You are on page 1of 132

UJIAN NASIONAL 2007; ANTARA KUASA NEGARA DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

SKRIPSI

Oleh : BUDI SANTOSO NIM. DO1303185

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Juli 2007

MOTTO Curang demi demi keberhasilan itu boleh di Indonesia, bahwa pendidikan bukan soal kecerdasan, tetapi soal kelicinan menyelamatkan diri, bahwa guru yang baik bukan guru yang jujur tetapi guru yang menolong meski harus menghiainati hati nurani, bahwa pelajaran moral ituhanya teori saja, dalam hidup yang penting fleksibel tergantung situasi Denni B Saragih (Koordinator Komunitas Air Mata Guru diMedan) Profesi guru adalah profesi akalbudi dan nurani. Maka dapat dikatakan, lembaga pendidikan adalah tempat unruk melatih peserta didik berpikir, mendengarkan dan mengasah nurani. Kenyataannya latihan mendengarkan atau mengasah nurani tidak pernah terjadi. Demi kehebatan akal budi, pesan nurani dilanggar saja. Nurani tidak pernah didengarkan Baskoro Poedjinoegroho E

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI


Skripsi oleh BUDI SANTOSO ini telah dipertahankan di depan tim penguji Skripsi. Surabaya, 1 Agustus 2007 Mengesahkan, Fakultas Tarbiyah Institus Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Dekan, Drs. Nur Hamim, M. Ag. NIP. Ketua, Drs. Adb.Kadir NIP. Sekretaris, Dra. Nur Hayati NIP. Penguji I, . NIP. Penguji II,

DAFTAR ISI Halaman. HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI MOTTO PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I A. B. C. D. E. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Penelitian Definisi Operasional Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 2. Pendekatan Penelitian 3. Jenis Data 4. Sumber Data 5. Teknik Pembahasan F. Sistematika Pembahasan BAB II MEKANISME PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL 2007

A.

Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi Pendidikan 2. Tujuan Evaluasi Pendidikan 3. Fungsi Evaluasi Pendidikan 4. Prinsip Evaluasi

B. C. BAB III A. 1. 2. a. b. Apparatuses) 3. 4. B.

Mekanisme Pelaksanaan Ujian Nasional 2007 Pro Kontra Ujian nasional 2007 KUASA NEGARA DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN Kuasa Negara Sekilas Tentang Kekuasaan dan Negara Strategi Pelanggengan Kekuasaan oleh Negara Hegemoni IRA (IdeologicalState Apparatuses) dan RSA (Repressive State

Negara dan Pendidikan Negara dan Ujian Nasional 2007 Peningkatan Mutu Pendidikan 1. Tentang Mutu Pendidikan 2. Ujian Nasional 2007 dan Peningkatan Mutu Pendidikan

BAB IV ANALISA DATA A. B. Refleksi Ujian Nasional 2007 Mimpi Pendidikan Bermutu

C. BAB V A.

Format Pendidikan Masa Depan PENUTUP Kesimpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

ABSTRAK Kata kunci: ujian nasional, evaluasi, kuasa negara, dan mutu pendidikan Ujian nasional 2007 telah berlalu. Berbagai argumentasi baik yang pro ataupun yang kontra telah menyertainya. Sebagai sebuah kebijakan negara, maka setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhinya. Namun di sisi lain, hal ini bisa dilihat sebagai bentuk penguasaan negara terhadap rakyat. Rakyat dipaksa untuk mengikuti segala kebijakan yang dikeluarkannya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah dengan dilaksanakannya ujian nasional 2007 mutu pendidikan akan otomatis terangkat atau malah sebaliknya?. Dikatakan lebih terpuruk dikarenakan berbagai kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan ujian nasional semakin menajauhkan tujuan dari pendidikan itu sendiri yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pendidikan yang dimaknai dengan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, harus diakui merupakan gerbang terdepan dalam mencetak generasi penerus bangsa. Oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguhsungguh dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Kita tentu tidak ingin kesucian makna dari pendidikan di atas ternodai oleh tindakan-tindakan yang mengotorinya. Jika proses pendidikan sudah diarahkan pada kepentingan sesaat, kepentingan pribadi atau golongan,berarti kita mencetak generasigenerasi yang akan menghancurkan negara yang telah dengan susah payah dirintis oleh para Founding Fathers kita.

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Indonesia, negara kapulauan yang memiliki kurang lebih 17.000 pulau besar dan kecil harus diakui merupakan negara yang sangat kaya raya. Kekayaannya tidak terbatas hanya pada kekayaan alamnya saja, melainkan pada beragamnya suku, bangsa, agama dan budaya. Kekayaan-kekayaan ini jika dapat diproduksi dengan baik, maka akan menghadirkan keanekaragaman yang indah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, di sisi lain, berbagai perbedaan (Differences) jika tidak dapat diproduksi secara cermat dapat mendatangkan malapetaka yang dahsyat dan tak terperikan. Berbagai realitas di atas ternyata belum dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ketidakmampuan mengelola berbagai kekayaan alam ini salah satunya disebabkan karena ketidakmampuan dalam hal pengelolaan. Bila dirunut secara seksama, maka akar masalah dari permasalahan tersebut terletak pada dunia pendidikan.1Dunia pendidikan sebagai garda depan dalam menciptakan generasi penerus bangsa ternyata masih memprihatinkan dan bahkan mengenaskan. Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan nasional telah memberikan inspirasi mengenai pembagian wilayah dari pendidikan itu sendiri
WJS. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1982), 250. diartikan sebagai : Perbuatan (hal, cara) mendidik, Ilmu pengetahuan tentang mendidik dan Pemeliharaan badan, batin dan sebagainya.
1

yang kemudian di sebut dengan Tri Pusat Pendidikan yang meliputi : keluarga, sekolah dan masyarakat Sekolah2 sebagai kawah candradimuka dari proses penciptaan generasi penerus bangsa (setelah keluarga tentunya) ternyata belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Secara historis etimologis, sekolah merupakan turunan dari skhole, scola, scolae atau schola (bahasa Latin) yang secara harfiah berarti: waktu luang, atau waktu senggang.3Penggunaan kata ini tentunya

dilatarbelakangi oleh proses awal dari pelaksanaan sekolah itu sendiri. Pada jaman dahulu, orang-orang Yunani biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau sesorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan ini dengan skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya memiliki arti sama yakni: waktu luang yang digunakan secara khusus utuk belajar.4 Sejak saat itulah, telah beralih sebagian dari fungsi Scola Maternal (pengasuhan ibu sampai usia tertentu {dalam term Ki Hajar Dewantara sebagai lingkungan keluarga}), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi Scola In Loco Parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang diluar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebabnya, mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut Ibu Asuh atau Ibu yang Memberikan Ilmu (Alma Mater).5
2 3

Sekolah berarti : Bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran.Ibid, 889. Roem Tomatimasang, Sekolah Itu Candu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar cet. Ke-5 2003), 5. 4 Ibid, 6. 5 Ibid, 7

Dari akar historis di atas, ada beberapa kegelisahan yang menggelayut dibenak penulis, karena berasal dari kata yang memiliki arti mengisi waktu luang inilah jangan-jangan proses pembelajaran di sekolah dilakukan apa adanya tanpa bentuk managerial yang jelas dan terciptanya out put pembelajaran yang dapat diandalkan. Di negara dengan jumlah rakyat terbesar ke tiga di dunia ini (setelah Cina dan India) masih banyak penduduknya yang tidak mempunyai kamampuan di bidang baca dan tulis alias masih buta huruf.6 Berbagai usaha memang telah dilakukan pemerintah, salah satunya dengan pengalokasian dana 20 % dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.7Namun dalam kenyataan di lapangan berbicara lain, anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk dunia pendidikan pada tahun 2006 ternyata hanya mencapai 9,1 % (sebesar Rp. 39 Triliun) dari total 20 % anggaran yang ada, sedangkan untuk tahun 2007 ini anggaran pendidikan berjumlah 43,4 Triliun.8Ironis memang, namun

permasalahan ini bukan hanya persoalan tunggal yang dihadapi masyarakat di Indonesia. Berbagai kebijakan pendidikan lainnya yang juga mendapatkan perhatian luas terkait dengan kekontroversialannya adalah Surat Keputusan No. 153/U/2003 tentang akhir nasional (UN).9Kontroversi tentang UN ini memang sangat mengemuka,
Dodi Nandika, Perang Total Melawan Buta Aksara, Kompas (Jakarta), Rabu, 25 Januari 2007, 7. Disebutkan sekitar 14,6 juta orang atau 9,55 persen dari penduduk usia 15 tahun ke atas belum melek aksara. 7 UU Sistem Pendidikan Nasional Guru dan Dosen. Pustaka Merah Putih Yogyakarta cet. I 2007 hal. 39. Redaksi lengkapnya sebagai berikut : Bab XII Pendanaan Pendidikan bagian keempat tentang Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 ayat 1 Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pada Sektor Pendidikan dan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 8 Anggaran Pendidikan, Kompas (Jakarta), 18 Oktober 2006, 12. 9 Naylul Izza Et.All, Lebih Asyik Tanpa UN pengantar (Yogyakarta : LkiS, 2007),V.
6

banyak pihak beranggapan bahwa dengan adanya UN ini akan semakin menjauhkan siswa dari tujuan pendidikan yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.10Selain itu juga dianggap memberatkan siswa dan mengebiri peran guru dalam menilai kemampuan muridnya.11Permasalahan mendasar dari pelaksanaan UN antara lain meliputi: alokasi dana yang disediakan, standar nilai kelulusan, pelaksanaan, dan kondisi dari peserta didik itu sendiri. Alokasi dana yang dianggarkan untuk pelaksanaan UN 2007 ini tidak tanggung-tanggung, yakni mencapai 250 Miliar.12Dana ini digunakan untuk pengadaan soal, biaya pengawasan, distribusi soal dan sebagainya. Pembiayaan UN diambilkan dari dana pemerintah dan pemerintah daerah.13 Pelaksanaan UN 2007 mengalami pemajuan jadwal. Jika biasanya UN dilaksanakan pada bulan Mei, maka untuk tahun ini UN akan dilaksanakan pada bulan April. Lebih spesifiknya, tanggal 17-19 April untuk tingkat SMA dan sederajat, serta tanggal 24-26 April 2007 untuk tingkat SMP atau sederajat. 14 Pemajuan jadwal ini mendapat berbagai respon yang beragam, baik pro maupun yang kontra. Pengumuman pelaksanaan yang baru dilakukan pada bulan November 2006 sangat

UU Sistem Pendidikan Nasional Guru dan Dosen, 11. Advertorial. Kompas (Jakarta), Sabtu, 9 Desember 2006, 40-41. 12 Mendiknas Tolak Revisi PP SNP, Kompas (Jakarta), 27 September 2007, 12. 13 Biaya penyelenggaraan ujian nasional sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Permendiknas No.20 tahun 2005 pasal 19. 14 Advertorial. Kompas (Jakarta), Sabtu, 9 Desember 2006, 41-42. Merupakan kolom khusus yang di gunakan oleh Depdiknas untk publikasi mengenai pelaksanaan UN 2007). Diperkuat dengan satatemen DR. Rasiyo (Kadinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim pada acara perbincangan di TVRI Jatim, Minggu, 18 Maret 2007.
11

10

disesalkan, karena sangat mengganggu rencana kerja tahunan para guru.15Hal ini terasa sangat miris jika dibenturkan dengan pernyataan dari Depdiknas yang menggunakan pameo Lebih Cepat Lebih Baik.16Penggunaan pameo ini, meskipun sederhana tetapi terkesan menganggap gampang persoalan. Depdiknas, seakan tidak mengetahui bagaimana sulitnya mengubah jadwal pembelajaran oleh guru. Dengan waktu yang jelas berkurang dengan tetapnya jumlah materi yang harus diberikan kepada siswa tentu bukan perkara mudah untuk melakukannya. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Dari pihak Depdiknas mengatakan bahwa pemajuan jadwal ini dilakukan dengan pertimbangan: target proses kegiatan belajar mengajar sudah usai pada bulan April, sehingga siswa tidak perlu menunggu waktu lebih lama menghadapi UN dan dengan pemajuan jadwal ini diharapkan para siswa dapat lebih konsentrasi. Sebab pada bulan Mei, negeri ini memiliki banyak acara yang akan dihadiri oleh banyak massa yaitu: peringatan hari buruh internasional, hari pendidikan nasional, dan peristiwa Mei.17 Standar kelulusan memang naik. Namun di luar itu, untuk dapat lulus BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)18memberikan keluwesan dengan memberikan dua alternatif standar kelulusan. Pertama, penilaian kelulusan pada UN 2007 menyangkut batas minimal nilai untuk setiap pelajaran yang diujikan. Jika pada UN
M.Basuki Sugita. Berbagai Kelemahan Pelaksanaan Ujian Nasional 2007, Kompas (Jakarta) 5 Februari 2007, 14. 16 Advertorial Kompas (Jakarta), 9 Desember 2006, 41. 17 Advertorial. Kompas (Jakarta), 9 Desember 2006, 41. Diperkuat dengan : Surya, (Surabaya) 16 Februari 2007, 22. Diperkuat dengan statemen dari DR. Rasiyo (kepala dinas pendidikan dan kebudayaan Jatim pada acara perbincangan di TVRI Jatim hari Ahad, 18 Maret 2007 dengan tema Jelang UN 2007. Acara ini juga dihadiri oleh : Prof. DR. Sunarto (Kepala Badan Akreditasi Jatim) dan Drs. Heru Mulyanto (ketua Tim Pemantau Independen (TPI) UN 2007 Jatim), 18 BSNP adalah Badan Standar Nasional Pendidikan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005. Bertugas: mengelola arsip permanen dari hasil ujian nasional dan hal-hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan ujian nasional diatur dalam prosedur operasi standar
15

2006 standar minimal kelulusan 4,26 maka, pada UN 2007 formula standar kelulusan adalah :19 1) Nilai rata-rata 5,00 berbagai mata pelajaran yang diujikan, tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran. Nilai pada dua mata pelajaran lainnya masing-masing minimal 6,00. 2) Lulus ujian sekolah sekolah dengan rata-rata minimum 6,00 (nilai minimal setiap pelajaran sekolah ditentukan oleh masing-masing sekolah). 3) Lulus dari satuan pendidikan, yaitu menyelesaikan seluruh program pembelajaran dengan memperoleh nilai minimum. 4) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 5) Lulus Ujian Nasional (UN). Berbagai gugatan mengenai pelaksanaan UNpun sudah dilayangkan.20Mereka menganggap pelaksanaan UN semakin memberatkan siswa dan memangkas kreatifitas siswa dan guru.21 Berbagai perubahan yang berkenaan dengan UN bermuara pada keinginan pemerintah untuk mencapai target minimal nilai kelulusan 6 pada tahun 2008. Mega proyek ini dicanangkan dengan pertimbangan persaingan dengan negeri tetangga, yakni Malaysia (nilai kelulusan 8), Thailand 7, Singapura 8.22Kalau pertimbangan ini yang dipakai, maka kita terkesan mabuk akan standar nilai saja tanpa melihat kesiapan dari bangsa kita untuk mencapainya. Peningkatan standar nilai memang
Advertorial, Kompas (Jakarta), 9 Desember 2006, 41. Pemerintah Akhirnya Digugat, Kompas (Jakarta) 28 Juli 2006, 12. 21 Advertorial. Kompas, (Jakarta), 9 Desember 2006, 41. 22 Advertorial. Kompas, (Jakarta), 9 Desember 2006, 41-42. Statemen dari Yunan Yusuf (Ketua BSNP)
20 19

penting, namun yang perlu dipertimbangkan juga adalah kondisi negara kita dengan negara-negara yang dicontohkan berbeda. Mulai dari luas wilayah, keragaman budaya, dan fasilitas pendidikan yang ada di masing-masing sekolah. Di sinilah terlihat arogansi dari Negara (state) untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat (Civil Society). Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari Proyek pelaksanaan UN 2007 ini. Dimulai dari pemunculan isu pamajuan jadwal yang dilakukan (bulan November 2006), pemerintah terkesan terburu-buru dalam pelaksanaannya. Jika program ajaran baru dimulai pada bulan Juli, kenapa baru bulan November pengumuman itu diumumkan?. Dari sini pula, mulai tampak peran bengis negara dalam memaksakan kehendaknya kepada rakyat sipil. Rakyat dipaksa untuk mengikuti segala kepentingan negara demi proses pelanggengan kekuasaan. Hal ini juga terkait dengan isu-isu yang muncul di sekitar istana negara, mulai dari aksi cabut mandat yang dilakukan berbarengan dengan peringatan peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) yang di komandoi oleh Hariman Siregar dan tuntutan reshuffle kabinet yang dinilai tidak becus dalam melaksanakan roda pemerintahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin hari semakin tidak jelas batas antara kepentingan pribadi dan golongan dengan kepentingan publik, semakin remang batas antara dunia politik dengan ekonomi, politik dengan pendidikan dan sebagainya. Setiap isu yang muncul selalu ada skenario politik yang bermain. Kondisi seperti inilah yang oleh Yasraf Amir Piliang disebut dengan transpolitika. Transpolitika adalah: bersilang dan bersimbiosisnya prinsip, cara, dan strategi politik dengan prinsip, cara, dan strategi bidang-bidang lain di luarnya,

seperti: media, budaya popular, seksualitas, (pendidikanpun termasuk didalamnya), yang membuat kabur prinsip politik itu sendiri.23 Kasus Voucher pendidikan yang mengemuka pada bulan Oktober 2006 semakin menguatkan dugaan kita akan kondisi transpolitika di atas. Kasus yang membawa nama ketua DPR Agung Laksono tersebut semakin menambah runyam kondisi pendidikan kita. Kasus ini berawal dari safari Ramadhan Agung Laksono, Dalam kesempatan ini Agung membagi-bagikan voucher kepada beberapa sekolah yang katanya bernaung di bawah Kosgoro 1957 senilai Rp. 470 juta.24 Mengenai Keberadaan Kosgoro ini, ada klarifikasi dari Syahrul J Bungamayang (Sekjen Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro) yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara Kosgoro pimpinan Efendi Jusuf dengan Kosgoro 1957 pimpinan Agung Laksono. Kosgoro adalah lembaga independen, sedangkan Kosgoro 1957 (berdiri tahun 2003) adalah organisasi kemasyarakatan pendukung/bernaung di bawah partai Golkar.25 Namun anehnya lagi, salah satu penerima voucher tersebut adalah SMUN Gegesik, Cirebon. Apakah sebuah SMUN bernaung di bawah ormas?.26 Voucher pendidikan, merupakan salah satu bentuk bantuan terhadap sekolah. Menurut Staf Khusus Menteri Pendidikan Nasional Bidang Komunikasi Publik, Teguh Juwarno penyaluran bantuan pendidikan itu merupakan amanat undangundang yang harus dilaksanakan oleh pejabat Depdiknas, sehingga bukan merupakan skandal. Landasan hukum dari penyaluran bantuan pendidikan ini didasarkan pada
Yasraf. A. Piliang, Transpolitika; Dinamika Politik Di Dalam Era Virtualita (Yogyakarta : Jalasutra, 2005), XX. 24 Sutta Dharmasaputra,Voucher Diknas Beraroma KKN, Kompas (Jakarta), 3 November 2006), 5. 25 Voucher Pendidikan. Kompas (Jakarta) 20 Oktober 2006, 12. 26 Sutta Dharmasaputra,Voucher Diknas Beraroma KKN, Kompas (Jakarta), 3 November 2006), 5.
23

pasal 49 ayat (3) UU Sisdiknas yang berbunyi Dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.27 Voucher ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu untuk SD (Rp. 20 Juta), SMP (Rp. 55 juta) dan SMA (Rp.55 juta).28Sedangkan jumlah keseluruhan anggaran untuk voucher pendidikan tahun 2006 berjumlah Rp 660 Miliar (2 % dari anggaran pendidikan).29 Permasalahan mendasar dari voucher tersebut bukanlah pada besaran angka, sekolah mana yang mendapatkan dan bagaimana mekanismenya. Tetapi bermuara pada keberadaan Agung Laksono sebagai salah satu ketua partai politik dan ketua DPR. Jika pemberian itu dikaitkan dengan Ormas yang dipimpinnya juga tidak masalah, jika memang sesuai dengan prosedur yang ada. Tetapi alangkah baiknya jika yang memberikan voucher tersebut bukan diri Agung Laksono, karena kapanpun dan dimanapun jabatannya sebagai ketua partai politik dan ketua DPR tetap disandangnya. Politisasi dunia pendidikan semakin tak terelakkkan. Kitapun tentunya masih ingat ketika pemilihan Presiden tahun 2004 kemarin. Betapa isu pendidikan menjadi sebuah hot issue yang selalu diusung oleh masing-masing calon. Namun ironisnya, janji tinggallah janji dan bukti tinggallah sebuah mimpi. Dalam setiap kunjungan kerjanya, presidenpun tidak lupa mengunjungi sekolah-sekolah yang berada di sekitar tempat kunjungannya, bahkan tak jarang
27 28

Depdiknas: Itu Amanat UU, Kompas (Jakarta), 10 November 2006, 12. Voucher Pendidikan, Kompas (Jakarta), 27 Oktober 2006, 12. 29 DPR Malah Berperan Menjadi Tukang Pos, Kompas (Jakarta), 3 November 2006, 5.

presidenpun sempat masuk kelas dan mengajar para siswa. Hal-hal seperti inilah yang semakin menguatkan dugaan bahwa presiden dan para pejabat publik lainnya menggunakan pendidikan sebagai lahan mencari simpati rakyat. Maka tak salah jika muncul anggapan bahwa para pejabat hanya suka tebar pesona. Jika kondisi pendidikan kita sudah dijadikan ajang perekrutan massa (politisasi), maka tujuan pendidikan nasional yang diamanahkan dalam undangundangpun akan semakin menjauh dari kenyataan. Berbagai persoalan di bidang pendidikan yang diutarakan di atas perlu segera mendapatkan solusi terbaik. Negara sebagai pihak yang berwenang mengatur segala persoalan bangsa harus segera menghadirkan kepastian bagi warga negaranya. Tugas negara, sebagaimana dituangkan dalam pembukaan UUD 194530 harus direalisasikan. Begitupun juga dengan UN 2007, jika tujuan awalnya digunakan sebagai bentuk evaluasi dari proses pembelajaran, maka apakah UN bisa mewakili seluruh proses yang telah dilakukan oleh anak didik? Dan apakah hasil dari UN ini dapat dipakai sebagai wahana peningkatan mutu pendidikan di negara kita? Dari pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang ujian nasional 2007 dengan judul: Ujian Nasional 2007; antara Kuasa

30

Tugas negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa, Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Negara dan Peningkatan Mutu Pendidikan yang lebih memfokuskan pada mekanisme pelaksanaan dari ujian nasional 2007.

RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana mekanisme pelaksanaan ujian nasional 2007? Bagaimana peran negara dalam dunia pendidikan khususnya dalam ujian nasional 2007 sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia ?

TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan Ujian Nasional 2007 beserta pro dan kontranya 2. Untuk mengetahui peran negara dalam dunia pendidikan khususnya dalam ujian nasional 2007 sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia? Sedangkan Kegunaan dari pembuatan skripsi ini merupakan bagian dari limpahan respon terhadap permasalahan yang diangkat. Hasil dari penulisan ini diharapkan berguna bagi penambah wawasan di bidang pendidikan dan diharapkan pula dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pembuatan formulasi evaluasi yang benar-benar sesuai dengan realitas bangsa Indonesia. Selain itu, penulisan skripsi ini merupakan bagian dari kewajiban penulis sebagai persyaratan penyelesaian jenjang

pendidikan S1 di Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

DEFINISI OPERASIONAL Untuk menghindari pembahasan yang bias terkait dengan penelitian ini, maka perlu kiranya adanya penjelasan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun istilah-istilah yang banyak digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Ujian nasional adalah: kegiatan pengukuran dan penilaian

kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.31 2) Kuasa memiliki beberapa arti, yakni sebagai berikut: Kemampuan,

kesanggupan, kekuatan, Kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili mengurus) sesuatu, Orang yang diberi kewenangan untuk mengurus, Mampu, sanggup, kuat dan Pengaruh yang ada pada seseorang karena jabatannya.32 3) Negara adalah: organisasi disuatu wilayah yang mempunyai

kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.33Dan kelompok sosial yang menduduki wilayah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.34
Permendiknas No. 20 Tahun 2005 Pasal.1 Poerwodarminto, 528. 33 Tim Penyusun Kamus Pusat bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, cet.II 2002), 604. 34 Ibid, 604.
32 31

4)

Mutu memiliki arti sebagai berikut: Karat, baik buruk sesuatu,

kwalitas, taraf atau derajat.35Atau Kualitas; derajat; tingkat; manikam; mutiara; emas kertas; manik; karat; (nilai logam mulia); kadar emas; membungkam/diam (karena sedih).36 5) Pendidikan adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.37

METODE PENELITIAN Metode, berasal dari bahasa Yunani Methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja; yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.38Sedangkan metodika adalah: kumpulan metode-metode yang

merupakan jalan-jalan atau cara-cara yang nantinya akan ditempuh guna lebih mendalami obyek studi.39Dalam bagian ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian yang meliputi: Jenis Penelitian, Pendekatan penelitian, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pembahasan. Jenis Penelitian

Ibid, 665-666. Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya : Arkola, 1994), 505. 37 Ibid, UU Sisdiknas, Guru dan Dosen (Pasal 1), 7. 38 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1977), 7. 39 Ibid. 8.
36

35

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Resourch) yaitu: penelitian yang menggunakan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan.40Skripsi hasil kajian pustaka ditulis untuk memecahkan suatu masalah yang didasarkan pada hasil telaah kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan dengan tema kajian. Dalam hal itu, bahan kepustakaan digunakan sebagai sumber ide dasar untuk melakukan deduksi dan merumuskan pendapat baru dari pengetahuan yang ada. Akhirnya, pemecahan masalah didasarkan pada kerangka teori baru tersebut.41 Pendekatan Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, digunakan paradigma dan pendekatan kualitatif.42Pedekatan kualitatif menurut Bogdan dan Taylor diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.43 Sedangkan Kirk dan Miller berpendapat, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam

kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.44
Nasution, Metode Resourch (Jakarta: Bumi Aksara,1996), 145. Lihat juga Mardialis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 25. 41 Panitia Penyusunan Panduan Penulisan Skripsi, Panduan Penulisan Skripsi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya,1998), 1. 42 Lexy J, Moeloeng. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya,1996), 15. 43 Ibid. 3. 44 Ibid. 3.
40

Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka.45

45

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996), 29.

Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah: subyek dari mana data dapat diperoleh.46 Dalam skripsi ini, digunakan beberapa sumber data sebagai bahan penggodokan dari materi yang diangkat. Sumber data yang digunakan meliputi sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah: keterangan-keterangan yang pertama kali dicatat langsung oleh para penulis diberbagai buku atau pustaka yang membahas mengenai ujian nasional, Kuasa Negara dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Sumber data sekunder adalah: keterangan-keterangan yang pertama kali dicatat langsung oleh para penulis diberbagai media, seperti surat kabar, majalah, jurnal, dan internet. Teknik Pembahasan Untuk memudahkan terbentuknya mind thought dalam proses penelitian dari skripsi ini, maka diperlukan berbagai teknik pembahasan. Dalam hal ini, dikemukakan beberapa teknik pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Diantaranya: teknik induksi, teknik deduksi, teknik reflektif, teknik historis dan teknik komparatif. Dengan rincian pengertian sebagai berikut: 1) Teknik Induksi adalah: Pendekatan induksi berusaha untuk mengambil kesimpulan mengenai semua anggota kelas, setelah menyelidiki sebagian saja atau mengenai anggota kelas tertentu yang belum diselidiki. Induksi merupakan cara berpikir yang berangkat dari faktafakta yang lebih khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit kemudian diambil generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.47

46

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 47.

102.
47

2)

Teknik Deduksi adalah: Cara berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum dan bertitik tolak dari Pengetahuan umum itu untuk menilai kejadian khusus.48

3)

Teknik Reflektif adalah: teknik berpikir yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dan yang abstrak.49Teknik ini dapat dilakukan dengan merefleksikan segala hal yang berhubungan dengan permasalahan penelitian di atas.

4)

Teknik Historis adalah: menguraikan sejarah munculnya suatu hal yang menjadi obyek penelitian atau peneliti dalam perspektif waktu terjadinya fenomena-fenomena yang diselidiki.50

5)

Teknik Komparatif adalah: memperbandingkan kategori-kategori serta serta ciricirinya untuk merumuskan teorinya (konsepnya), dilanjutkan dengan mengembangkan teori (konsep), mungkin modifikasi, mungkin pula mengganti dengan yang baru.51

SISTEMETIKA PEMBAHASAN Dalam pembahasan penulisan skripsi ini, agar sistematis dan kronologis, maka disajikan sistematika pembahasannya sebagai berikut: BAB I: merupakan bagian pendahuluan dari skripsi ini yang berisikan tentang: latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian, serta sistematika pembahasan.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 206. 49 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1996), 66. 50 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta : Gholia Indonesia, 1991) ,55. 51 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, 66-67.
48

BAB II: merupakan bab yang membahas mengenai ujian nasional 2007 yang mencakup: evaluasi (pengertian, tujuan, fungsi, dan prinsip evaluasi), Mekanisme ujian nasional 2007, serta Pro dan kontra mengenai ujian nasional 2007. BAB III: dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana peran negara dalam ujian nasional 2007, meliputi: Sekilas tentang kekuasaan dan negara, teknik pelanggengan kekuasaan oleh negara (untuk menelusuri hal ini penulis

menspesifikasikan bidang kajian pada pemikiran Antonio Gramsci mengenai Hegemoni dan Louis Althusser mengenai Ideological State Apparatus/ISA dan Repressive State Apparatus/RSA), negara dan pendidikan dan negara dan ujian nasional 2007. Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas mengenai peningkatan mutu pendidikan dan apakah hasil dari UN dapat dijadikan sebagai patokan tingkat mutu pendidikan suatu negara. Hal ini dikembalikan lagi kepada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 mengenai arti pendidikan dan tujuan pendidikan yang tentunya berbasis kepada kondisi riil bangsa Indonesia. Dari sinilah diharapkan dapat diketemukan formulasi yang tepat sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan di negeri ini. BAB IV: membahas mengenai analisa secara keseluruhan dari ujian nasional 2007, antara kuasa negara dan peningkatan mutu pendidikan. BAB V: merupakan bab penutup dan kesimpulan serta dari rentetan pembahasan skripsi yang dibuat.

BAB II MEKANISME PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL 2007 Dalam membicarakan masalah pendidikan,52kita selalu saja akan dihadapkan pada tiga proses utama, yakni: in put, proses dan out put. In put dapat diartikan sebagai dari manakah siswa atau anak didik berasal (keluarga, lingkungan dan masyarakat). Proses adalah pelaksanaan dari pada pendidikan itu sendiri, utamanya dilakukan dalam sekolah, sedangkan out put adalah keluaran atau hasil dari proses pembelajaran atau dapat pula dikatakan sebagai lulusan. Dari masing-masing tahapan di atas, ada konsekwensi logis yang selalu menyertainya. Misalnya asal usul dari peserta didik akan berpengaruh terhadap pribadi peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran, relasi antar individu dan sebagainya juga berpengaruh terhadap metode yang digunakan dalam penyampaian materi dari pendidik/guru (dalam proses pembelajaran). Sebagai bahan pertimbangan atau ukuran keberhasilan proses pembelajaran digunakanlah evaluasi. Evaluasi dapat dilaksanakan diawal pertemuan (Pre Test). Di tengah-tengah proses pembelajaran (Midle Test) dan diakhir proses pembelajaran (Post Test). Setelah diadakannya evaluasi ini, capaian dari peserta didik dalam menguasai materi dan keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi dapat diketahui, untuk selanjutnya diadakan perbaikan sebagai langkah umtuk meningkatkan keberhasilan. Ujian Nasional, merupakan bagian dari proses evaluasi. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 disebutkan: Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk
Adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU Sisdiknas, Guru dan Dosen (Pasal 1))
52

akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan (Pasal 57 ayat 1:) dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan (Pasal 59 ayat 1:). Sebelum membahas mengenai Ujian Nasional, alangkah baiknya kita bahas terlebih dahulu mengenai evaluasi itu sendiri.

A.

EVALUASI 1. Pengertian Evaluasi Pendidikan Secara etimologis, Evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran.53Dalam bahasa arab, berasal dari kata At Taqdir, berarti penilaian, dengan akar kata Al Qimah berarti nilai.54Dengan demikian, secara harfiah, evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai: penilaian dalam (bidang) pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan.55 Dalam arti luas, evaluasi adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatifalternatif keputusan (Mehren dan Lehmann).56Sesuai dengan pengertian tersebut maka setiap kegiatan evaluasi atau penilaian merupakann suatu proses yang sengaja direncanakan untuk memperoleh informasi atau data; berdasarkan data tersebut kemudian dicoba membuat suatu keputusan.

M. Chabib Thoha, Teknik Evaluasi Pendidikan (Jakarta : PT Rajagrafindo, cet.III, 1996), 1. Dan John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus bahasa Inggris-Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia.cet.XXIII, 1996), 220. 54 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet.I. 1996), 1. 55 Ibid, 1 56 Ngalim Purwanto. MP, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja RosdaKarya, 2002), 3

53

Kegiatan evaluasi memerlukan penggunaan informasi yang diperoleh melalui pengukuran maupun dengan cara lain untuk menentukan pendapat dan membuat keputusan-keputusan pendidikan. Pendapat dan keputusan tentu saja dipengaruhi oleh kesan pribadi dan sistem nilai yang ada pada si pembuat keputusan.57 Selain kata evaluasi, ada beberapa kata yang serupa dengannya. Kata-kata tersebut adalah measurement atau pengukuran, assesment atau penaksiran dan tes. Namun sebenarnya ketiga kata tersebut terdapat perbedaan.58 Measurement, diartikan sebagai proses untuk menentukan luas atau kuantitas sesuatu, atau usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu seperti adanya yang dapat dikuantitaskan, hal ini dapat diperoleh melalui jalan tes atau cara lain.59 Hasil suatu pengukuran belum memiliki arti jika belum ditafsirkan dengan jalan membandingkan hasil pengukuran dengan atandar atau patokan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam penilaian pendidikan, patokan itu dapat berupa batas minimal kompetensi materi pelajaran yang harus dikuasai atau rata-rata nilai yang diperoleh oleh kelompok. Sedangkan pengertian tes lebih ditekankan pada penggunaan alat pengukuran.60 Sumadi Suryabrata mendefinisikan tes sebagai: Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan, yang mendasarkan harus bagaimana testee menjawab pertanyaan-pertanyaaan atau melakukan perintah-perintah itu penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan standar atau testee yang lain.61
57 58

M. Chabib Thoha, Teknik Evaluasi Pendidikan, 1 Ibid, 2 59 Ibid,.2. 60 Ibid, 2. 61 Ibid, 2.

Untuk pengertian assesment, tidak sampai ke taraf evaluasi, melainkan sekedar mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran.62 Dalam hubungannya dengan proses pengajaran. Norman E. Gronlund (1976) merumuskan pengertian evaluasi sebagai berikut: Evaluation .. a systematic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupils. (evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauhmana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa).63 Dengan kata-kata yang berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama, Wrightstone dan kawan-kawan (1956) mengemukakan rumusan evaluasi pendidikan sebagai berikut: Educational evaluation is the estimation of the growth and progress of pupils toward objectives or values in the curiculum(evaluasi pendidikan adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan siswa ke arah tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam kurikulum).64 Dari rumusan tersebut di atas, sedikitnya adalah tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, yaitu:65 1. Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis. Ini berarti bahwa evaluasi (dalam pengajaran) merupakan kegiatan yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi bukan hanya merupakan kegiatan akhir atau penutup dari suatu program tertentu, melainkan merupakan kegiatan yang dilakukan pada permulaan, selama program berlangsung, dan pada akhir program setelah program itu dianggap selesai.
62 63

Ibid, 3. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pendidikan, 3. 64 Ibid, 3. 65 Ibid, 3-4.

Yang dimaksud dengan program disini adalah program satuan pelajaran yang akan dilaksanakan dalam satu pertemuan atau lebih, program caturwulan ataupun program semester, dan juga program pendidikan yang dirancang untuk satu tahun ajaran, empat tahun ajaran atau enam tahun ajaran dan sebagainya. 2. Di dalam kegiatan evaluasi, diperlukan berbagai informasi atau data yang menyangkut obyek yang sedang dievaluasi. Dalam kegiatan pengajaran, data yang dimaksud mungkin berupa perilaku atau penampilan siswa selama mengikuti pelajaran, hasil ulangan atau tugas-tugas pekerjaan rumah, nilai ujian akhir catur wulan, nilai midsemester, nilai akhir semester, dan sebagainya. Berdasarkan data itulah selanjutnya diambil suatu keputusan sesuai dengan maksud dan tujuan evaluasi yang sedang dilaksanakan. Perlu dikemukakan disini bahwa, ketepatan keputusan hasil evaluasi sangat bergantung kepada kesahihan dan obyektifitas data yang digunakan dalam pengambilan keputusan. 3. Setiap kegiatan evaluasi, -khususnya evaluasi pengajaran- tidak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Tanpa menentukan atau merumuskan tujuan-tujuan terlebih dahulu, tidak mungkin menilai sejauh mana pencapaian hasil belajar siswa. Hal ini adalah karena setiap kegiatan penilaian memerlukan suatu kriteria tertentu sebagai acuan dalam menentukan batas ketercapaian obyek yang dinilai. Adapun tujuan pengajaran merupakan kriteria pokok dalam penilaian.

2. Tujuan Evaluasi Pendidikan Tujuan utama melakukan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan intruksional oleh siswa, sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya.66 Muchtar Buchori mengemukakan bahwa tujuan khusus evaluasi pendidikan ada dua, yaitu:67 1. Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu, dan 2. Untuk mengetahui tingkat efisien metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu tadi. Tujuan evaluasi secara umum dapat dikaitkan dengan fungsi evaluasi dalam pendidikan. Julian C. Stanley dan Kenneth mengklasifikasikan tujuan evaluasi dalam pendidikan dalam tiga fungsi yang saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu:68 a) 1) Intructional, tujuan evaluasi dalam intruksional adalah melihat: The proccess of constructing a test simulated teachers to

clarify and refine meningful course objectives (proses pembentukan sebuah tes yang disimulasikan guru untuk mengklarifikasi dan menemukan kembali makna dari obyek pembelajaran ). 2) Test profide a means of feedback to the teacher.

Feedback from tests helps the teacher provide more appropriate instructional guidance for individual students as well as for the class as a
66 67

Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet..III, 2005), 11. M. Chabib Thoha, Teknik Evaluasi Pendidikan, 6. 68 Ibid, 7.

whole (tes memberikan sebuah makna umpan balik kepada guru. Umpan balik ini membantu guru dalam menyediakan bimbingan instruksi yang tepat bagi siswa secara individual dan untuk siswa seluruh kelas pada umumnya ). 3) Properly constructed tests can motivate learning. As a

general rule, students pursue mastery of objectives more deligently if they expect to be evaluated (pembentukan tes yang tepat dapat memotivasi belajar. Seperti pada umumnya, siswa mengejar penguasaan obyek secara lebih cerdas jika mereka ahli dalam hal evaluasi). 4) Examinations are useful means of overlearning (Ujian

berguna sebagai makna yang lebih dari pembelajaran). b) Administrative, tujuan evaluasi dalam masalah administrasi

pendidikan adalah sebagai berikut: 1) Tests provide a mechanism for quality control for

school or school system national or local norms can provide a basis for assessing certain curricular strengths and weaknesses (tes memberikan sebuah mekanisme untuk mengkontrol kualitas sekolah atau sistem pendidikan nasional atau lokal yang dapat menyediakan sebuah dasar untuk penaksiran yang pasti dari kelebihan dan kekurangan sebuah kurikulum ). 2) Tests are useful for program evaluation and research (tes

berguna sebagai program evaluasi dan penelitian ).

3)

Tests enable better decisions in clasification and

placement (tes memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih baik pada klasifikasi dan penempatan). 4) Test can increase the quality of selection decisions (tes

dapat meningkatkan kualitas dari pemilihan keputusan). 5) Test can be useful means of accreditation mastery Or

certification (tes dapat dimaksudkan sebagai akreditasi atau sertifikasi). c) Guidance, tujuan evaluasi dalam melakukan bimbingan kepada

peserta didik dijelaskan, Test can be of value in diagnosing an individuals special aptitudes an abilities. Obtaining measures of scholastic aptitude, achievement, interest, an personalities often an important aspect of the counselling process (tes dapat berupa penilaian pada diagnosis bakat khusus kemampuan seorang individu. Menghasilkan ukuran dari bakat sekolah,

pendekatan, kepentingan, seorang individu yang merupakann aspek penting dari proses konseling .) Menurut Sumadi Suryabrata, tujuan evaluasi pendidikan dapat

dikelompokkan dalam tiga klasifikasi, yaitu: 1. Klasifikasi berdasarkan fungsinya, evaluasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan; a) Psikologik, evaluasi dapat dipakai sebagai kerangka acuan kemana

dia harus bergerak menuju tujuan pendidikan. b) Didaktik/Intruksional, tujuan evaluasi memotivasi belajar kepada

peserta didik, memberikan pertimbangan dalam menentukan bahan

pengajaran dan metode mengajar serta dalam rangka mengadakan bimbingan-bimbingan secara khusus kepada peserta didik. c) Administrratif/Managerial, bertujuan untuk pengisisan buku rapor,

menentukan indeks prestasi, pengisian STTB, dan tentang ketentuan kenaikan siswa. 2. Klasifikasi berdasarkan keputusan pendidikan, tujuan evaluasi dapat digunakan untuk mengambil: a) Keputusan individual; b) Keputusan institusional; c) Keputusan didaktik instruksional; dan keputusan-keputusan penelitian. 3. Klasifikasi Formatif dan Sumatif a) Evaluasi formatif diperlukan untuk mendapatkan umpan balik

guna menyempurnakan perbaikan proses belajar mengajar, dan b) Evaluasi sumatif berfungsi untuk mengukur keberhasilan seluruh

program pendidikan yang dilaksanakan pada akhir pelaksanaan proses belajar mengajar (akhir semester/tahun).

3. Fungsi Evaluasi Pendidikan Secara lebih rinci, fungsi evaluasi dalam pendidikan dan pengajaran dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi, yaitu:69 1. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu. Hasil evaluasi yang diperoleh itu selanjutnya dapat digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa (fungsi Formatif) dan atau untuk mengisi rapor atau Surat Tanda Tamat Belajar, yang berarti pula untuk menentukan kenaikan kelas atau lulus-tidaknya seorang siswa dari suatu lembaga pendidikan tertentu (fungsi sumatif). 2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran. Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen-komponen dimaksud antara lain adalah tujuan, materi atau bahan pengajaran, metode dan kegiatan belajar mengajar, alat dan sumber belajar, dan prosedur serta alat evaluasi. Fungsi ini berguna bagi guru dan atau supervisor untuk mengadakan perbaikan program beserta pelaksanaannya pada masa yang akan datang atau pada pertemuan berikutnya. 3. Untuk keperluan Bimbingan dan Konseling (BK). Hasil-hasil evaluasi yang telah dilaksanakan oleh guru terhadap siswanya dapat dijadikan sumber informasi atau data bagi pelayanan BK oleh para konselor sekolah atau guru pembimbing lainnya. 4. Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan.
69

Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pendidikan, 5-7

Secara lebih spesifik, evaluasi berfungsi sebagai berikut:70 a) Evaluasi berfungsi Selektif Dengan cara mengadakan evaluasi, guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi terhadap siswanya. Seleksi itu sendiri mempunyai berbagai tujuan, antara lain: 1. Untuk memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu. 2. Untuk memilih siswa yang dapat naik ke kelas atau tingkat berikutnya. 3. Untuk memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa. 4. Untuk memilih siswa yang sudah berhak meninggalkan sekolah dan sebagainya. b) Evaluasi berfungsi Diagnostik Apabila alat yang digunakan dalam evaluasi cukup memenuhi persyaratan, maka dengan melihat hasilnya, guru akan mengetahui kelemahan siswa. Di samping itu diketahui pula sebab musabab kelemahan itu. Jadi dengan mengadakan evaluasi, sebenarnya guru mengadakan diagnosis kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya. Dengan diketahuinya sebab-sebab kelemahan ini, akan lebih mudah dicari untuk mengatasi. c) Evaluasi berfungsi sebagai Penempatan Evaluasi dalam hal ini digunakan sebagai langkah untuk mengetahui bakat dan minat sesorang. Setelah diketahui bakat dan minatnya, anak tersebut akan ditempatkan bersama siswa-siswa yang memiliki bakat dan minat bersama (spesifikasi) d) Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan.
70

Daryanto, Evaluasi Pendidikan , 14-16

Fungsi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan suatu program. Keberhasilan suatu program (pendidikan) ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: guru, metode mengajar, kurikulum, sarana dan sistem kurikulum.71 Selain fungsi-fungsi di atas, bila dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran yakni guru, peserta didik, orang tua serta masyarakat dan pengguna jasa pendidikan, maka fungsinya juga berbedabeda. Secara spesifiknya akan disajikan berikut ini:72 1. Fungsi pendidikan bagi guru diantaranya untuk: a) Mengetahui kemajuan belajar peserta didik b) Mengetahui kedudukan masing-masing individu peserta didik dalam kelompoknya c) Mengetahui kelemahan-kelemahan dalam cara belajar mengajar d) Memperbaiki proses pembelajaran e) Menentukan kelulusan peserta didik 2. Fungsi pendidikan bagi peserta didik, berfungsi sebagai: a) Mengetahui kemampuan dan hasil belajar b) Memperbaiki cara belajar, dan c) Menumbuhkan motivasi dalam belajar 3. Fungsi pendidikan bagi orang tua antara lain: a) Mengukur mutu hasil pendidikan b) Mengetahui kemajuan dan kemunduran sekolah

71 72

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), 11 M. Chabib Thoha, , Teknik Evaluasi Pendidikan, 10-11

c) Membuat keputusan kepada anak didik, dan d) Mengadakan perbaikan kurikulum 4. Fungsi pendidikan bagi orang tua antara lain: a) Mengatahui hasil belajar anaknya b) Meningkatkan pengawasan dan bimbingan serta bantuan kepada anaknya dalam usaha belajar c) Mengarahkan pemilihan jurusan atau jenis sekolah pendidikan lanjutan bagi anaknya 5. Fungsi pendidikan bagi masyarakat dan pemakai jasa pendidikan a) Mengetahui kemajuan sekolah b) Ikut mengadakan kritik dan saran perbaikan bagi kurikulum pendidikan pada sekolah c) Lebih meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usahanya membantu lembaga pendidikan 4. Prinsip Evaluasi Pendidikan Prinsip, dapat diartikan sebagai asas; pokok; penting; permulaan; fundamen; aturan pokok.73 Dalam proses pelaksanaan evaluasi prinsip-prinsip yang harus diperhatikan antara lain:74 1. Keterpaduan Evaluasi merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Oleh karena itu, evaluasi harus ada keterpaduan antara tujuan intruksional, materi dan metode yang digunakan.

73 74

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola: 1994), 625. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, 19-20.

2.

Keterlibatan Siswa Siswa sebagai subjek pembelajaran harus diakui keberadaannya.

Begitupun dalam proses evaluasi. Bagi siswa, evaluasi merupakan kebutuhan sebagai bahan untuk tindakan belajar selanjutnya. 3. Koherensi75 Dengan prinsip koherensi dimaksudkan evaluasi harus berkaitan dengan materi pembelajaran yang sudah disajikan dan sesuai dengan ranah kemampuan yang hendak diukur. Tidak dibenarkan menyusun alat evaluasi hasil belajar atau evaluasi pencapaian belajar yang mengukur bahan yang belum disajikan dalam proses pembelajaran demikian pula tidak diterima apabila alat evaluasi berisi butir yang tidak berkaitan dengan bidang kemampuan yang hendak diukur. 4. Pedagogis Di samping sebagai alat penilai hasil atau pencapaian belajar, evaluasi juga perlu diterapkan sebagai upaya perbaikan sikap dan tingkah laku ditinjau dari segi pedagogis. Evaluasi dan hasilnya hendaknya dapat dipakai sebagai motivasi untuk siswa dalam kegiatan belajarnya. 5. Akuntabilitas Sejauhmana keberhasilan program pembelajaran perlu

disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan pendidikan sebagai laporan pertanggungjawaban (accountability).

Berarti: bersifat harmonis/konsisten/melekat; berhubungan; bersangkut paut (Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, 345).

75

Menurut Suharsimi Arikunto,76 ada satu prinsip umum yang harus ada dalam evaluasi, yaitu prinsip Trianggulasi-atau hubungan erat tiga komponen-, yaitu antara: a) Tujuan pembelajaran b) Kegiatan pembelajaran c) Evaluasi Ketiga komponen tersebut harus saling berhubungan untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Anas Sudijono berpendapat prinsip dasar evaluasi hasil belajar meliputi:77 1) Prinsip keseluruhan (Komprehensif), evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik apabila evaluasi tersebut dilaksanakan secara bulat, utuh atau menyeluruh. Dengan kata lain, evaluasi hasil belajar harus dapat mencakup berbagai aspek yang dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan tingkah laku yang terjadi pada peserta didik sebagai makhluk hidup bukan benda mati. Dalam hubungan ini, evaluasi hasil belajar di samping dapat mengungkapkan aspek proses berpikir (cognitive domain) juga dapat mengungkap aspek kejiwaan lainnya,yaitu aspek nilai atau sikap (affektive domain) dan keterampilan (psychomotor domain) yang melekat pada masing-masing individu peserta didik. 2) Prinsip kesinambungan (Istimror/kontinuitas), maksudnya, evaluasi hasil belajar yang dilakukan secara teratur dan sambung menyambung dari waktu ke waktu. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang dapat menggambarkan mengenai kemajuan atau perkembangan peserta
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta : Bumi Aksara, Ed. Revisi, cet. IV, 2003 ), 24. 77 Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pendidikan, 31-33.
76

didik. Selain itu juga berguna untuk dapat memperoleh kepastian dan kemantapan dalam menentukan langkah-langkah atau merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang perlu diambil di masa selanjutnya. 3) Prinsip obyektifitas, bahwa evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik jika terlepas dari faktor-faktor yang sifatnya subyektif. Sehubungan dengan itu, dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar, serang evaluator harus senantiasa berpikir dan bertindak wajar,menurut keadaan yang senyatanya, tidak dicampuri oleh

kpentingan-kepentingan yang bersifat subyektif.

B.

MEKANISME UJIAN NASIONAL 2007 Ujian Nasional 2007 ini merupakan kelanjutan dari proses evaluasi yang

dilakukan pemerintah untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pembelajaran. Dalam sejarah pelaksanaan evaluasi di Indonesia, telah digunakan berbagai macam bentuk evaluasi. Untuk lebih lengkapnya, berikut disajikan tabel pelaksanaan evaluasi dari tahun sebelum 1971 sampai tahun 2007.78

BEBERAPA PERUBAHAN EVALUASI BELAJAR


No 1 2 3 4 5
78

Tahun Ajaran 1971 dan sebelumnya 1972 sd 1984 Mulai Thn.Pelajaran 1985/1986 1987/1988 Mulai Thn Pelajaran

Keterangan Ujian Negara Ujian Sekolah EBTANAS disertai NEM, bentuk soal objektif untuk 6 mata pelajaran EBTANAS bentuk soal objektif dan Essay EBTANAS,Perhitungan kelulusan

Makalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur disampaikan dalam seminar nasional dengan tema UN Pendongkrak atau Perusak Kualitas Pendidikan oleh DR. Salamun, Gedung Gema IAIN Sunan Ampel Surabaya, 10 Mei 2007.

1988/1989 6 1996/1997

7 8

1997/1998 1999/2000

2001/2002

10

2002/2003 - Sekarang

dgn. mempertimbangkan nilai Raport Cawu I & II berupa nilai P dan Q EBTANAS, perhitungan kelulusan dgn. mempertimbangkan nilai Raport semester 1&2, berupa nilai P dan Q. NA=P+Q+(nR) / 2+n EBTANAS, bentuk soal kembali ke objektif EBTANAS, nilai raport cawu I & II berupa nilai P&Q ditiadakan.Istilah kelulusan diganti dgn ketamatan, pertimbangan ketamatan :Nilai akademis dan Non akademis EBTANAS SD dihapus, EBTANAS SMP/SMA/SMK tetap dilaksanakan dengan standar kelulusan tidak boleh terdapat nilai mata pelajaran kurang dari sama dengan 3,00. sedangkan rata-rata nilai mata pelajaran harus lebih dari atau sama dengan 6,00. Ujian Nasional hanya 3 Mata Pelajaran Tahun 2003, standar kelulusan lebih dari 4,00. Tahun 2004, standar kelulusan lebih dari 4,25. Tahun 2005, standar kelulusan lebih dari 4,25 tetapi rata-rata mata pelajaran lebih dari 4,50.

Penentuan kelulusan memperhatikan aspek akademis dan non akademis baik dari Ujian Sekolah, Ujian Nasional, dan sikap perilaku siswa. Tabel 1.1. Beberapa perubahan evaluasi belajar Untuk pelaksanaan Ujian Nasional 2007 ini disandarkan pada beberapa ketetapan hukum sebagai landasan yuridis formal pelaksanaannya, yaitu: 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah 4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 45 Tahun 2006, tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Dasar pemikiran pelaksanaan ujian nasional yang menguji kemampuan siswa dengan standar nasional pada tiga mata pelajaran , yaitu bahasa indonesia, bahasa inggris dan matematika/ekonomi/bahasa asing lainnya. Pertanyaan yang sering muncul dari kalangan orang tua, mengapa subyek ujian nasional tersebut adalah matematika dan bahasa (Inggris dan Indonesia)?.79 Pertanyaan menarik ini bisa dijawab dengan membandingkan aktifitas PISA yang dikoordinir oleh Organization For Economic Development Cooperation and Development sejak tahun 2000. Dalam publikasi tahun 2000 yang merupakan hasil riset dari selama tiga tahun, PISA menilai kapasitas pelajar di atas umur 15 tahun di 32 negara anggota OEDC dalam hal keterampilan dan pengetahuan untuk

menghadapi tantangan kerja ke depan. Pada hasil publikasi riset tahun 2000 tersebut ada tiga domain literacy (melek) yang dinilai, yaitu membaca (prioritas utama), matematika dan sains. Melek membaca antara lain dilihat dari lamanya waktu yang dikonsumsi siswa untuk membaca setiap bulan, jumlah buku baru yang dibaca atau dipinjam dalam sebulan, dan kemampuan membaca bentuk grafis. Melek matematis dilihat dari pemahaman geometri ruang al jabar, statistik, dan interpretasi grafik serta diagram matematis. Adapun melek sains antara lain dilihat dari pengetahuan bumi dan lingkungan, kehidupan dan kesehatan, serta teknologi yang dikemas dalam tugas-tugas biologi, fisika, kimia, dan energi transfer.

79

Arman Hakim Nasution, Logiskah Ajakan Tak Gelar UN?, Kompas (Surabaya) 21 Februari

2007, 6.

Dari ranking yang dibuat, ternyata hanya Jepang dan Korea di Asia yang mempunyai ranking tinggi menyaingi negara maju seperti Finlandia yang mampu mentransformulasikan ekonominya dari basis sumber daya alam sebagaimana Indonesia menajdi knowledge-based Economic sehingga mampu menjadi negara makmur hanya dalam 15 tahun. Hasil dari PISA tersebut ternyata berkorelasi positif dengan daya saing suatu bangsa yang diindikasikan Global Competitiveness Index sebagai indek daya saing dalam menggerakkan kemakmuran ekonomi suatu bangsa. Sedangkan mengenai tujuan diadakannya Ujian Nasional 2007 ini adalah sebagai berikut: 1. Ujian nasional bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. 2. Ujian sekolah/madrasah bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk mata pelajaran pada semua kelompok mata pelajaran yang tidak diujikan secara nasional dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Hasil ujian nasional dan/atau ujian sekolah/madrasah berfungsi sebagai salah satu pertimbangan untuk : a. Penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; Bukan satusatunya penentu kelulusan b. Seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c. Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan;

d. Akreditasi satuan pendidikan; e. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Mengenai naskah soal yang diberikan dalam ujian nasional 2007 ini ada beberapa ketentuan yang digariskan oleh Departemen Pendidikan Nasional, yakni sebagai berikut: 1. Naskah Soal UN disusun berdasarkan SKL (Standar Kompetensi Kelulusan) UN 200780 2. SKL 2007 irisan (interseksi) dari kurikulum 1994, 2004, dan Standar Isi 3. Butir Soal UN dipilih dan dirakit dari Bank Soal yang dikembangkan oleh Puspendik (Pusat Penelitian Pendidikan). 4. Naskah soal UN ditelaah dan ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Naskah soal ujian nasional 2007 merupakan kolaborasi dari kurikulum 1994, kurikulum 2004 dan standar isi. Untuk lebih jelasnya berikut disajikan bagan naskah soal ujian nasional 2007

Terdapat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 1 tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45 tahun 2006 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2006/2007.

80

DIAGRAM NASKAH SOAL UJIAN NASIONAL 2006/2007 Error: Reference source not foundtabel 1.2. Diagram Naskah Soal Ujian Nasional 2006/2007 Pelaksanaan ujian nasional 2007 ini ada perubahan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya dilaksanakan pada bulan Mei, maka untuk tahun 2007 dilaksanakan pada bulan April. Depdiknas mengatakan bahwa pemajuan jadwal ini dilakukan dengan pertimbangan : target proses kegiatan belajar mengajar sudah usai pada bulan April, sehingga siswa tidak perlu menunggu waktu lebih lama menghadapi UN dan dengan pemajuan jadwal ini diharapkan para siswa dapat lebih konsentrasi. Sebab pada bulan Mei, negeri ini memiliki banyak acara yang akan dihadiri oleh banyak massa yaitu : peringatan hari buruh internasional, hari pendidikan nasional, dan peristiwa Mei.81 Untuk ketentuannya dapat diperjelas dengan penjelasan berikut:82 1. 2. Ujian dilakukan satu kali, yang terdiri atas ujian utama dan ujian susulan; Ujian susulan hanya berlaku bagi peserta didik yang sakit atau berhalangan dan dibuktikan dengan surat keterangan yang sah; 3. 4. Ujian dilaksanakan secara serentak; Jadwal Ujian Kompetensi Keahlian SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) ditetapkan oleh sekolah dan harus selesai 1 (satu) minggu sebelum ujian Utama; Secara lebih spesifik, ujian nasional 2007 dilaksanakan pada: tanggal 17-19 April untuk tingkat SMA dan sederajat, serta tanggal 24-26 April 2007 untuk tingkat SMP atau sederajat.83 Selanjutnya, untuk persyaratan lulus satuan pendidikan, para peserta didik harus memenuhi kriteria berikut ini:
Advertorial. Kompas, (Jakarta) 9 Desember 2006, 41-42 diperkuat dengan : Surya, (Surabaya) 16 Februari 2007, 13. 82 Salamon, Makalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan 83 Advertorial. Kompas, (Jakarta) 9 Desember 2006), 41-42.
81

1. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran; 2. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan ahlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. 3. Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. Lulus ujian nasional.84 Bagi para peserta didik yang telah dinyatakan lulus dari satuan pendidikan berhak mendapatkan ijazah. Kemudian, untuk Peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut : 1) Memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25; dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi kejuruan minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN atau 2) Memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,00; dan khusus SMK nilai mata pelajaran kompetensi kejuruan minimum 7,00 Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak dinginkan (kebocoran soal, kecurangan dan ketidakjujuran) dalam pelaksanaan Ujian Nasional 2007, Depdiknas juga membentuk dan memberikan berbagai aturan yang terkait dengan pengawasan. Dengan memberikan ketentuan sebagai berikut:
84

Sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 72 ayat (1)

1. Tim pengawas ruang UN terdiri dari unsur guru yang memiliki sikap dan perilaku disiplin, jujur, bertanggung jawab, teliti dan memegang teguh kerahasiaan; 2. Guru mata pelajaran tidak diperbolehkan mengawasi dan berada di lingkungan sekolah saat pelaksanaan UN berlangsung untuk mata pelajaran yang diajarkan; 3. Penempatan pengawas ruang UN dilakukan oleh penyelenggara UN Tingkat Kabupaten/Kota dengan prinsip sistem silang murni antar sekolah/ madrasah dalam satu rayon/sub rayon; 4. Setiap ruangan diawasi oleh dua orang pengawas ruang UN; 1) Jenis Naskah UN dibedakan antara Paket A dan Paket B. 2) Denah tempat duduk siswa dan pengawas. Error: Reference source not foundTabel 1.3. Denah tempat duduk siswa dan pengawas a) Pengawas Ruang bertanggung jawab penuh terhadap penyelenggaraan UN termasuk memasukkan LJUN (Lembar Jawaban Ujian Nasional) ke dalam sampul dibedakan LJUN Paket A dan LJUN Paket B serta disegel. b) Pengembalian Sampul Naskah Soal dan LJUN. c) Penandatanganan perjanjian kerjasama tentang subsidi bantuan pelaksanaan ujian nasional. d) Pendistribusian naskah soal ujian nasional dilaksanakan tanggal 12, 13 April 2007 untuk SMA/MA dan SMK dan tanggal 19, 20 April 2007 untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMALB. Sebagai alat kelengkapan pengawasan ujian nasional 2007, Depdiknas juga bekerjasama dengan perguruan tinggi se-Indonesia untuk turut serta mengawasi pelaksanaan ujian nasional 2007. Tim pengawas perguruan tinggi tergabung dalam

Tim Pemantau Independen (TPI) di Tingkat Provinsi, Tingkat Kabupaten/Kota dan Tingkat Sekolah. Dengan persyaratan sebagai berikut:85 1) Dosen perguruan tinggi negeri (PTN), Widyaiswara LPMP yang ditetapkan oleh BSNP. 2) Di daerah yang tidak terdapat PTN dapat menggunakan dosen PTN terdekat dan atau dosen perguruan tinggi swasta (PTS) 3) Anggota TPI harus memiliki integritas pribadi dan mampu menjaga kerahasiaan dalam melaksanakan tugasnya serta bersedia menandatangani kontrak kerja dengan BSNP. 4) Anggota TPI bersedia melaksanakan tugas kegiatan pemantauan sesuai dengan jadwal. Tidak hanya cukup disini saja proses pengamanan yang dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap berbagai hal yang tidak diinginkan. Depdiknas juga bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk ikut serta dalam rangka mensukseskan pelaksanaan ujian nasional 2007. Langkah-langkah pengamanan diatur juga dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, meliputi: 1. Penerimaan dan penyimpanan master soal dari pusat 2. Penggandaan naskah 3. Pendistribusian naskah soal 4. Penyimpanan naskah soal di Polres (h-5) 5. Penyimpanan naskah soal di Polsek (h-2) 6. Penyelenggaraan ujian nasional

TPI di bawah koordinasi Perguruan Tinggi, untuk wilayah Jawa Timur di ketua oleh Prof. DR. Fasichul Lisan (Rektor Unair Surabaya).

85

7. Pengawasan pelaksanaan ujian nasional 8. Pengumpulan hasil ujian nasional oleh pengawas ruang 9. Pengembalian hasil lembar jawaban ujian nasional : - dari sekolah penyelenggara ke panitia sub rayon - dari panitia sub rayon ke penyelenggara kab./kota - dari penyelenggara kab./kota ke provinsi 10. Proses pemindaian (scanning) 11. Pengumuman hasil ujian nasional Untuk penyimpanan naskah setelah tiba di kabupaten atau kota, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Hindari terjadinya pencurian atau kerusakan karena hujan/ tikus/ rayap, dll. 2) Disimpan di Polres untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan 3) Harus di suatu tempat yang terkunci dengan minimal 2 (dua) buah gembok : a) kunci gembok pertama dibawa petugas kepolisian termasuk kunci cadangan b) Kunci gembok kedua dibawa petugas dinas pendidikan termasuk kunci cadangan Naskah Soal terdiri dari beberapa hal sebagaimana berikut (dilengkapi dengan alur distribusi soal): 1. Naskah soal terdiri dari 3 mata pelajaran per lembar 1 muka (tidak bolak balik sehingga bisa dipakai untuk oret-oretan) 2. Paket a 3. Paket b 4. No paket soal : lembar depan berwarna kuning muda : lembar depan berwarna biru muda : ditulis pada halaman tengah bawah

5. Dimohon membawa kendaraan minimal truk engkel yang tertutup/boks 6. Kendaraan di cek kelayakan jalannya agar tidak terjadi gangguan di tengah jalan. Setelah berbagai persiapan dan pelaksanaan ujian nasional selesai, maka para peserta didik, orang tua dan guru dapat melihat hasil dari ujian nasional 2007 melalui Pengumuman kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan paling lambat : 1. Tanggal 16 Juni 2007 untuk SMA, MA, dan SMK 2. Tanggal 23 Juni 2007 untuk SMP, MTs, SMPLB dan SMALB. C. PRO-KONTRA UJIAN NASIONAL 2007

Pro kontra terhadap kebijakan pemerintah merupakan suatu hal yang wajar. Setiap orang tentunya memiliki pemahaman, konsep dan cara yang berbeda. Begitupun juga dengan ujian nasional 2007, berbagai kalangan baik yang pro maupun yang kontra saling memberikan argumentasinya. Depdiknas sebagai penyelenggara pendidikan di negara ini memberikan berbagai argumentasi mengenai latar belakang dilaksanakannya ujian nasional 2007. Argumentasi tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Pada tahun 2003, Mendiknas Malik Fadjar dan Menko Kesra Yusuf Kalla membuat perbandingan ujian nasional dengan sistem ujian pada 1950-an dan ujian di Malaysia dan Singapura. Ternyata tingkat kesulitan soal-soal ujian kita sangat menurun dan juah. Sejak itu pemerintah berketetapan untuk mengembalikan sistem ujian seperti tahun 1950-an yaitu menerapkan ujian nasional. Kedua, ujian nasional bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan secara nasional. Segi positif dari pelaksanaan ujian nasional 2007 menurut Masdar Hilmy86adalah sebagai berikut:

Masdar Hilmy, Ada UN Nggak Ada UN Sama Saja (Wujuduhu Ka Adamihi), Makalah dalam seminar Nasional UN sebagai pendongkrak atau perusak kualitas pendidikan 10 Mei 2007

86

1. Menciptakan outcame berbekal teori kuat; munculnya juara olimpiade fisika internasional 2. sebagai alat pengukur prestasi belajar siswa secara nasional; hasil belajar menjadi terukur secara nasional, terjadinya konfigurasi hasil belajar secara merata karena mengacu pada satu alat evaluasi pembelajaran yang sama 3. Sebagai alat mengetahui pemetaan kualitas pendidikan secara nasional; bisa diketahui persebaran hasil belajar seluruh lembaga pendidikan dasar-menengah atas di seluruh tanah air 4. Sebagai alat pengontrol/pengendali kualitas pendidikan secara nasional; hasil belajar relatif bisa diawasi dan dikontrol secara berjenjang dan berkelanjutan. DR.Rasiyo berpendapat, ujian nasional diperlukan untuk standardisasi metode evaluasi pendidikan di Indonesia secara bertahap. Selain melaksanakan ujian nasional, secara perlahan sarana, tenaga pendidikan dan pembiayaan juga distandarkan.87 Menurut Fathurrofiq,88ujian nasional telah mampu menciptakan motivasi belajar (Incentive Learning) untuk pelajaran yang diujikan. Berbagai kiat telah dilakukan sekolah demi meluluskan siswa-siswinya. Upaya yang paling lazim adalah melalui bimbingan belajar. Dengan sistem drill soal, bimbingan belajar diyakini mampu membiasakan siswa menjawab berbagai variasi soal secara cepat dan cepat. Tidak berhenti dengan strategi bimbingan belajar, ada sekolah yang

menambah strategi lain, semisal mapping soal, pemetaan materi substansial. Bahkan

87 88

Harus Ada Perubahan Kebijakan, Kompas (Surabaya), 27 April 2007, A. Fathurrofiq, Rekayasa Pendidikan Pasca UN, Kompas (Jakarta), 7 Mei 2007, 14.

satu sekolah di Surabaya menciptakan klinik belajar untuk sejumlah siswa yang mengalami kesulitan belajar. Lebih dari sekedar ingin lulus, kiat-kiat itu diharapkan bisa mengantarkan sekolah mendulang prestasi di ajang ujian nasional. Sebab saat ini Ujian Nasional tetap menjadi ajang pertaruhan reputasi sekolah di mata publik dan para pemangku kepentingan. Dalam permasalahan mengenai ujian nasional 2007 ini, selain pihak yang mendukung (pro) terhadap diadakannya ujian nasional, juga terdapat pihak yang mengkritisi bahkan menolak diadakannya ujian nasional 2007. Berbagai argumenpun diberikan sebagai legitimasi terhadap sikap mereka. Seperti halnya Muhammad Taufik.89Dalam pandangannya, ada beberapa hal yang menyebabkan ia bersikap menolak pelaksanaan ujian nasional 2007, antara lain: Pertama, dasar hukum pelaksanaan ujian nasional bermasalah. PP 19/2005 tentang Standardisasi Nasional Pendidikan (SNP) yang diharapkan dapat menjadi landasan kuat bagi pelaksanaan ujian nasional sekaligus mengakhiri kontroversi ternyata tidak demikian. Sebaliknya, PP itu justru mengundang masalah baru. Pasal-pasal mengenai ujian nasional bertentangan dengan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang lebih tinggi, bahkan antar pasal dan ayat dalam PP itu terdapat kontradiksi. Sebagai contoh, PP 19/2005 itu bertentangan dengan Pasal 58 UU Sisdiknas. Pasal 58 UU Sisdiknas memberikan otoritas kepada pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik, tetapi Pasal 67 PP 19/2005 menyatakan: (1). Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti
89

M. Taufik, Carut-marut Ujian Nasional www.vhrmedia.net diakses tanggal 20 April 2007

peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan jalur nonformal kesetaraan; (2). Dalam penyelenggaraan ujian nasional BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan satuan pendidikan; (3). Ketentuan mengenai ujian nasional diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Kontradiksi antar pasal juga terlihat jelas pada Ayat 1 dan 2 Pasal 72. Ayat 1 menyatakan: Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: (a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; (b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; (c) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (d) lulus ujian nasional. Namun, Ayat 2 menyatakan: Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan peraturan menteri. Jadi, dalam wilayah yuridis saja ujian nasional sudah bermasalah sebenarnya. Apalagi turunanturunannya! Kedua, kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional banyak terjadi. Kasus di Medan seperti diurai di atas adalah contoh paling telanjang sebagai ekses dari ujian nasional tahun ini. Demikian juga yang terjadi di Padang. Sebanyak 83 murid Sekolah Kejuruan Menengah Dhuafa melakukan aksi menolak mengikuti ujian nasional karena ditengarai ada kebocoran soal ujian. Tingginya standar kelulusan menjadi

momok tersendiri tidak hanya bagi para siswa, namun juga bagi pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan seperti sekolah dan pihak pendidikan. Akibatnya pola kecurangan selalu menjadi isu yang melekat setiap kali ujian nasional dilangsungkan. Ketiga, selalu berubah-ubahnya pola pelaksanaan ujian nasional juga menjadi permasalahan tersendiri. Tahun lalu ujian nasional memiliki syarat kelulusan dengan patokan angka nilai minimal 4,26. Pada tahun sebelumnya (2005) angka minimal kelulusan 4,01. Tahun ini angka syarat minimal kelulusan menjadi kombinatif. Sebenarnya angka minimal kelulusan menjadi naik, yakni 5,00, namun itu adalah nilai rata-rata minimal dari tiga pelajaran yang diujikan. Artinya, jika seorang siswa memperoleh nilai 4,00 pada satu mata pelajaran namun pada pelajaran yang lain mendapat nilai 6,00 misalnya, siswa itu bisa tetap lulus. Melihat hal demikian, artinya dari tahun ke tahun pemerintah tidak konsisten atas pilihannya sendiri. Selalu ada proses tambal sulam atas kebijakan yang memang bermasalah sejak awal ini. Benny Setiawan menyebut hal demikian sebagai sistem pendidikan yang mengikuti tren pasar. Pendidikan Indonesia masih suka bongkar pasang sesuai keinginan orang-orang pusat (Jakarta). Jakarta sering kali dijadikan miniatur pendidikan Indonesia, sehingga apa yang terjadi di Jakarta dengan serta-merta diterapkan di daerah. Dengan demikian, daerah sama sekali tidak memiliki kemandirian. Ia dipaksa untuk mengikuti tren Jakarta yang belum tentu sesuai dengan potensi lokal. Demikian pula dengan para guru (pendidik). Pendidik sering kali disalahkan oleh pemerintah, orang tua, bahkan peserta didik. Hal ini dikarenakan mereka dianggap tidak mampu membimbing peserta didik

secara maksimal. Ketidakmampuan ini ditunjukkan oleh hasil ujian nasional. Ketika hasil ujian nasional jelek, pendidik (guru) dituding sebagai penyebab utama. Namun, hal ini berbeda ketika hasil ujian nasional menunjukkan hasil yang maksimal, lembaga bimbingan belajar sering kali mendapat acungan jempol dari berbagai pihak. Peran serta pendidik (guru) tidak pernah dihargai sedikitpun. Keempat, korban dari semua ini adalah siswa didik dan para guru. Mereka selalu menjadi kelinci percobaan dari sistem yang silih berganti diterapkan. ujian nasional telah mencabut guru dari otoritasnya untuk menilai, mengevaluasi siswanya apakah berhak lulus atau tidak. Karena yang paling sering berinteraksi dengan para murid tentulah guru. Di sisi lain, kemampuan tiap orang berbeda. Dalam konteks ini ujian nasional kemudian menjadi diskriminatif. Ada siswa yang cukup mumpuni di satu mata pelajaran, namun pada pelajaran lain tidak. Kelima, secara filosofis dan substantif ujian nasional tidak mencerminkan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Jika pendidikan bertujuan menjadikan manusia seutuhnya, maka pola pelakasanaan ujian nasional yang masih berlaku seperti sekarang ini telah mengantarkan para terdidik menuju cara pandang yang pragmatis. Jika hanya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika yang menjadi ukuran kelulusan, untuk apa mempelajari materi-materi yang lain? Selain itu, dalih ujian nasional bisa menjadikan siswa bersungguh-sungguh dan mau bekerja keras menggapai kelulusan terbantahkan dengan banyaknya kasus kecurangan dalam ritual tahunan sekolah ini. Cara pandang yang demikian telah mengantarkan generasi kita menjadi generasi yang meminjam istilah Komarudin Hidayat tidak memiliki visi dan komitmen.

Sesungguhnya ujian nasional bukanlah sebuah masalah, jika tidak menjadi faktor satu-satunya penentu siswa lulus atau tidak. Sebab, sebagaimana manusia diciptakan berbeda-beda, ujian nasional dan sistem pendidikan secara umum seharusnya bisa mengakomodasi keragaman itu. Itulah yang disebut memanusiakan manusia: dunia pendidikan memberikan ruang bagi penemuan jati diri orang-orang di dalamnya. Bukan sebaliknya, membuat orang merasa asing dengan dirinya sendiri. Lain halnya dengan M. Basuki Sugita,90ia memaparkan berbagai kelemahan dari pelaksanaan ujian nasional 2007. Beberapa kelemahan tersebut adalah sebagai berikut: pertama, menyangkut jadwal ujian nasional, jika pada tahun sebelumnya ujian nasional dilaksanakan pada bulan Mei, maka untuk tahun ajaran 2006/2007 dilaksanakan pada bulan April. Pergeseran jadwal ini berimplikasi luas karena baru diumumkan pada medio November 2006. Praktis sejak itu rencana kerja setahun guru kelas IX (tingkat SMP sederajat) dan kelas XII (tingkat SMA sederajat) menjadi berantakan. Implikasi lain dari pemajuan jadwal ini juga diderita oleh para siswa kelas IX dan XII, mengingat semakin dekatnya pelaksanaan ujian nasional maka berbagai programpun dilaksanakan seperti, try out, penambahan waktu belajar (sampai sore hari) dan yang lebih menyakitkan adalah berkurangnya mata pelajaran yang harus diterima. Sedangkan Masdar Hilmy berpendapat, ada beberapa sisi negatif dari ujian nasional 2007 ini yaitu:91

90 91

Basuki Sugita, Berbagai Kelemahan UN, Kompas, 5 Februari 2007, 14. Masdar Hilmy, Ada UN Nggak Ada UN Sama Saja (Wujuduhu Ka Adamihi).

1.

Sebagai palu godam tingkat kelulusan siswa; padahal yang diujikan hanya

tiga mata pelajaran, bukan seluruh mata pelajaran 2. Kualitas belajar tidak bisa diangkakan; kualitas belajar hanya bisa

dinarasikan secara kualitatif . 3. Lebih banyak berorientasi pada penyerapan, bukan inventiri; pada

kenyataannya, UN tidak dapat mengatrol dari kreatifitas siswa dalam bidangbidang yang diujikan untuk menciptakanhal-hal yang bermanfaat untuk kemaslahatan umum. 4. Tidak merefleksikan taksonomi Bloom; ada dua aspek penting dalam

pendidikan yang tertinggal, yaitu afektif dan motorik. 5. Tidak berorientasi life skill; siswa yang lulus UN dengan nilai tinggi tidak

dijamin mampu memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya. 6. Tidak mencerminkan pendiidkan berbasis realitas: UN tidak langsung

berkorelasi terhadap penyelesaian berbagai macam persoalan kehidupan seperti sektor pertanian yang semakin terpuruk, pengangguran semakin membludak; industri yang hanya sekadar pemain pinggiran, bukan pemain utama, akibat miskinnya daya saing dan inovasi industri; bencana alam dan kemansiaan akibat human errors seperti tragedi tsunami, gempa bumi dan sebaginya. 7. Tidak merepresentasikan potensi lokal daerah; UN tidak mampu membaca

potensi-potensi lokal daerah 8. 9. 10. Mengundang kejahatan; seperti kebocoran soal dan bisnis soal Rutinitas proyek Menciptakanideologi persaingan yang tidak sehat

11.

Panas setahun dihapus hujan sehari Hal senada juga diungkapkan Fathurrofiq.92Menurutnya, ujian nasional tidak

memacu budaya belajar tetapi memicu kecurangan dan cara belajar ala bimbingan belajar93. Kecurangan dan cara belajar ala bimbingan belajar seolah menegaskan lagi pendapat (Alm) Koentjoroningrat tentang mentalitas menerabas dan budaya instan bangsa ini. Kecurangan dalam ujian nasional terasa sekali menunjukkan mentalitas menerabas, sikap menghalalkan segala cara demi tujuan lulus dan sukses Ujian Nasional. Adapun cara belajar dengan drill soal, try out, menghafal soal, dan trik-trik mengerjakan soal obyektif menunjukkan sikap instan dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Cara belajar ini tidak menunjukkan eksplorasi cipta, rasa dan karsa anak didik terhadap substansi kompetensi ilmu pengetahuan. Implikasinya, kompetensi dan kecerdasan dalam, menguasai ilmu pengetahuan hanya diukur dari kemampuan memilih jawaban secara cepat dan tepat untuk mendapatkan skor tertinggi. Ujian Nasional alih-alih sebagai kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan justru telah menihilisasi budaya belajar.

92 93

Fathurrofiq, Nihilisasi Budaya Belajar, Kompas (Jakarta), 16 Mei 2007, 14. Menjamurnya Bimbingan Belajar, Jawa Pos 11 April 2007, 34.

BAB III KUASA NEGARA DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN A. KUASA NEGARA 1. Sekilas Tentang Kekuasaan dan Negara Konsep kekuasaan merupakan pembahasan yang sudah lama dibahas oleh para pemikir. Kekuasaan (Power) selalu menarik mengingat dalam setiap langkah, gerak dan tindakan kita tidak akan lepas dari kekuasaan. Ada berbagai jenis kekuasaan yang melingkari hidup kita, antara lain kekuasaan militer, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik. Di antara berbagai jenis kekuasaaan tersebut, kekuasaan politik dipandang sebagai kekuasaan yang paling dominan, karena dari sinilah pangkal berbagai kebijakan yang menyangkut hajat hidup masyarakat. Dalam sejarah bangsa Indonesia, kekuasaan memang sudah menjadi bumbu penyedap dalam denyut nadi bangsa. Tentunya kita masih ingat bagaimana kekuasaan selalu saja diperebutkan. Mulai dari kisah Ken Arok dan Tunggul Ametung di Tumapel, Raden Wijaya dan Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari, pengambil-alihan kekuasaan Majapahit oleh Demak, perang

kemerdekaan melawan menjajah, hingga pelengseran mantan presiden Soeharto tahun 1998. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari keinginan manusia untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Tantripala (Guru Ken Arok/beragama Budha)94 pernah
94 Konflik yang muncul semasa hidup Ken Arok adalah pertarungan antara paham hindu Syiwa dan Wisnu. Akar masalah dari perselisihan ini adalah raja Airlangga. Pada masa Airlangga inilah pemujaan terhadap Wisnu lebih diutamakan. Hal ini membuat penganut Syiwa merasa disingkirkan dan diasingkan. Hal lain yang membuat pengikut Syiwa tidak senang pada Airlangga adalah mengenai pengkastaan. Airlangga mengeluarkan kebijakan penghapusan kasta Paria (budak) dan membolehkan seseorang berpindah kasta didasarkan pada dharma baktinya kepada negara (bukan dari keturunan). Contoh

berujar bahwa karunia terbesar yang paling diinginkan manusia dari para dewa ialah kekuatan menguasai dan mempengaruhi sesamanya.95 Kekuasaan politik hanya bagian dari apa yang disebut dengan kekuasaan sosial. Gianfranco Poggi membedakan kekuasaan sosial atas tiga jenis, yaitu: kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan normatif atau ideologi.96 Teori mengenai sifat kekuasaan biasanya digolongkan ke dalam dua kategori besar, yaitu: organik (Plato dan Aristoteles) dan mekanistik (teori kontrak sosial). Dalam teori organik, kekuasaan merupakan lembaga etis dengan tujuan moral. Teori organik beranggapan bahwa kesatuan politik seperti negara merupakan tuntutan dari dalam diri manusia untuk berasosiasi dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia menyadari bahwa kekuasaan yang membuat hidup menjadi mungkin dan bermanfaat bagi mereka. Kesatuan moral atau sosial berhasil dari kehendak kolektif untuk berhubungan bersama-sama dan memfungsikan diri sebagai anggota masyarakat.97 Pandangan mekanistik cenderung mengabaikan sifat sosial manusia dan memandang kekuasaan sebagai suatu lembaga artifisial yang didasarkan atas tuntutan-tuntutan individu. Teori ini menganggap kekuasaan sebagai sarana atau mesin sebagai kesepakatan bersama antara individu untuk memuaskan keinginankeinginannya. Teori ini mempunyai konsepsi mengenai alam sebagai mekanisme

konkritnya adalah diangkatnya Tunggul Ametung menjadi Akuwu di Tumapel, padahal dia adalah sudra dan seorang penjahat. Arok (pembangun) yang bernama asal Temu merupakan penganut Syiwa. Pertama kali ia berguru kepada Tantripala kemudian berguru kepada Dah Hyang Lohgawe (Penganut Syiwa) yang kemudian juga membantu Arok merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung. 95 Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes (Yogyakarta : Hasta Mitra, 2002), 68. 96 H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang : Indonesia Tera, 2003), 72. 97 Ibid, 73.

yang bekerja sesuai dengan hukum-hukum tertentu yang secara otomatis menimbulkan harmoni kepentingan-kepentingan alami.98 Paulo Freire, telah membuat salah satu dari banyak konsep kekuasaan yang paling radikal dalam teori sosial kontemporer miliknya. Kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang positif dan juga negatif; sifatnya dialektis tetapi Mode Of Operation-nya selalu represif. Menurut Freire, kekuasaan bekerja pada dan melalui masyarakat. Di satu sisi, ini berarti bahwa dominasi tidak pernah sepenuhnya mutlak, yang dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan sebagai kekuatan negatif. Di sisi yang lain, kekuasaan merupakan daya dorong dari semua perilaku manusia dimana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang dan berusaha mewujudkan cita-cita kehidupannya yang lebih baik. Secara umum teori Freire tentang kekuasaan dan gambarannya mengenai sifatnya yang dialektis menunjukkan bahwa fungsi kekuasaan ini sangat penting dan merasuk ke berbagai segi kehidupan. Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipahami hanya dalam wilayah publik dan pribadi di mana pemerintah, kelas-kelas yang dominan dan kelompok-kelompok lainnya memainkan peran. Kekuasaan itu ada di tangan siapa saja dan menemukan bentuknya dalam ruang publik yang saling berposisi yang secara tradisional telah kehilangan kekuasaannya dan bentuk-bentuk

resistensinya.99 Pandangan Freire tentang kekuasaan bukan hanya merupakan cara pandang yang menjadi alternatif dan berguna bagi para teoritisi radikal yang terperangkap dalam keputusasaan dan sinisme, tetapi juga menekankan bahwa
Ibid, 73. Paulo Freire. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta : Terj. ReaD dan Pustaka Pelajar, Cet. V.2004), 16.
99 98

kekuasaan itu selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan dan kontradiksi dalam berbagai institusi sosial, seperti sekolah dimana kekuasan seringkali dianggap sebagai kekuatan positif yang resisten. Akhirnya, Paulo Freire mengetahui bahwa kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya, seperti polisi, tentara dan departemen kehakiman. Dominasi dipraktekkan lewat kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam. Pembicaraan dominasi tidak hanya mengacu pada ekspresi budaya yang mempengaruhi kaum tertindas dalam kesehariannya, namun juga menyangkut bagaimana kaum tertindas ini menginternalisasi pengaruh dan turut melestarikan penindasan tersebut. Pembicaraan ini merupakan topik yang sangat penting di dalam buku Freire dan mengindikasikan bagaimana dominasi itu dipraktekkan secara subyektif melalui proses internalisasi dan pengendapan diri dalam bentuk-bentuk kebutuhan pribadi. Apa yang sedang kita bicarakan adalah pemikiran Freire tentang betapa pentingnya usaha untuk menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis, dan oleh karenanya juga perlu pengamatan internal terhadap bentuk-bentuk emansipasi sosial dan individu.100 Konsep dominasi dan bagaimana kekuasaan bekerja secara represif terhadap jiwa manusia memperluas konsep belajar, termasuk bagaimana manusia belajar tanpa berkata-kata, bagaimana kebiasaan kemudian menjadi sejarah yang beku, dan bagaimana pengetahuan itu sendiri menghambat perkembangan subjektifitas tertentu dan cara manusia menjalani kehidupan di dunia. Persepsi
100

Ibid, 17.

terhadap pengetahuan sangat penting karena akan menunjukkan bagaimana perbedaan-perbedaan konsep pengetahuan yang emansipatoris mungkin akan ditolak oleh orang yang mendapatkan keuntungan darinya. Dalam kasus yang seperti ini, masyarakat tertindas mendapatkan akses terhadap logika dominasi mungkin dikarenakan mereka mempertahankan pengetahuan yang bertentangan dengan pandangan dunia mereka. Pengetahuan justru turut mempertahankan status quo dominasi ini karena menjadi kekuatan aktif yang bersifat negatif dan menolak untuk melihat adanya kemungkinan lain dalam kehidupan ini. Dengan kondisi yang seperti ini, dari sudut pandang pendidikan muncul pertanyaan, bagaimana para pendidik yang radikal menilai dan mendiskusikan pihak-pihak yang melakukan represi dan yang melupakan tujuan inti dari dominasi? bagaimana penjelasan terhadap kondisi yang tetap menolak untuk mengetahui dan menyelidiki bahwa pengetahuan mengandung kemungkinan yang bertentangan dengan dominasi itu sendiri?101 Pesan yang ingin disampaikan Freire dari konsep pendidikannya relatif cukup jelas jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, dimana dominasi itu tumbuh subur dan masalah apa yang dihadapai mereka yang tertindas oleh dominasi secara subyektif maupun obyektif. Akan tetapai proyek ini tidak akan mungkin terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentuk sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa. 102

101 102

Ibid, 18. Ibid, 18-19

Berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang membahas mengenai kekuasaan, Micheal Foucault berpendapat kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau dari hasil persetujuan (Hobbes, Locke), tetapi seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan pertama-tama bukan represi (Freud, Reich) atau pertarungan kekuatan (Machiavelli, Marx) dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi (Marx). Tetapi tentang kekuasaan ini Foucault mengatakan bahwa kekuasaan ada di mana-mana; bukannya bahwa kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari manamana.103Tujuan dari semua itu adalah kepatuhan.104 Berbicara mengenai kekuasaan, maka frame pemikiran kita akan terus mengarah kepada negara. Hal ini dikarenakan, negara memiliki otoritas kekuasaan yang nyata bahkan dilegitimasi oleh perundang-undangan yang di produksinya. Negara dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti:105 1. Organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. 2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang terorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
103

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, cet.II, 2004),

217. Ibid. hal. 221. Strategi kekuaaan menurut Foucault menggunakan berbagai cara, yaitu: disiplin, norma dan pengawasan panoptik. Panopticon (panoptik) merupakan konsep yang menjelaskan tentang relasi antara orang yang ; diawasi-mengawasi, dikontrol-mengontrol, direhabilitasi-merehabilitasi, abnormal-menormalkan, dalam sebuah ruang kekuasaan. Padotik menimbulkan kesadaran diawasi, dokontrol secara terus menerus. Panoptik merupakan cara yang efektif dalam menimbulkan kepatuhan dan bahkan ketakutan akan penguasa atau kekuasaan. 105 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka Cet.II.2002), 777.
104

mempunyai kesatuan politik, berdaulat, sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Negara menurut asal usul kata berasal dari bahasa sansekerta Nagari atau nagara, yang berarti kota. Dalam bahasa daerah dari suku di Indonesia menerima arti daerah, wilayah negeri (Aceh) atau tempat tinggal seorang raja atau pangeran. Sehingga negara (state) menurut istilah, berhubungan dengan kondisi tindakan, bentuk pemerintahan, seperti birokrasi, keadilan, sistem administrasi, kekuasaan, kontrol/pengendalian, dominasi, pengaturan,

memaksakan, mengarahkan atau memerintah. Sedangkan secara definisi normal seringkali disinonimkan dengan publik, dan bisa bermakna yang berhubungan dengan rakyat atau negara. Jadi dalam istilah negara itu sudah terkandung makna pemerintah dan rakyat. Pembahasan mengenai negara telah sejak lama dibahas, bahkan ratusan tahun yang lalu. Plato dalam bukunya Politea yang berarti negara mendefinisikan negara sebagai Keinginan kerjasama antarmanusia dalam rangka memenuhi kepentingan bersama106, sedangkan Aristoteles berpendapat, negara adalah: persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.107Kedua pengertian ini terasa sangat sederhana, mengingat realita sosial waktu itulah yang melatarbelakangi munculnya pendefinisian ini. Inti dari pemikiran kedua tokoh ini, negara membutuhkan kekuasaan yang mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional.108

Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta. ; PT. Rineka Cipta, 2000), 79. Ibid, 82. 108 Nezar Patria & Andi Arif, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,cet.II, 2003), 24.
107

106

Pada abad pertengahan, ide tersebut mengalami rekonstruksi dalam lingkup kekuasaan teologis gereja. Pada masa itu, negara dianggap sebagai wakil gereja di dunia dan gereja adalah wakil tuhan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia. Ini lantas menjadi legitimasi kekuasaan mutlak dari negara.109 Pada abad renaisance, terjadi proses sekularisasi yang memisahkan kekuasaan negara dan gereja. Para filosuf seperti Thomas Hobbes, Locke, dan Rousseau mencoba melakukan kritik terhadap kekuasaan negara. Mereka menawarkan model negara dengan mainstream liberalisme, sebagai hasil dari gaya pemikiran renaisance yang mengagungkan otonomi manusia. Mereka mengajukan model negara yang dapat menjamin otonomi manusia dari kekuasaan dari luar dirinya. Pada jaman ini lahir pandangan bahwa negara merupakan wakil dari kepentingan umum atau publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi dan terpecah-pecah.110Pendapat ini diperkuat dengan konsepsi Hegel tentang negara. Menurutnya, negara adalah ungkapan roh obyektif, dimana roh obyektif tersebut merupakan cerminan dari kehendak, pikiran dan hasrat masing-masing individu (roh subyektif). Dengan demikian, negara merupakan institusi yang paling paham akan kehendak individu; rakyat tidak mengetahui kehendaknya, yang mengetahui adalah negara, karena ia secara obyektif mengungkapkan apa yang bagi rakyat hanya ada secara subyektif.111 Pandangan liberalisme ini merupakan cikal bakal dari kapitalisme yang pada akhir abad ke-19 menunjukkan wajahnya yang beringas. Pada masa ini, muncul Karl Marx yang menganggap eksistensi negara justru diakibatkan oleh
109 110

Ibid, 24. Ibid, 24. 111 Ibid, 24.

adanya ketidakberesan yang sifatnya fundamental dari masyarakat. Menurutnya, negara tidak mengabdi pada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya kepentingan klas-klas sosial tertentu saja, menjadi alat suatu klas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka.112 Menurut Max Webber, negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.113Sedangkan Miriam Budiarjo, menegaskan negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaaan yang sah.114 Di sisi lain, banyak dari kalangan ilmuwan itu mengartikan negara itu dengan berbagai bentuk. Menurut Prof. Kranenburg negara merupakan suatu sistem dari tugas-tugas umum dan organisasi-organisasi yang diatur dalam usaha negara untuk mencapai tujuannya, yang juga menjadi tujuan rakyat/masyarakat yang diliputinya, maka harus ada pemerintah yang berdaulat.115 Thomas Hobbes mengartikan negara dengan suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan perlindungan bagi mereka. Sedangkan

J.J. Roousseau mengartikan bahwa negara adalah perserikatan dari rakyat bersama-sama yang melindungi dan mempertahankan hak masing-masing diri dalam harta benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas merdeka.116
112 113

Ibid, 25. Inu Kencana, 85. 114 Ibid. 85. 115 Ibid, 84. 116 Ibid, 23.

Deliar Noor mengatakan bahwa negara adalah semacam bentuk suatu ikatan, semacam bentuk kumpulan yang pada akhirnya dapat menggunakan paksaan terhadap para anggotaanggotanya. Ikatan ini ada dua macam, pertama yang mencakup keseluruhan hidup manusia. Kedua, mencakup sebagian segisegi hidup itu. Dalam sejarah keberadaan manusia, telah ada berbagai macam bentuk negara. Meskipun hingga saat ini, ada perdebatan mengenai arti bentuk negara dengan bentuk pemerintahan. Memang batasan yang tegas antara itu tidak ada. Namun menurut Inu Kencana disebutkan sebagai berikut: 1) Negara Kerajaan Negara kerajaan kepala negaranya dijabat secara turun temurun, dengan gelar berbagai jenis, misalnya: kaisar, ratu, sultan, maharani, syah atau lain-lainnya sesuai budaya negara tersebut. Sedangkan kepala

pemerintahannya yang menjalankan roda pemerintahan (eksekutif) dapat diserahkan kepada perdana menteri (PM) yang memimpin kabinet (dewan menteri-menteri) atau dapat pula dijabat sendiri oleh kepala negara tersebut di atas. Kita tidak dapat memandang rendah bentuk negara kerajaan ini, dikarenakan kepala negaranya hanya dianggap sebagai simbol, Misalnya Inggris dan Jepang. 2) Negara Republik Adalah suatu negara yang kepala negaranya dijabat oleh seorang presiden. Seperti juga dengan kerajaan, negara republik juga dapat memiliki

perdana menteri yang akan memimpin kabinet, yang sudah barang tentu prsiden (kepala negara) terpilih tidak lebih dari sekedar simbol, kecuali sistem pemerintahannya memberikan posisi dominan kepada presiden, yaitu dengan jalan tidak dapat dijatuhkannya presiden dijatuhkan oleh mosi tidak percaya parlemen (Legislatif). Hal ini dicantumkanm dalam konstitusi negara tersebut. Tetapi, apabila presiden selain kepala negara juga sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan yang memimpin kabinet, maka degara republik tersebut berarti menganut sistem pemerintahan yang presidensial. Baik negara kerajaan maupun republik, keduanya dapat dibagi lagi atas bentuk serikat (republik serikat atau kerajaan serikat) atau bentuk kesatuan (republik kesatuan dan kerajaan kesatuan). Perbedaan ini tergantung kepada besar kecilnya, sentralisasi atau desentralisasi yang diberikan negara itu dalam hubungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Untuk mendirikan sebuah negara, diperlukan syarat-syarat tertentu. Ada 4 syarat pokok berdirinya suatu negara, yaitu:117 1. Adanya pemerintah, pemerintah merupakan pelaksana dari program negara. Mereka berhak dan menentukan nasib rakyat suatu negara akan dibawa kemana. Untuk melaksanakan fungsi ini, pemerintah mengeluarkan perundang-undangan yang menjadi legitimasi bagi seluruh kebijakan yang diambil. Selain itu, mereka juga memiliki aparat-aparat pemerintahan sebagai avant garde dari pelaksanaan program pemerintahan. 2. Adanya wilayah, suatu negara akan diakui eksistensinya jika terdapat wilayah atau daerah sebagai ruang bagi warga negaranya. Wilayh suatu
117

Ibid, 86.

negara seringkali menj di problem serius antar negara. Kita tentu masih ingat konfrontasi Indonesia dan Malaysia yang bersengketa mengenai perebutan pulau Ligitan dan Sipadan, perebutan wilayah di jalur Gaza antara Israel dan Palestina yang tak terselesaikan hingga kini. 3. Adanya warga negara, posisi warga negara bisa dikatakan sebagai subyek dan obyek. Ia menjadi subyek tatkala ia memiliki otoritas untuk menentukan arah negaranya. Dan berposisi sebagai obyek ketika mereka tidak memiliki kekuatan untuk menentukan masa depan negaranya. Selain itu, jika mereka ditindas oleh kekuasaan negara yang represif dan dikekang hak-haknya sebagai warga negera maka merekapun berposisi sebagai obyek. 4. Adanya pengakuan, pengakuan disini tidak hanya berasal dari warga negaranya dengan kepatuhan dan ketaatan warga negara terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan negara, tetapi juga mengarah kepada pengakuan negara lain. Pengakuan ini ada yang bersifat de facto dan de jure.

2. Strategi Pelanggengan Kekuasaan Oleh Negara Albert Camus pernah berkata Power tend to corrupt and absolutly power absolutly corrupt (kekuasaan mengarah kepada korupsi dan kekuasaan yang mutlak jelas mengarah kepada korupsi ). Maksudnya, lingkar kekuasaan tidak akan jauh dari korupsi dan kepemilikan kekuasaan yang memudahkan seseorang untuk mendapatkan fasilitas yang diinginkan menimbulkan keinginan untuk melanggengkan kekuasaannya. Untuk lebih mengerucutkan pembahasan mengenai strategi pelanggengan kekuasaan, maka untuk menganalisisnya hanya digunakan dua konsep yang selama ini dianggap relevan sebagai alat bedahnya. Kedua konsep tersebut adalah hegemoni dari Antonio Gramsci dan IRA (Ideological State Apparatus) dan RSA (Repressive State Apparatus) dari Louis Althusser.

a. Hegemoni Istilah Hegemoni berasal dari bahasa Yunani egomonia yang berarti penguasa atau pemimpin.118 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, hegemoni diartikan sebagai: pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan dan sebagainya suatu negara atas negara lain.119

Yasraf A. Piliang, Transpolitika Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas (Yogyakarta : Jalasutra, 2005), 24. 119 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, cet.II, 2002), 364.

118

Konsep hegemoni yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci120 selama ini diinterpretasikan ke dalam berbagai relasi selain relasi politik, seperti gender, ras, agama, gaya hidup, dan budaya massa. Akan tetapi, di dalam abad informasi dewasa ini, hegemoni politik mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari relasi hegemoni khusus, yaitu hegemoni dalam budaya massa (dan iklan). Artinya, fenomena hegemoni berlangsung di dalam dunia politik dan budaya massa (iklan), sebagai dua bidang yang terpisah, yang masing-masing mempunyai mekanisme dan logikanya masing-masing.121 Dalam pengertian tradisionalnya, hegemoni diartikan sebagai sistem kekuasaan atau dominasi politik. Di dalam tradisi marxisme, istilah tersebut kemudian diperluas ke arah hubungan kekuasaan diantara kelas-kelas sosial, khususnya dalam pengertian kelas berkuasa.122 Istilah hegemoni, pertama kali dipakai oleh Plekhanov pada tahun 1880an. Dalam term awalnya, hegemoni digunakan untuk menunjukkan perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani dengan tujuan meruntuhkan gerakan Tsarisme.123Kelas pekerja harus mengembangkan kekuatan nasional, berjuang untuk membebaskan semua kelas atau kelompok yang tertindas. Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi untuk revolusi, suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk
Antonio Gramsci lahir di Ales sebuah kota kecil di Sardinia Italia, pada 22 Januari 1891. Secara sederhana, pemikiran hegemoni Gramsci merupakan bagian awal dari rentetan pemikiran-pemikirannya. Artinya, konsep hegemoninya merupakan awalan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Secara berurutan, konsep pemikirannya meliputi: Aliansi untuk mencapai konsensus, hubungan kekuatan : ekonomikorporasi, nasional-kerakyatan, revolusi intelektual dan moral, pemikiran awam (Common Sense), masyarakat sipil, blok historis dan perang posisi. Selain itu masih ada pembahasan mengenai revolusi pasif dan watak kekuasaan. 121 Yasraf A. Piliang, Transpolitika, 24. 122 Ibid. 24. 123 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta : Insist dan Pustaka Pelajar, terj, 1999), 20.
120

memperoleh dukungan dari mayoritas.124Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya sehingga hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaaan yang sudah diperoleh. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekuasaan dan persuasi.125Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi.126 Sebagai kata kunci dalam menjalankan hegemoni, diperlukan aliansi antara kelas sebagai kekuatan penopangnya. Aliansi ini merupakan cara yang harus dilaksanakan jika menginginkan terlaksananya hegemoni. Aliansi ini tidak hanya terjadi antar serikat pekerja, tetapi harus diperluas lagi dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok sosial lain dalam aliansi guna mencapai konsensus sebagai langkah awal dalam melaksanakan aksi. Hubungan kekuatan yang terhimpun harus merepresentasikan kekuatan ekonomi-korporasi dan nasional kerakyatan. Dalam melaksanakan hegemoni, diperlukan kelas intelektual sebagai otak dari seluruh proses yang dijalankan.

Ibid, 21. Ibid, 19. Gramsci menggunakan Centaur Yunani, yaitu bentuk setengah binatang dan setengah manusia, sebagai simbol dari perspektif ganda suatu tindakan politik-kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. 126 Ibid, 19-20.
125

124

Intelektual127 disini harus mampu membaca keinginan mayoritas masyarakat (Common Sense) agar memudahkan dalam penyikapan isu-isu yang dilancarkan. Gramsci membagi hagemoni menjadi tiga bagian, yaitu:128 1. Hegemoni Integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi

(gabungan) massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat satuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang di perintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun secara etis. 2. Hegemoni Merosot (Decadent Hegemony), dalam masyarakat

kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukkan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi Di bawah permukaan kenyataan sosial. Artinya, sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasarannya, namun mentalitas massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dari subyek ekonomi. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. 3. Hegemoni Minimum (Minimal Hegemony). Bentuk ini

merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua bentuk di atas. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis,

politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan


Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi dua golongan, Pertama. Inteletual Organik, adalah mereka yang menyadari identitas dari yang diwakili dan yang mewakili, dan merupakan barisan terdepan yang riil dan organik dari lapisan kelas ekonomi papan atas yang disitu mereka termasuk di dalamnya. Kedua, Intelektual Tradisional adalah: intelektual organik yang berasal dari kelas kapitalis. Atau secara lebih mudahnya, adalah mereka yang memiliki daya intelektualitas, namun tidak digunakan untuk transformasi sosial. 128 Nezar Patria & Andi Arif, 128-129.
127

terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan

kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan klas lain dalam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan negara baru yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis itu.

b. IRA

(Ideological

State

Apparatuses)/RSA(Repressive

State

Apparatuses) Ideologi adalah salah satu dari sekian banyak konsep yang paling ekuivokal (meragukan) dan elusif (sukar ditangkap), yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial; tidak hanya karena beragamnya pendapat teoritis yang menunjuk arti dan fungsi yang berbeda-beda, akan tetapi karena ideologi adalah konsep yang sarat dengan konotasi politik dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dengan makna yang beragam.129 Ideologi secara konsep sering dipahami secara berbeda-beda, baik dalam pengertian orang awam (Common Sense) maupun dalam pemakaian di dunia keilmuan. Sesekali ia disebut sebagai jalan kebenaran yang menyerupai firman, dengan begitu perlu diimani. Di lain waktu ideologi dianggap sebagai gambaran palsu tentang dunia. Ia bisa menjadi guiding principle suatu masyarakat atau bangsa dan mengantarkannya kepada satu tatanan obsesif, misalnya, kesetaraan manusia atau keadilan dan kemakmuran. Ideologi juga diberi makna sebagai seperangkat keyakinan ketika suatu bangsa mempercayai peran yang harus dimainkannya dalam berelasi dengan bangsa lain yang memiliki karakter berbeda dengannya, baik berupa relasi simetris maupun keyakinan superioritas suatu bangsa terhadap yang lain.130 Istilah ideologi ditemukan oleh filosof Perancis Destutt de Tracy (1754-1836).131Rumusan yang jelas mengenai ideologi memang tidak dapat kita lepaskan dari pendapat beberapa tokoh yang mengeluarkan statemen
129 130

Jorge Larrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta : LKPSM, terj. 1996), 1. Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi (Magelang : IndonesiaTera, 2001), 48. 131 Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Jogjakarta : Yayasan Bentang Budaya, terj. 2002), 5.

tentang ideologi. Louis Althusser mengartikan ideologi sebagai Expresses a will, a hope, or a nostalgia, rather than describing a reality.132Pengertian ini mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang menampilkan sebuah keinginan, harapan, atau sebuah romantisme dari sebuah realitas merupakan bagian dari ideologi. Atau dengan redaksi yang lain dikatakannya sebagai sesuatu yang profoundly unconcious, sebagai hal-hal yang secara mendalam tidak disadari.133 Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya: history turn into nature, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sesuatu yang alamiah. Sejak buaian hingga kuburan, manusia hidup dengan ideologi.134 Lain halnya dengan Marx yang mengartikan ideologi sebagai kesadaran palsu sebagai camera obscura yang memutarbalikkan realitas.135 Peran ideologi memang sangat signifikan dalam kehidupan, baik secara personal maupun kolektif. Kita tentu masih ingat bagaimana Hitler dengan ideologi fasisnya membelalakkan pandangan dunia dan ideologi fundamentalisme Islam yang begitu ditakuti oleh Amerika dengan bingkai terorisme. Phobia akan sebuah tindakan yang berasal dari ideologi melahirkan kewaspadaan ekstra dari berbagai pihak yang merasa terancam. Peristiwa
132 Ahmad Baso, NU STUDIES; Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta : Erlangga, 2006), 267. 133 Louis Althusser, Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies, (Yogyakarta : Jala Sutra, Terj. Cet.III.2006), xvi. 134 Ibid, xvi. 135 Ahmad Baso, NU STUDIES , 267.

pengeboman menara kembar WTC New York 11 September didengungkan sebagai aksentuasi dari ideologi Islam radikal, merupakan bagian dari argumentasi dari Amerika untuk menyerang Afghanistan dan Irak (selanjutnya mungkin Iran) yang dikatakan sebagai basis terorisme internasional dan membahayakan keamanan dunia. Kita seakan-akan terbelenggu oleh pelabelan berbasis ideologi. Ideologi membuat kita saling curiga, saling serang antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Baru-baru ini kita juga mendengar berita

mengenai penyerangan sebuah kelompok Islam terhadap sekelompok demonstran pada peringatan May Day 2007 di Yogyakarta yang dicurigai sebagai kelompok berideologi komunis. Perang berhadapan dengan ideologi memang sangat sulit di berangus, bahkan peran ideologi lebih berbahaya ketimbang kejahatan-kejahatan dan kekerasan-kekerasan fisik. Ideologi akan merasuk kedalam relung hati dan nalar berpikir seseorang dalam bertindak. Dan, Ideologi tidak bisa ditembus butir-butir peluru.136 Dari ujung kaki hingga ujung rambut, ideologi menjadi bagian dari mekanisme pengaturan diri, pengelolaan tubuh dan jiwa. Bagaimana kuku jempol harus dibersihkan dan dipotong agar tidak menimbulkan bau, hingga rambut yang harus dipotong dan dirawat, semuanya dijelaskan dengan aturanaturan yang tidak dapat ditemukan dasar epistemologisnya. Penjelasan akhir tentang pengaturan tubuh adalah kepercayaan atau ungkapan tentang sesuatu yang sudah dari sananya. Kita tidak menyadari kapan pemahaman tentang
136

M. Guntur Romli. Jamaah Islamiyah dan Bahaya Ideologi Kompas (Jakarta), 5 Mei 2007, 14.

pengelolaan tubuh terbentuk dalam benak kita. Kita tak ingat siapa yang menjelaskan cara berpikir yang kita pakai sekarang, dan mengapa cara itu yang yang kita gunakan. Kita ternyata percaya saja, menerima saja. Begitu terbiasanya kita dengan semua yang ada di dalam dan di sekitar diri sejak bayi sampai dewasa, sehingga tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu diajukan. Tubuh ini, pikiran ini, diri ini, beginilah adanya, beginilah wajarnya. Kitapun percaya pada diri kita yang menjelma kenyataaan, diri yang sudah jadi organ, melengkapi pencapaian tujuan tertentu dengan mekanisme ajeg yang dibentuk struktur-struktur di dalam dan di luar sana.137 Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah yang dinamakan ideologi.138 Menyadari begitu sentralnya peran ideologi, maka negarapun menformat metode penenaman ideologi bagi warganya dengan berbagai cara. Penanaman ideologi ini diperlukan sebagai bagian dari prinsip kekuasaan yakni untuk melanggengkan kekuasaaan. Lous Althusser memberikan informasi kepada kita tentang berbagai institusi yang berperan sebagai aparatus negara ideologis. Institusi-institusi tersebut adalah: ISA Agama, ISA Pendidikan, ISA Keluarga, ISA Hukum, ISA Politik (sistem politik, termasuk pelbagai partai yang berbeda), ISA serikat buruh, ISA komunikasi (pers, radio dan televisi, dan sebagainya) dan ISA budaya (kesusasteraan, seni, olahraga, dan sebagainya)139

137 138

Louis Altusser, Tentang Ideologi, xvii. Ibid, xvii. 139 Ibid, 20.

Ideologi menurut John. P Thompson bukanlah sebuah sistem yang di dalamnya terjadi pemaksaan konsep, ide atau kepercayaan terhadap masyarakat secara vertikal dari atas; akan tetapi sebuah sistem yang mempunyai mekanisme yang jauh lebih kompleks. Di dalamnya maknamakna dikerahkan di dalam praktik wacana komunikasi sosial sehari-hari dengan model discourse yang sangat kompleks, meskipun tujuan utamanya adalah pelanggengan relasi dominasi.140 Menurut Althusser, cara sebuah ideologi mencari pengikutnya adalah melalui mekanisme ajakan atau interpelasi, bukan lewat kekuatan senjata. Untuk dapat memproduksi dirinya, sebuah ideologi harus selalu memanggil subyeknya secara simpatik. Mekanisme mangajak secara persuasif ini sama dengan mekanisme iklan yang selalu memanggil setiap orang untuk menjadi subyek dari produk yang ditawarkannya. Sukses sebuah iklan sangat ditentukan dari kemampuannya menjadikan setiap orang menjadi subyek, yaitu orang yang merasa menjadi bagian dari ide-ide yang ditawarkan oleh sebuah produk, seperti berjiwa muda, jantan, dinamis, progresif dan sebagainya.141

3. Negara dan Pendidikan Bebicara mengenai korelasi antara negara dan pendidikan memang selalu menarik untuk dibincangkan. Hal ini dikarenakan sejak lahirnya konsep pendidikan tidak akan lepas dari dunia politik yang merupakan basic dari negara.
Yasraf. A. Piliang, Transpolitika; Dinamika Politik Di Dalam Era Virtualitas (Yogyakarta : Jalasutra, 2005), 276. 141 Ibid, 28.
140

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia juga disinggung mengenai permasalahan ini. Kita tentu masih ingat bagaimana sikap pemerintah Hindia Belanda memperlakukan pendidikan di nusantara. Proses pendidikan yang berporos pada dunia pesantren menjadi ancaman yang dianggap cukup serius bagi penguasa kolonial. Dalam pandangan kolonial Belanda, pondok pesantren adalah sarang pemberontak. Atas penilaian ini pula maka, sekitar tahun 1926 pondok pesantren sudah tidak lagi termuat dalam statistik pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang pengembangan institusi dan sistem pendidikan Islam nusantara, tampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya undang-undang sekolah liar (Wilden Scholen Ordonantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebut memperoleh subsidi dari pemerintah, dan dianggap legal. Sedang yang tidak memenuhi ketentuang dimaksud dinilai sebagai sekolah liar. Harus dibubarkan.142 Dalam sejarah Islam, kita tentunya tahu mengenai eksistensi dari madrasah Nizamiyah di Baghdad.143 Mengenai hal ini Rasyid mengatakan :

M. Sirozi, Politik Pendidikan (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), VI-VII. Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh penguasa Bani Saljuk, Nizam Al Mulk, seorang Perdana Menteri dari Alp Arselan dan Malik Syah pada tahun 457 H, setengah abad setelah berdirinya universitas Al Azhar di Kairo. Bani Saljuk terkenal sangat fanatik terhadap madzhab Sunni. Madrasah Nizamiyah didirikan di setiap kota di Irak dan Khurasan, untuk mengikis paham Syiah Zaidiyah yang dikembangkan oleh dinasti Buwaih sebelumnya dan dalam rangka menghadang paham Ismailiyah yang dipropagandakan oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir. Selain itu, tujuan pendirian madrasah oleh Nizam Al Mulk adalah untuk mencetak birokrat-birokrat yang akan menduduki jabatan kenegaraan. Atau paling tidak, melalui lembaga tersebut akan lahir warga negara yang mengerti akan nilai-nilai yang dianut oleh pemerintah. Singkat kata, Madrasah Nizhamiyah merupakan instrumen kebajikan politik yang salah satu fungsi utamannya adalah untuk menanamkan doktrin kenegaraan yang memperkuat kerajaan. Patronase Nizam Al Mulk tidak hanya menyangkut masalah keuangan dan pengadaan sarana, tetapi juga kurikulum dan jabatan profesorship, guru besar. Ibid. 2-3.
143

142

Kedudukan politik dalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit nahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah.144 Di negara-negara barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik (negara) dimulai oleh Plato dalam bukunya Republik (berarti Negara).145Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Di negara kita, pendidikan merupakan salah satu pilar bangsa. Beberapa tugas negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 45 adalah sebagai berikut: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 2. Memajukan kesejahteraan umum 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa 4. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial Keempat poin di atas mensyaratkan adanya pendidikan yang bermutu. Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional 2003 dijelaskan pendidikan nasional

Ibid, 3. Menurut Plato, Para filosof memiliki otoritas tertinggi, para pengawas pendidikan berpendidikan menengah bertindak sebagai kekuatan militer dan polisi, dan mereka yang memasok kebutuhan ekonomi negara menempati status terendah diantara semuanya. Pendidikan harus disesuaikan secara cermat dengan reproduksi sistem; kelas yang lebih rendah dididik untuk patuh dan diyakinkan dengan mitos-mitos politik bahwa status mereka itu terbentuk oleh sebab-sebab alamiah; para penyair seharusnya hanya menggambarkan tingkah laku terpuji, pengetahuan tentang bentuk-bentuk masyarakat alternatif ditekan dengan hati-hati, kecuali dalam kalangan yang terbatas dari elit penguasa (Kuper & Kuper, 2000,767), 6.
145

144

memiliki fungsi dan tujuan. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

4. Negara dan Ujian Nasional 2007 Negara (dalam hal ini Depdiknas) sebagai pelaksana ujian nasional 2007 memiliki kewenangan demi suksesnya agenda tahunan tersebut. Pelaksanaan ujian nasional berlandaskan pada: 6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah 9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah 10. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 45 Tahun 2006, tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Secara lebih spesifik, dalam Undang-undang Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat 2 disebutkan: Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional

pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dan Pasal 57 ayat 1: Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pada Pasal 59 ayat 1: Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Tujuan pelaksanaan ujian nasional 2007 adalah bagian ejawantah dari UU Sisdiknas di atas, secara khusus, ujian nasional bertujuan sebagai berikut: 3. Ujian Nasional bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. 4. Ujian Sekolah/Madrasah bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk mata pelajaran pada semua kelompok mata pelajaran yang tidak diujikan secara nasional dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Hasil ujian nasional dan/atau ujian sekolah/madrasah digunakan sebagai salah satu pertimbangan (fungsi) untuk : f. Penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; Bukan satu-satunya penentu kelulusan g. Seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; h. Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; i. Akreditasi satuan pendidikan;

Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Ujian nasional 2007 telah berlalu, berbagai berita kecurangan menyeruak diantara berita reshuffle jilid II Kabinet Indonesia Bersatu. Di Medan, forum guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru menemukan berbagai kecurangan dalam pelaksanaaan UN. Ada beberapa sekolah yang memberikan jawaban dari pertanyan UN kepada para siswanya. Caranya beragam, ada yang membacakan langsung jawaban dan ada yang dengan menulis jawaban di kertas lalu diperlihatkan kepada para siswa.146 Di Jawa Timur, praktek kecurangan juga merebak, misalnya di Banyuwangi kecurangan berbentuk guru memberi jawaban kepada siswa, di Jombang kecurangan berupa penyebaran jawaban via sms, di Pasuruan berupa pengawas yang menjadi joki, dan di Tuban berupa penempelan jawaban di kamar mandi.147 Menurut pandangan DR. Warsono148 pelaksanaan UN 2007 ini mengindikasikan hal-hal sebagai berikut, pertama.Politik sekolah, bahwa pelaksanaan Ujian Nasional digunakan sekolah untuk mendongkrak popularitas sekolah. Sehingga, berbagai carapun digunakan untuk mencapai target lulus. Dengan keberhasilan kelulusan yang mencapai 100%, secara otomatis prestise sekolah tersebut akan melejit dan akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan siswa baru di tahun ajaran berikutnya.
146

Pengakuan Komunitas Air Mata Guru dalam acara Republik Mimpi di Metro TV, Minggu 6 Mei

2007. Siswa Dapat Bocoran, Jawa Pos (Banyuwangi, Tuban, Jombang), 27 April 2007, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya pada acara seminar Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan: Upaya Menyelamatkan Hak Dasar Warga Negara dalam Belitan Neoliberalisme Surabaya, 5 Mei 2007.
148 147

Kedua, adanya ujian nasional dengan standar kelulusan yang telah ditetapkan pemerintah, mengisyaratkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap para guru dalam melaksanakan pembelajaran, baik saat perencanaan, pemberian materi dan evaluasi yang dilakukan oleh guru. Ironis memang jika pemerintah sudah tidak percaya lagi dengan para guru. Guru sebagai profesi akal budi dan nurani dan lembaga pendidikan adalah tempat untuk melatih peserta didik berpikir, mendengar, dan mengasah nurani149sudah kehilangan kepercayaan dari pemerintah.

B. PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN 1. Tentang Mutu Pendidikan Secara etimologis, Mutu, memiliki arti sebagai berikut: Karat, baik buruk sesuatu, kwalitas, taraf atau derajat.150Menurut Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, mutu berarti: Kualitas; derajat; tingkat; manikam; mutiara; emas kertas; manik; karat; (nilai logam mulia); kadar emas; membungkam/diam (karena sedih).151 Sedangkan menurut pengertian konsepsional, mutu pendidikan dapat diartikan sebagai kemampuan lembaga pendidikan dalam mendayagunakan

149

Baskoro Poedjinoegroho E , Sekolah Mencabik-Cabik Nurani, Kompas, (Jakarta) 2 Mei 2007, WJS. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka 1982), 665-666. Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya : Arkola, 1994), 505.

6.
150 151

seumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin152 Mutu pendidikan adalah suatu kualitas dalam sistem pengelolaan serta fungsi pendidikan yang mana akan menghasilkan mutu atau kualitas kelulusan siswa/mahasiswa dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman guna masa depan.153 Mutu adalah sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan. Mutu bukanlah benda magis atau sesuatu yang rumit.154 Sebagai suatu konsep, mutu seringkali ditafsirkan dengan beragam definisi, bergantung pada pihak dan sudut pandang mana konsep terebut dipersepsikan. Dengan demikian, arti mutu pendidikan ini berkenaan dengan apa yang dihasilkan dan siapa pemakai pendidikan. Pengertian tersebut merujuk kepada nilai tambah yang diberikan oleh pendidikan dan pihak-pihak yang memproses serta menikmati hasil-hasil pendidikan.155 Sampai saat ini, mutu pendidikan cenderung masih merupakan suatu konsep yang abstrak. Berbagai cara berpikir telah dikembangkan untuk mencoba memberikan suatu pengertian mutu pendidikan, tetapi dalam kenyataannya konsepsi tentang mutu ini masih tetap bergerak dalam bentuknya yang masih bersifat rethorical, artinya bahwa mutu pendidikan masih bergerak dari gagasan

Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisa Kebijakan Pendidikan (Bandung : Remaja Rosdakarya 1994), 159. 153 Muchtar Buchory, Spektrum Problematika Pendidikan Di Indonesia (Jogjakarta : PT. Tiara Wacana, 1994), 89 90. 154 Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata Laksana Penerapan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Terj. 2005), 75. 155 Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan Dan Manajemen Biaya Pendidikan (Bandung: CV. Alvabeta, 2003), 40.

152

satu ke gagasan yang lain; belum kita terjemahkan secara tepat ke dalam ukuran dan tindakan yang lebih nyata.156 Para pemikir neo klasik seperti Douglas Windham (1986) dan Johnson (1975) menempatkan konsep mutu pendidikan secara lebih operasional dengan menggunakan model efisiensi. Efisiensi itu sendiri merupakan suatu model yang dipinjam dari teknologi dan ekonomi. Secara teknis, efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan harga masukan yang relatif tetap; atau jika masukan yang sekecil mungkin agar dapat menghasilkan keluaran yang sudah ditetapkan. Dengan kata lain, efisiensi selalu dikaitkan dengan efektifitas optimal yang diperoleh dengan harga masukan yang paling seminimal mungkin. Menurut pengertian tersebut, konsep efektifitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektifitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relatif terhadap harganya. Dengan demikian, efisiensi bukan merupakan konsep yang berdiri sendiri dan akan menjadi kurang memiliki arti jika tidak mengacu pada efektifitas.157 Secara ekonomis, efisiensi akan tercipta jika, keluaran dan atau masukan sudah diterapkan ukuran nilai kepuasan (utility) atau harga (price). Mengenai konsep efisiensi mana yang lebih sesuai dipakai dalam pendidikan, itu semua tergantung pada anggapan kita tentang hakikat dari suatu program pendidikan. Jika pendidikan kita anggap sebagai suatu komoditi pada suatu sistem ekonomi pasar yang kompetitif, maka konsep efisiensi ekonomi lebih sesuai untuk dijadikan rujukan. Sebaliknya, jika pendidikan dianggap sebagai
Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan; Suatu Pengantar (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cet.II,1994), 161. 157 Ibid, 161.
156

public goods, maka asumsi pemerataan, keadilan dan efisiensi teknologis lebih dianggap relevan untuk menilai suatu program pendidikan bermutu.158 Efisiensi pendidikan memiliki kaitan langsung dengan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas secara optimal sehingga memberikan dampak yang optimal juga. Suatu program pendidikan yang efisien, cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien; program pendidikan yang efisien adalah yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan. Dengan demikian, sistem atau program pendidikan yang efisien ialah yang mampu mendistribusikan sumber-sumber pendidikan secara adil dan merata agar setiap peserta didik memperoleh kesempatan yang sama untuk

mendayagunakan sumber-sumber pendidikan tersebut dan mencapai hasil yang maksimal. Dalam pengertian ini, mutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konsep efektifitas, keadilan dan pemerataan.159 Secara substantive, mutu mengandung sifat dan taraf. Sifat adalah sesuatu yang menerangkan keadaan, sedangkan taraf menunjukkan kedudukan dalam skala. Keragaman cara pandang mengenai sifat dan taraf itu memungkinkan perbedaan pendekatan terhadap mutu pendidikan. Pendekatan pertama,

mendasarkan diri pada deskripsi mengenai relevansi pendidikan dengan dunia kerja, pendekatan ini disebut dengan pendekatan ekonomi. Pendekatan kedua, disebut pendekatan nilai instrinsik pendidikan, yang diekspresikan dalam ukuran-

158 159

Ibid, 162. Ibid, 162-163.

ukuran sikap, kepribadian, dan kemampuan intelektual yang sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan nasional.160 Pemahaman atas mutu proses pendidikan perlu dibenahi oleh pengertian proses. Konsep proses menurut Sudjana dan Susanta (1989) merujuk kepada kegiatan penanganan transformasi masukan-masukan melalui subsistem

pemrosesan menjadi keluaran-serta hasil-hasil yang berasal dari masukan dan tindakan berikutnya-melalui umpan balik dan evaluasi keluaran.161 Konsep tersebut didasarkan atas asumsi bahwa pendidikan sebagai sistem terbuka mengandung subsistem masukan dan umpan balik secara internal serta eksternal. Berdasarkan pemahaman demikian maka mutu proses menunjukkan kebermutuan subsistem dalam proses, yang meliputi tindakan kerja, komunikasi dan monitoring.162 Subsistem tindakan kerja adalah komponen organisasi yang menentukan ukuran kemampuan sistem dalam melaksanakan apa yang seharusnya dikerjakan. Subsistem komunikasi berfungsi memproses dan memberikan informasi yang memadai mengenai seluruh tahapan tindakan sistem dan subsistem. Sedangkan fungsi subsistem monitoring adalah kontrol sistem terhadap kegiatan dan akuntabilitas subsistem dalam hubungan sinergiknya di seluruh sistem.163 Ditelaah dari sudut kinerja sistemnya, mutu proses pendidikan dapat diukur dengan indikator-indikator sebagaimana dirinci oleh Makmun (1997)

160 161

Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan Dan Manajemen Biaya Pendidikan, 40-41. Ibid, 41. 162 Ibid, 41. 163 Ibid, 41.

yaitu: Efisiensi, Produktifitas, Efektifitas, Relevansi, Akuntabilitas, Kesehatan organisasi dan Semangat berinovasi.164 Mutu pendidikan atau mutu sekolah (yang) tertuju pada mutu lulusan merupakan sesuatu yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Merupakan sesuatu yang mustahil pula, terjadi proses pendidikan yang bermutu jika tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula. Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia, seperti administrator, guru, konselor dan yang bermutu dan profesional. Hal tersebut juga didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas, media, serta sumber belajar yang memadai, baik mutu maupun jumlahnya dan biaya yang mencukupi, manajemen yang tepat, serta lingkungan yang mendukung.165 Mutu pendidikan bersifat menyeluruh, menyangkut semua komponen, pelaksana, dan kegiatan pendidikan atau disebut sebagai mutu total atau Total Quality. Adalah sesuatu yang tidak mungkin, hasil pendidikan yang bermutu dapat dicapai hanya dengan satu komponen atau kegiatan yang bermutu. Kegiatan pendidikan cukup kompleks, satu kegiatan, komponen, pelaku, waktu, terkait dan membutuhkan dukungan dari kegiatan, komponen, pelaku, serta waktu lainnya.166 Pendapat lain menyatakan bahwa Mutu Pendidikan dalam tingkat dasar sampai atas adalah kemampuan sistem pendidikan dasar sampai tingkat atas baik dari segi pengelolaan maupun dari segi proses pendidikan itu sendiri, diarahkan

Ibid, 41. Nana Syaodih Sukmadinata, et.al, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip, Dan Instrumen), (Bandung : PT. Refika Aditama, 2003), 6-7 166 Ibid, 7.
165

164

secara efektif untuk meningkatkan nilai tambah dari faktor faktor input agar menghasilkan output setinggi tingginya.167 Peningkatan mutu pendidikan yang telah kita laksanakan baru menyentuh sisi teknis dari pendidikan. Banyak sisi lainnya yang memiliki dampak penting dalam peningkatan mutu pendidikan, tetapi belum kita sentuh. Seperti: mobilisasi kekuatan daerah, kemandirian, akuntabilitas, pengembangan sumber daya manusia menuju aktualisasi diri, dan aspek-aspek lain yang menyangkut otonomi dan profesionalisasi. Beberapa bukti empiris yang pada dasarnya mengarah pada suatu kesimpulan bahwa hanya melalui upaya pengerahan kekuatan daerah

(desentralisasi) yang dapat menolong kita untuk secara sustainable meningkatkan mutu pendidikan.168 Dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan, maka ada beberapa prinsip yang perlu dipegang sebagai acuannya, antara lain:169 1. Peningkatan mutu pendidikan menuntut kepemimpinan profesional dalam bidang pendidikan. Managemen mutu pendidikan merupakan alat yang dapat digunakan oleh para profesional pendidikan dalam memperbaiki sistem pendidikan bangsa kita. 2. Kesulitan yang dihadapi para profesional pendidikan adalah

ketidakmampuan mereka dalam menghadapi kegagalan sistem yang mencegah mereka dari pengembangan atau penerapan cara atau proses baru unuk memperbaiki mutu pendidikan yang ada.

167 168

Ace Suryadi H.A.R.Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan, 108. Nana Syaodih Sukmadinata, et. all, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah, 159. 169 Ibid, 9-11.

3. Peningkatan mutu pendidikan harus melakukan loncatan-loncatan. Norma dan kepercayaan lama harus diubah. Sekolah harus belajar bekerjasama dengan sumber-sumber yang terbatas. Para profesional pendidikan harus membantu para siswa dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan guna bersaing didunia global. 4. Uang bukan kunci utama dalam usaha peningkatanmutu. Mutu pendidikan dapat diperbaiki jika administrator, guru, staf, pengawas dan pimpinan kantor diknas mengembangkan sikap yang terpusat pada kepemimpinan, team work, kerja sama, akuntabilitas, dan rekognisi. Uang tidak menjadi penent dalam peningkatan mutu. 5. Kunci utama peningkatan mutu pendidikan adalah komitmen pada perubahan. Jika semua guru dan staf sekolah memiliki komitmen pada perubahan, pimpinan dapat dengan mudah mendorong mereka menemukan cara baru untuk memperbaiki efisiensi, produktifitas, dan kualitas layanan pendidikan. Guru akan menggunakan pendekatan yang baru atau modelmodel mengajar, membimbing, dan melatih dalam membantu perkembangan siswa. Demikian juga dengan staf administrasi, ia akan menggunakan proses baru dalam menyusun biaya, menyelesaikan masalah dan mengembangkan program baru. 6. Banyak profesional dibidang pendidikan yang kurang memiliki

pengetahuan dan keahlian dalam menyiapkan para siswa memasuki pasar kerja yang bersifat global. Ketakutan pada perubahan atau takut melakukan

perubahan akan mengakibatkan ketidaktahuan bagaimana mengatasi tuntutantuntutan baru. 7. Program peningkatan mutu dalam bidang komersial tidak dapat dipakai secara langsung dalam pendidikan, tetapi membutuhkan penyesuaianpenyesuaian dan penyempurnaan. Budaya, lingkungan dan proses kerja tiap organisasi berbeda. Para profesional pendidikan harus dibekali oleh program yang khusus dirancang untuk menunjang pendidikan. 8. Salah satu komponen kunci dalam program mutu adalah sistem pengukuran. Dengan menggunakan sistem pengukuran, memungkinkan para profesional pendidikan dapt memperlihatkan dan mendokumentasikan nilai tambah dari pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan, baik terhadap siswa, orang tua maupun masyarakat. Masyarakat dan manajemen pendidikan harus menjauhkan diri dari kebiasaan menggunakna program singkat, peningkatan mutu dapat dicapai melalui perubahan yang berkelanjutantidak dengan program-program singkat.

2. Ujian Nasional 2007 dan Peningkatan Mutu Pendidikan Ujian nasional 2007 telah berlalu. Adu argumen telah dikemukakan oleh masing-masing pihak, baik yang pro maupun yang kontra. Pertanyaannya kemudian, apakah ujian nasional dapat meningkatkan mutu pendidikan? menurut Kunandar170, untuk mengukur peningkatan mutu pendidikan berlandaskan ujian nasional sangatlah tidak tepat, karena: Pertama, UN yang hanya menguji tiga
Kunandar, UN dan Peningkatan Mutu Pendidikan Kompas (Jakarta) 14 Mei 2007, 14. Kunandar adalah widyaiswara di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DKI Jakarta, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas.
170

mata pelajaran tidak serta merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan. Menjustifikasi mutu pendidikan hanya dari tiga mata pelajaran tersebut merupakan sikap yang kurang bijaksana dan terlalu menyederhanakan persoalan. Untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh, termasuk non akademis, input, proses dan out put bahkan outcame pendidikan. Meningkatkan mutu pendidikan tentu saja tidak sesederhana hanya dengan menguji tiga amta pelajaran lalu dijadikan generalisasi dan justifikasi tentang mutu pendidika. Sudah saatnya pemerintah menempatkan semua mata pelajaran secara sama (tidak menganakemaskan mata pelajaran tertentu dan memarjinalkan mata pelajaran yang lainnya). Kedua, dengan standar kelulusan nilai rata-rata 5,00 untuk tiga mata pelajaran yang di-UN-kan sulit dijadikan parameter peningkatan mutu pendidikan. Bagaimana bias mutu pendidikan dikatakan meningkat dengan standar kelulusan yang rendah. Ketiga, dalam penyelenggaraan UN ada indikasi terjadi rekayasa hasil UN di lapangan. Tradisi kelulusan 100 persen seolah menghipnotis para pelaku pendidikan di lapangan, terutama guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan agar siswanya dapat lulus 100 persen. Maka dibentuklah tim sukses dengan tugas agar siswanya dapat lulus 100 persen. Kesan adanya Mark Up nilai dalam UN sulit dihindari. Ujian nasional sebagai alat pengukuran hasil proses pembelajaran selama ini memang harus mendapatkan evaluasi bersama. Robert Bala dalam artikelnya menawarkan konsep Reengineering Proses Pembelajaran.171Menurutnya,
171

Robert Bala, Re-Engineering Proses Pembelajaran, Kompas (Jakarta), 17 April 2007, 7.

komponen perekayasaan ulang perlu dilakukan sebagai cara untuk melihat dan meningkatkan mutu pendidikan. Komponen rekayasa ini meliputi: 1. Fasilitas fisik (Technoware) 2. Keterampilan, keahlian, bahkan kreatifitas manusia (Humanware) 3. Dokumen fakta (Infoware) 4. Institusi ynag mengoordinasi proses produksi (Orgaware) Keempat komponen tersebut harus saling melengkapi satu dengan yang lain. Berhubungan dengan Ujian Nasional 2007, ia berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini masih terseok-seok di ranah Technoware an sich. Sebagi solusinya ia menawarkan: 1) Pendidikan adalah medium atau ruang kreatif, sehingga: a. Guru diberi kewenangan untuk mengembangkan

silabus pendidikan berbasis pada lokalitas tanpa melupakan realitas global. b. Siswa diberi kebebasan dan kepercayan untuk

memiliki kemampuan suportif dan inovatif serta kreatif dengan pemahaman akan Pengetahuan Bagaimana (Know How) dan berujung pada lahirnya

Pengetahuan Mengapa (Know Why) yang kreasi berdaya saing internasional.

2) Kemampuan kreatif dan inovatif bisa dicapai jika cakupan wilayahnya kecil, artinya: a. Pemerintah daerahlah yang yang lebih mengenal

konteksnya merancang ujian yang lebih sesuai, atau

b.

Sekolahlah yang berhak atau bertanggungjawab

meluluskan seseorang.

BAB IV ANALISA DATA A. REFLEKSI UJIAN NASIONAL 2007 Ujian nasional 2007 telah usai, berbagai pro dan kontra telah mewarnai perjalanannya. Pelaksanaaan ujian nasional 2007 tidak terlepas dari kondisi lokalitas (dalam negeri) tetapi juga bertalian erat dengan kondisi global (internasional). Dalam konteks lokalitas, kita tentu sudah paham bahwa pelaksanaan ujian nasional 2007 merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk melaksanakan amanat UndangUndang Dasar 1945 baik yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 maupun yang terdapat pada batang tubuhnya. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan beberapa tugas negara yaitu: 5. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 6. Memajukan kesejahteraan umum 7. Mencerdaskan kehidupan bangsa 8. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial Sedangkan pasal-pasal yang bertalian erat dengan pendidikan terdapat pada Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 yang berbunyi: 1) Ayat (1) : setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. 2) Ayat (2) : setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tahun 2003 disebutkan:

a)

Pasal 5 ayat 1 : setiap warga negara mempunyai hak yang sama

untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. b) Pasal 6 ayat 1 : setiap warga negara yang berusia tujuh samapai

dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. c) Pasal 11 ayat 2 : pemerintah dan pemerintah daerah wajib

menjamin tersedianya tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pada kurun waktu 2004-2009, ada berbagai kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan yang berdampak massal. Program-program tersebut meliputi:172 1. Reformasi Pendidikan, hal-hal yang terkait dengan reformasi pendidikan adalah: a) Presiden mendeklarasikan guru sebagai profesi pada desember 2004 b) Pembentukan direktorat jenderal peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan (ditjen PMPTK) c) Disahkannya uu guru dan dosen pada tahun 2005 2. Standarisasi Pendidikan, hal-hal yang terkait dengan hal ini adalah: a) PP 19 tahun 2005 telah dikeluarkan standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, kompetensi, proses, penilaian, pengelolaan, pendidik dan tenaga pendidikan, biaya serta sarana dan prasarana. b) Pelaksanaan UN untuk mengukur pencapaian standar kompetensi c) Akreditasi program dan satuan pendidikan
Presentasi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur disampaikan pada diskusi publik Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan: Upaya Menyelamatkan Hak Dasar Warga Negara Dalam Belitan Neoliberalisme Kampus Sastra Unair Surabaya, 5 Mei 2007
172

3. Pendanaan biaya operasional sekolah, meliputi: a) Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan BOS buku b) Program bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) SMK dan SMA 4. Subsidi kepada peserta didik, meliputi: a) Bantuan khusus murid (BKM) untuk siswa miskin tingkat SMA dan SMK b) Beasiswa untuk mahasiswa yang berprestasi dan mahasiswa miskin c) Subsidi keaksaraan untuk daerah buta aksara 5. Penyediaan dan rehabilitasi prasarana dan sarana pendidikan, meliputi: a) Rehabilitasi gedung SD/MI/SDLB, SMP/MTS/SMPLB, dan

SMA/MA/SMK/SMALB b) Unit Sekolah Baru (USB) TK, SMP/MTS/SMPLB, dan

SMA/MA/SMK/SMALB c) Ruang Kelas Baru (RKB) TK, SMP/MTS/SMPLB dan

SMA/MA/SMK/SMALB d) Pengadaan buku teks untuk SD/MI/SDLB DAN SMP/MTS/SMPLB e) Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yaitu: Jardiknas dan Inherent f) Fasilitas taman bacaan masyarakat (TBM) di kab./kota dan kecamatan 6. Peningkatan mutu proses pembelajaran, meliputi: a) Desentralisasi Kurikulum

b) Penerapan kurikulum berbasis kompetensi melalui KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) c) Pembelajaran berbasis TV pada SMP bekerjasama dengan TVRI d) Pembelajaran berbasis TIK pada SMA, SMK dan Perguruan Tinggi (PT) 7. Penguatan tata kelola, meliputi: a) Penerapan manajemen berbasis kinerja b) E-Procurement c) Peningkatan kompetensi aparat dibidang akuntansi dan keuangan d) Aplikasi sistem dan proseduri akuntansi/keuangan sesuai standar akuntansi instansi e) Inventarisasi barang negara f) Penerapan SIM berbasis TIK (e-government) Mengenai konteks global yang dimaksudkan adalah adanya program Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB sejak tahun 2000 dengan deadline waktu tahun 2015. Program ini meliputi 8 titik fokus utama, yaitu: 1. Bidang kemiskinan, dengan target menghapuskan

kemiskinan dan kelaparan sampai separuh. 2. Bidang pendidikan, dengan target pendidikan dasar utuk

semua (Education For All) 3. Bidang kesetaraan gender, dengan target menghapuskan

diskriminasi gender dan pemberdayaan perempuan

4.

Bidang kematian anak, dengan target mengurangi tingkat

kematian bayi dan anak di bawah usia lima tahun 5. Bidang kesehatan ibu, dengan target memeprbaiki

kesehatan ibu dan mengurangi angka kematian ibu sampai tiga perempatnya 6. Bidang penyakit, dengan target mencegah penyebaran

HIV/AIDS, malaria dan penyakit infeksi lainnya 7. Bidang lingkungan, dengan target mengintegrasikan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program nasional dan merehabilitasi sumber daya alam yang rusak 8. Bidang kerjasama, dengan target membangun tatanan

perdagangan dan keuangan yang terbuka dan akuntabel, mengupayakan jalan keluar menyeluruh atas utang negara berkembang dan miskin, akses obat-obatan yang penting di negara berkembang, alih teknologi dan penciptaan lapangan kerja Dalam laporan A Failure Within Reach (2006) yang didasarkan pada capaian program MDGs di atas, Indonesia menempati kelompok terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina.173 Hal lain yang juga dapat dijadikan landasan peningkatan mutu pendidikan adalah adanya Human Development Index/HDI (Indek peningkatan kualitas sumber daya manusia) yang meliputi: perekonomian, kesehatan dan pendidikan. Bila diukur dengan landasan ini posisi Indonesia masih jauh tertinggal.

173

Razali Ritonga, MDGs dan Komitmen Pemerintah, Kompas (Jakarta), 27 Maret 2007, 6.

Melihat kondisi negara yang terpuruk inilah maka eksistensi pendidikan perlu mendapat perhatian yang lebih. Harus diakui pendidikan merupakan tulang punggung negara dalam mencetak generasi penerus bangsa. Kondisi pendidikan kita yang masih terpuruk jugalah yang merupakan latar historis dilaksanakannya ujian nasional 2007. Dengan niatan awal untuk mengejar ketertinggalan standar kelulusan dengan negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand) maka pada tahun 2003 mulailah dilaksanakannya ujian nasional. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kepala pdinas pendidikan dan kebudayaan Jawa Timur DR. Rasiyo bahwa selain melaksanakan UN, secara perlahan sarana, tenaga pendidikan, dan pembiayaan juga distandarkan. Jika menunggu semua standar, UN tidak pernah terlaksana.174 Namun, dengan bergulirnya waktu niatan baik diawal program ini mengalami degradasi dari waktu ke waktu. Pada pelaksanaannya yang ke 4 yakni tahun 2007, masih terdapat berbagai kekurangan-kekurangan yang terjadi, antara lain: 11. Ujian nasional 2007 yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan siswa,175 ternyata dianggap sebagai faktor kunci kelulusan. Hal, ini berakibat pada terjadinya perlakuan yang berbeda dalam menghadapi ujian nasional. Banyak sekolah (jika kita enggan menggunakan kata seluruhnya) telah menyediakan waktu khusus untuk menghadapi kedatangan Ujian nasional 2007. Ada yang berupa penyediaan hari sabtu untuk membahas mengenai soalUjian Nasional Harus Diperbaiki, Kompas (Surabaya), 27 April 2007, A. Syarat lainnya adalah: (a) Menyelesaikan seluruh program pembelajaran, (b) Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan ahlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan, (c) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.(d)Lulus Ujian Nasional.
175
174

soal ujian nasional tahun sebelumnya atau dengan cara menghadirkan lembaga bimbingan belajar ke sekolah. 12. Dilihat dari sisi evaluasi, maka ujian nasional 2007 juga terasa kurang dapat di terima, mengingat ada beberapa prinsip evaluasi yang tidak tercakup, antara lain: Pedagogis, artinya bersifat mendidik. Fakta di lapangan ternyata berbicara lain. Ada berbagai kejadian yang itu jauh dari sisi pendidikan. Terkuaknya berbagai kecurangan yang terjadi menandakan bahwa ujian nasional 2007 jauh dari prinsip pedagogis (hal ini pula bertentangan dengan prinsip penyelenggara pendidikan176). Hal ini juga terasa sangat jauh dari arti pendidikan dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Dalam UU Sisdiknas disebutkan, pendidikan adalah: Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.177Sedangkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar agar menjadi manusia yang beriman dan bertawwa

Dalam UU Sisdiknas disebutkan, Prinsip Penyelenggara Pendidikan meliputi: (a). Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (b). Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (c). Pendidikan diselenggarakan suatu proses pembudayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, (d). Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran, (e). Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, (f). Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. 177 (UU Sisdiknas, Guru dan Dosen (Pasal 1))

176

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.178 Hal ini juga akan sangat berbenturan jika dihadapkan pada prinsip trianggulasinya Suharsimi Arikunto. Dalam teori trianggulasi dikenal tiga keterpaduan yang harus ada dalam pelaksanaan evaluasi, yaitu: Tujuan pembelajaran, Kegiatan pembelajaran dan Evaluasi. Dilihat dari sisi ini, maka terjadi ketidaksesuaian baik antara tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran (yang tereduksi dengan latihan soal-soal, menghafal soal, dll), dan evaluasi. 13. Ujian nasional 2007 yang mengujikan tiga mata pelajaran, dianggap mereduksi makna belajar. Membuat siswa hanya berkonsentrasi pada tiga mata pelajaran yang diujikan. Kondisi ini bisa menyebabkan sekolah beralih fungsi dari wahana internalisasi nilai-nilai positif menjadi hanya sebagai bimbingan belajar untuk tiga mata pelajaran yang di ujikan. Kalau hal ini terjadi, berarti ujian nasional 2007 telah mengebiri hakikat pendidikan179 dan pendangkalan tradisi

intelektual180karena dengan mengedepankan tiga mata pelajaran yang diujikan, maka terjadi pengabaian terhadap bidang-bidang studi lain yang penting dalam nation and character building. Hal ini juga berkesesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang dengan dunia yang dilipat.181 Semisal Melipat kertas, berarti merubah ukuran luas kertas sehingga menjadi lebih kecil, akan tetapi sekaligus menambah ukuran tebalnya; melipat bahasa artinya mengurangi jumlah kata, sehingga
Ibid, Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan Kunandar, UN dan Peningkatan Mutu Pendidikan, Kompas, 14 Mei 2007, 14. 180 Yonky Karman, Pendidikan dan Regenerasi Bangsa, Kompas, 12 Mei 2007, 6. 181 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (Yogyakarta & Bandung, Jalasutra, 2004), 48.
179 178

menjadi lebih padat dan ringkas, tetapi sekaligus meningkatkan entropi (entropy) atau ketidakpastian maknanya; melipat ruang artinya memperpendek waktu yang digunakan untuk menempuh jarak ruang, tetapi sekaligus mempersempit ruang relasi fisik dan sosial di dalamnya; melipat waktu artinya memampatkan waktu dalam pengertian memperkecil waktu yang diperlukan untuk satu pergerakan atau perpindahan (movement), akan tetapi sekaligus mempersempit waktu refleksi dan perenungan didalamnya; melipat sosial artinya meredusir sistem, dimensi, dan relasi sosial yang komplek menjadi dimensi yang lebih ringkas, misalnya dimensi citra (image), akan tetapi sekaligus membunuh relasi sosial yang nyata; melipat spiritual artinya meredusir dimensi-dimensi spiritual yang komplek menjadi dimensi tanda dan gaya (gaya hidup), akan tetapi melenyapkan dimensi-dimensi kedalaman dan transendentalnya. Maka jika dihubungkan dengan permasalahan di atas, setiap ada pelipatan, pasti ada hal-hal yang di persingkat/dikurangi dan disisi lain akan ada hal-hal yang ditambahi. Howard Gardner, ahli psikologi pendidikan dari Amerika Serikat, menjelaskan dalam teori multiple intelligence bahwa kecerdasan anak didik majemuk. Setiap anak memiliki salah satu atau beberapa kecerdasan yang menonjol, tetapi mungkin lemah dalam kecerdasan yang lain. Jenis-jenis kecerdasan yang dimaksud Gardner di antaranya logic-mathematic, linguistic, kinesthetic, spatial, personal, dan interpersonal. Dengan demikian, Ujian Nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan anak didik adalah sebuah pengingkaran terhadap kodrat manusia yang berbeda-beda dalam bentuk dan kemampuannya.182
182

M. Taufik, Carut-marut Ujian Nasional www.vhrmedia.net diakses tanggal 20 April 2007.

14. Dengan dilaksanakannya ujian nasional 2007, membuat sekolah Kebakaran Jenggot, artinya para pengelola sekolah berjuang sekuat tenaga untuk membuat formulasi yang ampuh bagaimana siswanya dapat lulus 100 persen. Persentase kelulusan ini akan mengubah citra sekolah. Orang akan menganggap sekolah yang tingkat kelulusannya tinggi sebagai sekolah yang lebih baik atau bermutu tinggi dibandingkan dengan sekolah yang persentase kelulusannya rendah. Dan, formulasi yang banyak dilakukan di sekolah-sekolah adalah dengan menggandeng lembaga bimbingan belajar atau bimbingan tes.183 15. Fenomena bimbingan tes ini cukup merisaukan, sebab hal ini berarti pihak sekolah dan orang tua murid tidak percaya (distrust) dengan kemampuan para guru. Posisi guru digantikan oleh Trainer dari bimbingan belajar. Kelanjutan dari fenomena ini adalah kita melupakan arti proses dalam pembelajaran dan membuat para siswa menjadi orang-orang yang lebih mementingkan hasil dari pada proses. Menurut Lodi Paat (pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta)184 bahwa Belajar menjadi sebatas bagaimana menyelesaikan soal-soal ujian

nasional dan trik-trik untuk menjawabnya. Ini dampak dari sistem, sehingga perhatian guru, dan murid terarah pada ujian nasional. Padahal seharusnya belajar itu ialah suatu yang mempunyai makna bagi siswa. Makna itu kini sudah terkalahkan karena semua sibuk dengan ujian nasional dan prediksi soal-soalnya. 16. Penentuan kelulusan yang menjadi kewenangan pemerintah dapat dimaknai dengan pengambilalihan wewenang guru sebagai orang yang paling paham mengenai proses pembelajaran dan mengetahui bagaimana kompetensi kognitif,
Sekolah Andalkan Bimbingan Belajar, Kompas (Surabaya), 16 Maret 2007, dan Unas Jadi Lahan Bisnis menggiurkan, Jawa Pos (Jakarta), 11 April 2007. 184 Bimbingan Tes Masuk Lewat Tender, Kompas (Jakarta), 7 Maret 2007, 12.
183

afektif dan psikomotor dari anak didiknya. Pengambilalihan wewenang ini juga dapat dimaknai sebagai ketidakpercayaan pemerintah terhadap eksistensi guru. Hal ini juga dapat dibaca sebagai bentuk hegemoni dan penerapan Repressive State Apparatuse/Ideological State Apparatuse negara terhadap warga negaranya. Warga negara dibuat tidak berdaya dan harus samina wa athona dengan segala kebijakan pemerintah. Dalam konsep hegemoni Gramsci, hegemoni dalam taraf ini adalah hegemoni kelas tiga atau hegemoni minimum (Minimum Hegemony), yaitu: Hegemoni yang bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompokkelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan klas lain dalam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan negara baru yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis itu. Dalam lingkaran konsep Ideological State Apparatuse dan Repressive State Apparatuse, hal ini dapat dipahami sebagai salah satu bentuk penerapannya. Dalam sisi ideologi, warga negara yang sudah tertanam pada otaknya bahwa dengan ujian nasional mereka akan dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan ini berbanding lurus dengan akan adanya masa depan yang lebih baik (A Will And A Hope).185Lulus berarti sukses, tidak lulus berarti gagal. Sejalan dengan kategori itu, lulus berarti sama dengan memiliki masa depan cerah, tidak
Perlu diingat bahwa konsep ideologi dari Althusser adalah Expresses a will, a hope, or a nostalgia, rather than describing a reality yaitu perwujudan dari sebuah keinginan, harapan atau kenangan indah masa lalu yang digambarkan dari realitas.
185

lulus artinya suram bahkan gelap nasibnya di kemudian hari.186 Dengan adanya kepercayaan yang seperti inilah akhirnya masyarakat tidak mampu untuk melawan. Ketidakberdayaan masyarakat ini dikarenakan adanya sistem yang bermain yaitu berupa kebijakan dari negara yang harus mereka taati. Yang diperkuat dengan berbagai aparat negara yang bersifat memaksa (Represif). 17. Berbagai kecurangan yang menyeruak ke permukaan dalam pelaksanaan ujian nasional 2007187, mengindikasikan semakin jauhnya nilai-nilai pendidikan kejujuran. Hal ini berimbas pada munculnya para generasi muda yang tidak jujur, suka menghalalkan segala cara, manipulatif, kolutif. Padahal pendidikan watak merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan degradasi moral negara ini. Tujuan pendidikan yang menginginkan adanya perubahan perilaku pada peserta didik mustahil tercapai, apalagi jika dibenturkan lagi dengan tujuan pendidikan nasional. Bagai pungguk merindukan bulan!. Menurut Mochtar Buchori188 ada tiga gagasan mengenai pendidikan anti korupsi, Pertama, korupsi hanya dapat dihapuskan dari kehidupan kita secara berangsur-angsur. Kedua, pendidikan untuk membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan (Intersection) antara pendidikan watak dan pendidikan

kewarganegaraan. Ketiga, pendidikan untuk mengurangi korupsi harus berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi.
Editorial Media Indonesia, Ujian Nasional Yang Menghakimi, 19 April 2007. Siswa Dapat Bocoran, Jawa Pos (Surabaya) 27 April 2007, dan Isu Kecurangan Merebak Di Mana-mana, Kompas (Jakarta) 19 April 2007. Berbagai bentuk kecurangan itu antara lain: pemberian jawaban oleh guru, pemberian jawaban via sms, penempelan kunci jawaban di kamar mandi, pencurian bahan ujian oleh salah satu kepala sekolah di Ngawi. Dan juga berupa instruksi kepala dinas pendidikan untuk membocorkan soal dan siswa pandai yang ditunjuk menukar jawaban kepada teman-teman seruangan, bisa dilakukan dalam ujian. 188 Muchtar Buchori, Pendidikan Anti Korupsi, Kompas, 21 April 2007, 21.
187 186

Fenomena ini juga dapat dipahami sebagai sebuah dampak dari pengaruh ruang dan waktu yang dilipat/pelipatan ruang dan waktu. Jika dalam sisi sosiologis, indikatornya berupa keinginan manusia untuk melakukan segala sesuatu dengan cepat/instan. Semisal keinginan kita untuk mendapatkan berbagai informasi telah disediakan oleh teknologi yang namanya internet, kita bisa mengaksesnya kapanpun dan dimanapun kita suka, yang berarti kemudahan yang luar biasa. Lambat laun kondisi seperti ini akan menjadi sebuah life style (gaya hidup). Maka dalam hal kecurangan ujian ini para siswa enggan untuk berusaha dan berkeinginan untuk mendapatkan hasil yang secepatnya (lulus) tanpa jerih payah. Kelanjutan dari fenomena ini adalah terciptanya generasi yang suka menghalalkan segala cara, grusa-grusu, dan segera/instan. Pendapat Koentjoroningrat tentang mentalitas menerabas dan budaya instan bangsa terasa terjadi sudah. Kecurangan dakam ujian nasional terasa sekali menunjukkan mentalitas menerabas, sikap menghalalkan segala cara demi tujuan lulus ujian. Adapun cara yang belajar dengan drill soal, try out, menghafal soal dan trik-trik mengerjakan soal obyektif menunjukkan sikap instan dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Cara belajar ini tidak menuntut eksplorasi cipta, rasa dan karsa anak didik terhadap substansi kompetensi ilmu pengetahuan. Implikasinya, kompetensi dan kecerdasan dalam menguasai ilmu pengetahuan hanya diukur dari kemampuan memilih jawaban secara cepat dan tepat untuk mendapatkan skor tertinggi. Ujian nasional alih-alih sebagai kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan justru telah menihilisasi budaya belajar.189

189

Fathurrofiq, Nihilisasi Budaya Belajar, Kompas, 16 Mei 2007, 12.

18. Persentase kelulusan baik di tingkat SMP/sederajat dan SMA/sederajat memang lebih baik dari tahun kemarin. Di Surabaya misalnya, sudah tidak ada lagi sekolah yang tidak lulus 100 persen. Terdapat hanya 6 sekolah dari 22 sekolah SMA negeri di Surabaya yang terdapat siswa tidak lulus. Sedangkan untuk SMA swasta, terdapat 10 SMA awasta yang siswanya tidak lulus, dari 137 sekolah yang ada.190Namun yang menjadi permasalahan adalah pesta kelulusan yang dilakukan sangat tidak mencerminkan manusia yang terdidik. Ada pesta coratcoret, ada konvoi sepeda motor, bahkan di Bojonegoro selain berkonvoi, ada siswa yang hanya mengenakan celana dalam dalam aksinya. Di Samarinda, perlakuan yang tak senonohpun terjadi, para siswa yang lulus ujian disiram dengan air comberan oleh warga, bahkan ada yang meneruskannnya dengan aksi raba pada siswi yang terjaring operasinya.191Kita patut bertanya, inikah hasil proses pembelajaran di negeri ini? Kejadian lainnya yang juga mengiringi pengumuman kelulusan adalah berita gantung diri siswi bernama Endang Lestari (Siswi SMPN 1 Kerjo kabupaten Karang Anyar Jawa Tengah) karena tidak lulus ujian nasional.192Hal ini semakin membuat miris harapan kita menciptakan generasi yang cerdas, berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa kepada tuhan dan tujuan lainnya yang terdapat dalam tujuan pendidikan nasional.

190 191

Masih Ada Konvoi Di Jalanan, Jawa Pos (Surabaya), 13 Juni 2007 Lulus, Disiram dan Diraba, Jawa Pos (Samarinda), 17 Juni 2007 192 Tidak Lulus UN, Siswa Gantung Diri, Kompas (Karanganyar), 25 Juni 2007, 24.

B.

MIMPI PENDIDIKAN BERMUTU

Pelaksanaan ujian nasional 2007 ini merupakan bagian dari proses evaluasi pendidikan. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.193 Sebagai salah satu bagian dari proses evaluasi, maka hasil dari ujian nasional 2007 tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai penjamin mutu pendidikan secara

193

Peraturan Pemerintah No 19 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

nasional, mengingat ada berbagai komponen lain yang harus dipenuhi. Semisal kepemimpinan194, manajemen195, guru196 dan kurikulum.197 Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa gunanya Ujian Nasional?. Sebagai salah satu program dari pemerintah yang menghabiskan dana kurang lebih 250 Milyar, maka dibutuhkan sesuatu yang berguna agar dana sebanyak itu tidak sia-sia.
Kepemimpinan Untuk menerapkan program mutu dalam pendidikan, diperlukan kepemimpinan yang berorientasi pada mutu. Kepemimpinen demikian berpegang pada prinsip prinsip sebagai berikut : a) Dalam kepemimpinan mutu, seseorang mengukur keberhasilannya dari keberhasilan orang orang (semua anggota) dalam organisasi. b) Tanggung jawab berbagi; semua unsur dalam organisasi sekolah memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas. Tugas majelis sekolah, pengawas, dan administrator memberikan fokus serta pengarahan terhadap sekolah. c) Perbaikan mutu berkelanjutan. Unsurunsur pimpinan mendorong guru dan staf untuk mencapai tujuan akhir organisasi yaitu penyempurnaan yanag berkelanjutan. d) Dalam piramida kepemimpinan mutu, majelis sekolah, pengawas dan administrator harus menyediakan bahan serta alatalat (resources) yag dibutuhkan guru dan staf e) Peran guru dan staf. Semua orang dalam piramida kepemimpinan mutu adalah pemimpin. Untuk mencapai visi mutu dalam pendidikan, guru harus menanamkan visi pendidikan kepada siswa f) Sebagai pemimpin mutu. Tiap orang bertanggung jawab menghilangkan hambatan yang mencegah performansi yang tinggi. Visi mengarahkan orang pada tujuan yang akan dicapai. g) Tiap orang ingin menjadi orang yang unggul. Tantangan utama untuk pendidikan bermutu adalah menghilangkan hambatanhambatan organisasional yang menghambat orang untuk berhasil. Sistem naik kelas sampai batas tertentu dapat menjadi hambatan untuk mencapai mutu secara optimal.(Nana Syaodih Sukmadinata et al, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengan ,( Bandung: PT.Refika Aditama, 2006), 14-15. 195 Manajemen. Manajemen peningkatan mutu pendidikan memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh pendidikan (sekolah) yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkannya, maka sejumlah karakteristik dari sekolah efektif (efektif school). Manejemen peningkatan mutu pendidikan merupakan wadah atau kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Perangkat atau karakter peningkatan mutu pendidikan tersebut adalah sebagai berikut : a. In put, meliputi: 1. Kebijakan mutu dan harapan 2. Sumber daya (kesediaan masyarakat) 3. Berorientasi siswa 4. Manajemen (pembagian tugas, perencanaan, kendali mutu, efisiensi b. Proses 1. Pembelajaran, berorientasi pada: a).Learning to Know, b). Learning to Do, c). Learning to Be dan d).Learning to Life Together 2. Kepemimpinan yang kuat atau demokratis a) kemampuan manajerial b) kemampuan memobilisasi c) memiliki otonomi luas 3. Lingkungan aman, nyaman, manusiawi 4. Pengelolaan tenaga yang efektif, meliputi: a). Perencanaan, b). Pengembangan, c). Penilaian dan d). Imbal jasa
194

Pelaksanaan ujian nasional dapat terus dilaksanakan, namun fungsinya bukan menjadi penentu kelulusan siswa akan tetapi menjadi alat pemetaan daerah yang tingkat kompetensinya masih rendah. Dengan demikian, Depdiknas atau Diknas Provinsi bisa memberikan bantuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Untuk mengukur standar kompetensi siswa, bisa menggunakan sistem
5. Memiliki budaya mutu (kerja sama, merasa memiliki, mau berubah, mau meningkatkan diri, terbuka) 6. Tim kerja (kompak, cerdas, dinamis) 7. Partisipasi masyarakat yang tinggi 8. Memiliki akuntabilitas a) Laporan prestasi b) Respon atau tanggapan masyarakat c. Out put 1. Prestasi akdemis : Nem, STTB, Taraf Serap, Lomba karya ilmiah, lomba keagamaan 2. Prestasi non Akademis : Olah raga, kerapian/ketertiban, kepramukaan, kebersihan, toleransi, ketulusan, kesenian, disiplin, kerajinan, solidaritas, silaturrahmi dan lainlain.(Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa ,(Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2004),20-21 196 Guru, adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (UU tentang guru dan Dosen Bab Ketentuan Umum, pasal 1) Menurut pendapat ahli pendidikan, yang akan dapat memperbaiki situasi pendidikan kita adalah para guru yang seharihari bekerja dilapangan, dari guru TK sampai Guru Besar. Melelui tindakan hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, guru kita benarbenar menentukan nasib pendidikan kita. Guruguru dapat disamakan dengan pasukan tempur yang menentukan kemenangan atau kekalahan dalam peperanagn. Para birokrat pendidiakan dalam pandangan sebenarnya adalah sematamata pendukung bagi guru atau prajurit lapangan ini. Kalau birokrasi pendidikan benar-benar mendukung para guru, maka pekerjaan mereka akan menjadi lebih ringan. Sebaliknya, kalau melalui tindakantindakan birokrasi tertentu, maka birokrasi pendidikan justru memberikan beban tambahan kepada para guru. Maka tugas gurupun menjadi lebih berat, serta kualitas pekerjaan merekapun akan menurun. Para ahli pendidikan mengatakan ada lima faktor yang sangat mempengaruhi kualitas perilaku guru dalam melaksanakan tugasnya. Kelima faktor tersebut ialah : 1) Jenis kewenangan ( Authority ) yang benar benar diserahkan pada guru 2) Kualitas atasan yang mengawasi dan mengontrol perilaku guru 3) Kebebasan yang diberikan kepada guru, baik didalam maupun diluar kelas. 4) Hubungan guru denagn murid muridnya. 5) Pengetahuan guru tentang dirinya sendiri dan kepercayaan terhadap diri sendiri Kita lihat bahwa faktor pertama merupakan persoalanpersoalan yang terletak pada daerah kekuasaan birokrasi pendidikan. Sedangkan dua faktor yang terakhir merupakan persoalanpersoalan yang dapat diselesaikan oleh para guru sendiri. Muchtar Buchory, Spektrum Problematika Pendidikan DiIndonesia, (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), 90-91 197 Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (UU Sistem Pendidikan Nasional 2003 bab. Ketentuan umum pasal 1.)

sampling. Misalnya, ambil sampel ujian dari wilayah sabang sampai merauke, kemudian hitung persentase kelulusannya.198Selanjutnya mengenai kelulusan siswa sebaiknya diserahkan kepada guru mata pelajaran sebagai indikator kompetensi siswa.199 Kalau permasalahan ini dihubungkan dengan kaidah ushul Fiqh, maka kita mengenal adanya istilah Darul Mafaasid Muqoddamun Ala Jalbil

Mashoolih/menghindari kemadhorotan itu didahulukan dari pada melakukan kebaikan.. Artinya, pelaksanaan ujian nasional 2007 memang suatu perbuatan yang baik. Namun ada banyak kemadhorotan dalam pelaksanaannya, yakni telah mengebiri hakikat pendidikan dan pendangkalan tradisi intelektual, berbagai kecurangan yang muncul, besaran dana yang dikeluarkan dan sebagainya. Oleh karena itu, ujian nasional harus direformulasi lagi agar lebih berguna dalam proses pendidikan di negara ini. Selain itu, kesiapan daerah dalam menghadapi ujian nasional masih timpang, masih banyak bangunan sekolah yang rusak,200dan sarana prasarana yang terbatas dan tidak akan mungkin dapat mengikuti standar ujian secara nasional (Jakarta). Akhirnya, berbagai anomali pendidikan perlu diurai dengan dengan kembali pada semangat dasar pendidikan yang berorientasi pada anak dengan menempatkannya sebagai bagian dunia global. Prinsip asih, asuh dan asah yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara niscaya aktual kembali di tengah tantangan global dan terpelantingnya
Siswa Hanya Mengejar Angka Kelulusan, wawancara dengan Daniel M. Rosyid, Jawa Pos (Surabaya), 11 April 2007 199 Ibid, Siswa Hanya Mengejar Angka Kelulusan, wawancara dengan Daniel M.Rosyid. Selain itu hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas Pasal 58 ayat (I) yang berbunyi Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belaajr peserta didik secar berkesinambungan dan ayat (2) yang berbunyi: Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan 200 120 gedung SD di Tulungagung Rusak, Kompas (Tulungagung), 2007 dan Siswa Kelas III dan IV di Papua Barat Belajar Berjejalan dalam Satu Ruangan, Kompas (Teluk Wondama, Papua), 2 Juni 2007, 12.
198

simplifikasi praksis (praktik dan refleksi) pendidikan yang beraroma politik kekuasaan. Tiga pilar menjadi acuan kebijakan yang membebaskan dan pendagogis, yakni mengembangkan peserta didik belajar untuk tahu, belajar untuk berbuat, dan belajar untuk hidup bersama.201

201

Anomali Dunia Pendidikan, Tajuk Rencana, Kompas (Jakarta), 2 Mei 2007, 6.

C. FORMAT PENDIDIKAN MASA DEPAN Membicarakan pendidikan serasa tiada habisnya. Isu tentangnya terus bergulir seiring dengan berjalannya waktu. Perbincangan mengenai pendidikan tentu tidak dapat kita pisahkan dengan kondisi bangsa secara keseluruhan. Setiap sendi kehidupan bangsa saling kait mengait antara satu dengan yang lain. Di tengah kondisi bangsa yang carut marut seperti saat ini, kita dituntut untuk dapat melepaskan berbagai ego kepentingan untuk memformat pendidikan masa depan. Para pemimpin diharapkan mampu memotivasi rakyatnya untuk tetap mempertahankan asa dalam diri, karena tanpa adanya asa untuk memperbaiki bangsa, maka akan semakin sulit kita lepas dari belitan krisis multidimensi. Penelitian mengenai gerakan sosial (Social Movement) di Indonesia yang dilakukan oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo202 menunjukkan, berbagai keresahan sosial (Social Unrest) karena bertubi-tubinya impitan sosial, ekonomi, dan politik sangat berpotensi memunculkan gerakan-gerakan lanjutan tidak kondusif lainnya. Pertama, dapat menimbulkan perlawanan bahkan pemberontakan terhadap otoritas politik yang dianggap membuat keadaan kian sulit. Kedua, mencari perlindungan dan pertolongan eskatologis yang diyakini dapat membalikkan keadaan, daripada yang sangat sulit menjadi lebih baik. Fenomena kekinian yang merepresentasikan dari gejala yang pertama adalah semakin banyaknya tindakan-tindakan masyarakat sebagai bentuk distrust kepada pemerintah (otoritas politik/negara), semisal: adanya program My Team203, satuan
Azsumardi Azra, Memelihara Asa, Kompas (Jakarta), 13 Maret 2007, 1. My Team,merupakan salah satu program di salah satu televisi Swasta yang mengumpulkan para pemain bola di seluruh nusantara untuk diseleksi menjadi sebuah tim sepak bola. Bila dibaca secara cermat, program ini merupakan bagian dari kekecewaan dan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintah (dalam hal ini PSSI sebagai pemegang otoritas persepakbolaan nasional) dikarenakan terpuruknya prestasi persepakbolaan nasional. Kegiatan yang sama juga dilakukan oleh mantan penjaga
203 202

petugas pengamanan (pengawal pribadi/Bodyguard, satuan petugas (satgas) masingmasing partai politik dan ormas204, Front Pembela Islam205, Forum Betawi Rembug/FBR206 dan sebagainya). Berbagai fenomena di atas, ternyata juga telah merasuk ke dalam dunia pendidikan, semisal dengan adanya berbagai sekolah alternatif207 seperti mulai

gawang tim nasional era 1980-an Rony Pasla yang mendidik generasi muda pecinta sepak bola. 204 Di NU kita kenal Banser (Barisan Serbaguna), ada Satgas PDI-P, Pemuda Pancasila, Garda Bangsa, Barisan Pemuda Kabah dan sebagainya. 205 Organisasi di bawah komando Habib Rizieq ini sering melakukan sweeping terhadap tempattempat hiburan malam di Jabotabek. Dalam melaksanakan operasinya, tidak jarang mereka juga melakukan pengrusakan, seperti ketika mereka menyerbu kantor majalah Play Boy Indonesia. 206 Organisasi ini merupakan organisasi etnis Betawi yang beroperasi di Jakarta. Mereka banyak beroperasi pada wilayah perparkiran di ibu kota. Beberapa waktu lalu, mereka terlibat bentrok dengan Forum Keluarga Besar Betawi yang memperebutkan lahan parkir. Peristiwa ini mengakibatkan tewasnya dua anggota FBR. 207 Contoh konkrit pelaksanaan sekolah alternatif antara lain: sekolah Jorank Doank binaan artis Dik Doank, sekolah alternatif Qoryah Toyyibah, Kalibening Salatiga Jawa tengah, yang telah dapat menerbitkan buku semisal, Lebih Asyik Tanpa UAN. Fenomena sekolah alternatif ini menurut Daniel Rasyid disebabkan potret sekolah yang suram, dikarenakan: sekolah merupakan sumber pungutan (liar) yang tidak dipertanggungjawabkan dengan baik, sistem persekolahan saat ini amat kaku, tidak sesuai dengan kebutuhan anak yang beragam dan khas, anak dipaksa menyesuaikan jadwal dan kurikulum, bukan sebaliknya, model pembelajarannya masih berpusat pada guru, guru dan kepala sekolah tidak berorientasi ke siswa sebagai konsumen, tapi berorientasi birokratik, guru banyak bermental pegawai gajian, tidak bisa menjadi contoh manusia kreatif, sekolah gagal menjadi agen perubahan, sekolah tidak ramah anak, guru tidak tertarik dengan bakat dan minat anak didik, namun hanya tertarik untuk menyelesaikan kurikulum secapat mungkin, banyak terjadi bullying, ancaman peredaran narkotika di sekitar sekolah, pemerintah membangun persepsi, seolah-oleh satu-satunya tempat belajar hanyalah sekolah, sekolah seolah-olah memonopoli pendidikan, apalagi sekolah menjanjikan ijazah, (Daniel Mohammad Rosyid, Deschooling: Memastikan Hak Anak atas Pendidikan, makalah disampaikan pada seminar nasional Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan: Upaya Menyelamatkan Hak Dasar Warga Negara dalam Belitan Neoliberalisme Surabaya, 5 Mei 2007)

maraknya

Home

Schooling.208Melihat

kondisi

pendidikan

kita

seperti

ini,

menempatkannya sebagai anak tiri yang kesepian.209 Tantangan terbesar pendidikan nasional adalah menghasilkan anak didik yang yang mampu mengelola kehidupannya secara mandiri. Dengan demikian, upaya peningkatan mutu pendidikan entah dengan ujian nasional atau tidak haruslah bermuara pada keluaran membangkitkan harapan pada si anak didik. Itu hanya bisa tercapai bila sistem pendidikan nasional tidak semata berorientasi pada penjenjangan vertikal, tetapi pada ekspansi horizontal berupa hadirnya pilihan lembaga pendidikan yang mengelola
Fenomena Homeshooling bisa dilihat dalam dua sisi. Pertama, merupakan wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara dalam hal pelaksanaan pendidikan. Kedua, Homeschooling yang tumbuh kembang di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan pembebasan. Keluarga seperti ini memilih persekolahan di rumah sebagai jawaban atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan terhadap hak tumbuh kembang anak secara wajar. Di samping itu, komunitas seperti ini sangat memahami prinsip multikecerdasan, tanpa terjebak aspek akademik semata. (Sekolah-Rumah Perlu Pengakuan Negara, Kompas (Jakarta), 10 Januari 2007) Menurut Fathurrofiq, ada dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam fenomena isu Homeschooling, Pertama, Homeschooling muncul karena kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang besemangat pencerdasan tanpa terikat dengan kaidah formal sekolah, yaitu: jam belaajr, seragam, tata tertib, dan kurikulum yang berbeda dari kaidah formal. Tempat belajar dan jam belaajr diatur dengan kesepakatan pengajar dan peserta ajar. Bertolak dari titik ini, Homeschooling harus dikembalikan pada prakarsa, sikap pro aktif, dan kemandirian masyarakat. Sekolah yang berencana membuka program Homeschooling sebatas menfasilitasi penyediaan guru dan menawarkan kurikulumnya tanpa harus ada ikatan-ikatan institusional seketat sekolah formal. Jelasnya, program Homeschooling adalah untuk melayani kemandirian masyarakat dalam memilih pendidikan. Kedua, Homeschooling yang memiliki fleksibilitas lebih luas memungkinkan dikembangkan untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak bermasalah, anak jalanan, pekerja anak, anak suku terasing,anak dengan bakat dan keunggulan seperti: atlet, penyanyi anak, serta orang dewasa penyandang buta aksara yang sibuk dengan urusan pekerjaan rumah dan rumah tangga.(Fathurofiq, Relevankah Homeschooling di Jawa Timur?, Kompas (Surabaya), 23 Januari 2007, E) 209 Syair Iwan Fals dalam Rubah (Album 50:50) bunyi lengkapnya adalah Pendidikan adalah anak tiri yang kesepian.Hal ini bermakna pendidikan masih diabaikan oleh pemegang kebijakan. Alih-alih mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat kita, sebaliknya, negara mengeluarkan kebijakan yang mendatangkan pro kontra dan keresahan di masyarakat semacam Ujian nasional. Padahal masih banyak permasalahan pendidikan yang harus diprioritaskan, di Jawa Timur misalnya, ada banyak permasalahan pendidikan yang sangat urgent untuk dicarikan solusinya, meliputi: a). Masih banyaknya warga masyarakat yang buta huruf, b). Belum meratanya kesempatan memperoleh pendidikan untuk anak usia dini, c). Belum tuntasnya wajib belajar 9 tahun, d). Masih rendahnya kualitas pendidikan, e). Masih rendahnya kualitas guru sesuai dengan tuntutan undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, f).Banyaknya gedung sekolah/madrasah yang rusak berat, g). Belum optimalnya peningkatan pembinaan sekolah menengah kejuruan dan h). Belum optimalnya pemahaman kebudayaan di lingkungan peserta didik (Ibid, Presentasi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur disampaikan pada diskusi publik Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan: Upaya Menyelamatkan Hak Dasar Warga Negara Dalam Belitan Neoliberalisme Kampus Sastra Unair Surabaya, 5 Mei 2007
208

keterampilan, sehingga keluaran seleksi pendidikan nantinya tidak menghasilkan mereka yang lulus atau tidak lulus, tetapi anak-anak didik yang mengetahui kemana ia melanjutkan pendidikannya demi kehidupan. Dengan demikian, pendidikan harus menjadi instrumen yang menghidupkan, bukan mematikan. Ia tidak boleh hanya berpihak kepada yang pintar dan lulus, tetapi mengabdi kepada yang kalah dan gagal.210 Pendidikan di Indonesia seharusnya mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan211. Jika pendidikan berhasil melahirkan manusia Indonesia mencapai masa kritis yang mampu memberi arah perkembangan bangsa, maka terjadilah regenerasi bangsa. Untuk mewujudkannya, pendidikan harus menekankan pada dua hal, yaitu pada orientasi nilai dan Orientasi proses.212 Pertama, Orientasi nilai. Sebagai makhluk dengan tubuh dan jiwa, regenerasi bisa dibedakan antara perkembangbiakan fisik (Physical Propagation) dan Spiritual (Spiritual Propagation). Regenarasi bangsa tidak cukup hanya lewat beranak cucu, tetapi juga lewat penerusan nilai dan visi. Sebuah bangsa bertahan melebihi satu generasi karena identitas diri yang ditopang kontinuitas nilai dan visinya. Salah satu parameter keberhasilan program pembelajaran adalah internalisasi nilai dalam beberapa tahap (kognitif-afektif-konatif-praktek). Setelah pelajar mengerti sesuatu, ia menghargai yang dipelajari. Lalu, muncul komitmen pribadi untuk melakukan yang sudah dihargai itu. Akhirnya, apa yang yang diyakini sebagai baik dilakukan secara konsisten tanpa

Ibid, Ujian Nasional Yang Menghakimi, Editorial Media Indonesia (Jakarta), 19 April 2007 Harus diakui, kita merupakan bangsa yang mudah terbawa arus, tidak percaya diri yang dalam bahasa Budiarto Shambazy diistilahkan dengan Microsoft, yang berarti Kerdil (Mikro) dan lembek (Soft). Budiarto Shambazy, Kerdil dan Lembek, Kompas (Jakarta), 24 Februari 2007, 15 atau dalam kesempatan lain ia menyebutkan istilah Munafik bagi bangsa ini. Budiarto Shambazy, Bangsa Tujuh Huruf, Kompas (Jakarta), 9 Desember 2006, 15 212 Ibid, Yonky Karman, Pendidikan dan Regenerasi Bangsa, Kompas, 12 Mei 2007, 6
211

210

hambatan internal (misalnya, rasa takut) dan eksternal (misalnya tekanan dari orang lain). Kedua, Orientasi Proses. Pembelajaran seperti ini menempatkan pelajar sebagai subyek, pusat dan fokus pendidikan. Guru hanya fasilitator dan pendamping murid. Proses pembelajaran dilakukan dalam suasana berbagai di antara guru dan murid. Maka mengajar bukan hanya transfer nilai pengetahuan, tetapi kegiatan berbagi pengetahuan sekaligus ketidaktahuan. Tekanan pembelajaran bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan yang komprehensif. Bukan hanya transfer pengetahuan atau pembekalan keterampilan, tetapi juga perkembangbiakan nilai. Maka, pendidikan melahirkan jiwa baru. Jiwa bangsa diteruskan saat generasi pengajar mentransfer nilai kepada generasi pelajar yang nantinya bertumbuh menjadi generasi pengajar yang baru. Akhirnya, segala apa yang kita lakukan adalah bagian dari rasa cinta kita kepada bangsa213 dan negara. Cinta menurut Erich Fromm dalam The Art Of Loving mengandung empat syarat, yaitu tahu, peduli, tanggungjawab dan respek.214

Bangsa atau nasion: ia adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Intisari sebuah bangsa adalah bahwa di dalamnya setiap individu memiliki anyak hal yang menjadi kepunyaan bersama (contoh: setiap orang Indonesia memiliki keindonesiaan yang sekaligus menjadi kepunyaaan bersama bangsa Indonesia) dan sekaligus melupakan banyak hal lain yang menjadi kepunyaan bersama. Suatu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu masyarakat menganggap diri mereka (membayangkan diri mereka) membentuk sebuah nasion, atau berperilaku seolah mereka telah membentuk sebuah bangsa. Benedict Anderson, Imagined Communities KomunitasKomunitas Terbayang, (Yogyakarta, INSIST & Pustaka Pelajar. Terj.2002), 8. 214 Y.F La Kahija, Mencintai Kearifan Lokal, Kompas (Jakarta), 2 Desember 2006, 6.

213

BAB V PENUTUP Setelah membahas mengenai landasan teori dan menganalisisnya, maka pada bab V atau bab penutup ini akan disajikan jawaban atas rumusan masalah yang terdapat pada bab I, yaitu sebagai berikut: 1. Mengenai mekanisme pelaksanaan ujian nasional 2007 ini disandarkan pada beberapa ketetapan hukum sebagai landasan yuridis formal pelaksanaannya, yaitu: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 45 Tahun 2006, tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Dasar pemikiran pelaksanaan ujian nasional yang menguji kemampuan siswa dengan standar nasional pada tiga mata pelajaran , yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan matematika/ekonomi/bahasa asing lainnya. Mengenai isi materi soalnya merupakan kolaborasi dari kurikulum 2004, kurikulum 2006 dan standar isi. Sebagai alat kelengkapan pengawasan Ujian Nasional 2007, Depdiknas juga bekerjasama dengan perguruan tinggi se-Indonesia untuk turut serta mengawasi pelaksanaan Ujian Nasional 2007. Tim pengawas perguruan tinggi

tergabung dalam Tim Pemantau Independen (TPI) di Tingkat Provinsi, Tingkat Kabupaten/Kota dan Tingkat Sekolah Tidak hanya cukup disini saja proses pengamanan yang dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap berbagai hal yang tidak diinginkan. Depdiknas juga bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk ikut serta dalam rangka

mensukseskan pelaksanaan Ujian Nasional 2007 2. Peran negara dalam dunia pendidikan menempatkannya pada posisi yang sangat menentukan. Halini merupakan bagian dari tanggungjawab pemerintah/negara sebagaimana tercantum pada pembukaan UUD 1945. Mengenai peran negara dalam pelaksanaan ujian nasional 2007 memang sangat dominan sekali. Terbukti dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan sebagai landasan hukum pelaksanaan ujian nasional 2007. Jika dilihat dari analisis hegemoni maka tindakan yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu bentuknya. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan

kepemimpinan politik dan ideologi. Langkah awal untuk menjalankan hegemoni adalah dengan membentuk aliansi dengan konsensus sebagai landasan geraknya, selain itu, hegemoni dapat dilaksanakan dengan bantuan para intelektual organik. Penguasaan dengan hegemoni saja tidak cukup. Masih ada proses lain yang dijalankan yakni dengan metode Ideological State Apparatuse dan Ideological State Apparatuse. Dalam hal ideologi yang secara sederhana berarti Expresses a will, a hope, or a nostalgia, rather than describing a reality benarbenar dijalankan. Keinginan untuk lulus dan harapan untuk mendapatkan hidup

yang lebih baik dengan lulus Ujian nasional benar-benar tertanam pada kesadaran masyarakat kita. Terbukti dengan begitu antusisnya mereka mempersiapkan ujian nasional 2007. Hal ini juga dibumbuhi dengan nostalgia masa lalu yang menempatkan kita sebagi bangsa yang pernah berjaya di masa lampau. Secara repressive, negara atau pemerintah menggunakan berbagai undang-undang yang mengatur pelaksanaan ujian nasional 2007, syarat-syarat kelulusan dan sebagainya yang secara tidak sadar merupakan paksaan kepada warga negaranya. Selanjutnya, mengenai peningkatan mutu pendidikan dilihat dari sisi ujian nasional saja tidaklah mungkin. Mengingat mutu pendidikan tidak dapat dilihat hanya dari tingkat kelulusan siswa tetapi harus secara holistik, meliputi: kualitas guru, kepala sekolah (pemimpin) dan managemen yang dilaksanakan. Jadi ujian nasional bisa dikatakan hanya sebagai bagian kecil dari proses peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Demikian akhir dari pembahasan skripsi ini, semoga dapat bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pendidikan di negara ini.

DAFTAR PUSTAKA Anderson, Benedict, Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang, (Yogyakarta, Insist & Pustaka Pelajar. Terj.2002) Aiken, Henry D. Abad Ideologi, (Jogjakarta, Yayasan Bentang Budaya, terj. 2002) Althusser, Louis, Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies, (Yogyakarta, Terj. Jala Sutra, Cet.III.2006) Arcaro Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-Prinsip Perumusan dan Tata Laksana Penerapan, terj. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005 Anwar, Moch. Idochi, Administrasi Pendidikan Pendidikan, (Bandung, CV. Alvabeta, 2003) Dan Manajemen Biaya

Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi, (Jakarta, Bumi Aksara, 1995) ________________, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta, Bumi Aksara, Ed. Revisi, cet. IV, 2003 ) ________________, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta, Rineka Cipta,1991) ________________, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : Rineka Cipta, 1998) Advertorial. Kompas (Jakarta), Sabtu, 9 Desember 2006 Azra, Azyumardi, Memelihara Asa, Kompas (Jakarta), 13 Maret 2007 Baso, Ahmad, NU STUDIES; Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta, Erlangga, 2006) Bala, Robert, Re-Engineering Proses Pembelajaran Kompas (Jakarta), 17 April 2007 Buchory, Muchtar, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia,( PT. Tiara Wacana, Jogja:1994) _______________, Pendidikan Anti Korupsi Kompas (Jakarta), 21 April 2007 Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet.III, 2005) Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus bahasa Inggris-Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia.cet.XXIII, 1996)

Editorial Media Indonesia, Ujian Nasional Yang Menghakimi, Jakarta, 19 April 2007 Freire, Paulo, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta, Terj. ReaD dan Pustaka Pelajar, Cet. V.2004) Fathurrofiq, Rekayasa Pendidikan Pasca UN, Kompas (Jakarta), 7 Mei 2007 _________, Nihilisasi Budaya Belajar, Kompas (Jakarta), 16 Mei 2007 _________, Nihilisasi Budaya Belajar, Kompas (Jakarta), 16 Mei 2007 _________, Relevankah Homeschooling di Jawa Timur?, Kompas (Surabaya), 23 Januari 2007 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, cet.II, 2004) Hilmy, Masdar, Ada UN Nggak Ada UN Sama Saja (Wujuduhu Ka Adamihi), makalah dalam seminar Nasional UN sebagai pendongkrak atau perusak kualitas pendidikan 10 Mei 2007 Jawa Pos (Surabaya),11 April 2007, Menjamurnya Bimbingan Belajar _________, (Banyuwangi, Tuban, Jombang), 27 April 2007, Siswa Dapat Bocoran _________, (Jakarta), 11 April 2007, Unas Jadi Lahan Bisnis menggiurkan _________, (Surabaya) 27 April 2007, Siswa Dapat Bocoran _________, (Surabaya), 13 Juni 2007, Masih Ada Konvoi di Jalanan _________, (Samarinda), 17 Juni 2007, Lulus, Disiram dan Diraba _________, (Surabaya), 11 April 2007 wawancara dengan Rosyid, Daniel M. Siswa Hanya Mengejar Angka Kelulusan. Kahija, Y.F La, Mencintai Kearifan Lokal, Kompas (Jakarta), 2 Desember 2006 Karman, Yonky, Pendidikan dan Regenerasi Bangsa, Kompas (Jakarta), 12 Mei 2007 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1977) Kompas (Jakarta), 18 Oktober 2006, Anggaran Pendidikan

_________, (Jakarta), 27 September 2007, Mendiknas Tolak Revisi PP SNP _________, (Jakarta) 20 Oktober 2006, Voucher Pendidikan _________, (Jakarta), 10 November 2006, Depdiknas: Itu Amanat UU _________, (Jakarta), 27 Oktober 2006, 12.Voucher Pendidikan _________, (Jakarta), 3 November 2006, DPR Malah Berperan Menjadi Tukang Pos _________, (Surabaya), 27 April 2007, Harus Ada Perubahan Kebijakan, _________, (Surabaya), 27 April 2007, Ujian Nasional Harus Diperbaiki _________, (Surabaya), 16 Maret 2007, Sekolah Andalkan Bimbingan Belajar _________, (Jakarta), 7 Maret 2007, Bimbingan Tes Masuk Lewat Tender, _________, (Jakarta) 19 April 2007, Isu Kecurangan Merebak di Mana-mana _________, (Karanganyar), 25 Juni 2007, Tidak Lulus UN, Siswa Gantung Diri _________, (Jakarta), 10 Januari 2007 Sekolah-Rumah Perlu Pengakuan Negara. _________, (Tulungagung), 2007 120 gedung SD di Tulungagung Rusak. _________, (Teluk Wondama, Papua), 2 Juni 2007 Siswa Kelas III dan IV di Papua Barat Belajar Berjejalan dalam Satu Ruangan. Kunandar UN dan Peningkatan Mutu Pendidikan Kompas (Jakarta) 14 Mei 2007. Larrain, Jorge, Konsep Ideologi, (Yogyakarta, LKPSM, terj. 1996) Mardialis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996) Moeloeng, Lexy J,. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996) Nasution, Arman Hakim, Logiskah Ajakan Tak Gelar UN?, Kompas (Jakarta), 21 Februari 2007

Nandika, Dodi Perang Total Melawan Buta AksaraKompas (Jakarta), Rabu, 25 Januari 2007 Naylul Izza, et.all, Lebih Asyik Tanpa UN, ( Yogyakarta, LkiS, 2007) Nasution, Metode Resourch, (Jakarta: Bumi Aksara,1996) Nazir, Moh, Metode Penelitian (Jakarta, Gholia Indonesia,1991) Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi, (Magelang, IndonesiaTera, 2001) Patria, Nezar & Andi Arif, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,cet.II, 2003) Piliang, Yasraf Amir, Transpolitika Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, (Yogyakarta, Jalasutra, 2005) __________________, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, (Yogyakarta & Bandung, Jalasutra, 2004) Pengakuan Komunitas Air Mata Guru dalam acara Republik Mimpi di Metro TV, Minggu 6 Mei 2007 Poedjinoegroho, Baskoro E, Sekolah Mencabik-Cabik Nurani(Opini) Kompas, 2 Mei 2007 Poerwodarminto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka 1982) Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 1994) Panitia Penyusunan Panduan Penulisan Skripsi, Panduan Penulisan Skripsi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya,1998) Purwanto, Ngalim MP, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pendidikan, (Bandung, PT Remaja RosdaKarya, 2002) Romli, M. GunturJamaah Islamiyah dan Bahaya Ideologi.Kompas (Jakarta), 5 Mei 2007 Rosyid, Daniel Mohammad, Deschooling: Memastikan Hak Anak atas Pendidikan, makalah disampaikan pada seminar nasional Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan: Upaya Menyelamatkan Hak Dasar Warga Negara dalam Belitan Neoliberalisme Surabaya, 5 Mei 2007

Ritonga, Razali, MDGs dan Komitmen Pemerintah, Kompas (Jakarta), 27 Maret 2007 Syafiie, Inu Kencana, Ilmu Politik, (Jakarta., PT. Rineka Cipta, 2000) Simon, Roger, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, (terj.Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999) Sirozi, M, Politik Pendidikan (Jakarta , RajaGrafindo Persada, 2005) Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan; Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, cet.II,1994) Sukmadinata, Nana Syaodih et.all, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip, Dan Instrumen), (Bandung, PT. Refika Aditama, 2003) Sudijono, Anas, Pengantar Persada,cet.I.1996) Evaluasi Pendidikan, (Jakarta, RajaGrafindo

Salamun, Makalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur disampaikan dalam seminar nasional dengan tema UN Pendongkrak atau Perusak Kualitas Pendidikan di Gedung Gema IAIN Sunan Ampel Surabaya, 10 Mei 2007 Sugita, M.Basuki, Berbagai Kelemahan Pelaksanaan Ujian Nasional 2007 Sutta Dharmasaputra,Voucher Diknas Beraroma KKN Kompas (Jakarta), Jumat, 3 November 2006 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997) Saleh, Abdul Rahman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2004) Shambazy, Budiarto, Kerdil dan Lembek, Kompas (Jakarta), 24 Februari 2007 ________________, Bangsa Tujuh Huruf, Kompas (Jakarta), 9 Desember 2006 Surya, (Surabaya) 16 Februari 2007 Surya, (Surabaya) 16 Februari 2007 Toer, Pramoedya Ananta, Arok Dedes, (Yogyakarta, Hasta Mitra, 2002) Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang , Indonesia Tera, 2003)

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta.Balai Pustaka Cet.II.2002) Tajuk Rencana, Kompas (Jakarta), 2 Mei 2007 Anomali Dunia Pendidikan Taufik, M, Carut-marut Ujian Nasional www.vhrmedia.net Tomatimasang, Roem, Sekolah Itu Candu. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar cet. Ke-5 2003) Thoha, M. Chabib, Rajagrafindo.cet.III.1996) Teknik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta, PT

UU Sistem Pendidikan Nasional Guru dan Dosen. Pustaka Merah Putih Yogyakarta cet. I. 2007 Warsono (Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya), Strategi Pendidikan Nasional Menghadapi Belitan Arus Neoliberalisasi pada acara seminar Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan: Upaya Menyelamatkan Hak Dasar Warga Negara dalam Belitan Neoliberalisme Surabaya, 5 Mei 2007

You might also like