You are on page 1of 15

OTONOMI DAERAH

DOSEN PEMBIMBING: Riyanto

DISUSUN OLEH: Anna Dyah Putri () Dolly Voy Siregar () Muhamad Dody Suganda (24) Muhammad Novianto (25) Nikko Danianto (26) Puspita Nilam Hapsari (29) Kelas: 1 AG

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TAHUN AJARAN 2010/2011


A. Pengertian Otonomi Daerah Reformasi membuka jalan bagi setiap orang untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan yang sentralistik selama Orde Baru berkuasa 32 tahun ternyata telah banyak menimbulkan kesenjangan yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain pendapatan antardaerah yang besar, kesenjangan investasi antardaerah, pendapatan daerah yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan kebijakan investasi yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi daerah merupakan salah satu alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan sember daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan rakyat. Otonomi secara sempit diartikan sebagai mandiri, sedangkan dalam arti luas berdaya. Jadi, otonomi daerah yang dimaksud ini adalah pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Sedangakan desentralisasi menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer/pemindahan kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara desentralisasi menurut Shahid Javid Burki dan kawan-kawan adalah proses pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah Jadi, otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/manajemen yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya umtuk kemajuan masyarakat di daerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan demokrasi.

B. Latar Belakang Otonomi Daerah Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik, yang berlanjut menjadi multikrisis, telah mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin kesinambungan pembangunan. Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuanagan antarpusat dan daerah. Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan pembangunan sosial dan ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap otonomi daerah di Indonesia saat itu dirasakan mendesak. 1. Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat berpusat di Jakarta. Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Hal ini bisa terlihat bahwa hampir 60% lebih perputaran uang berada di Jakarta, sedangkan 40% digunakan untuk di luar Jakarta. Selain itu, hampir seluruh proses perizinan investasi juga berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta. 2. Pembagian kekayaan dirasakan tidak adil dan tidak merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah berupa minyak, hasil tambang, dan hasil hutan, seperti Aceh, Riau, dan Papua ternyata tidak menerima perolehan dana yang layak dari pemerintah pusat, dibandingkan dengan daerah yang relatif tidak memiliki banyak sumber daya alam. 3. Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah terutama Jawa berkembang pesat sekali, sedangkan didaerah lain masih lamban dan diabaikan. A. Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai berikut: 1. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan

di pusat dan membangun masyarakat yang demokratis untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi. 2. Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mencapai pemerintahan yang efisien. 3. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada daerah. 4. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing. Sebagian para ahli pemerintahan juga mengemukakan pendapat lain tentang alasan perlunya otonomi-desentralisasi, yaitu: 1. Untuk terciptanya efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan, seperti ekonomi, pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain. 2. Sebagai sarana pendidikan politik. Pendidikan politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. 3. Sebagai persiapan karier politik. Keberadaan pemerintah daerah merupakan wahana yang banyak digunakan untuk menapak karier politik yang lebih tinggi. 4. Stabilitas politik. Pergolakan di daerah terjadi karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta sangat dominan. 5. Kesetaraan politik. Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan yang sama untuk terlibat dalam politik. 6. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberukan ruang dan peluang kepada masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. A. Perkembangan UU Otonomi Daerah di Indonesia Pelaksanaan otonomi daaerah (OTDA) di Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali yang ditandai dengan perubahan UU OTDA/Desentralisasi, yaitu:

1. UU No. 1 Tahun 1945 tentang Pemerintahan Daerah.

2. UU No. 2 Tahun 1948 tentang Susunan Pemda yang demokratis. 3. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku menyeluruh dan bersifat seragam. 4. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah yang menganut otonomi yang seluas-luasnya. 5. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat di Daerah. 6. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. 7. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 8. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 9. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. A. Model Desentralisasi Model desentralisasi adalah pola penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan menangani urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Menurut Rondinelli, model desentralisasi ada empat macam, yaitu: 1. Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 2. Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugastugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. 3. Devolusi adalah transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. 4. Privatisasi adalah tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat. A. Pembagian Urusan Pemerintahan Menurut UU No. 32 Tahun 2002, pembagian urusan pemerintahan tersebut meliputi: 1. Urusan Pemerintahan Pusat, meliputi enam bidang, yaitu: a. Politik Luar Negeri

b. Pertahanan c. Keamanan d. Yustisi e. Moneter dan Fiskal Nasional f. Agama 1. Urusan Wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi, meliputi 16 bidang, yaitu: a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang c. Penyelengaraan, ketertiban umum, dan ketentraman masyarakat d. Penyediaan sarana dan prasarana umum e. Penanganan bidang kesehatan f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, termasuk lintas kabupaten/kota j. Pengendalian lingkungan hidup k. Pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten/kota l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/kota, meliputi 15 bidang, yaitu: a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang c. Penyelenggaraan, ketertiban umum, dan ketentraman masyarakat d. Penyediaan sarana dan prasarana umum e. Penanganan bidang pendidikan f. Penanggulangan masalah sosial g. Pelayanan bidang ketenagakerjaan

h. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah i. Pengendalian lingkungan hidup j. Pelayanan pertahanan k. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil l. Pelayanan administrasi umum pemerintahan m. Pelayanan administrasi penanaman modal n. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya o. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Otonomi daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi yang berintikan kebebasan kepada individu, kelompok, daerah untuk mengatur, mengendalikan, serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Tujuan utama adanya kebijakan otonomi daerah adalah sebagai upaya mewujudkan: a. Kesetaraan politik, yaitu hak warga negara untuk mendapatkan kesetaraan atau kesamaan politik b. Tanggung jawab daerah, yaitu masyarakat daerah dapat secara langsung ikut bertanggung jawab dalam membangun dan mengembangkan segala SDA, SDM, dan SDB yang ada pada daerah bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. c. Kesadaran daerah, yaitu kesadaran daerah untuk menumbuhkembangkan segenap potensi yang dimilikinya bagi masyarakat maupun negara. Sedangkan prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan dari kebijakan otonomi daerah adalah: a. Memiliki territorial kekuasaan yang jelas, yaitu kebijakan dan keputusan yang dibuat serta dilakukan pemerintahan dan rakyat daerah adalah hanya meliputi batas wilayah daerah kekuasaan daerah tersebut. b. Memiliki pendapatan daerah sendiri, yaitu agar daerah memiliki pendapatan sendiri yang dihasilkan dari potensi SDA daerah dan diperoleh dari DAU dan DAK yang berasal dari APBN. c. Memiliki badan perwakilan, yaitu dapat memiliki badan legislatif dan eksekutif yang dibentuk menurut kebutuhan daerah oleh anggota legislatif hasil

pemilihan secara langsung dan kepala pemerintahan daerah d. Memiliki kepala daerah yang dipilih sendiri melalui Pemilu, yaitu dapat memiliki kepala daerah yang merupakan hasuil pemilu langsung kepala daerah (PILKADA) oleh rakyat daerah provinsi atau kabupaten/kota. Kewenangan artinya keleluasaan menggunakan dana, baik yang berasal dari daerah sendiri maupun dari pusat, sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pusat, keleluasaan untuk berprakarsa, memilih alternatif, menentukan prioritas dan mengambil keputusan untuk kepentingan daerahnya, keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang memadai yang berdasarkan atas kinerja objektif dan adil. Untuk itu, maka konsekuensi logis dari cara pandang di atas adalah: 1. Otonomi daerah harus dipandang sebagai instrumen desentralisasi dalam rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa. 2. Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi pemerintah daerah, juga bukan otonomi bagi daerah. A. Implementasi Otonomi Daerah 1. Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Wilayah a. Pelaksanaan otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan tugas, peran, dan tanggung jawab pemerintah pusat, karena otonomi yang dijalankan bukan otonomi tanpa batas. Otonomi tidak dirancang agar suatu daerah memiliki sifat-sifat seperti suatu negara. b. Pola pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan tugas-tugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah. Pada prinsipnya pembinaan wilayah diserahkan kepada daerah untuk mengelola sumber daya yang potensial untuk kesejahteraan daerah dan dalam negara kesatuan, tugas pemerintah pusat melakukan pengawasan. c. Tugas dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip pemerintahan umum, yaitu

penyelenggaraan pemerintah pusat di daerah, memfasilitasi dan mengakomodasi kebijakan daerah, menjaga keselarasan pemerintah pusat dan daerah, menciptakan ketentraman dan ketertiban umum, menjaga tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah, menyelenggarakan kewenangan daerah, dan menjalankan kewenangan lain. d. Pejabat pembina wilayah dilaksanakan oleh kepala daerah yang menjalankan dua macam urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan pemerintahan umum. 1. Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia a. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan pembinaan sumber daya manusia kepada daerah. Hal ini menjadi tugas berat bagi daerah, karena SDM pada umumnya tingkat kompetensi, sikap, dan tingkah laku yang tidak maksimal. b. Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Pemerintah daerah membutuhkan PNS yang tanggap, responsif, kreatif, tanggap, dan bekerja secara efektif. c. Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antardaerah dan pusat, Pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan jaringan dan kerja sama tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tnggi. d. Untuk pembinaan SDM, Pemda diharapkan: (1) membuat struktur organisasi yang terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berkreatif dan membuat terobosan baru, (3) mendorong PNS berani mengambil resiko, (4) memberikan penghargaan bagi yang berhasil, (5) mengembangkan pola komunikasi yang efektif antarPNS, (6) membangun suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi hambatan birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses kerja profesional, (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik. e. Memperbaiki cara birokrasi dengan cara memberikan teladan, membuat perencanaan,

melaksanakan kerja dengan pengawasan yang memadai, menentukan prioritas, memecahkan prioritas, memecahkan masalah dengan inovatif, melakukan komunikasi lisan dan tulisan, melakukan hubungan antarpribadi, dan memerhatikan waktu kehadiran dan kreativitas. f. Mengurangi penyeimpangan pelayanan birokrasi. Pemda harus melakukan perbaikan dengan: Menegakkan disiplin pegawai dengan memberikan penghargaan dan sanksi, membangun pelayanan yang berorientasi pelanggan, menetapkan tanggung jawab dengan jelas, dan mengembangkan budaya birokrasi yang bersih, serta memberikan pelayanan yang cepat dan tepat dengan biaya murah. 1. Implementasi Otonomi Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan a. Masalah kemiskinan merupakan masalah penting bagi pemerintah daerah. Otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dengan tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya. b. Pengentasan kemiskinan menjadi tugas penting dari UU No. 25 Tahun 1999, dimana Pemda mempunyai wewenang luas dan didukung dana yang cukup dari APBD. c. Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan terpadu berdasarkan karakter penduduk dan wilayah dengan melakukan koordinasi antarinstansi yang terkait. d. Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus mengedepankan peran masyarakat dan sektor swasta dengan melakukan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin. e. Membangun paradigma baru tentang peranan pemda, yaitu dari pelaksana menjadi fasilisator, memberikan instruksi menjadi melayani, mengatur menjadi memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk mencapai misi pembangunan. f. Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan pemda adalah memberikan legitimasi kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi penengah apabila terjadi konflik, mendorong

peningkatan kemampuan keluarga miskin, turut mengendalikan pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. g. Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dapat mengambil kebijakan keluarga, yaitu mendata dengan benar karakter keluarga miskin, mengidentifikasi tipe dan pola keluarga miskin, melakukan intervensi kebijakan yang meliputi kebijakan penyediaan sumber daya melalui pendidikan dan pelatihan, menyediakan program yang mendorong kesempatan kerja, dan menyediakan program untuk membangun lingkunagn fisik masyarakat miskin, seperti prasarana lain, jembatan, perumahan, listrik dan air bersih, dan pada tahap akhir, pemda melakukan evaluasi efektivitas dari pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. 1. Implementasi Otonomi Daerah dalam Hubungan Fungsional Eksekutif dan Legislatif a. Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD. b. Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi, yaitu pemberian wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. c. Asas dalam otonomi menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah: (1) penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam bidang hankam, luar negeri, peradilan, agama, moneter, dan fiskal, (2) pelimpahan wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan (3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat. d. Kepala daerah mempunyai wewenang: memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan

kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggung jawab kepada DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur. e. DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota membentuk peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapatan belanja daerah, melaksanakan pengawasan, memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. f. Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat melakukan komunikasi yang insentif, baik untuk tukar-menukar informasi, dan pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah. g. Prinsip kerja dalam hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah adalah: proses pembuatan kebijakan transparan, pelaksanaan kerja melalui mekanisme akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk yang mencakup kebijakan, prosedur dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi etika. 1. Implementasi Otonomi Daerah dalam Membangun Kerja Sama Tim a. Koordinasi merupakan masalah yang serius dalam pemerintah daerah. Sering bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperti PAM, PLN, dan Telkom menunjukkan lemahnya koordinasi selama ini. b. Dalam rangka otonomi, dimana pemda mempunyai wewenang mengatur selain enam bidang yang diatur pusat, maka pemda dapat mengatur koordinasi sektor riil seperti transportasi, sarana/prasarana, pertanian, dan usaha kecil, serta wewenang lain yang ditentukan UU. c. Lemahnya koordinasi selama otonomi daerah telah menimbulkan dampak negatif, diantaranya: inefisiensi organisasi dan pemborosan uang,

tenaga dan alat, lemahnya kepemimpinan koordinasi yang menyebabkan keputusan tertunda-tunda, tidak tepat dan terjadi kesalahan, serta tidak terjadi integrasi dan sinkronisasi pembangunan. d. Penyebab kurangnya koordinasi dalam era otonomi daerah di pemda antara lain karena sesame instansi belum mempunyai visi yang sama, tidak adanya rencana pembangunan jangka panjang yang menyebabkan arah kebijakan tidak strategis, rendahnya kemauan bekerja sama, gaya kepemimpinan yang masih komando, rendahnya keterampilan, integritas, dan kepercayaan diri. e. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, maka pemerintah daerah harus menciptakan kerja sama tim. Kerja tim ini dilaksanakan dengan (1) pelatihan kepada PNS pemda untuk menumbuhkan komitmen, integritas, kejujuran, rasa hormat dan percaya diri, peduli terhadap pemerintah daerah, mempunyai kemauan dan tanggung jawab, matang secara emosi, dan mempunyai kompetensi, (2) mengembangkan visi dan misi pemerintahan yang menjadi acuan kerja, (3) membuat sistem kerja yang baik, yaitu adanya kejelasan tugas pokok, fungsi dan akuntabilitas pekerjaan, dan (4) membangun suasana dialogis antarpimpinan dan staf pemda. Terkait dengan iplementasi otonomi daerah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan otonomi darah, yaitu: 1. Meningkatkan kualitas SDM. Yang dapat dilakukan melalui: a. Pelaksanaan seleksi PNS yang jelas, ketat, dan baik, serta berdasarkan pekerjaan dan spesifikasi lowongan pekerjaan. b. Peningkatan kompetensi, keterampilan, dan sikap melalui pendidikan dan pelatihan, sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerag, serta mengevaluasi keefektifan program pendidikan dan pelatihan. c. Penempatan PNS berdasarkan kompetensi, minat, dan bakat, serta kebutuhan pemerintah daerah. d. Pengembangan SDM yang kreatif, inovatif, fleksibel, profesional, dan sinergis di Pemda

1. Menindaklanjuti ketentuan UU tentang otonomi dengan peraturan daerah yang terkait dengan kelembagaan, kewenangan, tanggung jawab, pembiayaan, SDM, dan sarana penunjang terhadap penugasan wewenang yang dilimpahkan pemerintah pusat. 2. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. 3. Mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif, objektif, rasional, dan modern. A. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah. Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elit lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana demokrasi yang belum terbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi. Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elit lokal provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda). Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah, implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga.

Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.

You might also like