You are on page 1of 19

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN NAQUIB AL-ATTAS Pendahuluan Hakikatnya, pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai, yang

akan menjadi penolong dan penuntun umat manusia dalam menjalani kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan dapat dipastikan bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau. Karena itu, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa maju mundur atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. 1 Dapat dipahami bahwa pendidikan Islam itu merupakan satu proses yang tidak hanya menyangkut transfer ilmu, akan tetapi bagaimana menjadikan manusia makhluk berakhlak dengan akhlak yang baik serta dari hasil pendidikan itu dapat membantu kehidupan diri dan kemasyarakatannya dengan berlandasan ajaran Islam. Faktor agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari hubungannya dengan perilaku manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Manusia mempunyai kebutuhan keagamaan yang instrinsik yang tidak dapat dijelaskan melalui sesuatu yang mengatasinya dan yang diturunkan dari kekuatankekuatan supranatural. 2 Pendidikan menjadi saham terbesar dalam membina kemajuan umat manusia. Pada dasarnya, Pendidikan Islam patut mendapatkan perhatian yang besar, alasannya adalah selain telah meninggalkan peninggalan yang abadi seperti dalam masalah akhlaq, ilmu pengetahuan, kesenian dan sebagainya, juga meninggalkan peninggalan yang masih memerlukan pembahasan dalam lapangan teori, sistem-sistem, metode-metode pendidikan, dan sebagainya yang berpengaruh dalam pembentukan pemikiran kita.3 Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan. Petunjuk kitab suci maupun sunah Nabi dengan jelas menganjurkan para pemeluk Islam untuk meningkatkan kecakapan dan akhlak generasi muda. Sebab, pendidikan adalah sebuah penanaman modal manusia untuk masa depan dengan membekali generasi muda dengan budi
1 Lihat Kasinyo Harto, Rekontruksi Pendidikan Islam, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002, hlm. 89 2 Lihat Rohmalima Wahab. Pendidikan Islam dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002, hlm. 110 3 Lihat Ahmad Supardi, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Mimbar Pustaka, Bandung, 2004, hlm. 44

pekerti yang luhur dan kecakapan yang tinggi4. Islam sangat berhubungan erat dengan pendidikan. Hubungan antara keduanya bersifat organis-fiingsional; pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam menjadi kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam, serta memberikan landasan sistem nilai untuk mengembangkan berbagai pemikiran tentang pendidikan Islam5. Dengan demikian, sangat jelas bahwa hubungan antara Islam dan pendidikan saling melengkapi. Dalam Islam, pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membentuk akhlak manusia menjadi akhlak yang islami. Pendidikan menjadi alat untuk menyampaikan pesanpesan moral Islam kepada umat manusia. Oleh karena itu, hubungan keduanya seperti yang disebutkan di atas bersifat organis-fungsional. Dengan demikian keberadaan pendidikan Islam menjadi sangat penting untuk dilaksanakan. Allah Swt telah mewajibkan kepada manusia untuk melaksanakan kegiatan pendidikan Islam pada hakikatnya untuk kemaslahatan manusia sendiri dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya Corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan". Untuk meraih tujuan ini diperlukan suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita al-Qur'an tentang manusia. Oleh karena itu, pemikiran tentang pembaruan pendidikan Islam haruslah terlebih dahulu memperjelas kerangka filosofisnya itu. Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu social (Social Science) dan ilmu-ilmu alam (Nature Science) dianggap pengetahuan yang umum. Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa terikat) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam Islam dikenal dua sistem pendidikan yang berbeda proses dan tujuannya. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya sebatas mengajarkan pengetahuan klasik dan kurang perduli terhadap peradaban teknologi modern, ini sering diwarnai corak
4 Lihat Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Fajar Dunia, Jakarta 1999, hlm. 5 5 Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Bani Qurays, Bandung, 2004, hlm. 1

pemikiran timur tengah. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari barat yang kurang memperdulikan keilmuan Islam klasik. Bentuk ekstrim dari bentuk kedua ini berupa Universitas Modern yang sepenuhnya sekuler dan karena itu, pendekatannya bersifat nonagamis. Para alumninya sering tidak menyadari warisan ilmu klasik dari tradisi mereka sendiri.6 Dapat dirasakan bahwa selama ini ada sesuatu yang kurang beres dalam dunia pendidikan Islam dari segi konsep (kurikulum, proses, tujuan) dan aktualisasinya. Oleh karena itu perlu adanya rekonseptualisasi, reformulasi, reformasi, rekontruksi/penataan kembali di dalamnya. Hal ini amat perlu dilakukan, dan sebenarnya ini sudah disadari dan diupayakan oleh para pemikir Muslim, terbukti dengan diadakannya beberapa kali konferensi mengenai pendidikan Islam tingkat internasional. Konferensi internasional mengenai pendidikan Islam diselenggarakan sebanyak enam (6) kali di beberapa Negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Yakni Mekkah(1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1982), Amman (1990).7 Dalam konferensi tersebut, dibahas berbagai persoalan mendasar tentang problem yang dialami pendidikan Islam. Juga mencari rumusan yang tepat untuk mengatasinya. Berangkat dari pemaparan di atas, maka gagasan Al-Attas mengenai Konsep filsafat pendidikan Islam menjadi persoalan yang menarik untuk dikaji.8 Konsep Pendidikan menurut Naquib al-Attas Biografi Syed Muhamad Naquib Al-Attas Syed Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inhern. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun pihak ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi Islam

6 M. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, Ircisod-UMG Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 109 7 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 339 8 Syed Muhammad Al-Naquib Al-attas termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern dengan pendidikan dan persoalan umum umat Islam tapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Meski demikian, ide-ide Al-Attas tentang Islamisasi Ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam banyak memperoleh tantangan dari pemikir muslim dan non muslim.

orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.9 Dari pihak bapak, kakek Syed Muhamad Naquib yang bernama Syed Abdullah Ibn Muhsin Ibn Muhamad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab. Muridnya, Syed Hasan Fad'ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi penasihat agama Amir Faisal, Saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya, Ruqayah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w.1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor.10 Di sini ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Al-Urwatul-Wutsqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini, Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.11 Setelah perang dunia II pada tahun 1946 Al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikannya, pertama di bukit Zahrah School kemudian di English College. Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1951, Al-Attas mendaftar di Resimen Melayu sebagai kader dengan nomor 6675. Al-Attas dipilih oleh jenderal Sir Gerald Templer, ketika itu menjabat sebagai British High Commisioner di Malaya, -untuk mengikuti pendidikan militer pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royald Military Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955). Selama di Inggris, dia berusaha memahami aspekaspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Ketika di Sandhurst, dia membina persahabatan dengan beberapa orang peserta pendidikan yang lain, satu diantaranya adalah Syarif Zaid ibn Syakir, keponakan Raja Hussein dari Yordania yang kelak akan menjadi Kepala Militer kemudian Perdana Menteri Yordania.12 Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmunya yang telah diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia Al-Attas memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran ini Al-Attas telah menunjukkan kelasnya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia belajar di
9 Ibid, Daud, hlm. 48 10 Ibid. 11 Syed Muhamad Naquib Al-Attas banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta buku-buku klasik Barat dalam Bahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain, lingkungan keluarga berpendidikan dan bahan-bahan bacaan seperti inilah yang menjadi faktor pendukung dan pemilihan kosa kata yang tepat, yang kelak akan mempengaruhi gaya tulisan dan tutur bahasa Melayunya. Ibid. 12 Ibid., hlm. 48

berbagai sekolah militer di Inggris. Bahkan ia sempat mengenyam pendidikan akademi militer yang cukup bergengsi di Inggris. Setelah Malaysia merdeka (1957), Al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Untuk itu, Al-Attas dapat masuk Universitas Malaya selama dua tahun. Al-Attas telah menulis dua buku ketika di Universitas Malaya, buku yang pertama adalah Rangkaian Ruba'iyat, termasuk diantaranya adalah karya sastra pertama yang dicetak Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur pada 1959. buku yang kedua, yang menjadi karya klasik, adalah some aspect of shufism as Understood and practiced among the Malays, yang diterbitkan Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada tahun 1963, sedemikian berharganya buku yang kedua ini sehingga tahun 1959 pemerintahan Kanada melalui Canada Councill Fellowship, memberinya beasiswa selama tiga tahun, terhitung sejak tahun 1960, berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1962, ia memperoleh gelar Master dengan tesis Al-Raniriy and the Wujudiyah of the 17 Century Aceh. Dia sangat tertarik dengan praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga wajar bila tesis yang diangkat adalah konsep wujudiyah Al Raniry. Salah satunya adalah dia ingin membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri. Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Disinilah di bawah bimbingan Profesor Arbery dan Dr. Martin Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas walaupun hanya terbatas pada tataran metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan kuliahnya dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fanshuri dengan nilai yang sangat memuaskan. Disertasi tersebut merupakan karya terpenting dan komprehensif mengenai Hamzah Fansuri, sufi terbesar atau bahkan sangat kontroversial di dunia Melayu. Al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965, termasuk hanya beberapa orang malaysia yang memperoleh gelar Doctor of Philosophy dan yang mendapatkannya dari Universitas London, sekembalinya ke Malaysia, Al-Attas dilantik menjadi ketua Jurusan sastra di Fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Dari tahun 1968 sampai pada 1970, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama.

Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Di sini dia menekankan arti pentingnya kajian sejarah Melayu, sebab mengkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga Melayu banyak yang berisi ajaran-ajaran Islam terutama tasawuf. Pada tahun 1970, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pendiri senior Universitas kebangsaan Malaysia (UKM), tidak bisa terlepas dari peranannya. Karena Al-Attas sangat intensif dalam memasyarakatkan budaya Melayu, maka bahasa pengantar yang digunakan dalam Universitas tersebut adalah bahasa Melayu. Hal ini, oleh Al-Attas dimaksudkan agar di samping melestarikan nilai-nilai keislaman juga menggali akar tradisi intelektual Melayu yang sarat dengan nilai Islam. Bahkan pada pertengahan tahun 70-an Al-Attas menentang keras kebijaksanaan pemerintah yang berupaya menghilangkan pengajaran Bahasa Melayu (Jawi), di pendidikan dasar dan lanjutan Malaysia. Sebab, dengan penghilangan tersebut berarti telah terjadi penghapusan sarana Islamisasi yang paling strategis.13 Al-Attas sendiri yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC tahun 1991, pada tahun 1993 ia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk kehormatan Al-Ghazali. Pada tahun 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC dengan lengkap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan. Banyak sarjana lokal dan asing serta berkunjung yang kagum dengan keseriusan dan cita-cita ISTAC yang telah dituangkan Al-Attas dalam desain bangunannya. Gulzar Haider, Profesor arsitektur terkenal dari Universitas Carleton Ontario, Kanada, yang selama beberapa tahun ikut mendiskusikan rencana pembangunan ISTAC dengan Al-Attas, telah melihat sketsa dan desain ISTAC yang dibuat Al-Attas beserta miniaturnya. Katanya, kemampuan imajinsi Al-Attas sangat baik dalam memilih dan menyusun kalimat dalam setiap tutur katanya.14
13 Syed Muhamad Naquib Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat, dan metafisika, sejarah, dan sastra. Dia juga seorang penulis yang produktif dan otoritatif, yang telah memberikan beberapa kontribusi baru dalam disiplin keislaman dan peradaban Melayu. Selain itu, dia dikaruniai beberapa keahlian yang lain, seperti dalam bidang kaligrafi, dalam bidang ini, Al-Attas pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum tropen, Amasterdam, pada tahun 1954, ia juga telah mempublikasikan tiga kaligrafi Bismillah-nya yang ditulis dalam bentuk burung pekakak (1970), ayam jago (1972), ikan, (1980) dalam beberapa buah bukunya. 14 Pada Congress International des Orientalist yang ke -29 di Paris pada tahun 1973 Al-Attas dipercaya memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara. Dua tahun kemudian (1975) atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai anggota Imperial Irian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya antara lain terdiri dari beberapa orang profesor yang terkenal, seperti Henry Corbin, Syed Hossen Nashr, dan Toshihiko Izutsu.

Peranan dan posisi di Malaysia, Al-Attas merupakan seorang pakar yang handal. Dari tahun 1970-1984, dia dipilih menjadi ketua Lembaga bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Kemudian ia penah menjabat sebagai Ketua Lembaga Tun Abdul Razak untuk Studi Asia Tenggara (Tun Abdul Razak Chair of South East Asian Studies) di Universitas Ohio, Amerika untuk periode 1980-1982. Sejak tahun 1987, dia menjadi pendiri ISTAC (International Institute of Islamic Tough and Civilization) Malaysia, sekaligus menjadi rektornya.15 Filsafat pendidikan Islam Naquib Al-attas Konsep pendidikan Islam memang menarik untuk didiskusikan dan dibahas secara mendalam, walaupun hal itu beberapa kali telah diangkat menjadi tema kajian oleh beberapa tokoh pemikir. Di hadapan dunia akademis, tema-tema seperti itu terkesan sudah sangat sering, namun dinamika pemikiran intelektual selalu tidak pernah puas dan final akan kajian yang serupa. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani, misalnya mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam, sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan Islam itu merupakan satu proses yang tidak hanya menyangkut transfer ilmu, akan tetapi bagaimana menjadikan manusia makhluk berakhlak dengan akhlak yang baik serta dari hasil pendidikan itu dapat membantu kehidupan diri dan kemasyarakatannya dengan berlandasan ajaran Islam. Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya menjadikan manusia sebagai khalifatullah fi Ardh yang tetap dalam keadaan menghambakan diri kepada Allah (Abdullah). Islam sebagai agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan Menginginkan corak pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan".16 Hubungan antara keduanya bersifat organis-fiingsional; pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam menjadi kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam, serta memberikan landasan sistem nilai untuk mengembangkan berbagai pemikiran tentang pendidikan Islam.17 Faktor agama tampaknya memang tak dapat
15 Ibid., Daud, hlm. 50-54 16 Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad, Mizan, Bandung, 1988, hlm. 155 17 Op. Cit., Priatna, hlm.1

dipisahkan dari hubungannya dengan perilaku manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Manusia mempunyai kebutuhan keagamaan yang instrinsik yang tidak dapat dijelaskan melalui sesuatu yang mengatasinya dan yang diturunkan dari kekuatan-kekuatan supranatural. Meskipun pendidikan merupakan suatu tindakan (action) yang diambil oleh suatu masyarakat, kebudayaan, atau peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival. Tanpa pendidikan dapat dipastikan bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau. Karena itu, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa maju mundur atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Hal itu dikarenakan, pendidikan merupakan sebuah penanaman modal manusia untuk masa depan dengan membekali generasi muda dengan budi pekerti yang luhur dan kecakapan yang tinggi
18

Pendidikan Islam menurut Al-Attas adalah pengenalan dan pengalaman yang secara

berangsur-angsur ditanamkan dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta'dib, daripada istilah-istilah lainnya.. Sekalipun istilah tarbiyah dan talim telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta'dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam beberapa penjelasan kata ta'dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik. Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan sesuatu.19 Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas melihat bahwa saat ini telah terjadi perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya
18 Ibid., Fadjar, hlm. 5 19 Abdul Kholiq, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 275

merupakan usaha sekularisasi, lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa sepenuhnya disadari pelaku-pelakunya. Dalam konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah re-Islamisasi bahasa-bahasa tersebut.20 Oleh karena itu term pendidikan dalam bahasa Arab, menjadi salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas. Term-term tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Pembahasan term-term tersebut memiliki implikasi yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas mengenai konsep ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem. Penjelasan secara filosofis mengenai term-term tersebut dijelaskan oleh Syed Muhamad Naquib Al-Attas, sekaligus memuat pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut Islam, dalam pandangan Syed Muhamad Naquib Al-Attas. Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998), yaitu mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang. Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat). Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak)
20 Al-Attas, Islam dan filsafat Sains, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 14.

dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini. Pada sisi lain, Al-Attas berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Al-Attas memandang bahwa, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah. Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu, harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.21 Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak dibatasi kepada manusia.22 Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas adalah disiplin tubuh, jiwa dan run. Disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat).23 Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki implikasi filosofis yaitu penafsiranpenafsiran yang khas dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi
21 Syed Muhamad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam Menurut Al-Attas, Mizan, Bandung, 1984, hlm. 41 22 Ibid., hlm. 64 23 Syed Muhammad Naguib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 52

terhadap kajian reformulasi makna hakikat pendidikan Islam. Di antara para pemikir dan intelektual muslim dunia yang cukup produktif saat ini tercatatlah seorang tokoh keturunan Arab dan Sunda (Indonesia) yang menjadi warga negara Malaysia, yakni Syed Muhamad Naquib Al-Attas. Selain terkenal sebagai pengkaji sejarah, teologi, filsafat dan tasawuf yang serius, ia juga terkenal sebagai pemikir pendidikan Islam yang brillian. Syed Muhamad Naquib Al-attas adalah pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis.24 Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas melihat bahwa saat ini telah terjadi perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya merupakan usaha sekularisasi, lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa sepenuhnya disadari pelaku-pelakunya. Dalam konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah re-Islamisasi bahasa-bahasa tersebut.25 Oleh karena itu term pendidikan dalam bahasa Arab, menjadi salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas. Term-term tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Pembahasan term-term tersebut memiliki implikasi yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas mengenai konsep ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem. Penjelasan secara filosofis mengenai term-term tersebut dijelaskan oleh Syed Muhamad Naquib Al-Attas, sekaligus memuat pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut Islam, dalam pandangan Syed Muhamad Naquib Al-Attas. Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu, harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.26 Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak

24 Ibid., Daud, hlm. 76 25 Ibid., Al-Attas, 1995, hlm. 14 26 Ibid., Al-Attas, 1984, hlm. 4

dibatasi kepada manusia.27 Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas adalah disiplin tubuh, jiwa dan run. Disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat)28. Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki implikasi filosofis yaitu penafsiranpenafsiran yang khas dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi terhadap kajian reformulasi makna hakikat pendidikan Islam. Menurut A. Tafsir, pertama, semenjak kemunculan buku kecil yang dikeluarkan oleh Al-Attas, makna pendidikan dengan istilah tarbiyah menjadi sering digugat dalam berbagai seminar pendidikan.29 kedua, Reformulasi hakikat pendidikan Islam tidak akan pernah terlepas dari kedua sumber (wahyu),30 ketiga, berangkat dari wacana (Islamisasi) yang ditunjukkan melalui penggunaan bahasa yang benar, yang dipopulerkan oleh Al-Attas memberikan implikasi terhadap wacana problematika filosofis, pada pemikiran pendidikannya yang lain.31 Menurut Zuhairini Mendidik atau melaksanakan aktifitas at-tarbiyah, menurut arti dasarnya adalah mempertumbuhkan dan mengembangkan alam dan manusia. Ini berarti bahwa manusia harus mendidik dirinya sendiri agar menjadi tumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan alam.32 Menurut Syed Muhamad Naquib Al-Attas33 istilah tarbiyah, ta'lim berbeda dengan ta'dib. Al-Attas mengemukakan bahwa istilah (ta'dib) adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakup juga pendidikan untuk hewan. Al-Attas seperti yang dikutip oleh Daud34, mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang baik, dan baik yang dimaksudkannya di sini adalah (adab) dalam pengertian yang menyeluruh, yang meliputi keseluruhan spiritual dan material seseorang,
27 Ibid., Al-Attas, 1994, hlm. 64 28 Ibid., Al-Attas, 1992, hlm. 52 29 Dedeng, Rosidin, Akar-Akar Pendidikan Dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis, Pustaka Umat, Bandung, 2003, hlm. xv 30 Al-Attas, 1995, hlm. 138 31 Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung, 2005, hlm. 19 32 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 147 33 Ibid., Al-Attas, 1984, hlm. 35 34 Ibid., Daud, hlm. 77

yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab. Selanjutnya ia menjelaskan, istilah ta'dib merupakan mashdar dari kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Menurut Al-Attas, Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang35. Berdasarkan pengertian Adab seperti itu, Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. Al-Attas seperti yang dinyatakan oleh Suharto,36 memang konsisten menekankan penggunaan istilah yang tepat dalam berbahasa. Baginya, bahasa mencerminkan epistemologi. Penggunaan istilah yang salah dalam berbahasa bukan saja memberi makna yang salah dalam bahasa itu sendiri, tapi juga merusak cara berfikir orang yang berbahasa. Lebih buruk lagi, bila istilah yang salah itu berkaitan dengan perkara-perkara yang mendasar dalam kehidupan. Bila dilihat secara seksama, pemikiran Al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya Westernisasi, Mitologisasi, pemasukan hal-hal yang magis (gaib) dan SekularisasL Oleh karena itu, Al-Attas memberikan solusi dengan konsepnya Islamisasi dan dewesternisasi.37 Kesimpulan Pada dasarnya, latar belakang pemikiran pendidikan Al-Attas terkait dengan gagasannya mengenai Islamisasi ilmu. Islamisasi ilmu adalah pembersihan dari penafsiranpenafsiran yang sekuler. Adapun langkah awal metodologi pemikiran Al-Attas, sesuai dengan analisis teori metodologi filsafat pendidikan Islam, yaitu dengan menggunakan metode
35 Sayyed Muhamad Naquib Al-Attas, Teori-Teori Pendidikan Islam, ed. A.Tafsir, Fakultas Tarbiyah IAIN, Bandung, 2001, hlm. 66 36 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung, 2005, hlm. 19 37 Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm. 124

linguistik, pada pemikirannya mengenai tarbiyah, ta'lim dan ta'dib. Penelitian Al-Attas mengenai tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib, menghasilkan pemikiran bahwa hanya Ta'diblah yang layak untuk mewakili kata pendidikan dalam bahasa Arab. Pemikirannya ini berimplikasi pada pemikiran pendidikannya yang lain yaitu mengenai tujuan pendidikan Islam, ilmu dan manusia. Epistemologi filsafat pendidikan Islam itu dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu; pertama, berdasarkan sumber penelaahan; epistemologi yang berasal dari qur'an-hadis, pemikiran tokoh, dan penelaahan dari perilaku umat Islam yang disesuaikan dengan ruang dan waktu. Kedua, berdasarkan sifatnya, secara sistemik epistemologi filsafat pendidikan Islam melalui tahapan-tahapan tertentu diantaranya perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur'anul karim, penginderaan (sensation), penyerapan (perception), penyajian (representation), konsep (concept), timbangan (judgment), dan penalaran (reasoning). Ketiga, pada aspek metodologi epistemologi filsafat pendidikan Islam dapat melalui beberapa cara yaitu metode spekulatif, normatif, konsep, linguistik, dan metode historis. Pada dasarnya Al-Attas mempunyai epistemologi filsafat pendidikan Islam tersendiri yang sangat kontras berbeda dengan epistemologi Barat. Epistemologi Islam Al-Attas memiliki corak tersendiri dalam memahami Islam dari segi pendidikan. Menurut Al-Attas, epistemologi Islam adalah; pertama, Pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran dimaknai atas dasar metafisika dunia (yang tampak), dalam hal ini melalui kajian epistemologi pengetahuan sains empirik dan kajian metafisika (tak tampak). Kedua, epistemologi filsafat Pendidikan Islam berdasarkan metodologi berfikir Integralistik (tauhidi) yang menggabungkan antara metode obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstualkontekstual. Ketiga, Epistemologi filsafat pendidikan Islam selalu bersumber kepada wahyu (agama), yang didukung oleh akal dan intuisi. Keempat, filsafat Islam yang mengkaji ontologi metafisika selalu berimplikasi terhadap kemajuan manusia. Kelima, konsep metafisika Tuhan dalam Islam itu berbeda dengan konsep Tuhan dalam agama lain. Ontologi pemikiran pendidikan Islam Syed Muhamad Naquib Al-Attas yang dibahas dalam penulisan ini adalah mengenai tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib, tujuan pendidikan Islam, ilmu, dan manusia. Dari uraian yang telah disebutkan, pemikiran pendidikan Islam Syed Naquib Al-Attas pada intinya bertumpu pada konsep Adab / Ta'dib, Semua komponen pembahasan Al-Attas selalu terkait dengan konsepnya mengenai ta'dib. Adab adalah suatu pengenalan dan pengakuan terhadap tempat-tempat yang tepat untuk mendisiplinkan jiwa,

tubuh, dan ruh. Adab adalah sesuatu pencapaian tertinggi yang bernilai filosofis, khususnya dalam memahami realitas kebenaran dan realitas kehidupan. Pada intinya, adab akan melibatkan; pengenalan dan pengakuan, ilmu yang benar untuk mencapai keadilan dan hikmah, tindakan yang mendisiplinkan jiwa dan akal, pencarian kebenaran untuk mendapatkan sifat jiwa yang baik, metode untuk mengaktualisasikan sesuatu secara baik dan benar. Pada tahap aksiologis, pemikiran Al-Attas secara teori filsafat, ataupun teori ilmu dalam tinjauan pendidikan apabila diaktualisasikan pada saat ini, konsep Al-Attas mengenai pendidikan sangat layak untuk diwujudkan dalam bentuk bangunan yang real. Dalam hal ini, Al-Attas sendiri bukan hanya berbicara dalam wilayah filosofis, akan tetapi sudah berada dalam wilayah yang aktual. Al-Attas telah mengaktualisasikan pemikirannya itu, melalui sebuah bangunan peradaban Pendidikan Tinggi di Malaysia yang terkenal dengan nama International Institute of Islamic Thought and Civilization (1STAC).

Daftar Pustaka Abdul Kholiq, dkk., 1999 Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ahmad Tafsir (Ed.), 2001 Sayyed Muhamad Naquib Al-Attas; Teori-Teori Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN, Bandung. Ahmad Supardi, 2003 Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Mimbar Pustaka, Bandung, 2004. Dedeng, Rosidin, 2003 Akar-Akar Pendidikan Dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis, Pustaka Umat, Bandung. Edi Suharto, 2005 Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung. Kasinyo Harto, 2002 Rekontruksi Pendidikan Islam, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember. Malik Fadjar, 1999 Reorientasi Pendidikan Islam, Fajar Dunia, Jakarta. M. Shofan, 2002 Pendidikan Berparadigma Profetik, Ircisod-UMG Press, Yogyakarta. Rohmalima Wahab, 2002 Pendidikan Islam dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember. Sardar, Ziauddin, 1988 Tantangan Dunia Islam Abad, Mizan, Bandung. Sayyed Muhamad Naquib Al-Attas, 1984 Konsep Pendidikan dalam Islam, Cet. I, Alih Bahasa Haidar Baqir, Mizan, Bandung. Sayyed Muhammad Naguib Al-Attas, 1992 Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III, terj. Haidar Baqir, Mizan, Bandung. Sayyed Muhamad Naquib Al-Attas, 1995 Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Mizan, Bandung. Suharto, 2002 Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung. Syamsul Nizar, 2002 Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta. Tedi Priatna, 2004 Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Bani Qurays, Bandung. Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003 Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas, Mizan, Bandung. Zuhairini, 1995 Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.

Referensi Abudin Nata 2003 Kapita Selekta Pendidikan Islam. Angkasa, Bandung Arifin, H.M. 1994 Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Angkasa, Jakarta Al-Attas, Syed Muhamad Naquib 1984 Konsep Pendidikan dalam Islam Menurut Al-Attas. Mizan, Bandung ___________ 1995 Islam dan filsafat Sains. Mizan, Bandung ___________ 1999 Islam dan Sekulerisme. Bandung ___________(ed. A.Tafsir) 2001 Teori-Teori Pendidikan Islam. Fakultas Tarbiyah IAIN, Bandung Alatas, Fajrie Ismail 2006 Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam. Diwan Publishing, Jakarta Alavi, Zianuddin 2003 Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad klasik dan Pertengahan. Angkasa, Bandung Badaruddin, Kemas 2007 Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka Setia, Yogyakarta Bahtiar, Amsal 1999 Filsafat Agama. Logos, Jakarta Fadjar, Malik 1999 Reorientasi Pendidikan Islam. Fajar Dunia, Jakarta Kuntowijoyo 2005 Islam sebagai Ilmu, epiostemologi, metodologi, dan etika. Teraju Mizan, Bandung Langgulung, Hasan 1995 Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Al-Ma'arif, Bandung Moleong, Lexy 2006 Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda, Bandung Mulyasa,E 2006 Sertifikasi Guru. Rosdakarya,Bandung Muhaimin dan Mujib, Abdul 1993 Pemikiran Pendidikan Islam. Trigenda Karya, Bandung Nizar, Syamsul 2002 Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat Press, Jakarta Nuruhbiyati 1994 Ilmu pendidikan Islam. Pustaka setia, Jakarta Prasetya 2003 Filsafat Pendidikan. Pustaka Setia, Jakarta Priatna, Tedi 2004 Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam. Pustaka Bani Qurays, Bandung Rosidin, Dedeng 2003 Akar-Akar Pendidikan Dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis. Pustaka Umat, Bandung Sukarno, dan Supardi 1988 Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka, Bandung Supardi, Ahmad 2004 Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Mimbar Pustaka, Bandung

Suwarno, Wiji 2006 Ilmu Pendidikan. Ar-ruz, Jogjakarta Syaodih, Nana 2005 Pengembangan Kurikulum. Rosdakarya, Bandung Syamsudin, Abin dan Saud, Saefudin 2006 Perencanaan Pendidikan suatu pendekatan Komprehensif. Rosdakarya, Bandung Sholeh, Asrorun Ni'am 2006 Reorientasi Pendidikan Islam, Elsas, Jakarta Tafsir, Ahmad 1994 Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam. Rosdakarya : Bandung ___________ 2006 Filsafat Pendidikan Islam. Rosdakarya, Bandung 1999 Filsafat Umum. Rosdakarya, Bandung Wan Daud, Wan Mohd Nor 2003 Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas. Mizan, Bandung Zuhairini 1995 Filsafat Pendidikan Islam. Bumi aksara, Jakarta Zulkarnain 2008 Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar, Jogjakarta DAFTAR PUSTAKA Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan:,1992 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota, 1989 Harto, Kasinyo., Rekontruksi Pendidikan Islam, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002, hlm. 89 Ismail SM., Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naguib al-Attas, dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam dalam Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003 Langgulung, Hasan., Strategi Pendidikan Islam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002 Langgulung, Hasan., Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992 Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam Indonesia; Mencari Kepastian Historis, dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Pengantar: Dawam Rahardjo, Jakarta: P3M, 1989 Langgulung, Hasan., Strategi Pendidikan Islam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002 Lihat www.jaring.my/istac/staff/staff.htm, Directory, 12 Februari 2002 Muzani, Saiful., Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naguib al-Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober 1991 Nizar, Samsul., Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002 Rahman, Fazlur., Tahun Perkembangan Yang Mantap Bagi Islam, dalam Al-Hikmah, No. 7, November-Desember 1997

Redaksi., Naguib al-Attas Versus Nurcholish Madjid, dalam Panji Masyarakat, No. 531, 21 Februari 1987 Wahab, Rohmalima., Pendidikan Islam dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002

You might also like