You are on page 1of 35

BAB I PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 3,7 perseribu penderita pertahun.2 Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung. (Santoso, 2007) Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan gagal jantung adalah penyakit jantung rematik. Penyakit jantung rematik (PJR) eksaserbasi akut adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptokokus hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum. Penyakit Jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. (Siregar, 2008) Demam rematik terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi. Jauh sebelum T. Duckett Jones pada tahun 1944 mengemukakan criteria Jones untuk menegakkan diagnosis demam rematik, beberapa tulisan sejak awal abad ke 17 telah melaporkan mengenai gejala penyakit tersebut. Epidemiologis dari Perancis de Baillou adalah yang pertama menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari gout dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan korea, tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761 Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan adanya kelainan katup pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinya stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886

dan 1889 Walter Butletcheadle mengemukakan rheumatic fever syndrome yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung, korea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang ditemui yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptokokus grup A dengan demam rematik dan secara perlahanlahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya. Pada tahun 1944 Jones mengemukakan suatu kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik. Kriteria ini masih digunakan sampai saat ini untuk menegakkan diagnosis dan telah beberapa mengalami modifikasi dan revisi, karena dirasakan masih mempunyai kelemahan untuk menegakkan diagnosis secara tepat, akurat dan cepat. (Siregar, 2008) Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kardiologi, tetapi demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan problem karena merupakan penyebab kelainan katup yang terbanyak terutama pada anak. Sampai saat ini demam rematik belum dapat dihapuskan, walaupun kemajuan dalam penelitian dan penggunaan antibiotika terhadap penyakit infeksi begitu maju. Demam rematik dan pernyakit jantung rematik masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan didunia, termasuk Indonesia. Dinegara maju dalam lima tahun terakhir ini terlihat insidens demam rematik dan prevalens penyakit jantung rematik menurun, tetapi sampai permulaan abad ke-21 ini masih tetap merupakan problem medik dan public health didunia karena mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia yang produktif. (Siregar, 2008) Sekuele demam rematik pada katup jantung yang menimbulkan kerusakan katup jantung menghabiskan biaya yang sangat besar. Untuk penanganannya memerlukan sarana, prasarana dan tenaga trampil yang handal sehingga memerlukan biaya yang sangat besar. Penanganan yang tidak sempurna menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian bagi penderitanya, dan penanganan yang sempurna memerlukan biaya yang besar dan waktu yang terus menerus sepanjang usia penderitanya. (Siregar, 2008)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A.Gagal Jantung 1. Definisi Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. (Santoso, 2007) Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. (Sudoyo, 2006) Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah ke tubuh jaringan untuk memenuhi atau kebutuhan metabolisme (forward failure),

kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau keduanya. (Harimurti, 1996) 2. Etiologi Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. (Santoso, 2007)

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi infark ventrikel kiri serta dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya miokard, memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. (Santoso, 2007) Kardiomiopati juga dapat menyebabkan gagal jantung. Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. (Santoso, 2007) Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). (Santoso, 2007) Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. (Santoso, 2007)

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). (Santoso, 2007) 3. Klasifikasi Gagal Jantung a. Gagal Jantung Sistolik Dan Diastolik Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatigue, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolic didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. (Sudoyo, 2006) b. Low Output Dan High Output Heart Failure Low output Heart Failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. High Output Heart Failure ditemukan pada resistensi vascular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula AV, bari-beri, dan penyakit Paget. (Sudoyo, 2006) c. Gagal Jantung Akut Dan Kronik Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma, dan infark miokard luas. Curah jantung yang menurunsecara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contoh Gagal Jantung kronis adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangan mencolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik. (Sudoyo, 2006) d. Gagal Jantung Kanan Dan Kiri

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya hipertensi kronik melemahkan terjadi ventrikel kongesti kanan vena seperti sistemik pada paru yang pulmonal primer/sekunder, tromboemboli

sehingga

menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. (Sudoyo, 2006) Beberapa sistem klasifikasi lain juga telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Stevenson dan NYHA. (Santoso, 2007) Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan pembagian (Santoso, 2007): Derajat I : tanpa gagal jantung Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _

90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis) Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien

yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu (Santoso, 2007):
Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm) Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm) Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold) Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold)

4. Patofisiologi Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. (Santoso, 2007): Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. (Santoso, 2007): Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. (Santoso, 2007):

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. (Santoso, 2007): Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. (Santoso, 2007): Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. (Santoso, 2007): Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. (Santoso, 2007): 5. Diagnosis Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai. Untuk gagal jantung kongestif, diagnosis dapat ditegakkan jika

memiliki minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor pada kriteria Framingham. (Sudoyo, 2006) Kriteria Mayor (Sudoyo, 2006): Paroksismal Nocturnal Dispnea Distensi Vena Leher Ronki Paru Kardiomegali Edema Paru Akut Gallop S3 Peninggian tekanan vena jugularis Refluks Hepatojugular Edema Ekstremitas Batuk malam hari Dispnea deffort Hepatomegali Efusi Pleura Penurunan Kapasitas Vital dari normal Takikardia (>120x/menit) Pemeriksaan 12 lead, penunjang yang dapat dikerjakan untuk

Kriteria Minor (Sudoyo, 2006):

mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru. (Sudoyo, 2006) Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), dan gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal. Bila tekanan vena pulmonal lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan. (Sudoyo, 2006)

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi atrium. (Sudoyo, 2006) Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli. (Sudoyo, 2006) Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, serta dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar komplikasi.

Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan untuk mengetahui adanya gangguan ginjal. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi timbul kalium pada dan gagal obat potassium berat sparring. dengan Hiperkalemia jantung

penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. (Sudoyo, 2006) Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi yang ventrikel global kiri dapat mengetahui serta gangguan fungsi maupun segmental

mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure. (Sudoyo, 2006) 6. Terapi Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan farmakologis, jantung. Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna katup prostesis. (Sudoyo, 2006; Susanto, 2007) Obat obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain: diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors blocker (carvedilol, bisoprolol, secara keduanya non farmakologis karena dan akan secara saling dibutuhkan

melengkapi untuk penatalaksaan paripurna penderita gagal

metoprolol),

digoxin,

spironolakton,

vasodilator

(hydralazine/nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik. Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. (Sudoyo, 2006) Gagal termasuk jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. (Sudoyo, 2006) Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter. (Sudoyo, 2006) Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasodilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan. (Sudoyo, 2006) Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat

menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan. (Sudoyo, 2006) Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjaid keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah toleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam. (Sudoyo, 2006) Pemberian 5 g/kg/mnt 5 dopamin _ 2 g/kg/mnt reseptor akan menyebabkan beta vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 akan 15 merangsang g/kg/mnt adrenergik sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik _1 dan _2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. meningkatkan Dosis curah umumnya jantung 2 3 g/kg/mnt, dosis 2,5 untuk 15 diperlukan

g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt. (Sudoyo, 2006) Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan

hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. intravena Tekanan darah diturunkan natagonis dengan kalsium menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside maupun intravena(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus diterapi. (Sudoyo, 2006) Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik. (Gibbs,2000)
B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik

1. Definisi

Demam rematik (rheumatic fever = RF) : suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas. (Sudoyo, 2006) Penyakit jantung rematik (rheumatic heart disease = RHD) : suatu keadaan dimana katup jantung mengalami kerusakan akibat demam rematik (Chin, 2006). 2. Etiologi Infeksi Streptococcus beta-hemoliticus grup A. Streptococcus -hemolyticus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok serologis berdasarkan antigen polisakarida dinding sel. Kelompok serologis grup A (Streptococcus pyogenes) bertanggung jawab terhadap sebagian besar infeksi pada manusia. Hanya faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus grup A yang dihubungkan dengan etiopatogenesis demam rematik dan penyakit jantung rematik. Streptococcus grup A merupakan kuman utama penyebab faringitis, dengan puncak insiden pada anak-anak usia 5 -15 tahun. (Binotto, 2002)

Gambar. Streptococcus 3. Patofisiologi Hubungan antara infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dan perkembangan penyakit jantung rematik telah dipastikan. PJR adalah respon imun yang tertunda terhadap faringitis yang disebabkan Streptococcus grup A dan manifestasi klinis pada individu ditentukan oleh kerentanan host, genetik, virulensi dari kuman, dan lingkungan yang kondusif. Meskipun Rheumatic Fever

telah dinyatakan sebagai penyakit autoimun, mekanisme pathogenesis yang tepat belum dapat dijelaskan. Bukti baru menunjukkan bahwa limfosit T memainkan peran penting dalam patogenesis PJR. Sebuah postulat juga manyatakan bahwa Streptococcus grup A M types bersifat potensial reumatogenik. Serotipe tersebut biasanya sangat bersimpai, dan berukuran besar, koloni berlendir yang kaya Mprotein. Karakteristik ini meningkatkan kemampuan bakteri untuk melekat ke jaringan, serta untuk melawan fagositosis pada host manusia. (Siregar, 2008) M-protein adalah salah satu cara terbaik untuk menentukan virulensi bakteri. Mprotein terdapat pada permukaan sel kuman sebagai alphahelical coiled coil dimer, dan memiliki struktur yang homolog dengan miosin jantung dan molekul alphahelical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin, dan laminin. Disimpulkan bahwa homologi ini bertanggung jawab pada proses patologis PJR. Laminin adalah protein matriks ekstraselular yang disekresi oleh sel endotelial yang melapisi katup jantung and merupakan struktur katup. Laminin juga merupakan target untuk antibodi polireaktif yang mengenali protein M, miosin. (Siregar, 2008) Superantigen adalah glikoprotein yang disintesis oleh bakteri dan virus yang menstimulasi pengikatan antigen, sehingga terjadi pelepasan sitokin atau limfosit T teraktivasi menjadi sel sititoksik. Pada kasus PJR, proses terjadi terutama pada aktivitas superantigen-like dari fragmen protein M (PeP M5). Aktivasi superantigen tidak terbatas pada sel T saja. Toksin eritrogenik Streptococcus juga berperan sebagai superantigen terhadap sel B, menyebabkan produksi antibodi autoreaktif. Aktivitas dari GRAB (alpha-2 macroglobulin-binding protein) yang dihasilkan oleh Streptococcus pyogenes, streptococcal fibronectinbinding protein 1 (sfb1), yang memediasi perlekatan dan invasi kuman ke sel epitel manusia, streptococcal C5a peptidase (SCPA), yang mengaktivasi komplemen C5a dan membantu perlekatan kuman pada jaringan, semuanya itu berperan dalapatogenesis PJR. Peran host dalam perkembangan demam rematik dan penyakit jantung reumatik Penelitian Pedigree menyatakan bahwa respon kekebalan dikendalikan secara genetik, dengan responsivitas tinggi terhadap

antigen dinding sel Streptococcus yang diwariskan melalui gen resesif tunggal, dan respon yang rendah melalui gen dominan tunggal. (Siregar, 2008) Infeksi oleh Streptococcus dimulai dengan pengikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik pada sel inang, dan kemudian melibatkan kolonisasi dan invasi. Pengikatan permukaan bakteri reseptor peristiwa permukaan sel host merupakan yang paling penting dalam kolonisasi, dan peristiwa ini diperantarai oleh fibronektin dan oleh protein pengikat fibronektin kuman. asam lipoteichoic dan protein M juga memainkan peran penting dalam perlekatan bakteri. Respon host terhadap infeksi Streptococcus meliputi produksi antibodi tipe spesifik, opsonisasi dan fagositosis. (Siregar, 2008)

Gambar. Proses Infeksi oleh S.Pyogenes

4. Manifestasi

a. Manifestasi Demam Rematik Yang Berhubungan Dengan Jantung


1)

Pancarditis adalah komplikasi kedua tersering pada demam rematik (50%)

dan merupakan komplikasi yang serius. Pasien mengeluh dyspnea, rasa tidak nyaman pada dada dari ringan hingga sedang, pleuritic chest pain, edema, batuk, atau orthopnea. Pada pemeriksaan fisik, carditis dapat dideteksi dengan terdengarnya murmur yang sebelumnya tidak ada dan takikardia yang tidak berhubungan dengan demam. Murmur baru atau berubahnya bunyi murmur berhubungan dengan terjadinya rheumatic valvulitis. Gejala yang berasal dari jantung meliputi gejala gagal jantung dan pericarditis. Terdengarnya murmur pada demam rematik akut berhubungan dengan insufisiensi katup. Murmur yang dapat terdengar pada demam rematik akut adalah (Fauci, 2008):

Apical pansystolic murmur, dengan karakteristik bernada tinggi,

blowingquality murmur yang disebabkan oleh regurgitasi mitral. Bunyi murmur ini tidak dipengaruhi oleh respirasi atau posisi pasien.

Apical diastolic murmur, juga dikenal dengan Carey-Coombs

murmur. Mekanisme dari murmur ini adalah terjadinya mitral stenosis, yang disebabkan karena volume yang sangat besar saat pengisian ventrikel dikarenakan aliran regurgitasi dari katup mitral. Murmur ini dapat terdengar lebih jelas dengan menggunakan sisi bel dari stetoskop dan pada saat pasien dengan posisi miring ke kiri dan pasien menahan napas saat ekspirasi.

Basal diastolic murmur, adalah murmur awal diastolic dari aorta, dengan karakteristik murmur bernada tinggi,

regurgitasi

decrescendo, terdengar lebih jelas pada bagian kanan atas dan midsternal pada ekspirasi dalam. 2) Gagal jantung kongestif Gagal jantung dapat terjadi sekunder karena insufisiensi katup yang berat atau myocarditis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda gagal jantung seperti takipnoe, orthopnea, peningkatan JVP, ronchi basah karena edema paru, gallop, edema pada ekstremitas (Fauci, 2008).

3)

Pericarditis Terdengarnya pericardial friction rub menandakan terdapatnya

pericarditis. Meningkatnya bunyi dull pada perkusi jantung, ictus cordis yang tidak terlihat, dan terdengarnya bunyi jantung yang lebih teredam dapat menunjukkan terdapatnya pericarditis. Pada keadaan darurat, jika terdapat efusi pericardial dilakukan pericardiocentesis (Fauci, 2008). b. Manifestasi Demam Rematik Yang Tidak Berhubungan Dengan Jantung Gejala noncardiac termasuk polyarthritis, chorea, erythema marginatum, dan nodul subkutan, selain itu nyeri abdomen, arthralgia, epistaksis, demam juga dapat didapatkan. 1) Polyarthritis Gejala yang sering dan gejala awal yang didapatkan pada demam rematik akut (pada 70-75% pasien). Karakteristik dari arthritis adalah biasanya dimulai dari sendi-sendi besar di ekstremitas bagian bawah (lutut dan pergelangan kaki), yang kemudian menjalar ke sendi-sendi besar lainnya di ekstremitas atas (siku dan pergelangan tangan). Terdapat nyeri pada sendi yang terkena, bengkak, hangat, kemerahan pada kulit karena proses inflamasi dan didapatkan keterbatasan gerak pada sendi yang terkena. Arthritis ini mencapai nyeri maksimal pada 12-24 jam, yang menetap selama 2-6 hari (sangat jarang nyeri bertahan lebih dari 3 minggu), nyeri akan berkurang dengan pemberian aspirin (Fauci, 2008). 2) Sydenham chorea Gejala ini terjadi pada 10-30% pasien dengan demam rematik. Keluhan pasien adalah kesulitan dalam menulis, gerakan-gerakan wajah, tangan dan kaki tanpa tujuan, kelemahan yang menyeluruh, dan emosional yang labil. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hyperextended joints, hipotonia, fasikulasi lidah, dan gerakan tidak bertujuan. Gejala ini akan mengalami resolusi dalam 1-2 minggu dan akan sembuh sempurna dalam 2-3 bulan. (Fauci, 2008) 3) Erythema marginatum Gejala ini ditemukan pada kira-kira 5% pasien demam rematik, berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal. Lesi eritematous

dengan warna pucat pada bagian tengah dan disekelilingnya, dengan tepi yang bergelombang. (Fauci, 2008)

Gambar 2.3 Erythema marginatum (Binotto, 2002)


4) Subcutaneous nodules terjadi pada 0-8% pasien dengan demam rematik. Jika

terdapat nodul, maka nodul didapatkan pada daerah siku, lutut, pergelangan kaki dan pergelangan tangan, prosesus spinosus dari vertebra. Nodul ini teraba keras, ukuran 1-2 cm, tidak melekat pada jaringan sekitarnya, dan tidak ada nyeri tekan. Nodul subkutan terjadi beberapa minggu dan mengalami resolusi dalam satu bulan. Nodul ini sangat berhubungan dengan rematik carditis, jika pada pasien tidak didapatkan gejala carditis, maka terdapatnya nodul subkutan harus dipikirkan kemungkinan lain. (Fauci, 2008) c. Manifestasi Penyakit Jantung Rematik Kelainan katup, tromboembolisme, dan atrial aritmia adalah gejala yang sering didapatkan. (Fauci, 2008) 1) Stenosis mitral terjadi pada 25% pasien dengan penyakit jantung rematik, mitral regurgitasi juga dapat terjadi pada penyakit jantung rematik. 2) Stenosis aorta pada penyakit jantung rematik berhubungan dengan aorta insufisiensi. Pada saat auskultasi, dapat hanya terdengar bunyi S2 saja, karena katup aorta menjadi tidak dapat bergerak sehingga tidak memproduksi suara saat katup menutup. Murmur sistolik dan murmur diastolic karena stenosis katup aorta dan insufisiensi katup dapat terdengar lebih jelas pada basis jantung. 3) Aorta regurgitasi

4) Fibrosis (penebalan dan kalsifikasi katup) dapat terjadi yang disebabkan

karena pelebaran dari atrium kiri dan terdapatnya thrombus pada ruangan jantung tersebut. Pada auskultasi, S1 terdengar meningkat tetapi akan meredup jika penebalan katup semakin parah. P2 akan meningkat, dan didapatkan splitting dari S2 dan bunyinya terdengar menurun jika terjadi pulmonary hypertension.
5) Thromboembolism terjadi sebagai akibat komplikasi dari mitral stenosis.

Terjadi karena atrium kiri berdilatasi, cardiac output menurun, dan pasien dengan atrial fibrilasi. Kejadian thromboembolism dapat menurun dengan pemberian antikoagulan. 6) Aritmia atrial berhubungan dengan pelebaran dari atrium kiri (karena kelainan katup mitral). 5. Diagnosis Diagnosis penyakit jantung rematik dapat ditegakkan setelah diagnosis demam rematik ditegakkan. Kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik adalah Kriteria Jones. Kriteria Jones dikatakan positif jika didapatkan minimal 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor. (Parillo, 2010) Gejala mayor : Carditis Polyarthritis Chorea Nodul subkutan Erythema marginatum Demam Arthralgia Riwayat pernah menderita demam rematik / penyakit jantung rematik Terdapat peningkatan protein fase akut PR interval memanjang pada EKG C-reaktif protein positif

Gejala minor :

Lekositosis Peningkatan titer streptococcal antibody Kriteria untuk menegakkan diagnosis tersebut tidak absolut, sebab diagnosis

dari demam rematik dapat ditegakkan pada pasien dengan gejala chorea saja dan diperoleh group A streptococcal pada pemeriksaan. Setelah diagnosis demam rematik ditegakkan, jika didapatkan gejala gagal jantung seperti sesak napas, intoleransi terhadap latihan, takikardia merupakan indikasi telah terjadinya carditis dan penyakit jantung rematik. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan demam rematik didapatkan gejala yang berhubungan dengan jantung (cardiac symptoms) dan gejala yang tidak berhubungan dengan jantung (noncardiac symptoms). Pada beberapa pasien, manifestasi klinik dari jantung baru tampak pada keadaan penyakit jantung rematik kronis. (Parillo, 2010) Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain: Kultur tenggorok Dengan hapusan tenggorok membantu dalam menegakkan pada saat akut. Biasanya kultur sebab kemungkinan akibat

Streptococcus Grup A negatif pada fase akut. Bila positif belum pasti diagnosis kekambuhan kuman Streptococcus Grup A atau infeksi Streptococcus dengan strain yang lain. (Fauci, 2008) Rapid antigen test Pemeriksaan antigen dari Streptococcal Grup A. Pemeriksaan ini memiliki angka spesifitas lebih besar dari 95%, tetapi sensitivitas hanya 6090%, sehingga pemeriksaan kultur tenggorok sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis. (Fauci, 2008) Antistreptococcal antibodi Antibodi Streptococcus lebih dapat menjelaskan adanya infeksi oleh kuman tersebut, dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti-DNA sel B. Terbentuknya antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak. Pemeriksaan titer ASTO memiliki sensitivitas 80-85%. Titer pada DNA-se 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd pada anak-anak

dikatakan positif. Pemeriksaan anti DNAse B lebih sensitive (90%). Antobodi ini dapat dideteksi pada minggu kedua sampai ketiga setelah fase akut demam rematik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman Streptococcus Grup A di tenggorokan. (Fauci, 2008) Protein fase akut Pada fase akut dapat ditemukan lekositosis, LED yang meningkat, C reactive protein positif; yang selalu positif pada saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat antirematik. (Fauci, 2008)

Pemeriksaan Imaging (Fauci, 2008) a) b) Pada foto rontgen thorax dapat ditemukan adanya cardiomegali Doppler-echocardiogram dan edema paru yang merupakan gejala gagal jantung. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan katup dan ada tidaknya disfungsi ventrikel. Pada keadaan carditis ringan, mitral regurgitasi dapat ditemukan saat fase akut, yang kemudian akan mengalami resolusi dalam beberpa minggu sampai bulan. Pasien dengan carditis sedang sampai berat mengalami mitral dan atau aorta regurgitasi yang menetap. Pada penyakit jantung rematik kronik, pemeriksaan ini digunakan untuk melihat progresivitas dari stenosis katup, dan dapat juga untuk menentukan kapan dilakukan intervensi pembedahan. Didapatkan gambaran katup yang menebal, fusi dari commisurae dan chordae tendineae. Peningkatan echodensitas dari katup mitral dapat menunjukkan adanya kalsifikasi. c) Kateterisasi jantung Pada penyakit jantung rematik akut, pemeriksaan ini tidak diindikasikan. Pada kasus kronik, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi katup mitral dan aorta dan untuk melakukan balloon pada mitral stenosis. d) EKG Pada panyakit jantung rematik akut, sinus takikardia dapat diperoleh:

Gambar Sinus Takikardia AV block derajat I dapat diperoleh pada beberapa pasien, didapatkan gambaran PR interval memanjang. AV block derajat I tidak spesifik sehingga tidak digunakan untuk mendiagnosis penyakit jantung rematik. Jika didapatkan AV block tidak berhubungan dengan adanya penyakit jantung rematik yang kronis. AV block derajat II dan III juga dapat didapatkan pada penyakit jantung rematik, block ini biasanya mengalami resolusi saat proses rematik berhenti.

Gambar 2.6 AV Block derajat I

Gambar 2.7 AV Block derajat II Type I

Gambar 2.8 AV Block derajat II Type II

Gambar 2.9 AV Block derajat III

Pasien dengan penyakit jantung rematik juga dapat terjadi atrial flutter atau atrial fibrilasi yang disebabkan kelainan katup mitral yang kronis dan dilatasi atrium.

Gambar 2.10 Atrial Flutter 6. Terapi

Gambar 2.11 Atrial Fibrilasi

Penatalaksanaan demam rematik akut ataupun yang reaktifasi adalah sebagai berikut: (Parillo, 2010; Meador 2009; Ganesja harimurti, 1996): a. Tirah baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi jantung.
b. Eradikasi terhadap Streptococcus dengan pemberian antibiotik dengan drug of

choice (DOC) adalah antibiotik golongan penisilin. c. Untuk peradangan dan rasa nyeri yang terjadi dapat diberikan salisilat, obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) ataupun kortikosteroid. 7. Kelainan Katup pada Penyakit Jantung Rematik

Kelainan katup yang terjadi pada penyakit jantung rematik meliputi: mitral stenosis, mitral regurgitasi, aorta stenosis, dan aorta regurgitasi. a. Mitral Stenosis Gambaran klinis stenosis mitral ditentukan oleh tekanan atrium kiri, curah jantung dan resistensi vaskular paru. Peningkatan tekanan atrium kiri dan penurunan compliance paru menyebabkan sesak napas, awalnya sesak hanya terjadi bila denyut jantung meningkat, tetapi jika derajat keparahan lesi meningkat pasien menjadi ortopnoe. Sebelum onset dispnoe paroksismal, batuk nocturnal mungkin merupakan satu-satunya gejala peningkatan tekanan atrium kiri. Tekanan arteri pulmonalis meningkat paralel dengan peningkatan tekanan atrium kiri, pada pasien dengan stenosis mitral berat peningkatan tekanan arteri pulmonalis tidak proporsional disebut sebagai hipertensi paru reaktif. Gejala stenosis mitral (Gray H, 2005) : Rasa lelah Sesak napas Ortopnoe Dispnoe nocturnal Palpitasi (fibrilasi atrium) Pada pemeriksaan fisik stenosis mitral didapatkan bunyi S1 yang mengeras. Tegangan mendadak pada katup mitral karena apparatus subvalvar daun katup mitral dan penghentian mendadak pergerakan ke bawah katup mitral menyebabkan opening snap nada tinggi pada awal diastole. Murmur rumbling diastolic nada rendah sering terlokalisasi di apeks atau aksila; durasinya pendek bila lesi katup ringan. Durasi murmur berkaitan dengan keparahan lesi. Gambaran fisik lain termasuk tanda edema paru (ronchi paru basal), retensi cairan, kongesti hepar, dan regurgitasi tricuspid. (Gray H, 2005) Pemeriksaan penunjang pada pasien stenosis mitral dapat dinilai secara noninvasive namun kadang diperlukan kateterisasi jantung. Gambaran stenosis mitral pada EKG tidak spesifik. Pada stenosis mitral murni, ukuran jantung pada foto thorax normal. Pada mitral stenosis dan irama sinus, gelombang P dapat menunjukkan adanya pembesaran dari atrium kiri. Gelombang P ini dapat

menjadi tinggi pada lead II, tegak pada V1 pada saat hipertensi pulmonal atau tricuspid stenosis terjadi sebagai komplikasinya dan atrium kanan membesar. Kompleks QRS normal, pada kasus hipertensi pulmonal, dapat terjadi deviasi ke kanan dan hipertofi ventrikel kanan dapat terjadi (Fauci, 2008). Ekokardiografi dikombinasikan dengan pemeriksaan Doppler merupakan pemeriksaan yang paling berguna. Ekokardiografi dapat dengan baik menentukan apakah prosedur konservatif (valvotomi atau perbaikan katup dapat dilakukan). Pemeriksaan dengan kateterisasi jantung terbatas pada pasien tertentu, misalnya untuk menggambarkan anatomi koroner dan tidak sebagai keharusan sebelum pembedahan katup mitral (Gray H, 2005).

Gambar Stenosis Mitral Pada pasien yang bergejala, restriksi dari natrium dilakukan, juga diberikan diuretik oral. Pemberian digitalis sebenarnya tidak ada keuntungan pada pasien dengan mitral stenosis, tetapi pemberian obat ini dapat menurunkan ventricular rate pada pasien dengan atrial fibrilasi. Pemberian beta blocker dan CCB nondihydropyridine (verapamil atau diltiazem) dilakukan, dilakukan pemberian warfarin pada pasien dengan atrial fibrilasi dan riwayat tromboembolisme (Fauci, 2008). Pasien dengan stenosis mitral bermakna, terutama jika terdapat pembesaran atrium kiri yang terlihat dengan ekokardiografi membutuhkan antikoagulasi dengan warfarin, sebab pada pasien dengan fibrilasi atrium karena penyakit jantung rematik terdapat peningkatan risiko stroke akibat tromboemboli sistemik sebesar 15-20 kali (Gray H, 2005).

Terapi pada kelainan katup jantung antara lain (Fauci, 2008):


Mitral valve repair

Perbaikan katup ini biasanya dilakukan pada defek kongenital katup. Mitral Valvotomy Jika tidak ada kontraindikasi lain, pasien dengan NYHA Class II-IV yang memiliki mitral stenosis (orifice pada katup mitral < 1.0 cm2/m2 body surface area atau <1.5 cm2 pada dewasa) dapat dilakukan mitral valvotomy. Mitral valvotomy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu PMBV dan valvotomy pembedahan. Kesuksesan dari valvotomy didefinisikan jika terjadi pelebaran katup mitral dua kali dari awal, perbaikan hemodinamik, berkurangnya gejala. Pada pasien dengan sistemik embolisasi atau hipertensi pulmonal yang berat, pasien yang asimtomatik, atau stenosis derajat ringan (area katup mitral >1.5cm2) , valvotomy tidak disarankan.
Mitral valve replacement (MVR)

MVR ini diperlukan pada pasien dengan orifice katup 1 cm2, pasien dengan NYHA Class III. Angka ketahanan hidup untuk 10 tahun adalah 70%. Penggantian katup mitral dengan prosthesis ini diperlukan pada pasien dengan mitral stenosis dan biasanya telah terjadi juga mitral regurgitasi, atau pada pasien dengan katup mitral yang telah rusak diakibatkan karena transkateter sebelumnya atau operasi sebelumnya. Prognosis menjadi lebih buruk pada pasien usia tua, cardiac output menurun pada perioperatif, hipertensi pulmonal, disfungsi ventrikel kanan (Fauci, 2008). Komplikasi tromboemboli dengan katup mekanik terjadi dengan laju 3-5% per pasien per tahun follow up (Gray H, 2005). b. Mitral Regurgitasi Gejala klinik mitral regurgitasi (Gray H, 2005):
Pasien dengan mitral regurgitasi kronik derajat ringan-sedang biasanya

asimtomatik, hal ini dikarenakan adanya overload darah di ventrikel kiri ditoleransi dengan baik.

Fatigue, dyspnoe deffort, orthopnea, dan palpitasi merupakan gejala yang

sering ditemukan pada pasien dengan mitral regurgitasi kronik yang berat. Palpitasi dapat merupakan gejala awal dari atrial fibrilasi. Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain (Gray H, 2005): Tekanan arteri biasanya normal.
Pada apex jantung dapat dirasakan adanya systolic thrill.

Iktus kordis mengalami lateralisasi. Pada auskultasi dapat ditemukan (Gray H, 2005):
S1 secara general tidak terdengar, lembut, ataupun tertutup suara murmur

holosystolic.
Katup aorta dapat menutup secara prematur yang menyebabkan splitting

yang lebar pada S2.


S3 nada rendah terdengar sekitar 0.12-0.17 detik setelah suara katup aorta

menutup.
Dapat ditemukan adanya middiastolic murmur. Murmur holosistolik sedikitnya pada derajat III/VI adalah karakteristik

utama pada auskutasi mitral regurgitasi kronik yang berat. biasanya paling terdengar pada bagian axilla yang menjalar ke arah axilla Penatalaksanaan yang diperlukan antara lain (Fauci, 2008): Medikamentosa Warfarin dapat diberikan bila terdapat atrial fibrilasi dengan target INR 2-3. Bila terdapat tanda-tanda kegagalan jantung dapat digunakan diuretik, blockers, ACE inhibitors ataupun digitalis. Terapi pembedahan Pembedahan pada pasien dengan regurgitasi katup mitral kronik yang berat dapat dibedakan antara rekontruksi perbaikan (repair) katup dan penggantian (replacement) katup. Rekonstruksi katup menggunakan teknik valvuloplasti untuk memperbaiki katup yang bermasalah dengan menginsersikan cincin annuloplasty, rekontruksi katup memberikan efek samping jangka panjang seperti tromboemboli dan perdarahan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penggantian katup.

Indikasi dilakukannya pembedahan katup mitral adalah adanya NYHA kelas III dan IV, atrial fibrilasi yang sering berulang, hipertensi pulmonal (tekanan arteri pulmonaris 50 mmHg saat istirahat atau 60 mmHg saat beraktivitas). Juga pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang progresif dangan LVEF kurang dari 60% dan atau end-systolic cavity dimension pada echocardiography meningkat sekitar 40mm (Fauci, 2008). c. Stenosis aorta Gejala klinis pada stenosis aorta biasanya asimtomatik, gejala baru muncul bila ukuran orifisium sudah mengecil secara signifikan yaitu < 1 cm2. Pasien mengeluh kelelahan dan sesak napas yang progresif menyebabkan keterbatasan aktivitas. Terdapat Trias gejala klasik : nyeri dada, sinkop eksersional, sesak napas. Pada stadium lanjut timbul sianosis perifer, cachexia, kelemahan. Terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri : ortopnu, sesak napas nocturnal paroksismal, edema pulmonal. (Fauci, 2008) Pada pemeriksaan fisik ditemukan: (Fauci, 2008)
Tekanan denyut kecil dengan peningkatan perlahan akibat ejeksi yang

memanjang dinilai dengan palpasi A.karotis atau A.brakialis. Intensitas bunyi jantung kedua aorta menurunakibat rigiditas katup aorta (A2) Bunyi jantung ke empat (S4) akibat peningkatan tekanan atrium kiri
Murmur ejeksi dimulai sesudah bunyi jantung satu (S1) dan berakhir

sebelum bunyi jantung kedua (S2). Baik intensitas maupun panjang murmur tidak terkait dengan keparahan lesi katup.
Thrill sistolik dapat teraba di basis, incisura suprasternal dan A.karotis

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: (Fauci, 2008) EKG Bila terdapat stenosis aorta berat terdapat hipertrofi ventrikrl kiri. Terdapat depresi segmen ST dan gelombang T inversi di sadapan 1 dan aVL dan sadapan prekordial kiri. Ekokardiogram

Kunci penemuannya adalah hipertrofi ventrikel kiri, dan pada pasien dengan kalsifikasi katup multipel, tebal, ekoik dibandingkan katup. Stenosis aorta berat dapat diperkirakan dengan doppler dengan aliran transaorta dengan luas orifisium < 1 cm2. Stenosis sedang ditentukan dengan luas orifisium 1-1,5 cm2, dan stenosis ringan luas orifosium 1,5-2 cm2. Dilatasi ventrikel kiri dan penurunan sistolik mencerminkan penurunan fungsi ventrikel kiri. Foto rontgen toraks Akibat stenosis aorta terjadi hipertrofi konsentrik tanpa dilatasi, sehingga radiologi menunjukan gambaran dalam batas normal. Akibat adanya stenosis aorta jangka panjang terjadi dilatasi post stenosis pada aorta ascenden. Kalsifikasi katup aorta tidak dapat diidentifikasi dengan foto polos dan biasanya diidentifikasi dengan fluoroskopi. Kalsifikasi hanya dapat dilihat dengan posisi lateral atau obliq

Angiografi

koroner

diindikasikan

untuk

mendeteksi

atau

menyingkirkan CAD pada pasien > 45 tahun dengan stenosis berat yang dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. Pada pasien dengan stenosis berat, harus dilakukan pembatasan aktivitas berat, pencegahan dehidrasi dan hipovolemia untuk mencegah penurunan cardiac output (CO). Terapi farmakologis yang digunakan sama seperti untuk pengobatan hipertensi atau CAD, yaitu beta bloker, ACE inhibitor, aman untuk pasien asimtomatis dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik. Nitrogliserin membantu meredakan angina pektoris. (Sipton, 2001) Pasien asimtomatis dengan stenosis dan obstruksi berat harus dimonitor perkembangan gejalanya dengan elektrokardiogram serial untuk memonitor fungsi ventrikel kiri. Operasi diindikasikan pada : (Shipton, 2001)
-

pasien dengan stenosis berat (< 1 cm2) yang simtomatis, yang mengalami aneurisma atau dilatasi aorta walaupun asimtomatis pasien dengan gagal jantung, angina, dan sinkop eksersional dengan

disfungsi ventrikel kiri (ejeksi fraksi , 50%) -

stenosis yang signifikan (Fauci, 2008).

Penggantian katup aorta diindikasikan pada :


-

perempuan usia reproduksi / manula (>70 tahun) dimana penggunaan

antikoagulan tidak diinginkan. d. Regurgitasi aorta Pada anamnesis dikeluhkan kelelahan, sesak napas, ortpnoe, sesak malam hari, keterbatasan aktivitas. (Shipton, 2001) Pada pemeriksaan fisik didapatkan (Fauci, 2008) : - Tekanan nadi yang lebar - Denyut apeks aktif, hiperdinamik, sering bergeser ke lateral
-

murmur awal diastolik, dimulai segera sesudah A2 terdengar pada batas

sternal kiri dan basis. Derajat keparahan lebih digambarkan oleh panjang murmur daripada keras murmur. - Murmur mid-diastolik (murmur austin-flint) regurgitasi aorta berat - EKG Pada regurgitasi aorta akut : normal Pada regurgutasi aorta kronis : gambaran hipertrofi ventrikel kiri, yaitu depresi segmen ST dan gelombang T terbalik di sadapan I, aVL, V5 dan V6. Left axis deviation, pelebaran kompleks QRS, biasanya berhubungan dengan fibrosis, berhubungan dengan prognosis yang buruk. - Foto Rontgen Foto rontgen toraks : dilatasi ventrikel kiri Potongan frontal : apeks terdorong ke bawah dan ke kiri LLDdan lateral : ventrikel kiri terdorong ke belakang dan menempel ke vertebra.
- Ekokardiografi

Pemeriksaan penunjang yang ditemukan antara lain (Fauci, 2008):

Pergerakan dinding jantung bisa normal sampai terjadi penurunan kontraktilitas miokardium. Getaran kuspid mitral anterior yang cepat dan berfrekuensi tinggi diakibatkan oleh benturan aliran darah balik.

Ekokardiogram juga dapat menentukan penebalan dan kegagalan penutupan katup. Ekokardiografi doppler sangat sensitive untuk deteksi regurgitasi aorta, termasuk membantu menentukan derajat keparahan. Pada regurgutasi aorta berat, terjadi aliran balik saat diatol di aorta thoracica descendent bagian proksimal. - Cardiac Catheterization and Angiography Bila diperlukan kateterisasi jantung kiri dan jantung kanan dengan aortografi kontras dapat menyediakan konfirmasi akurat dari regurgitasi dan fungsi ventrikel kiri. Angiografi koroner dilakukan secara rutin pada pasien yang memiliki kecenderungan untuk pembedahan. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain (Fauci, 2008):
- Pasien asimtomatik dengan regurgutasi aorta ringan : diperiksa ulang

setiap 6 atau 12 bulan dengan ekokardiografi serial.


- Pengobatan pada regurgitasi aorta akut dapat dilakukan dengan pemberian

diuretic intravena dan vasodilator (seperti sodium nitropruside), tetapi stabilisasi dengan pengobatan seperti ini hanya sebentar saja, pembedahan diindikasikan.
- Tekanan darah perlu dijaga (target tekanan darah <140 mmHg) pada

pasien dengan kronik regurgitasi aorta, pemberian vasodilator merupakan pilihan pertama sebagai antihipertensi. Menjaga tekanan darah tetap normal termasuk sulit, sebab pada pasien biasanya terjadi peningkatan dari stroke volume.
- Pembedahan pada keadaan aorta regurgitasi dilakukan pada pasien dengan

aorta regurgitasi berat, LVEF <50%, LV end systolic >55mm atau endsystolic volume >55 mL/m2. Pasien dengan aorta regurgitasi berat tetapi tanpa indikasi operasi harus dilakukan follow up secara klinis dan echocardiographic setiap 3-12 bulan. Penggantian katup aorta mekanik secara umum diperlukan pada aorta regurgitasi akibat rematik. Pada keadaan kelainan katup, tindakan risiko dari tindakan operasi ini tergantung pada staging penyakitnya dan fungsi miokardium saat dilakukan operasi.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan Penyakit Jantung Rematik merupakan kelainan katup yang diakibatkan oleh efek jangka panjang dari demam rematik. Penyakit ini apabila tidak di tangani dengan baik dapat mengakibatkan komplikasi Gagal Jantung. Mitral stenosis pada PJR mengakibatkan kenaikan volume preload pada jantung. Darah yang tertimbun pada atrium kiri mengakibatkan peningkatan beban awal jantung sehingga lama kelamaan dapat mengakibatkan gagal jantung. Pada mitral regurgitasi, volume afterload menurun sehingga butuh kerja tambahan dari jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Untuk aorta stenosis, darah yang akan keluar dari jantung akan terhambat oleh stenosis pada aorta sehingga volume afterload akan menurun. Hal ini mengakibatkan kerja jantung menjadi berlebih untuk memenuhi kebutuhan metabolism sehingga apabila terjadi terus menerus dapat mengakibatkan gagal jantung. Selain itu, gagal jantung juga dapat diakibatkan oleh mitral regurgitasi karena meningkatnya volume awal diastolic sehingga meningkatkan beban kerja jantung untuk menghasilkan cardiac output yang optimal. B. Saran Pada Pasien dengan resiko tinggi rekurensi demam rematik, sebaiknya melakukan program pencegahan sekunder demam rematik untuk mencegah terjadinya serangan ulang demam rematik.

DAFTAR PUSTAKA
Binotto dkk. 2002. Rheumatic Fever. .http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511 Chin, Thomas K. 2006. Emedicine : Rheumatic Heart Disease. http://faculty.ksu.edu.sa/Jarallah/Pediatric%20Cardiology/Rheumatic%20heart %20diseases.pdf Fauci et al. 2008. Harrisons Internal Medicine. 17th edition. Gray H et al. .2005. Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga Gibbs CR, et al. 2000. ABC of heart failure. BMJ http://www.westhertshospitals.nhs.uk/WHC/archive/evidence/05% 20hf/ABC%205%20Investigation-BMJ%202000.pdf Harimurti, Ganesja. 1996. Buku Ajar Kardiologi. Balai penerbit FKUI: Jakarta Meador R.. Parillo 2009., Acute Rheumatic Fever., Texas Health Science center; San S., 2010., Rheumatic Fever; Philadelphia Antoniohttp://emedicine.medscape.com/article/333103 http://emedicine.medscape.com/article/808945 Santoso A dkk. 2007. Gagal Jantung. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal %20jantung.pdf Sastroamidjojo, Poestika.1998. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI: Jakarta Shipton, Benjamin, et al. 2001. Valvular Heart Disease: Review and Update. http://www.aafp.org/afp/2001/0601/p2201.html Siregar A.A, dkk. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik . http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/750/1/08E00203.pdf Sudoyo, Aru dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

You might also like