You are on page 1of 30

MAKALAH DIAGNOSTIK KLINIK

PNEUMONIA BAKTERIAL

Disusun oleh :

Kelompok 7
Cynthya Esra W Desy Indriwinarni Dewi Diah Retno A Dian Purnamasari Diandra Andina R Eko Aditya R 0706264532 0706264545 0706264551 0706264564 0706264570 0706264583 0706264601

Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Depok 2009

BAB I PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG Sebelum zaman antibiotik, pneumonia bakteri menyebabkan morbiditas dan mortalitas di beberapa negara dan merupakan suatu infeksi yang penting dan sukar diatasi. Namun, pengobatan spesifik yang sekarang tersedia telah sangat mengubah pendekatan klinik terhadap penyakit ini. Banyak macam bakteri yang menyebabkan infeksi paru baik pada individu yang sebelumnya sehat maupun pada mereka dengan penyakit dasar yang melemahkan. Oleh karena itu, kelompok kami akan membahas penyebab pneumonia oleh beberapa bakteri, perbedaan gejala klinisnya, dan komplikasi yang dapat timbul. I.2 PERUMUSAN MASALAH DAN RUANG LINGKUP Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: 1. Penyebab umum dari infeksi pneumonia bakteria 2. Perbedaan bronchitis dan pneumonia bakteria 3. Patogenesis pneumonia bakteria 4. Diagnosis terhadap pneumonia bakteria 5. Bakteri-bakteri penyebab pneumonia I.3 TUJUAN PENULISAN Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberi penjelasan kepada pembaca tentang pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. I.4 METODE PENULISAN Pada makalah ini penulis memakai metode kutipan, yang sumbernya dari berbagai referensi yang berkaitan dengan materi bahasan.

I.5

SISTEMATIKA PENULISAN I.1 I.2 I.3 I.4 I.5 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penulisan Metode Penulisan Sistematika penulisan Pneumonia Bakterial II.1.1 Definisi II.1.2 Epidemiologi II.1.3 Patogenesis II.1.4 Diagnosis II.1.5 Pengobatan dan Pencegahan II.2 Bentuk-Bentuk Pneumonia Bakteria II.2.1 Pneumonia pneumokokus II.2.2 Pneumonia Legionela II.2.3 Pneumonia Haemophilus influenzae II.2.4 Pneumonia Stafilokokus II.2.5 Pneumonia Streptokokus grup A

Bab I Pendahuluan

Bab II Isi II.1

Bab III Penutup III.1 Kesimpulan

BAB II ISI II.1 Pneumonia Bakterial


II.1.1 Definisi Pneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia juga bisa terjadi setelah pembedahan (terutama pembedahan perut) atau cedera (terutama cedera dada), sebagai akibat dari dangkalnya pernafasan, gangguan terhadap kemampuan batuk dan lendir yang tertahan. Sedangkan pneumonia bakterial adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri. II.1.2 Epidemiologi Pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data untuk perbandingan sangat sedikit, terutama di negara berkembang.Di Amerika pneumonia merupakan penyebab kematian keempat pada usia lanjut, dengan angka kematian 169,7 per100.000 penduduk. Tingginya angka kematian padan pneumonia sudah dikenal sejak lama, bahkan ada yang menyebutkan pneumonia sebagai teman pada usia lanjut. Usia lanjut merupakan risiko tinggi untuk pneumonia, hal ini juga tergantung pada keadaan pejamu dan berdasarkan tempat mereka berada. Pada orang-orang yang tinggal di rumah sendiri insidens pneumonia berkisar antara 25 44 per 1000 orang dan yang tiaggal di tempat perawatan 68 114 per 1000 orang. Di rumah sakit pneumonia usia lanjut insidensnya tiga kali lebih besar daripada penderita usia muda. Sekitar 38 orang pneumonia usia lanjut yang didapat di masyarakat, 43% diantaranya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae dan virus influenza B; tidak ditemukan bakteri gram negatif. Lima puluh tujuh persen lainnya tidak dapat diidentifikasi karena kesulitan pengumpulan spesimen dan sebelumnya telah diberikan antibiotik. Pada penderita kritis dengan penggunaan ventilator mekanik dapat terjadi pneumonia nosokomial sebanyak 10% sampai 70%. Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2006 dalam Pneumonia: The Forgotten Killer of Children, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. 4

Diperkirakan sekitar separuh dari total kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh bakteri pneumokokus. Pneumonia (radang paru), salah satu penyakit akibat bakteri pneumokokus yang menyebabkan lebih dari 2 juta anak balita meninggal. Pneumonia menjadi penyebab 1 dari 5 kematian pada anak balita. Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang sering menyerang bayi dan anak-anak di bawah usia 2 tahun. Sejauh ini, pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak usia di bawah lima tahun (balita). II.1.3 Patogenesis Pneumonia dapat terjadi akibat menghirup bibit penyakit di udara, atau kuman di tenggorokan terisap masuk ke paru-paru. Penyebaran bisa juga melalui darah dari luka di tempat lain, misalnya di kulit. Bakteri pneumokokus secara normal berada di tenggorokan dan rongga hidung (saluran napas bagian atas) pada anak dan dewasa sehat, sehingga infeksi pneumokokus dapat menyerang siapa saja dan dimana saja, tanpa memandang status sosial. Percikan ludah sewaktu bicara, bersin dan batuk dapat memindahkan bakteri ke orang lain melalui udara. Terlebih dari orang yang berdekatan misalnya tinggal serumah, tempat bermain, dan sekolah. Jadi, siapa pun dapat menularkan kuman pneumokokus. Bakteri masuk ke dalam paru-paru melalui udara, akan tetapi kadang kala juga masuk melalui sistem peredaran darah apabila pada bagian tubuh kita ada yang terinfeksi. Sering kali bakteri itu hidup pada saluran pernafasan atas yang kemudian masuk ke dalam arteri. Ketika masuk ke dalam alveoli, bakteri melakukan perjalanan diantara ruang antar sel dan juga diantara alveoli. Dengan adanya hal tersebut, sistem imun melakukan respon dengan cara mengirim sel darah putih untuk melindungi paru-paru. Sel darah putih (neutrofil) kemudian menelan dan membunuh organisme tersebut serta mengeluarkan sitokin yang merupakan hasil dari aktivitas sistem imun itu. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya demam, rasa dingin (menggigil), lemah yang merupakan gejala umum dari pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ataupun jamur. Neutrofil, bakteri, dan cairan mempengaruhi keadaan sekitarnya dan juga mempengaruhi transportasi O2.

Perjalanan bakteri dari paru-paru ke dalam peredaran darah mengakibatkan penyakit yang serius seperti sepsis, yaitu suatu keadaan tekanan darah rendah yang kemudian mempengaruhi sistem faal otak, ginjal, dan jantung. Adapun cara mikroorganisme itu sampai ke paru-paru bisa melalui: - Inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar - Aliran darah, dari infeksi di organ tubuh yang lain - Migrasi (perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-paru. Cara penularan bakteri pneumonia sampai saat ini belum diketahui pasti, namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi terserang penyakit Pneumonia. Hal ini diantaranya adalah : 1. Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah. Seperti penderita HIV/AIDS dan para penderita penyakit kronik seperti sakit jantung, diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani kemoterapi dan meminum obat golongan Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya memiliki daya tahan tubuh (Imun) yang lemah. 2. Perokok dan peminum alkohol. Perokok berat dapat mengalami iritasi pada saluran pernafasan (bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi muccus (riak/dahak), Apabila riak/dahak mengandung bakteri maka dapat menyebabkan pneumonia. Alkohol dapat berdampak buruk terhadap sel-sel darah putih, hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dalam melawan suatu infeksi. 3. Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU). Pasien yang dilakukan tindakan ventilator (alat bantu nafas) endotracheal tube sangat beresiko terkena Pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke arah kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator) maka potensial tinggi terkena pneumonia. 4. Menghirup udara tercemar polusi zat kemikal. Resiko tinggi dihadapi oleh para petani apabila mereka menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal (chemical) tanpa memakai masker adalah terjadi

iritasi dan menimbulkan peradangan pada paru yang akibatnya mudah menderita penyakit Pneumonia dengan masuknya bakteri atau virus. 5. Pasien yang lama berbaring. Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkannya bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan salah satu resiko tinggi terkena penyakit pneumonia, dimana dengan tidur berbaring statis memungkinkan riak/muccus berkumpul dirongga paru dan menjadi media berkembangnya bakteri. II.1.4 Diagnosis Pneumonia bakteri harus diperkirakan pada penderita yang tandatanda infeksinya meliputi menggigil, demam, dan gejalagejala yang terdapat pada saluran pernapasan bawah. Jumlah awal neutrofil yang banyak diikuti dengan kenaikan jumlah neutrofil perifer, namun neutropenia dapat juga ditemukan, terutama pada penderita pneumonia bakteri. Sinar X dada akan menunjukkan infiltrat, namun pada awal perjalanan infeksi atau pada penderita dehidrasi, sinar X dapat menyesatkan. Walaupun kumpulan penemuan ini membantu dalam memberi kesan infeksi dalam paru, ia tidak dapat membuktikan penyebab pneumonia. Gejala :

Demam menggigil Suhu tubuh meningkat Batuk berdahak mukoid atau purulen Sesak napas Kadang nyeri dada Tergantung luas lesi paru Inspeksi : bagian yang sakit tertinggal Palpasi : fremitus dapat mengeras Perkusi : redup

Pemeriksaan Fisik :

Auskultasi : suara dasar bronkovesikuler sampai bronkial, suara

tambahan bronki basah halus sampai bronki basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan Penunjang

Gambaran radiologis: foto toraks PA/ lateral, gambaran infiltrat sampai Pemeriksaan laboratorium: terdapat peningkatan jumlah leukosit lebih dari Untuk menentukan diagnosis etiologi dilakukan pemeriksaan biakan Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia; pada stadium lanjut asidosis

gambaran konsolidasi (berawan), dapat disertai air bronchogram.

10.000/l kadang dapat mencapai 30.000/l.

dahak, biakan darah, dan serologi.

respiratorik. II.1.5 Pengobatan dan Pencegahan

Jika pneumonia disebabkan oleh bakteri, diberi antibiotik. Antibiotik dipilih berdasarkan umur, kondisi kronik, apakah penderita merokok atau minum alkohol, dan selain itu pengobatan apa yang sedang penderita jalani pada saat dilakukan test ini. Penderita harus memberitahukan dokter tentang hal apa saja yang membuat kita alergi.

Mengurangi minum alkohol dapat membantu dalam mengatasi hidrasi. Hal ini juga membantu melawan pneumonia. Obat penurun demam, contohnya acetaminophen (Tylenol) atau ibuprofen (Advil) mungkin juga dapat membantu agar lebih baik

Pneumonia yang didapat di rumah sakit cenderung bersifat lebih serius karena pada saat menjalani perawatan di rumah sakit, sistem pertahanan tubuh penderita dalam melawan infeksi seringkali terganggu. Selain itu, kemungkinannya terjadinya infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik adalah lebih besar. Untuk orang-orang yang rentan terhadap pneumonia, latihan bernafas dalam dan terapi untuk membuang dahak, bisa membantu mencegah terjadinya pneumonia.

II.2 Bentuk-bentuk Pneumonia Bakteria Spesifik


II.2.1 Pneumonia Pneumokokus Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram positif yang memerlukan media yang diperkaya untuk pertumbuhan in vitro. Pada kalori plat agar darah menghasilkan hemolisis alfa, atau hijau. Bila berkapsul besar, koloni tampak mukoid. Organisme ini adalah anaerob fakultatif yang sering sukar dipertahankan dalam biakan karena autolisis yang dilakukan oleh enzim endogen, amidase muramil L-alanin. Enzim ini diaktifkan oleh berbagai rangsangan termasuk empedu. Streptococcus pneumoniae sensitif terhadap opthokin dan sifat ini digunakan untuk mengenali organisme ini bila diisolasi dalam biakan.

Gambar 1. Bakteri Streptococcus pneumoniae Reaksi serologis dari polisakarida kapsul mengenal lebih dari 80 serotip Streptococcus pneumoniae tersendiri. Jumlah polisakarida kapsul yang dihasilkan oleh organisme berkorelasi secara kasar dengan virulensi dalam serotip spesifik. Dengan Streptococcus pneumoniae tipe 3 dengan kapsul besar pada umumnya lebih virulen daripada pneumokokus tipe 3 dengan polisakarida kapsul kurang. Normalnya, manusia resisten terhadap organisme ini yang merupakan bagian dari flora normal nasofaring. Streptococcus pneumoniae yang melekat baik pada sel epitel saluran pernafasan tampak lebih patogen daripada yang kurang melekat kuat. Dengan inhalasi ke dalam saluran pernafasan bawah, jika tidak terdapat antibodi alveoli yang spesifik untuk polisakarida kapsul, organisme membelah diri kemudian terjadi udem serta neutrofil mengisi alveoli. Mekanisme kerusakan sel alveolus yang menimbulkan respons radang tidak digambarkan dengan jelas. Berbeda dengan streptokokus grup A, Streptococcus pneumoniae tidak menghasilkan toksin. Kapsul menghambat fagositosis oleh neutrofil. Bersama opsonin (antibodi spesifik/ komplemen), penelanan dan pembunuhan organisme oleh fagosit berlangsung cepat. Jika tidak ada terapi antibiotik, penyembuhan

dihubungkan dengan antibodi spesifik. Tanpa terapi, infeksi dapat menyebar melalui saluran limfa ke nodus hilus dan organ yang berdekatan, secara hematogen menghasilkan infeksi metastatik. Pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae adalah bentuk infeksi paru yang paling sering memerlukan perawatan di rumah sakit. Ia dapat juga terjadi pada setiap kelompok umur dan pada latar belakang kesehatan yang baik juga pada adanya penyakit yang mendasari. Pada musim dingin, musim sakit saluran pernafasan, jumlah individu normal bertambah yang mengidap penyakit Streptococcus pneumoniae tidak bergejala dalam faringnya. Dengan demikian, manusia merupakan organisme reservoir yang paling penting dari mikroorganisme ini. Aspirasi Streptococcus pneumoniae, atau pneumokokus, ke dalam saluran pernafasan bawah diperkuat oleh penyakit virus pernafasan atas sebelumnya yang mengganggu mekanisme saluran pernafasan atas normal. Lagipula, Diagnosis Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis etiologik, berdasarkan pemeriksaan mikrobiologik dan / atau serologik sebagai dasar terapi yang optimal. Namun penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah oleh karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai, dan bila pemeriksaan mikrobiologik dapat dilakukan pun tidak selalu kuman penyebab dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengembangkan pedoman klinik diagnosis dan tatalaksana pneumonia pada anak. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis menjadi sejumlah kecil tanda fisik yang langsung dapat dideteksi, membuat suatu sistem klasifikasi penyakit dan menentukan dasar pemakaian antibiotik. Pedoman ini meliputi penilaian demam, status nutrisi, letargi, sianosis, frekuensi nafas, observasi dinding dada untuk mendeteksi retraksi dan auskultasi untuk mendeteksi stridor dan wheezing. Berdasarkan pedoman tersebut pneumonia dibedakan atas : 1. Pneumonia sangat berat, (bila ada sianosis sentral dan tidak sanggup minum), harus di rawat di RS dan pemberian antibiotik. meminum alkohol menambah resiko terjadinya pneumonia pneumokokus.

10

2. 3.

Pneumonia berat (bila ada retraksi, tanpa sianosis dan Pneumonia (bila tidak ada retraksi tetapi nafas cepat) 60/menit untuk bayi < 2 bulan 50/ menit pada anak 2 bulan 1 tahun antibiotik oral)

masih sanggup minum), harus di rawat di RS dan pemberian antibiotik.

40/ menit pada anak 1 tahun 5 tahun (tidak perlu di rawat dan pemberian 4. Bukan pneumonia (bila tidak ada nafas cepat, tidak perlu di

rawat, tidak perlu antibiotik namun dilakukan pemeriksaan lain dan pengobatan yang sesuai. Anamnesis : Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, sukar bernafas atau pernafasan yang cepat. Pada bayi gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan batuk. Pada anak-anak kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah. Pemeriksaan Fisik : Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Takipneu merupakan tanda klinis yang sangat sensitif, tetapi mungkin dihubungkan dengan gangguan lainnya (misalnya diabetik ketoasidosis, keracunan salisilat, benda asing, bronkiolitis, dan asma). Sering ditemukan suara pernafasan yang abnormal (rales), tetapi mungkin juga tidak ditemukan, tergantung pada jenis proses pneumonia. Produksi sputum jarang terjadi pada anak-anak kecil (misalnya, umur < 6 tahun). Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terjadi adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif/produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif/produkti), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok umur akan dijumpai adanya nafas cuping hidung. Pada auskultasi, dapat terdengar suara pernafasan menurun.

11

Fine crackles (ronkhi basah halus) yang khas pada anak besar, bisa tidak ditemukan pada bayi. Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas menurun, dan terdengar fine crackles (ronkhi basah halus) di daerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri dada, bila berat gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan perut. Diagnosis Banding - Decompensatio Cordis Keluhan sesak biasanya berhubungan dengan aktivitas (sesak terutama dirasakan penderita bila beraktivitas). - CHD (Chronic Heart Dissease) Ditandai dengan sianosis disekitar mulut atau ujung-ujung jari. - Aspirasi benda asing Ada riwayat tersedak atau tenggelam. Secara klasik, infeksi ini mulai dengan mendadak, ditandai oleh satu kekakuan yang berat, dan disertai oleh kenaikan suhu yang sangat cepat dan batuk produktif sputum seperti karat besi. Penderita biasanya dispnea dan sering mengeluh dari dada pleuritis. Pemeriksaan dada menunjukan adanya konsolidasi lobus, termasuk ekspansi thorak terbatas pada sisi yang terkena, fermitus rabaan bertambah, perkusi redup, suara pernapasan bronkhial dan bronki. Tidak jarang tanda-tanda fisik konsolidasi tidak ada, terutama jika penderita ditemukan awal pada perjalanan infeksi. Lagipula, riwayat klasik penyakit akut dapat tidak ada atau sangat berbeda. Misal, individu tua mengeluh hanya demam dan nafas pendek dan sering tidak mampu menghasilkan sputum. Laboratorium biasanya memberikan bukti infeksi tambahan. Sel darah putih perifer khas naik, dan ada banyak bentuk neutrofil muda yang terlihat pada pulasan, yang disebut pergeseran ke kiri. Gas darah arteri akut sering menunjukan hipoksemia yang jelas. Oksigen arteri menggambarkan shunt darah yang jelas dalam pembuluh peredaran darah paru. Pada penderita yang tidak diobati, suhu tetap tinggi selama 7-10 hari. Krisis pada akhir masa ini ditandai oleh kenaikan demam yang cepat sampai

12

setinggi 105oF dan dihubungkan dengan munculnya kadar antibodi serum terhadap polisakarida kapsul dari pneumokokus penginfeksi. Bila puncak demam dicapai, suhu turun dengan cepat pada normal atau di bawahnya. Krisis kadangkadang dihubungkan dengan kolaps kardiopulmoner, tetapi lebih sering menandakan permukaan konvalesen. Terapi antibiotik yang sesuai, dengan penisilin G atau eritromisisn, pada kebanyakan individu sehat muda dihubungkan dengan penurunan demam yang cepat. Pada penderita yang lemah atau tua, berbeda, suhu sering turun lebih lambat, memerlukan 5-7 hari untuk mencapai tingkat normal. Komplikasi yang lazim pada zaman sebelum antibiotik meliputi empiema, perikarditis, artitis piogen, endokarditis, dan meningitis. Empiema dan perikarditis disebabkan oleh perluasan langsung infeksi pada tempat yang berdekatan; komplikasi lainnya menggambarkan infeksi metastatik menyertai bakteremia. Terapi antibiotik sangat mengurangi prevalensi komplikasi ini kecuali pada penderita yang lambat mencari pertolongan medis atau yang mempunyai cacat pertahanan hospes seperti hipogamaglobulinemia. Respon awal terhadap terapi antibiotik dapat disertai oleh kumatnya demam. Ini dapat disebabkan oleh perkembangan salah satu komplikasi pneumonia pneumokokus tersebut di atas, atau ia dapat menggambarkan reaksi hipersensitivitas terhadap antibiotik yang digunakan dalam pengobatan. Yang jarang terjadi adalah efusi pleura non purulen steril, dalam reaksinya terhadap pneumonia yang mendasari, adalah penyebab dari demam baru. Demam obat dapat menyerupai demam yang terjadi pada infeksi. Suhu dapat naik setiap hari sehingga kurva demam menyerupai pagar pancang. Pada penderita lain demam obat berakibat kenaikan suhu terus menerus yang ditandai oleh variasi diurna yang menurun. Reaksi hipersensitif ini berespon dalam 2-3 hari penghentian pemberian antibiotik. Demam obat sering terjadi tanpa ruam, eosinofilia atau manifestasi lain dari respon energi. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Umumnya pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis, dengan predominan polimorfonuklir. Namun bila terdapat leukopenia menunjukkan prognosis buruk. Kadang-kadang ditemukan anemia ringan atau sedang. Cairan pleura menunjukkan eksudat dengan sel polimorfonuklir berkisar 300-

13

100.000/mm3, protein diatas 2,5 g/dl dan glukosa darah. Pada infeksi sterptokokus didapatkan titer antistreptolisin serum meningkat dan dapat menyokong diagnosis. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus, atau sputum, darah, aspirasi trakea, pungsi pleura, aspirasi paru. Diagnosis baru definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru. Sebagai upaya diagnosis cepat akhir-akhir ini dikembangkan berbagai pemeriksaan imunologik dalam mendeteksi baik antigen maupun antibodi spesifik terhadap kuman penyebab. Spesimen yang dipakai ialah darah atau urin. Teknik pemeriksaan yang dikembangkan antara lain counter immunoelectrophoresis, ELISA, latex agglutination atau coaglutination. Walaupun menjajikan harapan namun upaya ini belum sepenuhnya memuaskan. 2. Pemeriksaan radiologik Gambaran radiologik pneumonia pneumokokus bervariasi dari infiltrat ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata (bronkopneumonia) kedua lapang paru atau konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Perubahan radiologi tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang konsolidasi sudah ditemukan pada radiologi sebelum timbul gejala klinik. Pada bayi dan anak kecil gambaran konsolidasi lobus jarang ditemukan. Efusi pleura dengan adanya cairan sering ditemukan terutama pada permulaan penyakit dan pada pasien yang belum dapat terapi namun belum merupakan empiema. Resolusi infiltrat sering memerlukan waktu lebih lama setelah gejala klinik menghilang. Menetapnya gambaran infiltrat menunjukkan adanya proses yang mendasarinya seperti adanya benda asing atau defisiensi imun. Pada pneumonia streptokokus gambaran radiologik menunjukkan bronkopneumonia difus atau infitrat interstitial, sering disertai efusi pleura yang berat. Kadang-kadang terdapat adenopati hilus. Pneumonia stafilokokus mempunyai gambaran radiologik tidak khas pada permulaan penyakit. Infiltrat mula-mula berupa bercak-bercak dan kemudian memadat dan mengenai keseluruhan lobus atau hemitoraks. Perpadatan

14

hemitoraks umumnya mengenai paru kanan (65%), hanya kurang 20% yang mengenai kedua paru (bilateral). Efusi pleura atau empiema sering terjadi, seperempatnya berupa piopneumotorak. Sering pula ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran. Walaupun tidak khas, namun bila terjadi progresifitas yang sangat cepat yaitu terjadinya efusi pleura atau piopneumatorak dalam beberapa jam dengan atau tanpa pneumatokel dapat merupakan indikasi kuat adanya pneumonia stafilokokus. Foto dada dibuat dengan frekuensi yang lebih sering terjadi jika tersangka pneumonia stafilokokus. Perbaikan klinik biasanya mendahului perbaikan radiologik dengan beberapa hari sampai beberapa minggu dan pneumatokel mungkin menetap secara asimptomatik sampai berbulan-bulan. Angka mortalitas untuk betnuk pneumonia ini tetap pada 15-20 % walaupun tersedia terapi kuratif antibiotik. Sekitar saru dalam lima penderita dengan pneumonia pneumokokus mempunyai biakan darah positif sebelum mulai pengobatan. Bakteremia, keterlibatan banyak lobus, umur tua, dan infeksi metastatik semua secara sendiri-sendiri memperjelek prognosis. Individu yang displenektomi juga beresiko besar untuk berkembangnya infeksi mendadak dengan kolaps sirkulasi dan koagulasi intravaskuler tersebar sebagai akibat dari bakteremia infek pneumokokus. Kapsul polisakarida Streptococcus pneumoniae menghambat fagositosis organisme oleh neutrofil. Antibodi terhadap kapsul berperan sebagai opsonin dan protektif. imunisasi yang dirancang bangun untuk merangsang terjadinya antibodi spesifik terhadap polisakarida kapsul terbukti mengurangi frekuensi infeski pneumokokus sebelum zaman antibiotik dengan tersedianya penisilin G yang luar dan agen efektif lain, perkembangan vaksin lebih lanjut dihentikan sesudah perang dunia kedua. Realisasi bahwa infeksi pneumokokus bakteremia terus menerus terkait dengan mortalitas tinggi memeperbaharui minat dalam mengembangkan cara pencegahan bentuk pneumonia yang sering mematikan ini. walaupun ada lebih dari 80 serotin, sejumlah terbatas menyebabkan sebagian besar pneumonia bakteremia. Oleh karena itu vaksin yang berisi polisakarida dari 23 serotin yang paling sering terkait dengan bakteremia telah dikembangkan untuk penggunaan pada individu resiko tinggi, termasuk

15

mereka dengan defisiensi imun, pasca splenektomi, penyakit jantung dan paru kroni, serta orang tua. Perdebatan tentang penggunaan vaksin berlanjut sejak perkenalannya pada penggunaan klinik. II.2.2 Pneumonia Legionela Legionella pneumophila merupakan bakteri gram negatif berukuran 2-20 m, berbentuk basil, tipis, dan bersifat aerob. Legionella mempunyai membran dalam dan membran luar, pili (fimbrae) dan dapat bergerak akibat adanya flagel polar tunggal.

Gambar 2. Bakteri Legionella pneumophila Siklus hidup Legionella terdiri dari dua fase utama, yaitu fase replikatif dimana bakteri tidak bergerak dan toksisitasnya rendah; dan fase infeksi dimana bakteri menjadi lebih pendek, tebal, timbul flagela, dan toksisitasnya tinggi. Spesies dari Legionella mudah berkembang biak baik di dalam air keran atau bahkan di lingkungan yang umumnya tidak mendukung perkembangbiakan bakteri seperti pada sel fagositik. Ironisnya, mereka tidak mudah dibiakkan pada media laboratorium biasa, melainkan hanya dapat dikembangbiakkan pada media complex broth yang menyediakan nutrisi yang diperlukan. Faktor pertumbuhan utama yang diperlukan adalah L-cystein. Ion besi dan komponen lainnya juga diperlukan untuk pertumbuhan optimal bakteri Legionella. Energi diperoleh terutama dari asam amino, bukan karbohidrat. Apabila peristiwa fagositik dicegah dengan cytochalasin, pertumbuhan bakteri menurun akibat tidak adanya akses menuju intraseluler tubuh. Manifestasi Klinik L. pneumophila dapat menyebabkan timbulnya penyakit pneumonia akut yang disebut legionellosis. Legionellosis ini dapat bervariasi dari ringan (tidak perlu rawat inap) sampai pneumonia multilobar fatal. Legionellosis merupakan penyakit infeksi pernafasan yang dapat dimanifestasikan menjadi dua macam:

16

1. Penyakit Legionnaires Gejala klinis dari penyakit Legionnaires adalah demam, panas dingin, dan batuk dengan produksi sputum yang sedikit. Gejala ekstrapulmonari seperti sakit kepala, bingung, kaku otot, dan gangguan pencernaan dapat terjadi. Masa inkubasi dari penyakit ini adalah 2-10 hari, umumnya 5-6 hari. 2. Demam Pontiac Demam Pontiac lebih jarang terjadi dan bersifat lebih ringan dengan gejala mirip influenza termasuk demam, sakit kepala dan sakit otot, tanpa gejala dari pneumonia. Penyakit ini sering disebut sebagai nonpneumonic legionellosis. Masa inkubasi dari demam Pontiac adalah 5-66 jam, umumnya 24-48 jam. Selain legionellosis, bakteri Legionella pneumophila juga dapat menyebabkan penyakit paru extrapulmonari (contohnya perikarditis dan endokarditis) tetapi frekuensinya lebih jarang. Efek lebih lanjut yang dapat terjadi jika penyakit ini tidak diobati dengan baik adalah destruksi dari jaringan paru dan alveolus sehingga pertukaran gas berkurang. Inflamasi kronik juga dapat terjadi dan menghancurkan jaringan di sekitar paru sehingga memicu timbulnya empyema dan kerusakan paru. Pada ibu hamil yang terjangkit Legionellosis, terjadi peningkatan angka keguguran. Legionellosis dapat bersifat mortal/mematikan dengan jumlah kematian ratarata lebih dari 30% penderita. Patogenesis Legionellosis Patogenesis dari infeksi Legionella bermula dari sediaan air/air minum yang mengandung bakteri virulen atau luka yang terinfeksi oleh bakteri ini. Infeksi bermula pada saluran pernafasan bagian bawah. Makrofag alveolus, yang merupakan pertahanan utama melawan infeksi bakteri berusaha untuk menelan bakteri. Tetapi, Legionella merupakan parasit intraseluler fakultatif dan dapat bermultiplikasi secara bebas di dalam makrofag.

17

Epidemiologi dari Legionellosis Spesies Legionella tersebar luas di lingkungan kita. Legionella dapat ditemukan pada alat pendingin, alat pelembab udara, wadah penyimpan air minum, bahkan pada tangki penampung air panas. Penyebaran dengan penularan tidak terjadi. Daya hidup Legionella tinggi, disebabkan daya tahannya yang tinggi terhadap efek klorin dan panas. Transmisi terjadi melalui aerosolisasi, penyemprotan dari air yang terkontaminasi dengan Legionella ataupun infeksi luka akibat terkontaminasi oleh air yang mengandung Legionella. Penyakit ini dapat bersifat epidemik atau personal, dan dapat terjadi pada suatu komunitas atau di dalam rumah sakit. Manusia di segala usia dapat terinfeksi Legionellosis walaupun lebih sering terjadi pada usia pertengahan/lebih tua dan resiko terinfeksi meningkat pada perokok, peminum, penderita kelainan paru kronik, konsumen obat imunosupresi (termasuk kemoterapi dan medikasi steroid) dan yang kekebalan tubuhnya rendah. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, yaitu pemeriksaan suara paru melalui stetoskop. Apabila terjadi Legionellosis, dokter akan mendengar suara abnormal yang berat (crackles). Pemeriksaan fisik lainnya meliputi pemeriksaan apakah pasien mengalami demam, nafas cepat dan berat, takikardi/bradikardi, cyanosis, gangguan mental, dan gangguan pendengaran. Pemeriksaan fisik seperti yang disebutkan di atas sifatnya tidak spesifik. Untuk pemeriksaan yang lebih spesifik, dapat dilakukan uji laboratorium antara lain : 1. Pemeriksaan darah

Hitung sel darah, termasuk hitung sel darah putih. Pada pasien (+) legionellosis, dapat terjadi leukositosis tapi sifat pemeriksaan ini tidak spesifik mengingat penyakit infeksi lainnya juga dapat menimbulkan leukositosis; dan leukopenia (jumlah sel darah putih < 5000).

Kultur darah menunjukkan sensitivitas rendah pada pneumonia. Fungsi dari kultur darah ini hanya sebatas untuk mengetahui potensi antibiotik yang sesuai.

18

Hiponatremia (kadar Natrium darah <130 mEq/L) dan mikrohematuria. Laju sedimentasi eritrosit Pemeriksaan sputum dengan menggunakan antibodi fluoresen spesifik Legionella, tetapi peluang memberikan hasil negatif-palsunya tinggi.

2.

Pemeriksaan sputum

3. Pemeriksaan urin

Pada

hitung

leukosit, harus ditemukan lebih dari 25 sel per lapangan pandang sempit. Uji urin untuk

memeriksa adanya bakteri L. pneumophila. Uji ini akurat terutama untuk Legionella serogroup 1, tetapi 30% infeksi Legionellosis tidak disebabkan oleh organisme serogroup 1. Hasil laboratorium dapat diketahui dalam jangka waktu kurang dari 14 hari. Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap adanya spesies Legionella, tetapi keterbatasan teknik PCR ini di Indonesia menjadikannya jarang digunakan. Dengan teknik ini, DNA Legionella dapat dideteksi di dalam sampel urin dan atau serum pada 18 dari 28 pasien dengan legionellosis, tetapi pasien dengan pneumonia yang disebabkan oleh organisme lain tidak terdeteksi oleh PCR. Tes Hidrosense Tidak seperti analisa rutin yang dapat memakan waktu hingga 14 hari, tes Hidrosense ini hanya memakan waktu 25 menit. Aplikasi alat ini mirip dengan alat tes uji kehamilan dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, yaitu 100 cfu/mL urin. 4. Pemeriksaan lainnya X-Ray paru Penemuan pada sinar X dapat bervariasi. Pneumonia dapat lobar, tetapi lebih sering tampak sebagai bronkopneumonia yang melibatkan banyak lobus dengan atau tanpa efusi pleura.

19

bagian dada Dengan pemeriksaan ini, Legionellosis dapat

Radiografi terdeteksi

pada dengan

ditemukannya bakteri Legionella pada bagian bawah paru. Pengobatan Untuk mengobati infeksi Legionellosis, dapat digunakan antibiotik. Pengobatan diberikan segera setelah pasien di-suspect menderita Legionnaires, tanpa perlu menunggu hasil laboratorium. Antibiotik yang umumnya digunakan untuk mengobati penyakit ini adalah : - Quinolon : siprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin - Makrolida : azithromisin, clarithromisin, eritromisin Antibiotik yang terbukti efektif adalah eritromisin, siprofloksasin, tetrasiklin dan rifampin. Eritromisin adalah bentuk terapi yang paling luas digunakan, dan umumnya IV, 1 gram setiap 6 jam. Penisilin dan sefalosporin tidak efektif karena organisme ini, kecuali L. micdadei, menghasilkan beta lactamase yang membuat mereka resisten terhadap agen beta-laktam. Pengobatan lain mencakup: - Penukaran cairan dan elektrolit tubuh - Pemberian oksigen melalui masker atau breathing machine - Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan mengolah air yang terkontaminasi dengan bakteri L. Pneumophila, sehingga dapat mencegah penyebaran lebih lanjut dari penyakit ini. II.2.3. Pneumonia Haemophilus influenza Haemophilus influenza adalah penyebab lazim infeksi saluran pernapasan bawah pada anak-anak, seperti meningitis, cellulitis, epiglottitis, septic arthritis, pneumonia, dan pleural atau gallbladder empyema. Pada orang dewasa infeksi serius jarang terjadi. Kebanyakan strain Haemophilus influenza berkapsul polisakarida yang menghambat fagositosis oleh neutrofil bila tidak ada antibodi opsonin.

20

Pada anak-anak, pemaparan terhadap H. influenza tipe b diduga berakibat imunitas dan memperkecil infeksi yang disebabkan oleh serotip berkapsul ini pada orang dewasa. Enam tipe antigenic polisakarida kapsul H. influenza telah dibedakan: tipe a sampai f. Tipe b sejauh ini adalah paling sering menyebabkan infeksi serius.

Gambar 3. Tanda panah biru menunjukkan bakteri Haemophilus influenza Patogenesis infeksi paru yang disebabkan oleh H. influenza serupa dengan pneumonia yang dihasilkan oleh pneumokokus. Organisme yang menempati saluran pernapasan atas, mencapai saluran pernapasan bawah bila mekanisme pertahanan normal diubah, biasanya oleh infeksi virus atau minum alcohol. Organisme berpenetrasi ke epitelium nasofaring dan mencapai saluran pernapasan bawah melalui darah kapiler. Jika organisme berkapsul, fagosistosis oleh makrofag alveolar dan neutrofil dihambat. Pembelahan bakteri oleh suatu reaksi radang dan gejala-gejala pneumonia. Gambaran klinis dari pneumonia yang disebabkan oleh H. influenza adalah dispnea berat, demam, batuk, dan nyeri dada. Pemeriksaan terhadap adanya infeksi H. influenza dapat dilakukan beberapa cara, yaitu: 1. Kultur bakteri yang diambil dari sampel seperti sputum, sapuan tenggorokan, nasopharyngeal sekret, aspirasi trakea, aspirasi paru, cairan pleural, blood, CSF, dan urin. 2. Sinar-x dada sering menunjukan bronkopneumonia difus yang melibatkan banyak lobus. Pengobatan dengan ampisilin sebelumnya efektif. Namun semakin bertambahnya persentase dari strain berkapsul (tipe b) dan tidak berkapsul yang sekarang menghasilkan beta-laktamase dan resisten terhadap ampisilin dan

21

terhadap sepalosporin generasi pertama. Alternatif lain yang sekarang masih dikembangkan yaitu cefuroxime dan levofloxazin. Pencegahan infeksi H. influenza penting untuk dilakukan, biasanya dengan cara pemberian vaksin pada anak, menutup mulut ketika bersin atau batuk, dan menjaga kebersihan. II.2.4. Pneumonia Stafilokokus Pneumonia lebih banyak disebabkan oleh adalah Staphylococcus aureus, pneumokokus, Haemophilus influenzae atau kombinasi ketiganya. Pneumonia Stafilokokus adalah peradangan paru-paru yang disebabkan oleh bakteri stafilokokus. Angka kematian akibat pneumonia stafilokokus adalah sebesar 15-40%, karena penderita pneumonia stafilokokus biasanya sudah memiliki penyakit yang serius. Stafilokokus menyebabkan gejala-gejala pneumonia yang khas, yaitu demam dan menggigil lebih lama daripada pneumonia pneumokokus. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: o batuk berdahak (dahaknya bisa menyerupai lendir, berwarna kehijauan atau menyerupai nanah) o lelah o nyeri dada (sifatnya tajam dan semakin memburuk jika penderita menarik nafas dalam atau batuk) Stafilokokus bisa menyebabkan abses (pengumpulan nanah) di paru-paru dan kista paru yang mengandung udara (pneumatokel), terutama pada anak-anak. Bakteri bisa terbawa oleh aliran darah dan membentuk abses di tempat lain. Yang sering terjadi adalah pengumpulan nanah di ruang pleura (empiema). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik (pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop akan terdengar bunyi pernafasan yang abnormal. Pemeriksaan lainnya yang biasa dilkukan: Rontgen dada Biakan dahak Pemeriksaan darah.

22

Pengobatan terdiri dari pemberian antibiotik. Jika terjadi empiema, maka nanahnya bisa dikeluarkan dengan bantuan sebuah jarum atau selang. Infeksi paru yang disebabkan oleh Stafilococcus aureus merupakan bentuk pneumonia yang jarang kecuali pada penderita dengan kerusakan imun dan kadang-kadang pada bayi serta anak-anak. Permulaan kliniknya biasanya berbeda dari permulaan klinik infeksi pneumokokus, infeksi stafilokokus paru mulai dengan tidak kentara; jarang menggigil, tetapi demam tinggi dan penderita tampak septic, sputum dapat purulen dan secara klasik disebutkan berwarna pink-salmon. Namun pada banyak penderita, ia berwarna darah, dan pada beberapa penderita produksi sputum sedikit, terutama pada awal perjalanan infeksi. Jika sputum ada, kelompok stafilokokus seperti anggur dengan mudah ditunjukkan dengan pengecatan gram. Karena penyakit berjalan terus, radiografi dada sering menunjukkan lesi kavernakecil multiple, atau beberapa abses atau satu atau dua rongga abses besar dengan batas cairan-udara. Komplikasi meliputi penyebaran infeksi pada pleura (empiema) atau pericardium, dan infeksi (dengan bakteremia) katup jantung (endokarditis), tulang, ginjal atau meningen. Antibiotik pilihan untuk pengobatan infeksi stafilokokus berat adalah penicillin resisten-pennisilinase. Saat ini yang paling sering digunakan dari antibiotik ini adalah nafsilin atau oksasillin. Sebagian besar (90%) dari yang didapat di masyarakat, juga yang di dapat di rumah sakit, Pneumonia S. aureus adalah resisten-penisillin. Jumlah organisme ini yang resisten-metisillin. Jumlah organisme ini yang resisten metisillin (MRSA = methicillin-resistant Stafilococcus aureus) semakin bertambah. Prevalensi infeksi MRSA yang semakin bertambah juga terdokumentasi pada populasi yang secara epidemiologis terbatas seperti penyalah-guna obat intra vena, tetapi mereka semakin bertambah prevalensinya diseluruh masyarakat. Oleh karena itu, perlu memonitor gambaran kerentanan isolat S.aureus, baik didapatkan di masyarakat. Antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi MRSA adalah vankomisin. II.2.5. Pneumonia Streptokokus grup A A. Pengenalan Streptococcus grup A

23

Streptococcus pyogenes (Streptococcus group A) merupakan gram positif, tak dapat bergerak bebas, kokus tidak membentuk spora yang terjadi pada rantai atau pasangan dari sel tersebut. Sel tunggal berupa kokus (bulat seperti buah telur), diameter sekitar 0,6 1,0 mikrometer (gambar 1). Metabolisme bakteri ini berupa reaksi fermentasi; organisme ini merupakan aerotoleran anaerob katalase negatif (anaerob fakultatif), dan membutuhkan medium darah untuk bertumbuh. Streptococcus grup A memiliki kapsul yang terdiri atas asam hialuronat dan beta exhibit hemolisis pada agar darah.

Gambar 4. Bakteri Streptococcus pyogenes Streptococcus pyogenes merupakan salah satu patogen penyakit pada manusia yang paling sering terjadi. Sebagai flora normal, S. pyogenes dapat menginfeksi ketika daya tahan tubuh menurun atau ketika organisme tersebut mampu untuk menembus pertahanan konstitutif dalam tubuh. Saat bakteri mengenali atau masuk ke dalam jaringan yang rentan, varietas tipe infeksi supuratif dapat terjadi. Streptococcus pyogenes memproduksi kesatuan yang luas dari faktor virulen dan menyebabkan banyak penyakit. Faktor virulen dari Streptococcus grup A meliputi: (1) protein M, protein pengikat fibronektin (Protein F) dan asam lipoteikoat untuk adheren; (2) kapsul asam hialuronat sebagai samaran imunologik dan menghambat fagositosis; protein M untuk menghambat fagositosis; (3) Invasin seperti streptokinase, streptodornase (DNAase B), hialuronidase, dan streptolisin; (4) Eksotoksin, seperti toksin pirogenik (eritrogenik) yang menyebabkan ruam dari scarlet fever dan sindrom shock toksik sistemik. Pneumonia menjadi bentuk infeksi yang tidak lazim apabila disebakan oleh mikroorganisme ini. Namun, ia terutama dapat merupakan penyakit klinis virulen. Paling sering, pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus grup A terjadi secara epidemik, pada populasi yang padat pasca suatu jangkitan ISPA. Namun, kasus sporadik juga ditemukan.

24

B.

Patogenesis dan Gambaran Klinis Streptococcus pyogenes memperlihatkan kesuksesannya sebagai patogen

karena kemampuannya dalam membentuk koloni dan dapat bermultiplikasi dengan cepat, serta menyebar dalam inang ketika menghindari fagositosis dan mengganggu sistem imun. Penyakit akut yang dihubungkan dengan Streptococcus pyogenes terjadi khususnya pada saluran pernapasan, sistem sirkulasi, atau pada kulit. Penyakit Streptokokal sering terjadi sebagai infektor pernapasan, seperti faringitis dan pneumonia yang sedang dibicarakan dalam makalah ini. Secara umum, streptokokus diisolasi dari faring dan saluran pernapasan. Sebenarnya, patogenesis pneumonia yang disebabkan oleh organisme ini serupa dengan patogenesis untuk Streptococcus pneumoniae. Pasca perubahan pada pertahanan hospes normal saluran pernapasan atas, meskipun kadang kadang merupakan akibat dari infeksi virus, organisme mencapai saluran pernapasan bawah. Permulaan gejala dan tanda adalah mendadak, dan bagi penderita biasanya sangat toksik. Produk ekstraseluler yang membantu virulensi organisme ini mempengaruhi gambaran klinik infeksi paru. Pneumonia menyebar dengan cepat dan empisema didokumentasikan sampai pada 50% kasus. Gejala klinisnya serupa dengan S. pneumonia. C. Diagnosa Penyakit Pneumonia 1) Anamnesis Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi:
a. b. c.

Bedakan lokasi infeksi: merupakan Pneumonia Komunitas Usia pasien: biasanya pada dewasa Awitan: cepat, akut dengan rusty coloured sputum. 2) Pemeriksaan fisis Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab patogenitas kuman dan tingkat beratnya penyakit:

25

a.

Awitan akut biasanya dialami oleh penderita Pneumonia yang Tanda tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan

disebabkan oleh S. pyogenes.


b.

berupa demam, dispnea, tanda tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Bentuk klasik pada Pneumonia Komunitas primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris, dan pleuropneumonia. Dapat diperoleh bentuk manisfestasi laininfeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/ hidropneumotoraks.
c.

Warna, konsistensi, dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan.

3)
a.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Radiologis

Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air bronchogram dan efusi pleura sama seperti pola yang ditimbulkan oleh S. pneumoniae.
b.
1.

Pemeriksaan Laboratorium Test Sputum Dengan melihat sampel mukus (sputum) yang dikeluarkan dari paru paru, dokter dapat melihat seberapa parah penyakit tersebut. Hanya sampel sputum yang akan menunjukkan infeksi dari mikroorganisme tersebut. Pasien diminta untuk batuk dalam sebisa mungkin (batuk yang dangkal biasanya memproduksi sputum yang hanya mengandung flora normal mulut) Beberapa pasien mungkin membutuhkan spray saline untuk membantu menghasilkan sampel yang adekuat. Para peneliti akan memeriksa sputum untuk:

Adanya darah, yang mengindikasikan adanya infeksi. Konsistensi dan warna --- seperti pada infeksi S. pneumonia.

Sampel sputum yang baik akan dikirimkan ke laboratorium untuk dianalisa keberadaan S. pyogenes dengan mengidentifikasi bakteri tersebut, baik dengan pewarnaan gram dan identifikasi ciri ciri lainnya.
2.

Test Darah Sel darah putih. Sel darah puitih yang meningkat mengindikasikan adanya

Pada test darah di bawah ini dapat ditunjukkan dengan:

infeksi.

26

Kultur darah. Kultur didapat untuk mendeteksi S. pyogenes, namun ia tidak dapat dibedakan dengan organisme berbahaya lainnya. Test ini hanya menghasilkan ketepatan sekitar 10% - 30% dari sebuah kasus.

Deteksi antibodi S. pyogenes, sama seperti S. pneumonia. Antibodi merupakan faktor imunitas yang menjadikan penyerang asing sebagai target. Namun, teknik ini juga belum tentu akurat.

Polymerase Chain Reaction (PCR). Pad beberapa kasus yang sulit, PCR dapat dilakukan. Test ini membuat salinan RNA yang banyak dari S. pyogenes, sehingga dapat dideteksi. Kriteria Minor Pneumonia

Frekuensi pernapasan lebih dari 30 kali per menit PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg Foto toraks paru menunjukkan adanya kelainan bilateral Foto toraks paru melibatkan lebih dari 2 lobus Tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg Tekanan diastolik kurang dari 60 mmHg Membutuhkan ventilasi mekanik Infiltrat bertambah lebih dari 50 % Membutuhkan vasopressor lebih dari 4 jam

Kriteria Mayor Pneumonia


Kreatinin serum lebih dari sama dengan 2 mg/dl; atau, peningkatan

lebih dari sama dengan 2 mg/dl pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis Pengobatan Pneumonia Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya. Karena beberapa alasan, yaitu:

Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa Bakteri patogen yang berhasil di isolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

27

Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu, maka pemberian antibiotika dilakukan secara empiris.

Untuk Penisilin Sensitif Streptococcus pyogenes (PSSP), dapat diberikan:


Golongan penisilin TMP-SMZ Makrolid Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) Sefotaksim, Sefriakson dosis tinggi Makrolid baru dosis tinggi Fluorokuinolon respirasi

Untuk Penisilin Resisten Streptococcus pyogenes (PRSP), dapat diberikan:


28

BAB III PENUTUP


III.1. KESIMPULAN Pneumonia bakteria merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang organ paru. Penyebab infeksi ini karena sistem imun yang lemah sehingga bakteri dengan mudah masuk dalam tubuh. Sistem imun yang lemah ini salah satunya disebabkan oleh gaya hidup yang yang buruk seperti minum alkohol dan merokok. Pengobatan masih belum efektif dan optimal karena bakteri sudah resisten terhadap antibiotik tertentu. Pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan gaya hidup yang baik.

28

DAFTAR PUSTAKA Shulman, dkk. Penyakit Infeksi Edisi Keempat. 1994. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Syahrurachman, Agus, dkk. Mikrobiologi Kedokteran edisi revisi. 1994. Jakarta : Binarupa Aksara http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06PenatalaksaanPneumona101.pdf/06PenatalaksaanPneum ona101.pdf http://pedbase.org/index.html http://www.pppl.depkes.go.id www.klinikmedis.com www.medicastore.com

29

You might also like