You are on page 1of 2

TRIBUN TIMUR, SENIN, 14-04-2008

Peran Gubernur BI dalam Sistem Perekonomian Kredit


Oleh : Marsuki, DEA (Dosen Fakultas Ekonomi Unhas)

TRIBUN TIMUR

Kontroversi pemilihan Gubernur BI (GBI) akhirnya terjawab, setelah presiden memilih dan Komisi XI DPR menetapkan melalui fit and proper test Prof Dr Budiono. Keputusan ini dapat dikatakan sukses, karena tidak ada reaksi penolakan yang cukup berarti dari pemangku kepentingan. Tampaknya hal ini dimungkinkan karena presiden dalam mengusulkan calon Gubernur BI sudah sesuai dengan UU kebanksentralan, yakni bertindak sebagai kepala Negara, bukan sebagai kepala pemerintahan sebab melibatkan beberapa pemangku kepentingan. Tentu saja selayaknya demikian, karena bank sentral adalah lembaga negara independen sangat strategis yang dilindungi UU, bukan sebagai lembaga politik pemerintah. Saat fit and proper test, calon GBI baru telah mengagendakan beberapa program strategisk yang akan ditempuh seandainya terpilih. Di antara program strategis itu akan memposisikan peran BI dalam pembangunan ekonomi dengan berkoordinasi dengan pemerintah, utamanya dalam mengatasi inflasi yang semakin kompleks, akan membenahi perangkat hukum saat perekonomian mengalami krisis keuangan, akan membenahi masaalah pengambilan keputusan anggaran BI sehingga nantinya tidak dipermasalahkan lagi, akan membenahi kerja sama bidang keuangan internasional untuk mengatasi krisis keuangan, dan beberapa agenda lainnya dalam kaitan dengan perbankan syariah dan perkreditan sektor UMKM. Agenda Penting Tapi ada agenda yang belum terungkap padahal sangat penting untuk dibenahi yaitu agenda apa yang akan dipersiapkan untuk menghadapi meluasnya krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa saat ini. Krisis ekonomi itu sudah terasa melanda perekonomian dunia, termasuk Indonesia, berupa "krisis kredit" akibat ambruknya pasar "subprime mortageges" di Amerika Serikat. Sehingga direkomendasikan oleh para ahli dan pelaku pasar keuangan dunia, termasuk Gubernur Bank Sentral AS, The Fed, B Bernanke dan G Soros, supaya setiap pemimpin negara terutama pemimpin bank sentral di dunia memperketat pengawasan terhadap aktivitas kredit perbankannya. Dalam kaitan itu, berarti gubernur BI yang baru diharapkan mempunyai kapabilitas atau kompetensi mengenai berbagai aspek perkreditan, baik dalam kaitannya dengan aspek mikro perbankan, dan aspek perbankan dalam perekonomian makro, terutama dalam kerangka penyususnan kebijakan moneter.
1

Jika tidak, ada kemungkinan Gernur BI yang baru akan kesulitan merealisasikan tujuan kebijakan moneter yang direncanakan. Alasannya, fakta menunjukkan bahwa lembaga keuangan inilah yang menentukan arah dan kondisi perekonomian Indonesia selama ini, sebagai akibat belum berkembang dan majunya lembaga keuangan pasar uang atau modal. Oleh karena itu lembaga perbankan ini perlu dikontrol atau diatur dengan baik oleh BI, jika diharapkan lembaga ini tidak akan menimbulkan masalah dalam perekonomian nasional. Kredit Perbankan Dengan karakteristik perekonomian demikian, maka menurut teorinya, Indonesia adalah negara berbasis perbankan (bank base economy) yang dikenal sebagai sistem perekonomian kredit (credit economy). Jadi Indonesia belum masuk sebagai negara dengan sistem perekonomian pasar uang atau modal (financial economy). Kenyataan itu ditunjukkan oleh indikator tingkat intermediasi keuangan di Indonesia, berupa sangat besarnya nilai rasio antara kredit perbankan, dibandingkan dengan rasio aset keuangan pasar uang dan modal terhadap seluruh sumber pembiayaan ekonomi, yang diperkirakan dalam kisaran nilai rasio 92-96 persen. Akibat peran pasar uang dan modal termasuk sumber pembiayaan sendiri yang masih sangat terbatas, maka pembiayaan para pelaku ekonomi di Indonesia yang bersumber dari kredit perbankan menunjukkan nilai kurang rasional, seperti ditunjukkan oleh nilai "Debt Equity Ratio atau DER" yang cukup besar, yakni secara rata-rata dari seluruh jenis usaha, nilainya antara 130-325 persen. Adanya perbedaan faktual sistem perekonomian suatu negara, maka banyak ahli moneter menyarankan bahwa kebijakan moneter yang akan diimplementasi bank sentral seharusnya disesuaikan dengan kenyataan tersebut. Jika tidak, akan sulit melaksanakan kebijaksanaan moneter, bahkan dapat menimbulkan masalah lain yang tidak diharapkan. Seperti dikemukakan di antaranya oleh J Hicks, J Stiglitz, B Bernanke. Di negara yang berbasis kredit perbankan, seperti Indonesia misalnya, sebaiknya bank sentral menerapkan kebijakan moneter "regulatif" berencana secara dinamis terhadap aktivitas perbankan berdasarkan pendekatan kredit (credit view). Jadi sesuai fakta, di Indonesia sebenarnya belum dapat diterapkan kebijakan perbankan yang bersifat "deregulatif", yang mengandalkan sistem pasar keuangan bebas. Karena ternyata mekanisme pasar tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, sebagai akibat prilaku lembaga keuangan perbankan sangat spekulatif, sehingga perlu diatur agar dapat sesuai dengan tujuan kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah. Dalam tataran praktis, kasus kebijakan moneter berdasarkan pendekatan kredit ini telah berhasil di banyak negara, di negara maju seperti Italia, Jepang dan di beberapa negara Scandinavia, termasuk Perancis, juga di negara berkembang. Akhirnya, dengan fakta bahwa perekonomian Indonesia dibangun atas peran besar dari kredit perbankan, maka diharapkan Gubernur BI yang baru dapat menjadikan pendekatan kebijakan moneter berbasis kredit sebagai pedoman dalam merealisasikan tujuan, fungsi dan tugas BI dalam menciptakan stabilistas moneter, melancarkan sistem pembayaran, dan menjaga sistem perbankan nasional, dalam kerangka kepentingan perekonomian nasional, regional dan global.

You might also like