You are on page 1of 12

KEBIJAKAN MONETER DAN KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA Untuk mengatur kestabilan perekonomian di Indonesia, pemerintah menggunakan dua kebijakan

yakni kebijakan moneter dan kebijakan fiscal. Kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mengatur sector financial, ssedangkan kebijakan fiscal adalah suatu kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mengatur sector riil. A. Kebijakan Moneter Untuk melihat suatu kebijakan moneter yang diambil efektif atau tidak, pemerintah perlu melihat tolak ukur stabilitas moneter. Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harus memiliki target dan ukuran keberhasilan. Hal ini penting, untuk mengukur atau sebagai acuan, apakah kebijakan tersebut berhasil atau tidak. Dalam perekonomian beberapa indkator yang biasanya digunakan untuk menilai kebijakan moneter adalah : 1. Jumlah Uang Beredar (JUB) 2. Laju inflasi yang cukup rendah terkendali 3. Suku bunga pada tingkat yang wajar 4. Nilai tukar rupiah yang realistis, dan 5. Ekspektasi/harapan masyarakat terhadap moneter Dari kelima indikator tersebut, hanya JUB yang tidak dapat dimonitor dan dirasakan lansung oleh masyarakat, sementara itu indikator nomor 2 sampai dengan 5, relatif dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan alasan ini, berikut ini akan dijelaskan secara ringkas dari keempat indikator tersebut. Laju Inflasi Bagi dunia perbankan laju inflasi yang tinggi akan menimbukan kesulitan bagi Bank untuk mengerahkan dana masyarakat, karena dengan inflasi yang tinggi tersebut, tingkat bunga riil (bunga nominal-inflasi) akan menurun, sehingga mengurangi keinginan masyarakat untuk menyimpan kekayaannya dalam produk-produk perbankan. Dampak selanjutnya adalah, bunga riil yang menurun bila dibandingkan tingkat bunga riil di luar negeri akan memicu larinya dana masyarakat ke luar negeri, karena dirasakan masyarakat lebih menguntungkan menyimpan dananya di luar negeri. Kedua dampak inflasi diatas akan menyebabkan Perbankan kekurangan dana yang berasal dari masyarakat, dan ini berarti kemampuan Bank dalam menyediakan dana untuk investasi juga turut berkurang, akibatnya laju pertumbuhan produksi dan ekonomi juga akan melambat. Selain itu, inflasi yang tinggi juga akan memicu ketidakpastian dalam banyak aktivitas ekonomi masyarakat, khususnya dalam hal perencanaan dan operasional perusahaan, termasuk dalam perbankan. Suku Bunga Selain yang telah sering dijelaskan sebelumnya, bahwa dari sisi masyarakat tingginya suku bunga memang akan menambah keinginan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank, namun di sisi lain, tingginya suku bunga tersebut akan mengurangi niat dunia usaha untuk mengambil kredit bagi pengembangan usahanya. Akibatnya dana yang sudah terlajur masuk ke perbankan dengan adanya bunga tinggi tersebut, tidak dapat tersalurkan dan menimbulkan permasalahan baru bagi perbankan, yakni, Kemana dana masyarakat tersebut akan disalurkan ? Apabila masalah ini tidak segera mendapat jalar keluar, maka perbankan terancam akan menghadapi masalah likuiditas dan tentu saja masalah penghasilan dari bunga yang seharusnya diperoleh. Dengan penjelasan yang sedikit berbeda, rendahnya tingkat bunga memang akan mendorong banyak pelaku dunia usaha untuk mengambil dana di perbankan, namun karena

rendahnya tingkat bunga tersebut, apalagi bila dibandingkan dengan tingkat bunga di luar negeri; masyarakat akan lebih tertarik menyimpan dananya di perbankan luar negeri, sehingga perbankan dalam negeri akan kekurangan dana yang sedang dibutuhkan oleh dunia usaha. Dampak lebih jauh lagi adalah terhambatnya investasi yang terjadi di sektor industri karena kesulitan mendapatkan dana, sehingga produksi akan melambat. Nilai Tukar Rupiah Nilai tukar yang stabil tentu akan lebih memberi iklim kepastian bagi semua pelaku usaha, termasuk sektor perbankan, dunia usaha dan masyarakat. Nilai tukar rupiah yang rendah saat ini dapat dijadikan saat yang baik dunia usaha yang beorientasi ekspor, dan ini dapat memicu peningkatan permintaan kredit dari dunia usaha untuk melanjutkan dan meningkatkan produk ekspornya. Dengan kejadian ini tentu akan menguntungkan dunia perbankan. Penyesuaian nilai tukar yang terlalu cepat akan sangat merugikan karena hal ini dapat mendorong bergeraknya aliran dana masyarakat ke luar negeri. Dengan demikian antara nilai tukar dan inikator kebijakan moneter lainnya memiliki hubungan yang sangat erat, khususnya bagi kebijakan pemerintah yang sedang ditempuh untuk menstabilkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ekspektasi/harapan Masyarakat Meskipun lebih sulit untuk diukur, namun ekspektasi masyarakat mulai mendapat perhatian besar dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Ekspektasi umumnya terjadi melalui ekspektasi masyarakat terhadap tingkat inflasi dan ekspektasi terhadap nilai tukar. Ekspektasi masyarakat yang berlebihan terhadap besaran inflasi akan mendorong semakin tingginya harga-harga, sehingga akan mengurangi tingkat konsumsi dan daya saing produk dalam negeri yang akan ekspor. Sementara itu, ekspektasi masyarakat yang negatif terhadap nilai tukar akan berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat pada mata uang rupiah, sehingga dapat memicu mengalirnya dana masyarakat keluar negeri. Apabila hal ini terjadi maka perbankan akan kesulitan dalam menghimpun dana masyarakat yang sangat diperlukan untuk keperluan investasi dunia usaha. Dengan penjelasan keempat indikator moneter tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, sangatlah dipengaruhi oleh keempat indikator tersebut, sehingga kebijakan moneter yang ditempuh pemerintah akan hal itu, harus memberikan hasil yang baik, dalam arti terkendali, wajar, dan realistis. Strategi Kebijakan Moneter Untuk mendapatkan indikator moneter seperti disyaratkan di atas, pemerintah yang dalam hal ini otoritas moneter, memerlukan stratei yang tepat dan sesuai dengan kondisi di Indonesia Secara umum, strategi moneter yang dapat dipilih antara lain adalah : 1. Startegi Kebijakan moneter longgar (Easy Monetary Policy) atau Strategi kebijakan moneter ketat (Tight Monetary Policy) Kebijakan moneter longgar akan ditempuh untuk menggiatkan kembali perekonomian yang sedang lesu, dengan cara mempermudah dan menambah jumlah uang beredar, agar permintaan konsumsi naik produksi naik. Namun demikian dalam perekonomian terbuka dan sistem devisa bebas, kebijakan moneter yang longgar dapat menimbulkan dampak seperti gambar berikut ini.

Sementara itu, kebijakan moneter ketat akan memberi dampak sebaliknya, terutama dalam rangka meredam kenaikan harga atau inflasi yang berlebihan, sehingga tekanan terhadap neraca pembayaran berkurang karena produk dalam negeri kembali dapat bersaing, meskipun dengan kebijakan ini akan berdampak pula pada menurunnya pertumbuhan ekonomi, karena jumlah uang yang beredar dikurangi, yang berarti permintaan juga berkurang produksi berkurang. Sebuah dilema memang akan terjadi, tatkala perekonomian Indonesia menghadapi dua kondisi yang bersamaan, yakni lesunya ekonomi dan tertekannya neraca pembayaran atau melemahnya daya saing produk lokal. Penerapan kebijakan moneter longgar memang akan menyelamatkan ekonomi yang lesu, namun akan memperparah kondisi neraca pembayaran Indonesiasementara penerapan kebijakan moneter ketat akan menyelamatkan neraca pembayaran dan manikkan daya saing, namun akan berdampak pada menurunnya/lesunya perekonomian. Kalau sudah demikian, kebijakan mana yang akan dipilih ? Dengan dilema tersebut, pemerintah kemudian memang dituntut untuk dapat meramu kebijakan yang paling pas dan menetapkan skala prioritas pemecahan masalah yang ada, sehingga lesunya perekonomian dapat diatasi dan daya saing produk ekspor Indonesia juga membaik, dan ini memang bukan pekerjaan yang mudah. 2. Countercyclical Monetary Policy atau Accomodative Monetary Policy Countercyclical Monetary Policy Untuk memperlunak konjungtur/naik turunnya perekonomian, pemerintah perlu secara aktif malakukan intervensi di pasar uang, yakni dengan melakukan ekspansi moneter disaat perekonomian mengahadapi masa resesi dan melakukan konstraksi moneter saat perekonomian mengalami boom/laju yang terlalu cepat. Penjelasan ini dapat dilihat pada gambar berikut :

Lebih jelasnya, saat akan perekonomian cenderung mengalami resesi, maka pemerintah harus segera melaksanakan kebijakan moneter yang lebih ekspansif dengan tujuan meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat. Dengan demikian, hasrat masyarakat atau permintaan konsumsi masyarakat diharapkan akan meningkat, yang berarti akan memberi dorongan bagi dunia usaha untuk meningkatkan produksinya. Pada gilirannya, kondisi ini akan mendorong tumbuhnya ekonomi di Indonesia Sementara itu, di saat perekonomian mengalami boom, yang cenderung memicu naiknya harga-harga atau inflasi, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan moneter yang ketat, dengan tujuan memperlambat dan mengurangi tingkat konsumsi dan permintaan masyarakat, sehingga laju perekonomian dapat diperlambat. Accomodatice Monetery Policy Pendapat kedua mengatakan, bahwa sebaiknya pemerintah menghindari intervensi untuk memperlunak konjungtur perekonomian yang terjadi, dan membiarkannya terjadi secara alami. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran : 1. Ekspektasi masyarakat dapat mengalahkan dampak dari variable - variabel moneter lainnya. Dengan kata lain, masyarakat telah mengantisipasi setiap kebijakan yang akan diterapkan oleh masayarakat 2. Kebijakan pemerintah tidak dapat memberi dampak secara langsung dan segera. Sebagai contoh; kebijakan moneter longgar yang ekspansif yang diterapkan saat ekonomi lesu/resesi, tidak akan segera kelihatan dampaknya saat itu juga, namun butuh waktu dan itu dapat terjadi justru ketika perekonomian telah mencapai tahap boom. Begitu pula kebijakan moneter ketat/konstraksi yang diterapkan untuk mengatasi kondisi boom, baru akan terasa dampaknya justru saat ekonomi sedang resesi. Akibatnya adalah, bukan masalah resesi dan boom yang teratasi, tetapi justru kedua kondisi ekonomi itu akan bertambah parah, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Oleh karena itu, tidak bijaksana kalau pemerintah melakukan intervensi dengan kebijakan moneter saat terjadi resesi atau boom. Biarkan kedua kejadian itu berlangsung apa adanya. Kalaupun pemerintah akan membantu, lakukan dengan menyeimangkan jumlah uang beredar dengan kebutuhan saat itu. Efektifitas Kebijakan Moneter Yang dimaksud dengan efektifitas kebijakan moneter adalah, sejauh mana kebijakan moneter yang ditempuh pemerintah (apapun bentuknya), memberi dampak positif bagi perekonomian dan masyarakat, dalam arti : a. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi b. dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat c. dapat meningkatkan kesempatan kerja d. dapat meningkatkan penerimaan devisa negara e. serta memberi pengaruh pada kebijakan makro lainnya Teori yang membicarakan mengenai efektifitas kebijakan moneter ini diantaranya adalah :

1. Teori Natural Rate Hypothesis, yang percaya bahwa kebijakan hanya akan efektif dan memberi dampak dalam jangka pendek saja, namun tidak akan efektif untuk jangka panjang 2. Teori Rational Expectation Hypothesis, yang percaya bahwa baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, kebijakan moneter tidak akan efektif Keterkaitan kebijakan moneter dengan kebijakan makro lainnya Yang perlu diketahui, bahwa dalam perekonomian sebuah negara, kebijakan moneter merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan kebijakan makro pemerintah lainnya, seperti kebijakan fiskal, kebijakan ekonomi luar negeri, maupun kebijakan sektor riil lainnya. Dengan demikian apapun pilihan kebijakan moneter yang ditempuh haruslah memiliki keterkaitan dan mendukung sasaran dan tujuan dari kebijakan ekonomi makro lainnya, sehingga secara bersama dapat memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan moneter yang ekspansif memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi di satu sisi, namun di sisi lainnya, kebijakan ini akan menyebabkan kenaikan harga-harga (inflasi), sehingga akan memberatkan neraca pembayaran luar negeri karena produk dalam negeri akan kehilangan daya saingnya di pasar luar negeri, yang berakibat menurunnya penerimaan devisa negara. Oleh karena itu perlu diimbangi kebijakan sektor luar negeri kondusif yang dapat mengatasi hal tersebut, seperti misalnya dengan member kemudahan ekspor dan intensi ekspor lainnya. Begitu pula dengan kebijakan moneter ketat yang ditempuh untuk tujuan menurunkan tingkat inflasi, akan memberi dampak negatif pada sektor riil dalam meningkatkan produksinya. Dalam kasus ini, diperlukan dukungan kebijakan ekonomi makro lainnya agar produksi tetap dapat ditingkatkan. Kebijakan ekonomi makro lain yang perlu dilakukan diantaranya dengan memberikan insentif atau keringan pajak bagi produsen, atau dengan insentif-insentif lainnya seperti penetapan harga khusus untuk bahan bakar industri dan kebijakan kemudahan perijinan usaha misalnya. Dengan dukungan berbagai kebijakan makro lainnya tersebut, kebijakan moneter yang dijalankan pemerintah akan dapat mencapai sasaran dan dapat diminimalkan dampak negatifnya. Oleh karena itu diperlukan sebuah ramuan dari berbagai kebijakan moneter dan kebijakan makro lainnya, sedemikian rupa, agar berbagai kebijakan tersebut tidak saling bertentangan dan justru saling melengkapi dan mendukung keberhasilannya, dalam arti jangan sampai yang terjadi adalah : Harga-harga semakin naik Daya saing produk dalam negeri semkain menurun Devisa negara semakin berkurang Nilai tukar rupiah semakin melemah Daya beli masyarakat semakin lemah Produksi nasional semkain berkurang Pengangguran semakin meningkat Perekonomian semakin lesu, dan Kesejahteraan masyarakat semakin memburuk Transmisi Kebijakan Moneter Kebijakan moneter adalah salah satu kebijakan yang secara langsung dapat dikendalikan oleh pemerintah, serta memiliki dampak langsung pada perekonomian di Indonesia. Secara singkat grafis, pengaruh tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar di atas menunjukkan bahwa melalui instrumen (Operasi pasar terbuka, tk. Diskonto, cadangan minimum, himbauan, dll) serta indikator moneter (tk. Bunga, jumlah uang beredar), kebijakan di bidang moneter akan mempengaruhi perekonomian, yang terlihat dari perubahan pendapatan nasional (GDP), tingkat inflasi, jumlah pengangguran dan neraca pembayaran). Meskipun demikian, kebijakan pemerintah lainnya juga turut mempengaruhi beberapa indicator perekonomian Indonesia tersebut. Tenggang waktu (lag) Efek dari Kebijakan Moneter Dampak kebijakan moneter terhadap kestabilan dan pertumbuhan ekonomi akan tergantung pada : 1. Kuat tidaknya hubungan antara perubahan kebijakan moneter yang dilakukan dengan kegiatan ekonomi 2. Jangka waktu antara terjadinya perubahan kebijakan moneter sampai terjadinya efek terhadap kegiatan ekonomi (lag) Kebijakan ekonomi Indonesia saat ini Perkembangan berbagai indikator ekonomi menjelang akhir tahun 2009 ditandai oleh terus berlanjutnya perbaikan kondisi makroekonomi Indonesia. Perbaikan tersebut ditopang oleh meningkatnya optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik dan global, serta terjaganya kestabilan makroekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 diprakirakan tumbuh 4,3%, inflasi tercatat sebesar 2,78%, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus, dan nilai tukar secara point-to-point menguat sebesar 15,65% dibandingkan dengan tahun lalu. Di tengah-tengah krisis global, berbagai kinerja yang cukup positif tersebut tidak terlepas dari daya tahan permintaan domestik yang kuat, sektor perbankan yang tetap sehat dan stabil, ekspektasi pemulihan ekonomi global yang semakin optimis, serta respons kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif dalam mendukung terjaganya perekonomian domestik. Kondisi perekonomian dan pasar keuangan global secara umum terus mencatat perkembangan yang positif. Proses pemulihan ekonomi di negara maju terus berlangsung. Hal tersebut sejalan dengan membaiknya kinerja konsumsi dan produksi, serta kondisi pasar tenaga kerja yang mulai mengindikasikan perbaikan. Kondisi pasar tenaga kerja di AS dan Jepang membaik sejalan dengan perbaikan konsumsi dan produksi. Sementara itu, ekonomi Asia yang memiliki peranan semakin penting sebagai penggerak utama pemulihan ekonomi

global juga tumbuh semakin kuat. Sejalan dengan itu, kinerja pasar keuangan global terus membaik. Meskipun sempat mengalami tekanan akibat kembali menurunnya kepercayaan investor terkait krisis utang Dubai World dan krisis fiskal Yunani, dampak kedua krisis tersebut berlangsung singkat dan rambatannya bersifat minimal terhadap pasar keuangan dunia. Inflasi global tahun 2009 diprakirakan mulai meningkat sejalan dengan proses pemulihan ekonomi dunia, walaupun masih lebih rendah dibandingkan inflasi tahun 2008. Kondisi tersebut memungkinkan sejumlah negara maju untuk cenderung mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif. Sampai saat ini, sebagian besar bank sentral negara maju seperti AS, Inggris, dan Jepang masih menahan kenaikan suku bunganya pada bulan Desember sebagai upaya mendorong pemulihan ekonomi. Di sisi domestik, perbaikan ekonomi global mendukung kinerja ekspor dan peningkatan investasi. Kinerja ekspor yang anjlok sangat signifikan di semester I-2009, mulai membaik pada pertengahan tahun sejalan dengan pemulihan perekonomian global yang kian membaik dan peningkatan harga komoditas. Beberapa sektor yang berorientasi ekspor seperti sektor industri pengolahan diperkirakan menunjukkan kinerja yang lebih baik pada kuartal IV-2009 seiring dengan membaiknya permintaan eksternal. Di sisi domestik, konsumsi rumah tangga masih tumbuh pada level tinggi, didorong oleh stabilnya daya beli masyarakat serta keyakinan konsumen yang masih terjaga. Membaiknya ekspor dan tetap tingginya konsumsi mendorong optimisme pelaku usaha untuk meningkatkan investasi, terutama sejak pertengahan tahun 2009. Pada triwulan IV-2009, investasi diperkirakan tumbuh lebih tinggi yang tercermin antara lain pada peningkatan konsumsi semen dan perbaikan pertumbuhan impor barang modal. Dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian tersebut, pertumbuhan ekonomi secara tahunan di kuartal IV-2009 diperkirakan akan mencapai sebesar 4,4%. Secara keseluruhan tahun 2009, perekonomian diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,3%. Ketahanan perekonomian domestik juga dibarengi penurunan tekanan inflasi. Inflasi pada bulan Desember tercatat sebesar 0,33% (mtm), jauh lebih rendah dari rata-rata historisnya. Secara tahunan, inflasi IHK mencapai 2,78% (yoy), sementara inflasi inti tercatat sebesar 4,28% (yoy) pada tahun 2009. Rendahnya realisasi inflasi tidak terlepas dari perkembangan eksternal dan berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Kontraksi ekonomi global yang cukup dalam mengakibatkan turunnya harga komoditas dunia di tahun 2009. Kondisi tersebut juga menyebabkan perlambatan kinerja ekonomi domestik. Selain dari sisi eksternal, rendahnya realisasi inflasi antara lain juga terkait dengan kecenderungan apresiasi nilai tukar rupiah di tahun 2009. Derasnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik telah mendorong penguatan nilai tukar rupiah, terutama sejak akhir triwulan I-2009. Selain itu rendahnya realisasi inflasi selama tahun 2009 juga tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah. Penurunan harga komoditas internasional, termasuk minyak mentah, memberi ruang bagi Pemerintah untuk kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal tahun. Sementara itu, upaya Pemerintah untuk menjaga pasokan dan distribusi komoditas bahan pangan, terutama beras, menyebabkan inflasi volatile food tercatat cukup rendah dibandingkan dengan pola

historisnya. Dengan berbagai perkembangan tersebut, realisasi inflasi berada di bawah kisaran sasaran inflasi tahun 2009 sebesar 4,5% 1%. Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus mendukung penguatan nilai tukar rupiah. Pada tahun 2009, NPI mencatat surplus dengan posisi cadangan devisa mencapai USD66,1 miliar atau setara 6,6 bulan pembayaran impor dan utang luar negeri (ULN) Pemerintah. Surplus NPI terutama dipengaruhi oleh menurunnya impor secara signifikan searah dengan menurunnya kebutuhan bahan baku impor untuk industri yang berorientasi ekspor maupun menurunnya impor barang-barang konsumsi. Kinerja ekspor, walaupun masih mencatat pertumbuhan negatif, namun masih lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan impor. Hal ini terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan ekspor komoditas sumber daya alam terutama dari negara-negara emerging Asia, yang mengalami proses pemulihan yang lebih cepat. Di samping itu, surplus NPI didukung oleh derasnya arus modal masuk ke dalam negeri yang didorong oleh prospek makroekonomi yang membaik, imbal hasil rupiah yang relatif tinggi, serta semakin membaiknya tingkat kepercayaan internasional terhadap korporasi domestik. Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut, perkembangan nilai tukar Rupiah cenderung menguat sejak akhir triwulan I-2009. Dibandingkan dengan tahun 2008, rupiah secara point-to-point menguat sebesar 15,65% menjadi Rp9.425/USD. Di sektor keuangan, stabilitas sistem perbankan tetap terjaga, namun penyesuaian suku bunga kredit belum seperti yang diharapkan. Penurunan suku bunga, khususnya suku bunga deposito perbankan, masih terus berlangsung. Namun demikian, transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga sebagaimana tercermin pada penurunan suku bunga kredit masih relatif terbatas. Tingkat suku bunga kredit yang belum turun secara signifikan, kegiatan ekonomi yang belum meningkat secara pesat, serta persepsi risiko dari perbankan yang masih tinggi mengakibatkan kredit perbankan sejak Januari hingga November 2009 baru tumbuh 5,7% (ytd). Di jalur harga aset, stance kebijakan yang cenderung longgar direspons secara baik di pasar saham maupun SUN. Indeks harga di bursa saham meningkat sejalan dengan derasnya arus masuk modal asing dan perkembangan positif di pasar keuangan global. Di pasar obligasi, yield SUN terus menurun sejalan dengan optimisme pemulihan ekonomi dunia, membaiknya persepsi risiko global terhadap Indonesia, disertai terjaganya inflasi dan sustainabilitas fiskal. Di sisi mikro perbankan, stabilitas sistem perbankan nasional tetap stabil. Hal itu diindikasikan oleh masih terjaganya rasio kecukupan modal (CAR) per November 2009 sebesar 17%. Sementara itu, rasio gross Non Performing Loan (NPL) tetap terkendali pada 4,4% dengan rasio net sebesar 1,4%. Likuiditas Perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank makin membaik dan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat. Ke depan, prospek perekonomian Indonesia diperkirakan akan membaik, meskipun berbagai faktor risiko dan ketidakpastian perlu terus dicermati. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0-5,5% pada tahun 2010. Inflasi ditargetkan mencapai kisaran 51% pada tahun 2010. Upaya percepatan momentum untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga inflasi yang rendah masih dihadapkan pada

berbagai tantangan-tantangan mikro dan struktural dalam perekonomian seperti kelemahan daya saing sektor industri, struktur pasar komoditas bahan pokok yang cenderung oligopolistik dan berbagai permasalahan terkait lokasi sentra produksi, distribusi, dan tata niaga. Belum optimalnya transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit merupakan tantangan yang akan menjadi prioritas untuk segera dipecahkan. Mempertimbangkan permasalahan dan tantangan tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mencapai sasaran inflasi sebesar 51% di tahun 2010 akan didukung oleh implementasi serangkai langkah kebijakan. Di sisi operasional, fokus kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efektifitas transmisi kebijakan moneter, mengelola ekses likuiditas perbankan, dan menjaga volatilitas nilai tukar dalam rangka terjaganya ekspektasi inflasi masyarakat. Di sisi struktural, upaya koordinasi dengan Pemerintah akan ditingkatkan untuk memitigasi dampak struktural inflasi yang bersumber dari masalah distribusi, tata niaga, dan struktur pasar komoditas bahan pokok. Untuk itu, Tim Pengendalian Inflasi yang merupakan tim lintas departemen yang terkait dengan pengendalian inflasi akan terus diefektifkan baik di pusat maupun di daerah. Dengan mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% 1% dan arah kebijakan moneter saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan berlangsungnya intermediasi perbankan, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 6 Januari 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga yang juga tetap sebesar +/-50 bps di sekitar BI Rate, yaitu suku bunga repo sebesar 7% dan suku bunga FASBI sebesar 6%. B. Kebijakan Fiskal Sebelum kita membahas mengenai kebijakan fiskal terlebih dahulu mungkin kita harus mengetahui tentang hakikat kebijakan dalam sistem ekonomi. Di dalam sistem ekonomi, kita mengenal dua macam kebijakan yaitu kebijakan ekonomi makro dan kebijakan ekonomi mikro. Kebijakan ekonomi makro adalah tindakan atau kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dengan mempengaruhi variabel-variabel ekonomi sedemikian rupa sehingga tercipta kondisi perekonomian yang baik dan dinamis, sehingga perekonomian berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Ketika membahas mengenai kebijakan fiskal maka sebenarnya kita sedang membicarakan mengenai salah satu alat pelaksanan kebijakan ekonomi makro. Untuk lebih jelasnya, kebijakan ekonomi makro dalam pelaksanaanya secara analisis pemikirannya perlu dibedakan menjadi tiga aspek. Ketiga aspek tersebut antara lain: 1. sasaran yang ingin dicapai, 2. efek yang diharapkan dari penggunaan alat kebijakan tersebut, 3. efek yang diharapkan dari penggunaan alat kebijakan tersebut. Sasaran kebijakan ekonomi ada dua, yaitu: a. jangka pendek yang bertujuan untuk: - mengatasi masalah pengangguran

- mengatasi masalah inflasi - mengukuhkan neraca pembayaran b. jangka panjang - mempercepat pertumbuhan ekonomi - meratakan distribusi pendapatan - mengatasi masalah kemiskinan Adapun alat pelaksanaan kebijakan ekonomi terdiri atas dua, a. jangka pendek, terdapat empat alat pelaksanaan kebijakan yaitu: -kebijakan fiskal -kebijakan moneter -kebijakan harga -kebijakan untuk sektor luar negeri b. jangka penjang, terdapat empat alat pelaksanaan kebijakan yaitu: -kebijakan fiskal -kebijakan moneter -kebijakan harga -kebijakan untuk sektor luar negeri (sama dengan alat pelaksanaan jangka pendek). Efek yang diharapkan dari kebijakan ekonomi antara lian sebagai berikut: a. kesempatan kerja penuh(full employment) b. kestabilan harga-harga c. stabilitas neraca pembayaran d. peningkatan kemakmuran masyarakat e. pertumbuhan ekonomi f. distribusi pendapatan yang adil g. nilai tukar yang stabil Kebijakan Fiskal Indonesia saat ini 1. Dalam rangka mengembangkan rasio ketenagalistrikan nasional, apabila dalam tahun 2009 sebesar 64,8 persen meliputi jumlah pelanggan sebesar 41,0 juta, diharapkan dalam tahun 2014 dapat mencapai target sebesar 80,3 persen. Oleh karena itu, besarnya pendanaan/investasi yang diperlukan sampai dengan tahun 2014 mencapai sekitar Rp506 triliun. Jumlah tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh PT. PLN (Persero) dengan sharing Pemerintah sebesar Rp322 triliun, dan dari IPP/PPP Rp184 triliun. Mengingat kemampuan pendanaan Pemerintah Pusat melalui APBN, maupun PT. PLN (Persero) dalam rangka mengembangkan sektor ketenagalistrikan nasional sangat terbatas, sehingga peran dari berbagai pihak diharapkan dapat membantu mengatasi masalah pendanaan ketenagalistrikan nasional tersebut. Agar dapat memenuhi pasokan listrik nasional dalam tahun 2010-2014, perlu dilaksanakan beberapa program ketenagalistrikan sebagai berikut :

1) Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana serta prasarana ketenagalistrikan ramah lingkungan dengan memprioritaskan pembangunan pembangkit, jaringan transmisi, gardu induk, jaringan distribusi, dan gardu distribusi ; serta 2) Pembangunan listrik perdesaan dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) dalam sasaran pembangunan infrastruktur minimal 14 persen dari kebutuhan nasional. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan ketenagalistrikan di luar listrik perdesaan sampai dengan tahun 2014 diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp442,700 triliun, yaitu mencakup investasi pembangkit sekitar Rp348,282 triliun, investasi transmisi sekitar Rp41,377 triliun, dan investasi gardu induk sekitar Rp52,841 triliun, sehingga setiap tahunnya akan dibangun sekitar 6.318,4 MW untuk mencapai kapasitas pembangkit listrik, 5.555,8 Kms, dengan tambahan rata-rata panjang jaringan distribusi sekitar 175.204 Kms. Sementara itu, untuk memperbaiki kondisi keuangan PT. PLN (Persero) dalam tahun 2009 dan tahun 2010, Pemerintah telah memberikan kebijakan margin keuntungan sebesar 5 persen, sehingga diharapkan akan terselamatkan dari kondisi technical default. Selanjutnya untuk menghitung kemampuan Pemerintah dalam memberikan subsidi sektor ketenagalistrikan jangka menengah dapat diestimasikan dengan menggunakan metode estimasi Moving Average dalam tahun 2011-2015, hasilnya berkisar antara Rp32,3 triliun hingga Rp90,4 triliun. Ketika kondisi makro ekonomi besarnya nilai ICP dan nilai tukar rupiah relatif terkendali maka kemampuan Pemerintah untuk mengalokasikan subsidi listrik adalah sebesar Rp32,3 triliun. Jika kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, variabel ICP dan nilai tukar rupiah bergejolak secara fluktuatif, maka Pemerintah harus mengalokasikan subsidi listrik sekitar Rp90,4 triliun. Meningkatnya kebutuhan investasi PT. PLN (Persero) tampaknya sulit untuk dapat dipenuhi seluruhnya oleh Pemerintah. Dengan menggunakan metode estimasi Moving Average dalam tahun 2011-2015 kemampuan pendanaan Pemerintah di sektor listrik perdesaan hanya berkisar antara Rp3,3 triliun sebagai batas bawah, dan sebesar Rp10,4 triliun sebagai batas atas, dengan kecenderungan kemampuan pendanaan Pemerintah Rp6,8 triliun pada kondisi perekonomian normal. Melihat ketimpangan perbandingan antara kebutuhan pendanaan PT. PLN (Persero) dan kemampuan pendanaan Pemerintah, sekiranya peran dan dukungan sektor swasta, serta Pemerintah Daerah sangat diperlukan untuk menjamin suksesnya pelayanan listrik di Indonesia. Tanpa itu semua PT. PLN (Persero) akan menghadapi kendala dalam menyelenggarakan jasa ketenagalistrikan di Indonesia. Dalam kondisi demikian, maka perlu direkomendasikan bahwa penggunaan alternatif sumber pendanaan dalam rangka mengembangkan sektor ketenagalistrikan lainnya, dapat dilaksanakan melalui : 1. Peran Pemerintah Daerah, dengan : (i) menyediakan tenaga listrik untuk kelompok masyarakat tidak mampu; (ii) membangun sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang; (iii) membangun tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan, dan (iv) membangun listrik di daerah perdesaan. 2. Peluang investasi Pemerintah Daerah dan swasta, yaitu dengan mendorong pihak swasta

melakukan investasi dan menyempurnakan kebijakan sektor ketenagalistrikan, serta melakukan restrukturisasi untuk meningkatkan kemampuan PT. PLN (Persero) dalam membiayai sendiri proyek-proyeknya. 3. Alternatif pendanaan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu dalam menyediakan investasi listrik di daerah dapat memasukkan variabel ketenagalistrikan menjadi salah satu kegiatan yang dapat dibiayai dengan menggunakan DAK. 4. Alternatif lainnya, yaitu seperti program 10 ribu MW tahap II, di mana 40 persen di antaranya akan menggunakan panas bumi (geothermal). Apabila pengembangan ketenagalistrikan sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah, berbagai alternatif pendanaan yang dapat digunakan adalah : (i) pajak dan pendapatan negara lainnya (termasuk penerbitan surat utang), (ii) pinjaman langsung dari kreditor, (iii) user charge, (iv) hibah dan pinjaman, (v) penerbitan surat hutang dengan penjaminan badan multilateral. Selanjutnya apabila pengembangan sektor keteganalistrikan sepenuhnya akan diserahkan pada sektor swasta, maka antara lain dapat ditempuh melalui : (i) strategic investor, (ii) institutional financial investor, (iii) private investor, dan (iv) pembiayaan melalui perbankan dan pasar modal (IPO dan obligasi).

You might also like