You are on page 1of 6

TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM /MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs-2015) PARADIGMA BARU KERANGKA PEMBANGUNAN DAERAH Oleh : Sri Suryani

--------------------------------------------------------------------------------------Tahun 1982 lahir Bruntland Report yang berisi pesan-pesan pembangunan berkelanjutan sebagai wujud tanggung jawab moral generasi sekarang untuk memperhatikan hak-hak generasi yang akan datang. Satu dekade kemudian PBB mengagas Agenda 21 yang merupakan hasil KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil, dengan 21 agenda utama yang berfokus pada penghapusan kemiskinan, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup. Konsep yang dihasilkan menjadi acuan yang diadopsi oleh banyak negara-negara berkembang dalam perencanaan pembangunan. Dalam kurun waktu tersebut banyak pula kejadian-kejadian luar biasa yang mempengaruhi kualitas pencapaian agenda-agenda yang telah ditetapkan, seperti penyebaran HIV/AIDS yang mendunia melalui metode dan cara-cara yang diluar kesadaran mental manusia, mulai dari jarum suntik hingga transfusi darah yang tidak aman, peperangan diberbagai belahan dunia, serta krisis ekonomi di Asia Tenggara. Akar persoalan seperti tingkat buta huruf yang masih rendah, kemiskinan dan sebagainya masih belum dapat diselesaikan karena belum adanya target kuantitatif yang menjadi acuan. Hal tersebut menjadi cikal bakal lahirnya Millenium Development Goals/MDGs sebagai hasil kesepakatan dari 198 negara pada tahun 2000, dengan menetapkan target kuantitatif yang akan dicapai pada tahun 2015. Konsep ini muncul dengan pemikiran bahwa ada beberapa hal yang membuat masyarakat menjadi tetap rentan (vulnerable) dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga ditetapkan delapan tujuan beserta targettarget indikator yang diharapkan mampu membantu mereka keluar dari persoalanpersoalan yang sangat mendasar dalam keterbelakangan tersebut. MGDs mengusung tiga tema sentral yaitu human development, human security and human rights. Kerangka MDGs sebenarnya hanyalah salah satu upaya untuk menyamakan visi global yang kemudian diterjemahkan

kedalam aksi-aksi lokal pembangunan. Konsep MDGs pada intinya bertujuan untuk membawa pembangunan kearah yang lebih adil bagi semua pihak. Bagi manusia dan lingkungan hidup, bagi laki-laki dan perempuan, bagi orang tua dan anak-anak, serta bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Indonesia sebagai salah satu Negara yang ikut mengadopsi kesepakatan MDGs juga menetapkan target-target pencapaian tujuan MDGs di tahun 2015 sebagai berikut : 1. Penghapusan kemiskinan; Target 1 : Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah $1 perhari menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015 Target 2 : Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 19902015 2. Pencapaian pendidikan dasar untuk semua; Target 3 : Memastikan pada tahun 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar 3. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; Target 4 : Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 4. Penurunan angka kematian anak: Target 5 : Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya antara th 19902015 5. Meningkatkan kesehatan ibu; Target 6 : Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara tahun 19902015 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; Target 7 : Mengendalikan penyebaran HIV/AIDs dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015 Target 8 : Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah malaria dan penyakit lainnya 7. Menjamin kelestarian lingkungan berkelanjutan; Target 9 : Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional

Target 10: Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas dasar pada 2015 Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020 8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan MDGs dan Pembangunan Daerah Dari 8 tujuan tersebut ditetapkan 48 indikator untuk mengukur ketercapaian tujuan tersebut. Sejak penetapannya pada tahun 2000, MDGs telah menjadi framework global dalam pembangunan dibeberapa sektor penting. Hal ini karena cakupannya yang komprehensif dan terukur, serta mampu menyamakan visi global untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan Pembangunan Milenium menetapkan tahun 2015 sebagai batas waktu pencapaian target-targetnya, dengan mengambil tahun 1990 sebagai baseline data kuantitatifnya. Untuk skala kabupaten, selain mengacu pada target pencapaian MDGs, pelaksanaan pembangunan juga mengacu pada target yang ditetapkan melalui Standar Pelayanan Minimum (SPM) setiap sektor baik yang ditetapkan secara nasional maupun melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Rencana Strategis Daerah (Renstrada), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten dan sebagainya untuk beberapa indikator yang berbeda. Karena targetnya yang secara kuantitatif terukur data yang akurat menjadi kunci utama yang menggambarkan tingkat pencapaiannya. Kendala yang dihadapi didaerah adalah beberapa indikator tidak mempunyai data serial sejak tahun 1990 untuk perbandingan dengan target tahun 2015. Sehingga tidak diketahui secara pasti apakah indikator-indikator yang ditetapkan mengalami kemajuan atau kemunduran dalam perkembangannya. Tetapi melihat trend yang terjadi dalam dua dekade terakhir ini, ada indikator yang mencerminkan perkembangan yang positif seperti penurunan angka kematian ibu dan angka kematian balita, partisipasi sekolah, akses yang sama antara anak laki-laki dan perempuan terhadap kesempatan bersekolah. Ada pula indikator yang justru bergerak mundur, seperti menurunnya jumlah sumber air bersih yang aman dan berkelanjutan, meningkatnya pemakaian kayu bakar untuk bahan bakar rumah tangga, dan meningkatnya jumlah penduduk miskin, serta ada pula indikator yang stagnan seperti pemberantasan penyakit menular yang trend-nya muncul

silih berganti. Kalau diera 90-an HIV/AIDS yang membuat masyarakat dunia khawatir, tetapi di akhir decade tersebut dan awal tahun 2000-an muncul peyakit viral yang lain seperti SARS kemudian Flu burung, malaria, DBD serta penyakit-penyakit tropis lain yang terabaikan seperti kusta (Indonesia masih urutan ketiga didunia setelah India dan Brazil), kaki gajah dan sebagainya. Selama ini proses pengumpulan data pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, lingkungan hidup dan sebagainya dilakukan dengan cara sensus dan survei. Sensus tidak dapat dilakukan secara kontinyu setiap tahun karena keterbatasan dana serta hanya terbatas pada informasi-informasi dasar saja, sedangkan dengan cara survei umumnya hanya dapat menghasilkan rata-rata kabupaten, propinsi dan nasional. Rata-rata kabupaten yang dihasilkan kadang-kadang kurang representatif karena sampel yang tidak cukup besar sehingga data kurang mampu mewakili keadaaan yang sesungguhnya. Selain itu, pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan banyak tanggung jawab pembangunan yang dialihkan kedaerah. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk membantu meningkatkan kapasitas daerah dalam melaksanakan pembangunan. Sehingga pengalihan fungsi dan tanggung jawab tidak memperburuk kehidupan berbangsa tetapi daerah mampu menjadi pilar-pilar yang kuat untuk mendukung negara ini. Perlu dipahami bahwa isu-isu yang ada dalam MDGs bukanlah hal baru. Persoalan-persoalan tersebut sebenarnya sudah ada dari dulu. Hanya konsep MDGs menyusunnya kembali secara struktural dan menetapkan target kuantitatif secara global kemudian diterjemahkan kedalam aksi-aksi yang bersifat lokal. Seperti dijelaskan di bagian awal bahwa ada banyak persoalan yang membuat orang miskin tidak mampu keluar dari kemiskinannya. Selama ini persoalan kemiskinan memberi peluang bagi setiap pihak yang memiliki tanggung jawab untuk mencari alasan untuk melepaskan tanggung jawabnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya indikator kemiskinan yang ditetapkan oleh banak pihak, menyebabkan data dapat dipermainkan sesuai kebutuhan, serta tidak ada upaya yang sungguhsungguh untuk melihat apa akar persoalan. Contoh yang (buat saya) paling menarik adalah cara yang ditempuh peraih Nobel Prof. Muhammad Yunus dengan proyek Grameen-nya di Bangladesh. Salah satu kelemahan institusi ekonomi (bank) adalah tidak ada peluang bagi orang yang benar-benar

miskin (yang tidak punya sesuatu untuk dijadikan agunan) untuk memperoleh kredit. Proyek ini justru sebaliknya, menargetkan kredit mikro pada masyarakat yang benar-benar miskin. Kemampuannya melihat akar persoalan secara riil dan benar-benar masuk kedalam kehidupan orang miskin membuatnya benar-benar tahu apa yang membuat orang sulit keluar dari kemiskinannya dan apa yang mesti diperbuat dengan kelompok masyarakat ini. Beliau memulainya dari kelompok yang paling kecil yaitu desa. Kelompok penduduk paling miskin didesa yang paling miskin. MDGs seperti piramida terbalik yang memberi ruang bagi langkah-langkah kecil baik upaya individu maupun kelompok, yang mengandung visi global. Kalau satu rumah tangga bisa mengurangi pemakaian kayu bakar, maka dia memberi kontribusi terhadap upaya global memerangi pemanasan global. Kalau satu rumah tangga hemat menggunakan air bersih maka dia turut menjaga sumber air bersih yang aman dan berkelanjutan. Kalau satu rumah tangga bisa diangkat dari kemiskinan maka kita turut menjaga upaya global untuk mengeluarkan orang miskin dari kerentanan hidupnya. Pemerintah kabupaten/kota sebagai bagian yang cukup kecil dari struktur pemerintahan nasional tentunya bisa membuat perencanaan yang lebih menyentuh ke akar persoalan dibandingkan pemerintah propinsi atau pemerintah pusat yang biasanya hanya mengkompilasi trend umum atau permukaannya saja. Sebagai pihak yang paling dekat dengan masyarakat tentunya harus lebih tahu akar persoalan pada kelompok-kelompok yang lebih kecil. Setiap daerah memiliki kondisi spesifik masing-masing yang berbeda dengan daerah lainnya. Oleh karena itu pemerintah kabupaten/kota harus sensitif dalam melihat kondisi spesifik ini. Mungkin perilaku rentenir didaerah yang satu berbeda dengan rentenir didaerah lain. Sehingga ada daerah dimana masyarakatnya akan dengan mudah lepas dari keterikatannya pada rentenir ada pula daerah dimana masyarakatnya berlomba-lomba menjadi rentenir. Dikecamatan mana yang paling rentan, desa mana yang paling rentan, dan kelompok masyarakat mana dalam desa tersebut yang paling rentan terhadap sesuatu. Sekali lagi diperlukan sensitifitas yang tinggi dan tingkat komitmen yang paling tinggi yang tidak mendahulukan kepentingan apapun kecuali untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan prinsip human development, human security dan human rights.

Dikutip dari: http://bimacenter.com/content/view/161/182/

You might also like