You are on page 1of 33

40

Pengantar Memahami FILSAFAT


I. Pendahuluan

Filsafat / filosofi berasal dari kata Yunani yaitu philos (suka) dan sophia (kebijaksanaan), yang diturunkan dari kata kerja filosoftein, yang berarti : mencintai kebijaksanaan, tetapi arti kata ini belum menampakkan arti filsafat sendiri karena mencintai masih dapat dilakukan secara pasif. Pada hal dalam pengertian filosoftein terkandung sifat yang aktif. Filsafat adalah pandangan tentang dunia dan alam yang dinyatakan secara teori. Filsafat adalah suatu ilmu atau metode berfikir untuk memecahkan gejala-gejala alam dan masyarakat. Namun filsafat bukanlah suatu dogma atau suatu kepercayaan yang membuta. Filsafat mempersoalkan soalsoal: etika/moral, estetika/seni, sosial dan politik, epistemology/tentang asal pengetahuan, ontology/tentang manusia, dll. Ketika kita memasuki alam pustaka filsafat maka kita akan bingung sendiri dengan begitu banyaknya buku, thesis, teori yang jumlahnya ribuan banyaknya. Untuk itu agar tidak membuang waktu dan terhindar dari kekacauan, kita dapat memakai cara Engels memisahkan filsafat itu menjadi dua kubu besar yaitu filsafat materialis dan filsafat idealis, materialisme dan idealisme. Yang dipisahkan menurut Engels ialah didasarkan atas sikap yang diambil oleh si pemikir, yakni apa yang pertama ada terlebih dahulu. Yang mengatakan benda dahulu baru datang fikiran itulah yang materialis dan yang mengatakan fikiran dahulu baru datang benda itulah yang idealis. Pada kubu idealis kita dapatkan beberapa pemikir terkemuka seperti Plato, Hume, Berkeley dan raksasa pikiran Hegel, pada kubu materialis kita berjumpa dengan Heraklit, Demokrit, Diderot dan berpuncak pada Marx dan Engels. Diantara kedua kubu ini ada juga yang berdiri ditengah-tengah setengah idealis dan setengah materialis ini disebut dengan penganut filsafat dualisme. Pentingnya berfilsafat dan cara belajar filsafat Berfilsafat itu penting, dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman untuk bersikap dan bertindak secara sadar dalam menghadapi gejala-gejala yang timbul dalam alam dan masyarakat, sehingga tidak mudah tejebak dalam timbul-tenggelamnya gejala-gejala yang terjadi. Untuk belajar berfilsafat orang harus mempelajari filsafat. Cara belajar filsafat adalah menangkap pengertiannya secara ilmu lalu memadukan ajaran dan pengertiannya dalam praktek. Kemudian pengalaman dari praktek diambil dan disimpulkan kembali secara ilmu. Monoisme dan Dualisme Monoisme adalah suatu system filsafat yang bertitik tolak dari satu dasar pandangan , materi atau ide, yang mengatakan materi adalah primer adalah yang tergabung dalam aliran materialisme, sedangkan yang mengatakan ide adalah primer atau yang pertama mereka inilah yang tergabung dalam lairan idealisme. Istilah atau perkataan monoisme pertamakali dipakai oleh seorang filsuf bernama Chr. Wolf pada abad ke-18

Dualisme adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari materi dan ide sekaligus. Dualisme menganggap materi dan ide itu sama-sama primer, tidak ada yang sekunder. Keduanya timbul dan ada secara bersamaan. Materi ada karena adanya ide dan juga sebaliknya ide itu ada karena adanya materi. Tapi pada hakikatnya pandangan ini idealis juga, karena pandangan itu tidak lain hanya ada dalam fikiran saja, karena tidak ada dalam kenyataan.

II.

Materialisme dan Idealisme

Seperti sudah dijelaskan diatas apa yang selalu menjadi pertanyaan filsafat akhirnya berpuncak pada apakah yang ada lebih dahulu, apakah yang primer benda atau fikiran, materi atau ide. Yang berpendapat ide/fikiran dahulu ada baru benda kemudian muncul dari padanya adalah yang digolongkan pada kaum Idealisme. Dan yang berpendapat bahwa benda/materi ada lebih dahulu baharu kemudian muncul ide mereka itulah yang berdiri di barisan kaum Materialisme Jadi pengertian idealisme itu bukanlah seperti yang difitnahkan oleh orang-orang tertentu yaitu bahwa kaum materialis itu adalah orang-orang yang hanya mencari kesenangan hiduptak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, penganut sex bebas dsb-nya. Sedangkan kaum Idealis adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kesucian, lebih mementingkan berpikir dari pada makan, dll.

a. Filsafat Idealisme
Idealisme ialah filsafat yang pandangan yang menganggap atau memandang ide itu primer dan materi adalah sekundernya, dengan kata lain menganggap materi berasal dari ide atau diciptakan oleh ide. Dengan David Hume sebagai filsuf idealis subyektif, kita dapat menggambarkan seluruh ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel, if I go into myself, kalau saya memasuki diri saya sendiri, kata Hume, maka saya jumpai bundles of conception, bermacam pengertian, bermacammacam gambaran tentang benda. Engkau, kata Hume cuma ide bagi saya (Hume). Tapi Engkau buat Hume adalah saya buat Udin, misalnya. Jadi Udin bagi Hume hanyalah Ide, tetapi Hume juga cuma ide buat Udin, Udin dipandang dari pihak Hume hanya Ide, hanya gambaran di otak Hume begitu juga sebaliknya. Dengan begitu Hume membatalkan dirinya sendiri , mengakui bahwa dia sendiri tidak ada dan, hanya ide ??? Terhadap adanya pandangan idealisme demikian itu, Lenin dengan tajam mengeritik idealisme sebagai filsafat yang tanpa otak dan dikonsolidasikan oleh kepentingan klas-klas yang berkuasa -klas-klas pemilik budak, kaum feodal dan kaum borjuasi --. Aliran-aliran dalam filsafat Idealisme 1. Idealisme Obyektif Idealisme obyektif adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan idealismenya itu bertitik tolak dari ide universil (Absolute Idea- Hegel / LOGOS-nya Plato) ide diluar ide manusia. Menurut idealisme obyektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil.

Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materiil, yang ada secara abadi diluar manusia, sesuatu yang bukan materiil itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya. Dalam bentuknya yang amat primitif pandangan ini menyatakan bentuknya dalam penyembahan terhadap pohon, batu dsb-nya. Akan tetapi sebagai suatu system filsafat, pandangan dunia ini pertama-tama kali disistimatiskan oleh Plato (427-347 S.M), menurut Plato dunia luar yang dapat di tangkap oleh panca indera kita bukanlah dunia yang riil, melainkan bayangan dari dunia idea yang abadi dan riil. Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan klas yang berkuasa pada waktu itu di Eropa yaitu klas pemilik budak. Dan ini jelas nampak dalam ajarannya tentang masyarakat ideal. Pada jaman feodal, filsafat idealisme obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal dengan nama Skolastisisme, system filsafat ini memadukan unsur idealisme Aristoteles (384-322 S.M), yaitu bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan hirarki dari seluruh system hirarki dunia semesta, begitupun yang hirarki yang berada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari dunia keTuhanan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini maupun dalam alam semesta merupakan penjelmaan dari titah Tuhan atau perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai wakil Tuhan didunia ini. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena (833 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M), Duns Scotus (1270-1308 M), dsb. Kemudian pada jaman modern sekitar abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat idealisme obyektif yang baru, yaitu system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel (1770-1831 M). Menurut Hegel hakekat dari dunia ini adalah ide absolut, yang berada secara absolut dan obyektif didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. Ide absolut ini, dalam prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat, dan gejala fikiran. Filsafat Hegel ini mewakili klas borjuis Jerman yang pada waktu itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan klasnya menghendaki suatu perubahan social, menghendaki dihapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa sesuatu itu senantiasa berkembang dan berubah tidak ada yang abadi atau mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi karena kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu membuat mereka tidak berani terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa ketika itu. Pikiran filsafat idealisme obyektif ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam bentuk. Perwujudan paling umum antara lain adalah formalisme dan doktrinerisme. Kaum doktriner dan formalis secara membuta mempercayai dalil-dalil atau teori sebagai kekuatan yang maha kuasa , sebagai obat manjur buat segala macam penyakit, sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan praktis mereka tidak bisa berfikir atau bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat yang kongkrit, mereka adalah kaum textbook-thingking. 2. Idealisme Subyektif Idealisme subyektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.

Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala, sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita itu bukanlah bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang materiil misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan perasaan/konsepsi tertentu (bundles of conception David Hume (1711-1776 M), -ed), yaitu perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dsb. Dengan demikian Berkeley dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif, dan hanya mengakui adanya materi atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja. Kesimpulan yang dapat ditarik dari filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat egoistis Akuisme yang hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya Aku, segala sesuatu yang ada diluar selain Aku itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi dari Aku. Untuk berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan Aku-isme/solipisme Berkeley menyatakan hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi. Filsafat Berkeley dan Hume ini adalah filsafat Borjuasi besar Inggris pada abad ke-18, yang merupakan kekuatan reaksioner menentang materialisme klasik Perancis, sebagai manifestasi dari kekuatiran atas revolusi di Inggris pada waktu itu. Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal dengan nama Positivisme, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857 M), menurutnya hanya pengalaman-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya , selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan pencetus ide pragmatisme, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau cash-value(nilai kontan)-lah yang dapat diterima oleh akal si Aku tsb. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah filsafat yang mewakili kaum borjuasi besar di negeri yang katanya the biggest of all. Sebab dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si Aku. Pandangan-pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini :
Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung pada orang yang menerimanya, ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan buruk bagi mereka yang menganggapnya buruk. kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk dipemerintahan tidak jujur, kalau mereka diganti dengan orangorang yang jujur maka keadaan akan menjadi baik. aku bisa, kau harus bisa juga, dsb.

b. Filsafat Materialisme
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru ada ide. Pandangan ini berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu dan zat. Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada didunia, alam

raya ini sudah ada. Menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide bila tidak mempunyai otak, otak itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada baharu muncul ide dari padanya. Atau seperti kata Marx Bukan fikiran yang menentukan pergaulan, melainkan keadaan pergaulan yang menentukan fikiran. Maksudnya sifat/fikiran seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat sekelilingnya, masyarakat sekelilingnya ini menjadi materi atau sebab yang mendorong terciptanya fikiran dalam individu tersebut. Aliran-aliran dalam materialisme 1. Materialisme Mekanik Materialisme mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis sedangkan metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak dan berubah, geraknya itu adalah gerakan yang mekanis artinya, gerak yang tetap selamanya atau gerak yang berulang-ulang (endless loop) seperti mesin yang tanpa perkembangan atau peningkatan secara kualitatif. Materialisme mekanik tersistematis ketika ilmu tentang meknika mulai berkembang dengan pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pengusung materialisme pada waktu itu ialah Demokritus ( 460-370 SM), Heraklitus ( 500 SM) kedua pemikir Yunanai ini berpendapat bahwa aktivitas psikik hanya merupakan gerakan atom-atom yang sangat lembut dan mudah bergerak. Mulai abad ke-4 sebelum masehi pandangan materialisme primitif ini mulai menurun pengaruhnya digantikan dengan pandangan idealisme yang diusung oleh Plato dan Aristoteles. Sejak itu, 1700 tahun lamanya dunia filsafat dikuasai oleh filsafat idealisme. Baru pada akhir jaman feodal, sekitar abad ke-17 ketika kaum borjuis sebagai klas baru dengan cara produksinya yang baru, materialisme mekanik muncul dalam bentuk yang lebih modern karena ilmu pengetahuan telah maju sedemikian pesatnya. Pada waktu itu ilmu materialisme ini menjadi senjata moril / idiologis bagi perjuangan klas borjuis melawan klas feodal yang masih berkuasa ketika itu. Perkembangan materialisme ini meluas dengan adanya revolusi industri, di negeri-negeri Eropa. Wakil-wakil dari filsafat materialis pada abad ke-17 adalah Thomas Hobbes(1588-1679 M), Benedictus Spinoza (1632-1677 M) dsb. Aliran filsafat materialisme mekanik mencapai titik puncaknya ketika terjadi Revolusi Perancis pada abad ke-18 yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789 M), Lamettrie (1709-1751 M) yang disebut juga materialisme Perancis. Materialisme Perancis dengan tegas mengatakan materi adalah primer dan ide adalah sekunder, Holbach mengatakan : materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari bermacam hal-ichwal itu adalah hasil dari bermacam impresi atau berbagai macam perubahan yang terjadi di alam pikiran kita terhadap halichwal itu. Materialisme Perancis menyangkal pandangan religus tentang penciptann dunia (Demiurge), yang sebelum itu menguasai alam pikiran manusia.. Bahkan secara terang-terangan Holbach mengatakan nampaknya agama itu diadakanhanya untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk dibawah kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya didalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang yang datang mengancam mereka dengan kemarahan Tuhan, memakasa mereka diam dan mengarahkan pandangan mereka kelangit, dengan demikian mereka tidak lagi dapat melihat sebab sesungguhnya daripada kemalangannnya itu. Materialisme Perancis adalah pandangan yang menganggap segala macam gerak atau gejala-gejala yang terjadi dialam itu dikuasai oleh gerakan mekanika, yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan segala aktivitetnya pun dipandang seperti mesin yang bergerak secara mekanik, ini tampak jelas sekali dalam karya Lamettrie yang berjudul Manusia adalah

mesin. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif dari ide atau pikiran terhadap materi. Pandangan ini adalah ciri dan sekaligus kelemahan materialisme Perancis.

2. Materialisme metafisik Materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap atau statis selamanya seandainya materi itu berubah maka perubahan tersebut terjadi karena faktor luar atau kekuatan dari luar. Gerak materi itu disebut gerak ekstern atau gerak luar. selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisah-pisah atau tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Materialisme metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan materialisme ini mengakui bahwa adanya ide absolut pra-dunia dari Hegel , adanya terlebih dahulu kategori-kategori logis sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasakan oleh panca indera kita adalah satu-satunya realitet. Tetapi materialisme metafisik melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, atau segala sesuatu itu berdiri sendiri. Dan segala sesuatu yang real itu tidak bergerak, diam. Pandangan ini mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang penuh cinta kasih. Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang menekankan hubungan manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru yaitu hubungan cinta kelamin antara manusia dengan manusia. Seperti kata Feurbach: Tuhan adalah bayangan manusia dalam cermin, Feurbach menentang teologi, dalam filsafatnya atau agama baru-nya Feurbach mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia itu Tuhan. Feurbach tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan materi, yang materi bagi Feurbach adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen) sedangkan dunia dimana manusia itu tinggal tidak ada baginya, atau menganggap sepi ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut. Materialisme metafisik menganggap kontradiksi sebagai hal yang irasionil bukan sebagai hal yang nyata, disinilah letak dari idealisme Feurbach. Pandangannya bertolak daripada materialisme tetapi metode penyelidikan yang dipakai ialah metafisis. Metode metafisis inilah yang menjadi kelemahan terbesar bagi materialisme Feurbach. 3. Materialisme dialektis Materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada matter (benda) dan metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai keterhubungan satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan saling bergantung satu dengan lainnya. Gerak materi itu adalah gerakan yang dialektis yaitu pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang lebih tinggi atau lebih maju seperti spiral. Tokoh-tokoh pencetus filsafat ini adalah Karl Marx (1818-1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M). Gerakan materi itu adalah gerak intern, yaitu bergerak atau berubah karena dorongan dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut diam itu hanya tampaknya atau bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang tampaknya atau bentuknya diam itu isinya tetap gerak, jadi diam itu juga suatu bentuk gerak.

Metode yang dipakai adalah dialektika Hegel, Marx mengakui bahwa orang Yunani-lah yang pertama kali menemukan metode dialektika, tetapi Hegel-lah yang mensistematiskan metode tersebut. Tetapi oleh Marx dijungkir balikkan dengan bersandarkan materialisme. Marx dan temannya Engels mengambil materialisme Feurbach dan membuang metodenya yang metafisis sebagai dasar dari filsafatnya. Dan memakai dialektika sebagai metode dan membuang pandangan idealis Hegel. Dialektika Hegel menentang dan menggulingkan metode metafisis yang selama beabad-abad menguasai lapangan filsafat. Hegel mengatakan yang penting dalam filsafat adalah metode bukan kesimpulan-kesimpulan mengenai ini dan itu. Ia menunjukkan kelemahan-kelemahan metafisika : 1. Kaum metafisis memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi dipandangnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sedangkan Hegel memandang dunia sebagai badan kesatuan, segala sesuatu didalamnya terdapat saling hubungan organic. 2. Kaum metafisis melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat segala sesuatu dari perkembangannya, dan perkembangannya itu disebabkan kontradiksi internal, kaum metafisik berpendapat bahwa: segala yang bertentangan adalah irasionil. Mereka tidak tahu bahwa akal (reason) itu sendiri adalah pertentangan. 3. Sumbangan Hegel yang terpenting adalah kritiknya tentang evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan mengemukakan teorinya tentang lompatan (sprong) dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses perkembangannya, tetapi perkembangannya hanya terbatas pada perubahan yang berangsur-angsur (perubahan evolusioner) saja. Sedang Hegel berpendapat dalam proses perlembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan meruncing dan pada suati tingkat tertentu perubahan berangsur-angsur terhenti dan terjadilah lompatan. Setelah lompatan itu terjadi, maka kwalitas sesuatu itu mengalami perubahan. Akan tetapi dialektika Hegel ini diselimuti dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu pandangan idealismenya sehingga dia memutar balikkan keadaan sebenarnya. Hukum tentang dialektika yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku didunia ini dipandangnya bukan seabagai suatu hal yang obyektif, yang primer melainkan perwujudan dari ide absolut. Kulitnya yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan isinya yang rasionil diambil serta ditempatkan pada kedudukan yang benar. Sedangkan jembatan antara Marx dan Hegel adalah Feurbach, Materialisme dijadikan sebagai dasar filsafatnya tetapi Feurbach melihat gerak dari penjuru idealisme yang membuat ia berhenti dan membuang dialektika Hegel. Membuat hasil pemeriksaannya terpisah dan abstrak, Marx membuang metode metafisisnya, dan menggantinya dengan dialektika, sehingga menghasilkan sebuah system filsafat baru yang lebih kaya dan lebih sempurna dari pendahulunya.

III. Materi dan Ide


a. Materi.
Materi mempunyai dua pengertian, yaitu arti materi menurut filsafat, dan materi menurut ilmu alam. Materi menurut ilmu alam mempunyai arti yang lebih sempit daripada arti materi menurut filsafat

Materi menurut ilmu alam, ialah segala sesuatu yang mempunyai susunan atau yang tersusun secara organis atau dengan kata lain benda. Benda menurut ilmu alam mempunyai tiga bentuk yaitu benda padat (solid), benda cair (liquid) dan gas (gasceus). Materi menurut filsafat, ialah segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh indera manusia, serta bisa menimbulkan ide-ide tertentu. Dengan begitu pengartian materi menurut filsafat mencakup pula pengertian materi menurut ilmu alam. Materi mempunyai peranan menetukan ide, materi menimbulkan ide. Ide manusia timbul setelah terlebih dahulu suatu materi ditangkap oleh indera. Sudah jelas yang memproduksi ide itu adalah sebuah materi yang sudah mencapai titik perkembangan yang sangat tinggi yang disebut dengan otak.

b. Ide.
Sebagaimana yang diterangkan diatas, materialisme dialektis berpendapat bahwa ide itu dilahirkan dan ditentukan oleh materi, ini mengandung dua pengertian: 1. Dipandang dari proses asalnya ide / pikiran, nyatalah bahwa sensasi (perasaan) itu tidak dilahirkan oeh materi biasa. Melainkan semacam organisme tertentu yang telah mencapai perkembangan yang sangat tinggi dan mempunyai struktur yang sangat complex yang kita sebut sebagai otak. Tanpa otak tidak akan ada pikiran / ide, otak atau system urat syaraf yang sangat kompleks adalah hasil tertinggi dari proses perkembangan alam. Oleh karena itu ide juga merupakanproduk dari proses perkembangan dari alam. 2. Dipandang dari isinya, bagaimanapun ide adalah pencerminan dari kenyataan obyektif. Marx berkata bahwa: ide tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh otak manusia, dan diterjemah kan dalam bentuk bentuk pikiran. Pencerminan itu hanya bisa terjadi dengan adanya kontak langsung antara kesadaran manusia dengan dunia luar, dengan praktek sosial manusia. Oleh karenanya ide juga merupakan produk dari proses perkembangan praktek sosial manusia. Ide adalah cermin dari materi atau merupakan bentuk lain dari materi. Tetapi ide tidak mesti sama dengan materi, ide dapat menjangkau jauh didepan materi. Walau begitu ide tidak akan dapat lepas dari materi. Materi menentukan ide, sedangkan ide mempunyai peranan aktif terhadap perkembangan materi. Jadi ide mempunyai peranan aktif, tidak pasif seperti pencerminan cermin biasa. Dengan demikian jelaslah pengertian materialisme dialektis tentang materi dan ide bertentangan dengan paham idealisme yang menganggap ide adalah yang terlebih dahulu ada daripada materi. Materialisme dialektis disatu pihak mengatakan materi ada terlebih dahulu daripada ide, tetapi dipihak lain mengakui peranan aktif daripada ide dalam perkembangan materi, ini mengandung dua pengertian : 1. Seperti dijelaskan diatas ide adalah pencerminan materi, tetapi proses pencerminan itu tidak semudah atau sesimple pencerminan dengan kaca-cermin, yang hanya bisa menjelaskan gejala luar saja. Melainkan melalui pencerminan yang aktif, melalui proses pemikiran yang rumit sehingga dapat mencerminkan kenyataan obyektif sebagaimana adanya, baik mengenal sesuatu itu dari gejala luarnya maupun gejala dalamnya atau hakekat suatu materi. Peranan aktif dari ide inilah yang memungkinkan manusia menyempurnakan alat-alat atau perkakas untuk memperbesar kemampuannya dalam mengenal atau mencerminkan keadaan maupun mengubah keadaan. 2. Peranan aktif ide itu berarti dalam mengenal dan mengubah keadaan itu manusia bertindak dengan sadar, dengan motif atau tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan praktek sosialnya untuk kehidupan.

Ide revolusioner yaitu ide yang mencerminkan hukum-hukum perkembangan keadaan obyektif, memainkan peranan untuk mendorong perkembangan keadaan. Sebaliknya ide reaksioner, ialah ide yang berlawanan dengan hukum-hukum perkembangan keadaan obyektif dan menghambat kemajuan. Dengan dijelaskannya keprimeran materi dan peranan aktif ide, materialisme dialektis mengajarkan supaya dalam memandang dan memecahkan permasalahan harus bertolak dari kenyataan yang kongkrit dan berdasarkan data-data yang obyektif, dan jangan bersandar pada dugaan-dugaan subyektif dan hanya terpaku pada buku-buku yang mati, dan juga harus ditujukan pada kebutuhan praktek yang kongkrit. Dipihak lain ia memperingatkan kita kepada pentingnya teori, tetapi dipihak lain ia menolak pendewaan kepada teori atau dengan kata lain menentang dengan tegas terhadap kedogmatisan.[]

Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya

Sejarah Filsafat Manusia, masyarakat, kebudayaan dan alam sekitar memiliki hubungan yang erat. Keempatnyalah yang telah menyusun dan mengisi sejarah filsafat dengan masing-masing karakteristik yang dibawanya. Berdasar keempat hal tersebut juga, pada umumnya para filsuf sepakat untuk membagi sejarah filsafat menjadi 3 tradisi besar, yakni Sejarah Filsafat India, Sejarah Filsafat Cina, dan Sejarah Filsafat Barat. Filsafat India Filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos. Harmoni ini harus disadari supaya dunia tidak dialami sebagai tempat keterasingan, sebagai penjara. Seorang anak di India harus belajar bahwa ia karib dengan semua benda, dengan dunia sekelilingnya, bahwa ia harus menyambut air yang mengalir dalam sungai, tanah subur yang memberi makanan, dan matahari yang terbit. Orang India tidak belajar untuk menguasai dunia, melainkan untuk berteman dengan dunia. Jaman Weda (2000-600 S.M.) Bangsa Arya masuk India dari utara, sekitar 1500 S.M. Literatur suci mereka disebut Weda. Bagian terpenting dari Weda untuk filsafat India adalah Upanisad, yang sepanjang sejarah India akan merupakan sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan. Suatu tema yang menonjol dalam Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dari kenyataan, diri manusia. Brahman adalah segi obyektif, makro-kosmos, alam semesta. Upanisad mengajar bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman. Jaman Skeptisisme (200 S.M.-300 M.) Sekitar tahun 600 S.M. mulai suatu reaksi, baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi berhubungan dengan korban para rahib. Para imam mengajar ketaatan pada huruf kitab suci, tetapi ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa. Para rahib mengajar suatu "metafisika" yang juga tidak sampai ke hati orang biasa. Reaksi datang dalam banyak bentuk. Yang terpenting adalah Buddhisme, ajaran dari pangeran Gautama Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan: bagaimana manusia mengurangi penderitaannya, bagaimana

manusia mencapai terang budi. Reaksi lain datang dari Jainisme dari Mahawira Jina. Di samping itu mulai juga kebaktian yang lebih eksklusif kepada Siwa dan Wisnu, dua bentuk agama yang lebih menarik daripada ritualisme dan spekulasi para imam dan rahib. Sebagai kontra-reformasi, muncul dalam Hinduisme resmi enam sekolah ortodoks (disebut "ortodoks", karena Buddhisme dan Jainisme, yang tidak berdasar Weda, dianggap bidaah). Yang terpenting dari sekolah ini adalah Samkhya dan Yoga. Yoga, dari kata "juj", "menghubungkan", mengajar suatu jalan ("marga") untuk mencapai kesatuan dengan ilahi. Samkhya (artinya: "jumlah", "hitungan") mengajarkan tema terpenting hubungan alam-jiwa, kesadaran materi, hubungan Purusa-Prakriti. Jaman Puranis (300-1200) Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Buddhisme sekarang lebih penting di negara-negara tetangga daripada di India sendiri. Pemikiran India dalam "abad pertengahan"-nya dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi-inkarnasi dewa-dewa. Banyak contoh cerita tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana. Jaman Muslim (1200-1757) Dua nama menonjol dalam periode muslim, yaitu nama pengarang sya'ir Kabir, yang mencoba untuk memperkembangkan suatu agama universal, dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh), yang mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme. Jaman Modern (setelah 1757) Jaman modern, jaman pengaruh Inggris di India, mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan perkembangan kembali dari nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Namanama terpenting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833), yang mengajar suatu monoteisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral berdasarkan khotbah di bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902), yang mengajar bahwa semua agama benar, tapi bahwa agama Hindu paling cocok untuk India; Gandhi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941), pengarang syair dan pemikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide dari luar. Sejumlah pemikir India jaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur, yang dianggap terlalu mistik dan filsafat Barat, yang dianggap terlalu duniawi. Radhakrishnan (1888-1975) mengusulkan pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Sementara itu, filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas makrokosmos dan mikrokosmos. Filsafat Cina Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya. Filsafat Cina dibagi atas empat periode besar: Jaman Klasik (600-200 S.M.) Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat: seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya "tao" ("jalan"), "te" ("keutamaan" atau "seni hidup"), "yen" ("perikemanusiaan"), "i" ("keadilan"), "t'ien" ("surga") dan "yin-yang" (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-lakilaki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:

Konfusianisme Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, "guru dari suku Kung") hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao ("jalan" sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah "jalan manusia". Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan ("yen"), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda. Taoisme Taoisme diajarkan oleh Lao Tse ("guru tua") yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan "jalan manusia" melainkan "jalan alam"-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebihlebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran "neti", "na-itu": "tidak begitu") dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut "docta ignorantia", "ketidaktahuan yang berilmu"). Yin-Yang "Yin" dan "Yang" adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu. Moisme Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah "cinta universal", kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka jelek. Etika Mo Tse mengenal suatu prinsip bahwa... Ming Chia Ming Chia atau "sekolah nama-nama", menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut "sekolah dialektik", dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti "eksistensi", "relativitas", "kausalitas", "ruang" dan "waktu". Fa Chia Fa Chia atau "sekolah hukum", cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali. Tentang keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3) okkultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik. Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.) Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan "Nirwana" dari ajaran Buddha, yaitu "transendensi di seberang segala nama dan konsep", "di seberang adanya". Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)

Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing. Jaman Modern (setelah 1900) Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung. Demikian sejarah filsafat yang berlangsung Timur: India dan Cina. Berikutnya, kita akan melihat sejarah filsafat Barat, yang dimulai di Asia Kecil dan memuat pemikir-pemikir dan aliran-aliran dari Eropa, Asia, Afrika dan Amerika. Termasuk filsafat Barat: filsafat Yunani, filsafat Helenisme, "filsafat Kristiani", filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini. Sejarah Filsafat Barat Jaman Kuno Permulaan: Filsafat Pra-Sokrates di Yunani Sejarah filsafat Barat mulai Milete, di Asia kecil, sekitar tahun 600 S.M. Pada waktu itu Milete merupakan kota yang penting, di mana banyak jalur perdagangan bertemu di Mesir, Itali, Yunani dan Asia. Juga banyak ide bertemu di sini, sehingga Milete juga menjadi suatu pusat intelektual. Pemikir-pemikir besar di Milete lebih-lebih menyibukkan diri dengan filsafat alam. Mereka mencari suatu unsur induk ("arch") yang dapat dianggap sebagai asal segala sesuatu. Menurut Thales ( 600 S.M.) air-lah yang merupakan unsur induk ini. Menurut Anaximander ( 610-540 S.M.), segala sesuatu berasal dari "yang tak terbatas", dan menurut Anaximenes ( 585-525 S.M.) udaralah yang merupakan unsur induk segala sesuatu. Pythagoras ( 500 S.M.) yang mengajar di Itali Selatan, adalah orang pertama yang menamai diri "filsuf". Ia memimpin suatu sekolah filsafat yang kelihatannya sebagai suatu biara di bawah perlindungan dari dewa Apollo. Sekolah Pythagoras sangat penting untuk perkembangan matematika. Ajaran falsafinya mengatakan antara lain bahwa segala sesuatu terdiri dari "bilangan-bilangan": struktur dasar kenyataan itu "ritme". Dua nama lain yang penting dari periode ini adalah Herakleitos ( 500 S.M.) dan Parmenides (515-440 S.M.). Herakleitos mengajarkan bahwa segala sesuatu "mengalir" ("panta rhei"): segala sesuatu berubah terus-menerus seperti air dalam sungai. Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru memang tidak berubah. Segala sesuatu yang betul-betul ada, itu kesatuan mutlak yang abadi dan tak terbagikan. Puncak Jaman Klasik: Sokrates, Plato, Aristoteles Puncak filsafat Yunani dicapai pada Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates ( 470-400 S.M.), guru Plato, mengajar bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting untuk tindakan kita. Sokrates sendiri tidak menulis apa-apa. Pikiran-pikirannya hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup banyak pemikir Yunani lain, terutama melalui karya Plato. Plato (428-348 S.M.) menggambarkan Sokrates sebagai seorang alim yang mengajar bagaimana manusia dapat menjadi berbahagia berkat pengetahuan tentang apa yang baik. Plato sendiri menentukan, bersama Aristoteles, bagi sebagian besar dari seluruh sejarah filsafat Barat selama lebih dari dua ribu tahun. Dunia yang kelihatan, menurut Plato, hanya merupakan bayangan dari dunia yang sungguh-sungguh, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manusia berasal dari dunia ide-ide. Jiwa di dunia ini terkurung di dalam tubuh. Keadaan ini berarti keterasingan. Jiwa kita rindu untuk kembali ke "surga ide-ide". Kalau jiwa "mengetahui" sesuatu, pengetahuan ini memang bersifat "ingatan". Jiwa pernah berdiam dalam kebenaran dunia ide-ide, dan oleh karena itu pengetahuan mungkin sebagai hasil "mengingat". Filsafat Plato merupakan perdamaian antara ajaran Parmenides dan ajaran Herakleitos. Dalam dunia ide-ide segala sesuatu abadi, dalam dunia

yang kelihatan, dunia kita yang tidak sempurna, segala sesuatu mengalami perubahan. Filsafat Plato, yang lebih bersifat khayal daripada suatu sistem pengetahuan, sangat dalam dan sangat luas dan meliputi logika, epistemolgi, antropologi, teologi, etika, politik, ontologi, filsafat alam dan estetika. Aristoteles (384-322 S.M.), pendidik Iskandar Agung, adalah murid Plato. Tetapi dalam banyak hal ia tidak setuju dengan Plato. Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak dalam suatu "surga" di atas dunia ini, melainkan di dalam benda-benda sendiri. Setiap benda terdiri dari dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi ("hyl") dan bentuk ("morf"). Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dengan ide-ide dari Plato. Tetapi pada Aristoteles ide-ide ini tidak dapat dipikirkan lagi lepas dari materi. Materi tanpa bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk "bertindak" di dalam materi. Bentuk-bentuk memberi kenyataan kepada materi dan sekaligus merupakan tujuan dari materi. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Helenisme Iskandar Agung mendirikan kerajaan raksasa, dari India Barat sampai Yunani dan Mesir. Kebudayaan Yunani yang membanjiri kerajaan ini disebut Hellenisme (dari kata "Hellas", "Yunani"). Helenisme yang masih berlangsung juga selama kerajaan Romawi, mempunyai pusat intelektualnya di tiga kota besar: Athena, Alexandria (di Mesir) dan Antiochia (di Syria). Tiga aliran filsafat yang menonjol dalam jaman Helenisme, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neoplatonisme. Stoisisme (diajar oleh a.l. Zeno dari Kition, 333-262 S.M.) terutama terkenal karena etikanya. Etika Stoisisme mengajarkan bahwa manusia menjadi berbahagia kalau ia bertindak sesuai dengan akal budinya. Kebahagiaan itu sama dengan keutamaan. Kalau manusia bertindak secara rasional, kalau ia tidak dikuasai lagi oleh perasaan-perasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yang oleh Stoisisme disebut "apatheia". Epikurisme (dari Epikuros, 341-270 S.M) juga terkenal karena etikanya. Epikurisme mengajar bahwa manusia harus mencari kesenangan sedapat mungkin. Kesenangan itu baik, asal selalu sekadarnya. Karena "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita". Manusia harus bijaksana. Dengan cara ini ia akan memperoleh kebebasan batin. Neo-platonisme. Seorang filsuf Mesir, Plotinos (205-270 M.), mengajarkan suatu filsafat yang sebagian besar berdasarkan Plato dan yang kelihatan sebagai suatu agama. Neo-platonisme ini mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan suatu proses "emanasi" ("pendleweran") yang berasal dari Yang Esa dan yang kembali ke Yang Esa, berkat "eros": kerinduan untuk kembali ke asal ilahi dari segala sesuatu. Jaman Patristik Patristik (dari kata Latin "Patres", "Bapa-bapa Gereja") dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh dari Patristik Yunani antara lain Clemens dari Aleksandria (150-215), Origenes (185-254), Gregorius dari Nazianze (330-390), Basillus (330-379), Gregorius dari Nizza (335-394) dan Dionysios Areopagita ( 500). Tokohtokoh dari Patristik Latin terutama Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347420) dan Augustinus (354-430). Ajaran falsafi-teologis dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran Kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir. Tulisantulisan Bapa-bapa Gereja merupakan suatu sumber yang kaya dan luas ynng sekarang masih tetap memberi inspirasi baru. Jaman Skolastik Sekitar tahun 1000 peranan Plotinos diambil alih oleh Aristoteles. Aristoteles menjadi terkenal kembali melalui beberapa filsuf Islam dan Yahudi, terutama melalui Avicena (Ibn sina, 980-1037), Averroes (Ibn Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles lamakelamaan begitu besar sehingga ia disebut "Sang Filsuf", sedangkan Averroes disebut "Sang komentator". Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan banyak filsuf

penting. Mereka sebagian besar berasal dari kedua ordo baru yang lahir dalam Abad Pertengahan, yaitu para Dominikan dan Fransiskan. Filsafat mereka disebut Skolastik (dari kata Latin, "scholasticus", "guru"). Karena, dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Tokoh-tokoh dari Skolastik itu lebih-lebih Albertus Magnus O.P. (1220-1280), Thomas Aquinas O.P. (1225-1274), Bonaventura O.F.M. (1217-1274) dan Yohanes Duns Scotus O.F.M. (12661308). Tema-tema pokok dari ajaran mereka itu: hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Ajaran skolastik dengan sangat bagus diungkapkan dalam pusisi Dante Alighieri (1265-1321). Jaman modern Jaman Renaissance Jembatan antara Abad Pertengahan dan Jaman Modern, periode antara sekitar 1400 dan 1600, disebut quot;renaissance" (jaman "kelahiran kembali"). Dalam jaman renaissance, kebudayaan klasik dihidupkan kembali. Kesusasteraan, seni dan filsafat mencapi inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf terpenting dari rainassance itu adalah Nicollo Macchiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626). Pembaharuan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu "antroposentris"-nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam jaman kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad Pertengahan, melainkan manusia. Mulai sekarang manusia-lah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan. Jaman Barok Filsuf-filsuf dari Jaman Barok: Ren Descartes (1596-1650), Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1710). Filsuf-filsuf ini menekankan kemungkinan-kemungkinan akal budi ("ratio") manusia. Mereka semua juga ahli dalam bidang matematika, dan mereka semua menyusun suatu sistem filsafat dengan menggunakan metode matematika. Jaman Fajar Budi Abad kedelapan belas memperlihatkan perkembangan baru lagi. Setelah reformasi, setelah renaissance dan setelah rasionalisme dari Jaman Barok, manusia sekarang dianggap "dewasa". Periode ini dalam sejarah Barat disebut "Jaman Pencerahan" atau "Fajar Budi" (dalam bahasa Inggris, "Enlightenment", dalam bahasa Jerman, "Aufkl&0228;rung"). Filsuf-filsuf besar dari jaman ini di Inggris "empirikus-empirikus" seperti John Locke (1632-1704), George Berkeley (16841753) dan David Hume (1711-1776). Di Perancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804), yang menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme dan yang dianggap sebagai filsuf terpenting dari jaman modern. Jaman Romantik Filsuf-filsuf besar dari Romantik lebih-lebih berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan G.W.F. Hegel (1770-1831). Aliran yang diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut "idealisme". Dengan idealisme di sini dimaksudkan bahwa mereka memprioritaskan ide-ide, berlawanan dengan "materialisme" yang memprioritaskan dunia material. Yang terpenting dari para idealis kedua puluh harus dianggap sebagai lanjutan dari filsafat Hegel, atau justru sebagai reaksi terhadap filsafat Hegel. Masa Kini Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang mempertahankan diri lama dalam wilayah-wilayah yang luas, yaitu rasionalisme, empirisme dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad kesembilan belas dan kedua puluh kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru muncul, dan aliran-aliran ini sering terikat pada hanya satu negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh yaitu positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neotomisme dan fenomenologi. Tentang aliran-aliran dalam filsafat dibahas secara khusus di dalam submenu Aliran. Pada waktunya, ketujuh aliran yang berpengaruh tadi juga akan kita teliti satu persatu, karena rencananya materi halaman ini akan senantiasa diperbarui secara rutin. Sekarang ini

hanya disajikan suatu pengenalan saja. Aliran-aliran paling baru Filsafat analitis merupakan aliran terpenting di Inggris dan Amerika Serikat, sejak sekitar tahun 1950. Filsafat analitis (yang juga disebut analitic philosophy dan linguistic philosophy) menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis konsep-konsep. Analisis ini dianggap sebagai "terapi": menurut filsuf-filsuf analitis, banyak soal falsafi (dan juga soal teologis dan ilmiah) dapat "sembuh" kalau, berkat analisis bahasa, bisa ditunjukkan bahwa soal-soal ini hanya diciptakan oleh pemakaian yang tidak sehat dari bahasa. Filsafat analitis sangat dipengaruhi oleh L. Wittgenstein Strukturalisme berkembang di Perancis, lebih-lebih sejak tahun 1960. Strukturalisme merupakan suatu sekolah dalam filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi dan politikologi. Sturukturalisme menyelidiki "patterns" (pola-pola dasar yang tetap) dalam bahasabahasa, agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan politik, dan dalam karya-karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal dari strukturalisme antara lain Cl. Lvi-Strauss, J. Lacan dan Michel Foucault Akhirnya, dalam sejarah filsafat kita bertemu dengan hasil penyelidikan semua cabang filsafat. Sejarah filsafat mengajarkan jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir besar, tema-tema yang dianggap paling penting dalam periode-periode tertentu, dan aliran-aliran besar yang menguasai pemikiran selama suatu jaman atau di suatu bagian dunia tertentu. Cara berpikir tentang manusia, tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian, tentang kebebasan dan cinta, tentang yang baik dan yang jahat, tentang materi dan jiwa, alam dan sejarah. Tetapi ada banyak pertanyaan dan jawaban yang selalu kembali, di segala jaman dan di semua sudut dunia. Oleh karena itu sejarah filsafat sesuatu yang sangat penting. Karena dalam sejarah filsafat seakan-akan suatu dialog antara orang dari semua jaman dan kebudayaan tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Terminologi

Memberikan rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat" adalah suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong! Saya ingin mulai dari sini. Memang, para peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun, sebuah pengertian awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian tersebut haruslah bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak bersama. Baiklah kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang. Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya. Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang hakikat". Di sinilah kita memahami perbedaan mendasar antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan "apa sebabnya". Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar (keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris. Philosophy: Inquiry into the nature of things based on logical reasoning rather than empirical methods (The Grolier Int. Dict.). Filsafat meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan "ke mana". Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab

dan akibat dari suatu masalah, seperti yang diselidiki ilmu, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu, dari mana terjadinya dan ke mana tujuannya. Maka, jika para filsuf ditanyai, "Mengapa A percaya akan Allah", mereka tidak akan menjawab, "Karena A telah dikondisikan oleh pendidikan di sekolahnya untuk percaya kepada Allah," atau "Karena A kebetulan sedang gelisah, dan ide tentang suatu figur bapak membuatnya tenteram." Dalam hal ini, para filsuf tidak berurusan dengan sebab-sebab, melainkan dengan dasar-dasar yang mendukung atau menyangkal pendapat tentang keberadaan Allah. Tugas filsafat menurut Sokrates (470-399 S.M.) bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan. Sampai dengan kedua pengertian di atas, marilah kita simak apa kata Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy untuk melengkapi pengertian kita tentang "filsafat": Filsafat adalah berpikir secara kritis. Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis. Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut. Filsafat adalah berpikir secara rasional. Filsafat harus bersifat komprehensif. Kemudian Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani, "Filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata." Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1999). Untuk menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan "mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi" atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, "mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa

diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara". Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan pencarian akan kebenaran itu sendiri. Relasi Filsafat, Ilmu dan Agama Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan melihat apakah keduanya dapat hidup berdampingan secara damai, secara damai, apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut: Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial. Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain: Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacammacam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme. Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan. Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh. Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah. Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya: Aristoteles: o Manusia adalah animal rationale.

Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional o Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial. o Manusia adalah "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk. Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol. Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. "Dan ia patut bernasib demikian," demikian Russel. Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri. Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini. Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masingmasing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan. Demikianlah pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminologi "filsafat" dan kedudukannya di antara ilmu dan agama. MENGAPA BERFILSAFAT ? Benarkah anggapan bahwa filsafat tidak membawa apa-apa bagi kepentingan manusia atau masyarakat pada umumnya? Bahwa filsafat hanya milik para filsuf dan mahasiswa filsafat? Kemudian, benarkah juga proposisi bahwa filsafat tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan darinya, karena para filsuf adalah kumpulan pengelamun saja? Lagipula, mengapa harus filsafat yang berperanan dalam hal-hal yang kini "ditangani" oleh filsafat? Apakah tidak ada hal lain di luar filsafat yang mampu menyelidikinya? Cara terpenting

untuk memahami apa itu filsafat tidak lain adalah dengan berfilsafat. Berfilsafat, artinya menyelidiki suatu permasalahan dengan menerapkan argumen-argumen yang filosofis. Yang dimaksud dengan argumen-argumen yang filosofis adalah argumen-argumen yang memiliki sifatsifat: deskriptif, kritis atau analitis, evaluatif atau normatif, spekulatif, rasional, sistematis, mendalam, mendasar, dan menyeluruh. Dengan perkataan lain, berfilsafat berarti: mempertanyakan dasar dan asal-usul dari segala-galanya, mencari orientasi dasar bagi kehidupan manusia. Dalam rangka berfilsafat itu, ada empat sikap batin yang diperlukan: 1. Keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini. 2. Kesediaan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap suatu pernyataan filsafat, tidak peduli sekonyol apa pun tampaknya tanggapan kita pada saat itu. 3. Tekad untuk menempatkan upaya mencari kebenaran di atas kepuasan karena "menang" atau kekecewaan karena "kalah" dalam perdebatan. 4. Kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi, agar tidak menyebabkan kekaburan berpikir atau konflik pribadi sehingga dapat menghambat proses diskusi filsafat. Pokok pertanyaan kita adalah, "Mengapa (kita) berfilsafat?" atau "Untuk apa (kita) berfilsafat?" Salah satu jawaban yang terkesan spekulatif namun paling mungkin adalah, "Karena pada suatu saat kita secara tidak sadar sudah bergelut dengan suatu permasalahan filsafat, yang dengan sendirinya jadi bahan pemikiran kita." Meskipun kita tidak memiliki minat untuk belajar filsafat, ada masalahmasalah filsafat yang mau tak mau menarik perhatian kita. Masalah persisnya tentu berbeda dari orang ke orang. Kita mungkin akan terserap dalam suatu pembahasan filsafat walaupun persoalan yang dibahas kelihatannya sama sekali tidak "filosofis". Entah kita seorang mahasiswa filsafat atau bukan, kita dapat saja terbawa ke arah pemikiran filsafat. Ringkasnya, setiap orang pasti menyimpan asumsi-asumsi atau keyakinan-keyakinan filsafat. Dengan demikian, pertanyaannya bukan lagi haruskah kita menangani permasalahan filsafat, melainkan bagaimanakah caranya. Daya tarik filsafat seringkali membuat kita lebih peka terhadap hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Beberapa kita yang Kristen mungkin termasuk orang-orang yang sedari kecil terbiasa mengucapkan doa "Bapak Kami" setiap pagi di sekolah tanpa pernah memikirkan bagaimana pendapat orang-orang ateis, Yahudi, atau non-Kristiani lain mengenai hal itu. Ada orang-orang dewasa yang kerap menguliahi anak-anak mereka tentang betapa jahatnya pengaruh ganja, sementara mereka sendiri sibuk membereskan meja dan mempersiapkan minuman alkohol untuk pesta akhir pekan bersama kawan-kawan. Kita hidup dalam sistem yang konon berprinsip perdagangan bebas, tetapi dalam sistem itu perusahaan yang lebih besar dan lebih kuat bisa mendapatkan perlakuan khusus dari Pemerintah, sementara perusahaan-perusahaan yang lebih kecil tertindas dan berguguran. Lalu, bagaimana dengan "semua sama di depan hukum"? Benar, kita semua tentu setuju, meskipun nyatanya orang-orang kaya mempunyai posisi yang lebih baik untuk menghindar dari tuntutan hukum dibanding mereka yang miskin. Contoh lain, bagaimana dengan mereka yang meyakini adanya U.F.O.? Orang-orang gila? Akan tetapi, kemungkinan mereka mengalami gegar budaya ternyata jauh lebih kecil dibanding kita yang tidak percaya U.F.O., yakni ketika atau apabila suatu saat nanti terungkap bahwa ternyata "kita tidak sendirian" di alam raya ini. Di bawah ini, di tingkat akar rumput macam inilah, awal mula berkembangnya persoalan besar filsafat. Rangsangan untuk mulai berfilsafat seringkali muncul ketika orang berhadapan dengan sebuah pernyataan yang dirasanya sebagai keliru. Misalnya, kita pasti akan terusik ketika mendengar pernyataan sembrono semacam ini: "Orang tidak harus bertanggungjawab atas perbuatannya." Contoh lain, orang ateis mana yang tidak akan tergelitik oleh pernyataan, "Allah benar-benar ada, dan saya telah menemukan alasan-alasan untuk membuktikannya"? Jika suatu pernyataan ternyata didukung oleh argumentasi yang masuk akal, orang bisa kehabisan akal. Dalam benaknya berkecamuk: pernyataan itu mustahil benar, tapi sepertinya alasan-alasan yang masuk akal juga untuk mempercayai kebenarannya. Bahkan, mereka yang tidak menaruh minat pada teoriteori filsafat bisa saja tertarik pada satu dua permasalahan filsafat tertentu. Tujuan utama pengantar filsafat biasanya adalah mengamati beberapa contoh penting permasalahan filsafat. Teori-teori

filsafat, yang seringkali kompleks dan tak jarang rumusannya aneh-aneh itu, kiranya tidak akan menarik minat sebelum seseorang tahu bagaimana teori-teori tersebut sebenarnya menjawab permasalahan filsafat yang dihadapinya. Percuma memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum diajukan. Sama seperti kaum profesional lainnya, para filsuf seringkali menulis dalam bahasa khusus menurut spesialisasi bidangnya dalam mempertahankan atau mengkritik suatu teori. Tidak jarang, teori-teori yang disoroti merupakan reaksi atas masalah-masalah yang lain lagi. Namun, tidak peduli sekompleks dan seberat apapun, teori-teori tersebut pada dasarnya adalah tanggapan terhadap masalah-masalah biasa seni, moralitas, ilmu pengetahuan, agama, dan akal sehat. Di pinggiran-pinggiran wilayah keseharian inilah para filsuf menemukan soal-soal yang tersembunyi; mereka tidak mengadakan masalah. Di dalam wilayah keseharian itu tersimpan masalah-masalah yang sangat mungkin akan membawa seseorang masuk ke dalam suatu kajian filsafat secara umum. Untuk memberi gambaran, mari kita lihat bagaimana orang-orang yang bukan filsuf dapat terbawa kepada pemikiran filsafat, biasanya melalui persoalan-persoalan yang secara langsung relevan dengan kepentingan mereka. Perhatikan contoh-contoh berikut: 1. Seorang neuropsikolog, yang sedang meneliti korelasi antara fungsi-fungsi tertentu otak manusia dan rasa sakit, mulai sangsi, apakah "akal budi" sungguh berbeda dengan otak. 2. Seorang ahli fisika nuklir, setelah berketetapan bahwa materi sebagian besar adalah ruang hampa yang di dalamnya terjadi transformasi-transformasi energi tanpa warna, mulai bertanyatanya, sejauh manakah dunia yang padat, berkeluasan, dan berwarna seperti yang kita persepsikan ini berkaitan dengan keberadaannya yang sesungguhnya dan manakah di antara keduanya itu yang lebih "nyata". 3. Seorang psikolog aliran behaviorisme, yang semakin berhasil memprediksikan perilaku manusia, bertanya-tanya, adakah tindakan manusia yang dapat dikatakan "bebas". 4. Mahkamah Agung, ketika merumuskan suatu peraturan tentang karya seni yang sopan dan yang tidak sopan, terpaksa harus bergelut dengan pertanyaan tentang hakikat dan fungsi seni. 5. Seorang teolog, setelah kalah perang melawan sains mengenai arti harfiah alam semesta (atau "kenyataan"), terpaksa harus merumuskan kembali seluruh tujuan dan cakupan teologi tradisional. 6. Seorang antropolog, yang mengamati bahwa setiap masyarakat ternyata memiliki konsepsinya sendiri tentang kode moral, mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang membedakan antara sudut pandang moral dan sudut pandang bukan moral. 7. Seorang ahli bahasa, dalam penyelidikannya tentang bagaimana bahasa membentuk pandangan kita terhadap dunia, menyatakan bahwa tidak ada satu "kenyataan sejati" karena semua pandangan mengenai kenyataan dikondisikan dan dibatasi oleh bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan itu. 8. Seorang skeptis sejati, yang telah terbiasa menuntut dan menolak bukti-bukti absolut bagi setiap sudut pandang yang ditemuinya, menyatakan bahwa tidak mungkin bagi manusia untuk mengetahui apapun. 9. Seorang komisaris daerah, ketika harus menentukan peraturan baru mengenai pembatasan wilayah, mulai bertanya-tanya, apakah akibat ataukah maksud (ataukah keduanya) yang menyebabkan peraturan itu diskriminatif. 10. Seorang kepala perpajakan, ketika harus menentukan organisasi-organisasi religius mana saja yang harus dibebaskan dari pajak, terpaksa harus merumuskan apa yang dimaksudkan dengan "religius" dan apa "kelompok religius". 11. Seorang ibu, yang bertekad untuk "mempertobatkan" anaknya yang komunis, terpaksa harus membaca Comunist Mainfesto dan belajar mengenai ideologi Marx dan kapitalis. Daftar itu masih bisa kita tambahi dengan sekian banyak contoh lain. Yang jelas, kita sudah dapat melihat bahwa ketika dihadapkan dengan suatu persoalan yang relevan, bahkan orang yang bukan filsuf pun sangat mungkin tergiring ke dalam suatu pemikiran filsafat. Jika orang yang bukan filsuf itu tetap tidak dapat melihat pentingnya tujuan bidang filsafat, cobalah mengajukan suatu permasalahan filsafat yang secara khusus berkaitan dengan minat atau kepentingannya. Ketika ia menguji kemungkinan-kemungkinan jawaban atas permasalahannya, mungkin ia akan menemukan

kecenderungan atau kertertarikan pada suatu tesis filsafat tertentu. Kita mungkin baru sadar bahwa diri kita sudah ada di dalam filsafat dan terlibat dalam persoalan-persoalannya, tidak hanya berdiri di luar dan menunggu sampai diyakinkan bahwa kita harus terlibat di dalamnya. Bolehlah dikatakan bahwa kodrat berfilsafat telah ada di dalam diri setiap manusia, karena lingkungan dan bahkan kita sendiri sesungguhnya telah menyimpan permasalahan-permasalahan filsafat. Kita dapati di sini sebagian dari kebenaran pernyataan bahwa "Semua orang memang filsuf". Namun harus dicatat juga bahwa sedikit sekali orang yang berfilsafat secara sistematis. Karena disadari bahwa untuk itu diandaikan suatu sikap ilmiah yang baru diperoleh setelah studi bertahun-tahun. Demikian Magnis, "Kalau berfilsafat disamakan dengan berkhayal saja, dengan berpikir berputar-putar tanpa tertib, kalau filsafat dipakai sebagai pentil untuk mengelamun, saya kira filsafat semacam itu tidak kita perlukan. Biarpun laku dalam masyarakat, biarpun dapat barangkali kita jual kepada orang awam sebagai 'kebijaksanaan', sebenarnya kita mengibulkan masyarakat dengan itu. Kita akan menjadi tukang candu sebagaimana dituduhkan Marx kepada agama." Manfaat Bagi banyak orang, pertanyaan "Untuk apa berfilsafat?" menyiratkan suatu kepentingan praktis, yaitu "Apa manfaat filsafat untukku, selain pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri?" Ada sebuah jawaban yang juga praktis untuk pertanyaan itu. Keterlibatan kita secara kritis dalam filsafat dapat mengubah keyakinan-keyakinan dasar kita, termasuk sistem nilai yang kita miliki dan bagaimana kita memandang dunia secara umum. Perubahan sistem nilai atau pandangan-pandangan dunia kita itu dapat mengubah perspektif kebahagiaan kita, tujuan yang hendak kita kejar dalam profesi kita, atau sekadar gaya hidup kita. Namun, manfaat-manfaat itu lebih merupakan hasil sampingan saja, bukan tujuan yang spesifik, dari kajian filsafat. Tidak sulit untuk mencari contoh relevansi praktis yang muncul ketika kita mengambil pandangan filsafat tertentu. Misalnya, jika betul tidak ada tindakan yang benar-benar bebas, maka kita harus mempertimbangkan kembali pandangan kita mengenai hukuman mati dan rehabilitasi para narapidana. (Mengapa harus menghukum orang yang tidak mampu mengendalikan perbuatannya?) Contoh lain, pilihan yang kita jatuhkan dalam pemungutan suara berkaitan dengan pro-kontra suatu masalah atas pemilihan seorang kandidat dapat sangat dipengaruhi oleh pandangan filsafat politik tertentu yang kita miliki. Contoh lain lagi, jika betul keindahan itu hanya ada di mata pengamat, bagaimana kita dapat menentukan bahwa suatu karya seni layak dianugerahi penghargaan sebagai karya seni "terbaik"? dan konsepsi kita mengenai perilaku mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral niscaya akan berakibat sangat jauh bagi relasi personal kita dengan orang lain. Lebih lanjut, seandainya saja kita melihat bahwa diri kita merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, barangkali kita tidak akan terlalu bernafsu menguasai dan menaklukkannya, dan kita pun mungkin tidak akan terlalu menderita akibat tindakan perusakan alam. Contoh lain, jika dalam arti tertentu pandangan dunia Barat dapat "diTimur-kan", maka akan lebih mudah bagi orang Barat untuk menjelaskan dan menerima fenomena akupuntur. Itu semua hanya beberapa contoh untuk menunjukkan relevansi kajian permasalahan filsafat dengan kehidupan sehari-hari. Bacalah juga beberapa jurnal filsafat. Di situ kita mungkin akan menjumpai artikel-artikel dengan judul semacam ini: "IQ: Keturunan dan Ketidakadilan", "Eutanasia", "Perilaku Paternalistik", "Memaklumi Pemerkosaan", atau "Rudal dan Moral: Pandangan Utilitarian tentang Perlucutan Senjata Nuklir". Sebelum kita beranjak lebih jauh, ada satu hal yang perlu diingat. Penelusuran sebab-sebab terjadinya perubahan pada keyakinankeyakinan dasar seseorang seringkali adalah persoalan psikologi, bukan tugas filsafat, dan tidak dapat ditangani oleh seorang filsuf. Memang perubahan semacam itu dapat terjadi karena seseorang mempelajari filsafat, sama seperti karena ia mempelajari bidang studi lain atau karena ia mendapat tekanan dari teman-teman sebayanya. Namun, dengan berfilsafat atau melibatkan diri secara kritis dalam persoalan-persoalan filsafat, tidak ada jaminan bahwa keyakinan-keyakinan seseorang akan berubah. Juga tidak bisa dikatakan bahwa memang sebaiknya terjadi perubahan. Ada orang yang merasa bahwa dengan mempelajari filsafat keyakinan agamanya semakin diteguhkan, sementara orang lain justru mengalami guncangan. Para filsuf tidak pernah berusaha dengan sengaja menimbulkan kedua macam reaksi itu. Kita akan memetik manfaat bukan hanya dari keterlibatan diri kita dalam filsafat pada umumnya, melainkan juga secara khusus dari kegiatan melakukan

telaah atau kajian filsafat. Penelaahan filsafat yang efektif, sekali lagi, bersifat luas, mendalam, dan kritis. Relevansi kritis dari penelaahan semacam itu tidak dapat dipungkiri. Singkatnya, dengan melakukan telaah filsafat, kita akan semakin mandiri secara intelektual, lebih toleran terhadap perbedan sudut pandang, dan semakin membebaskan diri dari dogmatisme. Pertama, sikap-sikap yang disebutkan di atas dapat berkembang karena luasnya kajian filsafat yang kita lakukan. Perhatikan pertanyaan, "Apakah yang menjadikan tindakan yang benar itu benar?" Banyak jawaban yang secara sepintas nampaknya dapat diterima: besarnya kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan, kepentingan pribadi, kelangsungan hidup spesies manusia, desakan suara hati, atau apapun yang menurut masyarakat benar. Tidak satupun dari jawaban itu mutlak harus diterima oleh semua filsuf. Barangkali tidak ada disiplin lain yang sedemikian setia untuk melakukan telaah yang ketat dan tidak berat sebelah terhadap "sudut pandang orang lain". Sudut pandang orang lain itu mungkin nampaknya tidak masuk akal, namun tidak jarang didukung dengan argumen-argumen yang kuat. Menyadari bahwa selain pandangan diri sendiri ternyata ada pandangan-pandangan lain yang argumennnya kokoh, dapat menjadi pengalaman yang membuat frustrasi atau justru membebaskan. Apapun hasilnya, kesadaran itu membuka pintu bagi sikap toleran dan bebas dari dogmatisme. Kedua, kebebasan intelektual dan sikap-sikap lainnya yang berkaitan, akan kita peroleh dengan mengkaji persoalan-persoalan filsafat secara mendalam. Dalam suatu kuliah filsafat, misalnya, kita berkesempatan untuk menyelidiki tema-tema yang dalam kuliah lain hanya dibicarakan sambil lalu. Misalnya, dalam kuliah pengantar ilmu pengetahuan kerap dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan didasarkan pada prinsip determinisme, yakni keyakinan bahwa segala persitiwa pasti memiliki sebab. Dalam kuliah sosiologi dan antropologi, tesis bahwa moral berbedabeda dalam setiap kebudayaan sering dinyatakan sebagai bukti atas klaim kontroversial bahwa benar dan salah semata-mata adalah soal kesukaan dan ketidaksukaan seseorang atau sekelompok orang belaka. Dalam kuliah seni, seorang mahasiswa mungkin akan mengatakan bahwa tidak ada kriteria untuk membedakan seni yang baik dari yang buruk; yang ada hanyalah suka atau tidak suka pada yang kita lihat. Masing-masing pernyataan tesebut, dan masih dapat ditambah dengan banyak contoh lain, mengandung berbagai asumsi, implikasi, dan ambiguitas yang biasanya jarang disentuh. Pernyataan-pernyataan semacam itu kerap diterima begitu saja secara tidak kritis sebagai "kebenaran". Filsafat mengajak kita untuk menguji dan mempersoalkan kembali dogma-dogma yang telah kita anggap benar, mengajak kita untuk mengambil posisi dan menetapkan pendirian. Yang ketiga adalah penilaian kritis. Tujuan berfilsafat bukan sekadar meninjau berbagai macam teori, tetapi juga menilainya secara kritis. Entah apapun kesimpulan akhir kita mengenai persoalan tertentu, kita tetap dapat mengembangkan sikap yang kritis secara umum. Sikap kritis berarti tidak menerima sesuatu begitu saja hanya berdasarkan autoritas, mencermati asumsi-asumsi dan ambiguitas-ambiguitas dalam setiap pernyataan yang dapat dipersoalkan (termasuk pernyataan kita sendiri), menolak ikut arus pendapat umum, dan mencari penjelasan dan alasan-alasan bagi halhal yang oleh orang lain dianggap sudah jelas. Inilah unsur-unsur kemandirian intelektual. Inti filsafat adalah membentuk pemikiran, bukan sekadar mengisi kepala dengan fakta-fakta. Mungkin, beberapa dari kita ada yang mempertanyakan apa sebenarnya manfaat praktis yang "nyata" dari mempelajari filsafat, taruhlah dalam soal mencari pekerjaan? Memang, gelar sarjana dalam bidang filsafat tidak akan mempersiapkan kita untuk suatu pekerjaan tertentu, selain mempersiapkan kita untuk studi tingkat pasca-sarjana atau mengajar. Lain halnya dengan bidang-bidang studi lain yang lebih teknis sifatnya. Kelebihan filsafat adalah bahwa ia memperlengkapi kita untuk berbagai bidang non-akademis, dan dalam banyak hal dapat membantu kita mengembangkan diri dalam karier yang kita pilih. Posisi-posisi kepemimpinan dan yang memikul tanggung jawab dalam berbagai profesi - kedokteran, hukum, teologi, bisnis, dan lain-lain - menuntut seseorang untuk bergulat dengan permasalahan filsafat. Setiap orang bisa menghafalkan fakta-fakta, sebagaimana yang biasa kita lakukan di sekolah dulu. Namun, lapangan kerja di dunia nyata menuntut jauh lebih banyak dari sekadar menghafalkan fakta-fakta, jika kita memang ingin berhasil dan unggul. "Faktafakta" masih perlu dipertanyakan, disusun ulang, ditinjau dari berbagai perspektif, disingkirkan, dipungut lagi, diuji, dan ditimbang-timbang terus secara logis, jelas dan inovatif. Kemampuan untuk melakukan semua itulah yang hendak diperoleh dari belajar filsafat ataupun berfilsafat, entah

dari bidang mana pun fakta-faktanya berasal. Ringkasnya, berfilsafat - mengkaji permasalahan filsafat secara serius - memberikan manfaat pribadi dalam dua cara. Pertama, pengkajian filsafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan nilai-nilai dasar seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arah kehidupan pribadi maupun profesinya. Kedua, pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan dari dogmatisme, toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, serta kemandirian intelektual. Namun, sudah disinggung sebelumnya, tidak ada jaminan bahwa pengkajian filsafat pasti akan menghasilkan buah-buah itu. Tentu ada hal-hal lain yang juga dapat mengembangkan toleransi, kemandirian intelektual, ataupun perubahan nilai dan keyakinan dasar seseorang. Filsafat hanyalah salah satu alternatif terbaik. "Fakta-fakta" masih perlu dipertanyakan, disusun ulang, ditinjau dari berbagai perspektif, disingkirkan, dipungut lagi, diuji dan ditimbang terus secara logis, jelas, dan inovatif. Kemampuan untuk melakukan semua itulah yang hendak dikembangkan melalui kegiatan berfilsafat itu sendiri - yang pada hakikatnya merupakan sebuah latihan juga, entah dari bidang manapun fakta-faktanya berasal. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu spesial. Jadi berfilsafat membantu untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas (filsafat teoretis) dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat praktis). Kemampuan itu dipelajarinya dari dua jalur: secara sistematis dan secara historis. Pertama, secara sistematis. Artinya, filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk menangani masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab dan keadilan, dan sebagainya. Jalur kedua adalah sejarah filsafat. Di situ orang belajar untuk mendalami, menanggapi, serta belajar dari jawaban-jawaban yang sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir dan filsuf terkemuka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemampuan ini memberikan sekurangkurangnya tiga kemampuan yang memang sangat dibutuhkan oleh segenap orang yang di jaman sekarang harus atau mau memberikan pengarahan, bimbingan, dan kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam masyarakat. 1. Suatu pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling hakiki, serta mendalami jawaban-jawaban yang diberikan oleh para pemikir terbesar umat manusia, waawasan dan pengertian kita sendiri diperluas. 2. Kemampuan untuk menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi, pendapat-pendapat, tuntutan-tuntutan dan legitimasi-legitimasi dari berbagai agama, ideologi dan pandangan dunia. Secara singkat, filsafat selalu juga merupakan kritik ideologi. Justru kemampuan ini sangat diperlukan dewasa ini di mana kebudayaan merupakan pasaran ide-ide dan ideologiideologi religius dan politis yang mau membujuk manusia untuk mempercayakan diri secara buta kepada mereka. Dalam situasi ini sangat diperlukan kemampuan untuk tidak sekadar menolak ideologi-ideologi itu secara dogmatis dan dari luar, melainkan untuk menanggapinya secara kritis dan argumentatif. 3. Pendasaran metodis dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam menjalani studi-studi di ilmu-ilmu spesial, termasuk teologi. Dengan mempertimbangkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa filsafat, demikian kegiatan berfilsafat, sangat diperlukan oleh profesi-profesi seperti pendidik, wartawan, pengarang dan penerbit, budayawan, sosiolog, psikolog, ilmuwan politik, agamawan, dan teolog. Di samping itu, filsafat juga mempunyai fungsi khusus dalam lingkungan sosial budaya Indonesia: 1. Bangsa Indonesia berada di tengah-tengah dinamika proses modernisasi yang meliputi semakin banyaknya bidang dan hanya untuk sebagiannya dapat dikemudikan melalui kebijakan pembangunan. Menghadapi tantangan modernisasi dengan perubahan pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma itu, filsafat membantu untuk mengambil sikap yang sekaligus terbuka dan kritis. 2. Filsafat merupakan sarana baik untuk menggali kembali kekayaan kebudayaan, tradisitradisi, dan filsafat Indonesia untuk mengaktualisasikannya bagi Indonesia modern yang sedang kita bangun. Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati warisan rohani tidak hanya secara museal dan verbalistik, melainkan secara evaluatif, kritis dan refleksif, sehingga kekayaan rohani

bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan terus-menerus identitas modern bangsa Indonesia. 3. Sebagai kritik ideologi, filsafat membangun kesanggupan untuk mendeteksi dan membuka kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk ketidakadilan sosial dan pelanggaran-pelanggaran terhadap martabat dan hak-hak asasi manusia yang masih terjadi. Jadi filsafat membuat sanggup untuk melihat secara terbuka masalah-masalah sosial serta percaturan kekuasaan yang sedang berlangsung. 4. Filsafat merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan intelektual bangsa pada umumnya dan khususnya dalam kehidupan intelektual di universitasuniversitas dan lingkungan akademis. Filsafat dapat berfungsi sebagai interdisipliner sistem, tempat bertemunya berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut "fakultas sentral" atau "inter-fakultas", karena semua fakultas lain, yang selalu menyelidiki salah satu segi dari kenyataan, menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Misalnya, pertanyaan tentang batas-batas pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang hakikat hidup, tentang hubungan badan dan jiwa, tentang hakikat materi, tentang dasar moral. 5. Salah satu fungsi terpenting filsafat adalah bahwa ia menyediakan dasar dan sarana sekaligus bagi diadakannya dialog di anatara agama-agama yang ada di Indonesia pada umumnya dan secara khsus dalam rangka kerja sama antar-agama dalam membangun masyarakat adil-makmur. Jadi filsafat adalah dasar bagus bagi dialog antar-agama, karena argumentasinya mengacu pada manusia dan rasionalitas pada umumnya, tidak terbatas pada pendekatan salah satu agama tertentu, itu pun tanpa mengurangi pentingnya sikap beragama. Justru para agamawan memerlukan filsafat supaya dapat bicara satu sama lain dan bersama-sama memecahkan masalah-masalah sosial dan masalahmasalah nasional. Tugas Filsafat Salah satu alasan mengapa seorang berfilsafat adalah karena memang dalam diri filsafat itu sendiri mengandung suatu tugas. Kita sudah mengetahui bahwa filsafat didasari oleh suatu kebebasan berpikir, namun suatu kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban dengan kebenaran yang dikandung oleh penampilan realitas. Sementara, tidak semua bentuk berpikir dalam filsafat harus terus-menerus dijamin oleh kesungguhan dan kejujuran dalam menempuh tahap-tahap pikiran menuju kebenaran, sedangkan kesaksian terhadap kesungguhan dan kejujuran ini tidak bisa diterapkan oleh orang lain kecuali oleh nurani filsuf yang bersangkutan. Oleh karenanya, orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil bertanggungjawab. Di sinilah letak tugasnya, yang sudah menjadi sifat filsafat itu sendiri, yang terpenting. Refleksi tentang ini diuraikan dengan bagus oleh sejumlah pemikir jaman kita, seperti Karl Popper, Gabriel Marcel dan Alfred North Whitehead.
Karl Popper

Tugas filsafat sekarang ini, menurut Sir Kal Popper (lahir di Wina 1902, mengajar filsafat di Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat), lebih-lebih "berpikir kritis tentang alam raya dan tentang tempat manusia di dalamnya; berpikir tentang kemampuan-kemampuan pengetahuan kita dan kemampuan-kemampuan kita terhadap kebaikan dan kejahatan". (K. Popper, "How I See Philosophy", dalam: Ch. Bontempo - S. Jack Odell, The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy, New York 1975, hlm. 55.) Hidup kita di dunia ini - sebuah planet kecil dalam kosmos yang sebagian besar kosong merupakan suatu misteri besar. Hidup mempunyai nilai sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Hidup itu mahal. Kita cenderung untuk melupakan itu dengan memandanganya sebagai sesuatu yang murah. "Semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada orang yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup ini akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa - kalau hidup tidak akan berakhir - hidup tanpa harga, dan bahwa bahaya yang selalu hadir, yaitu bahwa kita dapat kehilangan hidup, sekurang-kurangnya ikut menolong untuk menyadari nilai dari hidup." (K. Popper, "How I See Philosophy", hlm. 55.)

Gabriel Marcel Gabriel Marcel (lahir di Paris 1889, meninggal 1973) melihat filsafat sebagai "reconaissance". Kata Perancis ini berarti sekaligus "mengingat", "mengakui", "menyelidiki" dan "berterima kasih". Gabriel Marcel menekankan dua arti, yaitu "penyelidikan" dan "sikap berterima kasih" atau "penghargaan". Kedua arti ini dari "reconaissance" (dalam bahasa Inggris "recognation" dan "acknowledgement") memperlihatkan kedua dimensi pengetahuan manusia: masa lampau dan masa depan. Terhadap masa lampau kita harus berterima kasih, mengakui bahwa kita berhutang. "Reconaissance" ini dilupakan oleh para teknokrat dan ideolog. Karena mereka hanya memilih salah satu unsur atau ajaran dari seluruh warisan sejarah filsafat. Dan bagian kecil ini - misalnya ajaran Marx - kemudian didewakan. Sikap ini berarti suatu devaluasi dari semua sistem yang mendahului sistem satu-satunya yang didewakan itu. Terhadap masa depan kita harus terbuka: siap untuk menyelidiki dan menerima. Tugas filsafat sekarang ini, kata Gabriel Marcel, terdiri dari kedua jenis "reconaissance" ini: sikap penghargaan dan sikap keterbukaan, kerelaan untuk menerima, "acceptance". Dengan demikian filsafat menjadi suatu "re-thinking", suatu refleksi kedua yang dapat mengatasi jurang yang dialami manusia dalam jaman kita, yaitu jurang antara sikap teknis dan analitis di satu pihak dan hidup di lain pihak. (G. Marcel, "Philosophy as I See it Today", dalam Ch. Bontempo - S. Jack Odell, The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy, New york 1975, hlm. 119-122.) Gabriel Marcel mengemukakan sesuatu yang sangat klasik. Plato sudah mengajar bahwa "mengetahui" sebetulnya "mengingat", dan Hediegger mengatakan bahwa "berpikir" (dalam bahasa Jerman "denken, bahasa Inggris "to think") harus bersifat "berterima kasih" (dalam bahasa Jerman "danken", bahasa Inggris "to thank"). Berpikir itu sesuatu yang dianugerahkan kepada kita, sesuatu yang harus dihargai dan diterima. Alfred North Whitehead Alfred North Whitehead (1861-1947 mengajar matematika dan filsafat di Cambridge, Inggris, dan di Harvard, Amerika Serikat) menguraikan tugas filsafat dengan kata-kata ini: Filsafat itu tidak salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. "Filsafat itu pemeriksaan ('survey') dari ilmu-ilmu, dan tujuan khusus dari filsafat itu menyelaraskan ilmu-ilmu dan melengkapinya." (A.N. Whitehead, Science and the Modern World, Cambridge 1953, hlm. 108.) Filsafat mempunyai dua tugas: menekankan bahwa abstraksi-abstraksi dari ilmu-ilmu betul-betul hanya bersifat abstraksi (maka tidak merupakan keterangan yang menyeluruh), dan melengkapi ilmu-ilmu dengan cara ini: membandingkan hasil ilmu-ilmu dengan pengetahuan intuitif mengenai alam raya, pengetahuan yang lebih konkret, sambil mendukung pembentukan skema-skema berpikir yang lebih menyeluruh Definisi Whitehead ini - filsafat sebagai "survey of sciences" - diterima oleh banyak orang dewasa ini. Definisi Whitehead masih dapat diperluas sedikit: filsafat itu tidak hanya "survey of sciences", melainkan juga "survey" (atau"re-thinking") dari semua ideologi, semua interpretasi mengenai dunia, dan dari seluruh kenyataan manusiawi. Ketiga uraian dari Popper, Marcel dan Whitehead dapat dibaca sebagai satu definisi: Tugas filsafat itu "berpikir kritis tentang alam raya dan tentang tempat kita di dalamnya (Popper), "re-thinking" dengan "sikap keterbukaan dan penghargaan" (Marcel), penyelidikan kritis mengenai hasil ilmu-ilmu abstrak untuk mencapai suatu gambaran yang lebih menyeluruh (Whitehead). Istilah-istilah lain yang sekarang sering terdengar dalam uraian-uraian mengenai tugas filsafat: "re-interpretasi" kenyataan manusiawi, "penciptaan suatu bahasa umum yang dapat dipakai sebagai bagian dari semua ilmu khusus", "dialog yang mendamaikan abstraksi-abstraksi dan spesialisme-spesialisme ilmu-ilmu", dan "mencari hikmat di tengah semua pengetahuan". Tidak begitu penting uraian mana yang dipilih. Yang penting adalah suatu sikap tertentu, yaitu sikap keterbukaan dalam berfilsafat dan memikul tugas yang memang sudah melekat padanya. Cakrawala pengetahuan kita semakin luas. Namun kita tidak boleh melupakan bahwa pengetahuan yang luas ini tidak pernah utuh. Kita tidak "memiliki" kebenaran. Filsafat mencari kebenaran, dan itu mulai dengan menyadari betapa sedikit yang sungguh kita ketahui. Apa kata orang pintar tentang filsafat Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata pungutan dari bahasa Arab ( .)Selanjutnya bahasa Arab memungutnya dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini,

kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang pencinta kebijaksanaan atau ilmu. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf". Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problema falsafi pula. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa falsafah itu kira-kira merupakan studi daripada arti dan berlakunya kepercayaan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal. Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problemmata secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal ini membuat filasafat sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu bisa dikatakan banyak menunjukkan segi ekstakta, tidak seperti yang diduga banyak orang. Klasifikasi filsafat Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: Filsafat Barat, Filsafat Timur dan Filsafat Timur Tengah. Filsafat Barat Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuna. Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, Rene Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Schopenhauer, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. Filsafat Timur Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, China dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat an sich masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf: Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong. Filsafat Timur Tengah Filsafat Timur Tengah ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina) dan Averroes. Munculnya Filsafat Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar

tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah Komentar-komentar karya Plato belaka. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Sejarah Filsafat Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer. Klasik Pra Sokrates: Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes Parmenides Zeno -Herakleitos - Empedocles Democritus - Anaxagoras "Jaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles Abad Pertengahan "Skolastik": Thomas Aquino Moderen Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke Georg Hegel - Immanuel Kant - Sren Kierkegaard - Karl Marx- Friedrich Nietzsche Schopenhauer Kontemporer Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper -Bertrand Russell - Jean-Paul Sartre Albert Camus - Max Weber

TUGAS
Salah satu alasan mengapa seorang berfilsafat adalah karena memang dalam diri filsafat itu sendiri mengandung suatu tugas. Kita sudah mengetahui bahwa filsafat didasari oleh suatu kebebasan berpikir, namun suatu kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban dengan kebenaran yang dikandung oleh penampilan realitas. Sementara, tidak semua bentuk berpikir dalam filsafat harus terus-menerus dijamin oleh kesungguhan dan kejujuran dalam menempuh tahap-tahap pikiran menuju kebenaran, sedangkan kesaksian terhadap kesungguhan dan kejujuran ini tidak bisa diterapkan oleh orang lain kecuali oleh nurani filsuf yang bersangkutan. Oleh karenanya, orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil bertanggungjawab. Di sinilah letak tugasnya, yang sudah menjadi sifat filsafat itu sendiri, yang terpenting. Refleksi tentang ini diuraikan dengan bagus oleh sejumlah pemikir jaman kita, seperti Karl Popper, Gabriel Marcel dan Alfred North Whitehead. Karl Popper Tugas filsafat sekarang ini, menurut Sir Kal Popper (lahir di Wina 1902, mengajar filsafat di Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat), lebih-lebih "berpikir kritis tentang alam raya dan tentang tempat manusia di dalamnya; berpikir tentang kemampuan-kemampuan pengetahuan kita dan kemampuan-kemampuan kita terhadap kebaikan dan kejahatan". (K. Popper, "How I See Philosophy", dalam: Ch. Bontempo S. Jack Odell, The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy, New York 1975, hlm. 55.) Hidup kita di dunia ini - sebuah planet kecil dalam kosmos yang sebagian besar kosong -

merupakan suatu misteri besar. Hidup mempunyai nilai sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Hidup itu mahal. Kita cenderung untuk melupakan itu dengan memandanganya sebagai sesuatu yang murah. "Semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada orang yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup ini akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa - kalau hidup tidak akan berakhir - hidup tanpa harga, dan bahwa bahaya yang selalu hadir, yaitu bahwa kita dapat kehilangan hidup, sekurangkurangnya ikut menolong untuk menyadari nilai dari hidup." (K. Popper, "How I See Philosophy", hlm. 55.) Gabriel Marcel Gabriel Marcel (lahir di Paris 1889, meninggal 1973) melihat filsafat sebagai "reconaissance". Kata Perancis ini berarti sekaligus "mengingat", "mengakui", "menyelidiki" dan "berterima kasih". Gabriel Marcel menekankan dua arti, yaitu "penyelidikan" dan "sikap berterima kasih" atau "penghargaan". Kedua arti ini dari "reconaissance" (dalam bahasa Inggris "recognation" dan "acknowledgement") memperlihatkan kedua dimensi pengetahuan manusia: masa lampau dan masa depan. Terhadap masa lampau kita harus berterima kasih, mengakui bahwa kita berhutang. "Reconaissance" ini dilupakan oleh para teknokrat dan ideolog. Karena mereka hanya memilih salah satu unsur atau ajaran dari seluruh warisan sejarah filsafat. Dan bagian kecil ini - misalnya ajaran Marx - kemudian didewakan. Sikap ini berarti suatu devaluasi dari semua sistem yang mendahului sistem satu-satunya yang didewakan itu. Terhadap masa depan kita harus terbuka: siap untuk menyelidiki dan menerima. Tugas filsafat sekarang ini, kata Gabriel Marcel, terdiri dari kedua jenis "reconaissance" ini: sikap penghargaan dan sikap keterbukaan, kerelaan untuk menerima, "acceptance". Dengan demikian filsafat menjadi suatu "re-thinking", suatu refleksi kedua yang dapat mengatasi jurang yang dialami manusia dalam jaman kita, yaitu jurang antara sikap teknis dan analitis di satu pihak dan hidup di lain pihak. (G. Marcel, "Philosophy as I See it Today", dalam Ch. Bontempo - S. Jack Odell, The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy, New york 1975, hlm. 119-122.) Gabriel Marcel mengemukakan sesuatu yang sangat klasik. Plato sudah mengajar bahwa "mengetahui" sebetulnya "mengingat", dan Hediegger mengatakan bahwa "berpikir" (dalam bahasa Jerman "denken, bahasa Inggris "to think") harus bersifat "berterima kasih" (dalam bahasa Jerman "danken", bahasa Inggris "to thank"). Berpikir itu sesuatu yang dianugerahkan kepada kita, sesuatu yang harus dihargai dan diterima. Alfred North Whitehead Alfred North Whitehead (1861-1947 mengajar matematika dan filsafat di Cambridge, Inggris, dan di Harvard, Amerika Serikat) menguraikan tugas filsafat dengan kata-kata ini: Filsafat itu tidak salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. "Filsafat itu pemeriksaan ('survey') dari ilmu-ilmu, dan tujuan khusus dari filsafat itu menyelaraskan ilmu-ilmu dan melengkapinya." (A.N. Whitehead, Science and the Modern World, Cambridge 1953, hlm. 108.) Filsafat mempunyai dua tugas: menekankan bahwa abstraksi-abstraksi dari ilmu-ilmu betul-betul hanya bersifat abstraksi (maka tidak merupakan keterangan yang

menyeluruh), dan melengkapi ilmu-ilmu dengan cara ini: membandingkan hasil ilmuilmu dengan pengetahuan intuitif mengenai alam raya, pengetahuan yang lebih konkret, sambil mendukung pembentukan skema-skema berpikir yang lebih menyeluruh. Definisi Whitehead ini - filsafat sebagai "survey of sciences" - diterima oleh banyak orang dewasa ini. Definisi Whitehead masih dapat diperluas sedikit: filsafat itu tidak hanya "survey of sciences", melainkan juga "survey" (atau"re-thinking") dari semua ideologi, semua interpretasi mengenai dunia, dan dari seluruh kenyataan manusiawi. Ketiga uraian dari Popper, Marcel dan Whitehead dapat dibaca sebagai satu definisi: Tugas filsafat itu "berpikir kritis tentang alam raya dan tentang tempat kita di dalamnya (Popper), "re-thinking" dengan "sikap keterbukaan dan penghargaan" (Marcel), penyelidikan kritis mengenai hasil ilmu-ilmu abstrak untuk mencapai suatu gambaran yang lebih menyeluruh (Whitehead). Istilah-istilah lain yang sekarang sering terdengar dalam uraian-uraian mengenai tugas filsafat: "re-interpretasi" kenyataan manusiawi, "penciptaan suatu bahasa umum yang dapat dipakai sebagai bagian dari semua ilmu khusus", "dialog yang mendamaikan abstraksi-abstraksi dan spesialisme-spesialisme ilmu-ilmu", dan "mencari hikmat di tengah semua pengetahuan". Tidak begitu penting uraian mana yang dipilih. Yang penting adalah suatu sikap tertentu, yaitu sikap keterbukaan dalam berfilsafat dan memikul tugas yang memang sudah melekat padanya. Cakrawala pengetahuan kita semakin luas. Namun kita tidak boleh melupakan bahwa pengetahuan yang luas ini tidak pernah utuh. Kita tidak "memiliki" kebenaran. Filsafat mencari kebenaran, dan itu mulai dengan menyadari betapa sedikit yang sungguh kita ketahui.

FUNGSI
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu spesial. Jadi berfilsafat membantu untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas (filsafat teoretis) dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat praktis). Kemampuan itu dipelajarinya dari dua jalur: secara sistematis dan secara historis. Pertama, secara sistematis. Artinya, filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk menangani masalahmasalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab dan keadilan, dan sebagainya. Jalur kedua adalah sejarah filsafat. Di situ orang belajar untuk mendalami, menanggapi, serta belajar dari jawaban-jawaban yang sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir dan filsuf terkemuka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemampuan ini memberikan sekurang-kurangnya tiga kemampuan yang memang sangat dibutuhkan oleh segenap orang yang di jaman sekarang harus atau mau memberikan pengarahan, bimbingan, dan kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam masyarakat. 1. Suatu pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatanpendekatan pokok terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling hakiki, serta mendalami jawaban-jawaban yang diberikan oleh para pemikir terbesar umat manusia, waawasan dan pengertian kita sendiri diperluas. 2. Kemampuan untuk menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi, pendapatpendapat, tuntutan-tuntutan dan legitimasi-legitimasi dari berbagai agama, ideologi dan pandangan dunia. Secara singkat, filsafat selalu juga merupakan kritik ideologi. Justru kemampuan ini sangat diperlukan dewasa ini di mana kebudayaan merupakan pasaran ide-ide dan ideologi-ideologi religius dan politis yang mau membujuk manusia untuk mempercayakan diri secara buta kepada

mereka. Dalam situasi ini sangat diperlukan kemampuan untuk tidak sekadar menolak ideologiideologi itu secara dogmatis dan dari luar, melainkan untuk menanggapinya secara kritis dan argumentatif. 3. Pendasaran metodis dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam menjalani studi-studi di ilmu-ilmu spesial, termasuk teologi. Dengan mempertimbangkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa filsafat, demikian kegiatan berfilsafat, sangat diperlukan oleh profesi-profesi seperti pendidik, wartawan, pengarang dan penerbit, budayawan, sosiolog, psikolog, ilmuwan politik, agamawan, dan teolog. Di samping itu, filsafat juga mempunyai fungsi khusus dalam lingkungan sosial budaya Indonesia: 1. Bangsa Indonesia berada di tengah-tengah dinamika proses modernisasi yang meliputi semakin banyaknya bidang dan hanya untuk sebagiannya dapat dikemudikan melalui kebijakan pembangunan. Menghadapi tantangan modernisasi dengan perubahan pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma itu, filsafat membantu untuk mengambil sikap yang sekaligus terbuka dan kritis. 2. Filsafat merupakan sarana baik untuk menggali kembali kekayaan kebudayaan, tradisi-tradisi, dan filsafat Indonesia untuk mengaktualisasikannya bagi Indonesia modern yang sedang kita bangun. 3. Indonesia modern yang sedang kita bangun. Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati warisan rohani tidak hanya secara museal dan verbalistik, melainkan secara evaluatif, kritis dan refleksif, sehingga kekayaan rohani bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan terus-menerus identitas modern bangsa Indonesia. 4. Sebagai kritik ideologi, filsafat membangun kesanggupan untuk mendeteksi dan membuka kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk ketidakadilan sosial dan pelanggaran-pelanggaran terhadap martabat dan hak-hak asasi manusia yang masih terjadi. Jadi filsafat membuat sanggup untuk melihat secara terbuka masalah-masalah sosial serta percaturan kekuasaan yang sedang berlangsung. 5. Filsafat merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan intelektual bangsa pada umumnya dan khususnya dalam kehidupan intelektual di universitasuniversitas dan lingkungan akademis. Filsafat dapat berfungsi sebagai interdisipliner sistem, tempat bertemunya berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut "fakultas sentral" atau "inter-fakultas", karena semua fakultas lain, yang selalu menyelidiki salah satu segi dari kenyataan, menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Misalnya, pertanyaan tentang batas-batas pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang hakikat hidup, tentang hubungan badan dan jiwa, tentang hakikat materi, tentang dasar moral. 6. Salah satu fungsi terpenting filsafat adalah bahwa ia menyediakan dasar dan sarana sekaligus bagi diadakannya dialog di anatara agama-agama yang ada di Indonesia pada umumnya dan secara khsus dalam rangka kerja sama antar-agama dalam membangun masyarakat adil-makmur. Jadi filsafat adalah dasar bagus bagi dialog antar-agama, karena argumentasinya mengacu pada manusia dan rasionalitas pada umumnya, tidak terbatas pada pendekatan salah satu agama tertentu, itu pun tanpa mengurangi pentingnya sikap beragama. Justru para agamawan memerlukan filsafat supaya dapat bicara satu sama lain dan bersama-sama memecahkan masalah-masalah sosial dan masalahmasalah nasional.

CABANG Filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan, tetapi selalu salah satu segi dari kenyataan yang sekaligus menjadi titik fokus penyelidikan kita. Filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu tertentu, misalnya: filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat

agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan, dan seterusnya. Aristoteles mengadakan pengelompokan sebagai berikut: Sejarah logika, yaitu ajaran tentang kategori, pengambilan kesimpulan dab pembuktian serta topika yaitu dialektika, Ilmu-ilmu pengetahuan alam, berisi antara lain tentang fisika, langit, meteorologi, jiwa, binatang, Etika, Politik, Bahasa dan seni. Cassidorus menyebut tujuh macam seni liberal, yaitu: Trivium, terdiri atas Gramatika, Logika, Retorika, dan Quadrivium yang terdiri atas Ilmu hitung, Ilmu Ukur, Astronomi dan Musik. Kant (Stroriq, 1972) di dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Murni mengadakan pembagian sebagai berikut: Bagian pertama berisi ajaran elementer yang transendental, Bagian kedua berisi ajaran transendental tentang metode. Ajaran elementer tersebut dibagi lagi menjadi estetika transendental, yang membicarakan tentang kemampuan inderawi dan logika transendental yang membicarakan tentang kemampuan berpikir. Logika dibagi lagi menjadi analitika transendental dan dialektika transendental. Selanjutnya dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Yang Praktik ia banyak membicarakan tentang Etika dan Religi. Di dalam bukunya, Perspectives in Social Philosophy (1967), Beck (1967) menyebut lapangan filsafat, yaitu: Epistemologi atau filsafat pengetahuan. Yang dibicarakan antara lain adalah sumber, kriteria, dan hakikat pengetahuan. Metafisika atau teori tentang realitas. Yang dibicarakan antara lain segala sesuatu yang ada, hekikat realita, prinsip pemahaman kosmos. Ilmu pengetahuan normatif, yang terdiri atas etika, estetika dan filsafat ketuhanan. Demikian seterusnya terdapat jenis penggolongan cabang-cabang filsafat. Katsoff dalam bukunya Elements of Philosophy mengadakan penggolongan sebagai berikut: Logika, membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan yang benar. Metodologi, membicarakan tentang teknik atau cara penelitian. Metafisika, membicarakan tentang segala sesuatu yang ada. Ontologi, membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada. Kosmologi. membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur. Epistemologi, membicarakan tentang kebenaran. Filsafat Biologi, membicarakan tentang hidup. Filsafat Psikologi, membicarakan tentang jiwa. Filsafat Antropologi, membicarakan tentang manusia. Filsafat Sosiologi, membicarakan tentang masyarakat dan negara. Etika, membicarakan tentang baik dan buruk. Estetika, membicarakan tentang indah. Filsafat Agama, membicarakan tentang agama. Harry Hamersma di dalam bukunya Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat (Kanisius, 1981), membicarakan sepuluh cabang filsafat, yang masih dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang induk, sebagai berikut: 1. Filsafat tentang pengetahuan: 1. Epistemologi 2. Logika 3. Kritik ilmu-ilmu 2. Filsafat tentang keseluruhan kenyataan:

1. Metafisika umum (atau, ontologi) 2. Metafisika khusus, terdiri dari: 1. Teologi metafisik (disebut juga "teodise" dan "filsafat ketuhanan") 2. Antropologi 3. Kosmologi (disebut juga "filsafat alam") 3. Filsafat tentang tindakan: 1. Etika (disebut juga "filsafat moral") 2. Estetika (disebut juga "filsafat seni", "filsafat keindahan") 4. Sejarah filsafat Berikut ini penjelasan masing-masing secara lebih dalamnya: Epsitemologi, merupakan "pengetahuan tentang pengetahuan". Suatu studi tentang asal usul, hakikat, dan jangkauan pengetahuan. Beberapa pertanyaan yang mungkin diajukan dalam espistemologi adalah: Apakah pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan? Apakah yang menyebabkan suatu keyakinan benar dan yang lain salah? Adakah soal-soal penting yang tidak dapat dijawab oleh sains (ilmu spesial)? Dapatkah kita mengetahui pikiran perasaan orang lain? Logika, menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir kita sehat. Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan antara argumen yang masuk akal dan argumen yang tidak masuk akal, serta tentang berbagai bentuk argumentasi. Contohnya: apa perbedaan antara pemikiran induktif dan deduktif? Mengapa argumentasi "Semua anjing adalah kucing. Sokrates adalah anjing. Maka, Sokrates adalah kucing" dianggap valid? Apa pebedaan antara logika penjelasan ilmiah dan logika pertimbangan moral? Kritik ilmu-ilmu, menyelidiki titik pangkal, metode, objek dari ilmu-ilmu ("filsafat ilmu"). Suatu studi tentang metode, asumsi, dan batas-batas ilmu pengetahuan. Adakah satu metode yang khas dalam ilmu pengetahuan? Apakah perbedaan antara sebuah teori dan sebuah hukum dalam ilmu pengetahuan? Apakah hakikat penjelasan ilmiah? Apakah kebebasan manusia selaras dengan ilmu pengetahuan? Ontologi, merupakan pengetahuan tentang "semua pengada sejauh mereka ada". Suatu studi yang membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin ketahui, atau, dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang "ada". Teologi metafisik, membicarakan tentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama ilahi. Suatu studi tentang hakikat, ragam dan objek kepercayaan agama. Apa hubungan antara akal dan iman? Apa sesungguhnya agama? Dapatkah Allah diketahui lewat pengalaman langsung? Dapatkah eksistensi kejahatan didamaikan dengan iman akan suatu Allah yang sempurna dan berpribadi? Apakah istilah-istilah religius memiliki makna khusus? Antropologi, membicarakan tentang manusia ("filsafat manusia"). Suatu studi yang membicarakan manusia seluruhnya, dengan segala sudutnya, namun dengan mementingkan penggunaan metode filosofis dalam penyelidikannya. Kosmologi, membicarakan tentang alam, kosmos. Suatu studi yang hendak mengetahui "rahasia alam". Dari mana datangnya alam ini, betapa terjadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya? Etika, membicarakan tentang tindakan manusia. Suatu studi tentang prinsip-prinsip dan konsepkonsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku manusia. Contohnya: Dengan patokan apa kita membedakan antara tindakan yang benar dan yang salah secara moral? Apakah kesenangan merupakan satu-satunya ukuran untuk menentukan sesuatu sebagai "baik"? Apakah keputusasaan moral bersifat sewenang-wenang atau sekehendak hati? Estetika, mencoba menyelidiki mengapa sesuatu dialami sebagai indah. Suatu studi tentang prinsipprinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis? Apa yang ditangkap, dialami, dirasakan dan dihayati sebagai indah? Sejarah filsafat dunia, mengajar apa jawaban pemikir-pemikir jaman atas pertanyaan-pertanyaan manusia.

Tidak semua filsuf setuju dengan pembagian seperti diuraikan di atas. Ada filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau kemungkinan seluruh metafisika. Namun, pembagian seperti di atas ini merupakan sekma yang paling klasik dan paling umum diterima. Tentang keseluruhan cabang akan kita lihat satu persatu secara mendalam pada waktu mendatang, dalam bagian Cabang ini juga. Demikian, materi halaman ini akan secara rutin mengalami pembaruan ataupun penambahan.

You might also like