You are on page 1of 9

FUNGSI DAN PERAN BAHASA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA Fungsi Bahasa Indonesia dalam Pembangunan Bangsa PERNYATAAN

sikap "bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan perwujudan politik bangsa Indonesia yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia telah menyatukan berbagai lapisan masyarakat ke dalam satu-kesatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia mencapai puncak perjuangan politik sejalan dengan perjuangan politik bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara (lihat pasal 36 UUD 1945, lihat juga hasil amandemen UUD, Agustus 2002). Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Ipteks berkembang terus sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Perkembangan ipteks yang didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (seperti internet, e-mail, e-business, e-commerce, TV-edukasi, dan lain-lain) melaju dengan pesat terutama memasuki abad ke-21 sekarang. Di sisi lain, perkembangan bahasa Indonesia terasa belum seimbang dengan perkembangan ipteks dan zamannya. Pengalihan konsep-konsep ipteks dari bahasa asing terutama bahasa Inggris belum seluruhnya dapat dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya, kosakata dan istilah asing itu mengalir deras ke dalam khasanah kosakata bahasa Indonesia. Dengan demikian, peran strategis bahasa Indonesia sebagai bahasa peradaban modern masih memerlukan pengembangan yang lebih serasi dan serius sesuai dengan perkembangan ipteks. Peradaban modern Dalam rangka menuju ke arah peradaban modern, kita perlu memahami, menguasai, dan mengembangkan konsep-konsep ipteks modern, yang pada umumnya masih tertulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Agar konsep-konsep ipteks modern tidak hanya diserap oleh mereka yang memahami bahasa asing yang jumlahnya tentu tidak sebanding dengan jumlah anggota masyarakat Indonesia yang memerlukannya dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, maka penyebarluasan konsep-konsep ipteks modern itu harus dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam rangka lebih memasyarakatkan peristilahan modern itu, istilah-istilah yang telah berhasil disusun kemudian diolah lebih lanjut menjadi berbagai kamus istilah. Tentu saja, selain mengandung padanan istilah dalam bahasa Indonesia, kamus istilah itu juga mencantumkan rumusan atau penjelasan setiap istilah yang dicantumkan. Sampai sekarang, telah berhasil disusun tidak kurang dari 40 buah kamus istilah. Penerbitan daftar dan kamus istilah itu sangat penting dan bermanfaat dalam rangka memasyarakatkan dan menyebarluaskan perangkat istilah yang sudah dibakukan. Jika upaya penerbitan dan

publikasi itu tidak dilakukan, maka hasil penyusunan dan pembakuan istilah itu akan tetap tertinggal sebagai harta karun. Para ilmuwan dari berbagai disiplin diharapkan menggunakan istilah yang telah dibakukan itu dengan taat asas. Oleh karena itu, harus pula diupayakan adanya arus balik yang dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam proses pengembangan bahasa selanjutnya. Dipandang dari segi pembinaan dan pengembangan bahasa, masuknya istilah-istilah yang sudah dibakukan itu ke dalam buku ajar, makalah, laporan penelitian, jurnal-jurnal ilmiah, karangan-karangan ilmiah lainnya, dan media komunikasi dan informasi (baca: komputer) merupakan langkah berikutnya yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.Bahasa Indonesia memiliki dua sifat utama yang menguntungkan, yaitu bentuk yang sederhana sehingga mudah dipelajari dan kelenturan (fleksibel) untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh latar belakang sejarah kebahasaan yang kuat. Kaum cerdik-cendekia yang hidup pada zaman kemerdekaan pun, pada umumnya yakin bahwa bahasa Indonesia mempunyai kemampuan berkembang luas dengan cepat di tanah air ini, dari Sabang sampai Merauke. Danzer Carr misalnya, berkeyakinan bahwa bahasa Indonesia dapat menggantikan kedudukan bahasa Inggris di Asia. Bahasa Indonesia tidak diragukan lagi kemampuannya untuk menjadi bahasa ipteks modern. Pengembangan ipteks Bahasa ragam ipteks itu harus hemat dan cermat karena menghendaki respons yang pasti dari pendengar dan pembacanya. Kaidah-kaidah sintaktis dan bentukan-bentukan bahasa dan ranah penggantinya harus mudah dipahami. Kehematan penggunaan kata, kecermatan dan kejelasan sintaktis yang berpadu dengan penghapusan unsur-unsur yang bersifat pribadi dapat menghasilkan ragam ipteks yang umum. Kalimat ipteks yang panjang-panjang hanya dapat direspons secara langsung oleh pembaca yang terlatih. Pembaca dan penyimak ragam bahasa ipteks itu diharapkan tidak memperoleh informasi yang keliru. Kelugasan, keobjektifan, dan keajegan/konsistensi bahasa ipteks itulah yang membedakannya dengan bahasa ragam sastra yang subjektif, halus, dan lentur, sehingga interpretasi pembaca yang satu kerapkali sangat berbeda dengan interpretasi dan apresiasi pembaca lainnya. Ihwal pengembangan bahasa Indonesia ragam ipteks, hal itu dapat dihubungkan dengan klasifikasi bidang ilmu yang lazim berlaku di Indonesia, yaitu ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan budaya. Yang menjadi masalah sekarang adalah unsur ip (ilmu pengetahuan) pada ipteks itu merujuk pada bidang ilmu yang mana? Apalagi sekarang ini telah berkembang teknologi komunikasi dan informasi, seperti internet, e-mail, e-business, e-commerce, cybertechnology, teleducation, cybercity, dan lain-lain. Berdasarkan pemakaian kata ilmu pengetahuan sebagai padanan kata science (s) dengan muatan makna natural science, maka unsur ip pada kata ipteks itu merujuk pada ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, bahasa Indonesia ragam ipteks itu adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan alam dan teknologi (science and

technology). Upaya pengembangan konsep ipteks modern dalam bahasa Indonesia itu hanya mungkin dapat dilakukan dengan baik apabila istilah-istilah yang biasa digunakan dalam bidang ipteks itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal itu berarti, untuk dapat mengembangkan bahasa Indonesia menjadi ragam ipteks, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyusun peristilahannya. Untuk keperluan itulah Pusat Bahasa yang ada sekarang, dengan bantuan sejumlah pakar perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian di Indonesia telah berhasil menyusun peristilahan untuk berbagai bidang ilmu, dengan memberikan prioritas pada empat bidang ilmu dasar, yakni fisika, kimia, biologi, dan matematika. Keempat bidang ilmu dasar itu masing-masing diberi judul Glosarium Fisika, Glosarium Kimia, Glosarium Biologi, dan Glosarium Matematika. Di tengah perubahan sosial-politik dan teknologi informasi serta komunikasi yang ada sekarang, apalagi menuju bahasa Indonesia menjadi peradaban modern, para pakar dari berbagai disiplin ilmu harus bahu-membahu menjadikan bahasa Indonesia sejajar dengan bahasa asing lainnya, terutama bahasa Inggris. Kita ambil contoh kata valid yang dipungut dari bahasa Inggris. Orang Inggris menyerap kata itu dari kata validus dari bahasa Latin. Dengan menggunakan proses morfologis bahasa Inggris, terbentuklah kata-kata validity, validate, validly, dan validness. Kata-kata itu dalam kamus bahasa Inggris ada dalam satu lema (entry). Jika kita bandingkan kata-kata pungut dalam kamus bahasa Inggris dengan kata pungut dalam kamus bahasa Indonesia, maka akan terlihat adanya perbedaan yang mencolok. Dalam rangka mengembangkan kosakata bahasanya, orang Inggris mempertahankan sistem dan kaidah kebahasaannya secara ajeg (konsisten). Sikap bahasa yang demikian itu tidak tampak dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam edisi terbarunya. Kata valid dan validitas diserap langsung dari bahasa Inggris tanpa mengalami proses morfologis bahasa Indonesia, sehingga kedua kata tersebut merupakan dua lema yang berbeda. Untuk kata valid itu, para leksikograf Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menurunkan kevalidan sebagai padanan kata validness. Bahkan akhir-akhir ini kita sering mendengar dan membaca pemakaian kata validasi sebagai padanan kata validation. Penyerapan kata validate sangat sulit bahkan tidak mungkin dilakukan tanpa proses morfologis bahasa Indonesia. Dengan menggunakan kaidah morfologi bahasa Indonesia, dapat diturunkan kata memvalidkan. Dengan menggunakan kaidah morfologi bahasa Indonesia, penyerapan itu sesungguhnya dapat berlangsung lebih mudah dan ajeg. Dari kata valid dapat diturunkan kata-kata kevalidan, memvalidkan, pemvalidan, dan secara valid, yang merupakan sinonim kata keabsahan, mengabsahkan, pengabsahan, dan secara absah.

Dari uraian di atas dapat disenaraikan karakteristik bahasa Indonesia ragam ipteks sebagai berikut. Pertama, kelugasan dan kecermatan yang menghindari segala macam kesamaran dan ketaksaan (ambiguity). Kedua, keobjektifan yang sedapat mungkin tidak menunjukkan selera perseorangan (impersonal). Ketiga, pembedaan dengan teliti, nama, ciri, atau kategori yang mengacu ke objek penelitian atau telaahnya agar tercapai kecermatan dan ketertiban bernalar. Keempat, penjauhan emosi agar tidak mencampurkan perasaan sentimen dalam tafsirannya. Kelima, kecenderungan membakukan makna kata dan ungkapannya dan gaya pemeriannya berdasarkan perjanjian. Keenam, langgamnya tidak bombastis atau dogmatis, dan, ketujuh, penggunaan kata dan kalimat dengan ekonomis agar tidak lebih banyak daripada yang diperlukan. Kini, 28 Oktober 2004 kita berada pada jarak 76 tahun dari para pendahulu kita yang sangat peduli terhadap martabat bahasa Indonesia itu. Marilah kita bersama-sama merefleksi kembali apakah keyakinan, kebulatan semangat kebangsaan (nasionalisme) untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat, sehingga bahasa Indonesia sebagai sarana penghubung antarsuku, antardaerah, anatarbudaya, dan sarana pengembangan ipteks modern itu digunakan dengan sebaik-baiknya? Malu, rasanya aku jadi bangsa Indonesia (meminjam istilah Taufiq Ismail), kita yang hidup di alam kemerdekaan dengan kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi sekarang tidak dapat memanfaatkan peluang untuk mempersatukan seluruh komponen masyarakat dan bangsa ini. Namun, ada satu harapan baru ketika para pemuda kita empat tahun lalu, bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda 2000 telah mengikrarkan adanya Sumpah Internet Pemuda, yang dapat diakses langsung dari seluruh pelosok tanah air. Ini merupakan sebuah upaya nyata agar masyarakat dan bangsa kita di tengah krisis multidimensional sekarang tidak terpecahpecah dan berakibat pada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, perlu dukungan dan tindak lanjut dari berbagai kelompok masyarakat, seperti elite politik, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pers, para pemuda, dan mahasiswa agar Sumpah Internet Pemuda tersebut dapat diimplementasikan menuju peradaban modern.*** PERAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH DALAM PEMBANGUNAN Pendahuluan Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran pembangunan masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya

sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam memajukan pepmbangunan masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa Indoensia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam pembangunan masyarakat. Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota meliputi bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Pengembangan Bahasa, termasuk sastra berhubungan dengan kewenangan pemerintahan di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, baik yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kewenangan pemerintah pusat berupa penyediaan standar, pedoman, fasilitas dan bimbingan dalam rangka pengembangan bahasa dan sastra. Sedangkan kewenangan untuk penyelenggaraan kajian sejarah dan nilai tradisionil serta pengembangan bahasa dan budaya daerah merupakan bagian dari kewenangan provinsi. Oleh karena bahasa dan sastra daerah pada dasarnya berkembang dari masyarakat di desadesa, kampung-kampung serta kelompok masyarakat tradisional yang secara kewilayahan berada dalam wilayah kabupaten/kota, maka mulai di kabupaten/kota dilakukan kegiatan operasional pengembangan bahasa dan sastra daerah. Di tingkat nasional sudah ada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang mendapat mandat dari pemerintah untuk melakukan perencanaan bahasa. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk lembaga perpanjangan penyelenggaraan Pusat Bahasa berupa balai atau kantor bahasa yang berfungsi untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra. Penyelenggaraan kegiatan pada lembaga bahasa di tingkat provinsi/kabupaten ini terkait langsung dengan rangkaian penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Era Otoda Pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda seharusnya semakin mendapat tempat yang penting, karena era otoda memerlukan, sumberdaya manusia yang berkualitas, akselarasi manajemen yang tepat, masyarakat yang peduli, dan keterhubungan pihak lain secara komunkatif. Keseluruhan unsur tadi berkaitan langsung dengan bahasa sebagai piranti utama dalam berinteraksi. Perubahan sistem pemerintahan negara dari sentralistik menjadi desentralistik yang diwujudkan melalui sistem otonomi daerah memberikan peluang dan tantangan bagi upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat penuturnya. Bahasa digunakan sebagai sarana ekspresi dan komunikasi dalam kegiatan kehidupan manusia, seperti dalam bidang kebudayaan, ilmu, dan teknologi.. Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan dan ilmu serta teknologi berkembang sedemikian rupa. Bahasa Indonesia pun berkembang mengikuti perkembangan

tersebut. Pesatnya perkembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi di dunia Barat membawa pengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia, khususnya di bidang kosakata/ peristilahan. Di samping itu, luas wilayah pemakaian (tersebar dipulau-pulau yang secara geografis terpisahkan dengan oleh laut) dan besarnya jumlah penutur yang berlatar belakang (bahasa daerah dan kebudayaannya), memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan di tiaptiap daerah yang lama kelamaan akan berkembang menjadi dialek tersendiri. Oleh karena itu, perlu diadakan kontak terus menerus antara daerah yang satu dan daerah yang lain untuk menjaga keutuhan bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa Indonesia itu harus diarahkan menuju ragam bahasa baku. Selanjutnya, ada beberapa dasar pembinaan bahasa Indonesia yang diharapkan memberikan semangat dan motivasi tinggi dalam membina dan mengembangkan bahaasa Indoensia. Landasan tersebut bersifat keagamaan (religius), kesejarahan (historis, politis), kecendekian (intelektual), bersifat kemasyarakatan (sosial). Dengan landasan tersebut, pembinaan bahasa Indonesia yang dilakukan pada era otonomi daerah menjadi kuat, tidak tergoyahkan oleh kondisi yang bersifat memecah-belah, dan dapat dijadikan referensi dalam menjaga kesatuan dan persatuan demi keutuhan bangsaIndonesia. Landasan yang bersifat keagamaan adalah bahwa bahasa Indonesia itu karunia Tuhan yang harus kita syukuri. Membina dan mengembangkan bahasa Indonesia berarti mensyukuri karunia Tuhan. Sebaliknya, mengabaikan pemeliharaan bahasa Indonesia adalah sama dengan tidak mensyukuri karunia Tuhan. Landasan kedua bersifat kesejarahan, yaitu bahasa Indonesia merupakan amanat para pejuang atau pahlawan bangsa. Butir ke-3 Sumpah pemuda tahun, 1928 menyatakan bahwa Kami putra-putri Indonesia, menjungjung bahasa Persatuan, bahasa Indonesia.. Demikian pula Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Generasi penerus harus mengamalkan amanat itu. Menghargai bahasa Indonesia dengan jalan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam suasana resmi berarti mengamalkan amanat para pahlawan tersebut. Dasar berikutnya adalah landasan kecendekiaan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mampu mengemban konsep, mutu, dan dan keilmiahan, karena diemban oleh intelektualisme para cendekiawan atau orang terpelajar, bukan awam. Kemampuan intelektual orang terpelajar jauh lebih tinggi daripada orang awam. Pengalaman intelektual mereka pun jauh lebih banyak daripada orang awam. Atas dasar itu, bahasa Indonesia orang terpelajar harus lebih bermutu daripada orang awam. Bahasa Indonesia beragam. Dasar ini juga merupakan landasan dalam pembinaan bahasa Indonesia, karena secara sosial, penutur bahasa Indonesia berasal dari berbagai strata dan kelompok masyarakat. Ragam bahasa Indonesia di antaranya: ragam baku, nonbaku, ragam ilmiah, dan ragam lainnya. Fokus dan Arah Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Pada prinsipnya, pembinaan dan pengembangan bahasa adalah upaya dan penyelenggaraan kegiatan yang ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing. ini supaya dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia difokuskan melalui usaha-usaha pembakuan agar tercapai pemakaian yang cermat, tepat dan efisien dalam berkomunikasi. Sehubungan dengan itu, perlu diciptakan kaidah (aturan) dalam bidang ejaan, kosakata/istilah, dan tata bahasa. Dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia perlu diarahkan dan didahulukan pada bahasa Indonesia ragam tulis karena coraknya lebih tetap dan batas cakupannya lebih jelas. Di samping itu, pembakuan lafal perlu dilakukan sebagai pegangan guru, penyiar televisi/radio dan masyarakat luas. Untuk kepentingan praktis, telah diambil sikap bahwa: (1) pembinaan terutama difokuskan kepada penuturnya,

yaitu masyarakat pemakai bahasa Indonesia, dan (2) pengembangan terutama difokuskan kepada bahasa dalam segala aspeknya. Pembinaan dan pengembangan bahasa mencakup dua arah, yaitu (1) pengembangan bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan masalah kemampuan/sikap) dan (2) pembinaan yang mencakup dua arah (masyarakat luas dan generasi muda). Pengembangan aspek bahasa meliputi ragam bhasa lisan dan bahasa tulis. Ragam bahasa lisan mencakup lafal, tata bahasa, dan kosakata/istilah, dan ejaan. Dalam ragam bahasa tulis yang digarap lebih dahulu adalah ejaan, dengan peresmian penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan oleh Presiden Republik Indonesia tahun 1972. Kemudian, disusul dengan usaha pembakuan di bidang kosakata/istilah yang pemakaiannya diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975. Di samping itu, dilakukan pula pengolahan kembali Kamus Umum Bahas Indonesia karangan M.J.S. Poewadarminta oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang terbit mulai cetakan V tahun 1976. Kemudian, pada tahun 1988 terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan disempurnakan dalam edisi kedua yang terbit pertama tahun 1991. Usaha pembakuan dalam bidang tata bahasa secara resmi telah dirintis dengan diadakannya Seminar Penyusunan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 1988. Dalam hal pengembangan kemampuan dan sikap, telah ditempatkan dasar yang kuat, yaitu dicantumkannya di dalam GBHN bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dilakukan dengan mewajibkan peningkatan mutu pengguna bahasa Indonesia sehingga penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu, telah dan terus dilakukan pengembangan kemampuan dan sikap positif pemakai bahasa Indonesia dengan media televisi dan radio. Ada pula upaya penyuluhan kebahasaan secara langsung bagi para pelaku ekonomi dan pembangunan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, di berbagai propinsi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh keseragaman kaidah dan penerapannya dalam berbagai laras bahasa (jenis penggunaan bahasa) sehingga tujuan pengembangan bahasa-salah satu tujuan itu adalah pembakuan bahasa dapat dicapai. Pada era otoda ini, pembinaan bahasa tetap mengacu kepada sikap kebijakan pembinaan bahasa, yaitu ditujukan kepada masyarakat penutur bahasa. Pembinaan ini menakup dua arah, yaitu vertikal dan horizontal. Arah vertikal dengan sasaran pembinaan kepada generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa, yang merupakan generasi penerus. Arah horizontal dengan sasaran pembinaan kepada generasi sekarang, yaitu masyarakat luas minus generasi muda. Pada masyarakat generasi sekarang diutamakan pembinaan ragam bahasa tulis, karena merekalah yang akan mewariskan penggunaan bahasa yang baik dan benar kepada generasi penerus. Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda sekarang ini meliputi usaha pengembangan bahasa (yang salah satu sasarannya berupa pembakuan bahasa) dan usaha meningkatkan kemampuan dan sikap penutur bahasa Indonesia agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Beberapa Masalah Pembinaan Bahasa Indonesia Era Otoda Pembinaan bahasa Indonesia sudah lama dilakukan, bahkan sejak zaman Pejangga Baru (1933). Tetapi, sampai sekarang masih banyak kendala yang dihadapi dan dialaminya, khususnya di era otoda. Masalah utama adalah persoalan sikap terhadap pembinaan bahasa Indonesia. Ada sebagian masyarakat pengguna bahasa Indonesia yang meremehkan bahasa Indonesia. Sikap mereka terhadap pembinaan bahasa Indoensia acuh tak acuh. Mereka menilai: (1) Pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia kurang menarik, (2) Hasilnya kurang nyata, (3) Bahasa Indonesia dianggap mudah. Karena dianggap mudah, orang Indonesia tidak perlu mempelajari bahasa Indonsia. Persoalan

sikap tersebut semakin menjadi masalah, karena sikap negatif itu bukan berasal dari kelompok awam, melainkan kelompok cendekia atau terpelajar. Mereka itu sebagian adalah pelaku utama dan pemegang peranan penting dalam roda otonomi daerah Jika orang awam bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, itu dapat dipahami. Tetapi, jika orang terpelajar bersikap seperti orang awam itu, tampaknya tidak berterima. Masalahnya, orang awam berbeda dengan orang terpelajar. Orang awam tidak banyak berkaitan dengan dunia pemikiran. Kegiatannya terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan seorang terpelajar berkaitan erat dengan dunia pemikiran. Pemikiran-pemikirannya melahirkan konsep-konsep, perencanaan, dan kebijakan-kebijakan. Karena orang terpelajar pencetus konsep, perencana kegiatan, dan pembuat kebijakan, orang terpelajar selalu bergulat dengan masalah mutu sumberdaya manusia. Dalam pergulatan itulah bahasa Indonesia tampil sebagai piranti yang penting karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi, bahasa negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa orang terpelajar (kita semua) pada hakikatnya berkepentingan dengan pembinaan bahasa Indonesia. Bahkan orang terpelajar dengan sendirinya menjadi pembina Bahasa Indonesia. Sebabnya, sekali lagi, orang terpelajar terlibat dalam dunia pemikiran. Sebab lain, orang terpelajar sering terlibat dalam suasana resmi, suasana kenegaraan, dan yang terakhir, orang terpelajar berpengaruh kuat terhadap orang lain (anak buah, bawahan). Alasan tersebut di atas yang menjadikan kelompok terpelajar, kita semua, harus berperan sebagai pembina bahasa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah mau tak mau, kita haruslah menjadi contoh, teladan, anutan, model bagi orang lain. Setidaknya, bahasa Indonesia kita harus bermutu. Apakah bahasa Indonesia yang bermutu itu? Bahasa Indonesia yang bermutu ialah bahasa Indoensia yang bersih dari kesalahan, baik kesalahan kaidah, kesalahan logika, maupun kesalahan budaya. Kesalahan kaidah sudah sering dibahas. Jadi pembicaraannya tidak perlu untuk sementara. Kesalahan logika tampak pada penggunaan pola seperti: Dalam seminar itu membicarakan masalah pengentasan kemiskinan. Beberapa seniman diberikan penghargaan, dan yang lain. Kesalahan budaya terlihat pada penggunaan kata-kata asing seperti oke, sorry, point, complain, no comment, coffee morning, dan yang lain. Begitu pula penggunaan pola-pola seperti: tujuan daripada pembangunan, banyak teori-teori, tidak masalah, dan yang lain. Pola-pola seperti itu merupakan kesalahan budaya yang melahirkan kesalahan kaidah. Bacaan Halim, Amran. 1976. Politik bahasa Nasional II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kridalaksana, Harimurti. 1976. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah. Mawardi, Oentarto S. Peran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14 17 Oktober 2003 Sugono, Dendy. 1999. Berbahasa Indoensia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara. Sumowijoyo, G. Susilo. 2001. Pos Jaga. Bahasa Indonesia. Surabaya: Unipress Unesa ABSTRAK Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran pembangunan masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara.

Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam memajukan pepmbangunan masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa Indoensia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam pembangunan masyarakat.

You might also like