?" "Memang demikian, Yang Mulia." 6. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kegelapan batin (mo ha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau k erugian?" "Akan membawa kerugian, Yang Mulia." "Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang diliputi kegelapan batin (moha), di cengkeram oleh kegelapan batin dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apaka h orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang ti dak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatk an kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?"

"Memang demikian, Yang Mulia." 7. "Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal terseb ut baik atau tidak baik?" "Tidak baik, Yang Mulia." "Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?" "Tercela, Yang Mulia." "Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?" "Tidak dibenarkan, Yang Mulia." "Kalau terus dilakukan, apakah itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan?" "Akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, Yang Mulia. Demikianlah pendapat k ami." 8. "Karena itu, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, 'Jang anlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena ses uatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah perca ya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katan ya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seks ama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghorm at seorang pertapa yang menjadi gurumu.' Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'H al ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaks ana; hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan,' maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut." 9. "Kesimpulannya, warga suku Kalama, 'Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau ses uatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpul an belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok den gan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurum u.' Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini berguna; hal i ni tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus di lakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,' maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut." 10. "Bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas d ari keserakahan (lobha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?" "Keuntungan, Yang Mulia." "Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari keserakahan dan tidak lagi dicengk eram oleh keserakahan, dan oleh karena ia dapat mengendalikan dirinya dengan bai k, akan berhenti membunuh makhluk hidup, berhenti mengambil sesuatu yang tidak d iberikan (mencuri), berhenti melakukan perzinahan berhenti mengucapkan kata-kata yang tidak benar, berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?" "Memang demikian halnya, Yang Mulia." 11. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kebencian (dosa), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugia n?" "Keuntungan, Yang Mulia." "Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kebencian tidak lagi dicengkeram o leh kebencian .., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak aka n mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?" "Memang demikian halnya, Yang Mulia." 12. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kegelapan batin (moha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau k

erugian?" "Keuntungan, Yang Mulia." "Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kegelapan batin dan tidak lagi dic engkeram oleh kegelapan batin .., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan oran g lain, tidak akan mendapat kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?" "Memang demikian halnya, Yang Mulia." 13. "Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal terse but menguntungkan atau tidak menguntungkan?" "Menguntungkan, Yang Mulia." "Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?" "Tidak tercela, Yang Mulia." "Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?" "Dibenarkan, Yang Mulia." "Kalau terus dilakukan, apakah akan membawa kebahagiaan atau tidak?" "Tentu akan membawa kebahagiaan. Demikianlah pendapat kami." 14. "Demikianlah, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, 'Ja nganlah percaya begitu saja .., Tetapi apabila setelah diselidiki sendiri, kamu me ngetahui hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bi jaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaa n, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut. ' Itulah sebabnya, mengapa Aku mengucapkan kata-kata tersebut." 15. "Sekarang, warga suku Kalama, seorang siswa Yang Ariya telah terbebas dari k eserakahan dan kebencian, dan tidak lagi bingung tetapi dapat mengendalikan diri nya dengan baik dan pikirannya terpusat, sedangkan batinnya dipenuhi oleh kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan; orang itu diumpamakan seperti d iam di seperempat alam, kemudian di setengah alam, kemudian di tiga per empat al am dan akhirnya di seluruh alam. Dan dengan cara yang sama ke atas, ke bawah, ke samping, ke segenap penjuru, kepada semua makhluk, ia diam dengan batin penuh c inta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang ditujukan ke segen ap penjuru alam, berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan pera saan tertekan. Siswa yang demikian itu, yang hatinya terbebas dari permusuhan, t erbebas dari perasaan tertekan, tidak ternoda dan beersih, orang itu dalam kehid upan ini juga akan memperoleh berkah yang menyenangkan, yaitu : 16. Kalau sekiranya ada alam lain setelah meninggal dunia, ada akibat dari perbu atan baik dan jahat; saat badan jasmaninya hancur setelah mati, ia akan bertumim bal lahir di alam surga. Ini adalah berkah pertama yang diperolehnya. Kalau seki ranya tidak ada alam lain setelah meninggal dunia, tidak ada akibat dari perbuat an baik dan jahat; namun kehidupan ini ia telah terbebas dari perasaan bermusuha n dan tertekan. Ini adalah berkah kedua yang diperolehnya. Kalau sekiranya bencana menimpa yang berbuat jahat; namun aku sama sekali tidak bermaksud berbuat jahat terhadap siapa pun juga. Mana mungkin bencana dapat meni mpa diriku yang tidak berbuat jahat? Ini adalah berkah ketiga yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada bencana menimpa yang berbuat jahat, maka aku tahu bah wa diriku bersih dari kedua segi. Ini adalah berkah keempat yang diperolehnya. Dengan demikian, warga suku Kalama, siswa Ariya tersebut yang hatinya terbebas d ari permusuhan dan perasaan tertekan, tak ternoda dan bersih, maka dalam kehidup an ini memperoleh empat berkah." 17. "Memang demikianlah halnya, Yang Dirahmati. Memang demikianlah, Yang Terbaha gia. Siswa Ariya tersebut dalam kehidupan ini akan memperoleh empat berkah (deng an mengulang apa yang diucapkan Sang Buddha). Sungguh indah, Yang Mulia! Dengan ini kami menyatakan kami berlindung kepada San g Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Yang Mulia berkenan menerima kami sebagai u pasaka dan upasika, mulai hari ini sampai seumur hidup kami."

SIGALOVADA SUTTANTA (D.III.31) KAMMA DAN TUMIMBAL LAHIR A.X.205 Pemilik dari perbuatan (kamma- pali; karma- skrt) adalah makhluk, ia adalah pewa ris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim dari mana ia lahir, kepada perb uatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan pelindungnya. Perbuatan a pa pun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga kelak yang akan mewarisinya. Terdapat orang yang gemar membunuh makhluk hidup, mengambil milik orang lain, me lakukan perbuatan asusila, berbicara yang tidak benar, sering menceritakan kebur ukan orang, menggunakan kata-kata kasar, suka bicara hal-hal yang tidak perlu, t amak, berhati kejam, dan mengikuti pandangan yang keliru. Dan ia terikat erat kepada perbuatan yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan , atau pikiran. Dengan sembunyi-sembunyi ia melakukan perbuatan-perbuatan, mengu capkan kata-kata dan memikirkan sesuatu; dan sembunyi-sembunyi pula cara dan tuj uannya. Tetapi Aku katakan kepadamu, "Bagaimanapun tersembunyi cara dan tujuannya, orang itu pasti akan menerima salah satu dari kedua akibat ini, yaitu siksaan di nera ka atau terlahir sebagai binatang yang merangkak." Demikianlah tumimbal lahir dari makhluk-makhluk, "Sesuai dengan kammanya, mereka akan bertumimbal lahir. Dan dalam tumimbal lahirnya itu, mereka akan menerima a kibat dari perbuatan mereka sendiri." Karena itu Aku menyatakan, "Pemilik dari perbuatan adalah rnakhluk, ia adalah pe waris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim darimana ia lahir, kepada per buatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan pelindungnya. Perbuatan apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga kelak yang akan menjadi pewari snya." M.123 Pemilik dan pewaris adalah makhluk .., perbuatanlah yang kelak akan membedakan ma nusia menjadi mulia dan rendah. Terdapat lelaki dan perempuan yang membunuh makh luk hidup, kejam, gemar memukul dan membunuh, tanpa mempunyai rasa kasihan kepad a makhluk-makhluk hidup. Dengan perbuatan yang dilakukannya ini, maka orang itu, ketika badan jasmaninya hancur setelah meninggal, akan terjatuh di alam-alam re ndah yang penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau apabila ia terlahir kan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka umu rnya akan pendek. Terdapat orang yang mempunyai kebiasaan menyakiti makhluk lain dengan menggunaka n tinju, batu, tongkat, atau pedang. Dengan melakukan perbuatan ini, ia akan ter jatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Ata u apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia, atau di alam mana pun ia bertu mimbal lahir, maka ia akan menderita banyak penyakit. Terdapat orang yang cepat marah, lekas naik darah; untuk hal kecil saja yang dic eritakan kepadanya ia sudah menjadi murka, marah, keras kepala, memperlihatkan k egusarannya, kebenciannya, dan kecurigaannya. Dengan melakukan perbuatan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan, atau ne raka. Atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia, atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan mempunyai rupa yang buruk. Terdapat orang yang suka iri hati, penuh rasa dengki dan benci, iri bila orang l ain menerima hadiah, diberi tempat menginap, penghargaan, penghormatan, dimuliak an, dan diberikan persembahan dengan penuh sopan santun. Dengan melakukan perbua tan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderita an, atau neraka. Atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di ala m mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan mempunyai pengaruh sedikit sekali. Terdapat orang yang tak pernah memberikan makanan, minuman, jubah, transportasi, bunga, wangi-wangian, obat-obatan, tempat menginap, tempat tinggal, lampu, dan sebagainya kepada para bhikkhu atau pandita. Dengan tidak pernah melakukad perbu

atan ini, ia akan terjatuh di alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderit aan atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan menjadi orang yang miskin. Terdapat orang yang tinggi hati dan penuh kesombongan, tidak mau menghormat kepa da mereka yang patut dihormati, tidak mau berdiri untuk siapa ia patut berdiri, tidak memberikan tempat duduk kepada yang patut diberi tempat duduk, tidak membe rikan tempat menginap kepada yang patut untuk diberikan tempat menginap, tidak m enjamu mereka yang patut dijamu, tidak memberikan penghormatan dan penghargaan k epada mereka yang patut diberikan penghormatan dan penghargaan, dan juga tidak m emberikan persembahan kepada yang patut diberi persembahan. Dengan tidak pernah melakukan perbuatan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedih an dan penderitaan atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di a lam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan menjadi orang rendah. Terdapat orang yang tidak mengunjungi para bhikkhu dan pandita untuk menanyakan kepada mereka, "Apakah yang dimaksud dengan kamma baik, Bhante? Apakah yang dima ksud dengan kamma tidak baik? Apa yang tercela? Apa yang terpuji? Apa yang harus dilakukan? Apa yang tidak baik dilakukan? Perbuatan apakah yang mengakibatkan c elaka dan penderitaan untuk waktu yang lama? Perbuatan mana yang dapat membawa b erkah dan kebahagiaan untuk waktu yang lama?" Dengan tidak melakukan perbuatan i ni, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan at au apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertu mimbal lahir, maka ia akan menjadi orang dungu. A.IV. 197 Apakah sebabnya, Bhante, ada perempuan yang buruk rupanya dan sangat jahat kelih atannya; dan perempuan ini miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, dan tanpa pengaruh ? Dan apakah sebabnya ada perempuan yang buruk parasnya dan sangat jahat kelihatan nya; namun perempuan ini kaya raya, mempunyai wibawa yang besar, memiliki harta dan pengaruh? Dan apakah sebabnya ada perempuan yang cantik parasnya, sedap dipandang, elok se kali; tetapi perempuan ini miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, den tanpa pengaruh ? Dan apakah sebabnya ada perempuan yang cantik parasnya, sedap dipandang, elok se kali, kaya-raya, mempunyai wibawa yang besar, serta memiliki harta dan pengaruh? Ada perempuan yang bernama Mallika yang cepat marah, lekas naik darah; untuk hal kecil saja yang diceritakan kepadanya, ia sudah menjadi murka, marah, keras kep ala, memperlihatkan kegusarannya, kebenciannya, den kecurigaannya. Dan ia tidak pernah mempersembahkan makanan, minuman, jubah, transportasi, bunga , wangi-wangian, obat-obatan, tempat menginap, tempat tinggal, lampu, dan sebaga inya kepada para bhikkhu dan pandita. Dan ia sering iri, penuh rasa dengki den benci, iri jika orang lain menerima had iah, diberikan tempat menginap, penghargaan, penghormatan, dimuliakan, dan diber ikan persembahan dengan penuh sopan santun. Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini m aupun di alam mana pun dengan paras yang buruk dan sangat jahat kelihatannya, di samping itu ia pun miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, dan tanpa pengaruh. Ada perempuan yang cepat marah, lekas naik darah, hal kecil saja yang diceritaka n kepadanya menjadikannya murka, marah, keras kepala, memperlihatkan kegusaranny a, kebenciannya dan kecurigaannya. Tetapi ia mempersembahkan makanan, minuman, j ubah, transportasi, bunga, wangi-wangian, obat-obatan, tempat menginap, tempat t inggal, lampu, dan sebagainya kepada para bhikkhu dan pandita. Dan ia juga tidak suka iri hati, tidak dengki dan benci, tidak iri jika orang la in menerima hadiah, diberikan tempat menginap, penghargaan, penghormatan, dimuli akan, dan diberikan persembahan dengan penuh sopan santun. Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini m aupun di alam mana pun dengan paras yang buruk dan sangat jahat kelihatannya tet api ia akan kaya raya, mempunyai wibawa yang besar, serta memiliki harta dan pen garuh.

Ada perempuan lain yang tidak cepat marah, tidak lekas naik darah, .....tetapi i a tidak mempersembahkan makanan, minuman, dan ia suka iri hati dan diliputi deng ki dan benci, ....... Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini, maupun di alam mana pun dengan paras yang cantik, sedap dipandang, dan elok seka li tetapi ia miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, dan tanpa pengaruh. Ada perempuan lain yang tidak cepat marah, tidak lekas naik darah, dan ia memper sembahkan makanan, minuman, . dan ia tidak suka iri hati, tidak diliputi dengki d en benci ....... Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini m aupun di alam mana pun dengan paras yang cantik, sedap dipandang, elok sekali, k aya raya, mempunyai wibawa yang besar, serta memiliki harta dan pengaruh. A.III.40 Membunuh makhluk hidup, oh Bhikkhu, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di ala m neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akiba t sering membunuh mahluk hidup membuat orang tersebut pendek umur. Mengambil milik orang lain, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakuka n akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka , di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering mengambil milik orang lain membuat orang tersebut kehilangan miliknya. Melakukan perbuatan asusila, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakuk an akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam nerak a, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat serin g melakukan perbuatan asusila membuat orang tersebut dijauhi dan dimusuhi oleh l ingkungannya. Berdusta, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa ora ng tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang , atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering berdusta membuat orang tersebut mendapat tuduhan atas sesuatu yang tidak dilakukannya. Sering membicarakan keburukan orang lain, menganjurkan, melakukan sendiri, dan s ering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat dari orang yang suka menceritakan keburukan orang lain membuat ia diting galkan kawan-kawannya. Menggunakan kata-kata kasar, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakuk an akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam nerak a, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat serin g menggunakan kata-kata kasar membuat orang tersebut sering menerima kata-kata y ang tidak menyenangkan. Berbicara hal yang tidak perlu (omong-kosong), menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal l ahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kuran gnya, akibat sering berbicara hal yang tidak perlu (omong-kosong) membuat orang tersebut tidak dapat berbicara dengan jelas. Minum minuman keras, seperti anggur dan arak, menganjurkan, melakukan sendiri, d an sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal akan bertumimb al lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-k urangnya, akibat sering minum minuman keras dan mengkonsumsi zat lain yang dapat melemahkan kesadaran akan membuat orang tersebut mabuk dan ketagihan. A.III.33 Oh Bhikkhu, terdapat tiga keadaan yang merupakan akar dari terjadinya kamma (per buatan), yaitu: keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha ). Perbuatan, oh Bhikkhu, yang dilakukan berdasarkan lobha, yang timbul karena lobh a, dihasilkan oleh lobha, maka perbuatan ini akan masak, dimana saja makhluk itu

bertumimbal lahir; dan bilamana perbuatan itu masak, maka makhluk itu akan meme tik buah (hasil) dari perbuatannya, mungkin dalam kehidupan ini, dalam kehidupan berikutnya, atau dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan dosa, yang timbul karena dosa, dihasilkan o leh dosa, maka perbuatan ini akan masak dimana saja makhluk itu bertumimbal lahi r; dan bilamana perbuatan itu masak, maka makhluk itu akan memetik buah (hasil) dari perbuatannya, mungkin dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan berikutnya, atau dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan moha, yang timbul karena moha, dihasilkan o leh moha, maka perbuatan ini akan masak dimana saja makhluk itu bertumimbal lahi r; dan bilamana perbuatan itu masak, maka makhluk itu akan memetik buah (hasil) dari perbuatannya, mungkin dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan berikutnya, atau dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Keadaannya sama seperti benih yang tidak rusak dan tidak busuk, tidak rusak oleh angin dan panas matahari tetapi sehat dan tahan lama; setelah ditebarkan di tan ah yang subur dan dipersiapkan dengan baik serta cukup mendapat air hujan, akan menitis, tumbuh dengan baik dan berkembang dengan sempurna. S.XXII Maka akan datanglah waktunya, oh para Bhikkhu, bahwa samudra besar ini akan menj adi kering, lenyap, dan tidak ada lagi. Tetapi hal itu bukan berarti akhir dari penderitaan bagi makhluk-makhluk yang digelapkan oleh Avijja (kebodohan batin) d an dibelenggu oleh Tanha (nafsu keinginan) berlari berputar-putar dalam lingkara n tumimbal lahir. Demikianlah sabda-Ku. Maka akan datanglah waktunya, bahwa dunia yang perkasa ini akan dilahap oleh api , musnah, dan tidak ada lagi. Tetapi hal ini bukan berarti akhir penderitaan bag i makhluk-makhluk yang digelapkan oleh Avijja dan dibelenggu oleh Tanha berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir. Demikianlah sabda-Ku. A.X.208 Tidak mungkinlah, oh para Bhikkhu, bahwa kamma (perbuatan) yang dikehendaki, dil aksanakan, dan ditimbun akan berhenti, selama orang itu masih belum mengalami ak ibatnya, baik di kehidupan ini, di kehidupan berikutnya, atau di dalam kehidupan -kehidupan mendatang. Dan tak mungkinlah, sabda-Ku, bahwa sebelum mengalami sendiri akibat dari kamma yang dikehendaki, dilaksanakan, dan ditimbun orang dapat mengakhiri penderitaan.

BUDDHA KASSAPA Buddha Kassapa adalah Buddha ke 24 dari tradisi Pali; dan salah satu dari 7 Budd ha yang disebutkan dalam daftar-daftar Pali. Lagi pula ia juga dianggap sebagai Buddha ke 3 di aeon saat ini (Kappa Bhadda). Kassapa dilahirkan di Taman Rusa di Isipatana saat raja Kiki memerintah Varanasi . Beliau adalah putra dari Brahmadatta dan Dhanavati dan termasuk dalam suku Kas sapa. IstriNya adalah Sunanda dan Vijitasena adalah putraNya. Beliau menjalani k ehidupan berumah tangga selama 2.000 tahun dan hidup dalam istana-istana yaitu H amsa, Yasa dan Sirinanda. Selanjutnya Beliau melepaskan kehidupan duniawi. IstriNya mempersembahkan nasi susu; dan Soma memberinya rumput untuk tempat dudu kNya tepat sebelum pencerahanNya. Yana adalah pohon bodhiNya. Beliau menyampaika n kotbah pertamaNya di Isipatana kepada sekelompok bhikkhu; dan menunjukkan keaj aiban gandaNya di kaki pohon Asana di bagian luar Sundaranagara. Banyak legenda dihubungkan denganNya; dan cerita tentang percakapan Yakkha Narad eva adalah yang paling menarik. Tissa dan Bharadvaja adalah bhikkhu utamaNya; da

n diantara para bhikkhuni Anula dan Uruvela adalah pengikutNya yang paling terke nal. PembantuNya adalah Sabbamitta. Konon wajah keemasan Maha Kacchana disebabka n karena persembahan sebuah batu bata emasnya untuk tempat pemujaan Kassapa. Buddha Kassapa hidup selama 20.000 tahun dan meninggal di Taman Setavya di Kashi . Selama jaman Buddha Kassapa, Bodhisatva hidup sebagai seorang pemuda brahmin den gan nama Jotipala. Faxian (Fahsien) dan Xuangzang (Huan Tsang) juga menunjukkan keberadaan fisik te mpat-tempat pemujaan Kassapa. Teks-teks Sansekerta Buddhist seperti Divyavadana 333 f.; Mahavastu i. 114 menye but Kassapa sebagai Kashyapa. Lihat juga pada: 1. Dipavamsa xv.55 ff.; 2. Mahavamsa xv.128 ff.; 3. Digha Nikaya ii.7; 4. Majjhima Nikaya ii.45 f.; 5. Buddhavamsa xxv; 6. Buddhavamsa Atthakatha 217 ff.; 7. Dhammapada Atthakatha ii. 236

You might also like