You are on page 1of 32

1

PERAN PARTISIPASI DAN PENGAWASAN MASYARAKAT DALAM RENCANA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN


Studi Kasus : Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satpol PP dalam Penertiban Lokasi Makam Mbah Priok

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas akhir semester Mata Kuliah Administrasi Pembangunan oleh : 1. Abimanyu Hilmawan 2. Fitria Diah Sari 3. Furi Andriyana 4. Intias Maresta Buditami 5. Rahmi Khairun Nisa (0806463460) (0806468625) (0806463486) (0806347095) (0806347164)

Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Makalah kelompok yang berjudul Partisipasi dan Pengawasan Masyarakat dalam Kasus Penggusuran Makam Mbah Priok berisikan studi kasus yang menyangkut pokok pokok bahasan mengenai hal hal yang menjadi faktor penyebab terjadi kerusuhan yang dilakukan masyarakat atas rencana penggusuran makam Mbah Priok, bentuk partisipasi masyarakat dalam rencana penggusuran makam Mbah Priok, dan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap rencana penggusuran makam Mbah Priok. Pokok pokok bahasan tersebut dikaitkan kepada teori partisipasi, pengawasan, good governance, dan administrasi pembangunan supaya pembahasan studi kasus lebih terarah dan komprehensif. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein dan Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M. Si selaku dosen dan fasilitator yang telah memberikan ilmu dan bantuan, baik materil dan nonmateril, kepada penulis sehingga penulis memiliki bekal guna menyusun makalah ini. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman teman Departemen Ilmu Administrasi Negara kelas B mata kuliah Administrasi Pembangunan yang telah menciptakan suasana yang kondusif sehingga mempermudah penulis mendapatkan ilmu guna menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan kepada kedua orang tua atas dukungan, baik materi maupun non materi dan seluruh pihak ,seperti penulis buku, jurnal, dan artikel yang telah memberikan bahan materi untuk penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna maka penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki kesalahan di dalam makalah ini dan selanjutnya di mata kuliah ini atau di mata kuliah lain. Depok, Mei 2010 Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar 1

Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan


1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Metode Penulisan 1.5 Sistematika Penulisan

2 3 5 5 5 5 5 7 7 11 14 15 16 17 18 19 20 22 23

Bab 2 Kerangka Teori 2.1 Partisipasi Masyarakat 2.2 Good Governance 2.3 Administrasi Pembangunan 2.3.1 Ciri Ciri Administrasi Pembangunan 2.3.2 Ruang Lingkup 2.3.3 Fungsi dan Peran Pemerintah dalam Pembangunan 2.4 Pengawasan 2.4.1 Konteks-konteks dalam pengawasan 2.4.2 Jenis-jenis Pengawasan 2.4.3 Tujuan Pengawasan Bab 3 Analisis Masalah 3.1 Studi Kasus: Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) 3.2 Analisis Kasus Bab 4 Penutup 4.1 Kesimpulan 4.2 Saran Daftar Pustaka BAB 1 PENDAHULUAN

23 24 29 29 29
30

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan di era Presiden Soeharto yang cenderung otoriter menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat Indonesia. Sistem sentralistik yang dianut saat itu, menjadikan pemerintah menjadi pihak penyelenggara negara yang kebal dari pengawasan, khususnya dari masyarakat. Pemerintahan yang top down membuat kreatifitas dan inovasi masyarakat menjadi mati karena kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sangat dibatasi. Padahal di satu sisi, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan sebuah hal yang sangat penting agar evaluasi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi pembangunan dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Konsekuensi logis dari matinya mekanisme pemberian pendapat dan kritik terhadap pemerintah adalah ketidakmerataan pembangunan yang berjalan selama 32 tahun saat itu di Indonesia. Muncullah kesenjangan antara orang-orang yang tinggal di daerah dan ibukota. Pada akhirnya, kemarahan masyarakat memuncak saat kerusuhan Mei tahun 1998 yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto. Secara garis besar, masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Masyarakat menginginkan adanya keterbukaan dalam berpendapat dan penghapusan terhadap sistem sentralistik yang dianggap mematikan pembangunan dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Akhirnya dibentuklah undangundang tentang otonomi daerah yang menandai dimulainya sistem desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi dianggap dapat menjawab masalah-masalah pembangunan seperti tidak transparannya penggunaan keuangan, serta memaksimalkan persebaran pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Fungsi pengawasan masyarakat yang belum berkembang saat pemerintahan Soeharto diharapkan dapat muncul dan memberi andil dalam pembangunan negara. Namun demikian, pemerintahan dan pembangunan yang terdesentralisasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa adanya partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat sangat penting peranannya dalam proses pembangunan di wilayahnya sendiri. Partisipasi masyarakat bisa berbentuk partisipasi dalam pembangunan infrastruktur atau maintenance-nya; partisipasi dalam proses politik; melakukan pengawasan saat pemerintah merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Penyertaan peran masyarakat dalam sistem pemerintahan

akan menimbulkan sinergisitas yang sempurna untuk menciptakan good governance yang menginginkan adanya kerjasama dan partisipasi sempurna dari 3 aktor utama di negara, yaitu pemerintah atau government, pihak swasta atau privat, dan masyarakat atau civil society. Sinergitas ketiga elemen ini sangat penting agar terjadi proses pembuatan kebijakan publik yang berkeadilan dan pembangunan nasional yang merata. Pelibatan masyarakat sebagai shareholder dan stakeholder dalam proses perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasinya adalah hal mutlak yang harus terjadi agar good governance dapat benar-benar ditegakkan. Jika dalam pelakasanaannya pemerintah tidak menerapkan nilai dasar good governance yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses kenegaraan, maka yang akan terjadi adalah proses pembangunan yang tidak berkeadilan dan akan menumbuhkan konflik. Salah satu dampak dari pemerintah tidak menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam membuat, memutuskan, dan melaksanakan kebijakan publik ialah banyak terjadinya konflikkonflik sosial. Salah satu contohnya adalah bentrokan di Makam Mbah Priok pada tanggal 14 April 2010 kemarin yang melibatkan Satpol PP dan masyarakat sekitar makam. Disinyalir bentrokan ini terjadi karena tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan penggusuran makam. Pemerintah hanya melibatkan PT Pelindo yang dalam hal ini adalah sebagai pihak swasta dalam membuat kebijakan tersebut. Masyarakat merasa tidak terima karena tidak pernah dicapai keputusan yang final antara pihak masyarakat, pemerintah dan pihak Pelindo sendiri. Akibatnya adalah terjadi bentrokan berdarah yang membuat ratusan korban luka dan beberapa orang meninggal. Tidak adanya sinergisitas yang seharusnya dilakukan dalam sebuah good governance dalam pemutusan kebijakan penggusuran ini adalah pemicu terjadinya konflik yang tidak seharusnya terjadi. Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya proses pelibatan masyarakat dalam rencana penggusuran Makam Mbah Priok serta mekanisme pengawasannya dalam pelaksanaan rencana tersebut. Dengan demikian, penulis juga berharap makalah ini bisa semakin menguatkan pernyataan bahwa good governance perlu dibentuk sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang berbeda satu sama lain antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, salah satunya seperti yang digambarkan pada kasus Makam Mbah Priok.

1.2. Rumusan Masalah

Makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa penyebab terjadi kerusuhan yang dilakukan masyarakat atas rencana penggusuran makam Mbah Priok? 2. Bagaimana bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penggusuran makam Mbah Priok? 3. Bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses pembangunan?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu 1. Mengetahui penyebab terjadi kerusuhan yang dilakukan masyarakat atas rencana penggusuran makam Mbah Priok. 2. Mengetahui bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penggusuran makam Mbah Priok. 3. Mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses pembangunan.

1.4. Metode penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan studi literatur dari beberapa bahan bacaan yang berasal dari buku-buku penunjang dan website-website yang memiliki korelasi terhadap tema makalah ini.

1.5. Sistematika Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan Bab 2 Kerangka Teori terdiri dari Teori Partisipasi Masyarakat, Teori Good Governance, Teori Administrasi Pembangunan, Teori Pengawasan Bab 3 Pembahasan terdiri dari Studi Kasus Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam Rencana Penggusuran Makam Mbah Priok, dan Analisis Kasus Bab 4 Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Rekomendasi.

BAB 2 KERANGKA TEORI

2.1 Partisipasi masyarakat Istilah partisipasi berasal dari bahasa asing yang artinya mengikutsertakan pihak lain. Beberapa definisi lain mengenai partisipasi adalah :
Santoso Sastropoetro mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan

kesadaran disertai tanggung-jawab tehadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.1

Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hal 39 40.

9 Alastraire White mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan komuniti setempat

secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksananaannya terhadap proyekproyek pembangunan.2
Allport mengemukakan bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami

keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya.3
Keith Davis mengemukakan definisi partisipasi sebagai

Mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them. Menurut Davis, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut.4 Selain itu, Keith Davis juga melengkapi definisinya mengenai partisipasi dengan mengemukakan gagasan lain tentang partisipasi. There are three ideas in this definition which are important to managers who will practice the art of participation, most of them do agree on the importance of these three ideas. Di dalamnya terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para manajer atau pemimpin yang hendak menerapkan seni partisipasi dan kebanyakan dari mereka sependapat dengan tiga buah gagasan tersebut. Dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi memiliki tiga gagasan penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab. 1. Keterlibatan mental dan emosional/inisiatif.

Keterlibatan ini bersifat psikologis daripada fisik. Seseorang dalam berpartisipasi lebih terlibat egonya daripada terlibat tugas.5 2.
2 3

Motivasi kontribusi

Ibid. hal. 52. Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hal 12. 4 Keith Davis & John W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Terjemahan. (Jakarta : Erlangga, 1995) hal. 179. 5 Loc Cit.

10

Unsur kedua adalah kesediaan menyalurkan sumber inisiatif dan kreatifitasnya untuk mencapai tujuan kelompok.6 3. Tanggung jawab

Partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri dalam organisasi dan ingin mewujudkan keberhasilannya. Pada saat orang-orang ingin menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, orang-orang tersebut melihat adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang diinginkan, yaitu merasa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang upaya menimbulkan kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah utama mengembangkan kelompok untuk menjadi unit kerja yang berhasil. Jika orang ingin melakukan sesuatu, orang tersebut akan menemukan cara melakukannya.7 Menurut Keith Davis, partisipasi memiliki beberapa bentuk dan jenis, antara lain : 1. Bentuk Partisipasi Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa. Sumbangan spontan berupa uang dan barang. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu. Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat. Aksi massa. Mengadakan pembangunan di kalangan keluarga desa sendiri. Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.

2. Jenis-jenis partisipasi Pikiran (psychological participation). Tenaga (physical participation).

Keith Davis & John W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Terjemahan. (Jakarta : Erlangga, 1995) hal. 180. 7 Ibid., hal. 181.

11

Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation). Keahlian ( participation with skill). Barang (material participation). Uang (money participation).

Selain Keith Davis, Hamijoyo juga mengemukakan beberapa bentuk dari partisipasi, antara lain8: 1. Partisipasi buah pikiran Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran yang diarahkan pada penataan cara pelayanan dari lembaga/badan yang ada, sehingga mampu berfungsi sosial secara aktif dalam penentuan kebutuhan anggota masyarakat. 2. Partisipasi tenaga Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan. 3. Partisipasi keterampilan Jenis keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya pada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Kegiatan ini biasanya diadakan dalam bentuk latihan bagi anggota masyarakat. Partisipasi ini umumnya bersifat membina masyarakat agar dapat memiliki kemampuan memenuhi kebutuhannya. 4. Partisipasi uang (materi) Partisipasi ini adalah untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan. 5. Partisipasi harta benda Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta benda, biasanya berupa perkakas, alat-alat kerja bagi yang dijangkau oleh badan pelayanan tersebut.

Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hal 32.

12

Terdapat beberapa pakar yang mendefinisikan partisipasi masyarakat. Beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut:

Canter mendefinisikan partispasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisis oleh badan yang berwenang.9

Goulet mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite).10

Wingert merinci partisipasi atau peran serta masyarakat menjadi beberapa paham sebagai berikut: a. Partisipasi masyarakat sebagai suatu kebijakan Penganut paham ini berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan dan terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan. b. Partisipasi masyarakat sebagai strategi Penganut paham ini mengendalikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memilki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada tiap tingkatan pengambilan keputusan didomentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memilki kredibilitas. c. Partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani

10

Sirajudin, dkk. Hak Rakyat Mengontrol Negara. (Jakarta: Yappika, 2006) hal 12-13 Ibid, hal 13

13

masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsive. d. Partispasi masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi paham ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan dan kerancuan. e. Partisipasi masyarakat sebagai terapi Menurut paham ini, peran masyarakat dilakukan untuk mengatasi masalahmasalah psikologis masyarakat seperti halnya ketidakberdayaan, tidak percaya diri, dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting di dalam masyarakat.11 Perlunya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Koeshadi Hardjasoemantri, bahwa selain untuk memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, partisipasi masyrakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, partisipasi masyarakat akan membantu perlindungan hukum.12

2.2

Teori Good Governance Tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep

yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasawarsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi,

11 12

Ibid. hal 14-16 Ibid. hal 20

14

akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2004: 78). Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan mendorong ramainya diskusi dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara perspektif yang berkaitan dengan struktur pemerintahan yang timbul antara lain (Thoha, 2004: 78): a. Hubungan antara pemerintah dengan pasar. b. Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. c. Hubungan antara pemerintah dengan organisasi voluntary dan sektor privat. d. Hubungan antara pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrat). e. Hubungan antara lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan

pedesaan. f. Hubungan antara legislatif dan eksekutif.

g. Hubungan pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional. Dalam menganalisis perspektif ini banyak para praktisi dan teoretisi dalam bidang administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan proses yang bisa dipergunakan untuk mencapai dan mengidentifikasikan prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata kepemerintahan yang baik. Sementara itu negara donor dan lembaga-lembaga multilateral telah mengambil peran yang mengemuka (a leading role) dalam merumuskan good governance. Salah satunya ialah United Nations Development Programme (UNDP). UNDP merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997) Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali, kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kelola intahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society.

15

Karim (2003: 45) menyatakan ada 5 prinsip good governance, yaitu transparansi, kesetaraan, daya tanggap, akuntabilitas, dan pengawasan. Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: a. Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif. b. Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. c. Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. d. Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. e. Berorientas pada konsensus: tata kelola pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. f. Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. g. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

16

h. Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. i. Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. 2.3 Teori Administrasi Pembangunan Administrasi pembangunan mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan keputusan yang telah diambil dan diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).13 Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli. Hiram S. Phillips mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the traditional term of public administration to indicate the need for a dynamic process designed particularly to meet requirements of social and economic changes.14 Pernyataan ini diartikan sebagai lebih baik dari pada masa tradisional administrasi publik untuk menunjukkan kebutuhan untuk suatu proses dinamis yang didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat perubahan sosial dan ekonomi. Paul Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development administration can be regarded as the public management of economic and social change in term of deliberate public policy. The development administrator is concerned with guiding change.15 Pernyataan ini diartikan sebagai administrasi pembangunan dapat dipandang

13

Sondang P. Siagian. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya. (Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara, 2007. 14 H.S. Phillips, Development Administration and The Alliance of Progress, International Review of the Administrative Science, Vol. XXIX, 1968. 15 Paul Meadows, Motivation for Change and Development Administration, dalam ibid., hal. 86.

17

sebagai manajemen publik perubahan ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa kebijakan publik. Administrator pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan terarah. 2.3.1 Ciri Ciri Administrasi Pembangunan Ada beberapa ciri administrasi pembangunan menurut Irving Swerdlow16 dan Saul M. Katz17. Pertama, adanya suatu orientasi administrasi untuk mendukung pembangunan. Administrasi bagi perubahan perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik. Keadaan yang lebih baik ini bagi negara negara baru berkembang dinyatakan dengan usaha ke arah modernisasi, atau pembangunan bangsa atau pembangunan sosial ekonomi. Di dalam administrasi pembangunan, diberikan uraian mengenai saling kait berkaitnya administrasi dengan aspek aspek pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain lain. Kedua, adanya peran administrator sebagai unsur pembangunan. Peranan serta fungsi pemerintah sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Administrator juga dapat menciptakan suatu sistem dan praktek administrasi yang membina partisipasi dalam pembangunan. Ketiga, perkembangan, baik dalam ilmu maupun pelaksanaan perencana pembangunan terdapat orientasi yang semakin besar memberikan perhatian terhadap aspek pelaksanaan rencana. Suatu perencanaan yang berorientasi pada pelaksanaannya akan lebih banyak memperhatikan aspek administrasi dalam aspek pembangunannya. Keempat, administrasi pembangunan masih berdasarkan pada prinsip prinsip administrasi negara. Namun, administrasi pembangunan memiliki ciri ciri yang lebih maju daripada administrasi negara. Sondang P. Siagian juga merumuskan ciri ciri administrasi pembangunan18. Pertama, Administasi pembangunan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan masyarakat yang berbeda beda, terutama bagi lingkungan masyarakat negara negara baru berkembang. Kedua, administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan berkepentingan terhadap tujuan tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya maupun dalam pelaksanaannya yang efektif. Bahkan, administrasi ikut serta mempengaruhi tujuan tujuan pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan tujuan sosial, ekonomi, dan lain lain yang dirumuskan kebijaksanaannya dalam proses politik. Ketiga, administrasi pembangunan berorientasi kepada usaha usaha yang mendorong perubahan ke arah keadaan
16

Irving Swerdlow (ed.), Development Administration, Concepts and Problems, (New York: Syracuse University Press, 1963). 17 Saul M. Katz, op. Cit. 18 Beberapa diambil dari Dr. S.P.Siagian, Konsepsi dan Masalah Masalah Administrasi Pembangunan., Administrasi Negara, Tahun X, No. 1, Mei 1970.

18

yang dianggap lebih baik untuk suatu masyarakat di masa depan atau berorientasi masa depan. Keempat, administrasi pembangunan lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas tugas pembangunan dari pemerintah. Administrasi pembangunan lebih bersikap sebagai development agent, yakni kemampuan untuk merumuskan kebijaksanaan kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaan yang efektif, serta sebagai kemampuan dan pengendalian instrumen instrumen bagi pencapaian tujuan tujuan pembangunan. Kelima, administrasi pembangunan harus mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan tujuan pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan lain lain. Keenam, dalam administrasi pembangunan, administrator dalam aparatur pemerintah juga bisa menjadi pergerak perubahan. Ketujuh, administrasi pembangunan lebih berpendekatan lingkungan, berorientasi pada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah. Ketiga unsur ini disebut mission driven. 2.3.2 Ruang Lingkup Administrasi Pembangunan Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, ada beberapa gambaran mengenai ruang lingkup administrasi pembangunan. Pertama, administrasi pembangunan mempunyai dua fungsi, yaitu the development of administration dan the administration of development. The development of administration menyangkut usaha penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian, tata kerja, dan pengurusan sarana sarana administrasi lainnya, sedangkan the administration of development menyangkut masalah perumusan kebijaksanaan kebijaksanaan dan program program pembangunan di berbagai bidang serta pelaksanaannya secara efektif. Kedua, administrasi untuk pembangunan dapat dibagi menjadi dua subfungsi. Pertama, perumusan kebijaksanaan pembangunan. Formulasi kebijaksanaan negara atau pemerintah tidak hanya dilakukan dalam proses administrasi, tetapi juga dalam tingkat tertentu dalam proses politik. Kebijaksanaan dan program dirumuskan dalam suatu rencana pembangunan. Mekanisme dan tata kerja dalam proses analisa, perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijaksanaan dan program pembangunan tersebut dapat diupayakan untuk disempurnakan. Kedua, pelaksanaan dari kebijaksanaan dan program tersebut dahulu secara efektif. Untuk melakukannya, administrator memerlukan penyusunan instrumen instrumen yang baik. Ada dua kegiatan yang mendapat perhatian. Pertama, masalah kepemimpinan, koordinasi, pengawasan, dan fungsi administrator sebagai unsur pembangunan. Kedua, pengendalian atau pengurusan yang baik dari administrasi fungsionil, seperti perlembagaan dalam arti sempit, kepegawaian,

19

pembiayaan pambangunan, dan lain lain sebagai sarana pencapaian tujuan kebijaksanaan dan program pembangunan. 2.3.3 Fungsi dan Peran Pemerintah dalam Pembangunan Menurut Awaloedin19, ada beberapa cara pelaksanaan peranan pemerintah, antara lain: 1. Fungsi pengaturan, dibagi lagi menjadi beberapa fungsi, yaitu penentuan kebijaksanaan, pemberian pengarahan dan bimbingan, pengaturan melalui perizinan, dan pengawasan. Fungsi pengaturan ini akan menghasilkan output berupa berbagai peraturan. 2. 3. Kepemilikan sendiri dari usaha usaha ekonomi atau sosial yang penyelenggaraannya dapat dilakukan sendiri atau oleh swasta. Penyelenggaraan sendiri dari berbagai kegiatan kegiatan ekonomi atau sosial. Fungsi pokok pemerintah dapat dibagi menjadi dua tugas, yakni tugas pemerintahan rutin atau umum dan tugas pemerintahan pembangunan. Tugas pemerintahan umum dapat dilakukan dalam rangka pemerintahan umum, pemeliharaan ketertiban, keamanan, dan pelaksanaan hukum. Tugas ini seringkali diperluas dengan tugas tugas pelayanan umum yang dilakukan, baik melalui penyelenggaraan sendiri maupun melalui pelaksanaan fungsi pengaturan. Di samping itu, tugas pembangunan dilakukan dalam rangka penyesuaian kepentingan sosial dan ekonomi tradisional dengan kebutuhan pembangunan. Tugas pembangunan termasuk di dalamnya tugas memajukan kesejahteraan umum yang terdiri dari tugas mengemban mobilisasi daya dan dana untuk pembangunan dan pengalokasian sumber sumber daya yang rasional dan tepat. 2.4 Teori Pengawasan Menurut Stoner dan Wankel Pengawasan berarti para manajer berusaha untuk meyakinkan bahwa organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu bagian dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar .20 Sementara itu menurut McFarland (dalam Handayaningrat, 1994:143). Control is the process by which an executive gets the performance of his subordinates to correspondas closely as possible to chosen plans, orders, objectives, or policies .
19

21

(Pengawasan ialah

Dr. Awaloedin Djamin, Masalah Organisasi dalam Administrasi Pembangunan, Prisma No. 4, Agustus 1974, hal. 14. 20 (dalam Subardi,1992:6) 21 Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 2, No. 1, Maret 2000: 43 56 Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/management/

20

suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan ). Selanjutnya Smith menyatakan bahwa:Controlling sering diterjemahkan pula dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian rencana-rencana dan norma-norma yang mendasarkan pada maksud dan tujuan manajerial, dimana norma-norma ini dapat berupa kuota, target maupun pedoman pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang ditetapkan. 22 Pengawasan merupakan kegiatankegiatan dimana suatu sistem terselenggarakan dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan keseimbangan bahwa pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat diterima, dipercaya atau mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit) merupakan tingkat nilai atas atau bawah suatu sistem dapat menerima sebagai batas toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan. Dalam manajemen, pengawasan (controlling) merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi. Dengandemikian yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan,pelanggaran dan korupsi. Menurut Winardi "Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan".23 Sedangkan menurut Basu Swasta "Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan".24 Menurut Sondang P.Siagian, Pengawasan adalah Proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Menurut Suyamto, Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan

46
22 23 24

(dalam Soewartojo, 1995:131-132) Winardi (2000, hal. 585) Basu Swasta (1996, hal. 216)

21

yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak . Lebih lanjut menurut Komaruddin mengatakan, "Pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal Unk langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti". 25 Lebih lanjut menurut KadarmanPengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.26 2.4.1 Konteks-konteks dalam Pengawasan Pengawasan dalam Konteks Manajemen (Schermerhorn, 2001)
Proses pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin hasil yang

diinginkan Merupakan peran penting dan positif dalam proses manajemen Menjamin segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai waktunya Pengawasan dalam Konteks Politik (Little dan Ogle, 2006) fungsi parlemen dalam menjamin bahwa undang-undang yang telah dikeluarkan oleh parlemen dapat diimplementasikan dan diadministrasikan secara efektif oleh pihak eksekutif, yaitu dilakukan secara sesuai dan dengan cara yang diatur dalam undangundang tersebut fungsi yang dilakukan parlemen dalam menjamin bahwa anggaran yang telah disetujui, telah dibelanjakan oleh pihak eksekutif sesuai dengan hal yang telah disepakati dan mampu mencapai sasaran yang diinginkan/ditetapkan
pengawasan merupakan tanggungjawab yang sangat penting dari parlemen dan harus

dilakukan secara agresif, karena hanya melalui pengawasan inilah parlemen dapat menjamin adanya check and balances yang memadai terhadap pihak eksekutif
25 26

Komaruddin (1994, hal. 104) Kadarman (2001, hal. 159)

22

cenderung kurang diapresiasi dan kinerjanya paling buruk 2.4.2 Jenis-jenis Pengawasan Menurut Schermerhorn (2001), jenis-jenis pengawasan terbagi menjadi:
1. Pengawasan Feedforward (umpan di depan)

Dilakukan sebelum aktivitas dimulai Dalam rangka menjamin: kejelasan sasaran; tersedianya arahan yang memadai;ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan Memfokuskan pada kualitas sumberdaya
2. Pengawasan Concurrent (bersamaan)

Memfokuskan kepada apa yang terjadi selama proses berjalan Memonitor aktivitas yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuatu dilaksanakan sesuai rencana Dapat mengurangi hasil yang tidak diinginkan
3. Pengawasan Feedback (umpan balik)

Terjadi setelah aktivitas selesai dilaksanakan Memfokuskan kepada kualitas dari hasil Menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja di masa depan 4. Pengawasan Internal & Eksternal Pengawasan Internal: memberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri Pengawasan Eksternal: terjadi melalui supervisi dan penggunaan sistem administrasi formal Sementara itu, dalam birokrasi dan lembaga, pengawasan terbagi atas (Nugraha, et all, 2005): 1. Pengawasan Internal dan Eksternal Pengawasan internal adalah pengawasan dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan seperti pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat.contoh:Itjen, Bawasda, BPKP Pengawasan Eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di luar unit organisasi yang bersangkutan.contoh:BPK, KPK, dan ORI. 2. Pengawasan Preventif dan Represif

23

Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Pengawasan ini lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung. Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan. laporan pelaksanaan anggaran di akhir tahun. 3. Pengawasan Aktif dan Pasif Pengawasan Aktif (dekat) adalah pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan dan pengawasan ini bersifat melekat. Pengawasan Pasif (jauh) adalah pengawasan dengan melakukan penerimaan dan pengujian terhadap laporan pertanggungjawaban. Pengawasan kebenaran formil menurut Hak (Rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid). 4. Pengawasan Formal dan Informal Pengawasan formal dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Di lain pihak, pengawasan informal dilakukan oleh masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung atau sebagai social control. 2.4.3 Tujuan Pengawasan Tujuan utama pengawasan adalah ikut berusaha memperlancar roda pembangunan serta mengamankan hasil hasil pembangunan. Pengawasan diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan bukan pula ditujukan mencari cari kesalahan atau mencari siapa yang salah, tetapi untuk memahami apa yang salah demi perbaikan di masa datang. Selain tujuan utama di atas, pengawasan juga memiliki peran-peran strategis, yakni diantaranya adalah : Memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan serta target-target organisasi. Mengetahui tingkat akuntabilitas kinerja tiap instansi yang akan dijadikan para meter penilaian keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstra instansi Dua tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar

24

Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa dana pembangunan digunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan Dari sisi proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang dampak dari program atau intervensi yang dilakukan, sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program yang lebih efektif

BAB 3 ANALISIS MASALAH

3.1 Studi Kasus: Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam Penertiban Lokasi Makam Mbah Priok Tragedi Priok bermula dari konflik yang terjadi antara PT Pelindo dengan ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau yang lebih dikenal dengan Mbah Priok. PT Pelindo mengklaim bahwa tanah di Makam Mbah Priok adalah miliknya, namun di sisi lain, menurut ahli waris, tanah tersebut merupakan miliknya berdasarkan Eigendom Verponding nomor 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5, 4 Ha. Pengadilan Negeri Jakarta Utara pernah memutuskan bahwa tanah tersebut secara sah milik PT Pelindo pada tanggal 5 Juni 2002. Ini didasarkan pada Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektar.

25

Pada dasarnya, Makam Mbah Priok yang asli sudah dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Semper 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11 dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Namun pada perkembangannya, ahli waris kembali membangun kompleks makam Mbah Priok pada September tahun 1999 tanpa seizin PT Pelindo karena ahli waris masih mengklaim bahwa sebagian tanah yang menjadi hak pengelolaan PT Pelindo ada yang masih menjadi haknya. Di sisi lain, PT Pelindo merasa kalau pembangunan kembali kompleks makam tersebut sepihak dan dianggap menjadi bangunan liar. PT Pelindo sebenarnya masih melakukan toleransi terhadap pembangunan kembali makam tersebut, namun munculnya bangunan-bangunan ilegal selain pembangunan makam itulah yang menurut PT Pelindo harus ditertibkan. Oleh karena itu, PT Pelindo meminta bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Utara untuk menertibkan bangunan liar tersebut, namun ahli waris dan masyarakat yang memiliki kepentingan dalam keberadaan Makam Mbah Priok tidak mengetahui tentang keputusan penertiban makam. Akhirnya saat dilakukan eksekusi, masyarakat dan ahli waris yang merasa belum mendapat kesepakatan akan penertiban bangunan liar, melawan balik Satpol PP yang sebenarnya hanya ditugaskan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar Makam Mbah Priok, bukan menggusur makam itu sepenuhnya. Perintah penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP, pada dasarnya sudah sesuai dengan instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan. Lebih dari itu, setelah dilakukan penertiban atas bangunan liar tersebut, pemerintah setempat memiliki rencana untuk melakukan penataan ulang pada Makam Mbah Priok dan arealnya akan diperluas dari 20 meter persegi menjadi 100 meter persegi. Masyarakat yang terlibat bentrok salah paham dengan maksud penertiban yang akan dilakukan oleh Satpol PP karena ada yang mengisukan Makam Mbah Priok akan dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Persilangan pendapat dan saling klaim atas tanah Makam Mbah Priok yang belum mencapai kesepakatan final, serta kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat yang hanya bermaksud menggusur bangunan liar berubah menjadi bentrokan yang tidak bisa dihindari. Meluasnya area konflik juga diduga muncul akibat ada provokasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya korban luka-luka terhitung mencapai hampir 200 orang, dan ada beberapa korban yang meninggal. Kerugian negara akibat bentrokan tersebut juga

26

mencapai miliaran rupiah karena aset negara seperti kendaraan dinas dirusak oleh masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah.

3.2 Analisis Kasus Kasus bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan salah satu contoh dari kasus informasi asimetris yang didapat oleh kedua belah pihak dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan bahwa pada dasarnya isu penggusuran yang didapatkan masyarakat merupakan sebuah kabar burung yang hanya menyebabkan masyarakat tersebut menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan Satpol PP. Padahal saat itu, yang akan dilakukan oleh Satpol PP tersebut hanya menertibkan bangunan liar yang ada di sekitar bangunan Makam Mbah Priok. Secara legal, lahan Makam Mbah Priok memang sudah menjadi hak milik PT Pelindo II. Hal ini jelas terlihat dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 5 Juni 2002. Namun hal penting yang patut untuk dianalisis adalah ketidaktahuan masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk merenovasi bangunan tersebut dan menambah luas lahannya menjadi 100 meter persegi, serta menertibkan banguna liar yang ada di sekitarnya. Jika dilihat dari konsep partisipasi masyarakat, penulis tidak melihat adanya korelasi positif yang tercipta antara pelibatan masyarakat dan konflik yang terjadi dalam kasus ini. Artinya, jika memang masyarakat Koja dilibatkan dalam perumusan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Pelindo II terkait keberadaan Makam Mbah Priok, tentu masyarakat setempat tidak serta merta merasa terkejut dengan kehadiran Satpol PP, yang pada akhirnya menjadi bentrok satu sama lain. Dalam pembuatan sebuah kebijakan publik, seharusnya masyarakat memiliki peran sebagai stakeholder yang memiliki hak penuh atas proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan publik tersebut akan memiliki keterkaitan dalam keberlangsungan masyarakat. Pada kasus ini, dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar bangunan Makam Mbah Priuk sekaligus merenovasi makam tersebut tidak disertai dengan pelibatan partisipasi masyarakat ataupun melakukan konsultasi publik.

27

Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau yang biasa dikenal dengan Musrenbang pun tampak tidak disebut-sebut dalam tahap pembuatan kebijakan pemabangunan ini. Padahal seharusnya, musrenbang sebagai sarana penyatuan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah, bahkan juga pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo bisa mewadahi samua kepentingan masing-masing pihak. Koja, meskipun bukan sebuah kabupaten, setidaknya memiliki relevansi untuk menerapkan bagan di bawah ini dalam setiap rencana pembangunan, termasuk rencana renovasi Makam Mbah Priok.

Berdasarkan bagan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah sistem strategis dari pembangunan, peran partisipasi masyarakat haruslah seimbang dengan peran pemerintah dan swasta. Artinya, dalam perencanaan pembangunan, masyarakat dipandang sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Sama halnya dengan pemerintah melibatkan pihak swasta. Pemaparan tersebut mencerminkan sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dimana pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan negara, akan tetapi ada aktor-aktor lain yang memiliki peran yang sama dengan pemerintah, yaitu swasta dan masyarakat. Manurut hemat penulis, bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP merupakan sebuah konsekuensi logis dari tidak diikutsertakannya masyarakat dalam rencana prenovasi bangunan makam ini. Satpol PP yang juga tidak tahu menahu mengenai urusan keputusan Pemprov DKI Jakarta untuk merenovasi Makam Mbah Priuk akhirnya melakukan

28

perlawanan terhadap respon negatif masyarakat. Hal ini diperparah oleh adanya kelompok ketiga yang memprovokasi masing-masing pihak yang mengalami bentrok. Dengan kata lain, tata kelola pemerintahan pada kasus ini belumlah berjalan dengan baik. Keputusan Pemprov DKI Jakarta terkait kasus ini memang tidak melibatkan partsisipasi masyarakat, akan tetapi pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo, menjadi pihak yang turut memutuskan hal tersebut. Namun kemudian, perlu dipertanyakan, apakah kesepakatan yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat ini memiliki kecenderungan unsur kongkalikong antara kedua pihak. Kecenderungan inilah yang disebabkan oleh partisipasi masyarakat yang minim sehingga berakhir dengan aksi massa yang anarkis. Pada dasarnya, permasalahan pembangunan bisa diatasi dengan pelaksanaan fungsi pengawasan dalam kegiatan pembangunan itu sendiri, baik pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat merupakan pengawasan eksternal. Salah satu bentuk dari pengawasan eksternal tersebut adalah kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat, bisa dalam bentuk preventif ataupun represif. Masyarakat tidak bisa melakukan pengawasan eksternal yang baik tanpa adanya keterbukaan pemerintah setempat. Pada kasus yang terjadi di Koja, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka dari pemerintah mengenai rencana pembangunan ini. Bahkan secara sepihak, pemerintah setempat memutuskan untuk menurunkan pasukan Satpol PP dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat bukanlah sebagai fungsi preventif atau mencegah terjadinya bentrok atu konflik lain, melainkan sebagai fungsi represif. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat Koja termasuk pengawasan represif karena masyarakat melakukan kontrol sosial dalam bentuk yang anarkis ini setelah terjadinya keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan PT Pelindo II yang berujung pada bentrok tersebut. Masyarakat tersebut melakukan aksi penolakan terhadap keputusan yang dibuat pemerintah karena merasa keputusan tersebut merugikan mereka. Masyarakat Koja saat itu melakukan pengawasan represif, atas ke-tidak terbuka-an pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan tertutupnya pembuatan kebijakan tersebut dari akses rakyat. Namun, terlepas dari bagaimana masyarakat melakukan prosedur pengawasan yang bisa dikatakan anarkis, setidaknya mereka sudah memberi peringatan kepada pemerintah yang telah melakukan kesalahan karena sudah membuat kebijakan yang tidak melibatkan

29

pertisipasi masyarakat. Lebih dari itu, kontrol sosial ini berhasil di blow up oleh media massa yang pada akhirnya menyebabkan fenomena minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pada kasus ini menjadi begitu populis. Hal positif lain yang bisa dianalisis dari pengawasan non legal formal ini adalah meminimalisasi kemungkinan sistem patron-client atau nepotisme yang terjadi dalam pengawasan internal di dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Lagi-lagi terlepas dari pengawasan masyarakat yang kurang sopan tersebut, kontrol sosial ini berjalan dengan obyektif. Tidak memandang siapa yang berada dalam pembuatan kebijakan Oleh karena itu, dalam kasus ini pengawasan eksternal yang telah dilakukan oleh masyarakat Koja terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat membantu terciptanya kegiatan pembangunan yang lebih baik. Namun demikian, pada dasarnya penulis sangat menyayangkan munculnya fenomena pelampiasan kekesalan warga dan masyarakat Indonesia lain yang mengetahui kasus ini kepada pihak Satpol PP. Penulis beranggapan bahwa Satpol PP dalam kasus ini hanya berperan sebagai korban, tidak berbeda dengan warga Koja. Satpol PP hanya memainkan perannya sebagai front liner, tanpa mereka tahu bagaimana dan mengapa ekskusi penertiban serta renovasi makam Mbah Priok perlu untuk dilakukan. Kesalahan terbesar terdapat pada pemerintah yang tidak memaksimalkan partisipasi masyarakat Koja dalam rencana pembangunan ini. Oleh karena itulah, pelimpahan sumber masalah kepada Satpol PP merupakan sebuah kesalahan besar.

30

BAB 4 PENUTUP 4.1. Kesimpulan Kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP terhadap rencana penertiban Makam Mbah Priok sebenarnya disebabkan oleh sinergisitas yang buruk antara masyarakat Koja, Wakil Gubernur Jakarta selaku pemerintah, dan PT. Pelindo II selaku pihak swasta. Kesalahan penyerapan informasi oleh masing-masing pihak juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Koja. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan pemahaman oleh masing-masing pihak, terutama masyarakat. Namun, lebih dari itu semua, penyebab utama dari bentrok ini adalah partisipasi masyarakat yang sangat minim terhadap pembuatan kebijakan ini. Pada kasus penataan ulang makam Mbah Priok ini, pihak pemerintah dan swasta tidak mengikutsertakan suara masyarakat atas rencana tersebut. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah aksi massa yang anarkis berbentuk kerusuhan yang dilakukan oleh masyarakat Koja dan direspon dengan negatif oleh Satpol PP yang juga tidak tahu menahu atas keputusan ini. Dalam kasus ini, masyarakat Koja akhirnya melakukan fungsi pengawasan eksternal berupa tindakan represif. Tindakan represif tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kontrol sosial dari masyarakat berupa bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah yang diisukan akan menggusur Makam Mbah Priok. Bentuk pengawasan eksternal yang dilakukan masyarakat memang tidak dapat dikatakan sebagai pengawasan yang baik, karena yang terjadi adalah tindakan represif anarkis. Namun terlepas dari hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mendapatkan teguran keras dari masyarakat setempat dalam proses pembangunan daerahnya 4.2. Rekomendasi Menurut penulis, untuk menciptakan good governance dalam setiap proses pengambilan kebijakan pembangunan, seperti dalam rencana penataan ulang makam Mbah

31

Priok harus melibatkan partisipasi masyarakat, karena masyarakat bukanlah objek dalam pembangunan. Selain itu, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ada komunikasi yang sinergis sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara masing-masing pihak.

Daftar Pustaka
Davis, Keith., dan John W. Newstrom. 1995. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Terjemahan. Jakarta : Erlangga. Dr. Awaloedin Djamin, Masalah Organisasi dalam Administrasi Pembangunan, Prisma No. 4, Agustus 1974, hal. 14. Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan http://puslit.petra.ac.id/journals/management/. Vol. 2, No. 1, Maret 2000. Phillips, H.S. Development Administration and The Alliance of Progress, International Review of the Administrative Science, Vol. XXIX, 1968. Sastropoetro, Santoso. 1986. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Penerbit Alumni. Siagian, Sondang. Konsepsi dan Masalah Masalah Administrasi Pembangunan., Administrasi Negara, Tahun X, No. 1, Mei 1970. ---------------------- 2007. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara. Sirajudin, dkk. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara. Jakarta: Yappika. Suprayogi, Aribowo. Bentrokan di Makam Mbah Priok http://berita.liputan6.com/hukrim/201004/272337/Bentrokan.di.Makam.Mbah.Priok diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.17 WIB. Swerdlow, Irving. 1963. Development Administration, Concepts and Problems. New York: Syracuse University Press. Warung informasi. Mbah Priok-Sejarah Makam Mbah Priok. http://kutakdiunduh ketik.blogspot.com/2010/04/mbah-priok-sejarah-makam-mbah-priok.html. pada 21 April 2010 pukul 11.15 WIB. Winarno, Hery. Asal Mula Sengketa Makam Mbah Priok Versi Pemprov DKI. http://www.detiknews.com/read/2010/04/14/194712/1338476/10/asal-mula-sengketa-

32

makam-mbah-priok-versi-pemprov-dki. diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.11 WIB.

You might also like