You are on page 1of 39

Peran Media dalam Kegiatan Komunikasi Politik: Pencitraan Seorang Tokoh Politik Melalui Personal branding Menggunakan Media

Foto
Comment [ME1]: Judul Mohon

disederhanakan seperti judul jurnal politi, komunikasi, Jurnal pada umumnya..mohon liat judul-judul Jurnal ya ?? Ini terlalu panjang .. belum bias masuk proses .

PENDAHULUAN

Comment [ME2]: Sebelum pendahuluan tolong

dikasih abstrak isinya adalah ada latar belakang, metode, dan hasil .

Media massa saat ini merupakan media massa yang memiliki kekuatan strategis dalam mempengaruhi dan menggiring opini masyarakat terhadap sebuah objek. Sebuah media massa mampu memberikan berbagai ruang publik, sebagai ruang ekspresi yang dapat digunakan untuk dilakukannya sebuah strategi politik. Perubahan tatanan politik di Indonesia telah membawa perubahan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Melalui pilkada. rakyat bisa memilih secara langsung siapa yang akan memimpin daerahnya. Perubahan tersebut juga memunculkan fenomena baru di kalangan politisi, terutama para calon kepala daerah yang akan maju dalam pilkada, yakni membangun citra diri melalui media massa dengan cara menjalin hubungan baik dengan media (media relations). Hal tersebut dilakukan karena media massa dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya dianggap memunyai peran yang cukup strategis dan memunyai kekuatan untuk memengaruhi publik. Popularitas calon kepala daerah akan terangkat jika terus menerus diekspos oleh media massa. Oleh karena itu, saat ini banyak para pelaku politik yang berlombalomba dalam memanfaatkan media massa untuk membentuk sebuah citra positif di mata masyarakat, untuk memenangkan sebuah kekuasaan politik. Pencitraan karakter dari seorang tokoh politik merupakan sebuah strategi pemasaran politik yang dilakukan dengan mengemas citra dari sosok seorang tokoh politik, sebagai kegiatan politik pencitraan (politics of image). Pencitraan yang dilakukan di media massa tersebut dilakukan untuk membentuk sebuah opini publik yang positif di mata masyarakat oleh seorang tokoh politik. Melalui media massa, sebuah narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat
Comment [ME3]: Mohon pisahkan antara

media, media massa, dan media elektronik, sebenarnya fokusnya mau berbicara apa.. kalau di judul tentang media foto teteapi di penjelasan lebih banyak bicara media massa apakah media foto dalam media massa atau media foto dalam hal apa sebenarnya apa yang dimaksud dengan media itu dalam konteks ini.. apakah media (cara/jalan), atau apa ya..??
Comment [ME4]: Ini dasarnya apa bias kasih

evident..? bukti-buktinya kalai ..????


Comment [ME5]: Evidentnya apa kasih

sumber-sumber penjelasannya tentang ini mengapa bisa dikatakan demikian ???

mempengaruhi cara melihat lingkungan masyarakat. Di dalam dunia politik, kegiatan pencitraan selalu berkaitan dengan pemanfaatan kekuatan media massa tersebut. Pencitraan selalu menjadi mesin politik yang dianggap efektif dalam mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, simpati, dan opini publik, sehingga masyarakat dapat digiring ke sebuah pilihan dan keputusan politik yang mengarah kepada seorang tokoh politik. Sebuah pencitraan sebagai strategi politik, merupakan satu kekuatan utama dalam mengendalikan dan membentuk wacana politik masyarakat. Sebuah citra yang positif dari seorang tokoh politik yang mencalonkan diri, akan membuat masyarakat memberikan dukungan kepada tokoh politik tersebut, dan pada akhirnya akan memenangkan kekuasaan politik di pemerintahan. Untuk membangun sebuah citra positif, dibutuhkan sebuah strategi yang mampu memunculkan sosok dan karakter dari seorang tokoh politik yang didambakan oleh masyarakat. Salah satu teknik pencitraan tersebut dapat dilakukan melalui personal branding yang memanfaatkan media foto. Sebuah foto dapat memberikan pesan komunikasi politik yang efektif dalam pembentukan citra seseorang. Sebuah foto dapat dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual berperan besar pada pembentukan opini publik. Sebuah propaganda dan komunikasi politik bahkan terkadang lebih memilih menggunakan media foto untuk disampaikan kepada target audiensnya. Hal tersebut disebabkan karena dihadirkannya kembali sebuah realitas kedalam suatu bentuk visual sangat berperan besar dalam pembentukan opini publik.
Comment [ME10]: Lalu paper ini akan Comment [ME8]: Tadi media massa sekarang Comment [ME7]: Apa betul menjadi kekuatan Comment [ME6]: Contohnya seperti apa..??

utama bisa dikasih evidentnya..?, dasar teoritiknya .

media foto jadi mohon dijelaskan mau kita akan berbicara media dalam artian sarana atau media dalam artian media mssa, media, televise, dlll
Comment [ME9]: Evident bisa dikasih ??

mengkaji apa,,, apa yang menjadi masalah, dan apa yang perlu dibahas seperti tidak ada apaapa tuh >> pertanyaannya terus bagaaimana kan sudah selesai sampai di sini ??

PEMBAHASAN

Saat Indonesia memasuki masa kampanye pemilihan umum, baik itu pilkada, pemilihan anggota DPD, ataupun pemilihan presiden, banyak terpajang gambargambar atau foto dari para tokoh politik yang mencalokan diri di berbagai jenis media. Gambar foto tersebut terpajang mulai dari di dalam jenis media elektornik, media cetak, ataupun yang terdapat di di berbagai ruas jalan dan sudut kota di Indonesia. Dimana sebuah ruang-ruang promosi yang sebelumnya penuh dengan promosi event dan produk-produk, kini mulai terisi dengan iklan-iklan promosi tokoh-tokoh politik yang mencalonkan diri dalam kursi politik di pemerintahan. Adanya pemasangan gambar dan foto dari seorang tokoh politik terebut dilakukan untuk tujuan kampanye politik, yaitu menginformasikan kepada masyarakat mengenai seseorang yang mencalonkan diri dalam kursi politik, dan mempersuasi masyarakat agar memilih tokoh politik tersebut. Politik sering menempatkan media sebagai senjata utama dalam membangun kekuatan politik di masyarakat. Hal ini dimungkinkan ketika media memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan informasi mana yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik. Kondisi ini menempatkan media sebagai pembentuk citra baru bagi individu atau lembaga. Hal ini menjadikan berita terus mengalami redefinisi sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Konsekuensinya adalah fakta bisa berubah menjadi entitas yang bisa diciptakan, sehingga berita yang tercipta kini berada di antara wilayah fiksi dan non fiksi. Fakta juga kini telah berubah menjadi komoditas yang mudah dikemas, didaur ulang dan dimaknai kembali. Pada dasarnya, strategi dalam sebuah komunikasi politik yang menggunakan peranan media adalah dengan membangun sebuah image positif di mata masyarakat melalui konsep pencitraan. Melalui konsep pencitraan tersebut, seorang tokoh politik dapat membentuk simpati dari masyarakat agar mau memilihnya. Konsep pencitraan (self imaging) tersebut biasanya dilakukan dengan strategi komunikasi politik melalui personal branding. Personal branding merupakan sebuah strategi yang dapat mengkomunikasikan sebuah citra diri seseorang kepada masyarakat sesuai dengan
Comment [ME12]: Ini juga tampaknya juga di Comment [ME11]: Tampaknya .ini cocok

dimasukkan di pendahuluan bukan di pembahasan mohon dipikirkan lagi ya..??

pendahuluan ..

karakteristik image yang ingin dibangun dalam seseorang tersebut. Pembentukan pencitraan karakteristik melalui personal branding tersebut dilakukan untuk mengomunikasikan tujuan, jati diri dan hasrat untuk hidup dari seseorang kepada masyarakat. Media visual biasanya sering menjadi sebuah medium yang sering digunakan oleh seorang tokoh politik dalam membangun sebuah konsep citra (self image) kepada masyarakat. Dalam kaitannya dengan strategi personal branding, sebuah foto bisa menjadi media visual yang ampuh untuk mempresentasikan citra diri dari seseorang. Photographs are understood to have a causal link with the physical world - a being thereness (Barthes 1977). Sebuah perpaduan antara foto dan media massa menjadi satu strategi yang cukup efektif dalam kegiatan komunikasi politik untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Keefektivitasan foto sebagai media komunikasi visual di media massa tersebut semakin besar karena adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang tidak gemar membaca dan lebih menyukai pesan yang disajikan dalam media-media visual. Oleh karena itu, sebuah foto yang dipasang di media massa, merupakan strategi yang cukup efektif dalam membangun citra seorang tokoh politik melalui personal branding. 1. Fungsi komunikasi politik dalam membangun citra positif dalam opini publik. Seseorang atau sebuah lembaga yang memutuskan untuk terjun kedalam dunia politik, selanjutnya diharuskan membangun sebuah aliran komunikasi politik kepada masyarakat sekitar lingkungannya, baik itu dalam dunia politik atau kepada masyarakat umum. Adanya kegiatan komunikasi politik tersebut akan menjaga kekuatan dan posisi politik seseorang atau lembaga dalam persaingan di dunia politik. Melalui kegiatan komunikasi politik, para pelaku politik dapat menjaga dukungan politiknya dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat. Pada dasarnya, sebuah kegiatan komunikasi politik dilakukan untuk tujuan pembentukan opini yang positif. Opini tersebut dibangun dengan menanamkan pandangan bahwa seorang tokoh politik mempunyai track record yang positif di mata masyarakat dan dunia politik. Untuk mendapatkan opini positif dan dukungan tersebut, seorang tokoh

Comment [ME14]: Mohon ini dikaji,.. lagi

karena tidak menyambung dengan yang diatas..

Comment [ME15]: Ini juga kenapa tiba-tiba

muncul istilah media visual ..?, mohon di kaji lagi

politik harus dapat melakukan sebuah komunikasi politik yang efektif, dimana pesan-pesan politik mengenai dirinya dapat dipahami oleh target audiens sesuai dengan tujuan perumusan pesan politik tersebut, sebagai hasilnya adapalah terbentuknya opini publik yang positif kepada tokoh politik tersebut. Salah satu strategi untuk mendapatkan opini positif tersebut adalah dengan membuat pencitraan diri (self image) yang positif di dunia politik kepada masyarakat. Oleh karena itu, untuk dapat bertahan dan sukses di persaingan politik, para pelaku politik harus mampu menciptakan sebuah komunikasi politik yang efektif, dimana pesan-pesan politiknya dapat membangun opini yang sesuai dengan yang diharapkan oleh para pelaku politik tersebut. Komunikasi politik sendiri merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk membangun sebuah opini publik mengenai sesuatu hal yang terkait dalam bidang politik. Biasanya kegiatan komunikasi politik identik dengan kegaitan kampanye, dimana didalamnya terdapat aliran pesan informasi yang disampaikan oleh tokoh politik sebagai komunikator, dan masyarakat sebagai komunikan (target audiens). Kampanye sendiri adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan dampak tertentu pada sejumlah besar orang dalam jangka waktu tertentu melalui satuan kegiatan komunikasi (komunikasi politik) yang terorganisir dengan baik (Rogers & Storey, 1987: 821). Informasi yang disampaikan dalam kegiatan kampanye tersebut dilakukan melalui sebuah kegiatan komunikasi politik. Penyampaian pesan informasi melalui komunikasi politik tersebut dilakukan secara terorganisir untuk

mempengaruhi kepercayaan dan pandangan masyarakat, perilaku pol itik, ataupun sikap dan simpati dari masyarakat terhadap sebuah obyek politik melalui peran media massa ataupun media-media komunikasi lainnya (Devine & Hirt, 1989: 230). Untuk menjelaskan mengenai definisi komunikasi politik sendiri, McQuail dalam Swanson mengatakan: Komunikasi politik adalah sebuah studi yang

interdisiplinari yang dibangun atas berbagai macam disiplin ilmu, terutama dalam hubungannya antara proses

komunikasi dan proses politik. Ia merupakan wilayah

pertarungan

dan

dimeriahkan

oleh persaingan

teori,

pendekatan, agenda dan konsep dalam membangun jati dirinya. Oleh karena itu pula, komunikai yang membicarakan mengenai politik kadang diklaim sebagai sebuah studi aspekaspek politik dari komunikasi publik, dan seirng dikaitkan sebagai komunikasi kampanye Pemilu karena mencakup masalah persuasi terhadap pemilih, debat antar kandidat, dan penggunaan media massa sebagai alat

kampanye(Cangara, 2009: 16).

Jadi, berdasarkan pada pengertian diatas, dapat dipahami bahwa sebuah komunikasi politik terdiri atas disiplin ilmu komunikasi dan ilmu politik yang bahasannya sering dikaitkan dengan komunikasi dalam kegiatan kampanye. Komunikasi yang terjadi dalam kegiatan kampanye tersebut mencakup permasalahan mengenai persuasi terhadap pemilih, debat antar kandidat, dan penggunaan media massa sebagai alat kampanye. Kegiatan komunikasi politik sendiri pada dasarnya berfungsi sebagai jembatan penghubung antara suprastruktur dan infrastruktur yang bersifat

interpendensi dalam ruang lingkup negara. Strategi komunikasi politik sendiri dapat dilakukan dengan mendasarkan pada siapa yang menjadi target audiensnya, bisa kepada struktur pemerintahan (dunia politik) ataupun kepada struktur masyarakat. Kedua target audiens tersebut diharuskan membutuhkan strategi-strategi (pendekatan) dan pencapaian tujuan yang berbeda-beda dalam pelaksanaannya. Menurut Sumarno (1993: 28), fungsi komunikasi politik dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, fungsi komunikasi politik yang berada pada struktur pemerintah (suprastruktur politik) atau the govermental political sphere. Pada fungsi komunikasi politik ini, isi pesan informasi berupa isu mengenai kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Isi komunikasi ditujukan kepada upaya untuk mewujudkan loyalitas dan integritas nasional untuk mencapai tujuan negara yang lebih luas. Kedua, adalah fungsi yang berada pada struktur masyarakat (infrastruktur politik), yang disebuat

dengan istilah socio political sphere. Fungsi komunikasi politik yang kedua ini merupakan agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan, dimana kedua fungsi tersebut sebagai proses komunikasi yang berlangsung di antara kelompok asosiasi dan proses penyampaian atau penyaluran isi komunikasi terhadap pemerintah dari hasil agregasi dan artikulasi tersebut. Jadi pada dasarnya, sebuah komunikasi politik dilakukan untuk membangun loyalitas dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait, baik itu dalam struktur politik pemerintahan ataupun dari masyarakat. Adanya dukungan dari kedua pihak terebut, posisi politik dari seseorang dapat menjadi aman dan masih kuat untuk berada di kursi percaturan dunia politik. Salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan, kepercayaan, dan loyalitas tersebut adalah menciptakan opini yang positif dari kedua pihak tersebut, terutama dalam masyarakat. Di dalam dunia perpolitikan yang saat ini dapat dikatakan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dukungan dari masyarakat merupakan sebuah nilai positif tersendiri untuk mempertahankan kursi kekuasaan politik. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat tersebut, seorang tokoh politik harus mempunyai reputasi yang bersih. Adanya reputasi yang bersih tersebut, selanjutnya akan menimbulkan sebuah opini yang positif mengenai tokoh politik tersebut, lalu menjadi sebuah simpati, dan akhirnya menghasilkan sebuah dukungan dan loyalitas dari masyarakat sebagai pemegang hak pilih politik terbesar. 2. Kekuatan media massa sebagai media komunikasi politik. Media dan politik saat ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dunia politik membutuhkan media massa untuk melakukan kegiatan komunikasi politik, terutama yang ditujukan kepada masyarakat luas. Meskipun pada dasarnya media massa mempunyai fungsi sebagai pengawas pemerintahan dan kontrol sosialpolitik (dog watcher), terkadang media massa dimanfaatkan oleh para pelaku politik untuk sekedar berkampanye ataupun melegitimasi kebijakan politik yang diambil oleh para pelaku politik tersebut kepada masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya kekuatan media massa yang mampu mempengaruhi masyarakat melalui berita informasi didalamnya tersebut, para tokoh politik sering memanfaatkan kekuatan media tersebut untuk melakukan komunikasi politik dan membangun opini publik

yang positif terhadap mereka. Selain itu, karena kekuatannya, media massa mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam pembentukan karir politik seseorang, apakah karir politik seseorang tersebut dapat dibuat cemerlang ataupun malah menurun (Cangara, 2009: 117-118). Menurut Hamad (2004: 37), studi tentang pemanfaatan dan efek media dalam komunikasi politik merupakan bentuk lain yang paling banyak dilakukan. Studi-studi tersebut berasumsi bahwa media adalah saluran komunikasi politik yang efektif. Media massa dinilai memiliki kekuatan agenda setting yang besar dalam menyebarluaskan pesan-pesan politik, melalui sosialisasi politik, dan pembentukan opini publik. Menurut Firmanzah (2007: 19), media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi opini publik dan juga perilaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, media dianggap memiliki peran yang sangat penting dalam mentransmisi dan menstimulasi permasalahan politik. Media massa mempunyai peran yang penting dalam kegiatan komunikasi politik. Menurut Hasrullah (2001: 31), di dalam kegiatan komunikasi politik, media massa dianggap mempunyai kekuatan yang hebat (powerfull) dalam menyalurkan pesan-pesan politik, sehingga keperkasaan media massa sering dijadikan saluran utama dalam mempengaruhi opini publik. Pada dasarnya, fungsi dari media massa adalah sebagai alat untuk menyalurkan pesan informasi kepada masyarakat. Pesan informasi tersebut disusun oleh seorang wartawan, dan selanjutnya disampaikan melalui media massa kepada masyarakat dengan mendasarkan kepada nilai-nilai kenetralitasan dan juga nilai-nilai realitas. Jadi, dalam penyampaian informasinya, sebuah media massa tersebut menyampaikan suatu peristiwa atau kejadian, memang itulah yang terjadi, itulah realitas yang sebenarnya, tidak ditambah, dan tidak dikurangi. Selain itu, media massa juga tidak hanya sekedar penyalur pesan informasi kepada masyarakat, tetapi media massa juga dapat berperan sebagai subjek yang mengkonstruksi sebuah realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan kepemihakan dari media tersebut. Di dalam mengkonstruksi, dan menyampaikan realitas berbentuk informasi kepada masyarakat tersebut, media massa selanjutnya disebut sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas kepada masyarakat. Oleh karena itu, terkadang sebuah

pesan informasi yang berasal dar i sumber yang sama, dapat disampaikan dalam kemasan yang berbeda oleh media-media yang berbeda-beda. Hal terebut disebabkan, dalam kegiatannya, media massa banyak dipengaruhi oleh berbagai pihak dan kepentingan, seperti pemilik modal ataupun dari pengaruh penguasa atau kepentingan politik yang terdapat di sekitar lingkungan media massa tersebut. Saat ini media memiliki posisi yang cukup strategis dalam kehidupan masyarakat, baik kehidupan sosial ataupun politik. Posisi strategis dari media massa tersebut disebabkan karena adanya fungsi-fungsi dari media yang membuat masyarakat saat ini membutuhkan kehadiran media di sekitar lingkungan interaksi komunikasi mereka. Beberapa fungsi dari media massa yang membuat sebuah media mempunyai kedekatan dan pengaruh yang cukup tinggi kepada masyarakat antara lain; 1) Sebagai alat untuk menyampaikan informasi (to inform), Media massa berfungsi untuk menyampaikan segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, baik itu fenomena sosial ataupun politik dalam bentuk informasi. Saat ini masyarakat membutuhkan informasi mengenai segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungan mereka, dan untuk mendapatkan informasi tersebut, masyarakat akan mencarinya melalui media massa, baik elektronik ataupun cetak. 2) Sebagai alat untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat (to educate), Melalui informasi-informasi yang disampaikannya, media massa memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan menambah wawasan masyarakat melalui informasi tersebut. Selain itu, media massa juga memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dengan menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam bidang politik. 3) Sebagai media untuk memberikan informasi berupa hiburan kepada masyarakat (to entertain), Informasi-informasi yang disampaikan didalam media massa tidak sepenuhnya informasi yang bersifat hardnews, tetapi terkadang media massa

mampu menyajikan berbagai informasi yang ringan dan bersifat menghibur. Informasi yang menghibur tersebut dapat berupa mengenai kehidupan selebritis, artikel humor, ataupun semacam kuis. 4) Untuk membentuk dan mempengaruhi opini publik dan sikap masyarakat terhadap sesuatu (to influence). Media massa mempunyai peranan yang kuat dalam berbagai bidang di masyarakat, baik itu sosial maupun politik. Melalui kedekatannya dengan masyarakat, media massa mampu mempengaruhi dan membentuk cara pandang serta opini publik masyarakat mengenai sesuatu hal, salah satunya mengenai dunia perpolitikan. Fungsi-fungsi dari media massa tersebut yang membuatnya dibutuhkan oleh masyarakat, media massa saat ini menjadi media yang vital sebagai alat penyampai komunikasi politik dari para pelaku politik. Melalui media massa, para pelaku politik berharap dapat juga dekat dengan masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan membentuk opini publik dari masyarakat, dan menghasilkan adanya dukungan dan loyalitas dari masyarakat kepada seorang tokoh politik tersebut. a. Konstruksi realita sosial media massa. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut mereka melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentin gankepentingan (Bungin, 2008: 192). Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat sebuah konstruksi, sudut pandang dan ideologi dari wartawan yang disampaikan melalui media massa. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua yang terdapat dalam media tidak sepenuhnya berdasarkan pada sebuah realitas, tetapi terdapat pengaruh dari konstruksi realitas dalam media massa tersebut.

10

Adanya sifat dari media massa dalam penyampaian informasi yang berlangsung cepat dan masif, maka konstruksi realitas sosial tersebut dapat berlangsung dengan cepat dan sebarannya merata dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya realitas media massa yang terkonstruksi terebut akan membentuk sebuah opini publik berdasarkan apa yang dikonstruksi oleh media massa tersebut (Bungin, 2008: 203). Menurut perspektif tersebut, terdapat tahapan-tahapan dalam proses kontruksi realita sosial media massa, yaitu; tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; dan tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). 1) Tahap menyiapkan materi konstruksi. Terdapat tiga hal penting dalam tahapan ini, yaitu; keberpihakan media massa kepada kapitalisme; keberpihakan semu kepada masyarakat; dan keberpihakan kepada kepentingan umum. 2) Tahap sebaran konstruksi. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. 3) Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui; (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4) Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi. Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna disaat realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas

11

sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. b. Pembentukan citra melalui media massa. Citra (image) dapat diartikan sebagai kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan (Soemirat dan Elvinaro Ardianto, 2007: 114). Citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon dalam Rakhmat menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, terutama pada informasi dan pengetahuan (frame of references) yang kita miliki. Tidak akan ada teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasardasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat memengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra (image) terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Menurut Bill Canton dalam Sukatendel (1990) mengatakan: image: the impression, the feeling, the conception which the public has of a company; a conciouss/y created impression of an object, person or organization. Citra adalah sebuah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, yang dengan sengaja diciptakan dari sebuah objek, orang, ataupun organisasi tertentu (Soemirat dan Elvinaro Ardianto, 2007: 112). Sebuah citra dari seseorang ataupun lembaga biasanya dibangun untuk merepresentasikan sesuatu yang bernilai positif. Karena sebuah citra dapat mempengaruhi bagaimana masyarakat memandang dan beropini terhadap sesuatu. Citra (image) dapat juga diartikan sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya (Jefkins, 2004: 56). Jadi dapat dikatakan bahwa citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang faktafakta atau kenyataan. Pada dasarnya membangun citra merupakan bagian dari praktik public relations, di mana fungsinya adalah menumbuhkan hubungan baik antara segenap komponen pada suatu organisasi pemerintahan dalam rangka rnemberikan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi. Semua itu bertujuan untuk

12

mengembangkan goodwill publiknya serta memperoleh menguntungkan (Ardianto, 2002: 12).

opini publik yang

Jika dikaitkan dengan dunia politik, pembangunan citra positif dimata masyarakat merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dapat mempertahankan posisi politik dari seseorang. Pencitraan tersebut merupakan sebuah komunikasi politik yang dilakukan oleh seorang tokoh politik melalui peran media massa. Kegiatan pencitraan melalui media massa dapat berlangsung lebih efektif dibandingkan media jenis lain, karena melalui media massa, seorang tokoh politik dapat menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada masyarakat secara cepat dan masif (merata), dengan demikian tokoh politik terebut akan lebih dikenal masyarakat luas. Pencitraan melalui media massa merupakan sebuah solusi atas hambatan untuk dilakukannya komunikasi politik secara luas dan merata yang dilakukan secara langsung (face to face). Oleh karena itu, media massa merupakan sebuah akat yang sangat efektif untuk menjangkau masyarakat luas untuk dilakukan komunikasi politik, yang tidak bisa dijangkau secara langsung. Jika dilihat dari perspektif konstruksi sosial media massa, pembentukan citra melalui media massa masuk dalam tahapan pembentukan konstruksi realitas. Dalam konstruksi sosial media massa terdapat dua tahap, yakni: tahap pembentukan konstruksi realitas dan pembentukan citra (Bungin,. 2006: 208). Dalam pembentukan konstruksi realitas terdapat tiga tahapan. Pertama, konstruksi pembenaran. Suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran. Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa. Pilihan seseorang untuk menjadi pembaca dan pemirsa media massa karena pilihannya sendiri. Ketiga, menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tidak bisa dilepaskan oleh masyarakat dari kehidupan informasi mereka. Sementara itu pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi, di mana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa terbentuk dalam dua model, yaitu model good news, dan model bad news.

13

Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya. Sedangkan model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan itu sendiri. Membangun citra melalui media massa memang merupakan sesuatu hal yang sangat penting dilakukan untuk mencari popularitas, meraih suara dan simpati dari masyarakat. Memanfaatkan peranan media massa untuk membangun citra positif merupakan salah satu cara efektif untuk membentuk opini publik yang positif. Jika opini publik sudah terbentuk, sangat dimungkinkan publik akan memberikan suaranya, dan politik pencitraan tersebut dianggap cukup ampuh untuk meraih suara. 3. Personal branding: sebuah pencitraan sebagai strategi komunikasi politik melalui media massa yang menggunakan media foto. Masa kampanye pemilu 2009 yang sudah dimulai sejak Juli 2008, membuat persaingan partai politik dan calon kandidatnya menjadi hal yang menarik. Dalam konteks pemilihan umum yang dicitrakan bukanlah partai politiknya melainkan kandidat yang akan dipilih. Menurut Nimmo (2000: 185), citra kandidat terbentuk dari atribut politik dan gaya personal seorang kandidat politik, seperti yang dipersepsi oleh pemberi suara. Donsbach (dalam Malik, 1999:56), banyak studi yang menunjukan bahwa perilaku pemilih bukan ditentukan oleh isu yang ditawarkan kandidat untuk menyelesaikan persoalaan bangsa, akan tetapi ditentukan oleh citra dan personalitas pribadi kandidat. a. Pencitraan melalui media foto untuk membentuk opini publik dalam nilai realitas dan kebudayaan visual Sebuah foto termasuk kedalam salah satu media komunikasi yang menyampaikan pesan secara simbolik. Pesan komunikasi tersebut disampaikan melalui unsur visual. Meskipun pada praktek penyampaian pesannya, foto selalu dikombinasikan dengan tulisan, tetapi inti dari pesan tersebut terdapat dalam visual foto itu sendiri, unsur tulisan hanya sekedar unsur pendukung dari foto tersebut. Foto

14

menjadi media komunikasi politik yang efektif, karena foto mempunyai fungsi yang sangat luas. Selain sebagai sebuah karya seni, foto juga bisa menyampaikan pesanpesan yang diinginkan oleh para calon legislatif. Pesan-pesan tersebut biasanya disampaikan melalui personal branding yang dibalut dalam kemasan visual foto. Dimana sebuah foto digunakan dalam dasar personal branding, karena sebuah foto dapat menciptakan realitas tersendiri yang dapat mempengaruhi opini dalam masyarakat. Realitas yang dapat dibentuk melalui foto tersebut dikarenakan dalam sebuah foto, didalamnya terdapat nilai-nilai budaya visual, yang terbentuk dan di konvensi oleh kebudayaan dan pemikiran dari manusia. Kebudayaan sendiri merupakan rangkaian dari aktivitas yang berulang -ulang sehingga pada akhirnya membentuk kebiasaan yang membentuk pola dalam masyarakat, pola dalam masyarakat itu meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat. Selo Soemarjan dan Soleiman Soemardi mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari kegiatan yang berpola inilah, kemudian menghasilkan wujud-wujud dalam kebudayaan. Wujud dari kebudayaan ini merupakan hasil karya, rasa dan cipta dari masyarakat yang berupa benda-benda atau pola-pola perilaku. J.J. Hoenigman membedakan wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Gagasan (wujud ideal) adalah kebudayaan sifatnya abstrak berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan; tidak dapat diraba, atau disentuh. Aktivitas adalah wujud kebudayaan yang sering disebut dengan sistem sosial, sifatnya konkret karena dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari gagasan dan aktivitas manusia dalam masyarakat berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan. Menurut Koentjaraningrat, Suatu sistem kelakuan khas dari kelakuan berpola (wujud dari kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan) beserta komponenkomponennya, ialah: sistem norma (wujud ideal dari kebudayaan) dan peralatannya (wujud fisik dari kebudayaan) ditambah dengan manusia atau personel yang melaksanakannya kelakuan berpola, merupakan suatu pranata ata u institution. Pranata atau institution inilah membuat kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya.

15

Bagan komponen-komponen dari pranata Sosial

Bagan diatas menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, semua wujud-wujud kebudayaan tidak bisa terpisahkan dan saling berkaitan. wujud kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan mengaitkan semua wujud kebudayaan dengan manusia yang kemudian membentuk sistem nilai yang membuat suatu kelakuan yang berpola dalam masyarakat. Keterkaitan komponen-komponen tersebut dalam kebudayaan modern sekarang sangat terkait dengan pembentukan budaya visual dalam kehidupan manusia modern. Karena budaya visual merupakan salah satu wujud kebudayaan yang berupa konsep (nilai) dan materi (artefak/benda) yang ditangkap oleh panca indera visual manusia kemudian dapat dipahami sebagai tautan pikiran untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Wujud dari kebudayaan visual yang berupa artefak inilah yang diapresiasikan manusia kemudian membentuk sebuah aktivitas komunikasi nonverbal yang akhirnya memunculkan pemaknaan-pemaknaan terhadap artefak tersebut. Dalam studi ilmu komunikasi (Mulyana, 2003:380), artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung maknamakna tertentu. Dengan demikian, budaya visual meliputi berbagai aspek dalam wujud kebudayaan yang berupa gagasan yang kemudian menciptakan wujud akhir

16

yang berupa karya atau benda, Karya atau benda -benda sebagai wujud akhir budaya visual meliputi berbagai bentuk media komunikasi visual seperti foto, film, iklan, siaran televisi, media cetak hingga mode pakaian; karya desain dan karya senirupa. Benda-benda dalam kebudayaan visual tersebut memiliki kekuatan-kekuatan tersendiri, sehingga kebudayaan visual menjadi sangat dinamis. Karena budaya visual merupakan budaya yang bermuatan nilai, serta amat terpengaruh oleh situasi sosial yang terjadi di zamannya. Media komunikasi visual yang berupa foto dapat dipandang sebagai budaya visual yang sangat fungsional serta telah menjadi bagian kehidupan sehari -hari di masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat modern foto merupakan hasil kebudayaan yang menyentuh sisi kehidupan manusia tentang arti dan makna dalam sebuah kehidupan. Foto merupakan wujud dari pencapaian kreatifitas serta kecerdasan manusia yang dapat segera diserap secara visual oleh panca indera manusia. Oleh karena itu foto merupakan fenomena visual yang mengalami perkembangan teknologi cukup pesat. Kehadiran fotografi disebut sebagai alat perekam dan penghadir ulang sebuah kenyataan yang ampuh. Fotografi disebut-sebut mempunyai kepekaan dalam merekam detail membuat manusia modern

mengagungkannya sebagai kemajuan manusia dalam merekam kenyataan yang ada, baik dari sejarah sampai dengan foto-foto yang sifatnya dokumentasi sampai dengan foto-foto yang bersifat komersial. Serbuan budaya populer membuat fotografi menggiring pada anggapan sebagai media penghadir kenyataan yang objektif. Dengan perkembangan masyarakat modern yang membutuhkah kecepatan dan ketepatan informasi membuat fotografi menjadi salah satu media yang paling handal. What is true of the pen is equally true of the camera.(Don Slater, 1999:289). Sebuah foto biasanya menggambarkan sebuah realitas yang sebenarnya kedalam bentuk gambar. Dan karena fungsi itulah, banyak masyarakat menggunakan foto kedalam berbagai aktivitas mereka sehari-hari. Sebagian besar masyarakat saat ini telah mengenal kamera dan foto dan menjadikannya sebagai satu kegiatan dalah kehidupan mereka masing-masing. Banyak masyarakat memanfaatkan fungsi kamera dan foto untuk mengabadikan atau merekam berbagai kegiatan dan momen-momen

17

penting mereka, mulai dari kelahiran, wisata, kegiatan rutinitas, ataupun saat menghabiskan waktu dengan keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa foto telah masuk kedalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Fotografi sudah menjadi bagian yang sangat penting bagi masyarakat. Penelitian yang diadakan di Inggris tentang jumlah orang yang mempunyai kamera bisa menjadi representasi bagi masyarakat di dunia. Ini menunjukan bagaimana kebudayaan visual dalam bidang fotografi membuat pola dalam perilaku masyarakat. Walaupun sebenarnya mereka hanya menggunakan fotografi sebagai keperluan dokumentasi, tetapi penelitian ini menunjukan bahwa foto dan fotografi sangat dekan dengan kehidupan masyarakat. Ada anggapan bahwa kepercayaan pada budaya visual yang berasal dari budaya lensa ini lahir pada abad ke -19 ketika kamera ditemukan. Saat Revolusi Industri dengan teknologinya tengah marak, tatanan masyarakat kapitalisme di Barat tentu mulai mengenal dan terpengaruh budaya baru ini. Tetapi anggapan tadi sesungguhnya terlalu sederhana. Sebab jauh sebelumnya, di tahun 1285, telah ditemukan kaca pembesar sederhana yang mengawali wawasan baru pada pandangan ilmuwan.1 Sekitar tahun 1550, Girolamo Cardano tercatat sebagai orang pertama yang memasang lensa yang memungkinkan adanya bukaan (aperture) pada camera obscura (kamera lubang jarum). Lensa dari kaca--berbentuk bikonveks seperti butir buah lentil (miju-miju), sebuah kata yang menyebabkan kita menyebutnya lensa--yang dipasang pada kotak kedap cahaya (kamera lubang jarum) telah menjadi alat bantu sangat penting bagi para pelukis di zaman itu. 2 Penggunaan fotografi dan media visual lainnya banyak digunakan untuk propaganda politik oleh berbagai pihak yang berebut pengaruh. Berbagai macam bentuk propaganda visual digunakan dalam kampanye pro demokrasi dan sosialis kiri melawan fasisme dan Nazi di Eropa. Propaganda visual itu dike mas dalam berbagai macam, baik secara artistik dengan menggunakan montase seperti John Heartfield
1 Lentil Soup: A Meditation on Lens Culture, dalam A. D. Coleman,Depth of Field: Essays on Photography, Mass Media and Lens Culture (Albuquerque, NM: University of New Mexico Press, 2000). Lihat juga Dimulai dari Mengintip: tentang Kronologi Teknologi Fotografi,Kompas, 25 Oktober 2002. 2 M. Firman Ichsan. Manusia Modern dan Citra Fotografis di Media Massa, sumber jurnalkalam.org/index-php/articles/view/57

18

atau Hanna Hoch maupun jurnalistik-dokumenter seperti Robert Capa, CartierBresson, Centelless, dan teman-temannya. Mereka membuat karya-karya foto yang membawa berbagai macam akibat, baik karena citra yang dirancang dengan penuh kesadaran maupun hal-hal yang terjadi di luar kehendak mereka. Sebuah foto dapat dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual berperan besar pada pembentukan opini publik. Sebuah propaganda dan komunikasi politik bahkan terkadang lebih memilih menggunakan media foto untuk disampaikan kepada target audiensnya. Hal tersebut disebabkan karena dihadirkannya kembali sebuah realitas kedalam suatu bentuk visual sangat berperan besar dalam pembentukan opini publik. Para fotografer jurnalistik maupun fotografer seni dalam dunia sosialis sangat meyakini bahwa fotografi dapat berperan dan bertanggung jawab dalam pembentukan masyarakat yang ideal. David Ogilvy, seorang tokoh besar di dunia periklanan, sejak awal 1940-an menyatakan bahwa untuk mempengaruhi masyarakat, lebih baik menggunakan foto daripada seribu sketsa gambar tangan. Meskipun itu kiri atau kanan, ideal atau komersial, dapat disadari foto memiliki daya pengaruh yang begitu besar untuk membentuk opini masyarakat. Menurut Susan Sontag (1999:87): Photography, which has so many narcissitic uses, is also a powerful instrument for depersonalizing our relation to the world; and the two uses are complementary.In the real world, something is happening and no one knows what is going to happen. In the image -world, it has happened, and it will forever happen in that way. Fotografi selain mempunyai kegunaan dalam kegiatan narsisme diri, fotografi juga mampu menjadi sebuah alat yang mengurangi karakter hubungan kita dengan lingkungan sosial, dan kedua peranan fotografi tersebut merupakan sesuatu yang saling melengkapi satu sama lain. Karena saat kita masuk kedalam dunia fotografi, hidup kita akan semakin terpisahkan dengan realitas yang sedang terjadi karena kita hanya melihat pada realitas yang terbentuk didalam sebuah gambar foto dan makna yang terdapat pada realitas dalam foto dan dunia nyata dapat dikatakan berbeda. Dalam dunia nyata, saat sebuah fenomena sedang berjalan, tak seorangpun tahu akan apa yang terjadi kedepannya atas fenomena tersebut. Sedangkan pada dunia gambar foto, realitas yang terdapat

19

didalamnya merupakan sebuah realitas yang telah terjadi sebelumnya dan akan selalu terjadi seperti yang terdapat pada gambar tersebut. Sebuah kisah menarik ketika Roland Barthes membawa skandal fotografis dalam peristiwa Komune Paris. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosoksosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah ideologi. Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah hidup mereka berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampi lkan mayat polisi bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang revolusioner itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayatmayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai. 3 Skandal fotografis Roland Barthes di Paris menunjukan fotografi dalam sebuah kebudayaan menunjukan nilai tersendiri yaitu free value. Free value merupakan sebuah nilai bebas atau mempunyai banyak arti. Nilai ini terlihat ketika pada saat foto bisa menunjukan arti dan makna yang berbeda bagi setiap orang yang melihatnya. Bagi kaum revolusioner Paris, foto yang diambil Rolan Barthes merupakan foto kejayaan dan kemenangan. Di lain pihak bagi kaum borjuis koservatif di Paris, foto yang diambil Barthes merupakan foto yang membuat mereka malu dan mereka melihat tokoh-tokoh di balik pemberontakan dari foto itu. Kebebasan dalam memaknai foto inilah akhirnya bisa menjadi kelemahan sebuah foto
3 Alex Supartono. Pengantar: Fotografi dan Budaya Visual, sumber: http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

20

saat orang tidak tahu bagaimana cara memaknainya dan jatuh ke tangan orang yang bertentangan opini. Baik atau buruknya makna yang dibawa oleh foto tergantung dengan kepentingan yang digunakan seseorang saat mempublikasikan foto tersebut. Di Indonesia keberadaan budaya visual sangat bisa dirasakan. Mulainya periode pemilu di tahun 2009 membuat banyak politisi dan partai-partai menggunakan media komunikasi visual untuk mempengaruhi masyrakat agar saat pemilihan nanti masyarakat memilih mereka. Media-media visual yang banyak dilatar belakangi foto-foto tokoh atau aktivitas-aktivitas yang pernah mereka lakukan membentuk opini tersendiri di masyarakat tentang pandangan calon pemimpinnya. Kesadaran akan sebuah kebudayaan visual di Indonesia membuat para pelaku marketing politik berlomba-lomba mencitrakan tokoh politik atau partai politik melalui visualisasi menggunakan media massa. budaya visual yang ada di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa lalu, di mana siswa -siswi di sekolah diperlihatkan foto-foto bung Karno dan bung Tomo pada masa perebutan kemerdekaan. Dengan adanya foto-foto tersebut akhirnya masyarakat dapat menyadari betapa berwibawanya para pemimpin-pemimpin kita pada masa perebutan kemerdekaan. Berkembangnya teknologi membuat media-media komunikasi yang ada dalam budaya visual menjadi berkembang dan sangat beragam. Di mulai dari media yang hanya mempunyai sisi visual saja seperti foto, sampai dengan media yang mempunyai sisi audio dan visual yang biasa disebut dengan film. Perbandingan kedua kekuatan media ini sangatlah menarik, karena foto hanya mempunyai kekuatan visual saja dibandingkan dengan film. Jika dibandingkan secara linear kekuatan foto memang kalah dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh film. Film dengan kekuatan audio visualnya lebih mudah mempengaruhi masyarakat. Kekuatan audio visualnya bisa membentuk atmosfer tersendiri di benak masyarakat dan makna yang disampaikannya menjadi lebih jelas, karena ada kekuatan audio dan visual. Kekuatan yang dimiliki oleh film memang menjadikan film lebih unggul dalam membentuk retorika di masyarakat. Akan tetapi, untuk memproduksi sebuah film haruslah dengan biaya yang sangat mahal dibanding memproduksi sebuah foto. Sifat-sifat yang dimiliki oleh film tidak se-fleksibel foto ketika ingin

21

mempublikasikannya.

Film

tidak

memiliki

sifat

spaceless,

karena

untuk

mempublikasikannya dibutuhkan peralatan khusus yang bisa menayangkannya. Walaupun sudah memasuki era multimedia, foto masih mempunyai ruang tersendiri dalam kebudayaan visual. Di mana foto dan film mempunyai dan bergerak di ruang masing-masing untuk mempengaruhi masyarakat. Kekuatan foto dalam kebudayaan visual dapat dibuktikan dengan banyaknya konsumsi masyarakat terhadap kamera foto. Dalam melihat hasil foto tidak dibutuhkan sebuah peralatan khusus, seperti saat masyarakat ingin melihat hasil yang diproduksi dari kamera video. Foto bisa dilihat setiap saat dan di mana saja. Ini yang menjadikan media komunikasi yang disebut dengan foto ini mempunyai sifat timeless. Foto merupakan media komunikasi yang tidak akan lekang oleh waktu, karena tidak membutuhkan perawatan yang khusus untuk menyimpan dokumendokumen yang berbentuk foto. Sifat foto yang sangat fleksible membuat media ini banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu di media massa. Pada abad ke-19 para ilmuwan mengira bahwa apa yang ditangkap pancaindra kita sebagai sesuatu yang nyata dan akurat. Para psikolog menyebut mata sebagai kamera dan retina sebagai film yang merekam pola-pola cahaya yang jatuh di atasnya. Para ilmuan modern menantang asusmsi itu: kebanyakan percaya bahwa apa yang kita amati dipengaruhi sebagian oleh citra retina mata dan teru tama kondisi pikiran pengamat (Zannes, 1982:27). Oleh karena itu gambar-gambar dalam media visual tersebut mengkonstruksi pikiran manusia melalui suatu proses aktif dan kreatif yang biasa disebut presepsi. Presepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku kita (Baron, Paulus, 1991:34). Pada akhirnya kebudayaan visual melalui pencitraan fotografis mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan kebudayaan visual manusia dalam kerangka pembentukan realitas dalam opini masyarakat. Sebuah realitas dapat dikonstruksikan melalui sebuah media foto. Dimana didalamnya berbagai unsur visual disusun, mulai dari komposisi warna, pose, angle, set background, untuk menyusun sebuah pesan komunikasi yang ditujukan untuk

22

membuat pesan yang mampu membentuk opini masyarakat terhadap objek yang terdapat dalam foto tersebut. Sebuah foto merupakan bentuk an institutional activity yang berkaitan erat dengan aktivitas sosial, yaitu sebuah hubungan dengan realitas dan berada dalam kondisi kultural dan mempunyai fungsi untuk mengintegrasikan manusia (Barthes, 1977:31). Dalam bahasa lain, sebuah foto merupakan

representational realism, merepresentasikan kenyataan sosial untuk dihadirkan ke dalam publik (Slater dalam Jenk, Ed, 1995:222). Foto sebagai sebuah media komunikasi visual juga mempunyai the function of art, seperti dikemukakan oleh Alan Gowans dalam buku The Unchanging Art: New Form for the traditional function of Art in Society, yang mengatakan bahwa sebuah karya seni harus selalu menunjukan empat unsur, yaitu; realitas kedua; pengilustrasian; persuasif; dan pengindahan. Slater (Jenk-ed, 1995:223) menempatkan foto pada tiga realitas yang disebutnya sebagai trivial realism yang meliputi: 1) Representational Realism, yang memaparkan kenyataan realis yang

dijabarkan pada kode-kode representasi realistis yang dimuat di berbagai media. 2) Ontological atau Existential Realism, yang menyatakan bahwa eksistensi sebuah gambar dalam sebuah foto tergantung pada eksistensi realitas obyek dalam dunianya. 3) Mechanical Realism, bahwa teknologi fotografi telah membawa modernitas ke dalam bentuk representasi. Ketiga realitas ini menempatkan sebuah foto sebagai gambar yang berinteraksi dan memunculkan penafsiran secara kontekstual, karena foto juga tidak sekedar gambar yang mewakili realitas sosialnya. Milgram, seorang psikologi sosial, berpendapat bahwa sebuah foto tidak hanya merefleksikan realitas tetapi juga memberikan efek pada sebuah realitas, (society, November/December 1976:12): The official photograph is not only a reflection of the political reality, but itself solidifies that reality and becomes an element in it... Sebuah foto dapat dikatakan sebagai suatu hasil gambar yang yang merepresentasikan keadaan realitas disekitar kita, karena sebuah foto dapat

23

menghasilkan gambar tentang apa yang terdapat dan terjadi pada lingkungan sekitar kita secara real. Bahkan sebuah foto juga tidak hanya merefleksikan tentang realitas politik saja, tetapi sebuah foto tersebut dapat juga menjadikan sebuah realitas sebagai bagian dari gambar foto dan menjadi salah satu elemen didalam foto. Jadi sebuah foto itu tidak selamanya berperan sebagai cermin kenyataan, tetapi dalam sebuah foto kita bisa membuat sebuah konstruksi realitas seperti yang di inginkan oleh si pembuat foto tersebut. Perkembangan fotografi digital membuat perubahan drastis tentang makna sebuah foto karena realitas dari sebuah foto bisa dikonstruksikan dengan apa yang akan dibuat dalam sebuah foto itu sendiri. b. Pencitraan karakter tokoh politik melalui personal branding Dwijowijoto (2004:16), menyatakan dalam dunia politik dikenal sebuah ungkapan politics is about image and image is reality. Akhirnya citra menjadi sebuah faktor penentu daripada kenyataan itu sendiri. Citra kandidat yang ditunjukan oleh tokoh politik tersebut biasa disebut dengan personal brand. Personal brand merupakan identitas pribadi yang mampu menciptakan sebuah respon emosional terhadap orang lain mengenai kualitas dan nil ai yang dimiliki orang tersebut. Untuk mendapatkan personal brand yang impresif, dibutuhkan strategi personal branding yang kuat. Menurut Peter Montoya, personal branding adalah sebuah proses yang melibatkan kemampuan, personalitas, dan karakter unik seseorang dan mengemas mereka ke dalam sebuah identitas yang kuat yang mengangkat seseorang yang bersangkutan ke atas dan menjadi sosok yang dipandang atau diperhatikan oleh publik. Tarsihekaputra, menyebutkan personal branding yang dilakukan di dalam dunia politik adalah sebuah proses yang akan membawa karakteristik unik, kepribadian, dan keterampilan seseorang kandidat, dan kemudian membungkusnya menjadi identitas yang memiliki kekuatan dan lebih menonjol dibanding dengan kandidat lainnya. Dengan mengutip pandangan Montoya, Yuswohady mengartikan personal branding sebagai suatu cara tentang bagaimana supaya anda dipersepsi. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau memilih seorang kandidat melalui pengemasan citra dan

24

popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk tampil sebagai pemenang dalam persaingan kursi politik pun semakin besar. Rick Haskins, Multichannel News, mengungkapkan membangun personal brand bisa menjadi kunci untuk memenangkan sebuah kompetisi. Karena personal brand menyajikan suatu jalan pintas untuk menyampaikan kemampuan seseorang dengan gaya anda sendiri. Apakah seorang koordinator yang sedang mencari tanggung jawab di pekerjaan anda saat ini atau seorang eksekutif kelas menengah yang memiliki tujuan untuk menjabat sebagai direktur. Branding memberikan cara yang sangat efektif untuk memperlihatkan siapa anda sebenarnya kepada konsumen sangat cepat dan efisien. Membangun personal brand menjadi sebuah cara yang efektif, dan cara ini telah dilakukan oleh berbagai tokoh baik di bidang politik, ekonomi dan bahkan selebritis. Menurut Peter Montoya, terdapat delapan hukum dalam personal branding yang disebut sebagai The Eight Laws of Personal branding. Hukum-hukum tersebut antara lain: 1) The Law of Specialization (Hukum Spesialisasi). Sebuah personal brand yang baik harus spesifik, terkonsentrasi pada sebuah kekuatan pusat, talenta atau prestasi. 2) The Law of Leadership (Hukum Kepemimpinan). Menyediakan sebuah personal brand yang memiliki kekuasaan dan kredibilitas, seseorang akan dianggap sebagai pemimpin bagi orang-orang dibidangnya ataupun area yang terpengaruh olehnya. Kepemimpinan berpijak pada kemampuan, posisi dan keterkenalan. 3) The Law of Personality (Hukum Kepribadian). Sebuah personal brand yang baik harus dibangun di atas sebuah pondasi dari sumber kepribadian yang jujur, kelebihan dan kekurangannya. Sesuai dengan hukum kepemimpinan; youve got to be good, but you dont have to be perfect. 4) The Law of Distinctiveness (Hukum Diferensiasi). Sebuah personal brand yang efektif harus diekspresikan secara berbeda dari kompetitornya. Beberapa marketer membangun jalan tengah bagi brand yang tidak merugikan semua

25

orang. Tetapi rute ini merupakan rute yang menuju kegagalan, karena brand mereka akan tetap tak terdengar diantara ramainya pasar. 5) The Law of Visibility (Hukum Keterlihatan). Agar sukses, personal brand harus ditinjau setiap saat, sampai membangkitkan kesadaran pada area yang mereka pengaruhi. 6) The Law of Unity (Hukum Kesatuan). Pribadi individu dibalik personal brand harus mendukung moral dan kode tingkah laku yang ditancapkan oleh brand tesebut. 7) The Law of Persistence (Hukum Kesinambungan). Beberapa personal brand membutuhkan waktu untuk tumbuh, dan ketika mempercepat prosesnya, Anda tidak dapat menggantinya dengan iklan atau publik relations. Tetaplah bersama personal brand Anda, tanpa merubahnya, jangan bimbang dan bersabarlah. 8) The Law of Goodwill (Hukum Niat Baik). Sebuah personal brand akan menghasilkan sebuah hasil yang lebih baik dan lebih bertahan lama apabila seseorang dibaliknya dikenal secara baik. Ia harus diasosiasikan dengan sebuah nilai atau gagasan yang dikenalkan secara menyeluruh sebagai suatu hal yang positif dan berharga untuk dinantikan. Kedelapan hukum personal branding yang dikemukakan oleh Montoya tersebut merupakan poin-poin penting dari kekuatan sebuah personal branding. Membangun personal branding dalam kampanye pemilu diperlukan medium penyampaian pesan agar personal branding yang dibangun bisa mendapatkan impresi di masyarakat. Medium-medium penyampaian pesan tersebut berupa aktifitas public relation, media massa, internet, dan advertising. Karena tanpa adanya medium penyampaian pesan tersebut sebuah personal branding yang dibangun akan tidak berarti karena tidak dapat dilihat oleh masyarakat yang menjadi target pemilihnya. Dwidjowijoto (2004:62) menyatakan bahwa dalam proses pencitraan, media komunikasi massa mengambil peran terbesar. Karena media massa merupakan vehicle yang paling efektif untuk mengkomunikasikan informasi kepada calon

26

pemilih. Menurut Rakhmat (2001: 224-227) peranan media (massa) dalam pembentukan citra adalah: 1) Menampilkan realitas kedua. Informasi atau realitas yang ditampilkan media massa pada dasarnya sudah diseleksi oleh lembaga media yang bersangkutan sehingga menghasilkan realitas kedua. Hali ini mengakibatkan khalayak membentuk citra tentang lingkungannya berdasar realitas kedua yang ditampilkan massa. 2) Memberikan status. Di sisi lain, media juga memberikan status (status conferral). Seseorang atau kelompok bisa mendadak terkenal karena diliput secara besar-besaran oleh media. Sebaliknya orang terkenal mulai terlupakan karena tidak pernah diliput media. 3) Menciptakan stereotip. Adanya proses seleksi informasi dalam media, maka media massa turut mempengaruhi pembentukan citra yang bias dan tidak cermat sehingga menimbulkan stereotip. Secara singkat stereotip diartikan sebagai gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Pengaruh media juga tidak berhenti sampai pada pembentukan citra saja, tetapi juga sampai pada mempertahankan citra yang sudah dimiliki khalayaknya. Media massa mencerminkan citra khalayak dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa (Rakhmat: 2001: 227). Selain itu, media massa sudah menjadi bagian dari kehidupan pribadi dan orang banyak. Hampir semua kegiatan dalam keseharian masyarakat melibatkan media massa. Sehingga hubungan baik dengan media massa menjadi salah satu roh penting dalam kegiatan kampanye untuk membangun personal branding. 4. Pembentukan konsep personal branding dari seorang tokoh politik melalui foto. Sebuah elemen dalam pembentukan konsep personal branding dari seorang tokoh politik merupakan unsur yang akan digunakan dalam produksi pesan politik melalui media visual (foto). Elemen tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai

27

dasar dalam konstruksi pesan visual melalui foto, yang akan digunakan sebagai strategi pencitraan seorang tokoh melalui personal branding untuk membentuk opini publik. Elemen-elemen tersebut akan digunakan sebagai dasar dalam pembentukan karakter politik yang ingin dibangun, sehingga karakter tersebut mempengaruhi cara pandang masyarakat kepada seorang tokoh politik, dan pada akhirnya menghasilkan sebuah dukungan politik terhadap tokoh politik tersebut dari masyarakat. Di dalam pembentukan sebuah konsep personal branding dari seorang tokoh politik, biasanya tim sukses dari tokoh politik tersebut bekerjasama dengan rumah fotografi dalam perumusan dan eksekusi pesan politik melalui media foto. Tim sukses tersebut lalu memberikan tujuan-tujuan komunikasi politik kepada rumah fotografi tersebut, yang selanjutnya oleh fotografer dieksekusi menjadi sebuah foto yang mampu memberikan komunikasi politik sesuai strategi yang telah disusun oleh tim sukses dari tokoh politik tersebut. Elemen-elemen yang dapat digunakan sebagai dasar kegiatan personal branding tersebut, terdiri dari dua bidang pengetahuan, yaitu dari bidang sosiologis dan psikologis. Kedua bidang pengetahuan tersebut merupakan bidang yang dianggap dapat menganalisa data-data mengenai karakter dari seorang tokoh politik tersebut. Bidang sosiologi dipilih karena sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Analisa dari bidang ini nantinya akan digunakan untuk mengetahui bagaimanakah permasalahan dan permintaan masyarakat dengan kesesuaian personal branding yang akan dimunculkan. Selain itu, bidang ini juga melihat potensi daerah yang ada di daerah pemilihan dari tokoh politik tersebut. Sedangkan untuk bidang psikologis, bidang tersebut digunakan untuk mempelajari sisi historis dari seorang tokoh politik yang akan dicitrakan melalui personal branding. Sisi historis tersebut selanjutnya dipelajari oleh rumah fotografi untuk mengetahui karakter sosok bagaimana yang cocok dan sesuai dengan tokoh politik tersebut. Selain itu, bidang psikologis juga digunakan untuk memperkuat karakter yang akan dimunculkan dalam pembentukan konsep personal branding dari seorang tokoh politik tersebut. masing-masing kedua bidang tersebut selanjutnya ditangani oleh dua tim khusus dari rumah fotografi yang memang ahli dalam kedua bidang tersebut, dalam bentuk riset dan data yang akan digunakan sebagai dasar konsep

28

personal branding. Kedua tim tersebut kemudian menganalisa kebutuhan-kebutuhan yang akan digunakan untuk membentuk konsep personal branding dari seorang tokoh politik. Hasil analisa tersebut selanjutnya akan diwujudkan kedalam interpretasi sosiologis dan psikologis. Sebuah riset lainnya juga diperlukan untuk menyusun materi dalam memunculkan karakter yang positif dari seorang tokoh politik di mata masyarakat. Meteri konsep visual tersebut merupakan materi yang akan digunakan dalam kegiatan kampanye dari tokoh politik tersebut, terutama dalam kegiatan personal branding. Sebuah pengamatan dari sisi geografis dan demografis juga diperlukan untuk mengetahui bagaimana kondisi wilayah, kebutuhan, dan

karakteristik masyarakat dari daerah pemilihan yang menjadi sasaran kampanye dari seorang tokoh politik. Riet-riset dari berbagai bidang tersebut selanjutnya akan dibreakdown menjadi sosok-sosok dan karakteristik yang akan dimunculkan dalam kampanye visual untuk membentuk sebuah citra positif dalam masyarakat sebagai bagian dari strategi kampanye tokoh politik tersebut. Proses penelitian ini dilakukan oleh sebuah rumah fotografi untuk bisa memaksimalkan strategi kampanye menggunakan media visual (foto) dari seorang tokoh politik. Dalam pelaksanaannya, tim dari rumah fotografi tersebut bekerja sama dengan tim sukses untuk mengakses data-data mengenai tokoh politik tersebut. Berdasarkan pada data-data yang diperoleh, selanjutnya diteliti lebih mendetail untuk mendapatkan profil sosiologis dan profil psikologis. Selain bekerja sama dengan tim sukses dari tokoh politik, tim dari rumah fotografi tersebut juga melakukan wawancara dengan tokoh politik tersebut sebagai sinkronisasi informasi yang mereka dapatkan dari tim sukses dan untukmendapatkan informasi yang tidak bisa didapatkan dari tim sukses. Beberapa elemen yang dapat digunakan sebagai materi dalam penyusunan konsep pencitraan personal branding dari seorang tokoh politik antara lain; 1) Interpretasi Psikologis Tim psikologi menganalisa karakter dari seorang tokoh politik dengan beberapa metode, diantaranya:

29

a) Pendekatan historis (historical approach) Penelitian ini dilakukan untuk melihat sosok dari seorang tokoh politik dalam perjalanan hidupnya. Dengan melihat profil historis tersebut, tim psikologi dari sebuah rumah fotografi dapat menyimpulkan sosok dari tokoh politik tersebut melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan selama perjalanan hidupnya. b) Mempelajari Curriculum Vitae (CV) Curriculum Vitae dipelajari untuk mengetahui pengalaman-

pengalamandari seorang tokoh politik

dalam hidupnya. Dalam

Curriculum Vitae ini juga bisa terlihat sejauh mana tingkat pendidikan dari seseorang tokoh politik. Dengan melihat curriculum vitae ini tim psikologis bisa menyimpulkan sosok yang dilihat dari tingkat

pengetahuan yang diperoleh melalui institusi formal. c) Melakukan interview Interview ini dilakukan untuk melakukan sinkronisasi hasil yang diteliti melalui Curriculum Vitae dan profil historis dari seorang tokoh politik. Selain itu dalam interview tersebut, tim psikologis dapat mencari tahu lebih jauh mengenai karakter seorang tokoh politik yang tidak dapat mereka dapatkan dari kedua data di atas. Ketiga metode di atas kemudian akan didapatkan beberapa hasil pengamatan yang akan digunakan untuk membangun personal branding seorang tokoh politi. Hasil pengamatan tersebut terdiri dari variabel-variabel yang akan dikaitkan dengan karakter politik dalam membentuk konsep personal branding dari seorang tokoh politik tersebut. 2) Interpretasi sosiologis Tim sosiologis dari sebuah rumah fotografi melakukan riset dan menganalisi karakter dari seorang tokoh politik dengan melakukan beberapa pemetaan secara sosiologis dari tokoh politik tersebut, antara lain: a) Curriculum Vitae yang dimiliki oleh tokoh politik yang dicitrakan melalui personal branding,

30

b) Program kampanye yang dibuat oleh tim sukses dari seorang tokoh politik, c) Kekuatan jaringan yang dibentuk oleh team sukses, d) Profil team sukses itu sendiri, e) Visi dan misi dan tujuan-tujuan, dari partai yang menaungi seorang tokoh politik. Setelah melakukan pemetaan secara sosiologis, kemudian tim sosiologi dari rumah fotografi tersebut melakukan pemetaan daerah pilihan dari seorang tokoh politik tersebut. Pemetaan ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu melihat geografis dan demografis dari wilayah lokasi daerah pilihan tersebut. Analisa yang dilakukan secara georafis tersebut meliputi profil-profil wilayah dari daerah pemilihan untuk melihat gambaran secara umum secara geografis dan demografis. Selain itu analisa yang dilakukan juga melihat permasalahan -permasalahan yang ada dari daerah tersebut dan potensi-potensi secara geografis yang bisa di unggulkan dari setiap daerah-daerahnya tersebut. Pemetaan demografis juga dilakukan untuk membuat materi kampanye yang akan dieksekusi kedalam materi visual. Pemetaan demografis tersebut dilakukan dengan menganalisa beberapa unsur, yaitu; 1) Dinamika masyarakat, 2) Dinamika kebudayaan, 3) Struktur sosial dan konsekuensi, 4) Mobilitas sosial budaya, 5) Tuntutan dan kebutuhan saat ini, 6) Konsep legislatif harapan masyarakat, 7) Kompetitor dari tokoh politik yang dicitrakan. Kemudian dari pemetaan secara demografis tersebut dapat dibuat sebuah profil masyarakat yang ada di daerah pemilihan tersebut. Profil tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai materi kampanye sebagai sebuah peluang yang akan dimanfaatkan kedalam pesan visual melalui foto, terutama untuk mencitrakan karakter tokoh politik yang akan memberikan sebuah solusi atas permasalahanpermasalahan di daerah-daerah kampanyenya tersebut. Strategi personal branding

31

tersebut akan dilakukan dengan mengkombinasikan dengan adanya kerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat yang terdapat di daerah-daerah kampanye dari tokoh politik tersebut. Setelah berbagai data riset mengenai bidang psikologis-sosiologis dari seorang tokoh politik, yang kemudian digabungkan dengan riset mengenai keadaan geografis-demografis dari daerah-daerah kampanye atau pemilihan dari tokoh politik tersebut, sebuah konsep visual lalu dieksekusi dalam bentuk script untuk digunakan sebagai dasar pengambilan foto dari seorang tokoh politik sebagai kegiatan personal branding. Script tersebut merupakan sebuah naskah atau strategi mengenai pencitraan dari seorang tokoh politik di mata masyarakat di daerah-daerah kampanyenya. Naskah tersebut selanjutnya dieksekusi kedalam bentuk-bentuk foto yang akan memunculkan citra dari seorang tokoh politik, terutama menyangkut sebagai solusi atas berbagai permasalahan dari masyarakat yang terdapat di daerah -daerah kampanyenya. Personal branding yang dilakukan menggunakan media foto tersebut dilakukan dengan pengambilan foto-foto dari seorang tokoh politik di setiap daerahdaerah kampanyenya, dengan melibatkan masyarakat dan juga berbagai permasalahan yang terdapat di wilayah tersebut. Foto-foto tersebut dieksekusi dengan membawa pesan komunikasi politik, bahwa tokoh politik tersebut akan membawa masyarakat ke kehidupan yang lebih baik dengan memberikan berbagai solusi atas permasalahanpermasalahan yang dialami oleh masyarakat tersebut. Sehingga masyarakat saat melihat foto tersebut akan merasa simpati, dan didalam pemikirannya akan muncul awareness dan juga interest terhadap tokoh politik tersebut, dan selanjutnya akan memilih tokoh politik tersebut saat pemungutan suara berlangsung. Setelah beberapa foto sebagai kegian personal branding telah dieksekusi, langkah selanjutnya adalah pemanfaatan media massa untuk menyebarkan pesan komunikasi politik dari seorang tokoh politik tersebut dalam fotonya. Foto-foto sebagai bentuk strategi personal branding tersebut dimunculkan kedalam media masa untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas dan serentak, sehingga pesan komunikasi politik yang disampaikan melalui foto-foto tersebut dapat diterima oleh

32

masyarakat sebagai target kampanye dari seorang tokoh politik yang dicitrakan tersebut. Bersamaan dengan pemunculan foto dalam media massa tersebut, sebuah penjelasan mengenai karakter dari tokoh politik tersebut dan juga visi -misinya akan menjadi sebuah kombinasi yang cukup efektif dalam menggiring opini publik terhadap citra dari seorang tokoh politik. Pada akhirnya, sebuah efek positif atas strategi kampanye dalam bentuk personal branding melalui medi afoto tersebut akan menghasilkan dukungan-dukungan atas seorang tokoh politik yang dicitrakan tersebut.

33

PENUTUP

Media massa mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembentukan opini publik masyarakan di dunia politik. Sebuah media massa mampu memberikan berbagai informasi-informasi yang cenderung mempunyai kesempatan yang cukup besar untuk diperacaya oleh masyarakat. Melalui informasi didalamnya, baik dalam bentuk teks ataupun visual, media massa mampu mengkonstruksi sebuah realitas berdasarkan atas fenomena yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat. Realitas yang dikonstruksi oleh media massa tersebut selanjutnya akan mempengaruhi pemikiran masyarakat, dan didalamnya akan membentuk sebuah realitas yang akan dipercayai oleh seorang individu berdasarkan apa yang dia lihat dari media massa. Dengan melihat kepada kekuatan dari media massa dalam mempengaruhi opini masyarakat tersebut, saat ini banyak para pelaku politik yang memanfaatkan media massa dalam melakukan komunikasi politik kepada target masyarakat dalam masamasa kegiatan kampanyenya. Media dan politik saat ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dunia politik membutuhkan media massa untuk melakukan kegiatan komunikasi politik, terutama yang ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan komunikasi politik tersebut dilakukan untuk membentuk sebuah opini publik yang positif dari seorang tokoh politik yang mencalonkan diri dalam perebutan kekuasaan politik. Opini publik yang positif tersebut diharapkan akan menghasilkan sebuah rasa simpati dan juga bentuk dukungan politik dari masyarakat kepada kandidat tokoh politik tersebut. Salah satu strategi untuk mendapatkan opini positif tersebut adalah dengan membuat pencitraan diri (self image) yang positif di dunia politik kepada masyarakat. Pencitraan atas seorang tokoh politik tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi komunikasi politik yang merupakan bagian dari kegaitan kampanyenya. Pencitraan tersebut dilakukan dengan menonjolkan dan memunculkan sosok karakter politik yang didambakan oleh masyarakat. Sehingga, dengan adanya pencitraan tersebut,

34

masyarakat akan terpersuasi dan akhirnya memilih kandidat tokoh politik tersebut sebagai pemimpin mereka. Salah satu bentuk pencitraan dari tokoh politik tersebut dapat dilakukan dengan teknik personal branding melalui media foto. Sebuah foto termasuk kedalam salah satu media komunikasi yang menyampaikan pesan secara simbolik. Pesan komunikasi tersebut disampaikan melalui unsur visual. Foto menjadi media komunikasi politik yang efektif, karena foto mempunyai fungsi yang sangat luas. Selain sebagai sebuah karya seni, foto juga bisa menyampaikan pesan-pesan yang diinginkan oleh para calon legislatif. Pesan-pesan tersebut biasanya disampaikan melalui personal branding yang dibalut dalam kemasan visual foto. Dimana sebuah foto digunakan dalam dasar personal branding, karena sebuah foto dapat menciptakan realitas tersendiri yang dapat mempengaruhi opini dalam masyarakat. Selain itu, sebuah foto memiliki kekuatan gambar yang bisa berinteraksi dan bisa memunculkan penafsiran secara kontekstual bagi yang melihat gambar tersebut. Foto bisa membuat sebuah konstruksi realitas seperti yang diinginkan oleh sang fotografer dan selain itu foto juga bisa merealisasikan sudut pandang seseorang tentang sebuah realitas. Foto sebagai alat untuk personal branding dapat merangkum ketentuanketentuan yang harus dimiliki personal branding untuk menjadi sebuah personal branding yang baik. Foto sebagai alat personal branding bisa memperlihatkan kredibilitas seseorang dan kekuatannya untuk dilihat banyak orang. Dengan menggunakan foto, seorang tokoh yang berkampanye dapat memperlihatkan personal brand dia di hadapan masyarakat yang akan menjadi vote gathers-nya. Di sisi lain foto juga bisa memperlihatkan kegiatan yang dilakukan oleh tokoh tersebut untuk menunjukan diferensiasi personal brand nya dari kompetitor-kompetitor politiknya. Jadi sebuah foto sebagai alat untuk melakukan personal branding bisa

menyampaikan pesan tentang personal brand yang sedang dibangun tanpa menghilangkan fungsi seninya, yaitu sebuah karya seni yang selalu menunjukan realita, pengilstrasian, pengindahan, dan persuasif.

35

Kegiatan personal branding dari seorang tokoh politik dilakukan dengan mempertimbangkan dua aspek, yaitu aspek yang terdapat dalam karakter seorang tokoh politik dan aspek yang terdapat dalam wilayah target kampanye dari seseorang sebagai kandidat politik tersebut. Kedua aspek tersebut dapat dibagi lagi menjadi empat bidang, yaitu bidang psikologis dan sosiologis (karakter tokoh politik yang dicitrakan) dan bidang geografis dan demografis (keadaan wilayah sebagai target kampanye). Keempat bidang tersebut selanjutnya disusun untuk merumuskan sebuah strategi pencitraan melalui konsep personal branding yang dilakukan menggunakan media foto. Hasil pencitraan selanjutnya merupakan pemunculan karakter politik dari seorang tokoh politik yang diidamkan oleh masyarakat luas dan mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Adanya pencitraan tersebut selanjutnya menimbulkan sebuah awareness dan interest, sehingga pada akhirnya menghasilkan dukungan dari masyarakat terhadap seorang tokoh politik yang dicitrakan tersebut. Jadi, sebenarnya sebuah foto bisa mempresentasikan seorang tokoh dengan baik ketika digunakan sebagai alat personal branding, terutama sebagai strategi untuk menggiring opini publik terhadap seseorang sebagai kandidat politik.

36

DAFTAR PUSTAKA:

Al Ries and Ries, Laura. 2002. 22 Immutable Laws of Branding. Harper Collins Publishers. Ardianto, E. dan Komala, L. 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. Barthes, Roland. 1977. The Photographic Message. Image, Music, Text. New York: Hill and Wang. _____________.1981. Camera Lucida: Reflection on Photography. New York: Hill And Wang. Berger, Arthur A. 2008. Seeing is Believing: an Introduction to Visual Communication. San Fransisco: San Fransisco State University. Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, Dan Strategi. Jakarta: Rajawali Pers. Churchill, Gilbert A, Jr and J. Paul Peter. 1995. Marketing: Creating Value for Customer. Austen Press. Clifton, Rita., et al. 2003. Brands and Branding. London: Profile Books Ltd. Devine, P. G., & Hirt, E. R. (1989). Understanding Message Campaigns: A Social Psychological Analysis. Dalam C. Salmon (Ed.), Information Campaigns: Managing The Process Of Social Change. Review. Dwijowijoto, Riant N. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi (Cetakan Kedua). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sage Publications, Annual

37

Jefkins, Frank. 2004. Public Relations. Jakarta: Erlangga. Liliweri, Alo. 2007 Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. LittleJohn, Stephen W. 2002. Theories Of Human Communication. New Mexico: Wadsworth Group. Malik, Dedy Djamaluddin. 1999. Media Massa dan Krisis Komunikasi Politik. Dalam Novel Ali. 1999. Peradaban Komunikasi Politik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Erlangga Miller, Katherine. Communication Theories. Boston. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2002. Mulyana, Dedy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nimmo, Dan. 2000. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Obrien, Tim. 2007. The Power of Personal branding. Los Angeles. Mendham Publishing. Peter L. Berger and Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise its the Sociology of Knowledge. Garden City, New York: Anchor Books. Prawito. 2009. Komunikasi Politik-Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. Rivers, William L, Jay WJensen dan Theodore Peterson. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soemirat, Soleh, dan Elvinaro Ardianto. 2007. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaludin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

38

Rogers, E. M. & Storey, J. D. 1987. Communication Campaigns. Dalam C. Berger and S. Chaffee (Eds.) Handbook of Communication Science. Newbury Park, CA: Sage. Soemirat, S dan Ardianto, Elvinaro. 2002. Dasar-Dasar Public Relations, Cetakan Pertama. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Sumarno, AP. 1993. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti. Slater, Don. 1995. Photography and Modern Vision; The Spectacle of Natural Magic. Visual Culture. Chris Jenks, ed. London: Routledge.

Referensi Lain: Lentil Soup: A Meditation on Lens Culture, dalam A. D. Coleman, Depth of Field: Essays on Photography, Mass Media and Lens Culture (Albuquerque, NM: University of New Mexico Press, 2000). Lihat juga Dimulai dari Mengintip: tentang Kronologi Teknologi Fotografi, Kompas, 25 Oktober 2002. M. Firman Ichsan. Manusia Modern dan Citra Fotografis di Media Massa, sumber jurnalkalam.org/index-php/articles/view/57 Alex Supartono. Pengantar: Fotografi dan Budaya Visual, sumber:

http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

39

You might also like