You are on page 1of 6

HUKUMAN MATI DITINJAU DARI AGAMA BUDDHA

Pendahuluan

Perdebatan mengenai masalah pro dan kontra terhadap hukuman mati pada dewasa ini
belum sampai pada titik tuntas, dan kiranya masih akan berkembang terus untuk
waktu yang lama. Para ahli, negarawan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang pro dan
kontra terhadap hukuman mati itu mengemukakan argumentasinya dari berbagai sudut
pendekatan, yaitu dari sudut ilmu hukum, ilmu jiwa, ilmu kemasyarakatan,
kriminologi, dan sebagainya.

Di negara Indonesia dan juga di negara-negara lain, perdebatan masalah pro dan
kontra terhadap hukuman mati masih belum selesai. Agaknya pandangan manusia
terhadap hukuman mati mengalami proses perkembangan evolusioner. Di negara
Inggris, beberapa abad berselang, seseorang yang mencuri ayam dapat dihukum
gantung. Pada dewasa ini hukuman mati telah dihapuskan sepenuhnya di sabagian
besar negara-negara maju. Sebaliknya, di beberapa negara bagian Amerika serikat,
hukuman mati yang pernah dihapuskan kini diberlakukan kembali dengan
pertimbangan tertentu.

Masalah hukuman mati di Indonesia diatur dalam kitab Undang-undang Hukum


Pidana (KUHP) pasal 11 yang berbunyi, “ Hukuman mati yang dijalankan oleh algojo
di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan
mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang
itu berdiri. “

Ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung sebagaimana


tersebut dalam pasal 11 KUHP dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan dan jiwa revolusi Indonesia. Oleh sebab itu, dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Pnps tahun 1964, pelaksanaan pidana mati di
Indonesia tidak lagi dilaksanakan dengan cara digantung, tetapi dilakukan dengan cara
ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang
menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Di Amerika, ada negara-negara
bagiannya yang memakai kursi listrik atau gas beracun untuk melaksanakan hukuman
matinya. Sedangkan di Perancis, pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan
pemenggalan kepala dengan memakai alat yang disebut “ quilotine “.

Di Indonesia, sejak pemulihan kedaulatan sampai sekarang telah empat kali


dijatuhkan hukuman mati oleh Pengadilan Negeri di Indonesia, yaitu atas perkara
terdakwa Hamzah dalam peristiwa pembunuhan Ali Bajened, atas tiga orang terdakwa
Saadon bin Mochamad, Ismail bin Husein, dan Tasrif bin Yusuf dalam peristiwa
Cikini, atas terdakwa Allen Lawrence Pope dalam peristiwa pemboman di Ambon,
dan atas terdakwa Kusni bin Kasdut dalam perkara perampokan di musium. Hukuman
Hamzah belum dilaksanakan, karena terdakwa telah melarikan diri. Hukuman tiga
orang terdakwa peristiwa Cikini (percobaan pembunuhan terhadap mantan presiden
Soekarno di sebuah sekolah di Cikini) telah dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1960
secara Hukum Acara Pidana Militer, ialah dengan jalan ditembak. Sedangkan,
hukuman terdakwa Allen Lawrence Pope belum dilaksanakan, karena naik banding ke
Pengadilan yang lebih tinggi.
Penghukuman mati atas diri Kusni Kasdut telah dilakukan dengan cara ditembak
sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan
putusan dalam tingkat pertama. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat
pelaksanaan hukuman mati, Kusni Kasdut telah diberitahu terlebih dahulu oleh jaksa
tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut.

Sesungguhnya, tujuan pemidanaan di Indonesia yang berazaskan Pancasila itu pada


dasarnya bertitik berat pada unsur pendidikan. Jadi, pidana mati masih perlu
dipertahankan. Hanya penjatuhannya harus sehemat mungkin, dan sebaiknya hanya
dijatuhkan apabila sudah diyakini bahwa penjatuhannya itu adalah yang terserasi pada
saat penjatuhan tersebut.

Dengan melihat unsur pendidikannya, hukuman mati masih diberlakukan di negara


Indonesia. Demikian pula dengan negara-negara Buddhis, misalnya Thailand, yang
masih tetap melaksanakan hukuman mati terhadap siapa saja yang melanggar hukum
negara seperti tindakan kejahatan yang berat. Sesungguhnya, di kalangan umat
Buddha juga terdapat golongan-golongan yang pro dan yang kontra terhadap
hukuman mati.

Tinjauan secara agama Buddha

Agama Buddha atau Buddha Dhamma memang tidak secara langsung mengurusi
masalah-masalah kemasyarakatan. Agama Buddha tidak mengurusi masalah
perkawinan, perceraian, warisan, perdagangan, hukum, pemerintahan, peperangan,
dan sebagainya. Ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma bertujuan untuk
menyelamatkan manusia dari kejahatan secara perorangan. Lalu, dengan jalan ini
secara tidak langsung ketentraman dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Kemudian, lebih dari pada itu, ajaran Sang Buddha bertujuan untuk membebaskan
manusia dari segala bentuk penderitaan, baik di dunia ini maupun di alam lain.

Namun, sejak ajaran Sang Buddha dianut bersama-sama oleh orang banyak atau
kelompok-kelompok individu atau masyarakat, bangsa-bangsa, atau negara-negara,
ajaran Beliau mengalami banyak perubahan dengan bentuk-bentuk yang kiranya
disesuaikan dengan keadaan, lingkungan, kebutuhan, atau kecenderungan orang-orang
yang menganutnya. Dalam hai ini, ajaran Sang Buddha (Buddha Dhamma) mendapat
perubahan sebutan menjadi agama Buddha, yang kemudian penganutnya pecah
menjadi kelompok-kelompok yang sampai saat ini merupakan sekte atau aliran-aliran
yang sangat beraneka ragam. Oleh sebab itu, tidaklah jarang ditemui bentuk-bentuk
agama Buddha atau aliran agama Buddha yang kompleks, yang bercampur baur
dengan bermacam-macam paham kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat atau tradisi
yang dimasukkan ke dalam perkembangan agama Buddha itu. Bahkan, ada kalanya
dijumpai dalam beberapa aliran itu, bahwa adat istiadat atau tradisi jauh lebih
menonjol dari pada ajaran Sang Buddha yang sebenarnya. Dalam hal demikian,
mereka masih tetap taat dan kukuh menyebut sebagai agama Buddha dan menyatakan
dirinya orang Buddhis, masyarakat Buddhis, negara Buddhis, dan lain-lain. Mengenai
hal ini, umat Buddha tak dapat berbuat apa-apa selain dari pada berusaha
mengembangkan pengertian dan kesadaran masing-masing dan mengharapkan
pengertian bersama dalam lingkungan hidup bersama.
Mengenai hukuman mati, memang sebenarnyalah dalam ajaran Buddha tidak pernah
dibicarakan tentang hukum tata negara, apalagi pelaksanaan hukumam mati.
Demikian pula, dalam ajaran Sang Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan
atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukumam mati itu. Yang banyak
dibicarakan dengan tegas dan tandas ialah proses sebab dan akibat yang disebut
hukum karma.

Dalam Samyutta Nikaya I : 227, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :

Sesuai dengan benih yang telah ditabur,


Begitulah buah yang akan dipetiknya,
Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan,
Pembuat kejahatan akan dimemetik kejahatan pula,
Taburlah biji-biji benih dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.

Hukum karma merupakan hukum sebab dan akibat dari perbuatan. Jika orang berbuat
baik, maka keadaan yang menyenangkanlah yang akan dialaminya. Sebaliknya, jika
orang berbuat jahat, maka keadaan yang tidak menyenangkanlah yang akan diterima.
Keadaan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang merupakan akibat
dari perbuatannya itu dapat timbul atau datang dari bermacam-macam segi, misalnya
datang dari dirinya sendiri, dari alam lingkungannya, dari makhluk – makhluk halus,
dari orang lain, dari pemerintah, dan lain – lain.

Umpamanya, ada kalanya seseorang yang setelah berbuat jahat lalu menyesali
perbuatannya atau merasa malu, takut, sedih, dan lain – lain, kemudian menyiksa
dirinya atau ada juga yang sampai membunuh dirinya sendiri. Ini merupakan akibat
dari perbuatannya yang jahat. Demikian pula, jika orang berbuat jahat yang
merugikan makhluk lain atau orang lain, merugikan masyarakat atau negara atau yang
lainnya, maka ia juga dapat menerima akibat atau ganjalan yang datangnya dari obyek
– obyek yang dirugikan atau dari salah satu pihak yang tersebut diatas. Jadi, keadaan
yang tidak menyenangkan bagi orang yang berbuat jahat itu wajar diterimanya,
apakah itu merupakan hukuman yang ringan, sedang, atau berat, atau hukuman mati,
sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukannya.

Selanjutnya, apakah hukumannya itu datang dari dirinya sendiri, dari alam, dari orang
lain, atau dari negara, itu tergantung pada waktu atau keadaan, tempat, sasaran, berat
ringan atau ruang lingkup dari kejahatan yang dilakukan. Demikian pula, bentuk dari
hukuman itu tergantung pada unsur – unsur tersebut diatas, yang mungkin berupa
hukuman denda, kurungan badan, kerja paksa, siksaan, atau hukuman mati.
Terjadinya hal ini kiranya sangat sukar ditentukan sebelumnya, kapan, dimana,
bagaimana, dan siapa yang akan melaksanakan hukuman itu, karena hal ini tergantung
pada banyak seperti tersebut diatas. Jadi, pada hakekatnya akibat dari perbuatan jahat
itu wajar dan patut diterima oleh para pelakunya, baik itu merupakan hukuman ringan,
hukuman berat, maupun hukuman mati, sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.

Sebenarnya, apa yang disebut “ hukuman “ yang harus diterima oleh orang yang
berbuat jahat itu, terutama yang datangnya dari negara atau pemerintah itu tidak lain
dari pada suatu bentuk pendidikan yang bertujuan untuk menyadarkan orang yang
jahat agar berhenti berbuat kejahatan. Oleh karena itu, hukuman tersebut, baik yang
ringan maupun yang berat, merupakan kebutuhan pendidikan yang darurat dan
mendesak bagi orang yang jahat untuk mempercepat evolusi kejiwaannya dan
menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh kejahatannya.

Setiap orang jahat pasti pada suatu saat akan menerima hukuman itu, baik hukuman
yang berat maupun yang ringan, ataupun hukuman mati, karena hukuman itu
sebenarnya memang dibutuhkan oleh mereka dalam perjalanan kehidupannya untuk
perkembangan batinnya menuju kebaikkan dan kesempurnaan. Dengan adanya
hukuman yang bersifat mendidik itu, mereka menjadi sadar akan kesalahannya dan
berusaha untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu pada masa – masa mendatang.
Mereka ikhlas menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya dan berusaha tetap
tenang pada saat menjalani hukuman itu. Mereka yang dijatuhi hukuman mati
berusaha bersikap dewasa. Pada saat eksekusi atau pelaksanaan hukuman mati,
mereka berusaha memusatkan pikiran ke arah yang baik agar mereka dapat meninggal
dengan pikiran yang tenang. Dengan ketenangan pikiran itu, mereka dapat
bertumimbal lahir di alam yang lebih baik.

Sesungguhnya, hukuman atau penderitaan itu memang sudah ada, yang pada
hakekatnya diciptakan oleh orang – orang jahat itu sendiri melalui karmanya yang
jahat. Ya… orang jahat pasti akan menerima akibat dari perbuatan jahatnya itu. Ia
akan sedih dan menderita.

Dalam kitab suci Dhammapada bab I ayat 15, Sang Buddha bersabda sebagai berikut
:

Di dunia ini ia bersedih hati,


Di dunia sana ia bersedih hati,
Pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia ini.
Ia bersedih hati dan meratap
Karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih.

Dalam kitab suci Dhammapada bab I ayat 17, Sang Buddha kembali bersabda sebagai
berikut :

Di dunia ini ia menderita,


Di dunia sana ia menderita,
Pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu.
Ia akan meratap ketika berpikir,
“ Aku telah berbuat jahat, “
dan ia akan lebih menderita lagi
ketika berada di alam sengsara.

Selanjutnya, apakah orang yang melakukan tugas negara untuk membunuh penjahat
itu akan mendapat akibat karma yang tidak baik ? Di sini harus dilihat dari cetana
atau kehendak si algojo itu. Jika algojo itu mempunyai rasa benci yang amat besar
terhadap si penjahat pada saat ia membunuhnya, maka algojo tersebut akan mendapat
akibat karma buruk yang berat . Namun, jika algojo itu tidak mempunyai rasa benci
terhadap si penjahat pada saat ia membunuhnya, yang berarti bahwa tugas itu
dilakukannya dengan terpaksa, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang lebih
ringan.
Demikian pula halnya dengan hakim yang menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap
si terdakwa. Jika hakim itu mempunyai rasa benci yang amat besar terhadap si
terdakwa pada saat ia menjatuhkan vonis hukuman mati, maka ia akan mendapat
akibat karma buruk yang berat. Namun, jika hakim itu tidak mempunyai rasa benci
terhadap si terdakwa pada saat ia menjatuhkan vonis hukuman mati itu, tetapi semata
– mata untuk menjalankan tugas negara yang berarti hukuman mati itu diadakan
dengan tujuan baik, yaitu agar masyarakat, bangsa, dan negara itu aman, sejahtera,
damai, dan bahagia lahir dan batin, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang
lebih ringan.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa jika di lihat dari tujuan pemerintah mengadakan
hukuman mati dan bahwa hukuman itu pasti pada suatu saat akan diterima oleh orang
yang berbuat jahat, maka tindakan pemerintah mengadakan hukuman mati itu dapat
dibenarkan. Ini juga merupakan alasan bagi golongan umat Buddha yang pro terhadap
hukuman mati.

Di kalangan umat Buddha juga terdapat golongan umat Buddha yang kontra terhadap
hukuman mati. Mereka tentu saja tidak dapat membenarkan adanya hukuman mati
dalam situasi apapun. Mereka mengemukakan argumentasinya dari sudut metta yang
diajarkan oleh Sang Buddha.

Metta atau maitri berarti cinta kasih tanpa pamrih. Suatu ketika Sang Buddha pernah
memberikan nasihat sebagai berikut : “Persis laksana seorang ibu melindungi anaknya
yang tunggal, walaupun sampai mengorbankan kehidupannya, demikianlah juga
seharusnya seseorang memelihara welas asih yang tak terbatas itu kepada semua
makhluk. “ Di sini, yang dimaksudkan bukanlah perasaan cinta kasih yang
berdasarkan nafsu kemilikan dari seorang ibu terhadap anaknya, tetapi yang
dimaksudkan adalah keinginan yang murni atau suci dari seorang ibu untuk mencapai
kesejahteraan anaknya.

Metta bukanlah hanya terbatas dalam perasaan bertetangga atau bersaudara kandung.
Metta bukan pula persaudaraan yang berdasarkan kesamaan politik, suku bangsa,
kebangsaan, atau agama. Metta lebih luas dan lebih mulia dari segala macam
persaudaraan yang sempit itu. Metta tanpa batas dalam bidang – bidang dan peraturan.
Metta tidak mempunyai rintangan atau penghalang, juga tidak mengadakan
perbedaan. Metta yang luhur ini memancarkan berkahnya yang halus dan tenang itu
sama rata terhadap yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang kaya dan
yang miskin, yang baik dan yang buruk, yang jahat dan yang bajik, pria dan wanita,
manusia dan binatang.

Demikian juga halnya dengan Sang Buddha. Beliau memiliki metta yang tak terbatas.
Beliau “ bekerja “ dengan tanpa pamrih untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua
mahkluk, baik orang – orang yang mencintainya maupun yang membencinya atau
yang mencoba membunuhnya. Beliau memancarkan metta- nya yang sama terhadap
puteranya Rahula, terhadap Devadatta yang memusuhinya, terhadap Ananda siswanya
yang tersayang, terhadap orang – orang yang pro dan kontra, dan terhadap semua
makhluk.

Orang yang memiliki metta pasti suka melakukan Abhaya Dana ( berdana dalam
bentuk pemberian maaf). Mereka suka memberikan maaf terhadap orang-orang jahat,
karena mereka memnyadari bahwa orang-orang jahat yang belum mencapai kesucian
itu pasti masih bisa berbuat salah. Mereka tidak membenci orang-orang jahat itu.
Mereka memancarkan cinta kasih kepada orang-orang jahat itu. Mereka berusaha
membantu menyadarkan orang-orang jahat itu agar menghentikan perbuatan jahatnya.
Mereka berusaha membimbing orang-orang jahat itu ke jalan yang benar.

Dalam prakteknya, metta yang diajarkan oleh Sang Buddha, juga harus disertai
dengan panna. Panna adalah kebijaksanaan luhur, yang akan mengusir semua
kegelapan. Sang Buddha mengajarkan agar umat Buddha dapat menjadi orang yang
bijaksana. Umat Buddha harus dapat memilih yang terbaik untuk dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari.

You might also like