You are on page 1of 13

Muqaddimah Kebanyakan kaum muslimin membiasakan membaca surat Yasin, baik pada malam Jumat (hari Jumat menjelang

khatib naik mimbar, tambahan-peny), ketika mengawali atau menutup majlis talim, ketika ada atau setelah kematian dan pada acara-acara lain yang mereka anggap penting. Saking seringnya surat Yasin dijadikan bacaan di berbagai pertemuan dan kesempatan, sehingga mengesankan, Al-Quran itu hanyalah berisi surat Yasin saja. Dan kebanyakan orang membacanya memang karena tergiur oleh fadhilah atau keutamaan surat Yasin dari hadits-hadits yang banyak mereka dengar, atau menurut keterangan dari guru mereka. Al-Quran yang di wahyukan Allah adalah terdiri dari 30 juz. Semua surat dari Al-Fatihah sampai An-Nas, jelas memiliki keutamaan yang setiap umat Islam wajib mengamalkannya. Oleh karena itu sangat dianjurkan agar umat Islam senantiasa membaca Al-Quran. Dan kalau sanggup hendaknya menghatamkan Al-Quran setiap pekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali atau khatam setiap bulan sekali. [Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya] Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin. Sebagaimana surat-surat Al-Quran yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membaca surat Yasin setiap malam Jumat, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain. Mudah-mudahan keterangan berikut ini tidak membuat patah semangat, tetapi malah memotivasi untuk membaca dan menghafalkan seluruh isi Al-Quran serta mengamalkannya. KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG FADHILAH SURAT YASIN. Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah. Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya]

Hadits Dhaif dan Maudhu Adapun hadits-hadits yang semuanya dhaif (lemah) dan atau maudhu (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut : [1]. Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jumat maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya. [Ibnul Jauzi Al-Maudhu'at 1/247] Keterangan : Hadits ini Palsu Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata : Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. [Periksa : Al-Maudhu'at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I'tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua'ah hal. 268 No. 944] [2]. Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya. Keterangan : Hadits ini Lemah. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mujamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Main, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). [Periksa : Mizanul I'tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465] [3]. Artinya : Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid. Keterangan : Hadits ini Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mujam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Said bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. [Periksa : Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I'tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45]. [4]. Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya. Keterangan : Hadits ini Lemah. Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja. Atha bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H. [Periksa : Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I'tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22] [5]. Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Quran dua kali. [Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu'abul Iman].

Keterangan : Hadits ini Palsu. [Lihat Dha'if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani] [6]. Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Quran sepuluh kali. [Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu'abul Iman] Keterangan : Hadits ini Palsu. [Lihat Dha'if Jami'ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani] [7]. Artinya : Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Quran itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Quran sepuluh kali. Keterangan : Hadits ini Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 3048) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata : Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa : Silsilah Hadits Dhaif No. 169, hal. 202-203) Imam Waqi berkata : Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasai : Muqatil bin Sulaiman sering dusta. [Periksa : Mizanul I'tidal IV:173] [8]. Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi. Keterangan : Hadits ini Lemah. Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar : Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. [Periksa : Taqrib I:355, Mizanul I'tidal II:283] [9]. Artinya : Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu. Keterangan : Hadits ini Lemah. Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas). [10]. Artinya : Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya.

Keterangan : Hadits ini Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasai berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. [Periksa : Mizanul I'tidal IV : 90-91] Penjelasan. Abdullah bin Mubarak berkata : Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata : Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Quran) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Quran yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Quran. [Periksa : Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha'if, hal. 113-115] Khatimah Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Quran selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala. Wallahu Alam Di beberapa halaman web/blog (wahaby) ada dikatakan bahwa yasinan (membaca surat yasin) merupakan amalan bidah, tidak ada tuntunan Nabi, berdalil pada hadits lemah atau palsu, dll. Berikut adalah dalil-dalil yang kami temukan yang digunakan sebagai hujah untuk mengamalkan (membaca) surat yasin. Hadits dan Atsar tentang Fadhilah/Keutamaan Membaca Surat Yasin oleh: DHB Wicaksono Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Waala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma badu oleh: Moulana Muhammad ibn Moulana Haroon Abbassommar, ulama spesialis dalam Hadits di Afrika Selatan

Sayyiduna Maaqal ibn Yassaar (radiyAllau anhu) meriwayatkan bahwa Rasulullah (sallAllahu alayhi wasallam) bersabda, Yasin adalah kalbu dari Al Quran. Tak seorangpun yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang wafat di antaramu. (Sunan Abu Dawud). Imaam Haakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai Sahiih (Autentik), di Mustadrak alHaakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376. . Imaam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad beliau dari Safwaan bahwa ia berkata, Para ulama biasa berkata bahwa jika Yasin dibaca oleh orang yang tengah maut, Allah akan memudahkan maut itu baginya. (Lihat Tafsiir Ibn Katsir juz 3 halaman 571) . Sayyiduna Jund ibn Abdullah (radiyAllahu anhu) meriwayatkan bahwa Rasulullah (sallAllahu alayhi wasallam) bersabda, Barangsiapa membaca Surah Yaseen pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah, dosa-dosanya akan diampuni. (Muwattha Imaam Maalik). Imaam ibn Hibbaan mengklasifikasikan hadits ini sebagai Sahiih, lihat Sahiih ibn Hibbaan Juz 6 halaman 312, ( lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 377). Riwayat serupa oleh Sayyiduna Abu Hurayrah (radhiyAllahu anhu) juga telah dicatat oleh Imaam Abu Yaala dalam Musnad beliau dan Hafiz ibn Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (Sanad) sebagai Baik (Hasan) (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 halaman 570). Berdasarkan riwayat ini, Allamah Munaawi (rahmatullah alayh) telah menganalisis bahwa barangsiapa hendak membaca Surah Yasin di pagi hari, juga akan diampuni dosanya, Insya Allah. (Lihat kitab Faydhul Qadiir, juz 6, halaman 259). . Sayyiduna ibn Abbaas (radiyAllahu anhu) mengatakan, Barangsiapa membaca Yasiin di pagi hari, pekerjaannya di hari itu akan dimudahkan dan barangsiapa membacanya di akhir suatu hari, tugas-tugasnya hingga pagi hari berikutnya akan dimudahkan pula. (Sunaan Daarimi, juz 2, halaman 549). Riwayat serupa juga dicatat oleh Imaam Daarimi dari Attaa ibn Abi Rabah. Wallahu Alam bissawab (Dan Allah Lebih Mengetahui)

Catatan Kaki: diterjemahkan dari artikel aslinya berbahasa Inggris di http://www.beautifulislam.net/quran/benefits_yaseen.htm . Sumber: http://www.mail-archive.com/ . Dari artikel yang menyatakan bahwa hadits-hadits fadlilah surah Yasin yang dloif dan palsu, dan ditegaskan bahwatidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membaca surat Yasin setiap malam Jumat, dll, setelah dicocok-kan, ternyata hadits-hadits yang dibahas di artikel tersebut bukan hadits yang terpampang di atas. Artinya, mengenai masalah ini (fadlilah Yasin, ataupun surah-surah yang lain) memang ada hadits yang lemah (dloif), tetapi ada juga hadits-hadits yang shohih (dan hasan) yang dapat dijadikan landasan. Di samping itu, ada kemungkinan seorang ulama mendloifkan sebuah hadits, sementara ulama yang lain menshohihkannya. Selain itu, para ulama sepakat sehubungan adanya hadits dloif untuk amalan menerangkan sbb: Bila ada yang mengatakan bahwa nilai sebagian hadits Nabi SAW masih diperselisihkan oleh sebagian ulama, namun dikalangan ulama ahli hadits sendiri dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits2 yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan) . . Barangsiapa membaca surah yasiin demi mencari keridlaan Allah, maka dosanya terampuni. [HR. Ibn Hibban, dan beliau menyatakan shahih] . . Kesimpulannya adalah, bahwa ada landasan/tauladan/dalil yang shohih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang fadhilah surat Yasin. Jika kita suka membaca Yasin, teruskanlah Semoga amalan ini mengantarkan kita kepada keridloan Allah SWT. Amien. . Catatan: Ada bahasan menarik yang membantah salah satu artikel wahaby tentang fadhilah yasin ini. Artikel-nya (antara lain dari ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas ) ada di sini, bantahannya baca di sini.

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Posted on Agustus 18, 2007 by Kajian Islam Assunnah Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Quran dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Quran tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wataala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki. Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah Tahlilan. Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan lebih dari sekedarnya cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya. Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: wajib) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan. Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Quran dan As Sunnah. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman (artinya): Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa: 59)

Historis Upacara Tahlilan Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan? Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Quran, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka. Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam Acara tahlilan paling tidak terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu: Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Quran, dzikir-dzikir dan disertai dengan doadoa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit. Kedua: Penyajian hidangan makanan. Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam. Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. 1. Bacaan Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit. Memang benar Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan? Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wataala berfirman (artinya): Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian. (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya. (H.R Ath Thabrani)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam, yang kedua menyatakan: Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka, yang terakhir menyatakan: Saya tidak akan menikah, maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku. (Muttafaqun alaihi) Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wataala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Allah subhanahu wataala menyatakan dalam Al Quran (artinya): Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya. (Al Mulk: 2) Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna yang paling baik amalnya ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wataala (artinya): Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (Al Kahfi: 103104) Lebih ditegaskan lagi dalam hadits Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak. (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim) Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya. Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy SyafiI:

Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara (syariat) sendiri. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafii tentang hukum bacaan Al Quran yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wataala (artinya): Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329). 2. Penyajian hidangan makanan. Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu anhusalah seorang sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata: Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit). (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya) Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka. (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafii setelah menyebutkan perkataan Asy Syafii diatas didalam kitabnya Majmu Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bidah pent). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafii? Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam hadistnya:

Hidangkanlah makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka. (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)

Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu alam. http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6

You might also like