You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Alam merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, oleh karena itu manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Alam memang sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, akan tetapi selain menguntungkan alam juga dapat merugikan bagi manusia, contohnya akhirakhir ini banyak sekali bencana alam khususnya di Indonesia. Melihat fenomena tersebut sehausnya manusia dapat berpikir bagaimana untuk dapat hidup selaras dengan alam. Karena alam tidak dapat ditentang begitu pula dengan bencana. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara lempeng itu maka terbentuk daerah penunjaman memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan Pulau Jawa hingga ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara Kepulauan Maluku, dan sebelah Utara Papua. Konsekuensi lain dari tumbukan itu maka terbentuk palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempa bumi. Gunung api yang ada di Indonesia berjumlah 129. Angka itu merupakan 13% dari jumlah gunung api aktif dunia. Dengan demikian Indonesia rawan terhadap bencana letusan gunung api dan gempa bumi. Di beberapa pantai, dengan bentuk pantai sedang hingga curam, jika terjadi gempa bumi dengan sumber berada di dasar laut atau samudera dapat menimbulkan gelombang Tsunami. Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan

Epidemiologi Tanah Longsor | 1

dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor. ( Nandi. 2007 )

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang permasalahan di atas, maka rumuskan masalahnya adalah sebagai berikut : a. Apa sajakah dampak terhadap kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh terjadinya bencana tanaah longsor ? b. Bagaimanakah besaran masalah bencana tanah longsor ? c. Bagaimanakah tahapan pengungsian korban bencana tanah longsor ? d. Bagaimanakah upaya pencegahan untuk menghindari terjadinya bencana tanah longsor ? e. Bagaimanakah prinsip penanggulangan bencana tanah longsor ?

C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui gambaran umum dan penanggulangan serta

kegawatdaruratan epidemiologi bencana tanah longsor.

2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui dampak bencana tanah longsor terhadap kesehatan masyarakat. b. Untuk mengetahui besaran masalah bencana tanah longsor. c. Untuk mengetahui tahapan pengungsian korban bencana tanah longsor. d. Untuk mengetahui upaya pencegahan terjadinya tanah longsor. e. Untuk mengetahui prinsip penanggulangan epidemiologi tanah longsor.

Epidemiologi Tanah Longsor | 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Epidemiologi Tanah Longsor 1. Epidemiologi Tanah Longsor Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng (Wikipedia, 2007). Hampir semua pulau utama di Indonesia memiliki beberapa kabupaten dan kota yang rawan pergerakan tanah, kecuali Pulau Kalimantan yang hanya memiliki dua kabupaten yang rawan, yakni Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah dan Kabupaten Malinau di Kaliman Timur. tan Daerah yang memiliki relief morfologi kasar dengan lereng-lereng yang terjal secara umum lebih rawan untuk terjadi gerakan tanah. Di samping itu, kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah mengalami degradasi umumnya lebih mudah untuk terjadi gerakan tanah. Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta. Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan (Nandi, 2007 & Gatot M Sudrajat, 2008).

Epidemiologi Tanah Longsor | 3

a. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

b. Longsoran Rotasi Longsoran rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.

c. Pergerakan Blok Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

Epidemiologi Tanah Longsor | 4

d. Runtuhan Batu Runtuhan batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

e. Rayapan Tanah Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

f. Aliran Bahan Rombakan Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di

Epidemiologi Tanah Longsor | 5

sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.

Gejala-gejala umum yang biasanya timbul sebelum terjadinya bencana tanah longsor adalah : 1) Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing. 2) Biasanya terjadi setelah hujan. 3) Munculnya mata air baru secara tiba-tiba. 4) Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.

2. Penyebab Epidemiologi Tanah Longsor Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan (Moch Bachri, 2006 & Nandi, 2007)

a. Hujan Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan.
Epidemiologi Tanah Longsor | 6

Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.

b. Lereng terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

c. Tanah yang kurang padat dan tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

d. Batuan yang kurang kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses

Epidemiologi Tanah Longsor | 7

pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

e. Jenis tata lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

f. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

g. Susut muka air danau atau bendungan Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

h. Adanya beban tambahan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.

Epidemiologi Tanah Longsor | 8

i. Pengikisan/erosi Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.

j. Adanya material timbunan pada tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.

k. Bekas longsoran lama Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri : 1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda. 2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur. 3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai. 4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah. 5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama. 6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil. 7) Longsoran lama ini cukup luas.

Epidemiologi Tanah Longsor | 9

l. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung) Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri: 1) Bidang perlapisan batuan 2) Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar 3) Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat. 4) Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air). 5) Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat. 6) Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.

m. Penggundulan hutan Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.

n. Daerah pembuangan sampah Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.

B. Dampak Epidemiologi Tanah Longsor Terhadap Kesehatan Masyarakat Dampak terhadap masyarakat yang terjadi akibat bencana tanah longsor, yaitu sebagai berikut (Pan American Health Organization, 2006) : 1. Peningkatan Morbiditas Tingginya angka kesakitan dalam keadaan terjadinya bencana dibagi dalam 2 katagori, yaitu:

Epidemiologi Tanah Longsor | 10

a. Kesakitan primer, adalah kesakitan yang terjadi sebagai akibat langsung dari kejadian bencana tersebut, kesakitan ini dapat disebabkan karena trauma fisik, termis, kimiawi, psikis dan sebagainya. b. Kesakitan sekunder, kesakitan sekunder terjadi sebagai akibat sampingan usaha penyelamatan terhadap korban bencana, yang dapat disebabkan karena sanitasi lingkungan yang buruk, kekurangan makanan dan sebagainya.

2. Tingginya Angka Kematian Kematian akibat terjadinya bencana alam dibagi dalam dua kategori, yaitu: a. Kematian primer, adalah kematian langsung akibat terjadi bencana, misalnya tertimbun tanah longsor. b. Kematian Sekunder, adalah kematian yang tidak langsung disebabkan oleh bencana, melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor penyelamatan terhadap penderita cedera berat, seperti. kurangnya persediaan darah, obat-obatan, tenaga medis dan para medis yang dapat bertindak cepat untuk mengurangi kematian tersebut. 3. Masalah Kesehatan Lingkungan Mencakup masalah-masalah yang berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, tempat penampungan yang tidak memenuhi syarat, seperti penyediaan air bersih, tempat pembuangan tinja dan air bekas, tempat pembuangan sampah, tenda penampungan dan kelengkapannya, kepadatan dari tempat penampungan, dan sebagainya. 4. Suplai Bahan Makanan dan Obat -Obatan Apabila kekurangan suplai bahan makanan dan obat-obatan untuk membantu korban bencana, maka kemungkinannya akan menimbulkan berbagai masalah, diantaranya:

Epidemiologi Tanah Longsor | 11

a. Kekurangan gizi dari berbagai lapisan umur b. Penyakit infeksi dan wabah, diantaranya infeksi pencernaan (GED), infeksi pernapasan akut seperti influensa, penyakit kulit. 5. Kerusakan Infrastruktur Kesehatan, Keterbatasan Tenaga Medik dan Paramedis serta Transportasi ke Pusat Rujukan.

Epidemiologi Tanah Longsor | 12

BAB III PENCEGAHAN DAN PENANGANAN BENCANA DAN KEGAWATDARURATAN

A. Mapping Bencana 1. Peta Rawan Bencana Secara geologis Indonesia juga menghadapi ancaman gerakan tanah, atau yang pada umumnya dikenal sebagai tanah longsor. Hampir setiap tahun Indonesia mengalami kejadian gerakan tanah yang

mengakibatkan bencana. Korban dan kerugian besar pada umumnya terjadi pada gerakan tanah jenis aliran bahan rombakan atau banjir bandang, seperti terjadi di Nias (2001) dan Bohorok Sumatra Utara (2005), Sulawesi Tengah (2007), Sumatra Barat (2008) dan terakhir di Situ Gintung, Banten (2009), yang mengakibatkan 82 orang tewas, 103 orang hilang, 179 orang luka-luka dan 250 buah rumah hancur/rusak. Hampir semua pulau utama di Indonesia memiliki beberapa kabupaten dan kota yang rawan pergerakan tanah, kecuali Pulau Kalimantan yang hanya memiliki dua kabupaten yang rawan, yakni Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah dan Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur (Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2014). Daerah yang memiliki relief morfologi kasar dengan lereng-lereng yang terjal secara umum lebih rawan untuk terjadi gerakan tanah. Di samping itu, kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah mengalami degradasi umumnya lebih mudah untuk terjadi gerakan tanah. Hal ini diperburuk lagi oleh curah hujan yang tinggi dan gempa yang sering terjadi di Indonesia. Secara umum tingkat risiko bencana gerakan tanah di Kabupatan/Kota di Indonesia ditentukan oleh keberadaan lajur pegunungan. Tingkat risiko dipengaruhi pula oleh kondisi kerentanan berbagai unsur lainnya seperti kepadatan dan kerentanan penduduk, kondisi kerentanan bangunan dan infrastruktur, tingkat ekonomi, dan kapasitas daerah se cara

Epidemiologi Tanah Longsor | 13

ji t tM j t

Keterangan :

Zona Kerentanan

erakan Tanah Sangat Rendah punyai tingkat kerentanan sangat rendah untuk terkena

gerakan tanah. Pada zona ini jarang atau hampir tidak pernah terjadi gerakan tanah, baik gerakan tanah lama maupun gerakan tanah baru, kecuali pada daerah tidak luas pada tebing sungai.

Zona Kerentanan

erakan Tanah Rendah

Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan rendah untuk terkena gerakan tanah. Umumnya pada zona ini jarang terjadi gerakan tanah jika tidak mengalami ganggunan pada lereng, dan jika terdapat gerakan tanah lama,
    i l i |

Epi

lereng telah mantap kembali. Gerakan tanah berdimensi kecil mungkin dapat terjadi, terutama pada tebing lembah (alur) sungai.

Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah Zone of Moderate susceptibility to landslide Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan menengah untuk terkena gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan. Gerakan tanah lama dapat aktif kembali akibat curah hujan yang tinggi dan erosi kuat.

Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi Daerah yang mempunyai tingkat keremanan tinggi untuk terkena gerakan tanah. Pada zona sering terjadi gerakan tanah, sedangkan gerakan tanah lama dan gerakan tanah baru masih aktif bergerak, akibat curah hujan yang tinggi dan erosi yang kuat.

2. Besaran Masalah Bencana tanah longsor di Indonesia banyak terjadi di daerah yang memiliki derajat kemiringan lereng tinggi. Bencana ini umumnya terjadi pada saat curah hujan tinggi. Berdasarkan catatan kejadian bencana, daerah yang sangat rawan terjadi bencana longsor adalah sepanjang pegunungan Bukit Barisan di Sumatera dan pegunungan di Jawa dan Sulawesi dan di Nusa Tenggara. Longsor yang menimbulkan korban juga terkadang terjadi di terowongan atau sumur pengeboran di areal pertambangan. Tanah longsor juga terjadi setiap tahun terutama di daerah-daerah yang tanahnya tidak stabil seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009).

Epidemiologi Tanah Longsor | 15

Hampir sebagian besar tanah di daerah tropis bersifat mudah longsor karena tingkat pelapukan batuan di daerah ini sangat tinggi dan komposisi tanah secara fisik didominasi oleh material lepas dan berlapis serta potensial longsor. Kestabilan tanah ini sangat dipengaruhi oleh kerusakan hutan penyangga yang ada di Indonesia. Karena banyaknya penebangan di hutan penyangga, wilayah rawan bencana longsor di Indonesia semakin bertambah. Sebagai contoh, Jawa Barat pada tahun 1990 masih memiliki hutan seluas 791.519 hektar (sekitar 22 persen dari seluruh luas provinsi ini), tetapi pada tahun 2002 tercatat tinggal 323.802 hektar (sekitar 9 persen dari luas seluruh Jawa Barat). Tidak mengherankan bila di provinsi ini banyak terjadi bencana longsor (Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009). Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta (Nandi, 2007). Daerah yang memiliki rawan longsor : a. Jawa Tengah 327 Lokasi b. Jawa Barat 276 Lokasi c. Sumatera Barat 100 Lokasi d. Sumatera Utara 53 Lokasi e. Yogyakarta 30 Lokasi f. Kalimantan Barat 23 Lokasi g. Sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur.

Epidemiologi Tanah Longsor | 16

Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah Longsor 2003-2005


No. Propinsi Jumlah Kejadian
77 15 1 5 3 1 1

Korban Jiwa MD
166 17 3 63 126 33 3

LL
108 9 25 2 5

RH
198 31 16 1 10 -

RR
1751 22 27 14 40 -

RT
2290 200 8 -

LPR (ha)
140 1 70 540 -

JL (m)
705 75 60 80 -

1. Jawa Barat 2. Jawa Tenah 3. Jawa Timur 4. 5. 6. Sumatera Barat Sumatera Utara Sulawesi Selatan Jumlah

7. Papua

103

411

149

256

1854

2498

751

920

Keterangan :

MD ML RR RH RT

: Meninggal dunia : Luka - luka : Rumah rusak : Rumah hancur : Rumah terancam

BLR BLH LPR

: Bangunan lainnya rusak : Bangunan lainnya hancur : Lahan petanian rusak

(dalam hektar) JL : Jalan terputus

Tampak bahwa kejadian bencana dan jumlah korban bencana tanah longsor di Propinsi Jawa Barat lebih besar dibandingkan dengan propinsi lainnya. Hal demikian disebabkan oleh faktor geologi, morfologi, curah hujan, dan jumlah penduduk serta kegiatannya (Nandi, 2007).

Epidemiologi Tanah Longsor | 17

B. Tahap Pengungsian Tahap pengungsian yang dapat dilakukan dalam menghadapi bencana tanah longsor adalah (Yayasan IDEP, 2004).

1. Peringatan Bahaya Peringatan bahaya merupakan hal pertama yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang mengetahui terjadinya bencana. Peringatan ini bisa menggunakan alat atau model komunikasi yang sudah biasa dikenal oleh masyarakat setempat. Alat komunikasi seperti: kentongan, bedug dan lainnya merupakan alat yang sangat membantu. 2. Informasi yang Perlu Disampaikan Pada Masyarakat a. Tentang bencana (jenis bencana) b. Besarnya bencana c. Kapan kemungkinan terjadi 3. Transportasi Menyediakan transportasi yang ada dan pendukungnya seperti : supir, bahan bakar. Urutan pengungsian adalah : anak-anak, orang tua, korban terluka, orang cacat, wanita dan pria. 4. Saat Dilokasi Pengungsian Yang perlu dipertimbangkan adalah: a. Perawatan dan pertolongan bagi yang terluka b. Mendirikan tempat perlindungan dan dapur umum c. Membentuk pos-pos bantuan kemanusiaan d. Mencatat semua data korban, yang selamat, terluka dan meninggal e. Mengatur bantuan yang diterima f. Menghubungi pihak-pihak bantuan dari luar

Epidemiologi Tanah Longsor | 18

C. Upaya Pencegahan Upaya pencegahan yang dilakukan untuk bencana tanah longsor (Iwan Setiawan, 2008). 1. Pencegahan Tingkat Pertama a. Melarang pembangunan rumah pada lokasi yang rawan longsor, terutama pada lereng dan kaki bukit b. Memperkuat kestabilan tanah dengan pohon-pohon yang akarnya dapat mengikat tanah secara kuat c. Tidak menebang atau merusak hutan d. Melakukan penanaman pada daerah-daerah yang gundul e. Pembangunan tembok-tembok penahan untuk memperkuat lereng pada lokasi rawan longsor f. Memberikan penyuluhan pada masyarakat yang tinggal di wilayah longsor tentang cara menghindari bencana longsor.

2. Pencegahan Tingkat Kedua

Yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah penyelamatan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Secara operasional, pada tahap ini diarahkan pada kegiatan : a. Penanganan korban bencana termasuk mengubur koban meninggal dan menangani korban yang luka-luka. b. Penanganan pengungsian c. Pemberian bantuan darurat d. Pelayanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih e. Penyiapan penampungan sementara f. Pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara serta memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban.

Epidemiologi Tanah Longsor | 19

3. Pencegahan Tingkat Ketiga

a. Rehabilitasi Upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan tanah longsor dan teknik pengendaliannya supaya tanah longsor tidak berkembang dan penentuan relokasi korban tanah longsor bila tanah longsor sulit dikendalikan.

b. Rekonstruksi Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor tidak menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor, karena kerentanan untuk bangunan -bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%. Ada beberapa tindakan, perlindungan dan perbaikan yang bisa ditambah untuk tempat tempat hunian antara lain : 1) Perbaikan drainase tanah (menambah materi-materi yang bisa menyerap) 2) Modifikasi lereng (pengurangan sudut lereng sebelum pembangunan) 3) Vegetasi kembali lereng-lereng dan beton-beton yang menahan tembok mungkin bisa menstabilkan hunian.
D. Prinsip Penanggulangan Penanggulangan bencana alam bertujuan untuk melindungi

masyarakat dari bencana alam dan dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, dalam penanggulangan harus memperhatikan prinsip-prinsip penanggulangan bencana alam(Iwan Setiawan, 2008). Dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan sejumlah prinsip penanggulangan, yaitu :

Epidemiologi Tanah Longsor | 20

1. Cepat dan Tepat Yang dimaksudkan dengan prinsip cepat dan tepat adalah bahwa dalam penanggulangan benacana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan bnerdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa.

2. Prioritas Yang dimaksud dengan prinsip prioritas adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan

diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.

3. Koordinasi dan Keterpaduan Yang dimaksud dengan prinsip koordinasi adalah bahwa penaggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan prinsip keterpaduan adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.

4. Berdaya Guna da Berhasil Guna Yang dimaksud dengan prinsip berdaya guna adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebiahn. Yang dimaksud dengan prinsip berhasil guna adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat denga tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

5. Transparansi dan Akuntabilitas Yang dimaksud dengan bencana prinsip dilakukan transparansi secara adalah dan bahwa dapat

penanggulangan

terbuka

dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan prinsip akuntabilitas

Epidemiologi Tanah Longsor | 21

adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secar terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

6. Kemitraan Penanggulangan bancana tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Keemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan antara pemerintah dengan masyarakat secra luas, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Bahkan, kemitraan juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di luar negeri termasuk dengan pemerintahnya.

7. Pemberdayaan Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengetahui, memahami, dan melakukan langkah-langkah antisipasi, penyelamatan, dan pemulihan bencana. Negara memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat agar dapat mengurangi dampak dari bencana.

8. Nondiskriminatif Yang dimaksud dengan prinsip nondiskriminatif adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apapun.

9. Nonproletisi Yang dimaksud dengan prinsip nonproletisi adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

Epidemiologi Tanah Longsor | 22

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
y Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah

perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Penyebab epidemiologi tanah longsor yaitu; hujan, lereng terjal, tanah yang kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat , jenis tata lahan, getaran, susut muka air danau atau bendungan, adanya beban tambahan, pengikisan/erosi, adanya material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung), penggundulan hutan, dan daerah pembuangan sampah. Adapun dampak epidemiologi tanah longsor terhadap kesehatan masyarakat yaitu;

peningkatan morbiditas, tingginya angka kematian, masalah kesehatan lingkungan, masalah suplai bahan makanan dan obat-obatan, serta keterbatasan tenaga medik dan paramedis serta transportasi ke pusat rujukan.
y Hampir semua pulau utama di Indonesia memiliki beberapa kabupaten dan

kota yang rawan pergerakan tanah, kecuali Pulau Kalimantan yang hanya memiliki dua kabupaten yang rawan, yakni Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah dan Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur. Daerah yang memiliki relief morfologi kasar dengan lereng-lereng yang terjal secara umum lebih rawan untuk terjadi gerakan tanah. Di samping itu, kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah mengalami degradasi umumnya lebih mudah untuk terjadi gerakan tanah. Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta.

Epidemiologi Tanah Longsor | 23

y Adapun tahap pengungsian bencana tanah longsor yaitu; Peringatan Bahaya,

Informasi yang Perlu Disampaikan Pada Masyarakat, Transportasi, Saat Dilokasi Pengungsian
y Upaya pencegahan terjadinya bencana tanah lonsor yaitu; pencegahan

tingkat pertama (sebelum terjadinya tanah longsor), pencegahan tingkat kedua (saat terjadinya tanah longsor), dan pencegahan tingkat ketiga (setelah terjadinya tanah longsor).
y Prinsip penanggulangan bencana tanah longsor yaitu; Koordinasi dan

Keterpaduan, Prioritas, Cepat dan Tepat, Berdaya Guna dan Berhasil Guna, Transparansi dan Akuntabilitas, Kemitraan, Pemberdayaan,

Nondiskriminatif, Nonproletisi

B. Saran Adapun saran yang diberikan untuk menghindari bencana tanah longsor adalah :
y Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di

dekat pemukiman
y Buatlah terasering (sengkedan) y Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam

tanah melalui retakan


y Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal y Jangan menebang pohon di lereng y Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal y Jangan mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjal y Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak y Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi

Epidemiologi Tanah Longsor | 24

You might also like