You are on page 1of 14

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Dalam Laporan Tahunan 1999/2000 (World Development Report 1999/2000: 1-5), Bank Dunia mengemukakan terdapatnya perubahan-perubahan di dunia sampai pada gerakan yang memberikan kontribusi pada dan sebagai manifestasi dari dua gejala, yaitu globalisasi dan lokalisasi. Khusus mengenai aspek lokalisasi yang mencerminkan tumbuhnya hasrat yang lebih besar dari penduduk setempat untuk lebih banyak turut bersuara dalam pemerintahan, mewujudkannya dalam bentuk tuntutan akan identitas daerah. Hal ini mendorong pemerintah nasional untuk memberikan desentralisasi yang luas kepada pemerintah daerah dan kota sebagai cara yang terbaik untuk mengatur dan menangani perubahan-perubahan yang mempengaruhi politik domestik dan pola pertumbuhan. Pada kedua tingkat, baik yang melampaui batas negara maupun pada tingkat subnasional kelembagaan pemerintahan, negosiasi, koordinasi dan pengaturan akan memegang peranan yang kritis dalam memperbaiki keseimbangan baru antarnegara maupun di dalam masing-masing negara, dan dalam mendorong terciptanya lingkungan yang stabil yang memungkinkan implementasi program-program pembangunan, nasional maupun daerah. Dalam hubungan ini, lokalisasi dipandang tepat untuk menaikkan tingkat partisipasi masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan dan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar ke pada rakyat untuk membentuk keadaan kehidupan mereka sendiri yang lebih baik. Dengan mendesentralisasikan pemerintahan akan menjadikan banyak pengambilan keputusan dibuat pada tingkat-tingkat sub-nasional, lebih dekat pada para pemilih, dan terciptanya pemerintahan yang responsif dan efisien. Namun demikian gerakan lokalisasi itu juga dapat membahayakan stabilitas makroekonomi. Misalnya, pemerintah setempat yang melakukan pinjaman (daerah) dalam jumlah yang besar dan melakukan pengeluaran dengan tidak bijaksana, yang mungkin telah memperoleh jaminan sebelumnya dari pemerintah pusat. Sehubungan dengan perkembangan dan

gerakan lokalisasi tersebut di atas, maka tampak adanya gerakan dan kecenderungan pada banyak negara di dunia ke arah pemerintahan dengan sistem otonomi daerah disertai dengan desentralisasi wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan dari pemerintah pusat ke pada daerah bawahannya. Bahkan gerakan dan gejala perjuangan daerah atau negara bagian ke arah otonomi daerah itu lebih lanjut berkembang menjadi gerakan disintegrasi negara dan bangsa seperti yang terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia, Chekoslovakia, dan lain-lain. Di Indonesia juga selain perjuangan dan gerakan ke arah otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab itu pada tahun-tahun belakangan ini berkembang pula menjadi tuntutan disintegrasi bangsa dengan memperjuangkan kemerdekaan bagi wilayahnya. Pada beberapa tahun belakangan ini, sebagai akibat dari perkembangan dan gerakan tersebut di atas, baik yang terjadi di luar negeri maupun yang di tanah air, telah lebih membuka mata dan hati para pemimpin bangsa dan perwakilan rakyat kita untuk memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Ini antara lain tercermin pertama-tama dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan sebagai kelanjutannya kemudian diundangkan dan disahkan dua Undang-undang yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 4 Mei 1999 dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada tanggal 19 Mei 1999, yang menurut rencananya pelaksanaan UU ini akan dilakukan sepenuhnya pada tahun 2001. Dengan demikian, otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dan ini dilaksanakan sesuai dengan prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

1. Kondisi Hasil Pembangunan dan Terjadinya Ketimpangan Antar Daerah Aspek keadilan dan pemerataan dapat ditinjau berdasarkan hubungan interpersonal, namun dapat pula ditinjau menurut perbandingan antardaerah (Raksaka Mahi, 2000). Dalam hubungan ini, yang menjadi pertanyaan apakah distribusi pendapatan antarindividu atau kelompok anggota masyarakat relatif sudah adil dan merata ataukah semakin timpang. Dan antardaerah bagaimana distribusi pendapatan (dan pembangunan) yang terjadi apakah semakin merata ataukah dalam kondisi yang timpang/ semakin timpang antardaerah dalam lingkup nasional. Berdasarkan data Neraca SNSE Indonesia 1999 (BPS, 2000), misalnya, tampak bahwa perbedaan tingkat pendapatan kelompok yang terkaya dalam masyarakat dengan kelompok termiskin relatif tinggi dan makin meningkat. Dari data yang ada itu tampaknya salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya peningkatan perbedaan pendapatan antarkelompok masyarakat ini adalah kepemilikan aset, khususnya modal. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok yang terkaya menguasai aset produktif permodalan yang jauh lebih besar. Dan dari sekitar 60% pendapatan yang dihasilkan dan dimiliki masyarakat pada dasarnya berasal dari pendapatan yang berhubungan dengan permodalan. Dalam hubungan dengan ketimpangan pendapatan ditinjau secara interpersonal di Indonesia dalam periode 1981-1996 dengan ukuran Rasio Gini ternyata bahwa pemerataan distribusi pendapatan masyarakat tidaklah dalam posisi yang baik, tetapi sudah termasuk dalam kategori yang moderat meskipun masih pada angka yang relative masih rendah. Ukuran ketimpangan pendapatan yang lebih penting lagi untuk menganalisis seberapa besarnya kesenjangan antarwilayah/daerah adalah dengan melalui perhitungan indeks Williamson. Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah dengan rumus :

Ini berarti bahwa pada dasarnya indeks Williamson merupakan koefisien persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk daerah-daerah yang berada pada lingkup wilayah yang dikaji dan dianalisis. Menurut Syafrizal (1997:33), jika dibandingkan dengan apa yang dialami oleh negaranegara lain di dunia, ternyata segi pemerataan pembangunan antarwilayah di Indonesia masih jauh ketinggalan. Sebagaimana yang dikutipnya dari yang diungkapkan oleh Hendra Esmara (BIES, Vol XI, No 1, 1975: 41-47) bahwa angka Indeks Ketimpangan Regional di Indonesia pada periode analisisnya bergerak antara 0,4 dan 0,5 ternyata berada di atas rata-rata yang dialami oleh kebanyakan negara berkembang lainnya, dengan catatan hanya Brasil, Puerto Rico, Filipina dan Columbia sebagai negara berkembang yang mendekati keadaan Indonesia. Sedangkan ketimpangan pendapatan antarregional pada negara-negara maju seperti yang diungkpkan oleh Uppal dan Budiono (EKI, Vol XXXV, No.3, 1988 : 285-304) pada umumnya jauh lebih kecil, yaitu yang bergerak antara 0,1 dan 0,3. Ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia sebagaimana yang tampak pada tabel 1 tersebut (dengan tahun dasar 1993) pada periode 1981-1997 dengan ukuran indeks Williamson terletak antara 0,602-0,752, sehingga ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia adalah sangat tinggi, dan bahkan cenderung agak meningkat pula. Memang pada tahun-tahun tertentu, angka-angkanya berfluktuasi naik turun selama periode yang dianalisis tersebut. Tapi jika dilihat secara menyeluruh telah terjadi kecenderungan peningkatan indeks ketimpangan tersebut sebesar 0,150 dari tahun 1981 (0,602) ke tahun (0,752). Ketidakadilan dan ketimpangan antardaerah itu juga dapat dianalisis dengan meninjau besarnya peranan PDRB (dengan migas) per propinsi. Pada tabel 2 khususnya pada tahun 1998, yang tidak begitu beda dengan tahun 1995 dan tahun-tahun lainnya, dapat dilihat besarnya

peranan atau kontribusi masing-masing daerah propinsi dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional menurut harga berlaku. 2. Alokasi Dana Pembangunan Untuk Daerah-daerah Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa sebagai salah satu sumber utama yang menyebabkan kesenjangan atau peningkatan perbedaan pendapatan baik interpersonal maupun antardaerah adalah dari segi kepemilikan atau perolehan factor produksi khususnya permodalan. Dan khusus mengenai permodalan bagi daerah untuk investasi dan

pembangunannya, di samping dari sumber daerah sendiri serta sumber penanaman modal dalam negeri dan asing, terutama adalah berasal dari sumber dana pemerintah atau melalui pengaturan alokasi penganggarannya. Dengan rencana akan diberlakukannya pada tahun 2001 dua buah UU yaitu tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka akan terjadi perubahan yang besar dalam alokasi anggaran untuk daerahdaerah otonom. Dengan adanya peruntukan bagian hasil daerah dari SDA (sektor-sektor pertambangan, kehutanan dan perikanan) yang baru, di samping peruntukan bagian hasil daerah yang telah ada sebelumnya, maka diperkirakan daerah-daerah tertetu yang memiliki SDA yang besar akan beroleh alokasi dana yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Sedangkan daerah-daerah lainnya diperkirakan akan beroleh alokasi dana yang kira-kira tetap saja, bahkan mungkin bisa relatif lebih kecil dari pada sebelumnya. Sebagai ilustrasi, dalam periode peralihan menuju ke pada pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan tersebut yang telah memasukkan untuk perimbangan pusatdaerah sebagai bahan pertimbangan untuk alokasi dana pembangunan, pertama-tama dapat dilihat perimbangan antara anggaran (secara totalitas) yang dikelola oleh daerah dan yang dikelola oleh instansi pusat. Dalam hubungan ini dapat dilihat bagaimana perimbangan masing-masing, tentang pengeluaran pembangunan. Sesuai dengan aspirasi dan tuntutan rakyat setempat, maka kebijakan alokasi anggaran pengeluaran pembangunan tersebut telah diupayakan oleh pemerintah pusat ke arah keadilan dan pemerataan dalam alokasi anggaran dengan memperhatikan UU Perimbangan Keuangan yang baru tersebut. Kecuali dua daerah propinsi, yaitu Nusatenggara Timur (yang menerima

pengungsi Timtim dan mendapat musibah alam) serta Maluku (yang dalam kerusuhan dan huru hara), maka hanya ke empat daerah Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya (Papua) yang mengalami kenaikan anggaran pembangunannya pada tahun anggaran 2000 ini. Daerah-daerah propinsi lainnya relatif mengalami penurunan dalam anggaran pengeluaran pembangunannya. Dengan demikian kebijakan alokasi anggaran yang relatif meningkat besar ke arah daerah-daerah yang memiliki potensi SDM yang besar dan menguntungkan akan banyak merubah kemampuan daerah yang bersangkutan untuk membangun. Namun kondisi ini perlu diimbangi dengan dana perimbangan khususnya melalui dana alokasi umum (DAU), terutama bagi daerah yang miskin SDA dan potensi sumber pendapatan daerahnya agar jangan timbul nantinya kesenjangan yang baru. Sehingga selain aspek keadilan dan pemerataan dalam sumber pembiayaan pembangunan juga diharapkan kemajuan dan pembangunan akan berjalan dengan berimbang antar daerah, sehingga ketimpangan pendapatan (dan pembangunan) akan menjadi semakin berkurang, dalam arti akan terjadi pemerataan antar daerah dalam pembangunan dan hasil-hasilnya. 3. Perimbangan Keuangan: Ketentuan dan Prospek Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka pemerintah suatu negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yaitu fungsifungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi antara lain meliputi sumbersumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat. Fungsi distribusi meliputi antara lain, pendapatan dan kekayan masyarakat, pemerataan pembangunan. Dan fungsi stabilisasi yang meliputi, antara lain, pertahanan-keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena Pemda pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda-beda pada masing-masing wilayah.

Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi tersebut adalah sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara jelas dan tegas. Sumber-sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan tersebut dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan. Khusus sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi adalah terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. PAD merupakan sumber keuangan dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Selanjutnya dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari: (1) bagian daerah dari penerimaan PBB, BPHTB dan penerimaan dari SDA, disingkat saja sebagai bagi hasil pusat-daerah; (2) dana alokasi umum (DAU); dan (3) dana alokasi khusus (DAK). Bagi hasil pusat-daerah terdiri dari bagian dana yang dapat secara langsung dialokasikan sebagai bagian dari pendapatan daerah, yaitu pajak bumi dan bangunan (PBB) 90%, Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 80%, hasil pertambangan minyak bumi 15%, hasil pertambangan gas alam 30%, hasil perikanan 80% dan dana reboisasi 40%. Bagi hasil pusatdaerah ini merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya tergantung pada potensi daerah penghasil. Disamping itu, dana alokasi umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dan formula umum untuk pengalokasiannya adalah: DAU daerah i = (bobot daerah i/total bobot daerah seluruh Indonesia) x total DAU, dengan catatan total dana DAU yang akan dialokasikan sudah ditetapkan, yaitu minimal 22,5% dari penerimaan dalam negeri untuk semua kabupaten/kota dan 2,5% dari penerimaan dalam negeri untuk semua propinsi. Sedangkan dana alokasi khusus (DAK) bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Disamping itu bertujuan untuk menanggulangi keadaan mendesak di daerah, seperti bencana alam, kepada daerah dapat dialokasikan dana darurat.

Dengan demikian adanya dana perimbangan yang meliputi bagi hasil pusatdaerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus itu mencerminkan upaya dan asas keadilan perimbangan antara pusat dan daerah, disamping upaya dan asas pemerataan alokasi dana untuk berbagai kegiatan dan pembangunan di Daerah-daerah. Dalam makalahnya, Raksaka Mahi (2000:5) berpendapat bahwa tampaknya PAD masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi dalam rangka otonomi daerah, disebabkan antara lain karena: (a) relatif masih rendahnya basis pajak dan retribusi daerah; (b) perannya masih tergolong kecil dalam total penerimaan daerah; (c) kemampuan administrasi pemungutan di daerah masih rendah; dan (d) kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan daerah masih lemah sehingga banyak terjadi kebocoran dan penyelewengan. Sehubungan dengan itu, dengan masih berlakunya UU No. 18/1997 yang antara lain membatasi pemungutan pajak/retribusi tertentu saja merupakan hambatan yang cukup berarti bagi daerah untuk meningkatkan PAD-nya. Untuk dapat meningkatkan kemampuan sumber keuangan daerah dari PAD ini selain perlu memperluas basis dan jenis pungutannya, maka perlu peningkatan dan pengembangan di berbagai bidang dan aspek yang mengandung kelemahan sebagaimana yang dikemukakan di atas. Selanjutnya dalam hal dana alokasi umum (DAU) sesuai ketentuan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan dapat dikemukakaan bahwa menurut hasil studi sementara Bappenas (Kompas, 2 Maret 2000) penerimaan propinsi secara total akan meningkat sebesar 17 persen. Berdasarkan penerimaan yang bersumber dari bagian hasil daerah, maka empat propinsi mendapatkan kenaikan total penerimaan yang cukup tinggi, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Sedangkan propinsi Papua tidaklah akan meningkat begitu berarti seperti yang diduga semula, bahkan mungkin tetap saja atau sedikit menurun. Sedangkan mengenai penerimaan dana alokasi umum (DAU) menurut hasil studi tersebut, terdapat tujuh propinsi yang mengalami kenaikan alokasi dananya dalam jumlah yang cukup besar, yaitu : Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua. Propinsi-propinsi di Jawa dan propinsi Sulawesi Selatan diuntungkan oleh kriteria yang berkaitan dengan penduduk, sedangkan propinsi Papua diuntungkan oleh kriteria luas daerah dan kawasan lindung. Jika digabungkan keduanya, yaitu total penerimaan dana yang bersumber dari bagian hasil daerah dan dana alokasi umum, maka

diperkirakan terdapat enam propinsi yang penerimaan alokasi anggarannya naik dalam jumlah yang cukup besar, dengan diberlakukannya UU No. 25/1999 tersebut (dibandingkan dengan yang sebelumnya, yaitu: Aceh, Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Sedangkan dengan menggunakan formula yang sama, terdapat sembilan propinsi yang penerimaan dananya relatif menurun, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Tentang pinjaman daerah dapat dikemukan bahwa selama ini, jumlah dana (penerimaan) keuangan daerah yang berasal dari sumber ini relatif kecil sekali, yaitu secara totalitas hanya 0,5% (propinsi) dan 1,1% (kabupaten/kota) sebagaimana yang dikemukakan dalam makalah Jaka Sriyana (Jurnal Pembangunan Vol 4, No 1, 1999 : 102-13). Ini berarti bahwa pinjaman daerah itu baik dari dalam maupun dari luar negeri dalam waktu dekat mendatang masih belum begitu dapat diharapkan dalam membiayai pembangunan daerah. Bahkan jika dipaksakan dan ingin mengambil jalan pintas, untuk mengisi kekurangan dana dalam membiayai pembangunan daerah sesegera mungkin, dalam waktu dekat akan timbul penumpukan pinjaman daerah yang besar, yang kemungkinan setelah sampainya saat jatuh tempo akan menimbulkan beban pembayaran utang yang berat dan semakin besar, sebagaimana yang dialami pemerintah pusat sejak beberapa tahun belakangan ini.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan dan Saran Dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, maka berarti isu dan tuntutan agar keadilan dan pemerataan dalam dimensi daerah tampaknya telah mendapat perhatian besar dan diperkirakan akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam hubungan keuangan pusat-daerah dan antar daerah sendiri. Agar semua penduduk dapat menikmati fasilitas publik dalam jumlah dan kualitas yang sama dan berimbang, maka dengan desentralisasi urusan disertai dengan desentralisasi pembiayaan yang berimbang akan memungkinkan daerah-daerah secara demokratis menentukan dan mengatur sendiri berbagai jenis pelayanan dan kebutuhannya tanpa tuntunan dari atas. Disamping itu, pada satu pihak daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya namun tidak dapat memanfaaatkan dan menikmaatinya, maka dengan berlakunya UU tersebut akan mendapat bagian yang besar dari dana bagi hasil pajak dari SDA. Berarti hal ini sudah memenuhi tuntutan daerah yang dirasakan sebagai ketidakadilan yang semakin berkembang dan memunjak pada tahun-tahun belakangan ini. Pada pihak lainnya, bagi daerah yang tidak memiliki atau miskin akan sumberdaya alam, maka melalui dana alokasi umum yang merupakan bantuan dana dari pusat akan dapat pula diciptakan pemerataan pembangunan antardaerah. Sehingga daerah yang miskin SDA tersebut tetap dapat pula membangun dan berkembang seiring dengan daerahdaerah lainnya yang berkembang cepat akibat diuntungkan oleh adanya UU No. 25/1999 tersebut. Namun demikian, menurut analisis Revrisond Baswir (Wacana Paradigma, Edisi Perdana, Tahun I, September 1999) jumlah penerimaan negara yang akan dipungut oleh/untuk pemerintah daerah akan meningkat dari 5% menjadi 15%. Sedangkan dengan dialokasikannya minimal 25% penerimaaan dalam negeri sebagai bagian dari belanja untuk pemerintah daerah, maka jumlah pengeluaran negara yang akan dikeluarkan langsung oleh pusat merosot dari 80%

menjadi sekitar 60%. Ini berarti sukar sekali untuk diharapkan peningkatan dana alokasi umum dalam jumlah yang besar. Sehingga kebijakan dan upaya ke arah pemerataan antardaerah dengan mengalokasikan DAU diperkirakan kemampuannya akan terbatasi. Sehubungan dengan itu mungkin perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan bagian penerimaan dalam negeri untuk daerah menjadi lebih besar, misalnya minimal 35%, yang terutama ditujukan untuk daerahdaerah miskin SDA dan potensi pendapatan daerahnya. Atau jika tidak mungkin ditingkatkan besarnya DAU tersebut dalam jumlah dana yang memadai, maka selain bobot daerah menurut UU No. 25/1999 bagi daerah miskin yang minus tersebut perlu ditambahkan alokasi anggaran dari DAU dengan menambahkan perhitungan bobot khusus lainnya. Namun demikian, bagaimanapun juga pengembangan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan dan urusan yang disertai dengan pendanaannya tersebut akan dapat mengurangi ketidakadilan dan kesenjangan yang dirasakan daerah selama ini. Disamping itu juga diharapkan akan semakin tumbuhnya peranserta aktif masyarakat dalam proses pembangunan, serta akan semakin tumbuhnya inisiatif dan prakarsa daerah dalam pembangunan. Tentu saja ada kekurangan atau kelemahan tertentu dari UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tersebut, baik sebagai konsepsi maupun dalam pelaksanaannya. Namun demikian, atas dasar berbagai pertimbangannya, UU tersebut perlu dilaksanakan segera sesuai dengan maksud, tujuan sasaran dan rencananya. Yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh adalah bahwa untuk penyelenggaraannya perlu dipersiapkan dan distudi lebih lanjut sesegera sedemikian rupa sehingga semaksimal mungkin dapat diciptakan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya

PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

Oleh Kelompok III


Rahmat pangerang Abd. Rahman Deny Kamariah Sukmawati Subair Yusuf Nursyamsul Hasan Husain 10564 664 09 10564 674 09 10564 09

10564 418 09 10564 492 09 10564 680 09 10564 599 09 10564 644 09

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan, karunia, rahmat, dan hidayah-Nya kepada kita semua, terutama penulis dan keluarga. Hanya kepada-Nya kembali segala sanjungan, kepada-Nya kami memohon pertolongan dan ampunan, dan atas ridlonya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugas ini serta tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis berharap semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat. Penulis menyadari bahwa penulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa mendatang.

Makassar, Juni 2011

Penulis

Daftar Pustaka

Baswir, Revrisond, 1999. Prospek Bisnis Otonomi Daerah, dalam Wacana Paradigma, Edisi Perdana Tahun I, September 1999. Davey, Keneth, 1989., Hubungan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam Nick Devas, dkk, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: UIPress. Depertemen Dalam Negeri., 1999., Undang-undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta: Panca Usaha. Depertemen Dalam Negeri., 1999., Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 Pemerintah Daerah. Jakarta: Panca Usaha. Depertemen Keuangan. Kajian Kebijaksanaan Fiskal. Vol. 1, No.2 November 1999. Haeruman, Herman., Perencanaan Pembangunan dalam Otonomi Daerah yang Semakin Luas. Buletin Tata Ruang. Agustus September 1999. Jakarta: Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Sriyana, Jaka. Hubungan Keuanga Pusat Daerah, Reformasi Perpajakan dan Kemandirian Pembiayaan Pembangunan Daerah. Jurnal Ekonomi Pembanguan. Vol 4 No 1, 1999, Yokyakarta: Fakultas Ekonomi UII. Tjiptoherijanto, Prijono. Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan. Perencanaan Pembangunan. Maret 1996, Jakarta: Unit Korpri Bappenas. Yulaswati, Vivi., Mencari Paradigma Baru Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Simpul, No. 9, Agustus. 1999, Jakarta: OTO Bappenas.

You might also like