You are on page 1of 11

Incinerator, berkah atau bencana ?

Sunardi Incinerator solusi untuk menyelesaikan masalah sampah ? BERKAH ATAU BENCANA ? Permasalahan sampah di DKI Jakarta sangatlah pelik, dari mulai mencari lokasi penimbunan yang selalu menimbulkan gejolak penolakan masyarakat disekitarnya, sampai mencari solusi penanganan/ pemusnahan yang penuh intrik dan kepentingan bisnis berbagai pihak. Sehingga Gubernur Sutiyoso pun dibuat pusing olehnya, melebihi pusingnya menghadapi para demonstran yang menentang pengangkatannya dulu. Masalah sampah tidak dapat dibiarkan begitu saja, seperti menghadapi demostran didiamkan akan hilang sendirinya seiring berjalannya waktu. Sampah semakin dibiarkan akan semakin menumpuk, menunda membersihkannya berarti semakin menumpuk permasalahan yang akan ditimbulkannya. Walaupun demikian pelik, tetapi memusnahkan sampah dengan membakar menggunakan incinarator bukanlah solusi yang tepat, bahkan sangat membahayakan kelangsungan kehidupan. Banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh incinerasi sampah dibandingkan manfaat yang dihasilkannya. Memang secara kasat mata volume reduksi yang dihasilkannya sangat menjanjikan, dari segunung sampah padat dapat menjadi hanya beberapa karung abu. Tetapi ada hal yang tidak kasat mata dan dapat dibuktikan secara kimiawi dihasilkan pada proses pembakaran sampah. Banyak senyawaan kimia sangat beracun terbentuk pada proses pembakaran sampah yang tidak terkontrol, apalagi jika sampah yang dibakar adalah sampah yang heterogen, belum lagi ditinjau dari segi ekonomi dan dampak sosialnya. Tulisan ini akan mengupas sedikit tentang dampak pembakaran sampah dengan incinerator, sehingga masyarakat umum dapat memahami. Terutama para pengambil kebijakan dalam persampahan, dapat bersikap lebih arif dan berfikir berulang kali, sebelum memutuskan untuk mengolah sampah padat dengan membakar menggunakan incinerator. Hal yang perlu menjadi suatu pertimbangan sangat penting dalam incenerasi sampah ialah, tentang polutan yang dilepaskan ke udara atau media lainnya, biaya yang diperlukan dan tenaga kerja yang tersingkirkan serta hilangnya energi pada proses incinerasi. Banyak polutan yang dihasilkan pada incinerasi sampah, apalagi sifat sampah domestik (sampah rumah tangga dan pasar) yang

heterogen. Segala macam benda ada didalamnya, sisa makanan, sisa sayuran dan buah-buahan, bekas pembungkus (kaleng, karton dan plastik), kayu, logam, batu, gelas dan lain-lainnya. Sampah yang heterogen ini jika langsung di incinerasi tanpa dilakukan pemilahan sebelumnya maka hasilnya sangatlah berbahaya. Sampah basah, sisa makanan, buah-buahan dan sayuran jika akan diincinerasi memerlukan energi yang sangat besar untuk mngeringkannya sebelum dapat terbakar. Sedangkan material sampah yang berupa logam, batu, tanah dan gelas tidak dapat terbakar, material ini hanya akan menggangu proses pembakaran dan memboroskan energi.

Dioksin dan Furan. Hasil emisi yang paling berbahaya pada pembakaran sampah heterogen ialah terbentuknya senyawa dioksin dan furan. Dioksin dan furan adalah sekelompok bahan kimia yang tidak berwarna dan tidak berbau. Dalam molekulnya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan klor. Dioksin terdiri dari 75 senyawaan kimia yang dibedakan oleh posisi dan jumlah atom klornya, sedangkan furan terdiri dari 135 senyawaan. Dioksin dilingkungan dapat bertahan dengan waktu paro (waktu yang diperlukan sehingga jumlahnya tinggal separonya) sekitar tiga tahun, tetapi akibat yang telah ditunjukkannya karena masuknya dioksin dalam rantai makanan sangat mengerikan. Pengaruh dioksin pada manusia telah banyak menjadi perbincangan dalam dua dekade terakhir, bukan karena kesabilan dari dioksin tetapi disebabkan karena dioxin itu adalah suatu racun yang sangat kuat. Dioksin saat ini dipercaya sebagai senyawa yang paling beracun yang pernah ditemukan manusia, karena dapat menyebabkan kerusakan organ secara luas misalnya, gangguan fungsi hati, jantung, paru, ginjal serta mengganggu fungsi metabolisme dan menyebabkan kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Pada percobaan terhadap binatang di laboratorium, dioksin menunjukkan carcinogenic (penyebab cancer ), teratogenic (penyebab kelahiran cacat) dan mutagenic (penyebab kerusakan genetic). Dari seluruh golongan senyawa dioksin yang paling beracun ialah senyawa 2,3,7,8-Tetra-Chloro-Dibenzo-para-Dioxin atau disingkat 2,3,7,8-TCDD yang menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai nilai tingkat bahaya racun (TEF/Toxic Equivalency Factors) adalah 1 (satu) dan ini merupakan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan Strychnine (racun tikus) hanya 1/2000 dan Sianida (banyak digunakan untuk meracuni ikan) yang hanya 1/150.000.

Gambar 1: Rumus molekul Dioksin dan Furan. Kejadian masa lalu yang menyebabkan manusia terpapar oleh dioksin adalah kasus Orange Agent (yang terkontaminasi dioksin), yaitu herbisida yang digunakan oleh tentara Amerika pada perang Vietnam untuk merontokkan daun agar hutan menjadi gundul dan musuh dapat terlihat. Telah menyebabkan banyak kasus kematian akibat kanker dan bayi lahir cacat di Vietnam usai perang melawan Amerika, bahkan para veteran tentara Amerika pun banyak yang terkena kanker setelah terpapar dioksin. Baik dioksin maupun furan tidak mempunyai nilai komersial, senyawaan ini terbentuk secara tidak sengaja karena akibat aktifitas manusia, misalnya pada pembakaran sampah atau produk samping pada pembuatan pestisida seperti Pentachlorophenol (PCP). Pada proses pembakaran sampah, terutama jika sampah yang dibakar adalah material organik yang kompleks (lignin, kayu, kertas, plastik, dll) dengan adanya donor atom Klor (garam dapur/natrium klorida, asam klorida, senyawaan organik yang mengandung klor, plastik/PVC, dll). Campuran material tersebut jika dibakar pada suhu antara 400oC sampai dengan 600oC sangat berpotensi terbentuk dioksin, apalagi jika pembakarannya tidak sempurna, kekurangan oksigen dan pemanasannya tidak merata. Dioksin 98% terbentuk di fly ash (abu hasil pembakaran) dan bukan di asapnya. Tetapi jika suhu pembakarannya lebih besar dari 800oC (tidak perlu sampai 1500oC) maka dioksin akan hancur terurai membentuk karbon dioksida/CO2 , air/H2O dan asam klorida/HCl. Pada tahun 2000 lalu, WHO merekomendasikan bahwa jumlah dioksin yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh manusia per hari agar tidak menimbulkan bahaya (Tolerable Daily Intake) adalah 1 sampai dengan 4 pikogram ( 10-12 gram) per kilogram berat badan. Untuk mendeteksi dioksin adalah sangat sulit karena jumlahnya yang sangat kecil sekali sehingga diperlukan suatu instrumen yang sangat sensitif yaitu GCMS (Gas Chromatograph Mass Spectrometer)-High Resolution, bahkan di Indonesia tidak ada satu Laboratoriumpun yang kompeten untuk menganalisanya.

Logam berat dan gas pembentuk hujan asam. Selain dioksin dan furan, incinerator juga merupakan sumber utama pencemar logam berat misalnya, mercury (Hg), timbal (Pb), kadmium(Cd), arsen(As), cromium(Cr) dan gas pembentuk hujan asam

yaitu oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx). Logam-logam berat tersebut pada proses incinerasi sangat mudah menguap, walaupun telah berbentuk oksidanya sifat racunnya hampir tidak berkurang. Misalnya mercury, merupakan racun yang sangat kuat menggangu sistem saraf, panca indera dan menurunkan kecerdasan, demikian pula pengaruh logam-logam berat lain pada umumnya. Oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx) adalah gas pembentuk hujan asam, jika banyak terdapat diudara dan terjadi hujan maka airnya akan bersifat asam. Hujan asam ini dapat menyebabkan korosif pada bangunan/gedung , tanah menjadi tandus dan gatal-gatal jika terkena kulit, sedangkan gasnya sendiri dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pernafasan.

Incinerator. Limbah padat (sampah: kota, rumah sakit, pabrik kertas dll) biasanya dimusnahkan dengan dibakar didalam Incinerator (tungku pembakar). Incinerator pada umumnya beroperasi pada suhu antara 400oC - 600oC (suhu yang sangat ideal bagi pembentukan dioksin), jika suhu operasi incinerator dinaikkan hingga lebih besar dari 800oC maka diperlukan biaya operasional yang besar, karena bahan bakar yang diperlukan juga banyak. Disamping hal tersebut peralatan incineratornya juga akan cepat rusak dan berkarat karena suhu tinggi, jika di dalam incinerator digunakan batu tahan api maka akan mudah pecah atau retak, sehingga biaya perawatan incineratornya akan sangat besar. Banyak kaum industriawan pembuat incinerator yang membodohi kita, dikatakan incinerator buatannya sanggup membakar sampah pada suhu diatas 800 oC. Tetapi kalau kita amati dengan seksama, ternyata termometer pengukur suhu di tempatkan sedemikian rupa sehingga yang terukur adalah titik api pembakarnya dan bukan suhu gas buang hasil pembakarannya. Tentunya ini sangat ironis, karena pembentukan dioksin ada didalam gas buang hasil pembakarannya terutama di dalam fly-ash (abu terbang), sehingga persyaratan suhu tinggi diatas 800 oC adalah suhu bagi gas buangnya, bukan hanya suhu proses pembakarannya. Suhu tinggi ini harus tetap dapat dipertahankan ketika material baru sampah padat dimasukkan ke dalam incinerator. Biasanya ketika diberikan input baru sampah padat, maka suhu incinerator akan turun drastis, jika terjadi fluktuasi suhu maka incinerator tersebut merupakan penghasil dioksin.

Ada pakar incinerator lain mengatakan, untuk mengurangi pencemaran dioksin pada emisi gas buang dari incenarator ialah dengan menambahkan filter yang modern. Perlu kita ingat bahwa filter khusus untuk dioksin harganya sangat mahal, dan secara berkala harus diganti karena cepat mampat dan jenuh, tentunya hal ini akan menambah biaya operasional incinerator. Tetapi yang menjadi permasalahan pokok adalah, setelah dioksin terkumpul di dalam filter mau dikemanakan ? mengingat dioksin adalah zat no 1 paling beracun di dunia. Di Jepang saat ini penggunaan incinerator untuk membakar limbah padat mulai dilarang, boleh digunakan tetapi dengan pengawasan ketat sambil menunggu teknologi penggantinya. Menurut berita dari www.asahi.com tertanggal 6-April 1999, bahwa Kementrian kesehatan dan kesejahteraan Jepang telah mensurvei 5886 industri yang mengolah limbahnya dengan incinerator, didapatkan 2046 industri terbukti menghasilkan dioksin, sehingga dari jumlah itu 1393 diperintahkan ditutup secara permanen, sedangkan sisanya 653 ditutup secara bertahap. Penggunaan incinerator adalah pemborosan, biaya untuk membeli sebuah incinarator berkisar dari beberapa ratus juta hingga beberapa milyar rupiah. Untuk mengoperasikannya jelas diperlukan bahan bakar yang cukup besar, belum lagi biaya perawatan yang luar biasa besarnya karena beroperasi pada suhu tinggi sehingga komponennya cepat rusak dan karatan.(Ingat kasus incinerator sampah di Kodya Surabaya yang hanya berumur beberapa bulan, padahal incineratornya buatan luar negeri yang dibeli dengan harga beberapa milyar dengan uang rakyat). Solusi. Mengingat bahaya dan kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan incinerator baik secara ekonomi sosial dan dampak perusakan lingkungan, maka perlu dipikirkan dan dikaji lebih mendalam dan seksama tentang penggunaan incinarator untuk pembakaran limbah padat. Kepada para pembuatan kebijakan atau instansi yang terkait, misalnya Kementrian Lingkungan Hidup agar membuat regulasi yang lebih ketat tentang incenerator jika perlu dilarang digunakan jika telah ditemukan teknologi penggantinya. Incenerator yang telah terlanjur beroperasi harus diawasi secara ketat dan diwajibkan menggunakan sistem pengolah emisi, baik gas buang maupun limbah cairnya, sehingga pencemaran lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin.

Dibalik kegagalan sistem incinerator yang telah ada, sebenarnya hal ini merupakan suatu peluang dan sekaligus tantangan bagi para peneliti di Indonesia, untuk saling berlomba dan mengembangkan ide. Sehingga dapat menciptakan suatu sistem pengolah sampah yang inovatif dengan teknologi yang lebih maju, efisien, tidak boros energi, biaya perawatannya murah dan terutama ramah lingkungan. Lihat Attachment : clip_image002 Tri Basoeki S Dear Rekans, "Bagaimana dengan pemerintah mendatang?" Permasalahan Sampah memang pelik, setelah bekasi "dijajah" oleh DKI Jakarta, entah siapa lagi dan sampai sejauh mana sampah akan menjajah. Kesehatan adalah utama, sayangnya banyak orang yang sehat tidak memahami lingkungan. Mungkin Incinerator saat ini jadi masalah karena hanya menghasilkan Polusi-polusi dan polusi lagi. namun bagaimana bila incinerator ini dijadikan pembangkit listrik? dan incinerator ini diletakkan di salah satu pulau tak berpenghuni di Indonesia...dengan kata lain adalah "mengorbankan" satu dari sekian ribu pulau Indonesia? dengan menggabungkan berbagai disiplin ilmu yang kita miliki, saya yakin sampah dimasa mendatang akan menjadi sesuatu yang berharga. i dont know how, but i'm sure it will be. "Bagaimana dengan pemerintah mendatang?" Elwin Rachmat Saya gembira dengan hangatnya diskusi tentang pemanfaatan sampah ini. Saya sudah cukup lama memantau masalah pemanfaatan sampah ini. Sayapun sempat berdiskusi dengan seorang pejabat DKI yang cukup berkompeten mengenai hal ini. Berita yang saya peroleh cukup mengecewakan. Pemda DKI sudah beberapa kali menanda-tangani

MOU tentang pemanfaatan sampah (baik untuk pembangkit energi atau pembuatan kompos). Bila sampah DKI dapat dimanfaatkan (walaupun tidak seluruhnya), maka cukup besar biaya yang dapat dihemat bila dibandingkan dengan melanjutkan pembuangan sampah dengan metoda land fill seperti yang masih dilakukan pada saat ini. Sayangnya penanda tangan MOU tersebut sesudah menjelaskan teknologinya, menghilang entah kemana. Besar dugaan perhitungan keekonomiannya tidak sesuai dengan besarnya investasi yang harus dilakukan. Mungkin juga dibutuhkan keringanan tertentu yang membuat keekonomiannya menjadi feasible. Jadi tampaknya masalah sampah ini tidak dapat sepenuhnya diselesaikan oleh swasta walaupun sudah memiliki teknologi yang tepat serta memiliki modal yang cukup. HMP pak Elwin kita tahu pemerintah kita selalu banyak sekali wacananya tapi sedikit sekali yang jalan....... mungkin karena under table money dan komisinya kecil kali........... saya dapat informasi dari lsm jakarta utk mengatur sampah setiap tahun habiskan dana 400 M, tapi dari retribusi sampah yang masuk ke kas Negara cuma 12 M bayangkan setiap tahun berarti kita tekor terus.............. Sebenarnya teman2 disini juga sdh banyak yang memiliki teknologi bagus............, tapi yah itu tadi......... pemerintah kita lebih suka bicara angka daripada teknologi dan masalah lingkungan HMP sebenarnya bisa , kalau satu kawasan terkecil diterapkan managemen limbah yang baik(dipilah ). sisanya baru dibakar pakai teknologi carbonizer........dan bisa diproses utk jadi gas. Yuwono Dear sahabatku. Ma af saya ikutan nimbrung ni. Kalou boleh saya punya usul. kalou kita melihat kehidupan di desa desa. khususnya di pulao jawa setiap KK Itu diwajibakan mempunyai BAK PENAMPUNGAN SAMPAH. Yang sangat sederhana dan murah. yaitu dengan cara membikin lubang yg berukuran kurang lebih Panjang 3M LEBAR 2 M DALAMNYA

SEKITAR 4M.Bak ini bisa untuk menampung sampah untuk tiap KK kurang lebih selama 1 Tahun. Dengan sytem pembakaran dilakukan setiap saat. setelah musim kemarau bak tersebut di gali lagi. dan hasil dari galian tersebut bisa digunakan untuk pupuk kompos di sawah dan ladang.Dan pekerjaan semacam ini dilakukan setiap tahun.Dan ternyata bisa kita lihat bahwa di desa itu tidak terjadi penumpukan sampah. Untuk itu saya sarankan supaya Pemda DKI menerbitkan peraturan kepada penduduk di perkotaan seperti jakarta dan sekitarnya. supaya setiap KK HARUS MEMBUAT BAK SAMPAH SEPRTI CONTOH DI ATAS. Dan hasil dari pembakaran setelah di gali per 6 bulan / 1 tahun bisa dikolective kan dan di kirimkan ke pedesaan melalui KUD .Yang pengirimannya dengan cara di pak lalu di kirim dengan Mobil mobil Unit Kebersihan kota..Setelah di KUD Tinggal di hibahkan kepara petani dengan gratis. Pasti para petani mau mengabil sendiri sendiri untuk pupuk sawah / ladang. Ini berlaku untuk sampah non metal.semoga bermanfaat. Lutfi Masalahnya adalah, mana ada pak lahan seluas 3 kali 2 meter di depan rumah orang kota? Di kota, yang ada di depan pintu rumah kita adalah bibir gang, tidak ada halaman, teras saja sekarang makin jarang. Kalau toh ada halama rumah pasti akan dibuat taman yang katanya indah dan asri, dan bukan untuk digali buat membuang sampah... Kondisinya saya kira berbeda jauh ya pak... Najib,Bahrun Ikutan nimbrung.... Yang perlu kita maklum, dua hal tersebut berbeda kondisinya. Desa dan kota. Mungkin sebagai solusi kita (yang lingkungan kita di kota) yang bisa kita lakukan untuk me-reduksi sampah adalah membiasakan selalu membakar sampah sendiri, lebih bagus lagi kita pilah2 dulu, yang masih terpakai macam kaleng dan botol biasanya pemulung masih 'berkenan' mengambil untuk di re-cycle. (Untuk yang pemukiman kota yang cukup padat, biasanya ada TPA sendiri, cumin sekali lagi, kebanyakan orang2 kita malas| kenapa kita tidak mencobanya?) Saya hanya mencoba menggaris bawahi, bila kita cermati masyarakat kita yang cukup heterogen ini, adalah kebiasaan membuang sampah di kali/ drainage, karena 'males' membakar

sampah sendiri. Pada akhirnya akan membuat saluran mampet, banjir dsb. Dan masih banyak-lah impact negatif adanya sampah tersebut. Kalau sudah tahu kondisi tersebut diatas, kenapa kita tidak mencoba dilingkungan kita sendiri? Saya kira hal ini dapat menjadi impuls bagi kita semua, bagaimana hal/ masalah yang besar seperti sampah ini bisa kita coba preventive-nya dengan cara pembakaran sendiri mulai dari kita sampah rumah tangga. Untuk sampah industri, saya kira perlu penanganan khusus untuk itu, sesuai dengan jenis dan system penanganannya yang berbeda-beda. Karena comment saya seperti diatas, saya jadi ada ide, (mungkin di daerah/ perumahan tertentu sudah ada kali ya?) untuk penanganan sampah didaerah/ perumahan tertentu, diserahkan ke (biasanya komunitas pemulung tadi atau wiraswasta sejenis) untuk ngurusin sampah rumah tangga di daerah tersebut, mencakup semua kebersihan di lingkungan tersebut tanpa kecuali (dari pengumpulan, pemilahan dan pembakaran)/ tidak hanya truk sampah yang hanya mengambil dari box sampah masing2 KK. Tetap kita juga tidak boleh lupa, bahwa kebersihan adalah tanggung jawab kita bersama. Diharapkan dengan system seperti diatas kebersihan dapat terwujud tidak hanya kamuflase seperti apa yang kita sering lihat sekarang ini. Walaupun belum sempurna, sebagai contoh : kebersihan jalan tol (yang dikelola swasta?) sudah dapat kita rasakan kwalitasnya (terkadang kita tak menyadari) dibandingkan dengan jalan2 yang dekat dengan pasar tradisional (pasar induk???) Untuk lebih maksimal, metoda campaign yang tepat harus dipikirkan dan dischedule sesuai kebutuhan, sehingga menata masyarakat dan lingkungan kita dapat lebih aware dan self action untuk masalah kebersihan ini. Demikian, kalau ada yang kurang mohon ditambahkan. -semoga kita bisa mulai bersama......

Agung Cahyono Pak Sunardi dan rekan-rekan yang lain, Jika memang aplikasi incinerator berbahaya, apakah sudah apa teknologi lain ? Bagaimana prinsipnya serta performance-nya dari segi ekonomi dan HSE ? Mohon sharingnya. Terima kasih

Alia Damayanti Saya kira bila kita ada kemauan, sampah yang dihasilkan tiap rumah tangga, bisa diolah sendiri, dibuat kompos, dengan alat yang sederhana. Saya kenalkan, kebanyakan orang terkena syndrome NIMBY. Artinya Not In My Back Yard. Artinya bolehlah sampah dibuang ke mana pun asal tidak ke halaman saya. Paling tidak kita mulai membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah (kalo bisa), dan memikirkan bahwa sampah adalah masalah kita bersama. us mar Ikutan nich, Ide Bapak bagus, manajenen sampah di desa-desa memang simple dan malah menguntungkan, pupuk kompos dapat menyuburkan tanaman, makanya pohon-pohon di halaman rumah tidak pernah dipupuk, setiap musim mangga, jambu, rambutan, nangka dll akan berbuah dengan sendirinya. Jika kita tengok perumahan di kota, nyaris nggak ada space sejengkalpun buat bak sampah, apalagi perumahan type 21 / 60 (luas rumah 21M2 dan luas tanah 60 M2) yang notabene mayoritas penghuni di perkotaan. Kalaupun dipaksakan setiap 10 KK membuat satu bak sampah ukuran 3X2 M, kurang dari satu minggu bak sudah penuh dan baunya menyebar kemana-mana. Hidup di pedesaan memang segalanya menguntungkan, semoga Pak Presiden yang akan memimpin negeri ini mau melirik pembangunan di pedesaan, minimal mengurangi urbanisasi sehingga perkotaan tidak berjubel dan sampahnya bisa dikelola masing-masing KK. x.sulistiyono Masalah sampah, khususnya dikota2 besar merupakan masalah besar yang belum terpecahkan hingga kini. Sejalan dengan menyempitnya kepemilikan lahan di kota2 kecil bahkan didesa2pun , secara umum menyebabkab sulitnya pelaksanaan usulan membuat lobang sampah yang dibakar secara berkalap seperti cara orang2 tua kita tempo dulu. Apalagi rumah2 sudah pepet2an. khususnya di P.Jawa atau kota2 besar lainnya diluar P.Jawa. Untuk yang punya tanah luas saya tetap menyarankan untuk tetap menggunakan dan melestarikan coro ndeso seperti telah disarankan dalam diskusi ini. Lalu bagaimana dengan incinerator untuk membakar sampah kota? Sampah kota umumnya adalah sampah organik dengan campuran sebagian (kecil?) sampah kaleng,botol dan plastik, yang seyogyanya dipisahkan dari

sampah organic yang mudah terurai. Sampah organik tersebut bisa dibuat kompos , namun memerlukan penekunan .Kalau dibakar dengan incinerator sampah organik yang menurut saya bukan B3 tentunya emisi yang dihasilkan tidak berbahaya meskipun tentu saja ada CO2nya. Abunya bisa digunakan untuk pupuk. Bila temperatur incinerator dapat paling tidak 1000 derajat C atau lebih sampah plastik pun bisa dibakar karena sudah tidak menghasilkan dioxin lagi. Namun plastik apabila dibakar pada temperatur dibawah 1000C akan timbul dioxin yang dapat menyebabkan kanker. Pemda DKI pernah mengirimkan staff nya ke Negeri Belanda untu belajar pengelolaan sampah menggunakan incinerator, bahkan juga pernah membeli incinerator pada salah satu Perusahaan swasta nasional, namun entahlah kelanjutannya dan saya bahkan tidak mendengar bangkai incineratornya dimana. Dalam pengelolaan sampah Pemda DKI hanya mengandalkan pembuangan ke TPA yang nota bene berakibat buruk bagi kesehatan manusia dan linkungan hidup. Apabila petugas yang menengani sampah mempunyai wawasan lingkungan dan tidak mengedepankan interest pribadinya saya teramat yakin Pemda DKI dan Pemda lainnya mampu mengatasi masalah sampah kota. Biaya ? Tentu saja ada, itulah yang disebut sebagai biaya lingkungan. Terus bagaimana KMI DKI atau KMI Daerah lain dapat ikut berperan dalam masalah sampah ini? Kerjasama? Memberi masukan ? Kenalan dulu lalu ditindak lanjuti dengan langkah2 selanjutnya untuk pemecahan masalah sampah ?

You might also like