You are on page 1of 9

18/5/2011 19:16 WIB

Pola Korupsi dalam Birokrasi


Pola kerja penyebaran perilaku korupsi di negara mana pun, termasuk di negeri ini, secara teoretis tidak lepas dari masalah birokrasi. Tidak ada korupsi yang tidak melibatkan birokrasi.Karena itu, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, saya berkepentingan untuk menjelaskan kepada publik pola-pola perilaku korupsi yang telah menggurita dalam jejaring birokrasi di negeri ini. Persoalannya sangat fundamental. Jika pola perilaku korupsi dalam birokrasi sebagai sarang utama tidak segera dibongkar, dapat dipastikan upaya pemberantasan perilaku korupsi itu hanya akan berjalan di tempat. Titik fokus yang mesti dilakukan kini bukan lagi semata bagaimana kita mengadili para pelaku korupsi, tapi bagaimana melakukan upaya pencegahan dengan memutus mata rantai penyebarannya, yaitu membongkar jejaring dalam birokrasi. Semua pihak mesti bisa diajak kerja sama untuk membongkar jejaring perilaku korupsi dalam birokrasi sebagai tumpuan utama roda pemerintah. Pihak-pihak yang memiliki kompetensi besar untuk membongkar jejaring ini adalah para menteri dalam setiap departemen, kepala direktorat jenderal, kepala subdirektorat jenderal, dan lain-lain, termasuk media massa dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka diharapkan dapat melakukan pengawasan dan penelitian mengenai pola-pola perilaku korupsi dalam birokrasi itu. Berikut ini akan saya jelaskan pola-pola korupsi yang selama ini terjadi dalam birokrasi di negeri ini. Pertama, perilaku korupsi dalam birokrasi itu secara umum berawal dari tidak profesionalnya para pelaku birokrasi dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara. Setelah saya lakukan satu analisis, ternyata proses penyusunan APBN dari berbagai departemen hanyalah copy-paste dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara draf dari tahun ke tahun yang mereka ajukan ke DPR. Para pelaku birokrasi dalam menyusun draf APBN itu tidak memiliki standar analisis yang reasonable dan terukur. Mestinya suatu departemen terlebih dulu melakukan penelitian (analisis detail) terhadap kebutuhan masyarakat terkait dengan misi departemen yang dipimpinnya, sehingga dana APBN tersebut dapat terserap pada sektor yang memiliki dimensi pemberdayaan masyarakat. Selama ini terlihat tidak ada satu departemen pun yang menyusun anggaran dengan mempertimbangkan pemberdayaan masyarakat. Dana APBN hanya dipergunakan untuk kebutuhan belanja instan departemen yang bersangkutan, seperti yang biasa disebut belanja rutin. Di sinilah duduk persoalannya yang sangat krusial. Belanja rutin pun tidak dikelola secara transparan, terbukti dengan masih banyaknya kebocoran anggaran, seperti yang selama ini dilansir Badan Pemeriksa Keuangan. Ada informasi menarik berkenaan dengan dana belanja rutin ini. Menurut satu informasi-meskipun masih perlu diteliti secara lebih detail akurasinya--belanja rutin ini tak lepas dari jarahan tangan koruptor. Tentu saja pelakunya para birokrat itu sendiri. Pola mereka melakukan korupsi dalam belanja rutin ini adalah dengan cara me-mark up harga-harga barang ataupun jasa

yang mereka gunakan. Dalam konteks inilah kolaborasi perilaku korupsi terjadi antara kaum birokrat dan pengusaha swasta. Kedua, pola perilaku korupsi di departemen ini acap kali mereka lakukan dengan cara tidak menenderkan suatu proyek yang semestinya harus ditenderkan sesuai dengan undang-undang. Ada kasus menarik dan aktual yang saya peroleh dari satu laporan masyarakat berkenaan dengan kasus ini, yaitu proyek Revitalisasi Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Rangka Kesatuan Bangsa dan Sosialisasi Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa, yang ditangani oleh salah satu departemen di negeri ini. Menurut informasi yang saya terima, nilai proyek ini mencapai Rp 300 juta dan dilakukan tanpa melalui proses tender. Padahal, menurut undang-undang, nilai proyek Rp 50 juta ke atas sudah harus diproses melalui tender. Tapi mengapa hal ini bisa terjadi? Hemat saya, inilah jejaring busuk birokrasi kita selama ini. Pola kerjanya dengan cara mereka langsung menawarkan secara lisan kepada rekan-rekan dekatnya bahwa ia (seorang kepala subdirektorat jenderal) memiliki proyek di departemen pada bidang yang ditangani, seperti yang telah saya sebutkan di atas. Ditawarkan tanpa tender, jelas ini adalah satu pelanggaran hukum dalam gerak langkah untuk melakukan korupsi. Pola perilaku korupsi ini kejam. Mereka menawarkan proyek dalam harga sesuai dengan nilai pagu Rp 300 juta, tapi mereka sudah memotongnya sekitar 40 persen. Secara kasar saya diberi informasi bahwa nilai proyek Rp 300 juta itu hanya ditawarkan Rp 190 juta. Sementara itu, nilai proyek Rp 110 juta lainnya dibagi-bagi dengan sesama pejabat di departemen yang menangani proyek. Itu pun--masih menurut informasi yang saya terima-kepala subdirektorat jenderal itu masih turut menikmati sebagian uang dari nilai proyek Rp 190 juta yang ditawarkan kepada koleganya yang punya production house. Besarannya yang sudah pasti-- menurut informasi itu-adalah Rp 30 juta, yang rencananya akan digunakan untuk iklan penulisan artikel menyangkut tema tersebut di media massa. Hal yang sangat menarik untuk dicermati di sini, mengapa perilaku korupsi seperti ini bisa terjadi--justru di era reformasi ketika kebijakan-kebijakan birokrasi tengah diperbaiki. Belum lagi kalau kita mengkaji materi proyek itu secara substansial. Pertanyaannya, apakah proyek itu memiliki signifikansi fungsi strategis bagi upaya pemberdayaan masyarakat, yang hingga kini masih dalam belenggu kemiskinan dalam berbagai aspek. Jika tidak, mengapa proyek seperti itu bisa dimasukkan dalam draf anggaran belanja departemen. Memang, harus diakui kesalahan ini menyangkut banyak pihak, termasuk DPR yang mengesahkan APBN, dengan anggaran departemen itu termasuk di dalamnya. Namun, hemat saya, mestinya para pejabat terkait di berbagai departemen bisa memilah mana proyek yang layak dikerjakan dan mana yang tidak layak dikerjakan karena proyek itu tidak memiliki signifikansi fungsi strategis bagi upaya memberdayakan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tapi memang, haruslah diakui bahwa fenomena ini merupakan bagian dari sisi kelam pelayanan publik (social service) di negeri ini. Ketiga, yang sangat sadis pola perilaku korupsi dalam jejaring birokrasi sebenarnya adalah korupsi yang dilakukan secara konspiratif, yang melibatkan berbagai pihak dalam poros-poros

pengambilan kebijakan publik dan politik (stakeholder). Menurut catatan Mahmudi Hairuddin (2005), proyek-proyek negara yang terserap selama ini hanyalah berkisar 60 persen dari total anggaran yang tersedia. Disinyalir 5 persen dari anggaran tersebut diambil pihak departemen yang menangani proyek itu, 5 persen disetor untuk menurunkan dananya ke pihak departemen terkait, 5 persen untuk pihak terkait yang turut melegitimasi keputusan adanya suatu proyek, 5 persen untuk tim audit laporan keuangan, 5 persen untuk pihak terkait dalam pemerintah di tingkat provinsi, 5 persen untuk pihak terkait di tingkat kabupaten, dan sisanya (10 persen) untuk mereka yang mengerjakan proyek itu. Jika betul informasi ini, sungguh ironis dan pantas saja negeri ini terus terpuruk dalam berbagai aspek dan dimensinya. Mohammad Yasin Kara, ANGGOTA DPR DARI FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 Agustus 2006 http://m.antikorupsi.org/?q=node/8653

Empat Sumber Penyakit Birokrasi

JAKARTA, KOMPAS.com Banyak permasalahan yang membuat pembenahan birokrasi di Indonesia berjalan lambat sehingga perlu dilakukan reformasi birokrasi. "Ada empat sumber penyakit birokrasi," ungkap Prof Eko Saharjo Guru Besar Universitas Indonesia saat diskusi yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Untuk Pengawasan Pemerintah yang Baik dan Bersih (Komwas PBB) di Jakarta, Rabu (1/7). Masalah pertama, papar Eko, adanya budaya menguasai bukan melayani publik dalam birokrasi yang diakibatkan proses pengisian jabatan-jabatan dalam birokrasi berdasarkan kedekatan dengan penguasa. Masalah kedua, ketidakmampuan melayani dalam birokrasi karena proses penerimaan pegawai dilakukan dengan cara-cara tidak profesional dan sarat kepentingan. "Ada tren baru sejak pengangkatan PNS dari pegawai honorer. Di daerah yang disiapkan menjadi honorer adalah keluarga, kerabat, dan saudara," lontarnya. Masalah ketiga, lanjut Eko, adanya kerusakan moral dalam birokrasi yang selalu berpikir mendapatkan uang dari proyek-proyek yang dilakukan. "Gaji PNS cuma bisa hidup untuk 7-10

hari. Hanya dengan melakukan kejahatan untuk tambahan uang dia bisa hidup selama sebulan," tegasnya. Masalah terakhir, kata Eko, partai politik menganggap birokrasi sebagai sumber uang. "Siapa yang menguasai birokrasi, dia yang menguasai uang negara," ungkapnya. Untuk mengatasinya, lanjut Eko, perlu adanya komitmen pemimpin untuk melakukan reformasi birokrasi. Selain itu, perlu dipikirkan siapa yang akan membuat kebijakan dan mengawal reformasi birokrasi. "Terakhir, membuat agenda setting untuk reformasi birokrasi yang bisa dipelajari dari negaranegara lain dan pemerintah-pemerintah daerah yang telah berhasil menata birokrasi," ujarnya. Selain itu, ada beberapa langkah fokus untuk mempercepat reformasi birokrasi yaitu dengan melihat kembali fungsi dan tanggung jawab pegawai. "Sebaiknya dilakukan perampingan birokrasi," kata Eko. Di samping itu, harus dilakukan perbaikan manajemen dalam birokrasi baik manajemen pelayanan, SDM, pengelolaan uang negara, serta manajemen pengawasan. "Fokus terakhir, rekonstruksi peran. Apakah seluruh pelayanan publik harus dilakukan oleh negara? Kalau negara tidak sanggup, serahkan saja kepada swasta," tegasnya.
http://nasional.kompas.com/read/2009/07/01/19345991/empat.sumber.penyakit.birokrasi

Patologi Birokrasi Palas Articles | Opini Dalam sejarahnya, patologi birokrasi (Bureaupathology) dikenal sejak hadirnya rutinitas kegiatan yang menyibukkan para birokrat itu sendiri dan menciptakan aktifitas yang berbelitbelit Birokrasi Padang Lawas (Palas) menarik diamati, dikaji untuk disimpulkan. Alasan pertama memang tidak begitu ilmiah, tapi cukup menggelitik pikiran dan nalar. Yakni sebab terjadinya fenomena di tengah masyarakat Palas di atas mulai terbangunnya adagium negatif. Adagium yang diyakini bersumber dari perilaku birokrasi yang sangat dikwatirkan akan menjadi mitos baru Palas. Dan sebagai kabupaten baru, tentu Palas butuh pondasi filosofis tentang persepsi masyarakat luas terhadapnya dan hal-hal seperti ini merupakan bagian dari pondasi filosofis yang perlu direspon agar tidak meluas. Adagiumnya, bila Tapanuli Selatan (Tapsel) diplesetkan menjadi Tak Pernah Selesai (Tapsel) hingga terbangun persepsi masyarakat luas terhadap Tapsel sedemikian rupa. Maka Palas pun sudah diplesetkan masyarakat menjadi Paling Lambat Sekali (Palas) atau Padang Lawas Lamban Selalu. Hadirnya adagium ini bukan tanpa dasar atau lahir begitu saja, salah satu sebab terbangunnya adagium ini h berakar dari penyakit birokrasi (patologi birokrasi), termasuk sikap lamban pemerintahan Palas. Alasan kedua birokrasi Palas menarik diamati atau dikaji, karena potensi Palas sangat memukau dan membutuhkan terbentuknya birokrasi ideal dalam rangka menjawab harapan-harapan masyarakat. Utamanya untuk menyongsong peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena di tangan birokrasi yang baiklah harapan masyarakat dapat terpenuhi dengan maksimal dan begitu juga sebaliknya, birokrasi yang buruk akan semakin menjauhkan kesejahteraan masyarakat terpenuhi. Patologi birokrasi Dalam sejarahnya, patologi birokrasi (Bureaupathology) dikenal sejak hadirnya rutinitas kegiatan yang menyibukkan para birokrat itu sendiri dan menciptakan aktifitas yang berbelit-belit. Kemudian kondisi ini dikenal dengan istilah Red Tape (pita merah). Yakni birokrasi yang berbelit-belit sehingga menciptakan perilaku birokrasi yang sangat bertentangan dengan tujuan mulia kehadiran birokrasi itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Kajian dan eksprimen terhadap patologi birokrasi pun kian berkembang dan menghasilkan banyak pandangan atau teori tentang patologi birokrasi. Victor A Thompson menggambarkan fitur dari patologi birokrasi seperti sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas dan prosedur, perlawanan

terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status. Sayangnya, pada kenyataannya negara berkembang telah menjadi ruang dan tempat tumbuh suburnya patologi birokrasi. Seperti Indonesia sebagai negara berkembang masih dalam selimut patologi birokrasi, mulai dari birokrasi pusat hingga birokrasi di daerah. Bahwa ternyata desentralisasi atau otonomi daerah yang sedang dan terus dijalani bangsa ini belum mampu menyingkirkan patologi birokrasi. Bahkan di beberapa daerah kita menyaksikan semakin mengukuhkan patologi birokrasi itu sendiri. Ciri ini dapat kita lihat, pertama betapa administrasi publik kita masih kerap bersifat elitis, otoriter, paternalistik, serta menjauh dari atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya. Bahwa keberadaan birokrasi belum menyatu dalam kehidupan masyarakat dan belum mengakomodir kolektifitas atau partisipasi semua unsur dalam agenda birokrasi. Kedua, birokrasi kita kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over (berlebih) dalam segi kuantitas. Fakta ini telah kita saksikan, birokrasi kita masih saja lemah secara sumber daya manusia. Dan sangat wajar lemah, karena dalam proses rekrutmennya selama ini bukan atas dasar kualitas, dan inilah salah satu produk patologi birokrasi tersebut. Secara kuantitas, jelas birokrasi Indonesia sangat gemuk dan over lembaga dalam menangani sektor-sektor yang pada dasarnya sama. Sehingga sering kita menyaksikan di kantor-kantor pemerintahan kita banyak aparatur yang tidak bekerja dan terjadinya tumpang tindih dalam penanganan masalah dalam memberikan pelayanan publik. Ketiga, birokrasi kita masih lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Telah menjadi sebuah realitas yang berkepanjangan. Bahwa mental dan kultur birokrasi kita masih berazas manfaat pribadi atau kelompok serta sangat pragmatis dan mengabaikan kehendak rakyat. Kenyataan ini dekat dengan kita, di mana para birokrat kita begitu kaya-kaya atau sejahtera secara materiil secara tidak layak bila dibandingkan gaji yang ditetapkan. Keempat, birokrasi kita sering mengutamakan formalitas daripada substansi. Bahwa banyak penyelenggaraan birokrasi kita dalam melaksanakan pembangunan hanya bersifat sekedar tanpa mengoptimalkan sisi esensi, manfaat dan dampak positifnya jauh ke depan. Serta sering bersifat seremonial. Kelima, birokrasi kita masih asik dengan jalannya sendiri tanpa mengperhitungkan atau mengakomodir aspirasi rakyat. Birokrasi kita, khususnya di daerah, masih jauh dari pengawasan yang seyogianya. Artinya, lepas dari proses politik dan pengawasan publik secara kuat.

Kondisi yang mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya patologi birokrasi adalah akibat pembiaran terhadap lahir dan tumbuhnya benih-benih gejala patologi birokrasi itu sendiri. Menurut Sondang P. Siagian, gejala patologi dalam birokrasi bersumber pada lima masalah pokok. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan penggemukan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih. Patologi birokrasi Palas Seyogianya memang, UU No.38 Tahun 2007 tentang Kabupaten Palas sebagai semangat menyambut otonomi daerah dapat menekan sekecil mungkin berlangsungnya patologi birokrasi di lingkungan pemerintahan Tapanuli Selatan yang selama ini (baca: sebelum mekar) dirasakan masyarakat Palas. Karena hadirnya Kabupaten Palas diharapkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat semakin dekat dan terbuka. Artinya, akses masyarakat kepada pemerintah juga akan semakin nyata. Sehingga segenap kebutuhan dan kepentingan masyarakat melalui pembangunan terpenuhi dan cita-cita rakyat akan kesejahteraan secara bertahap tercapai. Meski belum ada penelitian yang menghasilkan data atau bahan secara akurat bahwa patologi birokrasi telah menghinggapi birokrasi Palas. Namun fakta di lapangan dan fenomena yang terjadi dapat disimpulkan bahwa birokrasi pemerintahan Palas mulai diselimuti patologi birokrasi. Benar memang, waktu tiga tahun tentu belum bisa dijadikan parameter mutlak kegagalan kepemimpinan Palas untuk membawa perubahan riil. Tapi, kondisi tiga tahun Palas dapat dijadikan potret untuk mengukur masa depan Palas beberapa tahun ke depan. Dan tiga tahun tentu sudah bisa dijadikan referensi untuk menyimak dan menyimpulkan adanya gejala patologi birokrasi.

Bahwa berdasarkan teori yang disampaikan di atas tentang patologi birokrasi. Palas dekat dengan deskripsi tersebut. Administrasi publik belum keluar dari kesan elitis. Di mana banyak masyarakat Palas masih minder berurusan dengan pemerintah. Kepemimpinan pemerintahan telah secara otoriter menyusun formasi birokrasi tanpa pertimbangan prinsip the right man on the right place. Birokrasi Palas belum melibatkan publik secara tepat dalam agenda pemerintahan untuk mendorong keterbukaan, termasuk dalam pengalokasian anggaran pembangunan dan agenda yang bersifat skala prioritas. Lemahnya sumberdaya manusia birokrasi Palas, ditandai dengan terjadinya polemik internal dan konflik antar lembaga berkaitan tidak optimalnya pelaksanaan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) serta ketidaksiapan dalam menyampaikan laporan kinerja. Dan ketidakmampuan untuk membuat rumusan dalam penyelesaian persoalanpersoalan yang mengemuka. Kemudian persoalan kinerja tanpa arah yang jelas. Orientasi kemanfaatan pribadi atau kelompok, ditandai dengan adanya dugaan korupsi dana sarana pembangunan perkantoran oleh pejabat-pejabat teras Palas. Ketidakdisiplinan aparatur, masih banyaknya pegawai yang terlambat dan bolos kerja. Tidak berjalannya fungsi koordinasi dalam penyelesaian persoalan. Kerap bersifat seremonial, salah satunya ditandai dengan dilakukannya pelebaran jalan kabupaten, seperti jalan Sibuhuan Hapung, tanpa pengawasan yang baik dan tindak lanjut yang jelas. Pengabaian birokrasi Palas terhadap kritikan masyarakat. Bahwa sejak awal berdirinya pemerintahan, masyarakat telah kritis dan memberikan masukan kepada pemerintah, namun hingga saat ini belum mengalami perubahan yang baik. Penutup Tentang adagium Paling Lambat Sekali (Palas) atau Padang Lawas Lamban Selalu, menurut penulis adalah bertolak dari beberapa keterlambatan pemerintah. Seperti, lamban membangun kantor bupati, lamban menyusun formasi kepemimpinan SKPD defenitif. Lamban dalam penyerahan SK CPNS yang hingga sekarang masih menyisakan 22 SK CPNS yang belum diserahkan. Dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan wujud atau bentuk patologi birokrasi Palas. Terakhir, bukti mulai tumbuhnya patologi birokrasi Palas, opini publik mengatakan bahwa Kabupaten Padang Lawas jalan di tempat. Artinya tidak mengalami perubahan sebagaimana diharapkan. Dengan demikian patologi birokrasi harus segera diatasi agar terciptanya birokrasi yang kuat demi peningkatan kesejahteraan rakyat. ***** (Ansor Harahap : Penulis adalah Bendahara Badko HMI Sumut, Ketua Umum Gema Padang

Lawas, mahasiswa ekstension Ilmu Administrasi Negara Fisip USU )

http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6379&catid=59&Itemid= 215

You might also like