You are on page 1of 2

Wiyata Mandala [Opini] Wiyata Mandala Oleh Sumarno Eskalasi politik kian memanas.

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu legeslatif berdasarkan suara terbanyak menambah ketat persaingan, bukan hanya antar partai politik (Parpol), tetapi juga antar calon anggota legeslatif (caleg) dalam satu Parpol. Hal itu mendorong para politisi bertambah intensif menjaring massa. Berbagai cara ditempuh, mulai cara yang wajar sampai cara aneh, bahkan melanggar peraturan perundang-undangan. Berusaha mendekati kelompok masyarakat, tak terkecuali komponen dalam dunia pendidikan. Maka, perlu diaktualisasikan kembali, bahwa lingkungan pendidikan atau sekolah merupakan wiyata mandala. Wawasan Wiyata Mandala Secara formal wawasan wiyata mandala dikukuhkan dalam Surat Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) nomor :13090/CI.84 tanggal 1 Oktober 1984 sebagai sarana ketahanan sekolah. Wawasan Wiyata Mandala merupakan konsepsi atau cara pandang; bahwa sekolah adalah lingkungan atau kawasan penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan diluar tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan seperti termaktub dalam pasal 3, UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Lingkungan atau kawasan penyelenggaraan pendidikan bukan dalam pengertian sempit, yaitu lingkungan di dalam pagar sekolah. Tetapi, bahwa penyelenggaraan pendidikan yang meliputi sistem, institusi, maupun personal tidak dibenarkan untuk selain tujuan pendidikan. Sesuai prinsip penyelenggaraan pendidikan yang tertuang pada pasal 4, UU Sisdiknas. Bisnis dan politik rawan memengaruhi dunia pendidikan. Terkait bisnis, sempat marak terjadi komersialisasi buku pelajaran di sekolah-sekolah. Dilakukan penerbit bekerja sama dengan oknum guru, kepala sekolah, atau birokrat di lingkungan pendidikan. Bahkan secara sitemik pendidikan itu sendiri terindikasi dikomersialisasikan. Kecurigaan berbagai kalangan muncul ketika lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Politik pun patut diwaspadai. Apalagi sedang gencar-gencarnya para politisi berkampanye. Dunia pendidikan berpotensi dijadikan sasaran kampanye partai maupun para politisi untuk mendulang dukungan suara. Sebab, dunia pendidikan adalah komunitas yang di dalamnya memiliki massa signifikan. Komponen peserta didik, terutama level SMA merupakan pemilih pemula yang mudah dipolitisasi. Demikian pula guru, komponen yang bisa digunakan untuk mengarahkan siswa, keluarga, bahkan masyarakat di lingkungannya. Jika dunia pendidikan telah disalahgunakan untuk kepentingan individu, atau golongan secara fragmatis akan merusak tercapainya tujuan pendidikan. Komoditas politik Karut-marutnya dunia pendidikan bukan lantaran salah urus secara teknis semata. Melainkan dipengaruhi pula oleh campur tangan pihak-pihak tertentu yang menjadikannya komoditas politik. Mulai dari tingkat pusat sampai tingkat terkecil. Di tingkat pusat, akibat praktik politik dagang sapi, rekrutmen para menteri Kabinet Indonesia Bersatu lebih karena bagi-bagi kekuasaan diantara partai. Dikenal dengan kabinet pelangi. Sedikit saja departemen atau lembaga negara yang dipimpin oleh orang berlatar belakang kalangan profesional. Selebihnya orang-orang partai, termasuk di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Di daerah, banyaknya pemilihan kepala daerah, beberapa diantaranya menjadikan pendidikan sebagai propaganda kampanye politik. Bukan hanya sebatas berupa janji atau bentuk iklan, tetapi dengan melibatkan institusi. Melibatkan Dinas Pendidikan sampai masuk ke sekolahsekolah. Lebih-lebih di saat menjelang pemilu. Seorang caleg yang telah duduk di parlemen dari partai yang sedang berkuasa, di televisi terang-terangan mengaku memperjuangkan guru bantu di derah pemilihannya sebagai pendekatan kampanye. Dengan mendorong atau melakukan lobi

ke pemerintah daerah supaya diangkat menjadi pegawai negeri. Dengan cara tersebut berarti pengangkatan guru bantu tidak valid dan transparan. Karena, pertma, di luar prosedur yang direncanakan dan ditetapkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Kedua, merupakan bentuk diskrminasi karena di daerah lain belum tentu berlaku hal serupa. Berpotensi menyulut kecemburuan diantara para guru yang beda status, guru honor atau guru swasta misalnya. Partai Demokrat sendiri pernah beriklan di televisi dengan visualisasi siswa-siswa SMA, yang dikenal dengan iklan politik abu-abu. Tidak tertutup kemungkinan bagi partai lain melakukan politisasi pendidikan. Namun, partai atau pemimpin incumbent di pusat maupun di daerah, apapun partainya lebih berpeluang. Baik dalam bentuk iklan, pernyataanpernyataan bernada kampanye di media, maupun membuat kebijakan-kebijakan bersifat instan menjelang pemilu. Berbahaya Politisasi dan komersialisasi pendidikan tergolong berbahaya. Di dalamnya termuat unsur manipulatif baik secara finansial maupun merusak nilai-nilai. Kejahatan yang menggerogoti kekayaan negara sekaligus menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa. Politisasi dan komersialisasi pendidikan merupakan kepentingan segelintir orang dan sesaat. Sementara, kepentingan yang lebih besar cenderung terabaikan. Jika kekayaan negara sudah habis, satu-satunya harapan bertumpu pada sumber daya manusia (SDM). Contoh Singpura. Kalau pembangunan SDM saja dimanipulasi, pertanyaannya berapa lama lagi bangsa ini bisa bertahan? Ketahanan sekolah atau institusi pendidikan salah satu pilar ketahanan nasional. Harus dijaga dari orang-orang yang tidak memahaminya. Atau sebenarnya mengerti tapi tidak memiliki kesadaran untuk bertanggang jawab. Maka, wawasan wiyata mandala perlu diaktualisasikan kembali, bahwa sekolah (lingkungan pendidikan) tidak dibenarkan untuk kepentingan bisnis maupun politik. Konsep wawasan wiyata mandala lahir di zaman Orde Baru. Dulu, di sekolah biasanya materi wawasa wiyata mandala masuk paket penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4). Di era reformasi, dimana kondisi pendidikan memprihatinkan, tidak perlu alergi terhadapnya. Sekiranya masih relevan dan memang dibutuhkan, tak ada salahnya wawasan wiyata mandala harus dipahami, dihayati, dan diterapkan kembali. Terutama oleh para pengambil keputusan, dan seluruh komponen pendidikan.(*) Penulis adalah praktisi pendidikan, aktivis Koalisi Pendidikan, tinggal di Tangerang, Banten.

You might also like