You are on page 1of 17

ETIKA POLITIK

Filsafat Ilmu Politik

Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filsuf politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar. Maka sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti: Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke) Kebebasan berpikir dan beragama (Locke) Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie) Kedaulatan rakyat (Rousseau) Negara hukum demokratis / republican (Kant) Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb) Kontrak Sosial

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Tokoh tokoh Filsafat Etika Politik


Thomas

Hobbes (1588 -1679) John Locke (1632 1704) Montesquie (1689 1755) J.J Rousseau ( 1712 1778)

Thomas Hobbes (1588 -1679)

Hobbes menyatakan secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antar sesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Dengan demikian dalam kondisi alamiah (state of nature), terdapat perjuangan manusia untuk memangsa manusia yang lain (homo homini lupus), satu kelompok memangsa kelompok yang lain (bellum omnium contra omnes). Dalam kondisi seperti itu manusia menjadi tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perangsatu-dengan-lainnya dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna.

Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people). Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan. Apa yang dipikirkan Hobbes ini adalah negara yang mutlak yang dikenal Monarki Absolut. Hak-hak individu sama sekali dikesampingkan sementara negara menjadi sangat mutlak dan tidak pernah salah. Negara berhak mutlak atas kebenaran dan kepatutan.

John Locke (1632 1704)

Konsep kedaulatan rakyat merupakan buah pemikirannya yang ia tuangkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan negara absolut dan dominan tanpa ada kekuatan lain sebagai penyeimbang. Locke juga dikenal sebagai peletak dasar sistem demokrasi dengan menggagas kontrak sosial sebagai sebuah pola untuk memberikan legitimasi pada negara berdasarkan hukum alam (konsep alamiah). Locke mengatakan bahwa manusia hidup dalam keadaan alamiah (state of nature), dimana Locke menyatakan bahwa keadaan alamiah selalu merindukan kehidupan yang alamiah sebelum terbentuknya negara. Menurutnya keadaan alamiah adalah keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut dan penuh kesetaraan. Manusia juga tidak akan merusak kehidupan, kesehatan dan hak-hak pemilikan manusia lainnya. Karena manusia bebas adalah manusia bebas, sederajat dan merdeka, berarti bahwa tidak ada orang tanpa persetujuannya bisa dibenarkan tunduk pada otoritas politik orang lain. Untuk melengkapi tesisnya, Locke mengambil pola yang ada pada masanya dengan menggunakan piranti kontrak sosial. Orang saling setuju untuk masuk ke dalam masyarakat dan membangun lembaga politik di bawah satu pemerintahan tertinggi. Dengan perjanjian ini, orang-orang menyerahkan kekuasaan untuk menjalankan hukum alam, suatu kekuasaan yang mereka miliki secara sendiri-sendiri dalam keadaan alamiah, kepada komunitas yang baru terbentuk.

Deskripsi Locke tentang perjanjian sosial (kontrak sosial) menjadi landasan yang prinsipil dan filosofis dalam melihat proses pembentukan sebuah negara. Locke bahkan menegaskan tentang pentingnya memisahkan aspek legislatif (pembuat undang-undang dan hukum) dan aspek eksekutif dan federatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik . Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan. John Locke, dalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Goverment mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu: 1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang) 2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang) 3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain). Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

Montesquieu (1689 1755)

Pada dasarnya konsep tentang pemisahan kekuasaan telah banyak dikaji oleh para pemikir sebelum Montesquieu seperti yang serupa dengan pemikirannya yaitu John Locke, namun apa yang dilakukan oleh Montesquieu adalah merumuskan mesin politik formal dalam struktur politik tentang teori pemisahan kekuasaan pemerintah. Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dari ketiga lembaga itu masing-masing mempunyai peranan dan tanggungjawab tersendiri dalam mengemudikan jalannya suatu pemerintahan yang berdiri disuatu negara. Hampir seluruh negara-negara di dunia menerapakan konsep ini dalam kehidupan berpolitiknya karena konsep tersebut merupakan cara-cara untuk berpolitik secara demokratis dengan harapan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi).

Montesquieu menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Dengan melakukan pemisahan-pemisahan kekuasaan antar satu lembaga dengan lembaga lain memungkinkan kontrol dan pengawasan akan lembaga tersebut akan dapat dicapai dengan maksimal. Karena pada dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak bisa hanya dilimpahkan di satu lembaga yang independen saja, namun harus dikelola dengan beberapa lembaha independen lainnya (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Disini dapat dilihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut seperti legislatif yang bertugas sebagai pembuat undang-undang, eksekutif yang bertugas sebagai pelaksana undang-udang, dan yudikatif yang bertugas sebagai pelaksana peradilan dapat saling mengawasi dan mengontrol agar jalannya kehidupan berdemokrasi dapat berlangsung.

Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masingmasing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam. Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.

Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu. Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the subjects), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the object sought). Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer (langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara. Jadi jelas, walaupun mungkin sulit dipahami, argumentasi pengoperasiannya, apa yang menjadi dasar analisa Rousseau adalah mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.

Lima Prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer Menurut Franz Magnis Suseno.

Pluralisme Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain.

Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.

HAM Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:

Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern. Dibedakan tiga generasi hak-hak asasi manusia:

Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hukum. Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritasminoritas etnik). Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).

Solidaritas Bangsa
Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup. Korupsi membuat mustahil orang mencapai sesuatu yang mutu.

Demokrasi Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan. Jadi demokrasi memrlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik. Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:

Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hokum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hokum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

Keadilan Sosial Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut. Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam strukturstruktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik terbitan FISIP Unair, Tahun II, No 2, Triwulan 1, 1988. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia, 2006. Kuliah Umum Prof. Franz Magnis Suseno, Di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Senin, 27 Agustus 2007.

You might also like