You are on page 1of 13

Konsep Karl Marx dan Max Weber Teori Perubahan Sosial Teori perubahan social dan budaya Karl

Marx yang merumuskan bahwa perubahan soci al dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max w eber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang just ru menjadi sebab perubahan. Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidi kan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal ter sebut disebabkan oleh: Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiol ogi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi menga itkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-har i, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diara hkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons ya ng bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola h ubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988 ) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada po la perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah ad anya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide da n negosiasi. Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedan gkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseo rang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan st atusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menja di status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved stat us). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memanda ng kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan st atus yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan haru s diraih melalui persaingan atau usaha pribadi. Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memb erikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosia l antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terb agi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Ko nsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max W eber (Beteille, 1970). Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komod itas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dal am hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hid up atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor

, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970). Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami s ebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas -kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tra disional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinka n timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu den gan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan org anisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pe ndapatan hingga pendidikan. Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi d alam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini membe rikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyar akat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempenga ruhi struktur sosial yang telah ada. Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin k etatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konfl ik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunc ulkan perubahan sosial dalam masyarakat. Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zaman nya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segal a sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-kary anya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial . Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk memb uktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-mot if ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis ju stru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di du nia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa ma rxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-k elas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme bar u. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yan g dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Je rman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, nam un tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, me lainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus ma rxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan a tas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, ps ikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penja jahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya. Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895 1973) dan Theodor Adorno (1903-1969 ) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya b erkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana perada ban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menak lukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan p ada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah ag

enda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan. Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teor etisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, m ode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi me yakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun be rgerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebag ainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transfor masi sosial di kemudian hari. Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai p erkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memili ki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di te ngah-tengah masyarakat. Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi i nspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, men erangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sa ngat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungka n politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersa ndar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas a lat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilik an akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontr ol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa termino logi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imp eratif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi anta ra fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik ) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu s endiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan k ekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang mas yarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terj adinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan k elas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menanta ng legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berl awanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya unt uk kemudian menantang kelas sosial lainnya. Sebelumnya, Georg Simmel (1858 1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah menc oba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah sat u bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dal am masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstrak sikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonom i uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting. Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsek uensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak si stem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat lua s di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integra si antar kelompok. Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh kar

ena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wri ght Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya te ntang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme in i pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemer intahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah b ahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya ad alah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk o ligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik. Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tata nan politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fu ngsionalisme yang meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikia n seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup. Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk s osial, antara lain: 1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner s eksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI. 2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial. 3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk me ncapai revolusi. 4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes ) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering t erjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner. Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disus un sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunj ukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mem punyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu be rulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai me mbagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari intera ksi antar individu dalam masyarakat tersebut. Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun jug a pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah s atu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalny a pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan r itualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipe gang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki ko mando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara ser emonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai per temuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol.

Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut diterapkan dal am Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan yang signifikan dima na setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan pandangannya secara soc ial budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat me njangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan karena perbedaan system yang b erlaku. Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi dala m kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori sosiolog i dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun dalam konteks penggunaan praktis! Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, da n ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-mak alahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protest ant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu m engenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Bara t. Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungki nan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertent angkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelso n, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruh an tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya. Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan k apitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk men cari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masy arakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi baha n perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl M arx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan kegu ncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. M arx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimb ulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-o rang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasa i alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/al at-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis i tu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki. Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah a jaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu send iri. Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehn ya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usah

a mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. De mikian menurut Weber. Tindakan, Kelas, dan Status Sosial Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tida k semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan m empertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelak unya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mem punyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjekt if bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna , yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membaya ngkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, s eorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, mem ahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan ters ebut. Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain menyatakan b ahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang terlibat langsung da lam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait de ngan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dap at memperoleh status yang sama atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga denga n status anggota yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status kel uarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunka n pula status keluarganya. Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena sta tus di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terli hat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-ora ng yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih t inggi Simmel dan Konsep Sosiologinya Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus dok tor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter Acco rding to Kant s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di univer sitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perk embangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologin ya di mana ia berhadapan dengan konsep sosiologi yang positivistik yang dikemban gkan oleh Comte, serta teori evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam menge mbangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme log is yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah inter aksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep d an individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfun gsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru dit emukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel, sosiolo gi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentukbentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapa t menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai masyara kat . Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi mengang

gap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap s ebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam ke hidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saj a dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikol ogis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis . Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis den gan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri. Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya y ang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-a sumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut ko mponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengu ngkap masalah-masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa ya ng dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari k onsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang me libatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok. Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing menempati wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk intera ksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (ty pes) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu. Elemen ke dua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-produk sosi o-kultural dari sejarah manusia. Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkai t dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingk atan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yan g terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekata n ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang memisahk an antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan m asa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, de ngan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konse p dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi. Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal. Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga toko h-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripad a unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebi h menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980 ), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teo ri berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak m ampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme kebudayaan kental da lam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti evolusionisme begitu kentara da lam buku Layton (1997) sendiri. Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam

kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tida k terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justr u beberapa kali menyebutkan pentingnya bersikap netral dalam menanggapi teori (lih at misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara kons isten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka karen a kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh yang memba ngun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An Introduc tion to Theory in Anthropology, ketimbang Sejarah Teori Antropologi sebagaimanakit a temukan dalam buku-buku lain. Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [ Hobbes ya ng pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan a kibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan dengan komunalisme primitif dar i Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosi al sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha m enyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war) , hal. 4-5]. Hal yan g sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang di pertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua to koh yang memiliki lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung sekurangkur angnya secara implisit ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apaka h apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Ma rx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan pe nuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengena i kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Cli fford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucau lt 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi d engan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting. Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya bahw a teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang bers angkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kur ang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema i ni kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikir an teoritis evolusionisme ini pernah dominan dalam sejarah antropologi, khususny a pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semest inya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusi onisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemi kiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang bud i pada pemikiranpemikiran evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran pemiki ran tersebut Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bah wa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaa n sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama menyingkirkan konsep evolusi sos ial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat d

ipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalny a, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi, polemik dan etik dalam kajian antropologi. Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada p erubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pa da dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan sebagai konkretisasi poststr ukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut paradigma baru antropolog i sosial. Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropo logi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim k ita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah mi salnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian me ngenai Fungsionalisme, pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisas i sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain m asih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pent ingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubun gan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsio nalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme. Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dal am pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedu a arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya ada. Layton menyebut bukun ya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar dari konsekuensi narasi ber dasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi pent ing bagi para pengkaji antropologi. Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antrop ologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lai n seperti mengenai Pembagian Kerja (1966) dan Bunuh Diri sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Ind onesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Ma rx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen. Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai i lmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Seri kat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, teta pi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seper ti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sos iologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh -pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi ya ng mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda men dorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengerti an yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.

Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan budaya utilitarianisme sosiologi se akan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dal am perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat Sociology made the residual, Social, Element its sphere . Jadi ranah sosiol ogi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi. Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin. Sociology thus remains concerned with society as a whole as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality . Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with so cial systems or society as a whole , but only as it is a social whole . (Gouldner, 19 73:94) Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahama n dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pema haman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang peruba haan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompokkelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan ban gsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory da n theori yang cakupannya tidak seluas itu. Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan k e Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dar i kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, le bih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat. Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis bu ku berjudul The Coming Crisis of Western Sociology mengungkapkan bahwa Talcott Par sons menghasilkan Academic Sosiology dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekono mi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S . Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pe mikirannya membuahkan theori Social System . Ini sebanya theori tesebut juga mempen garuhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik bany ak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim d an lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbank an faktor dinamika (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengu nggulkan Struktur dan Fungsi . Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus m eluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpe ngaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas nation state . Negara-n egara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelemba gaan dalam masyarakat masing-masing. Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena nation state belum manta p sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilak u sosial yang lebih universal. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA Baik lahirnya nation state Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nas

ional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang di pentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengu las perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di I ndonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1 965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekono mi. Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 19 97 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat. Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan ane ka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru . Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) Contempora ry Sociological Theories sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih me ngintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial. Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Pr esthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961 Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosi al dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang l ebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat pe nulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa. Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa Academic Soci ology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya meni mbulkan gerakan New Left menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) Tentara Mer ah dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorik an dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa. Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi arrive yang kolot oleh gene rasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945 , sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu di rubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala st ratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, k arena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun. Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perl u reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang mempe rhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan h anya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negar a dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga denga n negara-negara sebenua, bahkan di benua lain. Satuan pelaku sosial bukan saja lagi nation state tetapi komunitas negara atau ban gsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah s atu ilustrasi jelas, tetapi juga pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk Hak Azasi Manusia dan Gender dapat segera difahami sebagai komunit as besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bert ahan dengan membatasi diri dengan mempelajari residual social elements seperti pe rnah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.

Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekon omi lagi yang akan bertahan sebagai The Queen of The Social Sciences , tetapi sosio logi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora un tuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan o leh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengert i interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timu r maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebi h kompleks. Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara -negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Ga ltung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses dif erensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara b erkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1 996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan den gan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimoni al dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi ya ng bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang men garah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat pro blematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat. Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung ju stru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia be rtanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya? Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sanga t positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kri tis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman sepe rti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas se gala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju. Persetujuan yang benar-benar tulus dengan apa yang ditulis R. Kristiawan bahwa m edia massa tidak merupakan alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan ( K UNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dik embangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masy arakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan merekonstruksikan realitas sosial , sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan c ermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- co py ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat. Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa b egitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya,

seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media sepe rti itu? (Luhmann, 1996) Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nur aini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya Majalah HAI dan Boyish Culture ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjaw ab pertanyaan bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosi al itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa . Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem i tu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengan dung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap pu blik. Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media ma ssa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam me nganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999). Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosia l pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dip andang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga akt if dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan med ia massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pa da umumnya. Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak me muaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu h anya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan penga matan atas realitas. Tentunya, kenyataan Anda berbeda dengan kenyataan saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan y ang dipakai tidak sama (Luhmann 1990). Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menunt ut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebe naran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang re levan dan informatif buat pembacanya. Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkrit ik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan nor matif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umum nya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkin kan penampakan media yang kurang memuaskan.

You might also like