You are on page 1of 13

PENGUASAAN DAERAH ATAS BAHAN GALIAN/PERTAMBANGAN DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH1

I. PENDAHULUAN. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Di dalam pasal tersebut diirumuskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengenai rumusan tersebut tidak pernah ada penjelasan atau kejelasan resmi tentang makna dikuasai oleh negara. Namun satu hal yang telah disepakati bahwa makna dikuasai oleh negara tidak sama dengan dimiliki negara. Konsep penguasaan negara atas SDA ini merupakan suatu bentuk reaksi dari sistem pemilikan atas tanah oleh negara berdasarkan domein verklaring (Pasal 1 Agrarisch Besluit) yang diterapkan pada masa kolonial Hindia Belanda. Berdasarkan konsep atau lebih dikenal dengan asas domein ini negara adalah pemilik atas tanah. Oleh karena itu negara memiliki segala wewenang melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan (eigensdaad).1 Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA) merumuskan makna hak menguasai negara sebagai wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang agkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 2 Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat.3 Dalam penjelasan umum lebih ditegaskan bahwa negara tidak memiliki, melainkan bertindak selaku pemegang kekuasaan. Jadi bersifat publik atau kepemerintahan belaka (bestuursdaad). Yang seringkali dilupakan adalah tujuan dari dikuasai negara. Baik dalam UUD 1945 maupun UUPA ditegaskan bahwa hak menguasai negara adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, setidak-tidaknya ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu: a. Apabila dengan itikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat, maka kenyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah-tanah tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus mendapat hak didahulukan dari pada occupant baru yang menyalahgunakan formalitasformalitas hukum yang berlaku;
Sri Nur Hari Susanto, Disampaikan pada Seminar Nasional Aspek Hukum Penguasaan Daerah atas Bahan Galian, di Fakultas Hukum Undip pada 2 Desember 2009.
1

b. Tanah yang dikuasai negara tetapi telah dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik (ter geode trouw) hanya dapat dicabut atau diasingkan dari mereka, semata-mata untuk kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial dan atau kepentingan negara;4 c. Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan konkrit yang diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik, harus dijamin tidak akan menurunkan status atau kualitas hidup mereka karena hubungan mereka dengan tanah tersebut. Berdasarkan logika di atas, maka semestinya makna dikuasai oleh negara mengandung arti :

1. Hak (negara) itu harus dilihat sebagai antitesis dari asas domein yang memberi
wewenang kepada negara untuk melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan asas kepunyaan menurut adat istiadat. Hak kepunyaan didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka; 2. Hak menguasai oleh negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan yaitu demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak terdahulu kepada rakyat yang telah secara nyata dan dengan itikad baik memanfaatkan tanah. Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang terkandung dalam bumi dan dalam air. Dalam bumi diartikan sebagai di permukaan atau di bawah bumi. Di dalam air diartikan berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah bumi yang berair (sungai, danau, laut, rawa). Bahan galian tambang untuk sebagian didapati di atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang berada di bawah air. Oleh karena itu pengertian bahan galian harus diartikan baik yang diperoleh dengan menggali maupun dengan cara-cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk permukaan bumi yang ada di bawah air. II. OTONOMI DAERAH DAN PENGUASAAN DAERAH ATAS BAHAN GALIAN Di dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) telah disebutkan bahwa pelaksanaan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dikuasakan kepada daerah. Walaupun ketentuan ini memungkinkan daerah turut serta menyelenggarakan hak menguasai oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya, tetapi tidak cukup jelas terutama mengenai makna dikuasakan. Apakah dikuasakan itu dalam arti diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah atau sebagai tugas pembantuan atau sebagai tugas dekonsentrasi ? Hal ini baru nampak jelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sebagaimana telah diganti dengan Undangundang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam undang-undang ini disebutkan : a. Terhadap bahan galian golongan c pelaksanaan, penguasaan negara dan pengaturannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I;

b. Terhadap bahan galian golongan b dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I. Ketentuan di atas menunjukkan : (1) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan c sepenuhnya diserahkan kepada daerah (dalam hal ini Daerah Tingkat I); (2) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan b dapat dilakukan pusat atau daerah. Wewenang daerah tergantung pada kebijakan pusat. Bagaimanakah keadaan setelah ada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah? Sejak berlakunya undang-undang tersebut, pemberian otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota secara luas (Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004) telah dipersepsikan secara keliru bahwa semua kewenangan pertambangan secara otomatis menjadi kewenangan pemerintah daerah. Dalam konteks otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan dan urusan pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah daerah secara otomatis. Tugas-tugas pengelolaan di bidang pertambangan bukanlah tugas yang bersifat kedaerahan, sehingga tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Urusan yang dapat diserahkan kepada daerah adalah urusan yang bersifat lokal, artinya mempunyai nilai yang bersifat kedaerahan, sesuai dengan kondisi daerah dan tidak menyangkut kepentingan nasional. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 didapati ketentuan sebagai berikut: (1) Kewenangan daerah meliputi seluruh kewenangan bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Di dalam Pasal 10 dinyatakan : Ayat (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Ayat (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; serta f. agama Memperhatikan ketentuan di atas, secara a contrario maka pada asasnya urusan pemerintahan di bidang bahan galian tambang mesti masuk menjadi urusan rumah tangga daerah. Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 13, kewenangan urusan pertambangan bukan merupakan kewenangan wajib yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Bidang urusan pertambangan termasuk dalam urusan yang bersifat pilihan , yaitu urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, kewenangan di bidang pertambangan semestinya dibagi dalam kewenangan yang bersifat mengatur (regelen), mengurus (besturen) dan mengawasi (toezichthouden). Dalam konteks penerapan hak penguasaan negara (HPN) atas bahan galian, tidak berarti negara sebagai pemilik. Namun apabila dilihat dari hak eksklusif yang melekat pada negara, maka HPN harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara yang mengandung pengertian bahwa negara diberi kewenangan penuh (volldige bevoegheid) untuk menentukan kebijaksanaan yang diperlukan semata-mata dalam bentuk ketiga kewenangan di atas (regelen, besturen, toezichthouden) terhadap kegiatan pengusahaan pertambangan. Di sinilah keterkaitan dengan pembentukan kebijakan yang menyangkut kerjasama pengusahaan di bidang pertambangan di mana paradigma telah berubah secara tajam. Namun harus tetap melihat karakter lokalitas dari daerah yang bersangkutan yang menerima kewenangan urusan pertambangan Oleh karena itu pemegang hak milik atas kekayaan alam berupa aneka ragam bahan galian yang terkandung di dalam bumi dan air di wilayah hukum (pertambangan) Indonesia adalah hak milik bangsa Indonesia (mineral right). Bangsa Indonesia sebagai pemilik bahan galian tersebut memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengatur dan mengurus serta memanfaatkan kekayaan alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pula negara diberikan hak penguasaan (authority right) atas kekayaan alam milik bangsa Indonesia, agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian untuk penyelenggaraan selanjutnya, mengingat negara tidak mungkin menyelenggarakan sendiri, maka HPN ini dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari. Jadi pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan (KP). Selanjutnya dalam penyelenggaraan atas penguasaan kekayaan alam tersebut, sesuai dengan kewenangan pemerintah, menurut Soepomo (dikutip oleh Ismail Suny, 2005), maka melalui lembagalembaga yang dibentuknya dapat melakukan kerjasama pengusahaan pertambangan dengan pihak lain (investor) sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan (mining right). Dalam pelaksanaannya di era otonomi daerah saat ini, persepsi tentang konsep penguasaan dan pengusahaan sering bercampur aduk dalam penafsiran yang salah. Ada pemerintah daerah yang memiliki persepsi bahwa bahan galian atau sumber daya alam yang terdapat di daerahnya seolah-olah adalah milik rakyat di daerah tersebut. Padahal seharusnya pengertiannya adalah dimanapun bahan galian tersebut berada adalah milik seluruh rakyat Indonesia secara bersama-sama. Hal ini yang dalam pelaksanaannya akhirnya sering menjadi permasalahan dalam kaitannya dengan pemberian perijinan di bidang pertambangan.

(2) Penerimaan daerah dari penerimaan negara di sektor pertambangan diperoleh melalui dana perimbangan.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, pembagian besarnya penerimaan dari sektor pertambangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah :

a. Sektor Pertambangan Umum (iuran tetap/land-rent & iuran eksplorasi dan


eksploitasi/royalty) : pemerintah 20 % dan daerah 80 %. *) Penerimaan iuran tetap (land-rent) : pemerintah 20 % dan daerah 80 % (provinsi 16 % dan kabupaten/kota penghasil 64 %) *) Penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) : pemerintah 20 % dan daerah 80 % (provinsi 16 %, daerah penghasil 32 % dan 32 % sisanya untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf c, Pasal 17 Ayat (1), (2), (3) UU No.33 Tahun 2004. b. Sektor pertambangan Minyak Bumi : pemerintah 84,5 % dan daerah 15.5 % (provinsi 3 %, kabupaten/kota penghasil 6 %, 6 % sisanya untuk kabupaten/kota lainnya yang berada dalam provinsi yang bersangkutan; 0,5 % untuk menambah anggaran pendidikan dasar) Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf e, Pasal 19 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1) UU No.33 Tahun 2004. c. Sektor pertambangan Gas Bumi : pemerintah 69,5 % dan daerah 30,5 % (provinsi 6 %, kabupaten/kota penghasil 12 %, 12 % sisanya untuk kabupaten/kota lainnya yang ada dalam provinsi yang bersangkutan; 0,5 % untuk menambah anggaran pendidikan dasar). Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf f, Pasal 19 Ayat (3), Pasal 20 Ayat (1) UU No.33 Tahun 2004. Berdasarkan deskripsi pembagian atas hasil pertambangan di atas, maka dapat digarisbawahi bahwa meskipun daerah memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetapi daerah yang bersangkutan tidak bisa menampakkan diri kepada daerah lainnya sebagai daerah yang kaya. Hal ini dikarenakan undang-undang telah mengatur adanya pembagian hasil yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam tersebut. Di sisi lain undang-undang telah menempatkan posisi pemerintah memperoleh pembagian hasil yang besar. Ini berarti diperlukan adanya campur tangan pemerintah di sektor pertambangan untuk tujuan kepentingan nasional, sehingga hasil yang diperoleh dari pengelolaaan sektor pertambangan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dan bukan semata-mata oleh daerah yang didapati memiliki kekayaan sumber daya alam .

III. PERGANTIAN UU No.11 TAHUN 1967 (UUPP) OLEH UU N0.4 TAHUN 2009 (UU MINERBA).

Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkannya otonomi daerah merupakan konteks yang melatarbelakangi lahirnya sejumlah perubahan dalam UU Minerba yang baru (disahkan pada 12 Januari 2009 dan sebelumnya pada 16 Desember 2008 telah disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah). Jika dibandingkan dengan UU No.11 Tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang penting di antaranya adalah dihapuskannya sistem kontrak karya (KK) bagi pengusahaan pertambangan dan diganti dengan sistem ijin usaha pertambangan (IUP). Namun demikian, meski telah memuat beberapa perubahan UU Minerba dapat dikatakan masih sangat minim dalam hal yang berkaitan dengan kejelasan perencanaan, pengelolaan, kebijakan dan strategi pertambangan nasional yang akan dituju. Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum sehingga tidak operasional. Indikasi dari hal tersebut, dari 175 pasal yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya 22 pasal menyebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal ini, akan diatur dengan peraturan pemerintah, dan 3 pasal menyebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal ini, akan diatur dengan peraturan daerah, provinsi/kabupaten/kota. Hal tersebut berarti bagaimana nanti implementasi yang lebih pasti dari UU Minerba ini dan bagimana arah serta gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti, akan sangat tergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada saat peraturan pemerintah (PP) dan Perda dibuat. Di samping itu UU Minerba juga mewajibkan pemerintah untuk menetapkan tata ruang nasional wilayah pertambangan dengan ditunjang data geologis secara tepat. Ini berarti sejauh penetapan itu belum dilakukan, maka tidak boleh ada pengeluaran ijin penambangan oleh pemerintah daerah sehingga bisa terjadi moratorium (jeda) tambang sampai ditetapkan tata ruang nasional pertambangan. Implementasi UU Minerba juga tidak berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan dengan undang-undang lainnya seperti UU Kehutanan dan UU Lingkungan hidup yang berlaku. Penerapan undang-undang lainnya terkait dengan masalah perlindungan masyarakat korban yang terkena dampak usaha tambang. Berikut ini akan diperbandingkan sisi perubahan yang terkandung dalam undang-undang baru. TABEL 1 Perbandingan UU No.11/1967 dan UU No.4/2009

No Materi Pokok 1 Judul 2 Prinsip Hak Penguasaan Negara /HPN

UU No.11 Tahun 1967 Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan Penguasaan Bahan Galian diselenggarakan negara (Pasal 1)

UU No.4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara * Penguasaan Minerba oleh negara, diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemda (Pasal 4) * Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan

pengutamaan minerba bagi kepentingan nasional (Pasal 5) 3 Penggolongan/Pengelompokan Penggolongan bahan galian strategis, vital, bukan strattegis bukan vital (Pasal 3) * Pengelompokan usaha pertambangan : mineral dan batubara * Penggolongan tambang mineral : radioaktif, logam, bukan logam, batuan (Pasal 34) 4 Kewenangan Pengelolaan * Bahan galian strategis (gol.A) dan vital (gol.B) oleh Pemerintah * 21 kewenangan berada di tangan Pusat

* 14 kewenangan berada di * Bahan galian non tangan provinsi strategis non vital (gol C) oleh Pemda Tkt. I * 12 kewenangan berada di /Provinsi (Pasal 4) tangan kabupaten/kota (Pasal 6-8) 5 Wilayah Pertambangan Secara terinci tidak diatur, * Wilayah pertambangan kecuali bahwa usaha adalah bagian dari tata pertambangan tidak ruang nasional, ditetapkan berlokasi di tempat suci, pemerintah setelah kuburan, bangunan, dll koordinasi dengan Pemda (Pasal 16 ayat 3) dan DPR (Pasal 10) * Wilayah pertambangan tdr : wilayah usaha pertambangan (WUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan wilayah pencadangan nasional (WPN) Pasal 14 s/d 33 6 Legalitas Usaha Sistem/Rezim Kontrak (Pasal 10, 15), terdiri atas: * Kontrak Karya (KK) * Kuasa Pertambangan (KP) Sistem/Rezim Perijinan (Pasal 35), terdiri atas: * Ijin Usaha Pertambangan (IUP) * Ijin Pertambangan Rakyat (IPR)

* Surat Ijin Pertambangan * Ijin Usaha Pertambangan Daerah (SIPD) Khusus (IUPK)

* Surat Ijin Pertambangan Rakyat (SIPR) 7 Tahapan Usaha Terdiri 6 tahapan yang Terdiri 2 tahapan yang berkonsekuensi pada berkonse-kuensi pada adanya 6 jenis kuasa adanya 2 tingkatan perijinan pertambangan : : penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, * Eksplorasi yang meliputi : pengolahan & pemurnian, penyelidikan umum, pengangkutan, penjualan eksplorasi, studi kelayakan (Pasal 14) * Operasi produksi, yang meliputi : konstruksi, penambangan, pengolahan & pemurnian, pengangkutan dan penjualan (Pasal 36) * Investor Nasional/domestic (PMDN), berupa : KP, SIPD, PKP2B * Investor Asing (PMA), berupa : KK, PKP2B * IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN) , koperasi, perseorangan (Pasal 38) * IPR bagi penduduk local, koperasi (Pasal 67) * IUPK, bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia dengan prioritas pada BUMN/BUMD (Pasal 75) 9 Kewajiban Pelaku Usaha * Kewajiban keuangan bagi negara: * Kewajiban keuangan bagi negara: pajak dan PNBP. Tambahan bagi IUPK - KP sesuai aturan yang pembayaran 10 % dari keuntungan bersih berlaku : iuran tetap & royalty (merujuk PP No.45/2003 Ttg PNBP * Pemeliharaa lingkungan : DESDM) konservasi, reklamasi (Pasal 96 s/d 100) - KK/PKP2B sesuai kontrak : untuk KK iuran * kepentingan nasional : tetap & royalty; untuk pengolahan dan pemurnian PKP2B : iuran tetap & di dalam negeri (Pasal 103DIIPB (merujuk pada 104) Keppres No.75/1996 Ttg Ketentuan PKP2B) * Pemanfaatan tenaga kerja setempat, partisipasi * Minimal, bahkan tdk pengusaha lokal pada tahap diatur kewajiban soal produksi , program

8 Klasifikasi Investor & Jenis Legalitas Usaha

lingku-ngan , kemitraan dgn usaha lokal, pemanfaatan tenaga kerja setempat, program pengembangan masyarakat

pengembangan masyarakat (Pasal 106-108) * Penggunaan perusahaan jasa pertambangan local dan/atau nasional (Pasal 124) * Pusat : terhadap provinsi dan kabupaten/kota terkait penyeleng-garaan pengelolaan pertambangan * Pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenang-an terhadp pemegang IUP dilakukan * Kabupaten/Kota terhadap IPR (Pasal 139-142)

10 Pembinaan & Pengawasan

Terpusat di tangan pemerintah atas pemegang KK, KP , PKP2B

11 Ketentuan Peralihan (terkait Palal 35 : Semua hak status hukum investasi existing pertambangan dan KP perusahaan negara, swasta, badan lain atau perseorangan berdasarkan peraturan yang ada sebelum saat berlakunya UU ini, tetap dijalankan sampai sejauh masa berlakunya, kecuali ada penetapan lain menurut PP yang dikeluarkan berdasarkan UU ini .

Pasal 169, pada saat UU ini mulai berlaku : a. KK & PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak / perjanjian b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B dimaksud disesuaikan selambatlambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan , kecuali mengenai penerimaan negara.

Berdasarkan sejumlah perbedaan di atas, tampak substansi UU No. 4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies). Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi.

Menguatnya hak penguasaan negara (HPN), termasuk penguasaan SDA, Pemerintah menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan usaha tambang. Untuk itu dimulai dari perubahan sistem/rezim kontrak menjadi sistem/rezim perijinan. Dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana diterapkan selama ini berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967, posisi pemerintah tidak saja mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi negara setara (level) kontraktor. Oleh sebab itu implikasi hukum perubahan sistem/rezim dalam undangundang yang baru (UU Minerba) ini adalah mengembalikan asas HPN pada posisi secara ketatanegaraan. Hal ini bisa dilihat pada tabel di bawah ini. TABEL 2 Perbandingan Sistem/rezim Perijinan dan Sistem/rezim Kontrak Subyek Sistem/rezim Perijinan Sistem/rezim Kontrak
hukum Bersifat perdata Oleh Kedua belah pihak Berlaku Pilihan Hukum Kesepakatan Dua Belah Pihak Arbitrase Kesepakatan Dua Belah Pihak

1. Hubungan Hukum Bersifat publik, instrumen administrasi negara 2. Penerapan Hukum Oleh Pemerintah 3. Pilihan Hukum 4. Akibat Hukum 5.Penyelesaian sengketa Tidak Berlaku Pilihan Hukum Sepihak PTUN

6. Kepastian Hukum Lebih Terjamin

7. Hak dan Kewajiban Hak dan Kewajiban Pemerintah Lebih Hak dan Kewajiban relatif setara Besar Antar Pihak 8. Sumber Hukum Peraturan Perundang-undangan Kontrak/Perjanjian itu sendiri

Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undangundang ini. Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009, maka substansi yang terkandung dalam UU No. 4 Thun 2009 menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah (pusat) dalam hal sebagai berikut : a. b. c. d. e. Penetapan kebijakan nasional; Pembuatan peraturan perundang-undangan; Penetapan standard, pedoman dan kriteria; Penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional; Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan Pemda dan DPR.

Di luar hal-hal tersebut di atas, jenis-jenis kewenangan terutama perijinan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota bersubstansi sama dan hanya berbeda dalam skala

cakupan wililayah. Sebagai rincian dalam hal pembagian kewenangan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada table di bawah ini. TABEL 3 Kewenangan Pengelolaan Minerba

No. Kewenangan Pusat


1 Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai

Kewenangan Provinsi
Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kab./kota dan atau wilayah laut 4 mil sampai dengan 12 mil Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kab/kota dan atau wilayah laut 4 mil sampai dengan 12 mil

Kewenangan Kab./Kota
Pemberian IUP dan ijin pertambangan rakyat (IPR), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kab/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 mil

Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yg lokasi penambangannya berada pada batas wilayah provinsi dan atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai

Pemberian IUP dan IPR, pembi-naan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kab/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 mil.

Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan atau dalam wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai.

Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kab/kota dan atau wilayah laut 4 mil sampai dengan 12 mil

IV. PENUTUP Sebagai catatan akhir dari tulisan ini perlu dikemukakan beberapa kelemahan/ kekurangan yang terkandung dalam UU No.4 Tahun 2009 dan mungkin akan menjadi permasalahan dalam implementasinya sebagai berikut : 1. Dalam penetapan wilayah usaha pertambangan (WUP), kewenangan menetapkan hanya sampai pada level provinsi sementara kabupaten/kota tidak dilibatkan. Hal ini jelas berseberangan dengan semangat otonomi daerah (Pasal 15).

2. Pengaturan besarnya luas ijin usaha pertambangan (IUP) dengan penetapan minimal 5.000 hektar akan bertentangan dengan kebijakan daerah yang memiliki lahan terbatas (Pasal 52-62). 3. Kewenangan melakukan riset bidang pertambangan hanya sampai pada provinsi, padahal wilayah usaha pertambangan dan bahan tambang ada pada wilayah kabupaten/kota (Pasal 87) 4. Adanya pengaturan bahwa pemegang ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin usaha pertambangan khusus (IUPK), dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan (Pasal 91). Hal ini jelas merugikan masyarakat, sebab dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan sarana publik akan merugikan masyarakat maupun pemerintah daerah sendiri. Pengoperasian dalam usaha pertambangan senantiasa menggunakan sarana alat dan transportasi berat (Pasal 91). Dalam banyak kasus yang terjadi di Kalimantan, 27 % jalan-jalan yang dilewati oleh truk mengalami rusak berat, belum lagi efek pemakaian jalan tersebut bisa menimbulkan kecelakaan atau infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Artinya undang-undang ini memberi ruang terhadap keburukan-keburukan dan yang menanggung biaya adalah masyarakat local dan APBD. 5.Adanya pengaturan bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan diancam dengan sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000, jelas akan menghalangi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya akibat adanya kegiatan usaha pertambangan (Pasal 162). Ha-hal yang dikemukakan di atas merupakan contoh dari sekian banyak kelemahan yang dikandung dalam UU No.4 tahun 2009. Hal yang perlu untuk diperhatikan adalah bahwa pemberian otonomi kepada daerah tidak mengalami distorsi tujuan. Otonomi tidak semata-mata hanya dipersepsikan sebagai kewenangan saja tetapi juga tanggung jawab yang harus dijalankan. Untuk itu penataan kelembagaan dan kinerja lembaga (structure) dalam pemerintahan daerah, pembenahan regulasi (substance), sebaiknya dilakukan secara terpadu (integrated) walaupun bertahap (incremental). Di samping itu pemahaman HPN terhadap pertambangan Minerba perlu dijadikan referensi untuk meluruskan primordialisme dalam menumbuhkan budaya hukum (legal culture) yang mencerminkan NKRI.

REFERENCE : Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta. Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Menurut UUD1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta.

Boedi Harsono, 1995, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan , Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. De Haan, Paul, 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel 1, Kluwer-Deventer. Pound, Roscoe, 1966, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, New Haven. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : UNDANG UNDANG DASAR NKRI 1945 Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan UUndang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemeritahan Daerah Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

You might also like