You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, kewarganegaraan seseorang merupakan suatu hal yang penting. Kewarganegaraan ini memegang peranan pula di lapangan lain, yaitu lapangan hukum publik. Dalam hubungan antara negara dan perseorangan lebih nyata pentingnya status kewarganegaraan seseorang. Apakah seseorang termasuk warga negara atau orang asing besar sekali konsekuensinya dalam kehidupan publik ini. Lebih-lebih dalam suasana hubungan perseorangan, maka dalam bidang publik ini terasa betapa pentingnya status kewarganegaraan. Hal ini adalah logis, mengingat bahwa sebenarnya kewarganegaraan itu tidak lain artinya dari keanggotaan dari sesuatu negara. Secara sederhana kita dapat mengadakan perumpamaan dengan mengambil organisasi atau perkumpulan sebagai contoh. Negara pun sama halnya dengan organisasi. Suatu organisasi tentunya memerlukan pula orang-orang yang dapat merupakan inti darinya. Demikian pula dengan para anggota dari suatu negara yang lazim disebut dengan istilah warga negara. Suatu organisasi tanpa anggota tidak akan ada, begitu pula dengan negara. Negara membutuhkan warganegara untuk dapat menunjukkan bahwa negara tersebut ada. Beberapa tahun belakangan ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mendapat sorotan dunia internasional dalam menangani konflik separatisme yang terjadi di dalam negerinya. Konflik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keberadaan Gerakan Aceh Merdeka dalam wilayah NKRI. Kelompok yang mengatasnamakan rakyat Aceh tersebut terbentuk dari berbagai macam kekecewaan rakyat Aceh akan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Telah banyak darah mengucur akibat konflik kepentingan pusat dan para tokoh politik Aceh sendiri. Rakyat Indonesia terutama rakyat Aceh telah dibingungkan mengenai untuk siapakah pemerintah berunding dan untuk siapakah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang. Karena selama ini pemerintah Indonesia dirasakan kurang peduli terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-hak asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Sebagai obat dari sakit hati rakyat Aceh kepada pemerintah Indonesia maka melalui nota

kesepahaman RI-GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah memasukkan beberapa pasal yang memberikan perlakuan istimewa terhadap para pemberontak eks-GAM yang sebagian telah meninggalkan status kewarganegaraan Indonesianya. Didapatnya perlakuan khusus tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena jangan sampai muncul perasaan ketidakadilan oleh masyarakat karena eks-GAM secara sosiologis juga samasama Warga Negara Indonesia walupun pernah mengkhianati mendapat perlakuan istimewa sedangkan Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri yang setia terhadap negaranya tidak mendapat perlakuan istimewa. Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di Desa Tiro, Kabupaten Pidie, GAM telah menyatakan berpisah dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan untuk melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti jejak para elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya terlebih dahulu dan berpindah menjadi warga negara asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan hukum karena melepaskan status kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan kewarganegaraan ada banyak hal yang perlu diperhatikan karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis, yaitu ke arah satu bangsa Indonesia nasional hegemoni. Paham ini didasari untuk mencegah didapatnya

kewarganegaraan bipatride bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah Indonesia Merdeka Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas

kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga

menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Soekarno, mantan Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman ke Dalat, 250 km Wedyodiningrat sebagai di sebelah timur

ketua BPUPKI diterbangkan

lautSaigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus. Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic). Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara

dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radioBBC.

Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang. Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Da lat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan

kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia. Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang

mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1). Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor. Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian. Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandar dinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah: Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat -singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Wilayah Hindia Belanda Hindia-Belanda (Bahasa Belanda: Nederlands(ch)-Indi) adalah sebuah wilayah koloni Belanda yang diakui secara hukum de jure dan de facto. Kepala negara Hindia-

Belanda adalah Ratu/Raja Belanda seorang Gubernur-Jendral.

dengan perwakilannya

yang berkuasa

penuh

Perbatasan Hindia-Belanda dengan negara tetangganya ditentukan dengan perjanjianperjanjian legal antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Sarawak (protektorat Inggris di bawah dinasti Brooke "the White Rajah"), Borneo Utara Britania (Sabah), Kerajaan Portugis (Timor Portugis),Kekaisaran Jerman (Papua Nugini Utara), Kerajaan Inggris (Papua Nugini Selatan). Hindia-Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam UU Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan Belanda, diamandemen

tahun 1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah Hindia-Belanda. Hindia-Belanda dahulu kala adalah sebuah jajahan Belanda, sekarang

disebut Indonesia. Jajahan Belanda ini bermula dari properti Vereenigde Oostindische Compagnie (atau VOC) yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta beberapa daerah lain semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1798, semua properti VOC menjadi milik pemerintah Republik Batavia. Pada tahun 1900 hanya pulau Jawa saja yang secara keseluruhan milik Belanda. Lalu pada tahun-tahun selanjutnya semua daerah lain diNusantara ditaklukkan atau

dipasifikasikan (didamaikan). Pada puncaknya pada tahun 1942, Hindia-Belanda memiliki semua daerah Indonesia saat ini. Selain itu, kota Melaka, Taiwan, Sri Lanka pernah dimiliki VOC dan pemerintah Belanda. Pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Belanda menentang dan memerangi para pejuang kemerdekaan. Baru pada 27 Desember 1949, kedaulatan Indonesia diakui. Papua bagian barat (Irian Jaya) masih dikuasai Belanda sampai tahun 1961.

Perjuangan Bangsa Indonesia Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Dari Ancaman DisIntegrasi Bangsa Terutama Dalam Pergolakan Dan Pemberontakan Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terjadi di empat daerah, yaitu :

1. DI/TII Jawa Barat Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962. 2. DI/TII Jawa Tengah Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah MerapiMerbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders. 3. DI/TII Aceh Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentanga n antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan

DI/TII di Aceh diselesaikan dengan kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh. 4. DI/TII Sulawesi Selatan Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.

Sejarah Terbentuknya GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ) Gerakan Aceh Mer deka (GAM) didirikan pengasas nya T eungku Hasan Muhammad Tiro pada 4 Des ember 1976. Pemberitahuan secara meluas t entang gerakan itu dilakukan di Glee Alimon (gunung ali mun) s ebuah t empat bers ejarah dalam per gerakan DI/TII yang dipi mpin T eungku Muhammad Dawud Beur eu-eh. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir. Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh

mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah. Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga yaitu prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh. Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI. Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.

Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa. Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan Soekarno.

Merasa Dikhianati Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001). GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi

melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.

Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Begitu juga dengan jumlah personil anggota GAM, sumber dana dan jaringan internasionalnya. Batas akhir maklumat pemerintah 12 Mei lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika

rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI. Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masingmasing komando dibawahi panglima wilayah. Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina

Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong balee (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang. Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina -- Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom -- Aceh Barat -- dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia. Senjata-senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.

Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang cepat dan tepat. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor. Membeli senjata tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh. Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajeuek Tengku Tanzura. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut PT. Pupuk Iskandar Muda (PT. PIM) pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha sahabat GAM itu. Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total. Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal.

I.2 Permasalahan Oleh karena nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM memiliki pengaruh yang besar terhadap ketatanegaraan khususnya masalah kewarganegaraan, maka

diperlukanlah analisis yang mendalam dalam mencermati pasal-pasal mengenai pemberian kembali status kewarganegaraan eks-GAM beserta hak-hak istimewa yang didapatkannya. Mendasarkan hal tersebut di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: 1. Apakah status GAM dalam hukum internasional? 2. Bagaimana implikasi hukum terhadap para anggota GAM yang telah melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya? 3. Akibat-akibat apa saja yang akan terjadi dengan memberikan kembali status kewarganegaraan terhadap eks-GAM terutama pada tokoh politik GAM?

I.3 Metodologi Penulisan Dalam menyusun makalah ini, penulis mendapatkan dengan mencari referensi dari media dan kemajuan teknologi informasi yang ada untuk mengikuti perkembangan terkini dengan harapan penulis juga mendapatkan data-data berkaitan.

BAB II GAM: ANTARA INTERNASIONALISASI DAN STATUS SEBAGAI BELLIGERENT

II.1 Status GAM dalam Hukum Internasional Sebelum membahas lebih jauh mengenai Nota Kesepahaman antara RIGAM, perlu diketahui dahulu status GAM di dalam hukum internasional. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia. Melalui konvensi-konvensi internasional subyek hukum yang diklasifikasikan sebagai subyek hokum internasional antara lain adalah negara, Tahta suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang perorangan/individu (dalam arti yang terbatas) dan pemberontak dalam sengketa2. Di antara subyek-subyek hokum tersebut, negara merupakan subyek hukum yang utama dikarenakan negara memiliki kedaulatan. Dengan kedaulatan tersebut, negara memiliki hak-hak khusus terhadap negaranya yang tidak dapat diganggu gugat oleh Negara lain. Dengan melihat dari sudut ilmu ketatanegaraan, yang dapat memberikan status warga negara hanyalah negara. Karena itu, apabila ada penduduk Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan melepaskan status kewarganegaraannya tentunya selanjutnya dipertanyakan warga negara manakah yang ia anut ataukah dia tidak memiliki kewarganegaraan (apatride)?.

II.2 Unsur-unsur Negara pada GAM GAM agar dapat menjadi sebuah negara yang dapat memberikan status kewarganegaraan terhadap penduduk Aceh haruslah memenuhi unsur-unsur yang terbagi menjadi dua jenis yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur obyektif ada tiga, yang pertama adalah wilayah. Wilayah merupakan batas/yuridiksi/wilayah hukum kewenangan suatu negara. Dalam kasus Aceh, wilayah yang diklaim oleh GAM adalah wilayah Aceh berdasarkan perjanjian Sumatera 1 Juli 1956 antara pemimpin Aceh pada masa itu dengan

kolonial Belanda pada abad ke-17. Kedua adalah penduduk, yang dianggap sebagai penduduk yang sah adalah sekelompok manusia yang memiliki kesamaan (keturunan, ciri, ataupun tempat) yang menyatakan bahwa mereka merupakan suatu negara. Ada beberapa kriteria tidak tertulis yang harus dipenuhi dalam menilai unsur penduduk. Kriterianya adalah sebagai berikut : 1. Proporsionalitas jumlah penduduk dengan luas wilayahnya. 2. Kemampuan negara tersebut dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan dunia internasional. 3. Ditujukan terhadap penduduk yang berdomisili tetap dalam wilayah tersebut. Dalam konteks kekinian dengan melihat perkembangan yang terjadi di Aceh kebanyakan dari penduduk Aceh telah banyak terjadi pencampuran ras. Selain itu, dengan semakin mudahnya transportasi antarprovinsi dan banyaknya industri di Aceh menjadikan sebagian dari penduduk Aceh bukanlah merupakan penduduk asli Aceh. Akan tetapi, mereka telah terikat secara kultural secara bertahun tahun dengan Aceh sehingga sulit untuk dibedakan dengan penduduk asli Aceh. Ketiga adalah pemerintahan yang mendapat legitimasi dari rakyatnya, dengan melihat sepak terjang GAM dalam melakukan aksinya tidaklah dapat dikatakan GAM mendapat legitimasi oleh rakyat Aceh. Belum jelas siapakah yang diperjuangkan oleh GAM karena selama ini banyak pula tindakan dari GAM yang sewenang-wenang terhadap rakyat Aceh sendiri. Rakyat Aceh masih memberikan legitimasinya terhadap Republik Indonesia. Selain syarat obyektif tersebut masih diperlukan syarat subyektif untuk dapat dikategorikan menjadi negara. Unsur subyektif tersebut adalah pengakuan dari negara lain. Unsur inilah yang diperjuangkan oleh Hasan Tiro dan elit GAM lainnya dari negara lain. Dalam kehidupan politik internasional pengakuan dari Negara lain memiliki pengaruh yang kuat dalam terbentuknya suatu negara. Dengan mendapat dukungan dari negara ketiga maka tahapan untuk menjadi negara telah ditempuh. Minimal, walaupun tidak diakui sebagai negara, akan tetapi dapat berkedudukan sebagai subyek hukum internasional lainnya yaitu pihak dalam sengketa (belligerent).

II.3 GAM sebagai Pihak dalam Sengketa (Belligerent) Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam keadaan tertentu. Contoh yang paling mudah adalah Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Untuk mendapatkan status subyek hukum internasional tersebut, GAM haruslah mendapat pengakuan dari negara lain bahwa eksistensinya dapat dibenarkan berdasarkan alasan-alasan yang rasional3. Dalam menilai siapa saja yang dapat dimasukkan ke pihak dalam sengketa, negaranegara yang hendak memberikan pengakuan dituntut untuk berhati-hati karena pengertian ini sudah berbeda konteks. Konteks yang dimaksud oleh konvensi-konvensi internasional terdahulu adalah mereka yang merupakan suatu bagian terjajah berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan. Sedangkan pada masa kini penjajahan dalam arti menyerang kedaulatan negara lain sudah tidak tampak lagi. Bila tidak hati-hati maka dapat dipastikan akan banyak pihakpihak yang berusaha melepaskan diri dari negara lain, sehingga dapat membahayakan kedaulatan dari tiap-tiap negara. GAM belumlah dapat dianggap sebagai pihak yang bersengketa karena belum adanya negara lain yang mengakui secara tegas eksistensi GAM dalam memperjuangkan pencapaiannya. Adapun negara yang memberikan bantuan terhadap secara tidak langsung terhadap GAM adalah Negara Finlandia. Kedekatan Hasan Tiro dengan Pemerintahan Finlandia telah menimbulkan pertanyaan apakah benar Finlandia telah mengakui eksistensi GAM. Walaupun Negara ini telah memberikan bantuan-bantuan berupa kewarganegaraan bagi Hasan Tiro dan sebagai fasilitator perundingan bagi GAM dan Indonesia, negara ini belum pernah memberikan pernyataan secara tegas akan eksistensi GAM. Dengan belum diakuinya GAM sebagai subyek hokum internasional maka kewarganegaraan GAM tentulah tidak dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Untuk itu perlu disadari penolakan kewarganegaraan Indonesia oleh mereka dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia.

BAB III MOU RI-GAM DAN PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN DI DALAMNYA

III.1

Permasalahan Kewarganegaraan dalam Memorandum of Understanding (MoU) RI-GAM Semenjak diproklamasikannya Aceh merdeka, para pihak yang tergabung dalam

GAM mulai melepaskan status kewarganegaraanya. Ada yang berpindah menjadi warganegara lain dan adapula yang tidak mengakui kewarganegaraan Indonesiannya. Kedua hal tersebut memberikan pengertian yang berbeda. Bagi yang berpindah menjadi warganegara lain maka secara otomatis dia kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya. Hal tersebut disebabkan oleh stelsel kewarganegaraan Indonesia menghindarkan

kewarganegaraan ganda (bipatride). Ditambah dengan berpindahnya kewarganegaraan tersebut ia tentunya sudah menggunakan haknya di negara lain, contohnya adalah dengan mengikuti pemilu di negara lain. Jadi, dengan berpindah kewarganegaraan tentunya ia telah kehilangan kewarganegaraan RI. Berbeda halnya dengan tidak mengakui kewarganegaraan Indonesia. Mengingat kewarganegaraan lebih merupakan hak bagi penduduk suatu negara maka dengan tidak mengakui kewarganegaraan Indonesia tersebut tidak berarti dia akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Akan tetapi bagi para anggota GAM yang telah ikut latihan militer di Liberia berdasarkan Undang-undang 62 Tahun 1958, dia kehilangan warga negaranya Indonesianya. Mengikuti latihan militer di negara lain berarti dia telah mengikuti dinas militer yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang. Perlu untuk diingat, hilangnya kewarganegaaraan tersebut bukan berarti segala tindakan melawan hukum yang dilakukannya akan lepas dari jeratan hukum Indonesia. Atas dasar melepaskan hak bukan berarti menghapuskan kewajiban untuk patuh terhadap hukum. Perundingan Helsinki diharapkan menjadi perundingan yang terakhir antara RI dengan GAM. Dalam perundingan ini, RI memberikan maaf kepada para pihak yang tergabung dalam GAM. Salah satu bentuk pemberian maaf tersebut adalah dengan memberikan hak opsi kepada para anggota GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya. Hak opsi tersebut memiliki syarat bahwa dengan memilih kewarganegaraan

Indonesia, maka bila dia masih memiliki kewarganegaraan lain ia diwajibkan untuk melepaskan kewarganegaraan lainnya itu. Pemberian kembali kewarganegaraan RI tersebut memberikan implikasi bahwa mantan pemberontak yang telah mengkhianati tanah airnya mendapatkan kembali hakhaknya sebagai warga negara. Hak - hak yang diperolehnya antara lain hak untuk mendapat lapangan pekerjaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk memilih agama, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapat perlindungan hukum di negara lain, serta hak-hak lainnya yang terdapat dalam Pasal 28 UUD 1945. Kesepakatan mengenai penyelesaian permasalahan kewarganegaraan terdapat dalam bab selanjutnya mengenai amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat bagi para eks-GAM. Dalam pasal-pasalnya dijelaskan bahwa paling lambat 15 hari setelah penandatanganan MoU, berdasarkan prosedur UUD 1945, Pemerintah RI akan memberikan amnesty kepada semua orang yang telah ikut serta dalam aktivitas GAM. Tahanan dan tawanan politik yang terkait dengan itu segera dibebaskan tanpa syarat. Penggunaan senjata oleh anggota GAM setelah penandatanganan MoU dianggap sebagai pelanggaran, dan orang tersebut akan didiskualifikasikan dari amnesti. Disepakati, semua pihak yang telah mendapat amnesti, atau yang telah dibebaskan dari penjara mendapat semua hak politik, ekonomi dan sosial, serta bebas berpartisipasi dalam proses politik baik di Aceh maupun tingkat nasional. Bahkan orang-orang yang selama konflik telah melepaskan kewarganegaraan RI, mereka memiliki hak untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut. Pemerintah RI dan penguasa-penguasa di Aceh akan membantu mempermudah mantan anggota GAM dalam berintegrasi dan berbaur kembali dengan masyarakat sipil. Hak politik merupakan hal yang klasik melekat pada status warganegara. Hak politis disini adalah hak untuk turut serta dalam pemerintahan dan badan-badan perwakilan rakyat dengan mempergunakan hak untuk dipilih dan memilih. Bahwa orang yang bukan termasuk dalam warganegara tak diperkenankan turut serta dalam pemilihan umum adalah logis. Undang-undang tentang pemilihan umum juga menegaskan dalam pasal pertamanya bahwa hak untuk dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat disediakan bagi warga negara. Ketentuan yang serupa dapat kita ketemukan dalam peraturan-peraturan mengenai pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu dalam Pasal 18 dan 25 Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan-ketentuan ini merupakan pelaksanaan daripada apa yang ditentukan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1).

Selain itu, untuk dapat dipilih menjadi Presiden RI menurut UUD 1945 haruslah orang Indonesia asli. Sedangkan dalam UUD Sementara 1950 yang kini tidak berlaku lagi haruslah Warga Negara Indonesia. Proses reintegrasi itu mencakup juga fasilitas ekonomi, dan berlaku tidak hanya bagi mantan aktivis dan pejuang GAM terdahulu, tetapi juga termaktub bagi bekas tahanan politik bahkan orang sipil yang terkena dampak. Dalam hubungan itu RI akan mengalokasikan dana untuk rehabilitasi bangunan publik dan pribadi yang hancur akibat konflik, dana tersebut akan dikelola oleh penguasa di Aceh. Selain itu, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan juga dana kepada penguasa Aceh yang akan dialokasikan kepada semua pejuang GAM terdahulu. Mereka akan menerima tanah pertanian yang sesuai, pemberian kerja, dan jika tidak mampu bekerja akan diberikan jaminan sosial yang memadai dari pihak berwenang di Aceh.Hal itu juga berlaku bagi bekas tahanan politik yang telah mendapat amnesti, termasuk orang sipil yang terkena dampak. Dengan semua hak istimewa tersebut diharapkan para pejuang GAM yang telah menaruh senjatanya diharapkan dapat segera berbaur dengan rakyat Aceh yang lain tanpa harus merasa terasing. Maksud pemerintah RI tersebut memang baik tetapi hal tersebut tentu saja akan menimbulkan kecemburuan sosial di antara rakyat Aceh sendiri dan mungkin saja bagi rakyat provinsi lain bias juga melakukan hal yang sama seperti usaha-usaha yang dilakukan oleh GAM. Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan Indonesia maka para mantan anggota GAM mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam pemerintahan. Hal tersebut terbuka lebar mengingat dalam pasal-pasal nota kesepahaman antara pemerintah RI-GAM terdapat pengaturan mengenai partisipasi partai politik local dalam pemilu. Partai politik lokal tersebut tentunya menjadi tunggangan yang empuk bagi para elit atau tokoh politik GAM untuk kembali memperoleh pengaruhnya dalam pemerintahan Aceh. Bukan tak mungkin partai politik local tersebut tak lain merupakan dari perubahan nama GAM saja. Melalui jangka panjang bukan tak mungkin bila konflik Aceh kembali timbul ke permukaan manakala partai politik tersebut merasa tidak puas dengan pemerintahan pusat. Karena bila kita bicara politik kepentingan pribadi dan golonganlah yang bermain di dalamnya.

III.2 Penerimaan Kembali Anggota GAM sebagai WNI Hasil kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM memungkinkan diterimanya kembali para mantan anggota GAM, termasuk pemimpin dan tokohnya, menjadi WNI. Namun, dalam wawancara dan pernyataan para petinggi GAM, terlihat bahwa mereka terkesan menghindari penggunaan istilah bahasa Indonesia, baik untuk merujuk masyarakat maupun negara. Naskah MoU pun tidak menyebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sekalipun. Istilah yang digunakan dalam naskah tersebut adalah Konstitusi. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan para petinggi GAM tersebut mengakibatkan berbagai pihak mengusulkan diadakannya sebuah pengujian terhadap kesetiaan para ekstokoh GAM kepada NKRI. Pendapat itu menyatakan bahwa seharusnya pemberian amnesti kepada pimpinan dan anggota GAM yang berada di lembaga pemasyarakatan dilakukan dengan syarat pengucapan janji setia. Guru Besar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. merekomendasikan pemerintah untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran MoU yang telah mereka sampaikan pada masyarakat. Seluruh tafsiran yang disampaikan dalam menyikapi pasal-pasal kontroversial selalu berbasis pada peraturan perundangundangan Indonesia. Beliau juga berpendapat, seruan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar pimpinan dan anggota GAM berikrar setia pada NKRI setelah mendapatkan amnestiatau abolisi perlu diperhatikan oleh pemerintah. Kewajiban ikrar ini merupakan tafsiran yang didasarkan pada bingkai NKRI karena MoU tidak mengaturnya. Ikrar menjadi penting karena pemerintah harus menghindari situasi di mana anggota dan pimpinan GAM menerima abolisi atau amnesty tetapi tidak mengakui NKRI.

BAB IV PENUTUP

IV.1 Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut : a. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia. b. Kewarganegaraan GAM tidak dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Dengan demikian, penolakan

kewarganegaraan Indonesia oleh para anggota GAM dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia. c. Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan Indonesia maka para mantan anggota GAM mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam pemerintahan.

IV.2 Saran Adalah hal yang amat penting bagi Pemerintah RI untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran dengan berdasar pada bingkai RI, yaitu yang telah disampaikan kepada publik di Indonesia. Namun demikian, perlu disadari bahwa tafsiran ini belum tentu sejalan dengan tafsiran dari GAM. Kemungkinan yang ada adalah GAM menafsirkan dengan berdasar pada keinginan mereka untuk merdeka. Dalam situasi seperti telah dijelaskan di atas, peran lembaga negara seperti DPR serta masyarakat sangat penting untuk memberikan tekanan pada pemerintah agar implementasi MoU selalu mengacu pada peraturan perundangundangan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istimewa:Pencarian&search=Sejarah+lahirn ya+GAM. diakses : 27/11/2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1945-1949). diakses: 27/11/2010 http://gurumuda.com/bse/pembentukan-alat-kemerdekaan-nkri#more 10486.diakses:27/11/2010 http://syadiashare.com/sinopsis-sejarah-indonesia.html. diakses:28/11/2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia. diakses:28/11/2010 http://estananto.wordpress.com/2005/01/26/kronologi-aceh/. diakses : 28/11/2010 http://acehpedia.org/GAM. diakses: 28/11/2010 http://www.bluefame.com/index.php?showtopic=70580. Diakses : 28/11/2010

You might also like