You are on page 1of 204

HAKIKAT MEMBACA (Proses Membaca)

PENDAHULUAN

Penyebaran informasi melalui media cetak dewasa ini makin mendapat perhatian, baik dari kalangan masyarakat intelektual maupun dari kalangan masyarakat biasa. Kemampuan memperoleh informasi melalui media cetak makin penting dalam masyarakat yang tumbuh menjadi masayarakat yang kompleks. Teknologi canggih menuntut tingkat pendidikan yang tinggi yang pada umumnya bergantung pada adanya media cetak. Hal ini berarti bahwa kemampuan membaca yang layak merupakan hal yang sangat vital. Anggota masyarakat yang iliterat, atau anggota masyarakat yang tidak mampu membaca, akan senantiasa terpencil dan merasa dipencilkan, karena tidak terjangkau dan tidak mampu menjangkau informasi yang seharusnya miliki. Kemampuan membaca mempunyai makna yang sangat penting baik dalam kehidupan akademis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami iklan dalam surat kabar misalnya, diperlukan kemampuan membaca peringkat enam dan tujuh. Petunjuk yang ada dalam berbagai pembungkus obat hanya dapat dipahami oleh pembaca peringkat sepuluh, dan materi bacaan yang tertera dalam borang yang harus diisi oleh wajib pajak, surat perjanjian, petunjuk dalam buku tabanas, dan sebagainya, menghendaki pembaca yang menduduki peringkat dua belas. Bila dibandingkan dengan media komunikasi lainnya, media cetak mempunyai kelebihan khusus. Dari media cetak, pembaca memperoleh informasi secara leluasa,

baik informasi masa lalu, maupun informasi masa kini, bahkan masa mendatang. Media cetak bisa diperoleh dan dibawa dengan cara yang sangat mudah. Informasi yang dikandungnya dapat dinikmati sesuai dengan kehendak pembaca, kapan dan di mana saja. Membawa-bawa radio jelas lebih merepotkan daripada membawa-bawa surat kabar; membawa majalah jauh lebih mudah daripada membawa-bawa TV,meski yang terkecil ukurannya. Fleksibilitas kegiatan membaca memberikan jaminan kelangsungan nilai-nilai yang dikandung dalam bacaan itu, baik untuk keperluan pendidikan maupun untuk keperluan hiburan. Pengetahuan mengenai proses membaca ini perlu untuk anda maupun untuk murid anda. Pengetahuan tentang membaca sebagai gabungan berbagai proses bisa berdampak positif terhadap strategi mengajar maupun strategi belajar. Oleh karenanya, sesudah memahami dan mampu menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari buku ini, anda dituntut pula untuk dapat menyampaikan kemampuan itu kepada anak didik anda. Pemahaman tentang kegiatan membaca sebagai multi proses harus dicamkan sejak dini, baik oleh guru maupun oleh siswa. Setelah membaca Buku 1 ini, anda diharapkan dapat: a) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses psikologis; b) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses sensoris; c) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perseptual; d) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perkembangan; e) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perkembangan keterampilan. Pada bagian ini kami akan mengajak anda untuk berbincang-bincang tentang hakikat membaca yang merupakan perwujudan atau kesatuan berbagai macam

proses. Hal yang perlu dicamkan pada kegiatan belajar mengajar membaca ialah

bahwa membaca itu merupakan proses. Pada waktu berupaya mendeskripsikan halhal yang terjadi ketika seseorang membaca, kita sering menggunakan istilah "proses membaca". Istilah ini sesungguhnya kurang tepat. Istilah yang lebih baik tepat ialah "proses-proses membaca", sebab membaca bukanlah proses tunggal melainkan sintesis dari berbagai proses yang kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan tunggal. Hal ini berarti bahwa kita harus memandang membaca sebagai suatu pengalaman yang aktif, ialah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan bertujuan. Tentu saja, pengalaman anak didik pun ikut berperan sebagai unsur penting dalam perbuatan membaca itu. Manifestasi terakhir penyatuan berbagai proses tersebut dinyatakan dalam satu perbuatan tunggal, ialah membaca. Berdasar pada pemikiran di atas itu, pada bab ini akan diuraikan ihwal proses membaca secara singkat, ialah proses psikologis, sensoris, dan perseptual. Pada bagian proses psikologis dibicarakan berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan membaca. Sesudah itu dibicarakan pula hal-hal yang berhubungan dengan "skemata" yang mempunyai kaitan erat dengan proses membaca. Sesudah membaca uraian tentang proses membaca dan skemata ini, anda diharapkan dapat menjelaskan arti membaca sebagai proses psikologis, sensoris, perseptual, perkembangan, dan perkembangan keterampilan. Di samping hal-hal tersebut, anda diharapkan pula memahami makna skemata serta pemanfaatannya dalam proses membaca. Bagi anda yang mempunyai keinginan memperdalam ihwal proses membaca dan skemata, disediakan daftar nama buku pada bagian akhir buku ini yang relevan dengan kebutuhan anda. Seperti telah dikemukakan dalam pengantar, membaca merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan kita. Melalui media cetak kita dapat menyerap berbagai informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang

belum dapat kita jawab dengan baik ialah bagaimana cara atau upaya yang harus kita lakukan untuk menjadikan dunia kita ini menjadi dunia baca. Dunia Baca yang ideal memang belum pernah ada. Masyarakat negara-negara yang sudah maju sekalipun, seperti Amerika dan Rusia, belum mampu menciptakannya. Di negara mereka pun masih saja ada orang yang aliterat, ialah orang-orang yang mampu membaca, tetapi memilih untuk tidak membaca. Mereka lebih suka mengerjakan pekerjaan kegiatan lain daripada membaca. Dengan kata lain, mereka tergolong orang yang masih malas membaca. Kita sering mendengar bahkan membaca berita tentang kurangnya minat baca di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pelajar, padahal minat baca itu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kemampuan membaca. Menurut hasilhasil penelitian yang terakhir, kemampuan membaca lebih banyak ditentukan oleh intensitas membaca daripada oleh IQ seseorang. Makin banyak seseorang melakukan aktivitas membaca, akan makin meningkat pula kemampuan membacanya. Seseorang akan banyak membaca secara mandiri jika minat bacanya tinggi. Oleh karena itu, guru bidang studi apa pun dituntut untuk meningkatkan minat baca para siswanya. Dengan demikian kemampuan membaca para siswa itu pun akan meningkat dengan sendirinya. Membaca merupakan kemampuan yang kompleks. Membaca bukanlah kegiatan memandangi lambang-lambang tertulis semata-mata. Bermacam-macam kemampuan dikerahkan oleh seorang pembaca agar dia mampu memahami materi yang dibacanya. Pembaca berupaya supaya lambang-lambang yang dilihatnya itu menjadi lambang-lambang yang bermakna baginya. Membaca merupakan interaksi antara pembaca dan penulis. Interaksi tersebut terjadi secara tidak langsung, namun bersifat komunikatif. Komunikasi antara

pembaca dan penulis akan semakin baik jika pembaca mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memahami maksud penulisnya. Pembaca berkomunikasi dengan penulis melalui karya tulis yang digunakan penulis sebagai media untuk menyampaikan gagasan, perasaan, dan pengalamannya. Dengan demikian, pembaca harus mampu menyusun pengertian-pengertian yang tertuang dalam kalimat-kalimat yang disajikan oleh penulis/pengarang sesuai dengan konsep yang terdapat pada diri pembaca. Pembaca dapat menyusun pengertian-pengertian tersebut dengan berbagai konsep pada suatu saat tertentu yang selanjutnya secara berangsur-angsur menjadi dasar baginya untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara lebih luas dan mendalam. Hal tersebut menunjukkan bahwa membaca bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan suatu sintesis berbagai proses yang tergabung ke dalam suatu sikap, ialah sikap pembaca yang aktif. Membaca sering kali pula dianggap sebagai kegiatan yang pasif. Sebenarnya, pada peringkat yang lebih tinggi, membaca itu bukan sekedar memahami lambanglambang tertulis, melainkan berarti pula memahami, menerima, menolak,

membandingkan, atau meyakini pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh pengarang/penulis. Kemampuan membaca seseorang banyak dipengaruhi pula oleh tingkat kematangan dan pengalamannya. Unsur-unsur apakah yang terlibat dalam setiap kegiatan membaca itu? Ketidakhadiran salah satu unsur tersebut akan berpengaruh terhadap kompetensi membaca yang dimiliki seseorang. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa hal yang berkenaan dengan proses membaca.

2. Membaca Sebagai Suatu Proses Psikologis

Kehidupan dan pertumbuhan manusia senantiasa dipengaruhi oleh kegiatan belajar. Karenanya, banyak hal yang kita kuasai diperoleh melalui proses belajar. Begitu pula halnya dengan kemampuan membaca. Ada berbagai hal yang mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam kegiatan membaca. Hal-hal tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan proses membaca. Hal yang berikut ini merupakan sebahagian kecil saja dari sekian banyak faktor yang telah diketahui sebagai faktor yang memiliki kaitan yang erat dengan proses membaca, yakni: 1) intelegensi, 2) usia mental, 3) jenis kelamin, 4) tingkat sosial ekonomi, 5) bahasa, 6) ras, 7) kepribadian, 8) sikap, 9) pertumbuhan fisik, 10)kemampuan persepsi, dan 11)tingkat kemampuan membaca.

Dari faktor-faktor (yang hanya merupakan bahagian kecil ) tersebut, hanya beberapa buah saja yang akan dibicarakan dalam bab ini.

Faktor Intelegensi Anda pernah mendengar kata "intelegensi" bukan? Ya, bahkan sangat sering. Tahukah anda makna kata tersebut? Anda tahu benar arti kata itu, tetapi teman-teman Anda masih banyak yang belum memahaminya. Banyak orang mungkin merasa sudah sangat akrab dengan istilah tersebut, namun belum mengetahui maknanya yang sesungguhnya, karena tidak pernah berkeinginan untuk mempelajarinya dengan sebaik-baiknya melalui buku sumbernya. Anda sudah mengetahui bahwa kata intelligent(intelegensi) sering

bergandengan dengan kata quotient dan disingkat menjadi IQ. Di samping IQ Anda mengenal pula MA (mental age), ialah usia mental. Untuk apa orang membuat kedua istilah tersebut? Ya, benar, IQ dan MA biasa digunakan untuk menyatakan hasil tes intelegensi umum. IQ seorang anak yang berusia enam tahun menunjukkan rasio antara skor tertentu yang diperolehnya dalam suatu tes intelegensi dan skor yang akan diperoleh oleh anak-anak lain pada umumnya (rata-rata), yang berusia kronologis sama dengan anak tersebut, untuk tes yang sama pula. Untuk membedakan IQ dan MA, anda boleh mendefinisikan IQ sebagai ukuran pertumbuhan mental, sedangkan MA sebagai ukuran kedewasaan mental. Meski ada keistimewaan-keistimewaan yang bisa terjadi, IQ dapat dianggap sebagai suatu ukuran yang relatif stabil, sedangkan MA mempunyai pertumbuhan berlanjut sampai pada usia pertengahan adolesensi. Rumus-rumus yang berikut ini mungkin dapat menolong menjelaskan hubungan antara usia kronologis (Chronological Age) yang disingkat CA, dengan MA dan IQ. IQ x CA MA = _______ 100

MA IQ = --------- x 100 CA

Kita dapat menurunkan MA seorang anak yang IQ-nya 110 dan yang CA-nya 6,0 dengan cara berikut ini.

110 x 6,0 (tahun) MA = ----------------------100

110 x 72 (bulan) = --------------------100

= 79,2

79,2 = ------- = 6,6 12

Jika MA dan CA akandapat mencari IQ.

diketahui (6,6 dan 6,0), dengan cara yang sama Anda

MA IQ = ----- x 100 CA

6,6 = ----- x 100 6,0

= 110

Walaupun banyak faktor yang mempengaruhi dan berkaitan erat dengan kesiapan dan kemampuan membaca, namun yang paling banyak dan paling konsisten diteliti dan dipelajari ialah faktor intelegensi. Para ahli sependapat bahwa intelegensi merupakan faktor yang penting, tetapi batas-batas kepentingannya belum juga dapat dijelaskan. Kenyataan yang menunjukkan adanya perbedaan informasi tentang kepentingan intelegensi itu mempunyai kecenderungan mengaburkan permasalahan, bukan menjelaskannya. Harris (1970), umpamanya, berpendapat bahwa faktor terpenting dalam masalah kesiapan membaca ialah inteligensi umum. Karena faktor tersebut merupakan angka rata-rata perkembangan mental, yang banyak tingkatannya itu, maka kaitannya dengan faktor-faktor lainnya sangatlah jelas.

Witty dan Kopel(1970) pun mempunyai pendapat yang serupa. Mereka berkesimpulan bahwa seseorang yang memiliki skor IQ menurut Binet di bawah 25, biasanya tidak pernah mencapai kematangan mental yang layak untuk belajar membaca. Anak yang skor IQ-nya di bawah 50 akan mengalami kesulitan dalam memahami materi bacaan yang abstrak dan materi-materi lainnya yang sukar. Adapun mereka yang skor IQ-nya ada di antara 50 dan 70 akhirnya akan mampu juga membaca, tetapi kemampuannya itu tidak akan melebihi kemampuan membaca peringkat empat. Studi tentang intelegensi dan kesiapan membaca yang dilakukan oleh Morphett dan Washburne (1931) mungkin merupakan studi yang paling dikenal. Selama bertahun-tahun hasil penelitian mereka mendominasi keyakinan tentang intelegensi itu. Namun demikian, semenjak itu, dikenal pula hal yang sama pentingnya, bahkan mungkin lebih penting. Penelitian Gates (1937) telah mengubah sikap terhadap masalah intelegensi itu. Penelitian yang dilakukannya dalam kelas menunjukkan bahwa usia mental itu mempunyai kegunaan yang relatif; ada faktor lain yang juga menentukan keberhasilan pencapaian kemampuan membaca. Ditunjukkannya bahwa besarnya kelas, prosedur dan metode mengajar, memberikan kemungkinan kepada anak untuk mampu membaca pada usia empat setengah tahun; sedangkan bentuk pengajaran lainnya baru berhasil memberikan kemampuan membaca pada usia tujuh tahun. Gray (1956) memberikan saran agar anak mulai diajari membaca jika MA-nya mencapai angka enam. Namun, dia pun mengakui materi yang digunakan dalam pengajaran, prosedur mengajar, dan faktor-faktor lainnya yang cukup banyak jumlahnya itu mempunyai peranan yang lebih penting daripada usia mental. Dia

menunjukkan kenyataan di Skotlandia dan negara-negara Eropa lainnya yang berhasil membina pembaca-pembaca yang baik pada usia mental lima. Ada lagi dua orang ahli, Smith dan Dechant (1961) yang melaporkan adanya kaitan yang erat antara kesiapan membaca dan kemampuan membaca. Mereka membuktikan korelasi antara sekor tes kesiapan membaca dan usia mental itu merentang antara 0,35 dan 0,80. Kesimpulan mereka berbunyi bahwa pada umumnya tes kemampuan membaca, kesiapan membaca, dan intelegensi itu mengukur faktorfaktor yang sama. Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai sifat hubungan yang sebenarnya antara IQ dan MA terhadap membaca, ternyata persamaan-persamaannya pun masih ada, seperti yang tertera di bawah ini. 1) IQ dan MA merupakan alat ramal yang baik untuk menentukan tingkat minimal kemampuan anak. 2) Kebanyakan anak yang gagal belajar membaca di kelas satu mempunyai usia mental di bawah enam tahun. 3) Meskipun IQ dan MA merupakan faktor-faktor yang penting, faktor-faktor lain seperti jumlah anak dalam kelas, prosedur, motivasi, serta proses belajar-mengajar merupakan faktor-faktor yang sama pentingnya untuk mencapai kemampuan membaca yang baik. 4) Meskipun IQ dan MA merupakan prediktor yang baik dalam banyak hal, namun keduanya tidak boleh digunakan secara terpisah dari faktor-faktor lainnya dalam menentukan perkiraan yang akan dilaksanakan. Anak kelas satu yang mempunyai IQ 130 belum tentu dapat lebih berhasil dalam kegiatan membaca bila dibandingkan dengan seorang anak yang ber-IQ 80.

5) Korelasi antara IQ dan skor membaca cenderung meningkat sesuai dengan kenaikan kelas. Skor IQ yang tinggi di kelas enam merupakan prediktor kemampuan membaca yang lebih baik daripada skor IQ yang sama tingginya yang diperolehnya di kelas satu.

Tes Formatif 1 1. Harris berpendapat bahwa faktor terpenting yang ikut menentukan kesiapan membaca ialah: A intelegensi umum B usia mental C usia kronologis D intelegensi khusus

2. Jika diketahui bahwa usia mental 7,8 dan usia kronologis 6,0 diketahui bahwa tingginya IQ adalah A. 110 B. 120 C. 130 D. > 130

maka dapat

3. Witty da Kopel berpendapat bahwa anak yang ber-IQ 90 akan A. dapat membaca 50 kpm B. mengalami kesulitan memahami materi bacaan yang abstrak C. mampu membaca sampai peringkat empat saja D. mampu membaca di atas peringkat empat

4. Gates menemukan data bahwa besarnya kelas, prosedur dan metode membaca memberikan kemungkinan kepada anak untuk dapat membaca pada usia A. dua tahun B. tiga tahun C. tiga setengah tahun D. empat setengah tahun

5. Gray menyarankan agar anak mulai diajari membaca pada usia A. empat setengah tahun B. lima tahun C. enam tahun D. enam setengah tahun

6. Smith dan Decant memperoleh data yang menyatakan bahwa anak yang gagal belajar membaca di kelas satu mempunyai usia mental A. enam setengah tahun B. enam tahun C. antara enam dan enam setengah tahun D. di bawah enam tahun

Di muka telah dikatakan bahwa faktor penting yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca bukan IQ dan MA saja. Masih banyak faktor lain yang sama

pentingnya. Di bawah ini akan diuraikan peranan faktor sosial ekonomi dalam pemerolehan kemampuan membaca. Faktor Sosial-Ekonomi Pada masa sekarang, yang sering kali dikaitkan dengan masalah kemampuan membaca ialah faktor sosial ekonomi. Status sosial-ekonomi ternyata mempunyai kaitan yang jelas dengan kemampuan membaca. Riessman (1962) mengutip catatan yang menyatakan pada umumnya 15 sampai 20 persen anak-anak sekolah di Amerika menunjukkan batas-batas ketidakmampuan membaca. Dia memperkirakan adanya angka persen yang lebih besar di kalangan masyarakat yang bersosial ekonomi rendah, sampai 50%. Perkiraan lain dibuat oleh Benson (1969) yang menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari masyarakat kelas sosial-ekonomi menengah dapat membaca lebih baik daripada anak-anak yang bersosial-ekonomi rendah (10 - 20%), sedangkan yang tidak mampu membaca adalah anak-anak yang bersosial ekonomirendah bisa (80%). Meskipun temuan mereka itu cukup mengkhawatirkan, namun sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan, sebab jauh sebelumnya, yakni tahun 1940, Coleman sudah melihat adanya hubungan yang jelas antara status sosial-ekonomi dengan kemampuan membaca. Dengan jalan mempelajari suatu sampel nasional dari tiga kelompok siswa yang berstatus sosial-ekonomi yang berbeda tingkatannya itu, ditemukan bukti bahwa tingkat sosial ekonomi siswa itu ada kaitannya dengan kemampuan mereka dalam berbagai mata pelajaran. Hasil yang sama diperoleh Gough (1946) dari penelitiannya atas murid-murid kelas enam yang berstatus tinggi, menengah, dan rendah, berdasarkan kemampuan sosial-ekonominya. Ada berbagai faktor yang menjadi alasan kenyataan tersebut. Yang jelas di antaranya ialah kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang rendah,

kepadatan lingkungan, tempat kediaman yang tidak stabil, dan tekanan ekonomi. Di sisi lain, masih ada alasan yang menyebabkan rendahnya kemampuan membaca itu yang sesungguhnya masih ada kaitannya dengan status sosial- ekonomi, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yakni latar belakang pengalaman; tingkat motivasi; dan bahasa. Anda sering mendengar bahwa latar belakang pengalaman anak-anak yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah itu sangat kerdil. Pernyataan seperti itu sudah tentu tidak benar. Semua anak mempunyai latar belakang pengalaman. Kenyataan bahwa latar belakang pengalaman mereka itu tidak sama dengan yang dimiliki anak-anak kelas menengah jadi tidaklah sepantasnya jika ditafsirkan bahwa anak-anak itu sama sekali tidak berpengalaman. Haruslah ditafsirkan bahwa pengalaman mereka itulah yang harus mereka camkan. Sayang sekali, banyak guru yang menyepelekan kenyataan itu. Di pihak lain, sungguh tidak realistik jika dikatakan bahwa anak-anak tertentu tidak mengalami rintangan yang disebabkan oleh latar belakang pengalamannya. Karena sistem pendidikan diarahkan pada standar sosial kelas menengah dengan menggunakan mata pelajaran dan kosakata kelas menengah, maka anak yang tidak mempunyai pengalaman tentang hal tersebut sesungguhnya akan mengalami hambatan. Anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak berada mempunyai kurang memiliki kesempatan untuk bepergian, membaca buku dan majalah, atau bertemu dengan orang-orang di luar lingkungannya. Disebabkan oleh lingkungan sosial yang sempit dan kemampuan ekonomi yang terbatas itulah kesempatankesempatan untuk pengayaan itu menjadi tertutup. Kedua orang tua bekerja dari pagi sampai sore sehingga tidak berkesempatan untuk ikut memperluas wawasan anak dan memberi peluang untuk terciptanya berbagai kesempatan yang memungkinkan anak

memiliki pengalaman yang luas. Dengan alasan tekanan ekonomi, banyak orang tua yang melalaikan tugas yang demikian itu. Akibatnya, anak tidak siap untuk menerima perubahan-perubahan dalam mengikuti kegiatan sekolah. Anggapan yang menyatakan bahwa semua anak mempunyai keinginan untuk belajar membaca merupakan anggapan yang naif dan tidak realistis. Kenyataan menunjukkan banyak anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, tidak mau membaca. Motivasi mereka untuk belajar membaca sangat kurang. Mengapa hal ini terjadi? Mungkin sekali, apa yang dilihat dan dialaminya di seputar lingkungan terdekatnya (lingkungan keluarga dan tetangga) tidak mampu memberikan pengalaman yang dapat merangsangnya untuk melakukan aktivitas membaca. Mereka tidak pernah melihat orang tua mereka, atau pun anggota keluarga lainnya menunjukkan perhatian yang layak terhadap membaca. Kakak-kakak mereka, temanteman, dan tetangga sepergaulan dengan mereka itu pun jarang atau bahkan tidak berkesempatan untuk membaca buku, majalah, atau surat kabar di rumah. Mereka tidak pernah mendapat dorongan atau alasan untuk belajar membaca. Alasan lain yang menyebabkan anak tidak mempunyai motivasi untuk belajar membaca ialah langkanya atau bahkan tiadanya kesempatan bagi mereka untuk menikmati pengalaman indah dan berguna dari kegiatan membaca itu. Disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan latar belakang dan kesiapan mereka yang serba kurang itulah, mereka datang ke sekolah dengan kesiapan yang tidak layak. Karena mereka tidak memiliki kesiapan kegagalan pun menimpa, dan kegagalan itu sering kali diukur oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca. Tidak seorang pun menyukai kegagalan, karenanya tidaklah mengherankan jika asosiasi-asosiasi negatif pun menimbuni kehidupan mereka. Kegagalan yang berlangsung secara terus-

menerus itu, tak dapat menumbuhkan memotivasi mereka untuk membaca, bahkan sebaliknya, mendorong mereka untuk segera meninggalkan sekolah. Faktor lain yang menyebabkan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu itu gagal ialah faktor fasilitas bahasa. Anak yang memiliki kemampuan berbahasa yang layak untuk berkomunikasi dengan keluarganya ternyata tidak berarti memiliki bahasa yang layak untuk bersekolah. Bahasa rumah dan bahasa lingkungan (masyarakat) belum tentu merupakan bahasa sekolah. Patin (1964) menunjukkan bukti bahwa sering kali anak yang memiliki bahasa masyarakat yang layak, tidak mampu berbahasa formal. Bahasa sehari-harinya layak untuk menerima dan menyampaikan informasi yang sederhana, meminta sesuatu, menyatakan persetujuan atau penolakan. Bahasa mereka ditandai oleh sifat kesederhanaan, deklaratif, dan imperatif. Struktur yang kompleks, klause-klause terikat, dan pola kalimat yang lebih luas jarang ditemukan dalam bahasa sehari-hari. Karena bahasa sekolah itu merupakan bahasa formal, sering kali anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu itu sudah mengalami kegagalan semenjak langkahnya yang pertama di sekolah. Temuan-temuan tersebut itu bersesuaian dengan temuan Thomas (1964). Di daerah penelitiannya yang dihuni oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu, dia memperoleh bukti bahwa anak-anak di daerah itu hanya memiliki 50% dari jumlah kosakata yang biasa digunakan di sekolah. Mereka tidak dapat memahami dua puluh sampai lima puluh persen kata-kata yang digunakan dalam buku-buku di tingkat permulaan. Kondisi seperti itu akan merupakan awal kegagalan tumbuhnya minat baca, sebab jika di antara 100 kata yang harus dibaca terdapat tiga buah (3%) kata saja yang

3. Membaca Sebagai Suatu Proses Sensoris Pada bagian 1.2 anda telah mempelajari kegiatan membaca sebagai proses psikologis. Dalam kegiatan ini akan dibicarakan kegiatan membaca sebagai proses sensoris. Apa pun yang dapat kita katakan tentang membaca tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pada awalnya membaca itu merupakan proses sensoris. Isyarat dan rangsangan untuk kegiatan membaca itu masuk lewat telinga dan mata, sedangkan rangsangan huruf Braille masuk lewat syaraf-syaraf jari. Betapa pun cerdas, mantap, dan siapnya jiwa seorang anak, tidaklah mungkin bisa belajar membaca jika dia tidak mampu mengenali rangsangan materi cetak. Penjelasan tersebut tidak berarti bahwa anak-anak yang cacat tidak akan dapat belajar membaca. Anak-anak mempunyai alat kompensasi yang sangat banyak. Tidak pula dapat dikatakan bahwa ketunanetraan dan ketunarunguan semata-matalah yang merupakan penyebab kegagalan membaca. Pernyataan "membaca sebagai proses sensoris" tidak berarti memandang kegiatan membaca itu sebagai proses sensoris semata-mata. Banyak hal yang terlibat dalam proses membaca itu, dan ketidakmampuan membaca bisa disebabkan oleh berbagai faktor yang bisa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja secara serempak. Kepenatan, kegelisahan, kebimbangan, ketidakpercayaan terhadap diri sendiri merupakan faktoraktor yang sering kali berbaur dengan cacat yang diderita seseorang, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan dalam mencapai kemampuan membaca. Kegiatan membaca dimulai dengan proses melihat. Stimulus masuk lewat indra penglihatan, mata. Pada tingkat awal, anak menunjukkan kemampuan yang secara umum disebut membaca. Pada saat permulaan itu anak mulai sadar bahwa tanda dan lambang-lambang tertentu menunjukkan nama atau benda tertentu pula. Kemudian secara berangsur, mereka mulai sadar bahwa jika lambang-lambang itu

dirangkai akan tersusun suatu pembicaraan; tersusun suatu pesan. Kapankah anakanak itu siap untuk membaca buku? Dengan kata lain, kapankah penglihatannya itu siap untuk diperkenalkan dengan lambang-lambang tulis? Berbagai penelitian membuktikan bahwa pada umumnya anak mempunyai kesiapan penglihatan untuk membaca pada usia 5-6 tahun. Pada usia tersebut anak memiliki kompetensi koordinasi binakular, persepsi yang dalam, pemokusan pengaturan, dan pengubahan perasaan secara bebas. Tetapi, pada usia tersebut anak pun sudah berpenyakit pandangan jauh. Akan tetapi, karena anak itu merupakan pribadi-pribadi dengan pola kepribadian yang berbeda dalam pertumbuhan dan perkembangannya, anda seyogianya memiliki pengetahuan yang layak tentang hal-hal yang pantas diperhatikan. Kelemahan penglihatan yang umum diderita anak ialah "kekeliruan kesiapan" (refractive error), yang berarti tidak lain dari kondisi mata yang tidak terpusat. Salah satu jenis keliru sipi ialah hipermetropia, atau pandangan jauh. Untuk mengetahui kelemahan ini, idealnya di setiap sekolah harus disediakan alat uji penglihatan. Jalan lain untuk mengatasi hal tersebut ialah bahwa siswa secara teratur dibawa ke poliklinik terdekat untuk memeriksakan kesehatan penglihatannya atau mendatangkan pihak kesehatan ke sekolah. Guru yang berpengalaman tidak akan memberi tugas kepada anak-anak yang mempunyai kelemahan seperti itu untuk membaca bendabenda yang terlalu dekat atau menyuruhnya membaca dalam waktu yang terlalu lama secara terus-menenerus. Jenis keliru sipi yang kedua adalah miopia, atau pandangan dekat. Penderita miopia tidak sebanyak penderita hipermetropia pada permulaan pengajaran membaca. Akibatnya pun tidak terlalu parah. Bahkan, penderita miopia yang moderat memperlihatkan kesukaan terhadap kegiatan membaca.

Eror refraktif jenis ketiga ialah astigmatisme. Penderita cacat penglihatan ini mempunyai jarak pandang yang tidak sama untuk kedua matanya; miopik atau hipermetropik untuk salah satu matanya atau campuran antara keduanya. Meskipun penyakit-penyakit tersebut tidak pernah dimasukkan ke dalam faktor penyebab ketidakmampuan membaca, namun jelaslah peranannya sebagai faktor yang turut serta menimbulkan ketidakmampuan membaca harus kita akui bersama. Eror refraktif dapat menyebabkan ketidakbetahan, ketegangan, dan kekurangminatan terhadap bahan bacaan. Dapatkah anda menyebutkan faktor-faktor lain yang anda anggap sebagai kendala dalam proses membaca? Ya, memang banyak. Untuk mengetahui adanya gangguan tersebut, sebelas macam gejala yang berikut ini seyogianya anda perhatikan baik-baik: 1) gerakan-gerakan muka, 2) mendekatkan bacaan ke muka, 3) ketegangan waktu melakukan aktivitas visual, 4) memencengkan kepala, 5) mendorong kepala ke depan, 6) badan ditegangkan tatkala melihat objek yang jauh, 7) sikap duduk yang tidak baik, 8) seringkali menggerak-gerakkan kepala, 9) sering menggosok-gosok mata, 10) menghindari pekerjaan visual yang rapat, dan 11) kehilangan tempat/batas waktu membaca.

Gejala-gejala yang tampak seperti indikator-indikator di atas bila digabungkan dengan hasil tes mata merupakan prediktor yang baik untuk mengetahui cacat penglihatan. Jika kegiatan membaca dikatakan bermula dari proses melihat, maka secara umum, kesiapan membaca dimulai dari mendengarkan. Persiapan auditoris anak dimulai dari rumah dalam bentuk pembinaan kosakata, menyimak efektif, dan keterampilan membeda-bedakan ujaran. Jika seorang anak mendapat pengaruh jelek dari cacat tubuh atau kondisi sosialnya, maka pengalamannya pun terbatas. Akibat keterbatasan pengalaman itu akan segera tampak pada tingkat awal dalam upayanya belajar membaca. Jika di rumahnya seorang anak menemukan kesulitan dalam membeda-bedakan bunyi yang mirip, atau tidak dapat mengenali pelafalan tertentu untuk sebuah kata, kita boleh percaya bahwa di sekolahnya pun dia akan menghadapi kesulitan yang sama. Anak-anak sebagai pembaca pemula harus mampu mendengar kesamaan di antara bunyi-bunyi huruf yang ada dalam suatu kata, mendeteksi kata-kata yang diawali dan dirakhiri oleh bunyi yang sama, dan mampu mendeteksi irama. Dalam banyak kejadian, anak-anak yang tidak mampu melakukan hal tersebut dapat dilatih untuk melakukannya. Jika pelatihan seperti itu tidak berhasil, maka latihan pengenalan bunyi yang lebih berat seyogianya tidak diberikan kepadanya. Hal yang perlu dicamkan oleh guru ialah bahwa bila seorang anak kehilangan daya dengarnya namun masih mempunyai motivasi untuk belajar membaca, dia tidak akan menemui kesulitan dalam penguasaan bacaannya itu sepanjang bahan ajar dan proses pengajarannya diselaraskan dengan keadaan anak yang bersangkutan. Kalaupun ada kesulitan, hal tersebut tidak akan menjadi rintangan baginya untuk belajar membaca. Sebaliknya, seorang anak yang mempunyai cacat pendengaran yang tidak seberapa bisa menemui kegagalan dalam penguasaan membaca jika dia tidak

memiliki motivasi, tidak percaya diri, dan tidak mendapatkan pengajaran yang layak dan selaras dengan keadaannya.

4. Membaca Sebagai Proses Perseptual Proses perseptual mempunyai kaitan erat dengan proses sensoris. Anda harus waspada untuk tidak mempertukarkannya. Seperti dalam proses sensoris, secara umum persepsi dimulai dengan melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan meraba. Namun, dalam kegiatan membaca kita cukup memperhatikan dua hal yang pertama saja, yakni melihat dan mendengar. Bertalian dengan hal tersebut banyak orang yang secara keliru mencampurbaurkan penangkapan gelombang udara, gelombang cahaya, dan gelombang rasa itu dengan keseluruhan proses persepsi. Vernon (1962) memberikan penjelasan bahwa proses perseptual dalam membaca itu terdiri atas empat bagian, yaitu: 1) kesadaran akan rangsangan visual; 2) kesadaran akan persamaan pokok untuk mengadakan klasifikasi umum kata-kata; 3) klasifikasi lambang-lambang visual untuk kata-kata yang ada di dalam kelas yang umum; dan 4) indentifikasi kata-kata, yang dilakukan dengan jalan menyebutkannya.

Meskipun Vernon bermaksud memperuntukkan langkah-langkah tersebut bagi proses membaca, namun hal tersebut dapat pula diterapkan pada persepsi auditoris. Pada umumnya orang sepakat bahwa persepsi itu mengandung stimulus, asosiasi makna dan interpretasinya berdasarkan pengalaman tentang stimulus itu, serta respon yang menghubungkan makna dengan stimulus atau lambang. Seperti telah disinggung di muka, langkah pertama, yaitu stimulus, sering kali disalahartikan sebagai keseluruhan persepsi. Kekeliruan seperti itu mudah dikenal

dengan jalan mencamkan bahwa stimulus itu sendiri sesungguhnya tidak mempunyai makna. Kita tidak memperoleh makna dari lambang atau bunyi itu, tetapi kita membawa makna kepadanya. Sebagai contoh, kalau kita melihat sebuah titik hitam pada selembar kertas, maka titik hitam itu tidak mempunyai makna apa-apa bagi anda. Akan tetapi, jika titik hitam itu tampak di akhir deretan kata-kata yang berbentuk kalimat, maka titik hitam itu mempunyai arti tanda berhenti di ujung kalimat. Jika titik hitam itu tampak pada sebuah peta, maka anda boleh menginterpretasikannya sebagai perlambang sebuah kota. Dalam konteks lain titik hitam itu bisa diberi makna yang sama dengan lambang /e/ dalam kode Morse, atau sebagai tanda vokal dalam bahasa orang Yahudi. Jika kita tidak pernah mengasosiasikan titik hitam itu dengan makna apa pun, maka titik itu tidak akan pernah bermakna apa-apa. Fungsi utama suatu stimulus atau rangsangan, sesuai dengan namanya, ialah meminta. Bagian terpenting stimulus ialah kemampuannya mengisolasikan dan membedakan berbagai stimuli. Sebelum seorang anak dapat merespon perbedaan antara /b/ dan /d/, ia harus terlebih dahulu dapat membedakan kedua lambang itu. Sebaliknya, pengenalan terhadap /b/ yang berbeda dengan /d/, atau bunyi /be/ yang berbeda dengan bunyi /de/, tidaklah memberikan makna apa pun. Meskipun yang demikian itu merupakan persepsi, bagi anak hal tersebut hanyalah merupakan masukan permulaan yang mempermudah proses pengenalan dan identifikasi. Langkah kedua dalam persepsi, yakni asosiasi antara makna dan stimulus mempunyai kaitan yang erat dan jelas dengan langkah pertama yang merupakan isolasi stimulus. Sesungguhnya kedua langkah tersebut bersifat komplementer. Semakin mudah kita dapat mengisolasikan dan mengidentifikasikan suatu stimulus, semakin mudah pulalah bagi kita untuk mengasosiasikan makna dengan stimulus itu. Semakin banyak makna yang dapat kita berikan kepada stimulus, maka semakin

mudah pulalah bagi kita untuk mengenalinya. Bagian terpenting dari diskriminasi stimuli meliputi adanya alasan untuk melakukan diskriminasi. Meskipun /T/ dan /H/ berbeda karena perbedaan yang tampak pada garis-garis yang horizontal dan yang vertikal yang tampak pada keduanya, perbedaan itu tidak akan menjadi jelas sebelum anak mengetahui bahwa kedua huruf tersebut mempunyai bunyi yang berbeda dan bahwa jika digabungkan dengan huruf-huruf lain dapat membentuk kata tertentu. Sama halnya, jika anak tidak mempunyai pengalaman mengenai perbedaan antara bang dan bank, kesadaran atas perbedaan antara keduanya itu akan tetap tinggal pada tingkat stimulus dan tidak mengubah persepsinya mengenai makna yang dinyatakan oleh kedua kata tersebut. Sampai di sini kita baru membicarakan persepsi stimuli dalam bentuk huruf dan kata. Sesungguhnya, persepsi stimuli itu mempunyai sifat yang sama untuk bentukan-bentukan yang berupa kalimat, paragraf, bab, bahkan cerita. Makna perseptual itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman lalu, latar belakang budaya, dan asosiasi emosional dan fisik. Anak-anak berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Anak yang banyak dibacakan bacaan oleh orang tuanya dan dikelilingi tumpukan buku dan majalah serta diteladani oleh orang tua dan saudara yang cinta membaca, akan mempunyai persepsi yang berbeda terhadap membaca dengan persepsi anak yang tidak memiliki latar belakang seperti itu. Anak yang pernah mengikuti pendidikan TK (Taman Kanak-kanak), banyak berkunjung ke toko buku, banyak berdarma wisata, yang berkesempatan untuk berbicara secara bebas dengan orang tuanya dan temantemannya, mempunyai persepsi yang berbeda dengan anak-anak yang sama sekali tidak pernah mengenal latar belakang kehidupan seperti itu.

Hal lain yang tidak boleh diremehkan dalam proses perseptual ialah faktor emosional dan faktor fisik. Kedua-duanya mungkin sekali mempunyai pengaruh yang besar terhadap persepsi anak dan terhadap kata atau kejadian tertentu. Anak yang tidak merasa betah karena gangguan emosi dan fisik yang dialaminya tidak akan dapat berfungsi pada tingkatan potensi yang semestinya. Pengalaman yang dibawanya pada saat dia berpersepsi itu mungkin menjadi terbatas dan terkendala. Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa meskipun kebutaan dan kepekakan tidak perlu menjadi penyebab kegagalan, namun keduanya bisa berbaur dengan faktor-faktor lainnya sehingga menjadi sumber utama kegagalan. Anak yang merasakan kegiatan membaca itu sebagai pengalaman yang meresahkan dan menakutkan boleh dipastikan akan menjadi pembaca yang ogah-ogahan. Sifat dan intensitas pengalaman emosional yang dibawa seorang anak dallam menghadapi sebuah kata atau suatu kejadian t ertentu dapat memberi warna atau menodai makna kata atau kejadian yang dihadapinya itu. Anak yang mempunyai tikus piaraan akan mempunyai persepsi yang sangat berbeda dengan persepsi anak yang dibesarkan dalam keluarga Yahudi di daerah minoritas di tengah kota kalau kepada keduanya disajikan sebuah cerita tentang tikus. Kata salju mungkin akan memberikan bayangan suasana yang gembira ria, berpacu meluncur di salju, mungkin pula memberikan bayangan yang membosankan, kedinginan, dan kesengsaraan. Kadangkadang bisa terjadi bahwa rasa berlebihan terhadap sebuah kata itu mengubah makna kata tersebut secara berlebihan pula sehingga maknanya berubah sama sekali. Untuk mengembangkan kemampuan membaca, anak harus pula dapat memodifikasi dan menghubungkan pengalamannya dengan stimulus-stimulus yang ada dalam konteks dan lingkungan yang sedang dialaminya dalam membaca. Dengan kata lain, pada setiap anak haruslah terjadi semacam mediasi pengalihan pengalaman.

Persepsi itu sesungguhnya merentang di antara batas-batas daerah yang sangat luas, mulai dari daerah-daerah yang konkret, sangat nyata dan khusus, sampai pada hal-hal yang abstrak dan generik. Pada batas-batas terakhir yang bersifat abstrak dan generik itulah konseptualisasi terjadi. Pada daerah itulah anak dituntut berkemampuan untuk menggeneralisasikan, menganalisis, dan menyintesis, dan sebagainya. Meski betapapun luasnya pengalaman seorang anak, dia masih akan menyadari banyaknya konsep yang belum diketahuinya. Meskipun dia sudah mengetahui sejumlah konsep, namun banyak pula di antara konsep yang sudah diketahuinya itu yang belum bisa diangkatnya sampai pada taraf konseptualisasi yang jelas dan berarti. Dengan kata lain, keterbatasan anak itu tidak disebabkan oleh keterbatasan pengalamannya semata-mata, tetapi juga oleh tingkat kemampuan mentalitasnya. Anak biasanya terlebih dahulu mempelajari konsep-konsep yang konkret dan spesifik. Burung adalah merpati yang pernah dilihatnya dalam sebuah sangkar milik kakaknya; bunga adalah mawar yang tumbuh dalam sebuah pot kecil di serambi rumahnya. Lama sesudah itu barulah dia tahu bahwa burung itu bermacam-macam, ada merpati, ada balam, ada perkutut, punai, dan sebagainya. Demikian juga dengan kata bunga. Bunga itu bermacam-macam warnanya, ukurannya, bentuknya, wanginya, jenisnya, dan sebagainya. Setelah pengalamannya berkembang, dia pun akan belajar bahwa orang tidak hanya minum dari sebuah cangkir besar. Orang bisa minum dengan menggunakan cangkir kecil, macam-macam gelas, bahkan minum dengan sedotan dari sebuah kotak karton. Anak akan mampu pula mengembangkan konsepnya tentang cangkir. Sewaktu bermain rumah-rumahan, anak akan

menggunakan benda-benda tertentu sebagai cangkir.

Dengan

demikian

jelaslah

kiranya

bahwa

anak

seyogianya

sudah

berpengalaman banyak sebelum dia untuk pertama kalinya mengenal huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat dalam wacana. Semakin luas dan bervariasi pengalaman seorang anak, semakin luas pulalah terbuka kesempatan baginya untuk

mengembangkan konsep-konsep dan memperbaiki persepsinya. Melalui berbagai kegiatan seperti karya wisata, permainan, dan berbagai kegiatan kelas, guru akan dapat membekali murid-muridnya dengan pengalaman yang bermanfaat. Penampilan audio-visual, cerita, gambar, dan nyanyian pun dapat menambah pengalaman anak. Oleh karenanya, waktu khusus untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seperti itu tidak hanya penting tetapi juga sangat esensial. Dari pembicaraan sekilas mengenai membaca sebagai proses perseptual seperti yang diuraikan di atas itu pun kita dapat menyadari bahwa membaca itu sangat kompleks. Persepsi itu berpengaruh dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang jumlahnya itu banyak dalam membaca. Kita lihat bahwa proses persepsi itu tidak hanya dipengaruhi oleh pikiran, tetapi oleh kebudayaan, pengalaman, emosi, kematangan, dan bahkan kepribadian juga. Meskipun persepsi seorang anak bisa merapuh sebagai akibat dari adanya berbagai faktor perusak, guru dapat mengurangi bahkan mengatasi kerapuhan itu dengan jalan memberikan berbagai pengalaman kepada murid-muridnya itu. Guru dapat mengadaptasi dan memodifikasi berbagai pengalaman sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, sehingga kesempatan untuk mengembangkan persepsi itu bisa berlangsung dengan sebaik-baiknya.

5. Membaca Sebagai Proses Perkembangan Membaca itu pada dasarnya merupakan suatu proses perkembangan yang terjadi sepanjang hayat seseorang. Kita tidak tahu kapan perkembangan itu dimulai,

dan bilamana berakhir. Namun, kita tahu bahwa kesehatan seorang ibu yang rawan waktu mengandung atau berbagai komplikasi yang terjadi waktu bayi itu lahir pasti berakibat buruk terhadap kemampuan membaca anak itu kelak. Kita tahu bahwa anakanak tertentu mempunyai kesiapan belajar membaca lebih cepat daripada anak-anak lainnya, dan ada pula anak-anak yang memiliki kesiapan yang sangat dini, pada usia empat bahkan tiga tahun. Kita juga tahu bahwa anak-anak yang lain bisa membaca baru pada usia enam atau tujuh tahun. Setiap orang mempunyai kecepatan perkembangan kemampuan membaca seumur hidupnya dengan kecepatan yang berbeda-beda. Pendek kata, membaca itu merupakan proses yang berkelanjutan dan berubah. Seberapa pun kemampuan membaca seseorang, kemampuannya itu selalu dapat diperbaiki dengan berbagai upaya. Seseorang yang telah menamatkan sekolahnya akan merasa perlu meningkatkan kemampuan membacanya itu jika orang tersebut mempunyai hasrat untuk mempertahankan hidupnya itu secara layak. Seseorang yang memilih lapangan kerja tertentu akan dituntut untuk mengembangkan keterampilan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaannya itu. Seorang operator telepon dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk membaca nomor-nomor telepon dan angka-angka digital dengan cepat; seorang arsitek harus mapu membaca gambar cetak biru secara baik dan cekatan, kalau dia tidak mau tersesat, demikian seterusnya. Pekerjaan baru, tanggung jawab perorangan dan tanggung jawab sosial yang baru, suasana hidup yang baru, semuanya menuntut suatu perkembangan yang berlanjut dalam bidang membaca. Meski membaca itu merupakan proses perkembangan, geraknya tidaklah berada dalam jarak-jarak yang beraturan dan tidak pula tertentu waktunya. Seorang anak bisa berdiri pada usia tujuh bulan, berjalan pada usia delapan bulan, dan lari

pada usia sembilan bulan. Kemampuan yang demikian teratur jaraknya itu tidak dapat kita harapkan terjadi pada setiap anak. Demikian juga untuk perkembangan kemampuan membaca, guru harus mempunyai kejelian dalam memperhatikan kemajuan setiap anak didiknya. Kemajuan kemampuan membaca pada umumnya memang bergerak teratur, namun keistimewaan-keistimewaan tertentu bisa terjadi pada setiap anak. Masalah yang dihadapi anak ada yang bersifat problematik dan ada pula yang bersifat alami. Anak yang tidak dapat membaca karena belum cukup matang, akan menuntut kesabaran guru untuk menanti dia sampai pada tingkat kematangannya. Kesiapan anak didik itu harus dikembangkan pada setiap taraf perkembangan kemampuannya. Setiap perkembangan baru itu sesungguhnya merupakan kelanjutan dari perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menjamin adanya kesiapan anak pada tingkat perkembangan yang berikutnya, guru harus betul-betul menyiapkan kesiapan anak tersebut pada taraf sebelumnya. Dalam upaya mencamkan membaca sebagai proses perkembangan, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian guru. Pertama, guru harus selalu sadar bahwa membaca merupakan sesuatu yang diajarkan/dilatihkan dan bukan sesuatu yang terjadi secara insidental. Tidak ada seorang anak yang dapat membaca dengan jalan menonton orang lain membaca. Sebagian besar yang terjadi dalam membaca itu tidak dapat dilihat. Membaca bukanlah proses instinktif. Membaca merupakan proses yang dipelajari dan bergantung pada pemerolehan keterampilan dan prosedur tertentu. Anak boleh memahami membaca sebagai suatu jenis komunikasi dan bahwa lambang-lambang tertentu itu berupa kata. Namun, dia belum boleh dikatakan membaca sebelum guru mengajarinya mendekod atau mengubah dan mengidentifikasi lambang-lambang itu dengan konsep-konsep tertentu dan dengan pengalamannya sedemikian rupa sehingga dia memperoleh pengertian yang tepat.

Hal yang kedua yang patut diperhatikan ialah keyakinan bahwa membaca bukanlah suatu subjek melainkan suatu proses. Guru tidak boleh memandang mata pelajaran yang dikelolanya itu sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Mata pelajarannya harus menarik dan layak. Proses itu dapat digeneralisasikan terhadap tingkatan-tingkatan lain yang lebih tinggi dan terhadap mata pelajaran lainnya. Peran membaca sebagai tugas menurun tajam pada peringkat sekolah menengah pertama dan menengah atas. Oleh karena itu, pengajaran membaca terus berlangsung dalam jamjam pelajaran bahasa. Pengajaran membaca bisa juga berupa pengajaran membaca untuk makna, pengembangan kosakata, membaca pemahaman, dan pelajaran keterampilan. Akhirnya membaca itu harus dipandang sebagai alat dan bukan sebagai tugas. Anak yang mampu menguasai berbagai tingkatan proses membaca akan merasakan membaca sebagai sumber pertolongan terpenting dalam menghadapi segala persoalan dalam kehidupannya sehari-hari.

6. Membaca Sebagai Proses Perkembangan Keterampilan Telah dilukiskan secara panjang lebar bahwa membaca itu merupakan latihan yang sangat kompleks, dan sangat tergantung pada bermacam-macam faktor. Sifat proses perkembangan keterampilan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Keterampilan itu objektif. Salah satu hal yang mula-mula kita sadari waktu meneliti proses perkembangan keterampilan membaca ialah bahwa perkembangan keterampilan membaca itu bersifat objektif. Hal tersebut dipandang objektif karena dalam perkembangannya tidak bergantung kepada materi, metode, atau pun tingkatan-tingkatan akademis.

Salah satu bagian terpenting dari proses perkembangan itu ialah identifikasi keterampilan yang akan diajarkan. Jika keterampilan tertentu sudah dapat diidentifikasi, maka guru dapat menggunakan salah satu metode yang dianggap paling cocok dari sekian banyak metode yang ada serta memilih dan menentukan materi bacaan yang cocok pula dengan kebutuhan anak didiknya. Seorang anak mungkin menghendaki pembelajaran melalui program visual, sedangkan anak yang lain akan merasa lebih mudah belajar membaca itu melalui pendengaran, dan yang lain lagi melalui latihan kinestetik. Meskipun buku bacaan permulaan menyajikan materi yang layak, anda mungkin mempunyai keinginan untuk menggunakan surat kabar, majalah, dan katalog untuk mengajarkan membaca kepada pembaca dewasa. Anda tahu bahwa perkembangan keterampilan itu tidak terikat pada materi dan metode tertentu atau pun pada tingkatan kelas. Pada hakikatnya, keterampilan itu adalah keterampilan. Kita tidak mengenal keterampilan anak peringkat satu atau anak kelas enam atau kelas delapan. Berdasarkan hal tersebut, anda sebagai guru dituntut untuk menyadari seluruh keterampilan. Supaya sampai pada faktor-faktor yang diperlukan anak pada suatu tingkatan perorangan, anda harus mengetahui keterampilan yang mana yang mendahului keterampilan yang sedang diajarkan itu, dan keterampilan mana yang mengikutinya.

2) Keterampilan itu mempunyai sifat berlanjut. Meskipun keterampilan itu tidak terikat pada tingkatan kelas anak, namun kaitannya tetap tampak. Ini tidak berarti bahwa anda harus mengajarkan konsonan awal sebelum mengajarkan konsonan akhir, tanda titik sebelum tanda tanya, atau membaca fakta sebelum membaca untuk mencari ide utama. Anak akan mampu mencari materi sumber secara mandiri setelah menguasai keterampilan-keterampilan prasyarat.

3) Keterampilan itu bisa digeneralisasikan. Di samping objektif dan bertahap, keterampilan itu bersifat tergeneralisasikan. Keterampilan dasar dalam membaca dapat digeneralisasikan sehingga anak yang telah menguasai keterampilan tersebut dituntut untuk dapat menerapkannya kapan saja dan di mana saja jika situasinya menghendaki penggeneralisasian hal itu. Jika anak telah menguasai cara memahami kata secara mandiri, baginya tidak akan merupakan masalah di mana pun kata itu berada, baik dalam teks matematika, buku latihan geografi, atau pun di dalam sebuah novel. Penggunaan konteks kalimat dalam upaya memahami makna kata merupakan keterampilan yang sama dan tidak terikat pada mata pelajaran yang mana pun. Dalam perkembangan keterampilan dikenal tahapan-tahapan, atau tingkatantingkatan. Kata tahapan atau tingkatan dalam pembicaraan tentang proses perkembangan keterampilan tidak mempunyai arti tingkat-tingkat yang berlainan makna. Seorang anak tidak perlu berhenti berkembang untuk keterampilan tertentu karena dia harus mulai mengembangkan keterampilan lainnya. a) Dasar proses perkembangan keterampilan ialah perkembangan konsep. Hal tersebut dimulai dengan pengalaman anak yang pertama kali yang terus berkembang seumur hidupnya. Perkembangan konsep itu merupakan prasyarat untuk membaca, sama juga halnya untuk menyimak dan berbicara. Pengembangan konsep itu merupakan bank pengetahuan yang bagi anak berfungsi sebagai tempat menyimpan dan mengambil informasi secara terus-menerus. Dalam pertumbuhannya itu anak-anak tumbuh dan berubah, demikian juga perbendaharaan konsepnya akan terus tumbuh dan berubahubah.

Pertumbuhan dan perubahan konsep anak banyak bergantung pada latar belakang pengalamannya. Anak yang mempunyai satu macam lingkungan saja, tingkat komunikasi yang itu-itu juga, serta pengalaman yang sejenis, akan terhambat perkembangan kosakatanya. Anak mengenal makna kata-kata itu melalui penyimakan penggunaannya dan upaya penggunaannya sendiri. b) Tahap perkembangan yang kedua merupakan pengenalan dan identifikasi. Pada waktu anak membina dasar-dasar konsep yang pertama, dia mulai pula menghubungkan konsep-konsepnya itu dengan stimuli tertentu. Contoh yang jelas mengenai hal ini dalam kegiatan membaca, misalnya terjadi pada pengenalan huruf dan kata. Dia belajar menghubungkan huruf dan kata atau kombinasi huruf dan kombinasi kata itu dengan konsep-konsep yang bermakna baginya. Jika dia berhasil mengombinasikan keduanya, yakni stimulus dan konsep, maka dia pun memperoleh makna dari pengalamannya itu. c) Tahapan ketiga, perkembangan itu merupakan interpretasi mengenai informasi. Anda tentu tahu bahwa anak sudah mulai melakukan kegiatan penginterpretasian informasi itu sejak awal proses, meskipun upayanya itu belum jelas. Dalam hal ini, kita perlu membedakan dua macam interpretasi, yakni yang literal dan yang inferensial. Interpretasi literal ialah interpretasi fakta ketika fakta itu dihadapkan. Contoh interpretasi literal yang merupakan keterampilan pemahaman tampak pada kalimat dan pertanyaan di bawah ini. Columbus menemukan benua Amerika tanggal 12 Oktober 1492. (1) Siapakah yang menemukan Amerika? (2) Kapankah Columbus menemukan Amerika? (3) Negeri apakah yang ditemukan Columbus?

Meski contoh itu terlalu disederhanakan, bentuknya sama dengan tes untuk mengetahui interpretasi literal. Anda melihat bahwa tugas tersebut tidak lebih dari sebuah suruhan untuk mencocokkan fakta dengan pertanyaan. Jika anak tidak diizinkan melihat kembali kalimat-kalimat stimulus tadi, berarti kita telah memasukkan unsur ingatan ke dalamnya. Pernyataan stimulus yang sama boleh digunakan sebagai dasar pertanyaan yang bersifat inferensial, misalnya, Menurut pikiranmu, bagaimana kira-kira perasaan Columbus saat melihat Amerika untuk pertama kali? Pertanyaan yang terakhir ini mengubah isi harapan; oleh sebab itu, mengubah pula isi penugasan. Perbedaan utama antara interpretasi literal dan interpretasi inferensial terletak pada harapan siswa itu sendiri. Sifat ekstrinsik seperti yang tampak pada ketiga pertanyaan pertama dan sifat intrinsik seperti yang tampak pada pernyataan yang terakhir merupakan hal yang perlu dipahami. Untuk melukiskan perbedaan antara interpretasi literal dan inferensial cobalah perhatikan paragraf berikut ini dan pertanyaanpertanyaan yang mengikutinya yang bersifat inferensial. Joko menaruh sepeda barunya di trotoar persis di depan rumah Kino. Kino melihatlihat sepeda itu. Dia ingin benar memiliki sepeda baru seperti itu. Kepunyaannya sudah tidak keruan catnya, bunyi-bunyi berdenyit dan gemertak pun terdengar jika Kino menaikinya. Akan tetapi, sepeda baru sangat mahal sekarang, sedangkan Kino sangat miskin.

Pertanyaan (1) Bagaimana kamu tahu bahwa Kino tidak mempunyai sepeda baru? (2) Di manakah cerita itu terjadi? A. di desa

B. di kota C. di daerah perkebunan (3) Menurut pikiranmu, apa sebabnya Joko mau supaya Kino melihat sepeda barunya itu?

Bagaimana pendapat anda mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas? Untuk menjawab ketiga pertanyaan itu diperlukan tiga macam informasi. Ada tiga macam informasi untuk menjawab pertanyaan yang pertama: (1) Kino ingin sekali sepeda baru; (2) Sepeda Kino sudah berbunyi-bunyi dan tidak keruan lagi catnya; dan (3) Kino sangat miskin. Untuk menjawab pertanyaan kedua, hanya ada satu informasi yang bisa digunakan, yaitu "Baik di desa maupun di perkebunan tidak ada trotoar". Oleh sebab itu, dapatlah dipastikan bahwa kejadian itu berlangsung di kota. Terhadap pertanyaan ketiga tidak ada jawaban yang benar yang bisa diberikan. Kita tidak mempunyai fakta sebagai dasar jawaban kita. Dalam hal ini setiap jawaban yang logis haruslah dianggap benar. Jawaban kita mungkin mencerminkan pengalaman yang mempunyai kesamaan dengan alasan untuk menunjukkan benda baru yang kita miliki. Dengan demikian inferensi itu meliputi interpretasi dan kombinasi fakta dan pengalaman apa pun yang kita miliki yang dapat kita gunakan untuk memenuhi harapan kita. Pada satu waktu tertentu inferensi itu bisa meliputi analogi, pengenalan, penginterpretasian, dan penerjemahan atas suatu fakta. Pada waktu yang lain lagi inferensi itu bisa menuntut kita untuk memintasi pengalaman pribadi pada waktu berupaya untuk mengidentifikasi secercah informasi yang mempunyai relevansi dengan harapan.

d) Tahap proses perkembangan keterampilan yang keempat ialah aplikasi dan generalisasi. Meskipun sudah memiliki dasar konsep yang boleh dikatakan layak dan menguasai keterampilan-keterampilan yang terlibat ke dalam rekognisi atau pengenalan, pengidentifikasian, dan penginterpretasian informasi, namun prosesnya belum tentu lengkap. Dia boleh jadi belum memiliki kemampuan untuk menerapkan dan menggeneralisasikan keterampilan dan informasi yang diperolehnya itu. Dia tidak akan sampai pada taraf pembaca yang mandiri sebelum memiliki kemampuan tersebut. Kita dapat melihat contoh-contoh penerapan dan penggeneralisasian itu pada setiap tahapan proses perkembangan. Generalisasi dan interpretasi itu merentang dari pengenalan, seperti pengenalan ciri-ciri melati, ros, dan kenanga sebagai bunga, /c/ kecil, /C/ kapital, dan /c/ tulisan tangan itu dibunyikan sama. Kemampuan anak itu belum cukup jika berhenti pada sebatas pengenalan semata. Dia baru boleh dianggap menguasai informasi itu jika sesudah mengenalinya, dia mampu pula

mengaplikasikannya dan menggeneralisasikannya.

RANGKUMAN Dalam bab ini telah diuraikan secara ringkas mengenai proses membaca. Proses membaca dimaksud merupakan proses psikologis, proses sensoris, proses perseptual, proses perkembangan, dan proses perkembangan keterampilan. Tekanan utama pembicaraan diletakkan pada keyakinan yang menyatakan bahwa membaca merupakan proses yang berorientasi individual. Setiap anak merupakan pribadi yang unik dan kompleks, yang mempunyai hubungan yang kompleks dengan membaca.

Hanya dengan jalan memahami semuanya itu dan mencamkannya dalam kegiatan belajar mengajar, anak akan dapat kita tolong untuk mencapai potensi membacanya. Perlu anda maklumi bahwa bab ini tidak sekali-kali dimaksudkan untuk melukiskan proses membaca itu secara pasti. Dengan membaca dan memahami isi bab ini, anda diharapkan memiliki pandangan yang terarah pada masalah yang mungkin anda hadapi dalam tugas anda. Denagn jalan melihat proses itu dari berbagai sudut pandang, anda akan mempunyai pengertian yang lebih baik mengenai hakikat membaca. Anda boleh yakin bahwa dengan memiliki pengertian yang lebih baik akan dapat membekali setiap anak dalam kelas dengan pengalaman yang lebih berarti.

SEKAPUR SIRIH

MODUL 1: HAKIKAT MEMBACA

PENDAHULUAN Kegiatan Belajar 1: Membaca sebagai Proses Psikologis Rangkuman Latihan Tes Formatif 1

Kegiatan Belajar 2:

Membaca sebagai Proses Sensoris Rangkuman Latihan Tes Formatif 2

Kegiatan Belajar 3:

Membaca sebagai Proses Perseptual Rangkuman Latihan Tes Formatif 3

Kegiatan Belajar 4:

Membaca sebagai Proses Perkembangan Rangkuman Latihan Tes Formatif 4

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF DAFTAR PUSTAKA

MODEL-MODEL MEMBACA ( Teori dan Praktek dalam Pengajaran Membaca)

PENDAHULUAN Sampai sekarang di kalangan guru sekolah masih hidup suatu keyakinan, bahwa pandangan seseorang terhadap suatu teori tertentu akan melandasinya dalam bersikap dan bertindak. Pandangan ini disitir dari pernyataan Wardhaugh (1969), yang berarti kira-kira "sesungguhnya bagi guru sekolah tidak ada yang lebih praktis daripada suatu teori yang baik". Pengajaran yang baik ialah pengajaran yang didasari oleh suatu pemahaman dan pengertian teoretis yang baik terhadap suatu teori tertentu. Teori adalah penjelasan yang abstrak tentang suatu kejadian tertentu atau tentang seperangkat fenomena. Sebagai contoh, ambillah teori kinetik tentang gas yang menjelaskan pola gas di alam ini. Teori itu menganut pandangan bahwa gas itu tersusun atas partikel-partikel yang bergerak terus-menerus. Istilah teori mempunyai kedekatan makna dengan istilah model. Model dapat diartikan sebagai definisi operasional tentang suatu teori tertentu. Kembali kepada contoh kita tentang teori kinetik. Teori kinetik mengenai gas mempunyai banyak model. Namun, tidak selayaknya dibicarakan di sini semuanya. Untuk memahami arti kata "model" baiklah kita ambil satu contoh saja. Model yang paling umum diterima adalah model yang menyatakan bahwa pola gas itu merupakan suatu fungsi efek tekanan, panas, dan volume terhadap molekul-molekul gas tertentu. Teori kinetik untuk gas itu, baik teorinya sendiri maupun modelnya, kedua-duanya mempunyai sifat yang formal, cermat, dan spesifik, meliputi sejumlah hukum yang valid, yang biasa dinyatakan dengan rumus yang dikenal dan bisa dipahami oleh siswa tingkat lanjutan atas.

Dalam bab ini anda akan memperoleh keterangan tentang teori dan model membaca yang mempunyai sifat yang tidak sama dengan teori dan model yang telah disinggung di atas tentang teori kinetik itu. Model-model membaca tersebut mempunyai pengruh yang penting terhadap pengajaran membaca. Karenanya anda perlu mempelajarinya dengan baik. Sayang, uraian mengenai hal ini belum ada yng ditulis dalam bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dengan mempelajari bab ini anda akan memperoleh gambaran yang cukup baik tentang model-model membaca. Secara lebih khusus, anda diharapkan dapat memahami model-model membaca yang terpenting, yang meliputi: a) menjelaskan "model membaca bawah-atas"; b) menjelaskan "model membaca atas-bawah"; c) menjelaskan "model membaca interaktif"; d) mengidentifikasi komponen-komponen model membaca; e) mengaplikasikan model pengajaran membaca yang berlandaskan teori tertentu.

2. Model Membaca Bawah-Atas (MMBA) Model membaca sangat berkaitan dengan proses membaca. Studi yang sistematis tentang proses membaca dimulai sejak tahun 1880-an. Pada waktu itu proses membaca merupakan pusat perhatian para ahli psikologi eksperimental. Di antara tahun 1950-an dan tahun 1960-an perhatian para ahli diarahkan pada definisi dan penjelasan tentang membaca. Semenjak tahun 1970-an timbul model-model dan teori membaca yang bertitik tolak dari pandangan ahli psikologi perkembangan dan psikologi kognitif, proses informasi, psikolinguistik dan linguistik. Para ahli membaca mencari penjelasan yang lebih terinci mengenai proses membaca dan penjelasan teoretisnya mengenai hal tersebut. Model membaca itu

ternyata tidak hanya satu melainkan banyak model. Namun, model-model proses membaca tersebut tampaknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi model, yakni: 1) Model Membaca Bawah-Atas (MMBA) atau bottom-up; 2) Model Membaca Atas-Bawah (MMAB) atau top-down; dan 3) Model Membaca Timbal Balik (MMTB) atau interactive.

Sebelum membaca penjelasan tentang ketiga model tersebut, sebaiknya Anda mencamkan bahwa tidak satu pun di antara ketiga model itu dapat diterima sebagai model yang terbaik. Setiap model mempunyai titik berat perhatian terhadap aspekaspek tertentu. Tidak ada model yang membicarakan fase-fase proses membaca itu secara keseluruhan. Gambar di bawah ini melukiskan perbedaan pokok antara MMBA dan MMAB.

MMAB (Top down)

Memori Jangka Panjang

Pemahaman (Makna)

Memori Jangka Pendek

Kode Bunyi (Pola Bunyi)

Memori Ikonik Kode Visual (Pola Visual) MMBA (Bottom Up)

Pada MMBA struktur-struktur yang ada dalam teks itu di anggap sebagai unsur yang memainkan peran utama. Struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder. Sebaliknya, MMAB beranggapan bahwa struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya memainkan peranan utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder. MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, dekode dan enkode. Dekode ialah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita. Enkode ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambang-lambang. Peristiwa dekoding tampak pada pihak penyimak (dalam peristiwa komunikasi lisan) dan para pembaca (dalam peristiwa

komunikasi tulis). Sementara kegiatan enkoding terjadi pada para pembicara (untuk peristiwa komunikasi lisan) dan para penulis (untuk peristiwa komunikasi tulis). Pada MMBA pembaca akan memulai proses membacanya dengan pengenalan dan penafsiran terhadap huruf-huruf atau unit-unit yang lebih besar dari huruf yang terdapat dalam materi cetak. Setelah itu, barulah dia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu. Setelah kata-kata teridentifikasi segera didekode dalam bahasa batin. Di situlah tempat pembaca memperoleh makna. Proses ini sama seperti yang terjadi pada waktu menyimak. Jika kita lihat proses membaca dengan MMBA, tampaknya yang memainkan peranan utama dalam proses membaca tersebut adalah unsur teks. Informasi dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk diidentifikasi dan dincari maknanya. Proses ini akan terjadi manakala seorang pembaca berhadapan dengan materi-materi bacaan baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Membaca pemahaman dianggap sebagai hasil otomatisasi kerja visual dan pikiran yang diperoleh dari pengenalan kata secara cermat. Para penulis berbagai bidang profesi, seperti: Flesch (jurnalistik , Gagne (psikologi), dan Gough (teori proses informasi) berpendapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah terjemahan lambang grafik ke dalam bahasa lisan. Mereka berpendapat bahwa bahasa tulis itu tunduk kepada aturan bahasa lisan. Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satusatunya dalam proses membaca model bawah atas. Menurut MMBA, tugas pertama dan utama dalam membaca ialah mendekode lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relatif pasif dalam proses penerjemahan itu. Satu-satunya pengetahuan yang disiapkannya ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi. Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu

diproses oleh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya, tanpa ada hubungannya dengan isi bacaan. Definisi-definisi membaca yang dibuat oleh Rudolf Flesch dan C.C. Fries yang tertera di bawah ini menunjukkan model membaca bawah-atas. Fries (1962), mendefinisikan membaca sebagai kegiatan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan merespon seperangkat pola yang terdiri atas lambang-lambang grafis. Model-model pemikiran yang sejalan dengan MMBA itu melahirkan metodemetode pengajaran membaca tertentu. Para guru membaca akan memilih metodemetode pengajaran tertentu sesuai dengan pandangan teoretis yang dianutnya. Inilah yang oleh Wardaugh disebut sebagai pandangan seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap teori tertentu yang dianutnya. Metodemetode pengajaran membaca yang dipandang sebagai cerminan dari pandangan MMBA antara lain, metode Alfabet, metode Fonik, metode Kata Kunci, metode Silabik, dan sebagainya. Metode Alfabet merupakan metode pengajaran membaca yang tertua. Dalam zaman keemasan Yunani dan Roma orang mengajarkan membaca denagn Metode Alfabet. Dalam Metode ini, huruf-huruf yang akan diajarkan itu diucapkan sama dengan ucapan alfabetisnya. Dengan demikian huruf "D" diucapkan /de/; huruf "K" diucapkan /ka/, huruf "L" diucapkan /el/; huruf "M" diucapkan /em/ dan selanjutnya. Menghubungkan ucapan "k" /ka/ dan "i" /i/ menjadi "ki" /ki/ ternyata merupakan hal yang tidak mudah bagi anak-anak yang baru mulai belajar membaca. Itulah sebabnya dalam metode Fonik, konsonan-konsonan itu tidak diucapkan seperti ucapan Alfabet. Huruf "K" tidak diucapkan /ka/, tetapi /kh/atau /ek/; huruf "D" tidak

diucapkan /de/. tetapi /dh/ atau /ed/. Demikian seterusnya, setiap lambang diucapkan berdasarkan bunyinya, berdasarkan bagaimana bunyi itu seharusnya diucapkan. Langkah metode Fonik ini serupa benar dengan metode Alfabet dalam pengajaran membaca permulaan. Pengucapan suatu lambang bunyi tertentu diikuti oleh kegiatan menghubungkan bunyi itu dengan huruf-huruf yang melambanginya. Dengan demikian, para pemula melakukan proses belajar membaca permulaannya dimulai dari pengenalan dan pengidentfikasian lambang cetak dari teks. Dengan bantuan alat visualnya, para pembaca pemula akan menarik lambang-lambang yang dilihatnya ke dalam memori untuk ditafsirkan (dalam hal ini: diingat-ingat). Oleh karena itu, metode-metode pengajaran tersebut digolongkan ke dalam metode yang menganut pandangan MMBA dalam proses membaca. Salah seorang tokoh MMBA, Gough (1972) mencoba menunjukkan proses membaca itu dalam sebuah model berurut-lanjut, tidak interaktif. Menurut pendapatnya, proses tersebut meliputi urutan-urutan seperti berikut ini. (1)Informasi grafemik diserap melalui sistem visual dan disimpan secara singkat di dalam "ikon". (2)Pesan tersebut dikilas dan diolah di dalam perlengkapan pengenal pola yang dapat mengenali huruf-huruf. (3)Huruf-huruf ini kemudian dikirim ke pencatat huruf yang menahan huruf-huruf itu, sementara pendekod mengubah huruf-huruf tersebut menjadi gambaran fonem. (4)Gambaran fonem ini masuk ke dalam "librarian" yang mencarikan leksikon, dan mencocokkan untaian fonemik dengan entri yang sudah ada dalam leksikon. (5)Untaian leksikal yang dihasilkan oleh librarian itu masuk ke dalam memori pertama.

(6)Memori pertama itu dapat menangkap satuan leksikal itu sampai lima buah, dan hal ini merupakan masukan bagi "merlin". (7)Merlin menggunakan pengetahuannya tentang sintaksis dan sematik untuk menentukan "struktur dalam" atau mungkin makna masukan itu. (8)Akhirnya, struktur dalam atau pernyataan-pernyataan tentang makna itu masuk ke dalam "Tempat Tujuan Kalimat-kalimat (TTKSMD), setelah maknanya dipahami.

Dengan demikian, kegiatan membaca itu selesai setelah semua masukan teks itu dapat melewati sederetan transformasi dan mencapai TTKSMD. Gambaran di bawah ini membantu menjelaskan proses membaca menurut MMBA.

Masukan Grafemik

Sistem Visual

IKON

Pengenal Pola

Pemintasl

Pencatat Huruf

Buku Sandi

Penyandi

Perekam Fonemik

Leksikon

Pustakawan

Memori Awal

Kaidah Semantik dan Sintaksis

Merlin

TTKSMD

3. Model Membaca Atas-Bawah (MMAB) Dalam uraian terdahulu kita telah membicarakan ihwal MMBA yang dalam pelaksanaan proses membacanya mengutamakan struktur yang tampak pada bahan

bacaan. Oleh karena itu, model tersebut diistilahkan dengan model membaca bawahatas, karena proses yang dilaluinya bermula dari bawah, yakni dari bacaan, bukan dari otak pembacanya. MMAB mengajukan hal lain. Dalam MMAB kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa mempunyai peran pertama dan utama dalam penyusunan makna dari materi cetak dalam proses membaca. Kebanyakan model MMAB ini berpijak pada teori psikolinguistik, yakni pandangan tentang interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) yang melukiskan kegiatan membaca sebagai "permainan menebak dalam psikolinguistik", berpendapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan atau menerka. Ketika informasi itu diproses, terjadilah keputusankeputusan sementara untuk menerima, menolak, atau mungkin memperhalus masukan tersebut. Berlainan dengan MMBA, MMAB menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mendukung hipotesis mengenai makna yang sudah terbentuk ketika alat viasual menangkap lambang-lambang cetak. Kata-kata tidak dapat diserap daerah pandangan mata, jika tidak cocok dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang diproses oleh pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya. Makna (pemahaman) diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari sistem isyarat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik atau grafofonemik diturunkan dari materi cetak. Isyarat-isyarat lainnya berasal dari kompetensi kebahasaan pembaca yang sudah tersedia di dalam benaknya. Pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memilih isyarat grafis yang paling berguna. Setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang

pula tingkat keperluannya, sebab pembaca sudah mempunyai teknik samping yang lebih baik, kontrol terhadap struktur bahasa yang lebih baik juga, serta telah memiliki perbendaharaan konsep-konsep yang lebih kaya. Strategi-strategi untuk membuat prakiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan mengantisipasi apa yang akan tampak selanjutnya di dalam materi cetak yang sedang dibacanya itu. Validitas prakiraan itu dicetak melalui penggunaan strategi-strategi konfirmasi. Jika prakiraan itu tidak cermat, maka digunakanlah strategi pengoreksian yang di dalamnya terjadi pemrosesan isyarat tambahan untuk mencari makna bacaan. Berbeda dengan model-model "membaca sebagai terjemahan", para ahli MMAB berpendapat bahwa pembaca yang terampil selalu melangkah langsung dari kata-kata tercetak ke bagian makna tanpa merekamnya terlebih dahulu ke dalam ujaran. Karena pembaca dapat mengetahui makna tanpa melakukan identifikasi kata secara cermat, maka transformasi dalam bidang vokabuler (koakakata) atau sintaksis yang tidak mengubah arti dipandang sebagai hal yang dapat diterima. Hal ini disebabkan pembaca boleh dipandang sebagai orang yang mempunyai pemahaman terhadap bacaannya itu. Psikolinguis seperti Goodman dan Smith tidak suka pada pengajaran keterampilan-keterampilan membaca yang biasa diajarkan secara berurutan. Psikolinguis yang lain, Shuy (1977), berpendapat bahwa proses behavioral (hubungan huruf- bunyi) mendominasi kegiatan membaca pada pembaca pemula. Setelah pembaca itu belajar lebih banyak lagi, maka dia semakin mengarah pada strategistrategi kognitif. Fungsi mata memainkan peranan minor dalam kegiatan membaca dengan model ini. Model membaca dengan tipe MMAB ini tampaknya dilandasi oleh sebuah

asumsi tentang prinsip kerja mata. Prinsip ini menganut pandangan bahwa jika seseorang terlalu menaruh harapan pada kerja visual akan berdampak negatif terhadap keberhasilan membaca. Semakin besar harapan kita terhadap kerja mata, semakin sulitlah mata untuk mampu melihat. Seseorang yang terlalu memfokuskan perhatian terhadap bacaan yang ada di depan matanya dapat megalami kebutaan sementara. Halaman yang sedang dibaca bisa menjadi kosong tak bertuliskan apa-apa. Salah satu kendala yang dihadapi anak yang sedang belajar membaca ialah seringnya mereka tidak mampu melihat huruf yang cukup banyak dalam sekali pandang. Dengan MMAB, kendala tersebut dapat diatasi dengan jalan melakukan prediksi (prakiraan). Mungkin, pembaca hanya butuh melihat beberapa huruf dari kelompok huruf yang seharusnya dilihatnya, namun dia akan beroleh pemahaman yang sama seperti jika dia melihat seluruh huruf yang terdapat dalam kelompok huruf tersebut. Dengan bantuan prediksi, beban kerja mata pada saat membaca menjadi berkurang. Memang benar, mata memainkan peranan tertentu dalam kegiatan membaca. Orang tidak akan dapat membaca dengan mata tertutup atau dalam keadaan gelap. Namun, informasi visual itu semata-mata tidaklah cukup. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, bacalah wacana di bawah ini.

"Increasing numbers of late Pleitocene macrofossil indicate that boreal spruce forest similar to the existing taiga in Canada was present on the northern Plains at the same time".

Apakah informasi visual yang tersaji dalam wacana di atas dapat menolong kita untuk memahami makna wacana itu? Bukankah kita akan menjawab "tidak"?

Nah, sekarang jelaslah bahwa informasi visual semata-mata tidaklah cukup untuk memberi kita sebuah pemahaman tentang isi wacana yang bersangkutan. Untuk memahami wacana yang dibacanya, pembaca memerlukan bekal dasar yang lain. Penguasaan bahasa yang digunakan dalam wacana, keakraban dengan bidang pengetahuan yang disajikan di dalamnya, dan kemampuan umum dalam kegiatan membaca, merupakan hal-hal yang harus dimiliki pembaca untuk memahami isi wacana yang bagaimana pun bentuknya. Hal-hal tersebut dapat kita golongkan ke dalam golongan informasi nonvisual. Model membaca atas-bawah tampaknya sejalan dengan pendapat Nutall (1989) dan Goodman(1967). Mereka melukiskan proses pemahaman bacaan itu sebagai "psycholinguistic guessing game". Kemampuan memahami bacaan dilukiskan bukan sekedar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak, melainkan juga proses menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna. Pernyataan Goodman tersebut mengimplisitkan tentang peran skema/skemata dalam proses membaca. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memberi warna terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan seseorang. Inilah yang disebut Smith (1986) sebagai informasi nonvisual. Bagi Smith, pemahaman bacaan mengandung arti proses menghubungkan bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Dengan demikian, dalam kegiatan membaca proses pemahaman bacaan akan diperoleh melalui informasi visual dan informasi nonvisual. Sekarang, dapatkah anda membedakan informasi visual dengan informasi nonvisual? Secara kasar kita dapat mengatakan bahwa informasi visual akan/bisa hilang bersamaan dengan hilangnya cahaya penerang. Informasi nonvisual ada di dalam pikiran setiap pembaca, dibelakang matanya. Informasi visual dan informasi

nonvisual itu mempunyai hubungan yang tidak jelas, tetapi keduanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan membaca. Hubungan timbal-balik antara kedua informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.

Informasi Visual

Informasi Nonvisual

Membaca

Gambar di atas itu memperlihatkan ilustrasi bahwa semakin banyak informasi nonvisual dimiliki dan dimanfaatkan seseorang dalam kegiatan membaca, maka kebutuhan akan informasi visual akan semakin berkurang. Sebaliknya, semakin sedikit informasi nonvisual yang dimiliki seseorang, semakin banyaklah informasi visual yang diperlukannya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa semakin banyak pengetahuan siap pembaca sebelumnya, semakin berkuranglah hal-hal yang harus dicari dan ditemukannya dalam bacaan. Kenyataan bahwa informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat saling menggantikan dalam proses membaca, sangat perlu diperhatikan. Otak mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengelola informasi visual. Mata akan memperoleh kesempatan untuk beristirahat, jika pembaca dapat menggunakan informasi nonvisualnya atau pengalamannya itu dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatasi bacaan yang sulit, pembaca tidak dapat mengurangi kecepatan bacanya dan mengasimilasikan informasi visual lebih banyak, sebab di antara mata dan otak itu ada bottleneck. Mengenai hal ini dapat dilukiskan melalui gambar berikut. Gambar ini

memperlihatkan bagaimana dan sejauh mana otak dapat menampung informasi dari informasi visual yang tampak dalam materi cetak.

Informasi Visual

Informasi Nonvisual

Membaca

Otak itu mudah kewalahan oleh informasi visual sehingga kemampuan untuk melihat menjadi sangat tebatas bahkan bisa berhenti sejenak. Oleh karena itu, kemampuan dasar membaca tidak lain dari kemampuan menggunakan informasi nonvisual secara maksimum, dan mengurangi sebanyak-banyaknya informasi melalui mata. Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang dapat melihat segala sesuatu yang ada di depan matanya, asalkan orang tersebut berada di tempat terang dengan mata terbuka. Bahkan kita juga berkeyakinan bahwa penglihatan itu bersifat langsung. Kita melihat sesuatu, seketika itu pula penglihatan kita terarah kepada sesuatu itu. Lebih dari itu, kita juga mengira bahwa matalah yang bekerja dan bertanggung jawab untuk benda-benda yang kita lihat itu. Namun sesungguhnya, mata kita sama sekali tidak melihat. Tugas mata tidak lebih dari sekedar menyerap informasi visual dalam bentuk berkas-berkas cahaya dan mengubahnya menjadi energi syaraf yang merambat melalui jutaan serabut syaraf optik, kemudian masuk ke dalam otak. Yang kita lihat sesungguhnya adalah interpretasi otak terhadap pesan,

kesan, berita yang masuk melalui syaraf. Dengan kata lain, otaklah yang melihat, sedangkan mata hanyalah "memandang" atas perintah otak. Otak, sudah tentu, tidak melihat segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di depan mata. Oleh karena itu, sering kali otak itu pun berbuat salah atau bahkan dapat melihat sesuatu yang tidak berada di depan mata kita. Inilah yang disebut kegiatan "memprediksi", kegiatan memperkirakan. Sebuah perkiraan, tentu saja bisa benar dan bisa juga salah. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan kritikan para pakar yang tidak sependapat dengan pandangan MMAB. Dengan kata lain, persepsi visual itu meliputi keputusan-keputusan yang terjadi dalam otak. Waktu kita melihat seekor kuda di sebrang lapangan, otaklah yang menentukan bahwa yang kita lihat itu adalah seekor kuda. Kita pun akan melihat kuda meski otak membuat kekeliruan. Jika kita diberi alamat oleh seseorang dengan tulisan seperti yang tertera di bawah ini JALAN M1OS IO

Yang kita lihat adalah dua kata, Jalan mios dan angka sepuluh. Padahal, jika kita teliti kembali lambang yang dipakai untuk menyatakan bilangan sepuluh itu sama benar dengan huruf yang menyatakan bunyi/i/ dan /o/. Informasi visual yang sama itu diinterpretasikan dalam otak sebagai lambang yang berbeda. Dengan demikian, jelaslah bahwa otak mempunyai peranan penting dalam kegiatan membaca. Thorndike berkata bahwa membaca adalah berpikir. Banyak ahli berpendapat bahwa kegiatan membaca itu harus berdasarkan fonik. Bagi mereka, orang dapat membaca karena dimungkinkan oleh fonik. Bagaimana mungkin orang mengenali kata-kata tanpa menyuarakannya?

Terhadap pertanyaan itu kita dapat memberikan jawaban bahwa kita mengenali kata-kata itu dengan cara yang sama dengan cara mengenali objek-objek lainnya, seperti pepohonan, binatang, awan, gunung, kapal terbang, mobil, kereta api, meja, kursi, nasi, roti, dan sebagainya, ialah dengan sekali pandang. Tidak ada perbedaan fundamental antara pengenalan terhadap objek-objek berdimensi tiga itu dengan pengenalan terhadap huruf-huruf dan kata-kata. Menurut hasil penelitian, orang merespon lebih cepat terhadap kata-kata tertulis kuning, merah, biru, hijau, hitam, dan sebagainya daripada kepada kertas yang berwarna tersebut. Makna lebih erat hubungannya dengan tulisan daripada dengan suara. Kata bang dan bank berbeda maknanya bukan karena berbeda bunyinya melainkan karena berbeda penampilannya. Kedua kata tersebut mendekod bunyi yang sama, tetapi artinya tetap berbeda, karena penulisannya berbeda. Fonik itu tidak efektif. Lebih dari itu, tidak perlu. Hal tersebut dapat lebih jelas dibuktikan pada orang-orang Jepang atau Cina yang menggunakan logografik. Katakata tertulis itu merupakan lambang-lambang ide, bukan lambang-lambang bunyi. Orang Katon dan Mandarin yang berbeda tuturnya, masih dapat berkomunikasi dengan menggunakan tulisan, karena sistem tulisan mereka kebetulan sama. Kalau anda mendengar kalimat Deux et deux font quatre, dapatkah anda memahami maknanya? Ya, sebagian besar mungkin akan menjawab "tidak". Mengapa sebagian besar dari kita tidak memahaminya? Hal ini disebabkan kita tidak memahami bunyi bahasa mereka, tidak pula memahami struktur kalimat yang mereka gunakan. Kalimat tersebut sebenarnya bisa diganti dengan lambang 2 + 2 = 4. Sekarang, tidak seorang pun di antara kita yang akan berkata "Saya tidak memahami artinya". Dengan demikian, sekali lagi dapat kita buktikan bahwa kegiatan dekode itu tidak perlu.

Dalam model membaca yang menunjukkan gerak dari atas ke bawah ini, atau membaca dari belakang mata, dikenal istilah tunnel vision, yakni peristiwa penyempitan pandangan. Jika sewaktu membaca, seseorang hanya dapat

menggunakan dan memanfatkan sebagian kecil saja informasi nonvisual, maka materi cetak yang dapat dilihatnya pun sedikit pula. Jika pembaca tidak dapat meggunakan informasi nonvisual itu sepenuhnya, maka penglihatannya akan sangat terbatas. Penglihatan yang sangat tebatas itu disebut tunnel vision. Tunnel vision bukanlah penyakit mata. Hal ini bisa terjadi, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Gangguan tunnel vision (TV) ini pun tidak hanya terjadi pada kegiatan membabaca, pada saat orang sedang membaca. Tunnel vision TV terjadi pada setiap situasi, yakni manakala otak dipaksa untuk memproses bahan dalam bentuk informasi yang nonvisual. Kemampuan membaca bergantung pada kemampuan menggunakan informasi secara ekonomis dan pada penggunaan informasi nonvisual sebanyak-banyaknya. Namun, tunnel vision ini tampaknya tidak dapat dihindarkan dalam hal-hal berikut ini. 1) Membaca sesuatu yang tidak bermakna akan menimbulkan TV. Jika pada waktu membaca, seseorang tidak dapat membuat membuat prakiraan yang biasa terjadi sebagai akibat dari materi bacaan yang tidak terpahami, maka pembaca akan mengalami hal yang sama, TV. 2) Pembaca yang enggan memanfaatkan informasi nonvisual akan mengalami TV. Penggunaan informasi nonvisual memang mengandung resiko. Pembaca selalu dihadapkan pada kemungkinan berbuat keliru. Akan tetapi, jika pembaca tidak melakukan kekeliruan dalam kegiatan membacanya, mungkin dia itu membaca tidak efisien, sebab dia memproses informasi visual lebih dari yang semestinya.

Kekeliruan tidak perlu dikuatirkan dalam upaya membaca, asalkan pembaca berupaya untuk menggunakan informasi nonvisual yang semestinya. Kalau dalam bacaanya seorang pembaca membaca rumah untuk kata asrama maka kesalahan seperti itu tidak perlu dikuatirkan. 3) Akibat terbesar yang disebabkan oleh keengganan terja di bila keengganan itu timbul karena kecemasan. Dalam situasi yang mana pun dalam hidup kita ini, semakin besar rasa cemas seseorang dalam pengambilan suatu keputusan, maka semakin banyaklah informasi yang dia perlukan sebelum mengambil keputusan itu. Kecemasannya itu menimbulkan TV, dan TV menghilangkan kemungkinan pemahaman yang layak. 4) Kebiasaan membaca yang jelek menyebabkan terjadinya TV. Jika pembaca membaca terlalu lambat akan menimbulkan TV, sebab sistem visual akan tertimbun oleh informasi visual yang diupayakan untuk diperolehnya dari materi bacaan. Jika pembaca enggan untuk membaca laju ke depan, jika dia mengulangulang bacaannya untuk mengingat hal-hal yang kecil-kecil, jika dia mencoba membaca cermat setiap kata dalam setiap untaian kalimat maka dia akan menghadapi TV. Sayang sekali, kebiasaan jelek itu merupakan bahan pengajaran untuk meyakinkan bahwa dengan jalan demikian anak akan pandai membaca. Dapatkah TV itu diatasi? Jika yang menjadi sebab terjadinya TV itu jelas, maka penyembuhannya mudah dilakukan. Jika TV pada anak timbul karena materi bacaannya tidak bermakna baginya, maka guru harus mencarikan bahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan muridnya. Rumus keterbacaan tidak dapat digunakan dalam hal ini, sebab masalahnya sangat relalatif. Bacaan yang terasa mudah bagi seorang anak mungkin sama sekali tidak bisa di prakirakan oleh anak lainnya. Formulaformula keterbacaan yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan

wacana hanya sanggup mendeteksi kelayakan bahan bacaan tertentu untuk peringkat pembaca tertentu, dalam artian kelompok pembaca. Di samping itu, formula-formula keterbacaan hanya menangani masalah bahan bacaan, bukan pembacanya; sedangkan TV terjadi pada diri pembacanya. TV terjadi pada anak secara individual. Oleh karena itu, penanganannya pun harus didekati secara individual. Karena itulah, formulaformula keterbacaan tidak akan banyak menolong untuk mengatasi TV pada seseorang. Jika TV itu timbul karena anak tidak mempunyai latar belakang pengalaman yang layak tentang isi bacaannya, maka guru dituntut untuk memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan bacaannya itu. Caranya bermacam-macam, mungkin dengan jalan memberikan pengalaman dari buku lain yang mudah bagi anak, melalui film, ceramah, atau membacakan buku-buku yang ditugaskan kepada murid sebelum memulai pengajaran, dan sebagainya. Kemampuan membaca tidak sematamata akan membaik dengan pemberian tugas yang bertubi-tubi. Terlebih-lebih jika materi bacaan yang ditugaskan tersebut dipandang sukar oleh siswa. TV pada anak mungkin timbul karena perasaan takut berbuat salah. Jika anak dihinggapi rasa takut, maka upaya untuk memahami bacaan melalui proses belajar tidak akan berhasil. Membuat prakiraan itu mempunyai risiko. Anak yang takut membuat kesalahan tidak akan dapat belajar, bahkan tidak pula akan dapat membaca seperti yang diharapkan. Anak-anak seperti itu harus diberi keyakinan bahwa membuat kesalahan itu tidak perlu ditakuti, karena banyak orang yang berhasil karena justru mereka belajar dari kesalahan yang telah dilakukannya. Mereka harus belajar membebaskan diri dari sifat was-was dan ragu-ragu yang mengganggu pikirannya itu. Anak-anak yang menghadapi TV karena kebiasaan membaca yang jelek harus dipaksa untuk berlatih membaca cepat. Mereka harus diyakinkan bahwa membaca

lambat itu bisa menyelubungi makna bacaan. Berbagai penelitian menunjukkan bukti bahwa membaca cepat dipandang efisien dan mempermudah upaya memahami isi bacaan. Banyak orang melambatkan bacaannya karena mereka takut tidak dapat memahami isi bacaan itu. Dengan kemampuan membaca cepat yang lebih baik, maka pengetahuan yang diperolehnya pun akan semakin baik.

4. Model Membaca Timbal-Balik (MMTB) Model Membaca Timbal-Balik (MMTB) dicanangkan oleh teoris Rumelhart (1977). Rumeljart mereaksi dua model membaca yang telah kita inggung di muka. Dia beranggapan bahwa model-model yang terdahulu itu tidak memuaskan, karena pada umumnya model-model tersebut bertitik tolak pada pandangan formalisme model-model perhitungan yang linear. Model-model itu mempunyai sifat-sifat berurut-berlanjut, tidak interaktif. Secara sederhana, konsep MMTB dapat dilukiskan sebagai berikut.

Informasi Informasi ______ Transformasi _______ Sudah di- ______ Tranformasi ______ transformasi MODEL INI BISA DIBUAT AGAK INTERAKTIF DENGAN UMPAN BALIK Informasi Informasi ______ Transformasi _______ Sudah di- ______ Tranformasi ______ transformasikan

MMTB melukiskan MMBA dan MMAB berlangsung simultan pada pembaca yang mahir. Artinya, proses membaca tidak lagi menunjukkan suatu proses yang bersifat linier, tidak menunjukkan proses yang berurut-berlanjut, melainkan suatu

proses timbal-balik yang bersifat simultan. Pada suatu saat MMBA berperan dan pada saat lain justru MMAB yang berperan. Para penganut paham MMTB percaya bahwa pemahaman itu bergantung pada informasi grafis atau informasi visual dan informasi nonvisual atau informasi yang sudah tersedia dalam pikiran pembaca. Oleh karenanya, pemahaman bisa terganggu jika ada pengetahuan yang diperlukan untuk memahami bacaan yang dibacanya itu tidak bisa digunakan, baik disebabkan pembaca lupa akan informasi tersebut atau mungkin juga karena skemanya terganggu. Paradigma yang diajukan Rumelhart untuk melukiskan proses membaca itu berlainan dengan paradigma-paradigma yang pernah ada sebelumnya. Dalam komputasi paralel selalu terjadi interaksi di antara proses-proses yang berlangsung berkelanjutan dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Rumelhart mengajukan pendapat yang menyatakan bahwa membaca sebagai kegiatan yang meliputi berbagai tipe pemrosesan informasi dan unit-unit pemrosesan itu bersifat sangat interaktif dan berlanjut. Dengan menggunakan formalisme yang dikembangkan dengan komputer, Rumelhart dapat menjelaskan secara tepat aspek-aspek membaca yang bersifat paralel dan yang bersifat interaktif. Aspek-aspek yang dikemukakan oleh Rumelhart itu sudah dijelaskan oleh para ahli yang terdahulu. Akan tetapi, penjelasan yang disampaikan para pendahulunya tidak mencapai tingkat kejelasan seperti yang dijelaskan oleh Rumelhart. MMTB sukar dilukiskan dalam diagram dua dimensi. Dalam gambar yang berikut ini penyimpan informasi visual (PIV) mencatat informasi grafis. PIV itu disentuh oleh alat penyadap ciri (APC). Ciri-ciri yang disadap itu digunakan sebagai masukan untuk pemadu pola (PP). PP merupakan komponen yang utama dalam model ini. Ke dalamnya bisa masuk informasi sensoris, informasi tentang kemungkinan-kemungkinan sintaksis,

semantik, leksikal, dan struktur ortografis tentang berbagai untaian huruf. PP membuat keputusan berdasarkan informasi-informasi yang masuk ke dalamnya itu. Mari kita perhatikan paradigma Rumelhart dalam gambar berikut.

Pengetahuan Sintaksis

Pengetahuan Semantik

PIV

Alat Penyadap Ciri

Pemandu Pola

Interpretasi yang paling layak

Pengetahuan Ortografis

Pengetahuan Leksikal

Model yang dilukiskan dalam diagram di atas, menunjukkan adanya pengaruh berbagai tahapan (grafik, semantik, sintaksis, dan sebagainya) terhadap kegiatan membaca dalam bentuk interaktif. Yang tidak dijelaskan dalam proses tersebut ialah bagaimana komponen-komponen itu berinteraksi. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pemikiran ahli lain, seperti Goodman dan Ruddel. Yang tidak ada di dalam model itu ialah gambaran tentang kerja pemandu polanya sendiri. Pengembangan gambaran proses membaca yang dibuat oleh Rumelhart merupakan sumbangan utama terhadap model-model membaca. Rumelhart menampilkan suatu model proses membaca yang menunjukkan komponen-komponen sensori, semantik, sintaksis, dan pragmatik yang diperoleh dalam bentuk interaktif untuk memperoleh pemahaman tentang bahasa tulis. Berbagai jenis informasi masuk ke dalam pusat berita; berbagai hipotesis dirumuskan, kemudian disetujui, ditentukan, dikukuhkan atau ditolak oleh sumber informasi yang layak. Hipotesis baru digeneralisasikan hingga pada akhirnya tercapailah hipotesis

yang paling layak. Iteraksi antara hipotesis dan sumber informasi dapat ditandai secara matematis dalam model probabilitas. Dengan demikian, membaca itu dipandang sebagai formulasi hipotesis, pengujian probabilitas dengan menggunakan serangkaian sumber informasi, dan akhirnya dibuatlah keputusan tentang hipotesis yang terbaik yang diterima sebagai makna. Rumelhart telah melengkapi kita dengan pengetahuan tentang sebuah model yang cukup canggih. Dengan menggunakan model tersebut kita dapat mengatasi masalah yang berkenaan dengan proses kebahasaan seperti yang tampak pada perilaku pola membaca. Model ini mempunyai ciri yang esensial yang menjelaskan betapa proses kebahasaan peringkat yang lebih tinggi (semantik dan makna) mempermudah proses kebahasaan peringkat rendah (huruf, kata), dan betapa penguasaan atas peringkat yang lebih tinggi itu mempermudah penguasaan atas peringkat yang lebih rendah. Model membaca yang dikemukakan oleh Rumelhart itu mengingatkan pembaca agar informasi yang dimilikinya (meskipun jumlahnya sangat terbatas) dapat dimanfaatkan pada saat melakukan kegiatan membaca. Dilihat dari bidang pengajaran, hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan besar bagi guru untuk menolong para siswanya menjadi pembaca yang fleksibel, ialah pembaca yang mampu mengatur kecepatan tempo bacaannya sesuai dengan sifat, manfaat, tujuan, kebutuhan dan relevansi dari materi bacaan tersebut. Pembaca harus dialihkan perhatiannya dari struktur lahir bahasa (kata, huruf, kalimat, dan sebagainya) ke struktur batin, ke bagian yang menghendaki prakiraan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan memperkirakan dan menemukan makna bacaan itu ialah strategi pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan bahasa yang dimilikinya serta informasi pragmatik yang telah

dimilikinya dalam proses menyimak dan

berbicara. Guru dituntut untuk

mengembangkan strategi yang mendorong siswa supaya bersikap aktif-kognitif agar dapat menjadi pembaca yang mahir. Yang dapat kita lakukan sebagai guru adalah menciptatakan lingkungan yang kondusif, yang mendorong menumbuhkan minat baca yang positif. Perlu ditanamkan keyakinan bahwa dalam hal ini bukanlah kehadiran guru dalam lingkungan itu yang pertama dan utama, melainkan kehadiran siswa itu sendiri. Kemampuan membaca akan meningkat hanya dengan jalan melakukan kegiatan membaca itu sendiri. Melakukan aktivitas baca sama dengan berlatih membaca. Latihan tersebut akan menolong mereka meningkatkan kemampuan membaca serta menemukan sendiri strategi yang paling tepat untuk dirinya dalam menghadapi bacaan. Dalam praktek pengajaran membaca, hal tersebut menunjuki kita pada berbagai konsep dan pandangan tentang berbagai metode pengajaran membaca. Kiranya kita perlu meninggalkan berbagai asumsi yang pernah menguasai metode pengajaran pada masa-masa silam. Sebagai contoh, guru tidak perlu lagi terlalu memikirkan adanya kebolongan kosakata yang mungkin belum diketahui siswa. Dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut, kemudian guru berpikir bahwa pengajaran membaca tidak mungkin dilakukan. Para guru lebih baik meyakinkan para siswanya bahwa bagaimanapun para siswa tidak perlu berkecil hati dan frustasi dengan bacaan yang sarat dengan kosakata sukar yang tidak dapat dipahaminya. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan informasi siap (pengetahuan siap) yang telah dimilikinya dalam upaya memetik makna bacaan. Itulah yang disebut kegiatan memanfaatkan informasi nonvisual. Informasi ini akan membantu siswa untuk merekontruksi makna dari lambang-lambang yang berupa cetakan. Perubahan sikap seperti itu akan membuat mereka percaya diri dan bergantung pada kemampuan

sendiri. Hambatan kosakata yang dialaminya akan diatasi sendiri dengan jalan memproses masukan linguistik dan memadukannya dengan aspek kognitif yang dimilikinya. Dengan demikian. Para siswa tidak lagi akan bergantung kepada guru atau pun sumber-sumber lainnya yang datang dari luar pada waktu mereka menghadapi masalah-masalah dalam membaca. Model yang dianjurkan oleh Rumelhart itu mendukung salah satu keyakinan yang secara intuitif telah diterima oleh banyak orang, ialah bahwa pembaca akan lebih merasa terlayani jika kita membekali mereka dengan kesiapan untuk membaca materi yang disajikan kepada mereka. Banyak hal yang bisa dilakukan guru dalam upaya membekali pengetahuan siap mereka. Prosedur-prosedur tersebut dapat berupa kegiatan-kegiatan berikut: diskusi, pertunjukan film, karyawisata, bercerita, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini bermanfaat bagi para siswa dalam upaya membantu mereka untuk menggunakan latar belakang informasi (pengetahuan) yang dimilikinya. Pengetahuan siap ini akan mempermudah proses memahami bacaan dengan lebih layak dan lebih baik. Cara lama yang masih banyak digunakan para guru ialah pemberian tugas membaca. Pemberian tugas ini kadang-kadang merupakan tugas prasyarat untuk tugas berikutnya berupa diskusi. Tampaknya, meskipun metode pemberian tugas ini tidak terlalu jelek dan merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk membangkinkan motivasi siswa, namun cara ini tampaknya sudah "ketinggalan zaman". Bagaimanapun hal-hal yang dibawa pembaca ke dalam proses membacanya itu akan sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh pembaca tersebut dari proses yang dijalaninya itu. Oleh karena itu, guru boleh berkeyakinan bahwa proses membaca akan berlangsung lebih baik jika prosedur penugasan itu dibalikkan, diskusi dulu, baru kemudian membaca.

Dalam bidang metode pengajaran, model Rumelhart itu dipandang sebagai model yang sudah membaur dengan berbagai strategi pengajaran yang telah menunjukkan keberhasilannya. SQ3R misalnya, memberikan dorongan kepada siswa untuk menyurvai, bertanya dan bertanya, membuat prakiraan, dan membaca untuk menguji hipotesis. Model membaca yang baik harus dapat menjelaskan teori berbagai pendekatan yang baik untuk membaca dan belajar. Model yang baik harus pula memberikan penjelasan terhadap langkah-langkah pengajaran yang baru. Model Rumelhart berguna sekali untuk pengajaran membaca pada peringkat sekolah menengah, baik sekolah menengah pertama maupun peringkat di atasnya. Model ini sangat baik untuk mengakrabkan dan mendorong mereka dalam pengujian cara dan strategi membaca yang biasa mereka lakukan sendiri. Setelah anda mempelajari dengan seksama konsep-konsep MMTB yang diprakarsai Rumelhart, bagaimana pendapat dan komentar anda terhadap prinsipprinsip yang ada di dalamnya? Ya, mungkin anda tergolong orang yang berpendapat bahwa model Rumelhart itu tidak menarik karena di dalamnya sesungguhnya tidak ada hal-hal yang baru bagi anda. Sebagai guru, anda mungkin sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka yang biasa timbul dalam pikiran anda selagi membaca. Bukankah pertanyaan-pertanyaan yang muncul selagi kita membaca merupakan cerminan dari proses interaktif dari kerja mata dan kerja kognisi pada saat kita merespon bacaan. Sebagai guru anda pun sudah terbiasa dengan pemberian rangsanga-rangsangan kepada para siswa anda agar mereka membuat prakiraanprakiraan, hipotesis, antisipasi, klasifikasi, yang memungkinkan mereka untuk berpikir secara divergen. Mungkin, kita telah melakukan sesuatu yang tidak kita ketahui landas pijaknya. Dengan pengetahuan ini, mudah-mudahan apa yang telah

kita lakukan tersebut dapat kita yakini sebagai sebuah kebenaran dan sesuatu yang dapat memberikan manfaat yang lebih baik. Dalam model Rumelhart, mungkin anda tidak melihat adanya pembicaraan tentang aplikasi. Memang, Rumelhart boleh dikatakan tidak menyinggung masalah aplikasi itu. Dia tidak pula menyinggung masalah pramembaca, yakni suatu kondisi sebelum seseorang sampai pada halaman-halaman bercetak. Dia memulai konsepnya dari halaman bercetak, dan dari situ kemudian bergerak ke depan dengan konsepkonsep interaksi. MMTB sangat berbeda dengan MMBA seperti yang dikemuka kan oleh Gough, La Berge dan Samuel (1974). MMBA bersifat linear dan berjenjang, dimulai dari pemrosesan unit linguistik yang paling kecil, yakni huruf-huruf, kemudian bergerak menuju pemrosesan kelompok huruf, kata-kata, kelompok kata, kalimat, hingga akhirnya sampai ke makna. Sebaliknya MMTB membenarkan proses yang dimulai dari peringkat yang lebih tinggi. MMTB mulai dengan semantik atau makna kata. Pada peringkat yang lebih tinggi itu ada bank data yang bekerja secara simultan. Kita memiliki sintaksis, semantik, ortografi, dan leksikon yang bekerja secara serempak, tidak bekerja secara berurutan seperti halnya dalam MMBA. Kemampuan membaca dapat dikembangkan secara baik melalui pengayaan pengalaman membaca. Siswa perlu sekali membaca materi sebanyak-banyaknya sehingga mereka dapat memahami kata dalam konteks yang berbeda-beda. Guru dapat membantu muridnya mempertinggi dan meningkatkan keterampilannya dalam membaca dengan jalan membimbing mereka untuk terus membaca sebanyakbanyaknya. Yang perlu diperhatikan benar dalam hal ini ialah sikap murid. Guru yang terlalu sering memberi tugas yang berada di luar jangkauan kemampuan muridnya akan membuat siswa terbunuh minat dan motivasinya. Salah satu upaya untuk

membangkitkan minat baca siswa ialah dengan jalan menyediakan bahan bacaan yang kira-kira dapat menarik perhatian mereka.

RANGKUMAN Terdapat tiga model utama dalam proses membaca, yakni model membaca bawah-atas (MMBA), model membaca atas-bawah (MMAB), dan model membaca timbal-balik (MMTB). Dari ketiga model membaca tersebut, MMBA merupakan model yang tertua. Model ini mengutamakan struktur-struktur yang terdapat di dalam teks. Proses membaca yang terjadi pada MMBA, pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, pendekodan, dan pengenkodan. Urutan proses tersebut bersifat linier yang diawali oleh masukan grafemik melalui sistem visual, lalu memasuki ikon, berlanjut pada kilasan, pencatat, pendekod, librarian, merlin, hingga akhirnya sampai pada TTKSMD. Pemilihan akan metode tertentu dalam pengajaran membaca sangat ditentukan oleh pandangan tentang model membaca yang dianutnya. Pengikut MMBA akan menggunaan metode Eja, metode Bunyi, atau metode Alfabet, yang kesemua metode tersebut lebih memberi perhatian pada struktur yang tampak di dalam teks bacaan. MMAB memunyai landasan yang berbeda dengan MMBA. Informasi nonvisual dalam kegiatan membaca merupakan hal yang paling penting dalam MMAB sehingga proses membaca itu tidak lain dari proses berpikir. Peristiwanya terjadi di dalam otak. Mata hanyalah sekedar penghantar infomasi, yang mengidentifikasi bacaan adalah otak. MMAB berpendapat bahwa kerja mata harus ditekan seminimal mungkin. Mata yang terlalu sarat dengan masukan informasi visual akan memaksa alat itu untuk bekerja secara penuh sehingga dapat mengakibatkan kondisi "buta sejenak".

Menurut MMTB proses membaca itu bersifat interaktif, yakni kedua model pertama tadi, MMBA dan MMAB, bekerja secara serempak dan simultan. Membaca dipandangnya sebagai formulasi hipotesis dan pengujian probabilitas dengan memanfaatkan serangkaian sumber informasi. Menurut MMTB, pemrosesan kebahasaan yang lebih tinggi mempermudah pemrosesan kebahasaan yang lebih rendah. Pengikut MMTB berkeyakinan bahwa mdel yang dianutnya itu akan memungkinkan guru untuk membantu para siswanya menjadi pembaca-pembaca yang fleksibel.

TUGAS DAN LATIHAN Perhatikan kasus-kasus yang disajikan berikut ini. Cobalah Anda identifikasi berdasarkan konsep ketiga model membaca yang telah kita bicarakan di atas. Tentukan, termasuk cerminan dari model membaca yang manakah kasus-kasus tersebut? Kemukakan alasannya!

1) Seorang guru kelas I SD sedang mengajarkan membaca permulaan kepada para siswanya. Dia memperkenalkan huruf-huruf berikut: Ini a ----> ini /a/; Ini b ----> ini /b/; Ini c ----> ini /c/; Ini d ----> ini /d/; demikian seterusnya hingga seluruh huruf dalam abjad Indonesia selesai diperkenalkan. Metode pengajaran membaca permulaan yang demikian disebut "Metode Alpabetis"

2) Dalam sebuah permainan tebak kata, pemandu acara memperlihatkan tiga buah huruf dari tujuh huruf yang sebenarnya merupakan kelompok huruf yang membentuk kata yang bersangkutan. Peserta A dapat menebak bunyi kata itu dengan tepat, meskipun dia hanya dibantu dengan tiga buah huruf tadi; sementara kelompok B baru dapat menebak kata itu dengan tepat, setelah mereka melihat enam dari tujuh buah huruf yang seharusnya membentuk kata itu. 3) Proses membaca menurut model ini adalah sebuah proses yang meliputi formulasi hipotesis dan pengujian probabilitas. Proses membaca tidak terjadi secara berurutberlanjut, tidak terjadi secara linier. 4) Meningkatkan keterampilan membaca para siswa merupakan hal yang sangat penting; akan tetapi menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca jauh lebih penting. Memperkaya wawasan dan pengalaman siswa melalui penugasan membaca itu penting, tetapi menjaga sikap siswa dari kejenuhan dan kebosanan akan bahan bacaan juga tidak kalah penting. Banyak cara dan strategi yang dapat dilakukan guru untuk kepentingan ini. 5) Pada jam pelajaran bidang studi Bahasa Indonesia, Bu Ani bermaksud menyajikan bahan ajar membaca dengan mengambil tema bacaan "kekayaan budaya di wilayah nusantara". Teks yang hendak diberikan kepada siswa berjudul "Kupuk dalam Budaya Mandobo-Irian Jaya". Sebelum wacana itu diberikan kepada anak didiknya, Bu Ani bercerita tentang khasanah kekayaan budaya pada masyarakat di wilayah nusantara tercinta ni, termasuk budaya-budaya pada masyarakat Irian Jaya. Melalui perbincangan dan diskusi bersama di dalam kelas, Bu Ani mencoba menggali dan memperkaya khasanah latar belakang pengetahuan dan pengalaman siswa. Kegiatan ini memakan waktu lebih kurang 30 menit. Selanjutnya, anak-anak

diminta membaca dalam hati teks wacana yang telah dipersiapkannya tadi. Kemudian, diadakan tanya-jawab di seputar isi bacaan tersebut.

MODUL 2: MODEL-MODEL MEMBACA

Pendahuluan

Kegiatan Belajar 1: Model Top-Down Rangkuman Perlatihan Tes Formatif 1

Kegiatan Belajar 2: Model Bottom-Up

Rangkuman Perlatihan Tes Formatif 2

Kegiatan Belajar 3: Model Interactive

Rangkuman Perlatihan Tes Formatif 3

KUNCI JAWABAN FORMATIF DAFTAR PUSTAKA

KECEPATAN EFEKTIF MEMBACA

1. Pengantar Pada era informasi ini, sarana bacaan kian hari kian bertambah, sementara waktu yang kita miliki tetap tidak bertambah. Lantas, bagaimana kita dapat menyerap berbagai informasi dalam berbagai media cetak tersebut dalam waktu yang relatif singkat. Satu-satunya cara adalah dengan jalan meningkatkan kecepatan membacanya. Bagaimana cara mengukur kecepatan membaca seseorang? Hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan untuk mengadakan evaluasi kecepatan membaca? Pertanyaanpertanyaan evaluasi macam manakah yang perlu dikuasai guru untuk menguji kemampuan baca murid-muridnya? Upaya apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kecepatan membaca? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dapat anda temukan jawabnya pada uraian beberapa bab dari buku ini. Namun, pertanyaan tentang "bagaimana cara mengukur kecepatan membaca serta hal apa saja yang harus kita persiapkan untuk melakukan pengukuran tersebut" akan kita bicarakan dalam bab ini. Pengetahuan ini akan sangat bermanfaat bagi anda, baik untuk kepentingan anda sebagai guru atau sebagai pribadi, maupun untuk kepentingan murid-murid anda. Sebagai mahasiswa, anda tentu dihadapakan pada berbagai buku teks yang sifatnya wajib anda baca. Di samping itu, berapa jumlah buku-buku penunjang yang harus anda baca untuk melengkapi informasi dari bacaan utama atau dari buku teks tadi? Coba anda hitung jumlah mata kuliah yang anda kontrak! Silakan anda hitung sendiri, berapa buah buku atau berapa halaman bacaan yang harus anda baca dalam satu semester. Jika anda hanya mampu membaca 250 kata/menit, berapa lama waktu yang anda sisihkan untuk kegiatan membaca dalam setiap harinya? Denganilustrasi

tersebut, tentu kita menyadari betapa kemampuan membaca cepat perlu kita miliki, bukan? Demikian juga dengan murid-murid kita. Mereka adalah para siswa yang setiap harinya dihadapkan pada kegiatan belajar untuk berbagai bidang studi. Meskipun membaca bukan satu-satunya cara untuk studi, namun tidak seorang pun dari kita akan menyangkal betapa sumbangan dari keterampilan dan kegiatan membaca ini untuk keberhasilan belajar sangatlah tinggi. Sesudah memahami dan mampu menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari bab ini, anda dituntut pula untuk dapat menyampaikan kemampuan itu kepada anak-anak didik anda. Penanaman pengertian tentang pentingnya membaca cepat dan penanaman keterampilan membaca cepat itu sendiri perlu dilakukan dan diupayakan sejak dini. Uraian bab ini bertujuan untuk membantu anda agar dapat mengevaluasi kecepatan membaca para siswa anda dengan berbagai alat ukur yang lazim digunakan dalam pengajaran membaca. Secara khusus, anda diharapkan dapat: a) menjelaskan hakikat, fungsi, dan pengertian KEM; b) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi KEM; c) menggunakan rumus kecepatan efektif membaca; d) mengklasifikasi hasil pengukuran kecepatan efektif membaca siswa pada peringkat-peringkat pembaca tertentu; e) membuat persiapan untuk mengadakan evaluasi kecepatan efektif membaca; f) menentukan upaya tindak lanjut untuk memperbaiki KEM siswa.

Melalui uraian bab ini, anda akan saya ajak untuk memperbincangkan hakikat kecepatan membaca, rumus KEM (kecepatan efektif membaca, faktor-faktor yang mempengaruhi KEM, latihan menggunakan rumus KEM.

2. Hakikat dan Fungsi KEM Dewasa ini, ada orang yang beranggapan bahwa dengan membaca lambat pemahaman seseorang terhadap apa yang dibaca akan semakin baik. Sebaliknya, dengan membaca cepat pemahaman akan terhambat. Anggapan itu sama sekali tidak benar. Kegiatan memahami bacaan pada hakikatnya sama dengan kegiatan memahami pembicaraan (tuturan lisan). Mari kita perhatikan ilustrasi berikut. Ilustrasi ini menampilkan dua model contoh tuturan yang dilakukan secara kontras. Yang satu menunjukkan tuturan dengan kecepatan biasa; sedangkan yang satunya lagi menunjukkan tuturan dengan kecepatan yang sangat lambat.

Contoh (a)

Minggu yang akan datang/ saya/ bermaksud mengikuti ujian/ tahap kedua. (diucapkan berdasarkan satuan-satuan gatra atau satuan-satuan ide yang berupa kelompok-kelompok kata)

Contoh (b)

Minggu/ yang/ akan/ datang/ saya/ bermaksud/mengikuti/ ujian/ tahap/ kedua. (diucapkan kata demi kata)

Cara penuturan pertama (a) dilakukan berdasarkan satuan-satuan kelompok kata yang berupa satuan-satuan unit ide sehingga penyampaiannya akan terdengar lebih cepat bila dibandingkan dengan cara penuturan (b) yang dilakukan secara kata demi kata. Cara penuturan kedua (b) akan terdengar lambat, karena setiap mengucapkan sebuah kata diselingi oleh penghentian sementara atau jeda pendek. Cara penuturan mana yang lebih mudah ditangkap maknanya, yang pertama (cepat) atau yang kedua (lambat)? Tentu kita akan lebih mudah menangkap tuturan yang dilakukan dengan cara (a). Penuturan cara pertama lebih mudah kita pahami, ketimbang cara kedua. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa dengan membaca cepat tidak berarti pemahaman akan terhambat. Justru sebaliknya, orang yang memiliki kecepatan membaca tinggi cenderung memiliki tingkat pemahaman yang tinggi pula. Melihat ilustrasi di atas, rasanya tidak ada alasan bagi seseorang untuk enggan menjadi pembaca cepat. Sebab hasil penelitian membuktikan bahwa orang yang memiliki kecepatan membaca yang tinggi cenderung memperlihatkan kemampuan memahami bacaan yang lebih baik ketimbang pembaca lambat. Memang, pada saatsaat tertentu pembaca dituntut untuk bersifat fleksibel di dalam menghadapi dan menyiasati bacaannya. Kadang-kadang diperlukan waktu yang relatif lebih lama untuk memahamai sesuatu, tetapi adakalanya pembaca butuh waktu yang relatif singkat. Dengan pandangan sekilas saja, pembaca sudah dapat menangkap isi sebuah bacaan. Kegiatan membaca dapat diibaratkan dengan mengendarai kendaraan bermotor. Pengendara akan menghentikan lajunya kendaraan jika bertemu dengan lampu merah. Pengendara juga akan memperlambat kecepatan kendaraannya

manakala memasuki daerah macet atau jalan yang tidak mulus, penuh dengan bekasbekas lubang galian dan tidak rata. Akan tetapi sebaliknya, setelah memasuki jalan tol yang bebas hambatan kecepatan kendaraan akan dipacu sampai batas maksimal yang mungkin bisa dikendalikannya. Demikian juga dengan kegiatan membaca. Kadangkadang, membaca bagian atau penggalan tertentu dari suatu bacaan lebih membutuhkan waktu yang relatif lebih lama ketimbang membaca bagian lainnya. Kadang-kadang, bahkan berhenti sejenak untuk melihat referensi/sumber bacaan lain yang dianggap mendukung informasi yang kita temui dalam bacaan kita. Meskipun demikian, pembaca cepat akan tetap mempertimbangkan waktu hentian dan pengurangan tempo baca untuk kecepatan baca secara keseluruhan. Fleksibilitas baca memang sangat erat kaitannya dengan tujuan/maksud pembaca, informasi fokus, dan jenis bacaan yang dihadapinya. Yang dikategorikan ke dalam pembaca efektif dan efisien itu ialah pembaca yang fleksibel. Menurut Tampubolon (1987), pembaca yang demikian harus dapat mengatur kecepatan, menentukan metode, teknik, dan gaya membaca sesuai dengan semua faktor yang berkaitan dengan bacaan. Hal-hal yang berkenaan dengan kecepatan, metode, teknik, dan gaya membaca disebut strategi membaca; sedangkan faktor tujuan, informasi fokus, dan jenis bacaan disebut kondisi-baca. Dengan demikian, fleksibilitas membaca dapat diartikan sebagai kemampuan menyesuaiakan strategi membaca dengan kondisi-baca. Rasanya belum sempurna kemampuan membaca (baca: kemampuan memahami bacaan) seseorang jika tingkat kemampuan baca yang bagus itu tidak disertai dengan kecepatan baca yang bagus pula. Kemampuan baca yang kita bicarakan di sini adalah kemampuan membaca tigkat lanjut yang dalam praktiknya melibatkan proses kognitif. Dikatakan sebagai proses kognitif karena pada dasarnya

kegiatan-kegiatan yang terlibat dalam membaca tingkat ini adalah kegiatan-kegiatan berpikir dan bernalar termasuk mengingat, meskipun pada taraf penerimaan lambanglambang tertulis diperlukan kemampuan-kemampuan motoris berupa gerakan mata. Pembicaraan tentang kemampuan-kemampuan motoris dalam membaca yang berupa gerakan mata itu erat kaitannya dengan masalah kecepatan membaca. Yang dimaksud dengan kecepatan membaca adalah kemampuan seseorang dalam menggerakkan mata secara cepat dan tepat pada saat membaca sehingga diperoleh rata-rata kecepatan baca berupa jumlah kata per menit. jadi, jika seseorang dapat membaca bacaan yang panjangnya lebih kurang 2000 perkataan dalam tempo lima menit, artinya rata-rata kecepatan bacanya adalah 400 kata per menit. Sementara itu, kemampuan membaca berkaitan dengan kemampuan kognitif (ingatan, pikiran, dan penalaran) seseorang dalam kegiatan membaca. Kemampuankemampuan kognitif yang dimaksud di sini adalah kemampuan dalam menemukan dan memahami informasi yang tertuang dalam bacaan secara tepat dan kritis. Seseorang boleh dikatakan memiliki kemampuan baca yang baik jika dia mampu memahami isi bacaan tersebut minimal 70 persen. Untuk mengetahui persentase kemampuan membaca seseorang tentu diperlukan suatu alat untuk mengukurnya. Alat untuk mengukur kemampuan membaca itu dapat mempergunakan alat ukur tes, seperti yang akan kita bicarakan pada bab tersendiri setelah bab ini. Idealnya, pengukuran atau pengetesan kemampuan membaca itu sebaiknya dilakukan oleh orang lain agar penilaiannya lebih objektif. Namun, pengetesan itu dapat pula dilakukan sendiri. Tes membaca dapat pula anda buat sendiri dengan memperhatikan perimbangan jenjang-jenjang pertanyaan bacaan.

3. Pengertian KEM Kecepatan Efektif Membaca (KEM) sering pula disebut dengan kecepatan efektif (KE) saja. Baik KEM maupun KE mengandung pengertian yang sama, ialah perpaduan dari kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitif seseorang dalam membaca. Dengan kata lain, KEM merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan pemahaman isi bacaan. Mengapa KEM itu dikatakan sebagai cerminan dari kemampuan visual dan kemampuan kognisi sebagai hasil dari proses membaca yang telah dilakukan seseorang. Sekarang, mari kita renungkan ilustrasi berikut.

Ilustrasi (1) Anda sedang dihadapkan pada masa-masa ujian akhir semester. Sebagai bahan persiapan untuk kepentinganujian besok pagi, anda mempersiapkan diri dengan membuka-buka dan membaca kembali buku-buku literatur yang diwajibkan untuk mata uji besok pagi. Bukuitu sekarang sedang berada di tangan anda dan secara serius anda membaca dan mempelajarinya secara seksama.

Ilustrasi (2) Meskipun waktu istirahat adalah waktu untuk beristirahat sejenak dari jamjam belajar, namun salahseorang murid anda, Gina, selalu

memanfaatkannyauntuk membaca di perpustakaan sekolah. Seperti juga kali ini, Gina tak menghiraukan kedatangan andakarena dia tengah asyik dengan bacaannya.

Melalui ilustrasi pertama, saya mengajak anda untuk mengingat-ingat proses membaca yang anda alami. Melalui ilustrasi kedua, saya ingin mengajak anda untuk memperhatikan proses membaca yang dialami (dilakukan) orang lain di luar diri kita. Melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapat melihat titik kesamaan dalam proses membaca, yakni dalam hal faktor-faktor utama yang terlibat dalam proses membaca tersebut. Kalau kita ubah ke dalam bentuk pertanyaan, pertanyaan itu akan berbunyi "faktor-faktor atau komponen-komponen apa sajakah yang bekerja paling dominan pada saat orang melakukan kegiatan baca?" Tentunya kita sepakat bahwa kegiatan membaca itu melibatkan dua komponen utama, yakni kemampuan mata dalam melihat lambang-lambang grafis dan kemampuan pikiran dalam menangkap dan memaknai lambang-lambang grafis tersebut menjadi sebuah informasi yang utuh dan lengkap. Kemampuan fisik meliputi kemampuan mata, selanjutnya kita sebut kemampuan visual. Sementara kemampuan psikis yang melibatkan kemampuan berpikir dan bernalar kita sebut kemampuan kognisi. Dengan mengetahui unsur/komponen utama yang terlibat dalam kegiatan membaca, selanjutnya kita akan dengan mudah dapat menjawab pertanyaan apa itu "kemampuan membaca" atau selanjutnya lazim disebut KEM. Apa sebenarnya KEM itu? Seperti sudah dijelaskan di muka, KEM merupakan kependekan dari kecepatan efektif membaca. Dikatakan "kecepatan efektif" karena pada dasarnya KEM merupakan cerminan dari kemampuan membaca yang sesungguhnya. Kemampuan di sini mengandung pengertian sebagai paduan dari kemampuan visual dan kemampuan kognisi, kemampuan yang sudah mempertimbangkan kecepatan rata-rata baca berikut ketepatan memahami isi bacaan yang dibacanya.

Beberapa pakar pendidikan dan pengajaran membaca menyamakan istilah KEM ini dengan istilah "Speed Reading". Jika kita alihbahasakan, "speed reading" dapat diartikan sebagai "kecepatan membaca". Jika kita berbicara masalah kecepatan membaca, maka yang terbayang dalam benak kita adalah jumlah kata per menit, yakni rata-rata tempo baca untuk sejumlah kata tertentu dalam waktu tempuh baca tertentu. Selanjutnya timbul pertanyaan, jika yang dimaksud dengan kecepatan membaca itu adalah kecepatan rata-rata baca, bagaimana dengan masalah pemahaman isi bacaannya. Di samping itu, bukankah jika kita berbicara tentang kecepatan membaca akan berimplikasi terhadap tujuan membaca, tingkat keterbacaan bahan bacaan, motivasi, teknik-teknik membaca, proses berpikir dan bernalar, dan sebagainya? Oleh karena itu, istilah "kecepatan membaca" kita beri keterangan dengan istilah "efektif" sehingga menjadi kecepatan efektif membaca atau lebih populer disebut KEM. KEM merupakan cermin dari kemampuan membaca yang sesungguhnya. Dua komponen utama yang terlibat dalam proses/ kegiatan membaca sudah tercakup di dalamnya. Perpaduan dari kecepatan membaca dan pemahaman isi bacaan secara keseluruhan atau perpaduan dari kemampuan visual dan kemampuan kognisi dalam proses membaca disebut KEM. Masalah selanjutnya, bagaimana cara menentukan atau mengukur KEM seseorang atau bahkan mungkin KEM kita sendiri? Pertanyaan ini akan kita jawab nanti pada uraian tentang "Rumus KEM". Sebelum itu, mari kita bicarakan dulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan membaca.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi KEM Kecepatan baca seseorang tidak harus selalu konstan, dalam arti pembaca melakukan kegiatan membaca dengan kecepatan yang sama untuk setiap bahan bacaan yang dihadapinya. Mengapa demikian? Tentu saja, bahan bacaannya itu

sendiri tidak selalu sama, ada bacaan ringan, sedang, sukar; bacaan fiksi-nonfiksi; bacaan sosial-eksak; dan sebagainya. Di samping itu, kadar kepentingan seseorang melakukan kegiatan membaca itu pun akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan bacanya. Membaca untuk kepentingan hiburan tentu akan berlainan dengan membaca untuk kepentingan perolehan informasi. Membaca untuk kepentingan penulisan kritik dan esei tentu akan berlainan dengan membaca untuk kepentingan sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Membaca karya sastra (novel, cerpen, puisi) berbeda dengan membaca prosa ekspositoris. Perbedaan-perbedaan ini akan menyebabkan kecepatan baca seseorang tidak harus sama dalam segala situasi dan kondisi. Pembaca yang efektif dan efisien adalah pembaca yang fleksibel. Tujuan membaca seseorang akan menentukan kecepatan bacanya. Berbicara tentang hubungan kecepatan membaca dengan tujuan yang dikehendaki dari kegiatan membacanya itu, akan terjadilah apa yang dinamakan fleksibilitas kecepatan baca. Yang dimaksud fleksibilitas kecepatan baca adalah kelenturan tempo baca pada saat membaca sesuai dengan karakteristik bahan bacaan dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan membacanya tersebut. Jika tujuan membacanya hanya sekedar ingin menikmati karya sastra secara santai, pembaca dapat memperlambat tempo kecepatan bacanya. Kalau pembaca menginginkan informasi menyeluruh tentang kejadian hari ini dengan segera, tentu ia akan meningkatkan kecepatan bacanya. Pembaca akan berusaha menemukan ide-ide utama atau gagasan-gagasan penting saja dan menghiraukan hal-hal kecil atau rincian-rincian khusus dalam bacaannya tersebut. Guru perlu menyadari kecepatan membaca siswanya itu berbeda-beda, ada yang lambat tapi tidak sedikit pula yang cepat. Perhatian guru hendaknya terpusat pada siswa yang mempunyai kecepatan membaca yang tergolong lambat. Kecepatan baca yang memadai hanya akan diperoleh melalui latihan yang intensif dan

berkesinambungan. Di samping itu, guru juga perlu menyadari tidak semua pembaca mengetahui bahwa keflek sibelan kecepatan baca sangat erat kaitannya dengan tujuan membaca. Ada yang beranggapan bahwa kecepatan baca yang dimilikinya itu harus dipergunakan bagi semua kegiatan membaca tanpa menghiraukan tujuan yang hendak diperolehnya. Tentu saja anggapan ini tidak benar. Sebagai guru, anda harus berupaya menanamkan pengertian kepada murid anda bahwa memiliki kecepatan baca yang tinggi itu akan sangat penting artinya dalam mengarungi kehidupan di abad informasi ini, akan tetapi bukan berarti harus menggunakan kecepatan baca yang sama untuk semua situasi kegiatan baca yang berbeda-beda. Dengan demikian, yang penting bagi guru sekarang adalah bentuk-bentuk upaya apa sajakah yang dapat dan harus dilakukan untuk meningkatkan kecepatan baca siswanya serta bagaimana siswa dapat memanfaatkan kecepatan itu secara fleksibel dalam menghadapi bahan bacaannya tersebut. Pertanyaan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi KEM merupakan suatu yang penting untuk diketahui setiap pembaca atau siapapun yang berurusan dengan pendidikan dan pengajaran membaca. Hal ini akan sangat bermanfaat di dalam menentukan keputusan instruksional yang paling tepat untuk pembinan dan pengembangan kemampuan membaca siswanya. Ketepatan

mendiagnosis sumber-sumber penyakit yang diduga sebagai faktor penghambat kemampuan membaca siswa dapat memberi petunjuk bagi para guru dan orang dewasa lainnya dalam menangani masalah-masalah membaca. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, KEM menuntut dua kemampuan utama, yakni kemampuan visual yang berkenaan dengan kecepatan rata-rata baca, dan kemampuan kognisi yang berkenaan dengan kemampuan memahami isi bacaan.

Pembaca yang memiliki kedua komponen keterampilan utama ini dalam kegiatan membaca, dipastikan dapat mencapai KEM yang sesuai dengan harapan. Dalam keadaan normal, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, seorang lulusan setara SMU di negara kita (Senior High School) diharapkan sudah memiliki kecepatan membaca minimum kira-kira 250 kata per menit (kpm), dengan pemahaman isi bacaan minimum 70% (Lihat Tampubolon, 1987). Jika dihitung KEM-nya, maka seorang lulusan SMU diharapkan sekurang-kurangnya memiliki KEM 175 kpm. Jika hal ini dikaitkan dengan upaya mengejar kemajuan zaman dalam kancah perjuangan hidup yang serba cepat dan dinamis ini, tampaknya KEM seperti itu tidak akan mampu mengimbangi laju-pesatnya kemajuan dan perkembangan zaman. Keadaan ini lebih parah lagi jika dikaitkan dengan persiapan mereka untuk memasuki lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa yang memiliki KEM berkisar 250 kpm tidak lagi akan mempunyai waktu untuk beristirahat (lihat Harjasujana, 1988), karena seperti juga diungkapkan Baldridge (1987) volume bacaan mahasiswa harus mencapai 850.000 kata per minggu, jika mereka menginginkan keberhasilan yang memuaskan dalam setiap ujian yang ditempuhnya. Pada tahap-tahap awal, tingkat pencapaian KEM erat kaitannya dengan faktor kesiapan membaca (reading readness). Burron dan Claybaugh (1977) mengajukan enam hal yang dipandang penting dalam mempertimbangkan "reading readness". Keenam hal tersebut meliputi: (a) fasilitas bahasa lisan; (b)latar belakang pengalaman; (c) diskriminasi auditori dan diskriminasi visual; (d)intelegensi; (e) sikap dan minat; dan

(f) kematangan emosi dan sosial.

Butir a,c, dan f (fasilitas bahasa lisan, diskriminasi auditori dan visual, dan kematangan emosi dan sosial) merupakan bekal bagi pembaca pemula dalam belajar membaca; sementara butir b, d, dan e (latar belakang pengalaman, intelegensi, dan sikap dan minat) dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca pada tingkat lanjut. Dari ketiga faktor yang disebut terakhir yang dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi KEM pada tingkat lanjut, memang ada hal penting yang perlu dicatat. Hasil penelitian Yap (178), misalnya, menunjukkan bukti bahwa faktor intelegensi tidaklah terlalu berkontribusi terhadap kemampuan membaca seseorang. Faktor ini hanya berurun sekitar 25%; sementara yang paling besar urunannya terhadap kemampuan membaca adalah faktor intensitas baca, yakni sebesar 65%. Faktor ini berkenaan dengan faktor sikap dan minat, yakni sikap, kebiasaan, minat, dan motivasi membaca termasuk di dalamnya latar belakang pengalaman membaca. Sisanya, sebesar 10% merupakan urunan dari faktor lain-lain. Dengan maksud yang sama namun menggunakan istilah yang berbeda, Heilman (1972) dan Alexander (1983) menyodorkan pandangan yang sama mengenai faktor-faktor "reading readness". Namun, Alexander tampaknya memberikan rincian yang lebih detil mengenai hal ini, mengingat "language development" dirincinya lagi pada kemampuan-kemampuan yang lebih spesipik. Kemampuan-kemampuan dimaksud meliputi pengembangan konsep kosakata, pemahaman makna kata, pemahaman konsep-konsep linguistik, keterampilan analisis kata, dan lain-lain. Salah satu komponen pengukuran KEM adalah pengukuran terhadap pemahaman bacaan sebagai wujud dari pengukuran kognisi. Ommagio (1984)

berpendapat bahwa pemahaman bacaan bergantung pada gabungan dari pengetahuan bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca. Dalam upaya mencapai pemahaman bacaan, Ommagio tampaknya lebih menyoroti faktor pembacanya. Jika pembaca memiliki dan menguasai ketiga faktor di atas, maka proses pemahaman bacaan tidak akan mendapat hambatan yang berarti. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Harjasujana (1992). Menurutnya, sekurang-kurangnya terdapat lima hal pokok yang dapat mempengaruhi proses pemahaman sebuah wacana. Kelima faktor tersebut meliputi: (a) latar belakang pengalaman, (b)kemampuan berbahasa, (c) kemampuan berpikir, (d)tujuan membaca, dan (e) berbagai afeksi seperti motivasi, sikap, minat, keyakinan, dan perasaan.

Harjasujana pun tampaknya lebih menyoroti aspek pembacanya ketimbang aspek lainnya dalam menyoroti masalah faktor-faktor pemengaruh KEM seseorang. Kebanyakan ahli tampaknya memandang faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi pemahaman bacaan berpusat pada faktor pembaca. Seperti juga pendapat Heilman, Blair, dan Rupley (1981) yang mengetengahkan empat hal yang dipandang berperanan penting di dalam proses pemahaman bacaan, antara lain: (a) latar belakang pengalaman; (b)tujuan dan sikap pembaca; (c) pengetahuan tentang berbagai tipe pengorganisasian tulisan; dan (d)berbagai strategi identifikasi tulisan.

Williams

(1984)

mengomentari

perihal

faktor

yang

mempengaruhi

pemahaman bacaan itu sebagai berikut. Ketidaktahuan akan bahasa dapat menghalangi pemahaman. Meskipun pengetahuan bahasa itu penting, namun bagaimana menumbuhkan keinginan membaca jauh lebih penting. Selanjutnya, beliau mengaitkan hal tersebut dengan keterbacaan wacana (readability). Menurutnya, materi bacaan yang disuguhkan dengan bahasa yang sulit menyebabkan bacaan itu sulit dipahami dan mengakibatkan frustasi bagi pembacanya. Keterbacaan menurutnya, tidak hanya bergantung pada bahasa teks, melainkan juga bergantung pada pengetahuan pembaca tentang teks serta bagaimana ketekunan dan ketajaman membacanya. Antara minat baca dan keterbacaan wacana terdapat hubungan timbal-balik. Ketiadaan minat baca menyebabkan keengganan membaca pada pembacanya. Salah satu faktor yang menyebabkan keengganan membaca ini adalah faktor keterbacaan wacana. Teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi relatif lebih mudah dibaca. sebaliknya, teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang rendah relatif lebih sulit dibaca. Tinggi-rendahnya tingkat keterbacaan sebuah wacana berpengaruh terhadap minat baca pembacanya. Teks yang memenuhi kriteria keterbacaan wacana, yang sesuai dengan peringkat pembacanya dapat mendorong minat baca pembacanya. Dalam upaya mempertahankan dan membangkitkan minat baca siswa itulah faktor keterbacaan wacana hendaknya menjadi perhatian para guru di sekolah dalam menyajikan materi ajar membaca. Setiap guru dituntut untuk dapat memilih dan menyeleksi bahan bacaan yang begitu banyak dan beragam sesuai dengan tingkat keterpahaman pembacanya. Faktor tingkat keterbacaan yakni tingkat mudah-sukarnya bacaan bagi peringkat pembaca tertentu juga mempengaruhi kecepatan baca seseorang. Bahan

bacaan yang tidak sesuai dengan peringkat pembacanya dianggap mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah. Bahan bacaan yang demikian tentu saja tidak dapat dicerna dengan mudah dalam waktu yang relatif cepat. Pembaca membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencerna bahan bacaan yang seperti itu. Sebaliknya, bahan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang layak dengan pembacanya, atau bahkan cenderung di bawah kemampuan pembacanya, akan dilahapnya dalam waktu yang relatif cepat. Masalahnya bagi guru (termasuk anda) sekarang ini adalah bagaimana upaya memilihkan bahan-bahan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang layak dengan siswanya dan bagaimana meningkatkan kemampuan baca siswa itu dengan tidak mengabaikan faktor kecepatan bacanya. Dewasa ini, banyak formula-formula keterbacaan wacana yang telah diperkenalkan para ahli yang dapat dimanfaatkan untuk mengukur keterbacaan wacana (uraian tentang hal ini akan dibicarakan pada bab tersendiri di bagian muka nanti). Namun, tampaknya rumus-rumus yang ada belum dapat menampung dan mengantisipasi berbagai faktor yang diduga dapat menimbulkan tinggi-rendahnya tingkat keterbacaan wacana. Rumus yang satu misalnya, hanyalah

mempertimbangkan tingkat kekerapan kosakata. Kosakata yang mempunyai tingkat kekerapan yang tinggi dalam penggunaannya (termasuk kelompok seribu) tergolong ke dalam kosakata mudah; sedangkan kosakata yang tidak termasuk ke dalam kelompok seribu dalam kekerapan pemakaiannya dianggap sulit. Beberapa rumus keterbacaan yang lain menggunakan kombinasi jumlah kata-kata sukar dan jumlah kalimat. Rumus yang lain lagi ada yang menggunakan tolok ukur semantik dan kecanggihan sintaksis.

Bagaimanapun saran Harjasujana (1987) mengenai penggunaan formulaformula keterbacaan ini tampaknya perlu mendapat perhatian para guru. Menurutnya, bagi guru, rumus-rumus keterbacaan itu harus dianggap sebagai upaya untuk mengukur tingkat kesukaran prosa yang masih perlu diteliti berdasarkan pengalaman dan penalarannya sendiri. Dengan kata lain, unsur "pertimbangan" guru itu sendiri berperanan penting di dalam menentukan tingkat keterbacaan wacana. Sampai sekarang, belum ada penemuan rumus-rumus keterbacaan yang bisa mengukur secara mendalam latar belakang pengalaman, tingkat kematangan, minat, dan tujuan membaca. Faktor minat dan motivasi seseorang dalam membaca juga turut berpengaruh terhadap kecepatan bacanya. Minat dan motivasi yang tinggi, baik terhadap bahannya maupun terhadap kegiatan membacanya, akan berefek positif terhadap kecepatan baca seseorang. Hal ini mungkin disebabkan oleh dorongan rasa ingin tahu yang bersifat intrinsik dari diri pembaca itu sendiri, sehingga dengan tanpa disadarinya gerakan mata akan meluncur dengan cepat untuk segera dapat memenuhi keinginannya tersebut dengan cepat pula. Sebaliknya, jika membaca tanpa disertai minat dan motivasi bukan saja berefek negatif terhadap kecepatan membacanya, melainkan bisa lebih fatal dari itu, misalnya saja pembaca sama sekali enggan menyentuh bahan bacaan tersebut. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas, kecepatan membaca juga dipengaruhi oleh faktor kebiasaan. Yang dimaksud dengan faktor kebiasaan di sini adalah kebiasaan-kebiasaan buruk yang biasa dilakukan pada saat membaca (membaca dalam hati/pemahaman). Kebiasaan-kebiasaan buruk antara lain: (a) membaca dengan vokalisasi (suara nyaring); (b)membaca dengan gerakan bibir;

(c) membaca dengan gerakan kepala; (d)membaca dengan menunjuk baris bacaan dengan jari, pena, atau alat lainnya; (e) membaca dengan pengulangan kata, kelompok kata, atau baris bacaan (regresi); (f) membaca dengan subvokalisasi (melafalkan bacaan dalam batin atau pikiran); (g)membaca kata demi kata; (h)membaca dengan konsentrasi yang tidak sempurna; (i) membaca hanya jika perlu/ditugasi/dipaksa saja (insidental).

Kesemua kebiasaan buruk di atas akan memperlambat kecepatan membaca orang yang bersangkutan. Untuk mengatasinya, tentu saja kebiasaan-kebiasaan buruk di atas hendaknya dihindari manakala kita sedang melakukan kegiatan membaca.

MODUL 3: KECEPATAN EFEKTIF MEMBACA

Pendahuluan

Kegiatan Belajar 1: Hakikat dan Fungsi KEM Rangkuman Perlatihan 1 Tes Formatif 1

Kegiatan Belajar 2: Faktor yan Mempengaruhi KEM Rangkuman Perlatihan 2 Tes Formatif 2

Kegiatan Belajar 3: Cara Menggunakan KEM Rangkuman Perlatihan 3 Tes Formatif 3

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF DAFTAR PUSTAKA

mahaman (membaca dalam hati). Aktivitas fisik yang benar-benar diperlukan dalam membaca pemahaman hanyalah gerakan mata semata. Sementara itu, aktivitasaktivitas fisik lainnya seperti gerakan bibir, kepala, jari, tangan, dan sebagainya hanyalah menambah beban kerja fisik yang berakibat buruk pada kecepatan baca seseorang. Membaca frase demi frase jauh lebih cepat ketimbang membaca kata demi kata. Dengan membaca kata demi kata pembaca akan terjebak pada upaya memahami makna literal sebuah kata ketimbang gagasan pokoknya. Satu hal lagi yang perlu dicamkan bahwa ternyata intensitas baca yang baik (sering, kontinyu, dan teratur) akan mengasah kecepatan baca seseorang ke arah pencapaian KEM yang lebih baik. Faktor lain yang mepengaruhi kecepatan efektif membaca adalah penguasaan teknik-teknik membaca yang tepat sesuai degan tujuan, bahan, dan jenis membacanya. Teknik-tenik membaca yang umum dikenal orang adalah: a) teknik baca-pilih atau selecting, yaitu membaca bahan bacaan atau bagian-bagian bacaan yang dianggapnya relevan atau mengandung informasi yang dibutuhkan pembaca. Dalam hal ini, sebelum melakukan kegiatan membaca tersebut, pembaca telah melakukan pemilihan/seleksi bahan terlebih dahulu. b) Teknik baca-lompat atau skipping, yaitu membaca dengan loncatan-loncatan. Maksudnya, bagian-bagian bacaan yang dianggap tidak relevan dengan keperluannya atau bagian- bagian bacaan yang sudah dikenalnya/dipahaminya tidak dihiraukan. Bagian bacaan yang demikian dilompati untuk mencapai efektifitas dan efisiensi membaca. c) Teknik baca-layap atau skimming atau dikenal juga dengan istilah membaca sekilas, yaitu membaca dengan cepat atau menjelajah untuk memperoleh gambaran umum isi buku atau bacaan lainnya secara menyeluruh. Selain itu, teknik ini juga

dapat dipergunakan sebagai dasar memprediksi (menduga), apakah suatu bacaan atau bagian-bagian tertentu dari bacaannya itu berisi informasi tertentu. Seorang pembaca yang menggunakan teknik skimming hanya memetik ide-ide pokok bacaan atau hal-hal penting atau intisari suatu bacaan. Teknik ini dipergunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut ini. 1) Mengenali topik bacaan; misalnya mengenali kesan umum suatu buku untuk melihat relevansi isi bacaan dengan keperluan pembacanya atau memilih suatu artikel dari majalah/surat kabar untuk kliping. 2) Mengetahui pendapat orang (opini). Setelah pembaca mengetahui topik yang dibahas, dia juga ingin mengetahui pendapat penulisnya terhadap masalah tersebut. Suatu kesimpulan itu biasanya diletakkan pada bagian akhir bacaan. 3) Mengetahui bagian penting tanpa harus membaca seluruh bacaan. Pembaca hanya melihat seluruh bacaan itu untuk memilih ide-ide yang dianggapnya penting dan baik, tetapi tidak membacanya secara lengkap. 4) Mengetahui organisasi penulisan, urutan ide pokok, hubungan antar bagian guna mencari atau memilih bahan yang perlu dipelajari atau perlu diingat. 5) Menyegarkan apa yang pernah dibaca, misalnya dalam mmepersiapkan ujian atau ceramah.

Teknik baca-tatap atau scanning atau dikenal juga dengan istilah sepintas, yaitu suatu teknik pembacaan sekilas cepat tetapi teliti dengan maksud untuk memperoleh inforsi khusus/tertentu dari bacaan. Pembaca yang menggunakan teknik ini akan langsung membaca bagian tertentu dari bacaannya yang berisi informasi/fakta yang diperlukannya tanpa menghiraukan bagian-bagian lain yang dianggapnya tidak relevan. Teknik scanning biasa digunakan untuk hal-hal berikut:

1) mencari nomor telepon; 2) mencari makna kata tertentu dalam kamus; 3) mencari keterangan tentang suatu istilah pada ensiklopedia; 4) mencari entri atau rujukan sesuatu hal pada indeks; 5) mencari definisi sebuah konsep menurut para pakar tertentu; 6) mencari data-data statistik; 7) mencari acara siaran TV, daftar perjalanan, dokter jaga, dan sebagainya.

Keempat teknik membaca di atas, pada umumnya jarang dipergunakan dalam bentuk tunggal atau berdiri sendiri, melainkan dipadukan dengan teknik-teknik lainnya. Bahkan sering terjadi keempat teknik ini dipergunakan sekaligus secara bergiliran dalam suatu kegiatan membaca. Yang penting bagi pembaca adalah bagaimana dia dapat memilih, menentukan, dan menggunakan teknik membaca yang tepat/cocok dengan sifat informasi yang diperlukannya sehingga memnuhi tuntunan efektifitas dan efisiensi membaca. Di samping teknik-teknik membaca di atas, kita juga perlu menguasai metodemetode membaca yang efektif dan efisien. Metode-metode tersebut misalnya membaca frase, metode SQ3R, metode PQ3R, metode PQRST, dan lain-lain. Pembicaraan tentang metode membaca dapat dilihat pada buku-buku lain . Berbeda dengan para ahli di atas, Burnes (1985) mencoba mengklasifikasikan faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan pembaca (reader-related factors), faktor-faktor yang berkaitan dengan penulis/pengarang (author-related factors), dan faktor-faktor yang berkaitan dengan teks (text-related factors). Pengklasifikasian terhadap faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan dari Burnes di atas, tampaknya diilhami oleh

model pemahaman interaktif yang diusulkan Tierney & Mosenthal (1982). Model dimaksud tampak pada gambar berikut.

____________________________________________________________

DISCOURSE PRODUCTION (Author) C

DISCOURSE COMPREHENC SION (Reader)

__________________ O__________________O_____________________ Cognitive struc- N ture of author T E Knowledge Background X E Ideas X Knowledge Text N Cognitive structure T of reader

T Relationship T Background

U between ideas U Purpose L A A Purpose, attentiL on, interest, focus

Assumptions

I Structural

I Assumption about N reading

about reader,text N tendencies references F L Cohesion Theme mode of publication U F L

U Assumption about E text N

E Stylistic N tendencies C C

E S

E Strategies S

___________________________________________________________

Gambar 1.

Model pemahaman interaktif dari Tierney dan Mosenthall (1982), International Reading Association, (dalam Burnes & Page, 1985:47)

Dari sekian banyak pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca, pendapat Pearson dipandangsebagai cermin dari kesimpulan pendapat-pendapat di atas. Menurut beliau, faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Faktor-faktor dalam meliputi kompetensi bahasa, minat, motivasi, dan kemampuan membaca. Faktor-faktor yang termasuk faktor dalam tersebut bersumber pada diri pembaca. Faktor luar dibaginya lagi menjadi dua kategori, yakni (a) unsur dalam bacaan, dan (b) sifat-sifat lingkungan baca. Unsur dalam bacaan berkaitan dengan keterbacaan dan faktor organisasi teks. Sifat lingkungan baca berkenaan dengan fasilitas, guru, model pengajaran, dan lain-lain (Pearson, 1978; Hafni, 1981). Jika pengklasifikasian faktor-faktor pemengaruh KEM tersebut kita buat skematiknya, maka akan tampak skema seperti berikut ini.

/- - kompetensi bahasa /--- Faktor dalam |- - minat dan motivasi | (internal) |- - sikap dan kebiasaan

Faktor- | faktor | pemenga- | ruh KEM |

\- - intelegensi/kemampuan

/- - unsur dalam bacaan | * keterbacaan wacana

| Faktor luar | * organisasi teks/tulisan \--- (eksternal) \- - sifat lingkungan baca * fasilitas * guru * model PBM dll. (Gambar 2: Skema faktor-faktor pemengaruh KEM)

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, tampaknya faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan itu bukanlah faktor-faktor yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak juga bersifat hierarkis. Setiap faktor saling berkaitan. Pendapat tentang faktor mana yang paling dominan pengaruhnya terhadap pemahaman bacaan, juga masih simpang siur. Ahli yang satu berpendapat bahwa kuantitas membacalah yang paling dominan pengaruhnya, sementara ahli lain memandang inteligensi sebagai faktor yang dipandang paling dominan, dan ahli yang lain lagi memandang bahasa sebagai sentral dari pemahaman.

5. Mengukur Kecepatan Efektif Membaca Seperti telah dijelaskan di muka, KEM itu merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan kemampuan memahami isi bacaan. Kecepatan rata-rata

baca merupakan cermin dari tolok ukur kemampuan visual, yakni kemampuan gerak motoris mata dalam melihat lambang-lambang grafis. Pemahaman isi bacaan merupakan cermin dari kemampuan kognisi, yakni kemampuan berpikir dan bernalar dalam mencerna masukan grafis yang diterimanya lewat indera mata. Untuk menentukan KEM seseorang diperlukan data mengenai rata-rata kecepatan bacanya dan persentase pemahaman isi bacaan. Data mengenai rata-rata kecepatan baca dapat diketahui apabila jumlah kata yang dibaca dan waktu tempuh bacanya diketahui. Cara menghitung rata-rata kecepatan baca adalah dengan cara membagi jumlah kata yang dibaca dengan waktu tempuh baca. Sebagai contoh, jika seseorang dapat membaca sebanyak 2500 perkataan dalam waktu 5 menit, artinya kecepatan rata-rata baca pembaca tersebut adalah 500 kpm (2500 : 5 = 500). Sementara itu, untuk memperoleh data tentang persentase pemahaman isi bacaan yang objektif (bukan perkiraan), tentu diperlukan suatu alat untuk mengukurnya. Alat tersebut berupa tes (masalah ini akan dibicarakan dalam bab tersendiri). Untuk menentukan persentase pemahaman seseorang terhadap bahan bacaan yang dibacanya ialah dengan cara membagi sekor bobot tes pemahaman isi bacaan yang dapat dijawab pembaca dengan benar dengan bobot/skor ideal kemudian diperkalikan dengan 100 (persen). Misalnya, jika seseorang dapat menjawab dengan benar tes pemahaman isi bacaan sebanyak 32 dari sekor ideal 50, maka persentase pemahaman isi bacaan pembaca yang bersangkutan adalah 64% (32/50 X 100% = 64%). Berpedoman kepada pengertian KEM, yakni perpaduan antara kemampuan visual dan kemampuan kognisi, maka contoh-contoh penghitungan KEM untuk data di atas dapat ditentukan KEM-nya. Dari hasil penghitungan rata-rata kecepatan baca diperoleh data 500 kpm; dari hasil penghitungan persentase pemahaman isi bacaan

diperoleh data 64%. Maka penghitungan KEM-nya adalah 500 X 64% = 320 kpm. Angka terakhir ini (320 kpm) merupakan kecepatan efektif membaca yang sudah menyertakan pengukuran dua unsur penyokong kegiatan baca, yakni kemampuan gerak mata dalam melihat lambang-lambang cetak dan kemampuan memahami isi bacaan. Sementara angka 500 kpm itu merupakan kemampuan kecepatan rata-rata baca yang belum menyertakan unsur pemahaman isi bacaan. Selanjutnya, berdasarkan ilustrasi di atas, sekarang kita dapat membuat beberapa alternatif rumus KEM yang dapat dipergunakan untuk menghitung dan menentukan KEM seseorang. Alternatif rumus-rumus tersebut antara lain sebagai berikut ini.

(1)

---- X ---- = ... kpm Wm SI

(2)

----- X ---- = ... kpm Wd:60 SI

(3)

---- (60) X ---- = ... kpm Wd SI

Keterangan: a) K : jumlah kata yang dibaca

b) Wm : waktu tempuh baca dalam satuan menit c) Wd : waktu tempuh baca dalam satuan detik d) B : sekor bobot perolehan tes yang dapat dijawab dengan benar e) SI : sekor ideal atau sekor maksimal f) kpm: kata per menit

Untuk memudahkan proses pengukuran/penghitungan KEM, ikutilah prosedur kerja di bawah ini. 1) Tandailah bacaan anda/pembaca, di mana anda/pembaca memulai bacaan dan di mana pula berakhirnya, kemudian hitunglah jumlah kata yang telah (berhasil) anda baca itu dengan jalan: (a) menghitung jumlah kata per baris (sebagai sampel); (b)menghitung jumlah baris per halaman, lalu dikalikan dengan hasil penghitungan butir (a) menghasilkan jumlah kata per halaman. (c) menghitung jumlah halaman yang berhasil dibaca; (d)memperkalikan hasil penghitungan (b), yakni jumlah kata per halaman dengan hasil penghitungan (c), yakni jumlah halaman, menghasilkan jumlah seluruh kata yang telah dibaca. Contoh : Jumlah kata per baris = 11 Jumlah baris per halaman = 35 Jumlah halaman yang dibaca = 10 maka akan diperoleh: Jumlah kata per halaman 11 X 35 = 385 kata Jumlah kata yang dibaca (secara keseluruhan) adalah 10 x 385 = 3850 kata.

2) Catatlah waktu tempuh baca dengan jalan: (a) catat waktu mulai membaca, misalnya pk. 10.15 (b)catat waktu berakhirnya membaca, misalnya pk 10.20.30 (c) hitung waktu tempuh baca dengan jalan (b - a) atau 10.20.30 - 10.15 = 5 menit 30 detik atau 330 detik. 3) Hitung rata-rata kecepatan bacanya dengan jalan membagi jumlah kata (langkah 1) dan waktu tempuh baca (langkah 2) jika waktu tempuh baca dalam bentuk menit gunakan rumus (1), jika menggunakan satuan detik gunakan (2) atau (3). Penghitungan untuk contoh di atas menjadi seperti berikut ini.

*) Menggunakan rumus (1):

3850 ------ = 700 kpm 5.5

*) Menggunakan rumus (2) atau (3):

3850 ------ X 60 = 700 kpm atau 330

3850 ------- = 700 kpm 330:60

4) Tentukan persentase pemahaman isi bacaan yang anda

capai dengan cara

membagi sekor bobot perolehan yang benar dengan sekor idealnya, kemudian dikalikan dengan 100%.

Contoh: diberikan 30 soal pemahaman isi bacaan dengan

pembagian sebagai berikut:

I. 20 soal, bobot 2 ---> 20 X 2 = 40

II. 10 soal, bobot 1 ---> 10 X 1 = 10

------

Sekor idealnya adalah

= 50

Seandainya anda dapat menjawab 17 soal dengan benar dari nomor-nomor soal berikut: 1-6, 9, 12, 15-19, 22-25, 28; maka penghitungan sekor perolehan yang anda capai adalah sebagai berikut.

I. 18 butir X 2 = 36

II. 5 butir X 1 = 5

-------

Sekor perolehan = 41 atau 41:50 X 100% = 82%

5) Tentukan KEM-nya dengan jalan memperkalikan hasil langkah (3) (rata-rata kecepatan baca) dengan hasil langkah (4) (pemahaman isi bacaan).

Untuk contoh data di atas, penghitungan KEM-nya tampak seperti berikut ini. (a) dengan rumus (1):

3850

41

3850

------ X ---- = ------> ------ X 82% = 5.5 50 5.5

700 X 0.82 = 574 kpm

700 X 82% = 574 kpm

(b) dengan rumus (2):

3850

41

3850 ------ X 60 82% = 330

------ X 60 ---- = 330 50

700 X 0.82 = 574 kpm

700 X 82% = 574 kpm

(c) dengan rumus (3):

3850

41

3850 ------ X 82% = 330:60

------ X ---- = 330:60 50

700 X 0.8

= 574 kpm

700 X 82% = 574 kpm

Dengan menggunakan rumus mana pun kita menghitung KEM, pada akhirnya akan menghasilkan angka yang sama, yakni 574 kpm. Berbekal rumus penghitungan KEM tersebut, kita berkesimpulan bahwa untuk sampai pada penggunaan rumus tersebut terdapat sejumlah persiapan yang harus kita persiapkan untuk menghitung KEM. Persiapan-persian dimaksud meliputi: (a) menyediakan teks/wacana sebagai bahan bacaan; (b) menyiapkan alat pengukur waktu: jam tangan, stopwatch; (c) perangkat tes (tes bacaan).

6. KEM, Tujuan Membaca, dan Krakteristik Bahan Pembaca yang efisien mempunyai kecepatan baca yang fleksibel sesuai dengan bahan bacaan yang dihadapinya dan tujuan membacanya. Berikut ini disajikan rincian rata-rata kecepatan baca yang disesuaikan dengan keperluan baca. a) Kecepatan 1000 kpm atau lebih biasa digunakan pada saat membaca skimming atau scanning, manakala pembaca hendak mengenal bahan bacaan yang akan dibaca, mencari jawaban atas pertanyaan tertentu, megetahui struktur organisasi bacaan, mencari gagasan pokok, mendapatkan kesan umum su atu bacaan, dan lain-lain.

b) Kecepatan antara 500-800 kpm (tinggi) digunakan untuk membaca bahan bacaan yang mudah/ringan atau yang sudah dikenal, membaca novel/cerpen ringan untuk mengetahui jalan ceritanya. c) Kecepatan antara 350-500 kpm (cepat) digunakan untuk membaca bacaan mudah yang bersifat deskriptif/informatif dan bacaan fiksi yang agak sulit untuk menikmati keindahan sastranya atau mengantisipasi akhir cerita. d) Kecepatan antara 250-350 kpm (rata-rata) digunakan untuk membaca fiksi yang kompleks guna menganalisis watak tokoh dan jalan cerita atau bahan-bahan nonfiksi yang agak sulit untuk mendapatkan detail informasi, mencari hubungan atau membuat evaluasi tentang ide penulis. e) Kecepatan antara 100-125 kpm (lambat) digunakan untuk mempelajari bacaan yang sukar, bahan bacaan ilmiah yang bersifat teknis, analisis nilai sastra klasik, memecahkan persoalan yang dirujuk bacaan yang bersifat instruksional (petunjuk). Kecepatan rata-rata di atas hendaknya disertai dengan minimal 70% pemahaman isi bacaan, karena kecepatan rata-rata tersebut masih merupakan kecepatan kasar yang belum menyertakan pemahaman isi bacaan. Berdasarkan hasil studi para ahli membaca di America, kecepatan yang memadai untuk siswa tingkat akhir sekolah dasar kurang lebih 200 kpm, siswa tingkat lanjutan pertama antara 200-250 kpm, siswa tingat sekolah lanjutan atas antara 250-325 kpm, dan tingkat mahasiswa antara 325-400 kpm dengan pemahaman isi minimal 70%. Dengan demikian, bila dihitung KEM-nya masing-masing akan menjadi seperti berikut: * tingkat SD * tingkat SMTP : 200 x 70% = 140 kpm : 200 x 70% s.d. 250 x 70% = 140 - 175 kpm

* tingkat SMTA : 250 x 70% s.d. 350 x 70% = 175 - 245 kpm

* tingkat PT

: 350 x 70% s.d. 400 x 70% = 245 - 280 kpm.

RANGKUMAN KEM merupakan kependekan dari kecepatan efektif membaca, yakni sebuah istilah untuk mencerminkan kemampuan membaca yang sesungguhnya yang dicapai oleh pembaca. Dua unsur penyokong kegiatan/proses membaca, yakni unsur visual (kemampuan gerak motoris mata dalam melihat dan mengidentifikasi lambanglambang grafis) dan unsur kognisi (kemampuan otak dalam mencerna dan memahamai lambang-lambang grafis) sudah terliput dalam rumus KEM. Oleh karena itu, KEM dapat ditentukan dengan jalan memperkalikan kecepatan rata-rata baca dengan persentase pemahaman isi bacaan. Untuk mencapai KEM yang tinggi diperlukan latihan dan pembiasaan. KEM seseorang dapat dibina dan ditingkatkan melalui proses berlatih. Ada dua faktor utama yang diduga sebagai faktor pemengaruh KEM, yakni faktor dalam (internal) dan faktor luar eksternal. Yang dimaksud dengan faktor dalam adalah faktor yang berada di dalam diri pembaca itu sendiri. Yang termasuk ke dalam faktor ini, misalnya intelegensi, minat dan motivasi, sikap baca, kompetensi kebahasaan, tujuan baca dll. Yang dimaksud dengan faktor luar adalah faktor-faktor yang berada di luar pembaca. Faktor ini dapat dibedakan lagi ke dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang berkenaan dengan bacaan (keterbacaan dan organisasi bacaan) dan sifat-sifat lingkungan baca (guru, fasilitas, model PBM, teknik-teknik membaca, dan lain-lain). Pembaca yang fektif dan efisien adalah pembaca yang fleksibel, yakni pembaca yang dapat menyesuaikan atau mengatur kelenturan waktu tempuh baca

dengan tujuan membaca dan berbagai kondisi baca yang ada, seperti karakteristik dan tingkat kesulitan bacaan, minat baca, strategi membaca, dan lain-lain. Tujuan dan kondisi baca itu turut menentukan KEM minimal yang harus dikuasai seorang pembaca. Secara garis besar KEM dapat digolongkan ke dalam klasifikasi sangat tinggi, tinggi, cepat, rata-rata, dan lambat. KEM minimal untuk klasifikasi pembaca adalah: SD (140 kpm), SLTP (140-175 kpm), SLTA (175-245 kpm), PT (245-280 kpm) .

LATIHAN Sekarang mari kita berlatih menggunakan rumus KEM untuk mengukur kecepatan efektif membaca diri sendiri.

Petunjuk Sebelum kita mencoba mempraktikkan rumus pengukuran KEM ini, terlebih dahulu silakan anda baca dulu wacana/teks berikut. Jangan lupa untuk mencatat, kapan anda mulai membaca dan kapan berakhirnya.

A.TEKS mulai pukul : .........

Masalah hubungan antara intelegensi dan kreativitas serta peranan masingmasing terhadap keberhasilan dalam pendidikan dan dalam hidup pada umumnya telah lama menjadi pokok pembahasan dan penelitian para ahli.

Merupakan suatu kenyataan bahwa intelegensi atau IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan dalam pendidikan, apalagi dalam karir. Karena itu timbul pertanyaan, faktor-faktor apa kecuali intelegensi yang menentukan

keberhasilan dalam studi? Ukuran-ukuran atau test-test apa yang sebaiknya digunakan untuk mengetahui bakat dan untuk meramalkan apakah seorang anak akan dapat menyelesaikan suatu pendidikan dengan hasil yang memuaskan? Sejauh mana kreativitas seseorang ikut berperan? Apakah persamaan dan perbedaan antara intelegensi dan kreativitas? Sebenarnya ada dua anggapan yang mengaburkan pengertian mengenai intelegensi dan kreativitas. Pertama, anggapan bahwa hasil test intelegensi sudah mencerminkan semua kemampuan mental dan proses-proses kognitif. Kedua, aggapan bahwa kreativitas semata-mata berhubungan dengan bakat artistik, dan oleh karena itu, anggapan ini telah membatasi usaha-usaha untuk mengidentifikasi dan memupuk kemampuan-kemampuan kognitif yang berkaitan dengan fungsi kreatif di luar bidang seni. Seorang tokoh yang berjasa menjelaskan pengertian tentang intelegensi dan kreativitas serta hubungan antara keduanya ialah J.P. Guilford (1956).Dalam modelnya tentang struktur intelek manusia, Guilford mendemonstrasikan bahwa intelek manusia meliputi tidak kurang dari 120 faktor, dan bahwa test intelegensi konvensional hanya mengukur sebagian kecil dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, mungkin saja bahwa seorang anak yang berdasarkan test intelegensi tertentu mencapai IQ yang tinggi, dalam kenyataannya kurang berhasil. Atau sebaliknya, seorang pemuda yang diramalkan kurang memnuhi syarat untuk pendidikan tinggi ternyata bisa jadi sarjana. Hal ini disebabkan test intelegensi yang dipakai belum tentu

meliputi semua keterampilan yang dibutuhkan dalam bidang studi tertentu. Apalagi di samping faktor intelegensi, faktor kepribadian dan lingkungan juga ikut berperan. Berkenaan dengan intelegensi dan kreativitas, keduanya merupakan fungsi dari kemampuan kognitif manusia, akan tetapi meliputi dimensi yang berbeda. Menurut Guilford, tes intelegensi terutama mengukur apa yng disebutnya "pemikiran konvergen", yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan, sedangkan tes kreativitas terutama mengukur "pemikiran divergen", yaitu kemampuan untuk memberikan macammacam alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Guilford menekankan bahwa sistem pendidikan yang tradisional kurang memperhatikan pengembangan dari kemampuan berpikir divergen, padahal kemampuan ini sangat penting dalam proses pemecahan masalah pada umumnya, dan khususnya di mana dibutuhkan gagasan-gagasan yang inovatif.

dari: INTELEGENSI BAKAT berakhir pukul : ............ dan TEST IQ Disusun oleh Fakultas Psikologi UI

B. Pertanyaan Bacaan I. 1. Jawablah pertanyaan bacaan berikut dengan membubuhkan tanda silang (X) pada huruf di depan alternatif jawaban yang anda anggap paling tepat! 1) Pernyataan berikut salah, kecuali ... a. Hasil tes intelegensi mencerminkan kemampuan mental dan proses kognitif seseorang. b. Kreativitas hanya berhubungan dengan hal yang bersifat artistik atau seni.

c. Intelegensi yang tinggi menjamin keberhasilan studi seseorang. d. Intelegensi dan kreativitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan studi. 2) Tes yang memungkinkan si penjawab memberikan beberapa alternatif jawaban, digunakan untuk mengukur ... a. intelegensi b. kreatisitas c. intelegensi dan kreativitas d. kreatis\vitas dan prestasi belajar

3) Faktor-faktor yang termasuk fungsi kognitif manusia adalah ... a. intelegensi dan kepribadian b. kreativitas dan kepribadian c. intelegensi dan kreativitas d. bakat dan kreativitas

4) Tema sentral bacaan di atas adalah ... a. Pernan intelegensi dan kreativitas dalam keberhasilan pendidikan. b. Hubungan intelegensi, kreativitas, dan kepribadian. c. Faktor-faktor penentu keberhasilan pendidikan d. Tes pemikiran konvergen dan pemikiran divergen

5) Kemampuan berpikir divergen berguna terutama dalam hal ... a. pembuatan keputusan b. proses pemecahan masalah c. pembiuatan kesimpulan yang logis

d. peningkatan intelegensi

II. 1) Hitunglah jumlah kata pada teks di atas! (a) jumlah kata per baris (b) jumlah baris : ...............

: ...............

(c) jumlah kata seluruhnya : ...............

2) Hitunglah waktu tempuh baca anda! (a) mulai membaca pukul : ...............

(b) berakhir/selesai pukul : ............... (c) waktu tempuh baca anda : ...............

III. 1) Silakan tentukan KEM yang anda capai berdasarkan rumus KEM yang paling anda kuasai! Sebelumnya, periksa dan cocokkan hasil jawaban anda dalam menjawab pertanyaan bacaan dengan kunci jawaban berikut. (1) d (2) b (3) c (4) a (5) b

2) Lihat daftar KEM pada uraian di muka. Apakah KEM yang anda capai sudah memadai untuk peringkat anda (mahasiswa)? 3) Silakan anda berlatih pada teks-teks lain. Jika ada teman yang mau membantu menyiapkan soal pemahaman bacaan, itu lebih baik. Anda boleh membuat

pertanyaan sendiri dengan berpedoman pada kata tanya: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana. Boleh juga dengan cara "heuristik", yaitu menaksir sendiri kira-kira berapa persen pemahaman anda taksiran ini taksiran kasar. terhadap bacaan tersebut. Tentu saja

merupakan taksiran kasar. Oleh karena itu, KEM-nya juga bersifat

4) Buatlah grafik perkembangan KEM untuk melihat perkembangan KEM yang anda capai.

Berikut disajikan contoh grafik perkembangan KEM yang dapat anda gunakan untuk melihat perkembangan KEM yang anda atau murid anda capai.

Tabel Latihan KEM

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Judul Bacaan

Jumlah Kata

Waktu

Pemahaman Isi

KEM

Grafik perkembangan pencapaian KEM

500

450 400
KE M

350 300 250 200 150 100 50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (dst )

Latihan ke-

BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN

1. Pendahuluan Sebagai seorang guru, guru bidang studi apa pun, tuntutan memilihkan bahan bacaan yang layak untuk siswanya merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Terlebih-lebih untuk guru bahasa Indonesia, karena pengajaran membaca secara formal dibebankan kepada guru bidang studi bahasa Indonesia. Meskipun buku paket atau buku teks sebagai buku pegangan dasar dalam melaksanakan kegiatan belajar dewasa ini sangat banyak jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan satu macam bahan ajar yang ada. Untuk pengajaran membaca, persoalan penyediaan bahan ajar membaca tidaklah terikat oleh ketentuan buku paket atau buku teks tertentu. Dalam kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk konsumsi baca ini terasa sangat kental. Bahan bacaan tersebut dapat berupa buku teks, buku ilmiah, surat kabar, majalah, pamplet-pamplet, dan lain-lain.Kesemua bahan bacaan tersebut berpeluang untuk dijadikan bahan ajar membaca atau mungkin untuk tugas membaca. Masalahnya, apakah semua bahan bacaan yang tersedia serta mudah didapat tersebut layak untuk konsumsi baca siswa kita? Bagaimana kita dapat menentukan kriteria kelayakan dimaksud? Seberapa jauh peran guru dalam memilihkan bahan bacaan yang layak baca untuk para siswanya? Pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya memacu kita untuk mencari jawabnya. Pada bab ini, kita akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi melalui bahasan "keterbacaan". Bahasan bab ini mudah-mudahan dapat membantu para guru bahasa untuk dapat menentukan tingkat keterbacaan wacana yang cocok untuk para siswanya.

Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Melalui bab ini, anda akan kami ajak untuk mengenal berbagai konsep dan formula keterbacaan yang biasa digunakan untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan. Dengan demikian, setelah membaca bab ini, anda diharapkan dapat menggunakan berbagai formula keterbacaan untuk kepentingan penentuan tingkat keterbacaan berbagai ragam bacaan. Secara rinci, diharapkan anda dapat: (a) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan; (b)menjelaskan sekurang-kurangnya empat bentuk formula keterbacaan; (c) menunjukkan perbedaan langkah/prosedur kerja pemakaian formula-formula keterbacaan; (d)menggunakan formula-formula keterbacaan tersebut untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan.

2. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability.Bentukan Readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan "keterbacaan" sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, "keterbacaan" ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.

Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak

dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna terutama bagi guru yang mempunyai perhatian terhadap metode pamberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang layak dibaca. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu, misalnya peringkat enam, peringkat empat, peringkat sepuluh, dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan. Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan.

Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor utama yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjang-pendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah. Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. Panjang kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor utama yang melandasi alat-alat pengukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale & Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.

3. Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca Salah satu penggunaan rumus keterbacaan dapat dilihat pada upaya guru dalam memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna, terutama bagi guru yang memiliki perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku teks atau bahan bacaan lainnya. Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi cetak. Sebab, bagaimana pun salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber ilmu yang

dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara untuk beroleh ilmu pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca. Lebih baik jika kegiatan membaca dimaksud adalah kegiatan membaca mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak lain. Sehubungan dengan hal itu, penyediaan sarana baca yang berupa koleksikoleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping, surat kabar, jurnal, pamflet-pamflet, dan lain-lain) perlu dimiliki, bukan saja oleh pihak sekolah melainkan oleh setiap kelas. Dengan demikian, setiap sekolah di samping harus memiliki perpustakaan sekolah juga harus memiliki perpuatakaan-perpustakaan kelas yang terletak di setiap sudut masing-masing kelas. Koleksi-koleksi bacaan pada perpustakaan kelas hendak-nya koleksi-koleksi bacaan yang memang layak untuk peringkat mereka. Pertimbangan tingkat kelayakan dimaksud, tidak saja didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai (seperti nilai isi, manfaat, pendidikan, moral, estetika, etika, dan lain-lain) melainkan juga harus dipertimbangkan tingkat kesulitan dari masing-masing materi cetak dimaksud. Bahanbahan bacaan tersebut hendaknya memenuhi tingkat keterbacaan sesuai dengan tuntutan dan karakteristik pembacanya. Di samping hal-hal tersebut d atas, penggunaan rumus-rumus keterbacaan akan sangat bagi guru untuk mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan materi bacaan yang hendak diajarkannya. Meskipun bahan bacaan untuk kepentingan bahan ajar sudah tersedia banyak di luar, namun tuntutan bagi setiap guru untuk dapat berperan dan bertindak sebagai penulis tampaknya bukanlah pandangan yang keliru. Peran guru sebagai penulis tampak semakin jelas pada saat mereka dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan berikut, misalnya, mempersiapkan tes, membuat rencana

pengajaran, menyusun program pengajaran, membuat surat kepada orang tua siswa, atau kegiatan tulis-menulis lainnya. Dalam mempersiapkan bahan-bahan seperti yang kita jelaskan tadi, guru hendaknya mempertimbangkan tingkat keterbacaan bahan yang ditulisnya itu. Bukankah si penulis (guru) berkeinginan hasil tulisannya tersebut terbaca pihak lain sebagai sasaran pembacanya. Keterampilan mengubah tingkat keterbacaan wacana perlu dimiliki setiap guru. Pengubahan keterbacaan itu sendiri dapat dilakukan dengan jalan meninggikan taraf kesulitan wacananya atau mungkin sebaliknya, menurunkan tingkat kesulitan wacana tersebut. Kegiatan ini perlu dilakukan guru, jika guru memandang para siswanya wajib mengetahui isi konten (isi materi) dari wacana itu dan tidak menemukan sumber bacaan lain yang tingkat keterbacaan wacananya cocok dengan peringkat siswanya.

4. Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan Formula-formula keterbacaan yang pemakaiannya dewasa ini tengah populer, di samping memiliki kelebihan juga mengandung kelemahan. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa formula-formula keterbacaan yang dipakai sekarang ini mendasarkan formulanya pada dua hal yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kedua faktor yang menjadi landasan bagi formula-formula keterbacaan ini mengundang pertanyaan pada kita. Bagaimana dengan konsep-konsep yang terkandung dalam wacana yang bersangkutan? Bukankah konsep-konsep makna yang terkandung dalam suatu wacana yang tidak terjakau oleh pembacanya akan berdampak pada keterpahaman pembacanya. Sering kita dapati kasus, seseorang tidak

dapat memahami wacana yang dibacanya meskipun wacana tersebut telah memenuhi kriteria keterbacaan untuk peringkat pembaca yang bersangkutan. Mengapa hal itu terjadi? Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Adapun konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak terperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis. Keterbatasan formula keterbacaan ini semakin terasa manakala kita dihadapkan pada bahan bacaan dari jenis fiksi, terutama puisi. Meskipun puisi menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang pendek-pendek, namun tingkat keterbacaan puisi justru malah menjadi rendah atau sulit dibaca. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa unsur semantis tidak dapat terjangkau oleh alat ukur keterbacaan yang ada. Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan pada diri kita, bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata yang disebut-sebut sebagai faktor penentu formula keterbacaan? Bukankah jika kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita tengah berbicara tentang makna (unsur semantis)? Tolok ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan atas unsur semantisnya (seperti yang kita duga), melainkan didasarkan atas unsur panjang-pendek kata yang bersangkutan. Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar. sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata

yang secara visual tampak pendek, maka kalimat atau kata yang bersangkutan tergolong mudah. Mari kita perhatikan contoh-contoh kalimat berikut. A. Ini Budi. Ini ibu Budi. Ibu Budi sedang memasak. Ini Wati. Wati kakak Budi. Wati sedang menyiram bunga. Pak Ahmad ayah Budi. Beliau sedang membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu. tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar.

B. Ini Budi yang dilahirkan dari pasangan ibu dan bapak Ahmad dan berkakakkan seorang perempuan bernama Wati. Jika ibu Budi memasak, kakaknya melakukan pekerjaan lain, yakni menyiram bunga; sedangkan ayahnya membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu yang letaknya tidak jauh dari pasar yang berada di kampungnya.

Mari kita bandingkan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh A dan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh B. Ditinjau dari segi informasi/maksud kalimat, kedua contoh penyajian kalimat-kalimat tersebut tidaklah berbeda secara berarti. Kedua bentuk penyajian kalimat tersebut mengandung informasi dan maksud yang sama. Namun dilihat dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud kalimat,

seperti tampak pada contoh penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat yang relatif pendek-pendek; sementara contoh penyajian B menggunakan kalimatkalimat kompleks yang relatif panjang-panjang. Contoh wacana A lazim kita dapati pada buku-buku ajar (bahan ajar membaca) untuk peringkat pemula, atau terdapat pada buku-buku pelajaran kelas I sekolah dasar. Sementara contoh wacana B merupakan sajian bahan ajar untuk anak-anak sekolah dasar yang relatif lebih tinggi kelasnya (misalnya kelas 4-5 SD). Bagaimana kesimpulan anda setelah melihat dan membaca kedua bentuk penyajian kalimat-kalimat di atas? Contoh penyajian A yang menggunakan kalimatkalimat yang pendek-pendek jauh lebih mudah ketimbang contoh penyajian B, bukan?Dengan kata lain, tingkat keterbacaan wacana pada wacana A tergolong tinggi bila dibandingkan dengan tingkat keterbacaan wacana B. Semakin tinggi tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin mudah wacana tersebut. sebaliknya, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana semakin sukar wacana tersebut. Untuk menolokukuri tingkat kesulitan sebuah kalimat dengan kriteria panjang_pendek kalimat tampaknya tidak mengundang masalah. Pada kenyatannya, kalimat kompleks jauh lebih sulit ketimbang kalimat sederhana atau kalimat tunggal. Bagaimanapun, kalimat kompleks tentu sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan konsep; sedangkan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, sebuah gagasan, sebuah konsep tertentu. Pada kalimat kompleks terjadi pemadatan konsep atau ide. Oleh karena itu, kalimat tersebut akan jauh lebih sukar ketimbang kalimat-kalimat tunggalnya.

Bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat dijadikan indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan. Mari kita perhatikan deretan kata-kata berikut.

A. - era - asa - rona - makar

B. - zaman - harapan - cahaya/air muka - muslihat

Bila kita bandingkan deretan kata pada contoh A dan deretan kata pada contoh B, manakah di antara kedua contoh deretan kata tersebut yang menurut anda memiliki tingkat kesulitan yang relatif lebih tinggi? Apa alasannya? Deretan kata-kata yang terdapat pada contoh B, tampaknya merupakan kata-kata yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari, dalam percakapan yang bersifat umum. Kosakata yang terdapat pada contoh B relatif akrab dengan kehidupan keseharian kita. Lain halnya dengan kosakata yang terdapat pada contoh A. Kata-kata tersebut rasanya tidak terlalu akrab dengan kehidupan keseharian kita. Oleh karenanya, kita merasa asing dengan kosakata tersebut. Akibatnya, ditinjau dari sudut semantisnya, deretan kata yang terdapat pada contoh A relatif lebih sulit ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B. Padahal dari segi bentuk, deretan kata yang terdapat pada contoh A jauh lebih pendek-pendek ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B. Hal lain yang menjadi keterbatasan formula-formula keterbacaan terletak pada penggunaan slang, satir, makna ganda, atau minat pembaca. Formula keterbacaan itu, tampaknya tidak bisa digunakan untuk bacaan fiksi (karya sastra), terlebih-lebih pada

karya sastra berupa puisi. Puisi memiliki bentuk yang khas dengan struktur-struktur kalimat yang jauh bebeda dari struktur-struktur kalimat pada karya nonfiksi, seperti buku teks misalnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan kita pada saat menentukan tingkat keterbacaan wacana.

5. Penggunaan Formula-formula Keterbacaan Untuk mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim dipakai ialah formula keterbacaan dari Spache. Formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang rata-rata kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula-formula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaannya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya memakan banyak waktu. Rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam belas ialah rumus yang dibuat oleh Dale & Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan panjang kalimat dan kata-kata sulit sebagai faktor-faktor penentu tingkat kesulitan bacaan. Rumus ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu. Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan

mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor tradisional: panjang-pendek kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan. Namun, kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang dikembangkannya itu (Grafik Fry) dan formula Spache berkorelasi 0.90, sedangkan dengan formula Dale-Chall

berkorelasi 0.94. Korelasi yang tinggi itu menunjukkan adanya keajegan rumus-rumus dan ketepercayaan penggunaan alat ukur yang diciptakannya.

5.1 Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry 5.1.1 Bagaimana Memahami Grafik Fry Sekarang mari kita kenali formula keterbacaan dari Edward Fry yang kemudian kita kenal dengan sebutan "Grafik Fry". Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah "Journal of Reading". Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968. Sebelum sampai pada penggunaan grafik dimaksud untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana, sebaiknya kita kenali dulu grafik dimaksud dengan sebaikbaiknya. Jangan lupa, bahwa formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Silakan anda perhatikan formula (Grafik Fry) dimaksud, seperti tertera di bawah ini. Hal ini penting anda camkan agar pada saat mengenali grafik Fry, anda sudah paham cara menggunakannya. Hal ini akan menjadi dasar pertimbangan kita pada saat melakukan penafsiran terhadapnya. Berikut contoh grafiknya.

Grafik Fry

GRAFIK

(Lihat Copy aslinya)

Apa yang bisa anda jelaskan mengenai grafik tersebut? Di bagian atas grafik kita dapati deretan angka-angka seperti berikut: 108, 112, 116, 120, dan seterusnya. Angka-angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari dua faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan dimaksud.

Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik, seperti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-pendek kalimat. Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garisgaris penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas. Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain. Ketika anda membaca keterangan "seratus perkataan" pada grafik tersebut, mungkin anda bertanya-tanya, mengapa demikian? Mengapa harus "seratus" perkataan? Angka tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur keterbacaannya itu berupa buku yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran keterbacaan, kita tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman terakhir buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100 perkataan. Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan bacaan yang relatif tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil

dari halaman-halaman awal sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari halaman-halaman akhir buku itu. Mungkin anda bertanya-tanya dalam hati, apakah pengukuran keterbacaan wacana yang dilakukan terhadap sampel wacana sebanyak 100 perkataan itu hasilnya benar-benar dapat mencerminkan tingkat keterbacaan wacana secara keseluruhan? Apalah artinya sepenggal wacana yang terdiri atas 100 perkataan bila dibandingkan dengan ketebalan sebuah buku yang tipis sekalipun? Sekarang mari kita bandingan proses pengukuran keterbacaan dimaksud dengan proses pengukuran suhu tubuh oleh para dokter. Jika para dokter mendeteksi suhu tubuh seseorang dengan stetoskop, dia hanya akan memilih bagian-bagian tubuh tertentu dari tubuh si pasien sebagai sampel. Misalnya saja, dokter akan memilih bagian ketiak atau mulut untuk dijadikan sampel pengukuran suhu tubuh seseorang. Meskipun begitu, hasil dari pengukuran dimaksud merupakan cerminan dari ukuran suhu tubuh si pasien secara keseluruhan. Untuk mengetahui suhu tubuh seseorang, dokter tidak perlu melakukan pengukuran suhu tubuh tersebut mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, melainkan memilih bagian-bagian tertentu dari tubuh tersebut yang dianggap dapat mewakili seluruh suhu tubuh. Dengan beranalogi pada proses kerja pengukuran suhu oleh para dokter, maka proses pengukuran keterbacaan wacana itu pun cukup dilakukan terhadap sampel wacana, dan wacana yang dianggap representatif jika berjumlah sekurang-kurangnya sebanyak 100 perkataan. Selanjutnya, bagaimana prosedur kerja untuk penggunaan formula keterbacaan dari Fry ini? Berikut ini akan diberikan sejumlah petunjuk yang harus diikuti dalam menggunakan grafik ini untuk mengukur keterbacaan wacana.

5.1.2 Petunjuk penggunaan Grafik Fry (1977): Langkah (1) Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya tersebut dengan mengambil 100 buah perkataan daripadanya. Yang dimaksud dengan kata dalam hal ini ialah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas. Dengan demikian, lambang-lambang berikut, seperti Budi, IKIP, 1999, =, masing-masing dianggap sebagai satu perkataan. Yang dimaksud dengan "representatif" dalam memilih penggalan wacana ialah pemilihan wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Wacana yang diselingi dengan gambar-gambar, kekosongan-kekosongan halaman, tabel-tabel, rumus-rumus yang mengandung banyak angka-angka, dan lain-lain dipandang tidak representatif untuk dijadikan sampel wacana.

Langkah (2) Hitunglah jumlah kalimat dari seratus buah perkataan tersebut hingga perpuluhan yang terdekat. Maksudnya, jika kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka penghitungan kalimat tidak akan selalu utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang merupakan bagian dari deretan kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termasuk ke dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (perpuluhan).

Perhatikan contoh wacana berikut!

Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambul uang. 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang21 22 23 24 25 26 27 28 29

orang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk 30 31 32 33 34 35 36 37 38

di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang 39 40 41 42 43 44 45

yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la46 47 48 49 50 51 52 53

in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan. 54 55 56 57 58 59 60

Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan 61 62 63 64 65 66 67 68

kesibukan orang-orang di tempat itu. Waktu Inu melihat sa-

69

70

71 72

73

74 75

76 77

tu kursi kosong di depan petugas yang melayani pertanyaan, 78 79 80 81 62 83 84 85

dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun 86 87 88 89 90 91 92 93 94

mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk dan menawarkan 85 96 97 98 99 100

bantuan yang mungkin dapat dia berikan.

Keterangan: Angka-angka yang tedapat di bawah setiap kata pada wacana di atas menunjukkan penghitungan sampel wacana. Kata yang digarisbawahi merupakan akhir dari sampel wacana, karena kata tersebut merupakan kata terakhir yang termasuk ke dalam hitungan 100 perkataan.

Jika kita melakukan penghitungan rata-rata jumlah kalimat untuk wacana di atas akan kita dapati 12 kalimat utuh ditambah 8 kata pada kalimat terakhir dari jumlah kata seluruhnya pada kalimat terakhir tersebut sebanyak 16 buah. Kedua belas kalimat utuh yang terdapat dalam wacana tersebut adalah sebagai berikut ini: (1)Pada suatu hari .... ke bank. (2)Di bank itu .... orang. (3)Di loket tabungan ... uang.

(4)Ada juga ... uang. (5)Di loket yang ... antre. (6)Ada juga .... antrean. (7)Mereka melayani... lain. (8)Ayah Inu ... tabungan. (9)Inu menunggu ... tunggu. (10)Dia memperhatikan .... itu. (11)Waktu Inu .... berdiri. (12)Inu mendekati ... itu.

Kalimat terakhir berbunyi:

Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk//dan menawarkan bantuan yang mungkin dapat dia berikan.

Kalimat terakhir ini (kalimat ke-13) tidak seluruhnya terpakai ke dalam hitungan seratus. Kata keseratusnya jatuh pada kata duduk. Kata tersebut merupakan kata ke-8 dari 16 kata yang terdapat pada kalimat terakhir tersebut. Dengan demikian, rata-rata jumlah kalimat pada wacana sampel di atas adalah 12 + 8/16 kalimat. Jika dihitung ke dalam sistem perpuluhan (desimal) akan menghasilkan angka 12,5 kalimat. Contoh lain, jika kalimat terakhir itu terdiri atas 17 perkataan dan hanya ada satu kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 kata, maka bagian kalimat yang terakhir itu adalah 0,058 dibulatkan menjadi 0,1 kalimat. Jika jumlah kalimat sebelumnya ada 10 buah, maka jumlah kalimat seluruhnya adalah 10,1 kalimat.

Demikianlah cara menghitung rata-rata jumlah kalimat dari sampel wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya.

Langkah (3) Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah perkataan tadi. Sebagai konsekuensi dari batasan kata (seperti dijelaskan pada langkah (1) di atas yang memasukkan angka dan singkatan sebagai kata, maka untuk angka dan singkatan, setiap lambang diperhitungkan sebagai satu suku kata. Misalnya, 234 terdiri atas 3 suku kata, IKIP terdiri atas 4 suku kata. Berpatokan pada contoh wacana kita di atas (pada langkah 2), mari kita praktikkan cara menghitung suku kata dimaksud. Caranya, berilah tanda di atas setiap kata tersebut dengan angka-angka yang menunjukkan jumlah suku kata dari kata yang bersangkutan. Perhatikan contoh berikut!

1 1

1 1

Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu

3 1

banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambil uang.

2 1

Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orangorang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la

in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan.

Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan kesibukan orangorang di tempat itu. Waktu Inu melihat satu kursi kosong di depan petugas yang melayani pertanyaan, dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk// dan menawarkan bantuan yang mungkin dapat dia berikan.

Demikianlah cara ini kita kerjakan, hingga kita menemukan jumlah suku kata untuk seluruh kata yang termasuk ke dalam hitungan 100. Dari penghitungan suku kata terhadap sampel wacana di atas, kita akan memperoleh hitungan jumlah suku kata sebanyak 228 suku kata.

Langkah (4) Perhatikan Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Data yang kita peroleh pada langkah (2), yakni rata-rata jumlah kalimat dan data yang kita peroleh pada langkah (3), yakni rata-rata jumlah suku kata diplotkan ke dalam grafik untuk mencari titik temunya. Pertemuan antara baris vertikal (jumlah suku kata) dan baris horizontal (jumlah kalimat) menunjukkkan tingkat-tingkat kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih itu. Jika persilangan baris vertikal dan baris horizontal itu berada pada daerah gelap atau daerah yang diarsir, maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah. Guru harus memilih wacana lain dan mengulangi langkah-langkah yang sama seperti yang telah kita jelaskan tadi.

Langkah (5) Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus diperkirakan sebagai wacana dengan tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat, 5 yakni (6-1), 6, dan 7 yakni (6+1).

5.1.3 Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry Pertama, untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku (yang biasanya relatif tebal jumlah halamnnya), pengukuran keterbacaan ini hendaknya sekurangkurangnya dilakukan sebanyak tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Si pengukur hendaknya mengambil tiga pilihan sampel wacana, yakni wacana dari bagian awal buku, dari bagian tengah buku, dan dari bagian akhir buku. Untuk artikel dan jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan satu kali, kecuali jika penulisnya berbeda-beda. Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, setelah si pengukur menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.

Sebagai contoh, mari kita perhatikan perumpamaan berikut. Dari hasil penghitungan pengukuran keterbacaan wacana dari ketiga sampel itu (bagian awal, tengah, dan akhir buku), misalnya kita peroleh data seperti berikut:

Wacana Sampel Bagian I Bagian II Bagian III Jumlah Rata-rata

Jumlah suku kata 124 141 158 423 141

Jumlah kalimat 6.6 5.5 6.8 18.9 6.3

Jika angka rata-rata tersebut diplotkan ke dalam Grafik Fry, ternyata titik temu dari persilangan kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 7. Artinya, tingkat keterbacaan buku yang bersangkutan cocok untuk peringkat 6, 7, dan 8. Kedua, Grafik Fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal ini, mari kita perhatikan contoh sederhana berikut.

1) I go to school. 2) Saya pergi ke sekolah.

Pada contoh kalimat 1) (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan dalam kalimat 2) (bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris, pada umumnya sering kita jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita periksa kosakata nama diri dalam bahasa Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip, mouth, tooth, head, hair dan seterusnya; kemudian mari kita bandingkan dengan kosakata berikut: tangan, kaki, bibir, mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan contohcontoh berikut, kita berkesimpulan bahwa sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan Grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk peringkatperingkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah suku kata akan selalu jatuh pada daerah yang diarsir. Melihat kasus contoh wacana yang kita sajikan di bagian muka kita dapati jumlah kalimat 12.5; sedangkan jumlah suku katanya ada 228. Setelah kita plotkan ke dalam Grafik Fry, maka titik temu dari persilangan garis untuk kedua data tersebut jatuh melewati daerah yang diarsir (wilayah gelap). Oleh karena itu, tingkat keterbacaan wacana tersebut tidak bisa ditentukan atau wacana tersebut tidak memiliki peringkat baca yang cocok untuk peringkat kelas mana pun. Tetapi, apakah kesimpulan itu benar? Bukankah kalau kita mencoba mengukurnya dengan kadar pertimbangan kita (bukan alat ukur), hal itu mustahil terjadi, mengingat contoh wacana kita itu diambil dari bacaan untuk siswa sekolah dasar.

Berdasarkan contoh kasus tersebut, kita boleh berkesimpulan bahwa Grafik Fry tidak bisa digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia kecuali jika dilakukan pemodifikasian terhadap alat tersebut. Meskipun penyesuaian yang akan kami tawarkan ini bukan merupakan patokan yang baku, namun tawaran ini didasari oleh sebuah penelitian kecil-kecilan yang telah kami lakukan. Untuk sekedar pedoman bagi para pemakai alat ukur keterbacaan dari Fry, jika menggunakan formula ini untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia, petunjuk langkah-langkah penggunaan Grafik Fry masih harus ditambah satu langkah lagi, yakni memperkalikan hasil penghitungan suku kata dengan angka 0.6. Angka ini diperoleh dari hasil penelitian (sederhana) kami yang memperoleh bukti bahwa perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa Indonesia itu 6:10 (6 suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira sama dengan 10 suku kata dalam bahasa Indonesia). Mengambil data pengukuran terhadap contoh wacana kita di atas, maka akan diperoleh data jumlah kalimat sebanyak 12.5. data jumlah suku kata 228 X 0.6 = 136.8 dibulatkan menjadi 137. Jika diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 4. Dengan demikian, wacana tersebut cocok untuk peringkat kelas 3, 4, dan 5 sekolah dasar. Contoh wacana tersebut, memang diambil dari buku Lancar Berbahasa Indonesia 2 untuk Sekolah Dasar Kelas 4, karangan Dendy Sugono, diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1993. Dengan hasil pengukuran tadi, tampaknya sang pengarang telah memilih dan menentukan wacana dengan tingkat keterbacaan yang tepat untuk sasaran pembacanya.

5.1.4 Daftar Konversi untuk Grafik Fry Kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjuk-petunjuk penggunaan obata-obatan tertentu. Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap prosedur penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry. Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah berikut ini:

Langkah (1) Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30.

Langkah (2) Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut. Kegiatan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan Grafik Fry (seperti telah kita demonstrasikan) pada penjelasan terdahulu.

Langkah (3)

Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil perhitungan langkah 2 tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam Daftar Konversi seperti yang tampak di bawah ini. Dengan demikian, guru dapat menggunakan lagi Grafik Fry menurut tata tertib seperti yang sudah dijelaskan terdahulu.Dengan kata lain, data yang diplotkan ke dalam grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar konversi.

DAFTAR KONVERSI UNTUK GRAFIK FRY

jika jumlah kata dalam wacana itu berjumlah: 30 40 50 60 70 80 90

perbanyaklah jumlah suku-kata dan kalimat dengan bilangan berikut: 3,3 2,5 2,0 1,67 1,43 1,25 1,1

Mari kita perhatikan contohnya. Dalam contoh di bawah ini, kita umpamakan setiap tanda garis putus menunjukkan suku kata dan kemlompok tanda garis putusputus tersebut kita umpamakan sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Selanjutnya, coba anda tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk kelas berapakah wacana tersebut?

Wacana

jumlah suku-kata

---- -- -- -- -- --- ---- - --- -, - --- -- -- -- --? -- -- - -- -- --- -- - -- --- --?

25 20 15 ______________ Jumlah 60

Jika kita ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka akan kita dapati data berikut ini. (a) Jumlah kata dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi diklasifikasikan ke dalam golongan angka 30 (b) Jumlah kalimatnya ada 2 buah. (c) Jumlah suku katanya ada 60 suku kata. (d) Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk jumlah kata 30 adalah 3.3. Dengan demikian jumlah kalimat dan jumlah suku kata hasil konversi menjadi: * jumlah kalimat : 2 X 3.3 = 6.6 * jumlah suku kata: 60 X 3.3 = 198 (e) Setelah diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat (6.6) dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas. Artinya tingkat keterbacaan wacana tersebut, cocok untuk peringkat universitas.

5.2 Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor 5.2.1 Bagaimana Memahami Grafik Raygor Anda telah mahir menggunakan Grafik Fry, bukan? yakinkah anda bahwa grafik tersebut dapat digunakan untuk wacana-wacana dalam bahasa Indonesia? Pertanyaan itu akan dapat anda jawab setelah membandingkan kedua kalimat berikut ini.

a) I watch TV every night. b) Saya menonton TV setiap malam.

Kedua kalimat di atas itu, masing-masing terdiri atas lima kata. Namun, jumlah suku kata dalam kedua kalimat tersebut tidak sama, bahkan sangat berbeda. Kalimat bahasa Inggris (a) yang mempunyai makna yang sama dengan kalimat bahasa Indonesia (b) itu terdiri atas tujuh suku kata, sedangkan kalimat bahasa Indonesia yang ada di bawahnya itu mengandung 11 suku kata. Jumlah suku yang ada dalam 100 kata terpilih dalam bahasa Indonesia umumnya terdiri atas 200 suku atau lebih. Apa sebabnya? Kata-kata bahasa Indonesia pada umumnya terdiri atas dua suku kata atau lebih. Jika demikian, apa artinya? Cobalah periksa lagi Grafik Fry itu! Dapatkah anda sekarang menjawab pertanyaan kedua di atas? Karena Grafik Fry mengandung kelemahan yang sukar untuk diatasi, di bawah ini diperkenalkan grafik lain yang mempunyai prinsip-prinsip yang mirip dengan prinsip Grafik Fry. Formula keterbacaan dimaksud adalah Grafik Raygor yang diperkenalkan oleh Alton Raygor. Selanjutnya grafik ini dikenal dengan sebutan

"Grafik Raygor". Formula ini tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin. Untuk mengenali formula ini, mari kita perhatikan grafik berikut, Grafik Raygor. Grafik Raygor seperti tampak terbalik jika dibandingkan dengan Grafik Fry. Namun, kedua formula keterbacaan tersebut sesungguhnya mempunyai prinsipprinsip yang mirip. Garis-garis penyekat peringkat kelas dalam Grafik Raygor tampak memancar menghadap ke atas, sedangkan dalam Grafik Fry menghadap ke bawah. Posisi yang demikian itu sesuai dengan penempatan urutan data jumlah kalimat yang berlawanan pula. Grafik Fry meletakan kalimat terpendek pada bagian atas grafik, sedangkan Grafik Raygor meletakkannya di bagian bawah. Sisi tempat jumlah suku kata digunakan untuk menunjukkan kata-kata panjang yang dinyatakan "jumlah kata sulit", yakni kata yang dibentuk oleh enam buah huruf atau lebih.

5.2.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Raygor Prosedur penggunaan Grafik Raygor sesungguhnya hampir sama dengan Grafik Fry. Langkah-langkah yang harus ditempuh meliputi sejumlah langkah berikut.

Langkah (1) Menghitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya itu sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbangkan sebagai kata. Oleh karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam penghitungan 100 buah kata.

Langkah (2) Menghitung jumlah kalimat sampai pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini sama dengan prosedur Fry dalam menghitung rata-rata jumlah kalimat.

Langkah (3) Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di sini didasari oleh panjangpendeknya kata, bukan oleh unsur semantisnya. kata-kata yang tergolong ke dalam kategori sulit itu ialah kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih huruf. Kata-kata yang jumlah hurufnya kurang dari enam, tidak digolongkan ke dalam kategori kata sulit.

Langkah (4) Hasil yang diperoleh dari langkah 2) dan 3) itu dapat diplotkan ke dalam Grafik Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya. Sebagai bahan latihan, mari kita praktikkan penggunaan Grafik Raygor tersebut pada wacana berikut.

Wacana Suatu ciri khas pada manusia adalah ia selalu ingin tahu; dan setelah ia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, maka segera kepuasannya disusul lagi dengan kecenderungan untuk ingin lebih tahu lagi. Begitulah seterusnya, sehingga tak sesaat pun ia sampai pada kepuasan mutlak untuk menerima realitas yang dihadapinya sebagai titik terminasi yang mantap. Ketidakmungkinan untuk merasa mantap pada suatu status pengetahuan ini dapat diterangkan dari berbagai sudut. Salah satu sebab

yang paling dasar ialah apa yang menjelma kepada manusia sebagai realitas alamiah dianggapnya sebagai kenyataan dwipurwa: di satu pihak dia mengamati alamnya sebagai sesuatu yang mempunyai aspek statis, akan tetapi ia pun mengamati terjadinya perubahan-perubahan, perkembangan-perkembangan, dan lain sebagainya yang menguatkan adanya aspek dinamis dari gejala-gejala itu sendiri (Buitendijk, 1948).

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut! Ada berapa buah kalimat yang terdapat dalam wacana di atas itu ? ........ buah

Berapa jumlah kata-kata sukar yang ada di dalamnya ? ........ buah

Wacana itu cocok untuk kelas untuk kelas berapa ? ........

Grafik yang mana yang lebih cocok bagi anda? Apa alasannya? Mana yang lebih mudah menggunakannya, Grafik Fry atau Grafik Raygor? Setelah anda menemukan daerah tingkat keterbacaan wacana di atas itu dalam Grafik Raygor, bagaimana pendapat anda? Dapatkah grafik itu dipergunakan untuk mengukur keterbacaan wacana-wacana bahasa Indonesia? Anda mungkin berpendapat bahwa Grafik Raygor lebih mudah dan lebih cocok untuk wacana-wacana bahasa Indonesia. Namun, anda tidak boleh lupa bahwa grafik ini belum banyak diteliti keampuhannya. Grafik Fry lebih banyak digunakan

untuk mengetahui tingkat keterbacaan wacana bahasa Inggris, sebab grafik tersebut telah diteliti secara lebih seksama daripada Grafik Raygor. Baldwin dan Kaupman (1979) telah melakukan penelitian mengenai keampuhan dari penggunaan kedua formula keterbacaan ini. Hasil penelitian itu membuktikan bahwa terdapat korelasi yang cukup tinggi antara tingkat keterbacaan wacana-wacana yang diukur dengan menggunakan Grafik Fry dan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang diukur dengan Grafik Raygor. Koefisien korelasi yang dihasilkannnya ialah (r) 0.87. Dari 100 buah wacana yang diteliti, ternyata ada 50 buah hasil percobaan yang menunjukkan hasil pengukuran yang sama antara pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Raygor dengan hasil pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Fry. Satu hal yang perlu dicatat sebagai kelebihan dari penggunaan Grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu.Pengukuran keterbacaan wacana dengan Grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Fry.

5.3 Pengubahan Tingkat Keterbacaan wacana Dengan pengetahuan yang anda peroleh mengenai Grafik Fry dan Grafik Raygor itu anda disarankan untuk memeriksa tingkat keterbacaan buku-buku yang digunakan untuk setiap bidang studi. Setelah mengetahui tingkat keterbacaan bukubuku tersebut, anda disarankan pula untuk mencoba mengubah wacana-wacana itu dengan keyakinan bahwa pekerjaan yang anda lakukan itu bermanfaat dan merupakan ibadah yang berpahala. Tugas kita sebagai guru dalam hal ini memang cukup berat. Tahukah Anda cara menurunkan tingkat kesulitan wacana? Ya benar,

dengan jalan memperpendek kalimat-kalimatnya dan mengganti kata-kata sulit dengan kata-kata yang lebih mudah.

Cobalah bandingkan kedua wacana berikut!

Wacana 1 Secara sepintas saja kita segera mengetahui bahwa advertensi di dalam majalah-majalah itu tidak ayal lagi, bermaksud untuk menarik pembaca agar mempunyai perhatian yang lebih bersungguh-sungguh mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan berat badan. Para diktator dalam bidang mode membuat sebagian besar anggota masyarakat, terutama wanita, sadar akan masalah berat badan yang sangat menentukan penampilan seseorang. Pada masa sekarang para penulis advertensi mencoba berupaya meyakinkan sang kurus dan sang gendut berada dalam kedudukan yang sama asalkan mereka mau membeli barang-barang yang mereka tawarkan: mesin berlatih, jamu ini dan jamu itu, makanan-makanan tertentu, obatobatan tertentu, dan seterusnya. Mereka berjanji bisa membuat kita tampak atau bisa tampak seperti model yang terpampang dalam gambar advertensi. Biasanya mereka gagal karena tidak sadar bahwa setiap orang itu berbeda.

Wacana di atas dapat diubah menjadi seperti ini.

Wacana 2

Anda pernah membaca majalah? Di dalam majalah itu mungkin ada pembicaraan tentang berat badan. Pada umumnya orang sangat memperhatikan berat badannya. Orang yang memperhatikan urusan mode, membuat kita terpaku dalam urusan berat badan. Sekarang para juru iklan masih terus melakukan hal yang sama. Ada juru iklan yang menyuruh anda membeli mesin berlatih. Juru iklan yang lain menjajakan jamu-jamu untuk menurunkan atau menaikkan berat badan. Semua iklan itu berupaya membuat kita gandrung akan penampilan seperti yang tampak dalam gambar. Namun, tujuan hidup orang tidak sama. Iklan tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan itu.

Perbedaan apa yang tampak dalam kedua wacana di atas itu? Jika anda memperhatikan dengan baik kedua wacana tersebut, akan segera tampak dua hal yang berbeda di dalamnya. Kalimat pada wacana pertama berkesan panjangpanjang dan mengandung ide lebih banyak daripada kalimat-kalimat dalam wacana kedua. Wacana kedua menggunakan kata-kata yang lebih mudah daripada kata-kata yang digunakan dalam wacana pertama. Kata advertensi diganti dengan kata iklan, kata terpampang diganti dengan kata tampak. Mengubah struktur kalimat mungkin lebih mudah daripada mengganti katakata sulit dengan kata-kata mudah. Bacaan yang bagus seringkali mengandung kalimat-kalimat yang panjang yang mengandung rincian pikiran atau ide. Cobalah perhatikan kalimat deskriptif di bawah ini. Pada umumnya, setiap bunga mempunyai bagian yang disebut poros, ialah bagian yang menumbuhkan organ-organ reproduksi yang penting (benang sari dan putik) dan lazim juga bagian-bagian tambahan (kelopak bunga dan bunga), yang dapat

berperan sebagai daya tarik terhadap serangga penyerbuk dan sebagai pelindung bagian-bagian yang esensial. Waktu anda membaca wacana di atas, apa yang terjadi dalam pikiran anda? Apakah anda berupaya untuk memproses dan menyusun fakta yang berbeda-beda itu? Seraya membaca kalimat di atas, sebaiknya anda memproses dan menata berbagai fakta ke dalam rincian-rinciannya, misalnya: 1) Setiap bunga mempunyai bagian yang disebut ---- ---2) Organ-organ reproduksi yang penting itu ada dua ---- ---3) Organ-organ yang penting itu ialah putik dan benang sari. 4) Kelopak bunga dan daun bunga pun tumbuh pada ----5) Kelopak dan mahkota bunga itu merupakan pemikat. 6) Kelopak dam mahkota bunga itu melindungi organ-organ inti.

Untuk menurunkan tingkat kesulitan bacaan, fakta-fakta sebaiknya dinyatakan dengan jalan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek-pendek daripada

menggunakan kalimat yang panjang-panjang dan kompleks. Hal tersebut membantu pembaca menata fakta yang dikemukakan dalam wacana. Di samping itu juga biasanya membantu memperbaiki pemahaman, sebab fakta itu diperkenalkan dalam takaran yang lebih kecil (kalimat pendek-pendek). Wacana di atas itu dapat diubah menjadi wacana seperti berikut ini. Pada umumnya, setiap bunga terdiri atas satu poros bunga. Organ-organ reproduksi poros bunga yang penting itu ialah benang sari dan putik. Organ reproduksi tambahannya adalah kelopak bunga dan bunga. Organ ini berfungsi sebagai daya tarik terhadap serangga dalam proses penyerbukan dan berfungsi sebagai pelindung.

Bagaimana pendapat anda tentang kedua bentuk penyajian wacana di atas? Mungkin anda berpendapat bahwa wacana yang kedua lebih mudah dipahami karena informasi yang disampaikannya dinyatakan dalam empat buah kalimat yang relatif lebih pendek-pendek. Dengan kalimat yang pendekpendek, pembaca akan mempunyai kesempatan untuk memproses setiap fakta dalam pernyataan yang terpisahpisah. Ketika kita membaca wacana yany pertama, yang belum diubah, kita harus berupaya menganalisis kalimat yang kompleks itu agar dapat memahami isi dan informasi yang terkandung di dalamnya. Cara kedua untuk menurunkan tingkat keterbacaan wacana ialah dengan jalan mengurangi jumlah silabi (suku kata) dengan cara mensubstitusikan kata-kata yang pendek untuk kata-kata yang panjang. Untuk melaksanakan upaya tersebut anda dapat menggunakan kamus sinonim. Jika kata-kata pengganti sukar dicari maka anda lebih baik mengubah panjang kalimat. Mengganti kata-kata sulit memang perlu, tetapi mengubah panjang kalimat sehingga jumlah kalimat tersebut bertambah, biasanya jauh lebih mudah. Di bawah ini ada beberapa petunjuk yang dapat anda ikuti untuk menurunkan tingkat keterbacaan sebuah wacana. 1) Carilah kata-kata sukar yang terdapat dalam wacana itu. Biasanya, kata-kata yang lebih panjang lebih sukar untuk dibaca. Kata-kata yang multisilabik atau yang berhuruf 6 buah atau lebih, tergolong ke dalam kata sukar, atau bisa juga kata tersebut kurang akrab dengan kita karena frekuensi pemakaiannya tidak tinggi. 2) Ganti kata-kata sukar dengan kata-kata yang lebih mudah. Upayakan agar katakata sukar itu dapat diganti dengan sinonim yang lebih mudah. Substitusikan katakata yang lebih pendek dan lebih mudah itu pada tempat kata-kata sukar tadi.

3) Bacalah kalimat-kalimat dalam wacana tersebut untuk mengetahui kemungkinan memendekannya dengan jalan membaginya menjadi dua atau tiga buah kalimat. Camkanlah bahwa penurunan tingkat keterbacaan itu lebih mudah dilakukan dengan jalan memperbanyak kalimat, sehingga pikiran-pikiran penulis dapat dinyatakan dengan takaran yang lebih kecil-kecil. 4) Tulis kembali wacana tersebut dengan menggunakan kata-kata yang lebih mudah dan kalimat-kalimat yang pendek. 5) Ukurlah tingkat keterbacaan wacana yang baru itu untuk mengetahui penurunannya.

Anda jangan keliru. Jumlah kata sebelum dan sesudah diperbaiki tidak perlu tetap, boleh jadi bertambah, mungkin juga berkurang. Tujuan anda bukanlah mempertahankan jumlah kata, melainkan mengubah wacana supaya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa anda. Jika jumlah kata dalam wacana tersebut berkurang anda dapat mengukur tingkat keterbacaan wacana tersebut dengan menggunakan daftar konversi seperti yang telah anda pelajari di muka.

RANGKUMAN Tingkat keterbacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesukaran/kemudahan wacana. Berdasarkan hasil penelitian mutakhir diperoleh bukti bahwa faktor utama yang mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata yang juga ditandai oleh jumlah huruf dan atau silabi yang membentuknya.

Dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenalkan orang, Grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat keterbacaan yang dipandang praktis dan mudah menggunakannya. Namun, karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur wacana bahasa Inggris, maka pemakaiannya untuk wacana bahasa Indonesia masih harus disesuaikan. Cara menggunakan kedua formula keterbacaan tersebut sekurang-kurangnya harus menempuh lima langkah pokok, yakni (1) memilih penggalan wacana yang representatif sebanyak 100 kata, (2) menghitung rata-rata jumlah kalimat, (3) menghitung jumlah suku kata (untuk Fry) dan menghitung jumlah kata sulit (untuk Raygor), (4) mencari titik temu dari persilangan data (2) dan (3) dalam grafik; dan (5) menentukan tingkat keterbacaan wacana dengan jalan mengurangi dan menambah satu tingkat dari ukuran yang sebenarnya.

TUGAS DAN LATIHAN Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas! 1) Kemukakan dua faktor utama yang mempengaruhi keterbacaan, serta berikan penjelasan dan ilustrasinya! 2) Setelah anda bandingkan prosedur penggunaan Grafik Fry dan Grafik Raygor, coba anda jelaskan persamaan dan perbedaan dari kedua formula tersebut. 3) Bagaimana pendapat anda tentang penggunaan kedua formula keterbacaan tersebut untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia? Berikan alasan dan contoh-contohnya! 4) Jelaskan langkah-langkah kerja yang harus dilakukan si penulis jika dia ingin mengubah tingkat keterbacaan wacana, baik untuk kepentingan penurunan atau penaikan tingkat keterbacaan wacana.

5) Turunkanlah tingkat keterbacaan wacana berikut ke peringkat keterbacaan yang lebih rendah.

Wacana

FLORIDA

Dalam tahun 1565 orang-orang Spanyol mendirikan sebuah kota yang diberi nama St. Augustine, kota kediaman mereka yang tertua yang terletak di North America, di mana mereka tinggal secara tetap. Sebagian besar kota Florida masih berusia sangat muda, namun demikian negara bagian ini memiliki kota tertua yang bernama Cape Canaveral, yang merupakan lambang abad antariksa, karena dari kota inilah pesawat-pesawat luar angkasa dilontarkan. Pantai Miami merupakan tempat hiburan bagi ribuan pengunjung setiap hari. Hutan kayu sebelah utara Florida merupakan sumber kayu kertas yang kaya. Perkebunan jeruk Florida Tengah menghasilkan buah jeruk yang tidak kecil jumlahnya ditambah penghasilan dari daerah Florida bagian selatan yang selalu menghasilkan sayur-sayuran yang segar, jagung, kacang-kacangan, dan tomat, yang kesemua itu dikirimkan ke daerah yang lebih dingin di musim salju.

MODUL 4: BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN

Pendahuluan

Kegiatan Belajar 1: Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan Rangkuman Perlatihan 1 Tes Formatif 1

Kegiatan Belajar 2: Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca Rangkuman Perlatihan 2 Tes Formatif 2

Kegiatan Belajar 3: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan Rangkuman Perlatihan 3 Tes Formatif 3

Kegiatan Belajar 4: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan Rangkuman Perlatihan 3 Tes Formatif 3

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF

DAFTAR PUSTAKA

BAHAN BACAAN DAN STRATEGI MEMBACANYA

PENDAHULUAN Salah satu tugas seorang warga negara adalah membaca. Masihkan Anda mempunyai cukup waktu untuk membaca? Berapa lamakah Anda dapat membaca setiap hari? Berapa banyakkah pengetahuan yang adapat Anda timba dari bahan bacaan yang Anda baca setiap hari itu? Berapa KEM Anda sekarang? Baldridge (1979) berkata bahwa setiap calon cendekiawan abad modern ini dituntut untuk membaca 850.000 per minggu. Jika Anda hanya mampu membaca 250 kata/menit, dalam seminggu Anda harus membaca kira-kira 56 jam, artinya 8 jam/ hari. Sungguh dramatis. Bukankah hidup ini tidak hanya diabdikan untuk membaca? Agar Anda dapat memanfaatkan waktu dengan efisien, Anda perlu memiliki keterampilan membaca cepat. Dalam bab ini akan disajikan bahasan singkat tentang berbagai strategi membaca cepat. Mudah-mudahan penjelasan mengenai hal ini akan dapat membantu Anda dalam upaya mempertinggi daya baca. Meskipun tidak dapat menjangkau harapan Baldridge seperti dikemukakan di muka, namun untuk pembelajar Indonesia dapat membaca 10.000 halaman bacaan yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang digelutinya dalam satu semester dengan pemahaman 90%, sudah dianggap cukup. Sesudah memahami dan mampu menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari uraian bab ini, Anda dituntut untuk menyampaikan pengetahuan ini kepada anak didik Anda agar mereka memiliki kemampuan membaca yang lebih baik. Setelah mempelajari uaraian bab ini, Anda diharapkan dapat menerapkan berbagai konsep dan strategi membaca cepat dalam kegiatan membaca. Secara rinci, Anda diharapkan: a) menjelaskan hakikat konsep membaca cepat;

b) mengenal berbagai konsep strategi membaca cepat; c) menerapkan berbagai strategi membaca cepat dalam kegiatan membaca; d) memilih strategi membaca yang tepat untuk berbagai keperluan membaca dan bahan bacaan yang dihadapi.

2. Hakikat Membaca Cepat 2.1 Pengertian Membaca alah kegiatan merespon lambang-lambang cetak atau lambang tulis dengan pengertian yang tepat. Mari kita bandingkan dengan kegiatan bermain tenis, umpamanya. Pemain tenis yang baik akan merespon pukulan lawan dengan menggunakan pengertian yang tepat terhadap maksud pukulan lawan. Demikian juga dalam membaca. Pembaca yang mahir akan memberikan respon terhadap pernyataan penulis dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat memahami maksud penulis dengan setepat-tepatnya. Seperti bermain tenis, membaca pun memerlukan latihan dan keuletan. Banyak sarjana pendidikan yang berpendpat bahwa membaca itu jantungnya pendidikan. Mampu membaca berarti memiliki kekuatan yang sanggup menggungguli kekuatan fisik apapun yang bisa dihimpun manusia. Siapa membaca cepat dialah yang dapat, dan dia pulalah yang kuat. Mungkin karena itu sebabnya, dalam upaya mempertahankan kekuasaan kediktatorannya, Hitler membiarkan rakyatnya untuk tuna wacana dan tidak berpendidikan. Psikologi pendidikan membuktikan dengan pasti bahwa membaca mempunyai sifat-sifat kompleks. Membaca bukanlah suatu proses "ekafaktor", melainkan keterampilan dan kemampuan yang interaktif dan terpadu. Faktor-faktor yang secara tunjang-menunjang terjalin dalam proses membaca itu ternyata mempunyai sifat-sifat

yang menguntungkan. Hampir semua jenis keterampilan membaca dapat diperbaiki dengan jalan latihan. Jika faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan membaca tersebut dilatih dengan sebaikbaiknya, maka kemampuan membaca pun pasti membaik. Dengan demikian, waktu yang digunakan untuk membaca akan bertambah singkat. Inilah sebenarnya, hakikat dari strategi membaca cepat. Strategi membaca cepat dilakukan dengan tujuan untuk memahami intisari bacaan, bukan bagian-bagian rinciannya yang detil-detil. Oleh karena itu, strategi ini menuntut kecepatan yang paling tinggi yang bisa dilakukan seseorang. Kecepatan yang tinggi akan menyebabkan lompatanlompatan dalam membaca. Terdapat bagianbagian tertentu dari bacaan yang dilompati sehingga panjang bacaan menjadi berkurang hingga 30-40%. Persoalannya, bagian manakah dari bacaan tersebut yang boleh dilompati? Tentu saja kita akan menjawab bagian yang boleh dilompati itu adalah bagian yang tidak esensial. Tetapi, dapatkah kita mengidentifikasi bagian dimaksud? Pembaca yang berpengalaman selalu membaca dengan cara melompati bagian-bagian yang dianggapnya tidak informatif atau bagian yang dianggapnya tidak perlu mendapat respon. Bagian-bagian yang sudah diketahui tidak perlu dibaca lagi, demikian juga kalimat-kalimat yang tidak menimbulkan hilang jejak jika dihilangkan. Yang perlu dibaca hanyalah kata kunci, ialah kata-kata atau frase-frase yang jika dihilangkan dapat menimbulkan salah paham atau menyebabkan bahan bacaan itu tidak bisa dipahami. Mari kita perhatikan ilustrasi berikut.

Kalimat ... jelas ... baik ... mudah dipahami oranglain ... tepat. Kalimat ... demikian disebut ... kalimat efektif... Kalimat fektif haruslah ... tepat..

mewakili pikiran ... keinginan penulis. Hal ini berarti ... kalimat efektif disusun ... sadar ... mencapai daya informasi yang dinginkan ... penulis ...pembacanya ... hal ini tercapai, diharapkan pembacatertarik ... apa yang dibicarakan, ... tergerak hatinya.

Wacana di atas panjangnya sudah berkurang kira-kira 30%, tetapi kita masih dapat menangkap maksud wacana yang sudah mengalami reduksi itu. Hal ini disebabkan bagian-bagian yang dihilangkan itu memang bagian yang tidak esensial dari wacana tersebut. Selanjutnya, mari kita lihat ilustrasi yang lain.

"... kita melihat alam sekitar kita, tampaklah ... ...... makhluk ... sifatnya ... Pertama kita hadapi alam... mati, ... tanah, logam, batu, ... sekaliannya terikat pada tempatnya ... tidak mungkin menimbulkanperubahan ... dalam dirinya sendiri. Kita menyebut ..alam ... mati ... ... ia takluk sepenuhnya ... keadaan ... sekitarnya. Gerak istimewa, kemauan, tak adapadanya. Yang ada ... gaya berat, gaya tarik ... gayatolak ... mekanis".

Dapatkah Anda memahami informasi yang tersaji dalam paragraf di atas itu? Apa yang Anda lihat di sekitar Anda? Sebutkanlah sifat-sifat alam yang mati itu! Sifat apa yang tidak ada dan sifat apa yang ada pada alam mati itu? Cobalah bandingkan paragraf di atas dengan paragraf berikut yang masih lengkap unsur-unsurnya. "Kalau kita melihat alam sekitar kita, maka tampaklah kepada kita berbagai makhluk dengan sifatnya masing masing. Pertama kita hadapi alam yang mati, tanah, ba tu, logam, dan sebagainya. Sekaliannya terikat pada tempatnya dan tiada mungkin

menimbulkan perubahan da lam dirinya sendiri. Kita menyebut ini alam yang mati oleh karena ia takluk sepenuhnya kepada keadaan seki tarnya. Gerak istimewa, kemauan, dan kebebasan tidak ada padanya. Yang ada hanyalah gaya berat, gaya tarik, dan gaya tolak yang mekanis. Adakah hal-hal yang esensial yang hilang dalam paragraf yang sudah dikurangi unsur-unsurnya itu? Apakah jawaban Anda terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas bisa jauh lebih baik setelah Anda membaca paragraf yang lengkap? Meskipun Anda sama sekali tidak menjumpai kesulitan dalam memahami paragraf yang sudah dipersingkat itu, tidaklah berarti bahwa Anda sudah dapat membaca sebaik yang Anda harapkan. Anda harus mampu menentukan bagian-bagian yang merupakan kata kunci bagi Anda. Untuk memiliki kemampuan ini Anda memerlukan banyak latihan. Kalau Anda dapat menangkap isi bacaan secara umum dengan kecepatan membaca 1000 kata atau lebih per menit, maka Anda boleh merasa sudah berhasil dalam usaha mempercepat bacaan Anda. Rentang kecepatan MC adalah 1000-2000 kata per menit.

2.2 Manfaat Membaca Cepat MC (membaca cepat) mempunyai beberapa keuntungan, terutama dalam keadaan seseorang terdesak waktu. Dengan MC, orang dapat meninjau kembali secara cepat materi yang pernah dibacanya. MC memberi kesempatan untuk membaca secara lebih luwes; bagian-bagian bacaan yang sudah sangat dikenal atau dipahami tidak usah dihiraukan. Perhatian bisa difokuskan pada bagian-bagian yang baru atau bagian-bagian yang belum dikuasai.

MC akan terasa juga manfaatnya pada waktu Membaca Survei (membaca sekilas). Dengan MC orang bisa memperoleh pengetahuan yang luas tentang apa yang dibacanya, sesuai dengan sifat bacaan yang tidak memerlukan pendalaman. Kunci utama MC ialah melaju terus. Pada waktu Anda mulai berlatih, ingatlah bahwa Anda akan berusaha untuk membiasakan gerakan mata dan proses berpikir yang diperlukan dalam MC. Pada permulaan latihan MC, pemahaman isi bacaan tidaklah terlalu diutamakan. Upaya menanamkan "keinginan untuk membaca cepat", itu yang pertama kali ditumbuhkan. Selama latihan, Anda akan meningkatkan kesadaran tentang makna berbagai kata kunci. Arti yang Anda tangkap dari bacaan itu berupa fragmen-fragmen. Dari frgamen-fragmen pengertian tersebut, Anda akan mampu menangkap ide umum isi bacaan. Melalui latihan yang tekun, kepercayaan akan diri sendiri dan tingkat pemahaman Anda akan bertambah terus. Bacalah terlebih dahulu bacaan-bacaan ringan dan bacaan-bacaan yang judulnya tidak terlalu asing, sebelum bergerak pada bacaan-bacaan yang Anda anggap sulit dan asing. Dalam perlatihan membaca cepat dikenal istilah latihan irama internal (irama internal satu detik/halaman,irama dua detik/halaman, irama empat detik/halaman, dan seterusnya). Yang dimaksud irama internal satu detik/halaman ialah hitungan yang memakan waktu satu detik, yang dilakukan berulang-ulang dan terus-menerus selama membaca, yang diikuti dengan pindah halaman. Dengan kata lain, setiap halaman mesti dibaca dalam waktu satu detik, dan harus segera diikuti oleh perpindahan ke halaman lainnya. Dengan demikian, maka dalam waktu satu menit diharapkan terbaca sebanyak 60 halaman. Peralihan dari halaman yang satu ke halaman lainnya harus dilakukan secara berirama, ialah satu detik satu halaman, diikuti oleh peralihan ke halaman lainnya.

Kemampuan membaca satu halaman per detik, atau kira-kira 20.000 kata/menit adalah kemampuan yang hebat yang hanya bisa dicapai melalui latihan yang intensif dan disiplin yang kuat, serta minat baca yang tinggi. Anda tidak diharapkan untuk dapat membaca dengan kecepatan setinggi itu. Kalau lewat latihan yang sungguh-sungguh akhirnya Anda dapat menjadi pembaca yang memiliki kecepatan membaca 15 detik/halaman, maka Anda sudah boleh merasa puas.

3. Persiapan Latihan MC Sebelum Anda mulai berlatih, bacalah dahulu penjelasan berikut ini. 1) Sediakan sebuah buku yang mudah (novel) yang tebalnya kira-kira 200 halaman. 2) Sediakan pula arloji atau, kalau ada, sebuah stop watch. 3) Perhatikan berbagai pola MC yang berikut ini. Pilih salah satu di antaranya yang paling cocok bagi Anda. Cobalah setiap pola untuk membaca buku yang tersedia. Anda tentu dapat menentukan pola mana yang cocok untuk Anda.

POLA VERTIKAL Gerakan meluncur vertikal ke bawah, baik pada batas pandang di bagian tengah halaman, atau melewati batas pandang dapat dipahami dengan menggunakan

kemampuan mengira-ngira. Cara ini paling singkat dan dapat dipermudah dengan bantuan telunjuk tangan kiri. Tangan kanan bersiap untuk membuka halaman baru.

POLA DIAGONAL

Gerakan diagonal dimulai dari sudut kiri halaman, bergerak meluncur ke sudut kanan bawah halaman menurun seperti anak panah pada gambar sebelah. Telunjuk tangan kiri dapat digunakan untuk membantu, tetapi jangan sampai menghalangi batas pandang.

POLA ZIG ZAG Pada pola ini pAndangan mulai bergerak dari sudut kiri atas halaman agak menurun sampai batas sebelah kanan, kemudian bergerak agak menurun ke kiri sampai batas kiri. Gerakan seperti ini dilakukan berulang-ulang sampai sudut kiri atau sudut kanan bawah halaman.

POLA SPIRAL Pada pola ini, yang dibaca biasanya bagian tengah halaman. Untuk menjaga pengulangan yang terlalu banyak, gerakan ini bisa diubah sedikit menjadi gerakan angka tiga. Dengan menggunakan pola ini hubungan antara bagian satu dengan bagian lainnya lebih sinambung.

POLA BLOK

Pada pola ini pembaca berhenti sejenak pada akhir blokblok tertentu. Blok ini umumnya merupakan paragraf. Dengan membaca kalimat awal dan kalimat akhir sebuah paragraf yang baik, pembaca diharapkan dapat

memahami isi paragraf tersebut.

POLA HORIZONTAL Dengan menggunakan pola ini pembaca harus

meluncurkan pandangannya dengan cepat sekali dari ujung kiri sampai ujung kanan setiap baris. Waktu pandangan bergerak dari kanan ke kiri, kecepatannya harus sekilat sebab pada saat itu tidak ada yang perlu diperhatikan, dan supaya hubungan baris yang satu dengan baris lainnya lebih erat.

Cobalah beberapa kali setiap pola membaca cepat di atas. Pola mana yang cocok bagi Anda? Kalau Anda memilih pola yang terakhir maka Anda dapat membaca kira-kira satu baris/detik atau kira-kira 10 kata/detik; suatu kecepatan membaca yang lumayan. Sekarang, silakan letakkan sebuah buku terbuka rata di atas meja. Bacalah lima puluh halaman yang pertama dalam 25 menit, yang berarti Anda harus membaca dengan kecepatan setengah menit/satu halaman, atau kira-kira satu detik/satu baris. Untuk itu Anda diharuskan menggunakan salah satu pola membaca yang telah Anda tentukan sebagai pola yang paling tepat. Seraya membaca, Anda pun diharuskan

mencocokkan kecepatan membaca Anda dengan jalan memperhatikan arloji yang Anda sediakan itu. Mulailah membaca buku bacaan ringan yang Anda sediakan itu, dan berhentilah pada halaman 50. Nah, bagaimana hasilnya? Dapatkah Anda mengatur kecepatan bacaan sehingga tepat waktunya? Bagaimana tingkat pemahaman Anda terhadap bacaan itu? Meski betapapun jeleknya hasil yang Anda peroleh, Anda tidak perlu merasa kecewa. Yang penting bagi Anda sekarang ialah ketepatan membagi waktu sehingga Anda dapat menyelesaikan bacaan sebanyak 50 halaman itu tepat 25 menit. Kalau Anda menemui kesukaran dalam menetapkan waktu bacaan, cobalah membaca dengan menggunakan irama internal satu detik/baris. Irama ini sangat mudah diikuti. Dengan latihan 5 menit, Anda dapat mengikuti irama internal satu baris/detik. Caranya, ikuti petunjuk berikut ini. Biarkan buku yang sedang Anda baca itu terletak terbuka rata di depan Anda. Bacalah setiap baris pada halaman yang terbuka sambil mengucapkan "satu-dua" dalam hati. Supaya lebih mudah, bantulah bacaan Anda dengan telunjuk, setelah telunjuk Anda sampai di ujung baris sebelah kanan, segeralah kembali ke kiri, dan bacalah baris berikutnya dengan cara yang sama. Setelah selesai membaca 30 baris, periksalah apakah bacaan Anda sudah tepat kira-kira kecepatannya atau belum. Arloji Anda akan membantu usaha ini dengan sebaik-baiknya. Kurangi kecepatan membaca Anda kalau ternyata masih terlalu cepat, dan tambahlah kecepatannya kalau ternyata masih terlalu lambat. Berlatihlah selama lima menit. Anda akan memiliki ketukan irama internal satu detik/baris tanpa bantuan telunjuk lagi. Selanjutnya, selesaikanlah membaca buku yang tebalnya 200 halaman itu dalam waktu 100 menit. Setelah

selesai membaca buku, Anda akan belajar mengevaluasi bacaan Anda dan mendapat keterangan lebih lanjut tentang MC. Kecepatan baca yang tinggi boleh dikatakan tidak berarti jika tidak disertai pemahaman terhadap isinya. Langkah selanjutnya yang harus Anda kuasai adalah berlatih memperbaiki daya baca dengan fokus pada pemahaman isi bacaan.

4. Persiapan Memperbaiki Daya Baca Semua spesialis membaca berpendapat bahwa Anda bisa membaca lebih baik lagi. Mereka berpendapat pula bahwa untuk meningkatkan kemampuan membaca Anda dituntut untuk mengikuti resep yang berikut ini. 1) Sediakan waktu berlatih setiap hari atau setiap dua hari untuk memperbaiki daya baca. Anda pasti berhasil jika pandai memanfaatkan waktu ini dengan sebaikbaiknya. Berlatihlah dengan intensif, paling sedikit setengah jam sehari. 2) Biarkan kegiatan lain agar tidak mengganggu rencana latihan yang telah Anda tentukan itu.Jika Anda berhasil mengatasi godaan yang pertama, maka selanjutnya Anda akan merasa sangat mudah untuk memulai setiap latihan selanjutnya hingga selesai. 3) Sadari bahwa Anda akan bertemu dengan saat-saat perasaan tidak mendapat kemajuan. Waktu yang menimbulkan rasa seperti itu sangat umum dialami. Dalam ilmu jiwa dikenal istilah "plateau". Anda harus bertahan, sebab waktu seperti itu biasanya tidak berlangsung lama, dan sekonyong-konyong Anda akan merasakan lonjakan dalam daya baca Anda. 4) Mulailah dengan bacaan yang isi dan kata-katanya cukup akrab bagi Anda dan yang idenya mudah ditangkap. Usaha kan agar berangsur-angsur Anda memiliki kepekaan bergerak sepanjang baris dengan cepat. Mulailah dengan biografi

berfiksi, fiksi keilmuan, cerita petualangan, dan bacaan yang mempunyai daya pikat kuat bagi Anda. 5) Bergeraklah menuju bacaan yang lebih sulit. Segera setelah Anda merasakan kemajuan, melangkahlah ke bacaan yang mempunyai tingkat kesukaran yang lebih tinggi. Bacalah majalah-majalah profesional dalam bidang spesialisasi Anda. 6) Membacalah dengan agresif untuk menjawab berbagai pertanyaan. Ubahlah terlebih dahulu judul bacaan menjadi pertanyaan, dan camkan pertanyaan yang Anda buat itu selama membaca. Sambil membaca Anda harus bertanya,"Apa jawaban untuk pertanyan yang Anda buat itu?" Dengan kata lain, masuklah ke dalam bacaan sambil bertanya, dan keluarlah dengan jawaban atas pertanyaan itu. 7) Tentukan terlebih dahulu tujuan Anda membaca. Camkan apa maksud Anda memilih bacaan itu, perkirakan kesulitan apa yang mungkin Anda jumpai di dalamnya. Barulah Anda boleh membaca dengan kecepatan seefisien-efisiennya berdasarkan faktor-faktor yang Anda tentukan itu. 8) Perhatikan pola rencana penulisan si pengarang. Sebelum Anda memulai membaca nonfiksi, lakukan survei selama dua atau tiga menit. Periksalah pikiran utama penulisnya dan perencanaan untuk mengembangkan pikiran dalam tulisan tersebut. 9) Kurangi sedapat-dapatnya vokalisasi dalam setiap kegiatan membaca senyap. Sadarilah bahwa vokalisasi sangat mengganggu kecepatan membaca. Usahakan untuk memahami permasalahan dengan jalan berpikir, bukan dengan melisankan kata-kata yang Anda baca. 10)Membacalah dengan tekanan progresif. Selama berlatih membacalah dengan kecepatan tertinggi yang Anda lakukan tanpa mengurbankan pemahaman. Membacalah seolah-olah Anda sedang mengikuti tes yang Anda baca supaya dapat menjawabnya dengan baik. Kalau Anda membiasakan diri membaca seperti ini,

maka hasilnya tidak akan berbeda dengan latihan-latihan yang menggunakan alat yang disebut akselerator membaca. 11)Tingkatkan penguasaan kosakata Anda. Kata-kata yang tidak Anda pahami dapat diterka melalui konteks kalimatnya, atau mungkin melihat daftar istilah yang terlampir dalam bacaan itu, atau mungkin memeriksanya dalam kamus. 12)Tingkatkan pengetahuan Anda. Membaca menuntut Anda mempunyai pegetahuan yang lebih luas dari pengetahuan tentang makna kata semata-mata. Semakin bertambah pengetahuan Anda tentang masalah yang Anda baca, dengan sendirinya akan menjadi semakin baik dan cepat bacaan Anda. 13)Jagalah supaya Anda tidak terikat oleh kecepatan semata-mata. Setelah Anda mempelajari cara membaca cepat seperti yang disajikan di awal modul ini, maka Anda akan mempunyai kepekaan tertentu terhadap apa saja yang Anda baca. Anda memiliki suatu irama membaca cepat. Namun demikian Anda harus tetap memeriksa pemahaman Anda. Berhentilah sejenak pada akhir setiap unit untuk memeriksa pemahaman dan membuat catatan singkat dalam ingatan. 14)Jagalah supaya gairah Anda tidak melesu. untuk melipatgandakan kecepatan membaca, sampai sekarang para ahli belum menemukan dan tidak akan pernah menemukan rumus atau resep yang bisa menyulap seperti Lampu Aladin. Anda dituntut untuk menebus kemampuan yang Anda cari itu dengan usaha Anda. Anda mungkin akan segera dihinggapi ketidaksabaran dan bahkan melemparkan bacaan yang Anda baca sambil berputus asa. Kalau hal seperti itu terjadi, cobalah usahakan supaya Anda memperoleh gairah baru. Carilah bacaan yang lebih menarik yang lebih erat hubungannya dengan tugas-tugas yang harus Anda selesaikan.

4.1 Petunjuk Mencari Pikiran Utama Di bawah ini disajikan petunjuk singkat untuk mencari pikiran/ide utama sebuah bacaan. Bacalah dengan kecepatan kira-kira 300 kata/menit.

Struktur Paragraf Paragraf adalah sebutan yang biasanya diberikan terhadap sekumpulan kalimat yang saling berkaitan dan menjelaskan suatu topik tertentu. Rencana struktural untuk mengembangkan topik itu tidak dinyatakan dalam sebuah definisi atau batasan tertentu. Penelitian terhadap berbagai tulisan menunjukkan bahwa pengembangan paragraf itu bermacam-macam metodenya. Cobalah bandingkan paragraf-paragraf berikut ini.

Paragraf (1) Semua orang di Mediterranean berkepercayaan bahwa pohon "zaitun" itu keramat. Agaknya jarang sekali terjadi bah wa lambang yang bermanfaat itu juga keramat. Baik pohon "oak" maupun pohon "jati", tidak pernah dijadikan lambang yang menentukan nasib sebuah kampung halaman. Lain halnya dengan zaitun. SeAndainya lenyap pohon ini dari muka bumi, maka akan sirna pulalah kehidupan di Mediterranean. Sesungguhnya pohon kurma itu sangat kaya, dia mampu memenuhi kebutuhan sAndang, pangan, dan papan seluruh kafilah Afrika Utara. Tetapi zaitun jauh lebih banyak disanjung, jumlahnya berlimpah ruah, sehingga sumbangannya terhadap manusia tidaklah ada bandingannya. Pohon zaitun hampir tidak memerlukan apapun, tidak perlu hujan ataupun mata-hari. Walau demikian, apa yang diberikannya kepada umat manusia jauh melebihi apa yang dapat diberikan oleh jenis pohon lainnya.

Di dalam paragraf di atas, Anda melihat bahwa pikiran utama dinyatakan dalam kalimat pertama. Segala sesuatu yang lainnya yang ada dalam paragraf itu merupakan pendukung terhadap apa yang dikemukakan dalam kalimat yang pertama itu.Kemasyhuran, kegunaan, dan sifat-sifat pohon zaitun, serta perbandingannya dengan pohon lain merupakan ide penjelas bagi ide pokoknya. Cobalah sekarang pelajari paragraf berikut.

Paragraf (2) Arkian, transistor itu lebih kecil ketimbang tabung vakum. Ada model transistor yang besarnya setengah dari kacang polong, dan ini masih bisa diperkecil bila diperlukan. Transistor tidak memerlukan pembungkus dan gelas vakum, dan tidak pula memerlukan filamen. Dalam pada itu, transistor hanya memerlukan tenaga yang sangat kecil dan boleh dikata tidak menghasilkan panas. Kedua jenis sifat transistor itu telah menjadikannya sangat berguna, sebab justru kedua macam sifat itulah yang merupakan kesulitan utama dalam perkembangan elektronika yang memerlukan tenaga besar dan panas yang kuat yang dikeluarkan oleh tabung vakum.

Pola penempatan pikiran/ide utama pada paragraf kedua berbeda dengan paragraf pertama tadi. Dalam paragraf ke-2, penulis memulai tulisannya dengan berbagai keterangan tentang transistor. Baru pada akhirnya dia membuat sebuah kesimpulan. Kalau Anda perhatikan paragraf yang berikut ini, maka akan Anda ketahui pula bahwa polanya berbeda dari kedua pola paragraf di atas itu. Cobalah Anda baca.

Paragraf (3)

Doktrin rasisme itu sekali-kali tidak baru, dan Hitler bukanlah penciptanya. Orang Jepang juga sangat tertarik akan masalah rasisme itu, dan mereka menyimpulkannya dalam sebuah slogan "Asia untuk orang Asia". Di Amerika Ku Klux Klan memberikan dukungan bertahun-tahun lamanya. Dan semenjak Perang Dunia II, rasisme dikumAndangkan di Atlanta, Georgia, dan menamakan diri "Columbia". Teori rasisme itu dapat direduksi menjadi sebuah proposisi yang sederhana bahwa suatu ras lebih unggul dari ras lainnya dalam hal kecerdasan, kemampuan, dan sifat-sifat lain yang terpuji dan diingini. Secara jujur orang Columbia itu berkata bahwa dalam charta mereka tercantum suatu tujuan untuk "mendorong orang berpikir berdasarkan ras, bangsa, dan kesetiaan". Pemimpin mereka, Emory Burke, adalah orang yang mencetuskan ide mereka sebagai "melting pot". Dalam struktur pola paragraf yang keempat di bawah ini Anda lihat bahwa pikiran/ide utama penulis terbagi dua. Sebagian terdapat pada awal paragraf dan bagian lain dinyatakan di akhir paragraf. Coba Anda perhatikan paragraf 4 di bawah ini.

Paragraf (4) Tes atom dijadwal tanggal 10 mei. Semua peralatan ada dalam keadaan siap, dihadapi oleh orangnya masing-masing yang sudah terlatih. Kira-kira 500 orang saintis, pegawai pemerintah, dan reporter surat kabar siap untuk menyaksikan panorama. Tetapi, pada menit-menit terakhir kondisi udara pun mendadak memburuk, dan tes pun terpaksa diundurkan.

Struktur paragraf yang berikut ini lain lagi polanya. Anda pun akan segera mengetahui bahwa hubungan kalimat-kalimat yang ada di dalamnya berbeda dengan hubungan antarkalimat di dalam contoh-contoh paragraf terdahulu.

Paragraf (5) Sore itu, tanggal 4 Desember 1989, langit di atas bentangan Pulau Cendrawasih sangat cerah dihiasi beberapa gumpalan awan tipis yang sedang membias dan memantulkan berkas-berkas cahaya mentari ke badan pesawat DC-9 yang kami tumpangi. Warna Samudera Pasifik dari tengah ke tepian, berturut-turut biru, hijau, dan coklat. Bentangan pulau hijau bagaikan permadani yang dihiasi guratan seni alur sungai besar kecil yang tak terhitung jumlahnya. Gunung, bukit, daratan, dan lembah denagn berbagai asesorisnya ditata rapi oleh Sang pencipta sehingga pemandangan saat ini sangat menawan hati dan membuat orang serasa ingin melanglang buana di langit ini tanpa mau turun lagi ke bumi. Kalimat-kalimat dalam paragraf di atas itu hampir sama derajatnya. Semuanya mendukung suatu pikiran pokok yang tidak dinyatakan dalam sebuah kalimat topik. Ide pokok paragraf tersebut harus dicari dan dirumuskan sendiri.

Pentingnya Pengetahuan tentang Ide Pokok Orang tidak mampu menikmati suatu bacaan, umumnya disebabkan oleh kegagalan dalam memahami gagasan yang ada di belakangnya. Mereka melihat materi cetakan sebagai kumpulan kalimat yang sambung-menyambung dalam urutan yang uniform. Sehabis membaca mereka mengalami keadaan yang berat karena

merasa bahwa yang harus dipahaminya sangat banyak, kemudian tenggelam dalam kecampuradukan. Pemahaman terhadap struktur paragraf dan kemampuan untuk mengetahui ide pokok memberikan sumbangan besar terhadap kecermatan pemahaman isi bacaan. Pembaca yang memiliki kemampuan ini selalu membaca dengan menggunakan ideide utama dan rincian yang menjelaskan ide-ide itu. Dengan kata lain, ia membuat semacam rangkuman seraya membaca. Para ahli, terutaama yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu sosial, biasanya dapat menyadap materi yang mereka perlukan dari sebuah buku dengan jalan memahami terlebih dahulu struktur paragrafnya, kemudian bergerak dengan cepat dari kalimat inti yang satu ke kalimat inti yang lainnya. Selanjutnya, mari kita pelajari strategi lain untuk meningkatkan daya baca kita.

4.2 Penggunaan Metode Membaca Frase (Metode MF) Metode MF dapat dikembangkan melalui dua tahap: tahap mekanis dan tahap konseptual. Pada tahap mekanis, mata didorong untuk bergerak lebih cepat dengan jalan melihat kelompok-kelompok kata yang disebut frase. Tahap ini mencakup penggunaan rentang pAndang yang lebih besar, sehingga Anda mampu menyadari kelompok kata yang semakin membesar yang berbentuk frase-frase. Melalui latihan yang intensif Anda akan mampu juga mengikuti kelompok kata-kata yang berbentuk kalimat dalam sekali pAndang. Efisiensi pada tahap mekanis dapat memberikan sumbangan terhadap pemahaman makna secara lebih efektif. Anda akan mulai mengangkati makna frase secara tidak disadari dan akan menggunakan energi yang Anda miliki untuk menginterpretasikan kegunaan ide-ide dan informasi yang tengah Anda baca. Anda

tidak lagi akan dibebani oleh cara membaca kata demi kata yang sangat mengganggu kecepatan membaca. MF yang dilakukan oleh pembaca ini, pada dasarnya sejalan dengan langkah yang diikuti oleh para penulis. Seorang penulis tidak menuliskan isi pikiran dan perasaannya secara kata demi kata, melainkan frase demi frase atau kalimat demi kalimat. Coba Anda renungkan ilustrasi berikut!

"Penulis ... tidak ... menulis ... kata ... demi...kata ... mereka ... menulis ... frase ... demi ... frase", (tanda titik-titik menAndai perhentian-perhentian sejenak pada saat penulis/pembicara menyatakan pikirannya) Kalimat di atas seyogianya

dibaca/diungkapkan dengan cara berikut.

"Penulis tidak menulis ... kata demi kata ... mereka me nulis ... frase demi frase".

4.2.1 Membaca Frase Mekanis (MF Mekanis) Kebanyakan pembaca mengira bahwa sewaktu membaca, mata bergerak melancar sepanjang baris-baris cetakan. Sesungguhnya, supaya dapat

menginterpretasikan kata-kata, atau supaya dapat "melihat" sesuatu, mata harus berhenti sejenak. Kalau mata bergerak terus, maka yang kelihatan hanyalah bayangan kabur. Berdasarkan pAndangan mekanis, membaca merupakan rentetan hentian-

hentian visual. Pada setiap hentian, pembaca dapat melihat sesuatu dan makna sesuatu itu dapat diserap dengan cepat. Mengikuti setiap hentian itu terjadi lompatanlompatan mata ke arah cetakan yang berikutnya, dan setelah itu terjadi pula hentian. Mata seorang pembaca yang membaca kata demi kata mempunyai kecenderungan untuk berhenti pada setiap kata. Mata seorang yang membaca frase demi frase berhenti lebih jarang daripada orang yang membaca kata demi kata. Dalam membaca frase, yang dilihat sesungguhnya ide-ide tertentu. Pembaca frase ini lebih banyak menghemat waktu. Kecepatan seorang pembaca yang membaca kata demi kata terbatas, sama dengan keterbatasan kecepatan seorang yang membaca nyaring. Seorang pembaca nyaring hanya akan dapat membaca sekitar 250 sampai 300 kata/menit. Dalam membaca senyap, kecepatan maksimum seorang pembaca yang membaca kata demi kata hanya 300 kata/menit juga, sedangkan seorang yang membaca frase demi frase membaca tiga atau empat kali lebih cepat. Pembaca frase demi frase akan dapat pula melihat dengan mudah, mana kata kunci dan mana kata-kata yang boleh dihilangkan. Dengan demikian, pembaca yang bisa memadukan strategi MF dengan strategi membaca kata kunci (MKK) seperti telah dijelaskan di muka, akan dapat membaca jauh lebih cepat lagi. MF melibatkan kapasitas visual seorang pembaca. Pada umumnya, orang mempunyai potensi untuk melihat lima atau enam kata dalam satu hentian. Namun, tidak banyak orang yang mau berusaha untuk mengembangkan kemampuannya itu, dan berhenti pada kemampuan melihat satu dua buah kata pada setiap hentian. Secara diam-diam mereka bersemboyan "Asal bisa membaca". Kelemahan lain yang menjadi ciri membaca kata demi kata ialah regresi. Pembaca kata demi kata mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menggerak-

gerakan penglihatannya kembali ke arah kata-kata yang sudah dilewatinya. Ini disebabkan oleh karena usahanya mencari ide-ide yang tidak diperolehnya dari masing-masing kata yang dibacanya. Regresi atau membaca balik ini dapat dihindari dengan jalan membaca frase. Karena para pembaca frase demi frase dapat menghindari regresi dan dapat menangkap ide-ide lebih cepat, mereka dapat menikmati bacaan lebih baik daripada pembaca kata demi kata. Mereka yang mampu menikmati apa yang dibacanya akan mempunyai sikap yang lebih positif terhadap kegiatan membaca. Mereka akan membaca lebih banyak, dan kemampuan mereka pun dengan sendirinya akan meningkat. Sekali lagi, dalam usaha mengembangkan keterampilan MF pun latihan merupakan hal yang sangat pokok. Latihan pada tahap mekanis seperti yang tertera di bawah ini akan meningkatkan kecenderungan untuk membaca frase. Berlatihlah dengan menggunakan bahan-bahan berikut ini sehingga memiliki keterampilan secara wajar.

a) Latihan pada Tingkat Mekanis 1) Latihan Ayunan Visual. Pernahkah Anda menyaksikan pemain bola berlatih menekuni setiap subketerampilan sebelum mereka turun ke lapangan hijau? Pernahkah Anda mendengarkan seorang calon pianis berlatih melancarkan sentuhan jemarinya, sebelum dia mulai berlagu? Sungguh membosankan, bukan? Mereka yang tidak tahan berlatih untuk menguasai sub-subketerampilan akan segera berguguran sebelum berkembang. Latihan-latihan khusus seperti yang mesti ditekuni oleh seorang calon pemain bola, atau seorang calon petinju, atau pun calon pianis dan sebagainya, harus pula

dilakukan oleh seorang calon pembaca yang mahir. Dalam usaha untuk mengembangkan kepercayaan terhadap kemampuan untuk membuat ayunan-ayunan visual waktu MF, "bacalah" pola yang berikut ini dengan tekun. Mata Anda hanya boleh berhenti sejenak pada setiap tAnda bintang, lalu ayunkan dengan segera pandangan Anda ke bagian tAnda berikutnya. Janganlah sekali-kali berhenti di antara dua tAnda bintang, dan jangan pula menggerakkan kepala. Biarkan pAndangan Anda sajalah yang berayun secepat kilat melewati setiap bagian di antara dua tAnda bintang itu dengan irama yang tetap. Berlatihlah dua atau tiga kali untuk mengawali setiap kegiatan membaca sebagai suatu pemanasan. Silakan coba! ..............*.............................*....... ..................*...............................*. .............*.........................*............ ......................*.....................*....... ....*.....................*......................... ..................*..................*.............. ..........*......................*.................. ................*................................*.. ..............................*..................... ............*...............................*.......

Dengan latihan ayunan visual secara tekun dan dengan keyakinan Anda diharapkan juga dapat membuang kebiasaan regresi. Bentuk latihan seperti di atas itu didasari pengalaman seorang pengajar selama bertahun-tahun. Hasilnya terbukti sangat memuaskan.

2) Latihan Membaca dengan Ayunan Visual. Sambil membaca, perhatian Anda terutama harus ditujukan pada makna kelompok kata (frase). Sebelum mulai membaca, Anda dianjurkan untuk mengadakan pemanasan. Anda dapat menggunakan halaman buku yang terbuka di hadapan Anda sebagai tempat berlatih. Buatlah bagian awal dan bagian akhir setiap baris sebagai target. Bergeraklah dengan cepat sampai bagian bawah halaman tanpa memperhatikan makna. Tujuan pemanasan ini ialah untuk memperoleh irama gerak mata yang licin tidak kaku lagi. Selanjutnya, Anda boleh beralih pada usaha untuk memperoleh makna bacaan. Mulailah Anda membaca dengan mengerahkan semua

subketerampilan yang pernah Anda pelajari.

4.2.2 Membaca Frase pada Tingkat Konseptual Latihan-latihan yang terdahulu memusatkan perhatian pada aspek mekanis MF, ialah gerak mata, penggunaan kapasitas untuk melihat sejumlah kata. Latihanlatihan yang berikut ini lebih banyak memperhatikan aspek-aspek konseptual, ialah penalaran dan pemahaman yang terjadi selama membaca. Meskipun orang berpikir dengan ide-ide, namun mereka sering kali membaca kata demi kata (MK). Ada bebrapa sebab pembaca tidak mengembangkan MF, terutama karena MF lebih kompleks daripada MK. Huruf yang jumlahnya terbatas itu disusun menjadi ratusan bahkan ribuan kata yang bisa dikenali dengan mudah, sedangkan kombinasi kata-kata itu jumlahnya jauh lebih banyak, ratusan ribu, bahkan jutaan. Proses MF, sesungguhnya tidaklah terlalu mempesona. Jika Anda mau berlatih dengan menggunakan cara yang disajikan di bawah ini. Anda akan menjadi lebih

sadar akan adanya frase-frase yang berulang-ulang, yang berupa kelompok kata yang unsur-unsurnya telah sering Anda jumpai. Sesungguhnya banyak kelompok kata yang digunakan berulang-ulang sehingga kelompok-kelompok kata-kata itu dapat Anda kenal seperti anda mengenal kata. Contohnya: surat kabar, rumah sakit, ibu guru, daftar pelajaran, dan lain sebagainya. Anda akan membuktikan juga arti kalimat dapat digunakan untuk menerka frase-frase yang saling mengikuti. Contoh: "Saya gemar makan pedas, tetapi perut saya....". Jelaslah bahwa kemungkinan untuk frase yang merupakan kesimpulan sudah dibatasi oleh pengertian frase-frase sebelumnya. Di samping pengertian kalimat, tAnda baca dan tAnda kalimat juga membantu usaha untuk mengelompokkan katakata. Kata penghubung menyatukan frase; subjek biasanya mendahului predikat. Semua unsur pembentuk kalimat yang sifatnya teratur itu ikut mempermudah proses MF.

(1) Latihan Pengelompokan Satuan Ide Di depan telah banyak disebut kata "frase", tetapi belum dijelaskan artinya. Yang dimaksud dengan frase di sini sama betul dengan istilah "frase" dalam tata bahasa. Untuk keperluan pemahaman suatu bacaan, kata "frase" dibatasi sebagai "kelompok kata yang mempunyai arti". Paragraf di bawah ini sudah ditAndai dengan batas-batas frase. Mulailah secara perlahan-lahan dulu. Lihatlah apa yang ada di dalam setiap bagian yang ditAndai garis-garis pembatas. Cobalah cari arti setiap kelompok kata itu dengan tidak memperhatikan kata demi kata. Bacalah paragraf ini beberapa kali sambil meningkatkan kecepatan membaca. Ada tiga hal yang harus dicapai dalam latihan ini:

(a) kecepatan membaca, (b) kecepatan menangkap makna, dan (c) kelancaran ayunan pAndangan mata dari frase yang satu ke frase berikutnya. Untuk kepentingan latihan Anda, di bawah ini disediakan sebuah paragraf (untuk latihan) yang sudah dikelompok-kelompokkan berdasarkan satuan-satuan idenya. Setiap kelompok kata dikotaki. Anda harus membaca setiap kotak tersebut dengan sekilas pAndangan. Demikian seterusnya, bergerak dari satu kotak ke kotak lainnya hingga selesai. Silakan Anda mulai berlatih!

Waktu Anda berlatih membaca frase, camkan dalam ingatan bahwa frase adalah unit arti yang terkecil. Sebuah kata baru mempunyai arti setelah dihubungkan dengan kata-kata lain yang ada di sekitarnya. Kata "rumah" misalnya, tidak jelas artinya kalau tidak dihubungkan dengan kata lain yang dapat memberikan arti tertentu. Kalau Anda membaca secara acak sebuah kalimat dalam sebuah paragraf yang berbunyi, "Rumah pun habis dibakarnya", maka Anda tidak akan mempunyai pemahaman yang baik tentang kalimat tersebut karena kata "rumah" tidak Anda hubungkan dengan kata-kata lain yang ada di sekitarnya. Jika yang Anda baca hanya kata "rumah" yang ada dalam kalimat di atas, maka Anda tidak akan memperoleh ide apa pun tentang kata rumah itu. Sewaktu-waktu mungkin Anda harus menganalisis sebuah frase yang tersendiri. Namun demikian, Anda haruslah bertujuan untuk langsung menggabungkan ide frase itu ke dalam unit pikiran yang memiliki arti.

(2) Penandaan dengan Titik Langkah lebih lanjut untuk mendekati MF konseptual dapat Anda lakukan dengan membaca paragraf yang berikut ini.

Anda dapat membuktikan kepada diri sendiri betapa pentingnya membaca frase itu dengan memperhatikan pola pidato atau pembicaraan seseorang yang mudah diikuti. Anda akan segera mengetahui bahwa mereka membuat jeda-jeda untuk memberi makna kepada pembicaraannya itu di antara ide-ide yang penting. Membaca frase-frase penuh di antara setiap hentian mata menambah kemampuan pemahaman materi yang dibaca dan memungkinkan menambah kecepatan membaca melebihi kecepatan yang mungkin bisa dicapai pada membaca kata demi kata. Dengan kata lain, MF adalah kunci bagi membaca dalam hati yang efisien.

Kembalilah kini pada novel ringan milik Anda itu. Untuk keperluan latihan, Anda tidak perlu terlalu sayang untuk membubuhi titik-titik seperti yang ada pada contoh di atas. Tempatkan titik-titik itu di tengah-tengah setiap frase yang ada di dalam paragraf yang Anda hadapi.

(3) Latihan MF Tanpa TAnda Setelah Anda melakukan berbagai latihan yang ditugaskan dalam kegiatan terdahulu, sudah waktunya sekarang bagi Anda untuk berlatih mendekati MF yang sebenarnya. Coba buatlah kelompok-kelompok kata yang mengandung pengertian tertentu dengan menggunakan kemampuan mental, ialah dengan tidak menggunakan tanda-tanda apapun. Lakukan latihan seperti itu selama 20-30 menit. Pada mulanya

Anda akan merasakan bahwa pemahaman Anda sama sekali tidak mantap. Bertahanlah demikian untuk tidak kembali kepada kebiasaan membaca kata demi kata. Lakukanlah latihan seperti itu beberapa hari. Anda akan merasakan perubahan yang jelas pada pemahaman Anda. Percayalah. Ketakutan akan kehilangan pemahaman memang sering kali terjadi. Hal ini dapat menyebabkan seorang pembaca enggan mencoba mencapai kecepatan yang optimum yang bisa dicapainya. Anda tidak usah merasa kuatir pemahaman Anda akan terganggu, sebab menurut penelitian, membaca lambat itu tidaklah menjamin pemahaman yang baik. Untuk mengembangkan kecepatan yang optimum, memang hampir semua orang mengalami kekhawatiran yang sifatnya sementara. Karenanya, teruslah berlatih dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang pernah Anda pelajari.

5. Membaca Paragraf 5.1 Hakikat Paragraf Kata paragraf berasal dari bahasa Yunani para yang berarti samping/pinggir, dan graphein yang berarti menulis. Pada mulanya, paragraf brmakna tanda atau tulisan yang diletakkan di bagian pinggir teks, yang digunakan untuk menunjukkan awal suatu topik baru dalam suatu pembicaraan. Dengan maksud yang sama, sekarang kita memulai kalimat pertama sebuah paragraf dengan mejorokkannya agak ke dalam. Cara ini dikenal dengan sebutan menginden, yang menunjukkan adanya pikiran baru yang hendak diperkenalkan. Pada umumnya, yang dimaksud dengan paragraf ialah sekelompok kalimat yang secara bersama-sama membicarakan hanya satu pikiran utama. Biasanya, salah satu dari kalimat-kalimat yang membentuk sebuah paragraf merupakan "kalimat topik" atau "kalimat master", yakni kalimat yang menyatakan atau mengikhtisarkan pikiran utama sebuah paragraf. Biasanya kalimat topik ini dikembangkan dengan kalimat-kalimat lai yang merupakan penjelasnya atau pendukungnya. Dengan demikian, ide yang terkandung dalam sebuah paragraf semakin menjadi jelas.

5.2 Cara Membaca Paragraf Di bawah ini diuraikan prosedur membaca paragraf secara terinci berikut komentar-komentarnya.

PROSEDUR KOMENTAR/KETERANGAN

1) Camkan bahwa paragraf adalah sebuah unit bacaan

Sebuah

paragraf

pada

umumnya

merupakan

pernyataan dan pengembangan suatu pikiran ter tentu. Biasanya jumlah ide pokok sama dengan jumlah paragraf pada suatu halaman. Pembaca yang terampil selalu memperhatikan paragraf yang ada untuk mengetahui dicamkannya. jumlah ide pokok yang harus

2) Bacalah kalimat pertama paragraf dengan cermat.

Kalimat pertama paragraf biasanya menyatakan pikiran utama paragraf tersebut. Jika Anda meragukan kalimat pertama sebagai pendukung ide pokok, cobalah gunakan Tes Ide Pokok yang berikut ini. a) pilihlah kalimat yang menurut perkiraan Anda menyatakan pikiran utama paragraf. b) Bandingkan kalimat pilihan Anda itu dengan setiapka limat dalam paragraf itu. c) Jika kalimat yang Anda pilih menggabungkan seluruh kalimat dalam paragraf itu menjadi satu pikiran yang utuh, maka pilihan Anda itu benar. Jika ternyata bahwa kalimat pilihan Anda bukan pendukung ide pokok, maka cobalah prosedur ketiga berikut ini.

3) Bacalah kalimat terakhir paragraf yang Anda baca.

Kadang-kadang

penulis

mengikhtisarkan

pikiran

utama dalam kalimat terakhir paragraf. Jika dalam kalimat terakhir itu pun Anda tidak menjumpai pikiran utama paragraf, cobalah gunakan

prosedur ke-4. 4) Perhatikan semua fakta dalam paragraf secara seksama. 5) Belajarlah mengenal kalimat yang tidak mendukung. Bacalah paragraf itu seraya bertanya, "Apa arti semua ini?". Setiap fakta mungkin mempunyai makna yang mendukung ide yang tidak dinyatakan. Sering kali paragraf terdiri tidak dari kalimat-kalimat yang tidak memberikan dukung an langsung terhadap ide pokok. Kalimat-kalimat tersebut bersifat kolateral (setara). 6) Perhatikan kata-kata yang dicetak miring dan yang dicetak tebal. Cetak miring dan cetak tebal biasanya menunjukkan suatu pembagian yang penting atau yang perlu diperhatikan. Anda harus menyadari bahwa kata-kata seperti itu perlu diganti menjadi kata yang umum yang mudah dipahami. Sediakan juga kertas kosong untuk mencatat kata-kata baru/sulit. Cari artinya di dalam kamus dan pelajarilah. 7) Terkalah pikiran penulis. Bacalah paragraf itu seperlu nya saja. Bidikkan perhatian Anda supaya dapat melihat dengan jelas apa yang dikatakan penulis. Periksalah terkaan Anda. Jika terkaan Anda benar segera pindahlah ke paragraf selanjutnya. Inilah salah satu cara untuk

mempertinggi kecepatan. Namun, Anda mungkin juga membaca dengan maksud un tuk mengingat rincian isi bacaan atau untuk pemahaman total. Kalau maksud Anda demikian, ikutlah petunjuk dalam prosedur 8. 8) Membaca dengan tujuan Supaya Anda dapat memahami paragraf secara

untuk memperoleh fak ta terinci harus dilakukan sebagai berikut. Fokuskan/pusatkan perhatian Anda pada pikiran utama.

lengkap usaha kanlah agar Anda mengetahui setiap fakta dalam hubungannya dengan fakta lainnya. Hubungkan setiap fakta dengan pikiran utama. Dengan demikian se tiap fakta akan merupakan ba gian dari pikiran utama yang besar. Supaya Anda dapat melihat fakta-fakta dengan jelas dan hubunganhubungannya yang logis, catatlah kalimat topik pada buku catatan dan di bawahnya Anda daftar fakta-fakta yang mendukung pikiran utama. Cara ini dapat menolong Anda untuk memisahkan kalimat yang tidak mendukung perkembangan pikiran utama dalam paragraf. Akhirnya baca balik pikiran utama dan lengkapi dengan fakta-faktanya.

Setelah membaca prosedur membaca paragraf, mungkin Anda ingin segera berlatih. Sebelum mulai dengan latihan, ada baiknya jika Anda mengetahui sedikit lagi keterangan tentang paragraf, ialah tentang strukturnya. Setiap kalimat dalam paragraf harus mempunyai suatu peranan struktural. Peranan-peranan dimaksud adalah: 1) sebagai kalimat topik/kalimat utama; 2) sebagai kalimat penjelas/subordinat; 3) sebagai kalimat pemuas, yakni kalimat yang tidak memberi dukungan atau keterangan apapun terhadap pikiran utama paragraf.

Kalimat-kalimat pemuas ini tidak mempunyai manfaat bagi pembaca. Penulis mencantumkannya sekedar untuk memperoleh rasa puas. Dia masih ingin menjelaskan idenya, tetapi kemampuannya sudah lemah dalam mengembangkan paragraf itu. Keterangan tentang kalimat topik sudah cukup jelas. Yang masih perlu dijelaskan ialah kalimat-kalimat subordinat. Kalimat-kalimat ini menjelaskan kalimat topik dengan empat cara sebagai berikut ini. a) Dengan ulangan, ialah mengulang-balik pikiran utama, biasanya dengan menggunakan kata-kata lain. b) Dengan pembedaan, ialah dengan menunjukkan maksud yang dikandung oleh pikiran utama dan menyatakan apa yang tidak dikandung oleh pikiran utama. c) Dengan contoh, ialah dengan memberikan misal-misal kepada pembaca. Kalimatkalimat penjelas menjadi lebih jelas jika ke dalamnya disisipkan kata-kata misalnya, umpamanya, atau contohnya. d) Dengan pembenaran, ialah dengan menambahkan alasan-alasan untuk mendukung ide pokok. Biasanya kalimat pembenaran diawali/disisipi kata karena, sebab, dan sebagainya.

Di bawah ini disajikan sebuah contoh analisis paragraf buat Anda. Cobalah pelajari baik-baik.

Paragraf (6) Teks Paragraf 1. Pada dasarnya, membaca adalah suatu proses psikologis. 2. Proses tersebut terjadi di dalam pikiran pembaca.

3. Yang mempunyai peranan utama dalam membaca bukanlah gerakan-gerakan fisiologis seperti gerak mata, bibir, lidah, dan sebagainya. 4. Banyak penderita gangguan penglihatan dan gerak bola mata diketahui sebagai pembaca yang sangat mahir. 5. Bahkan, orang buta sekali pun banyak yang dapat membaca dalam arti bahwa mereka dapat mengenal lambang-lambang dan mengubahnya menjadi ide-ide. 6. Karena kita tidak dapat mengabaikan kenyataan-kenyataan seperti itu, pendapat Thorndike yang menyatakan bahwa membaca adalah berpikir harus kita terima. 7. Seperti seorang atlit yang berusaha memperbaiki keterampilannya dengan jalan berlatih, seorang pembaca yang bermaksud memperbaiki bacaannya haruslah banyak menyisihkan waktunya untuk menyerapi isi bacaan.

Analisis Paragraf 1) Kalimat pertama adalah kalimat inti yang mendukung ide pokok paragraf. 2) Kalimat kedua mengulang ide pokok dengan menggunakan kata-kata lain. 3) Kalimat ke-3 menunjukkan perbedaan tentang kegiatan membaca dengan kegiatan lain (nonmembaca). 4) Contoh dengan menggunakan fakta yang kontras terhadap ide pokok. 5) Contoh lain yang merupakan langkah yang lebih jelas. 6) Kalimat ke-6 merupakan pembenaran yang berisi alasan bagi pembaca untuk menerima kebenaran kalimat pertama. Kalimat ke-6 ini merupakan ulangan kalimat pertama dalam bentuk ikhtisar. 7) Kalimat terakhir tidak memberikan dukungan apapun terhadap ide pokok. Penulis mencantumkannya hanya untuk pemuas rasa. Paragraf belum terasa lengkap kalau dihentikan pada kalimat ke-6.

5.3 Membaca Bab 5.3.1 Hakikat Membaca Bab Melalui uraian ini, kita akan mencoba melihat perbedaan dan persamaan membaca paragraf dengan membaca bab sebuah buku. Tugas membaca sering kali diberikan per bab sebagai unit pelajaran. "Bacalah bab ke-2, ke-3 dan ke-5 untuk pertemuan yang akan datang". Tugas seperti itu sudah sangat akrab bagi para siswa dan mahasiswa. Anda diharapkan dapat mempelajari dan menaklukan bab-bab dalam buku teks Anda itu dengan cepat dan cermat. Bagaimana caranya? Ada dua hal yang perlu Anda camkan dalam usaha membaca bab dengan cepat dan cermat ialah: 1) Survei/periksalah bab yang Anda baca dengan suatu tujuan tertentu; 2) Bacalah bab tersebut untuk mencari fakta.

Mulailah membaca sebuah bab dengan pertanyaan-pertanyaan yang berikut ini dalam pikiran: Bab ini membicarakan satu masalah tertentu, apa yang dibicarakannya? Apa beda bab ini dengan bab-bab lainnya yang harus Anda baca? Bagaimana kedudukan bab ini bila dibandingkan dengan bab-bab lainnya yang harus Anda baca?

Usahakan agar Anda tetap menyadari di mana Anda berada. Banyak orang mendapat kesulitan waktu membaca karena kehilangan jejak. Supaya Anda tidak

menemui kesulitan seperti itu, cobalah camkan isi daftar buku yang Anda baca itu baik-baik. Anda harus menunjukksn bab yang Anda baca itu dari awal hingga akhir. Ini tidaklah berarti bahwa Anda harus membacanya secara terinci. Hal itu akan dilakukan kemudian. Lihat-lihatlah bab yang Anda baca itu dengan tujuan yang jelas. Untuk menyederhanakan sebuah bab, Anda harus melakukan pendekatan yang inteligen melalui survei dan penelitian, dengan pertanyaan dan penyelidikan sehingga Anda dapat menguasai situasi. Membaca sepintas sebagai pendahuluan itu selain mengirit tenaga, juga akan memberi pula suatu penguasaan umum tentang isi bab itu. Penguasaan umum itu sangat penting dalam usaha untuk memahami isi bab dan isi buku. Setelah selesai menyurvei isi bab itu Anda siap untuk membacanya lebih teliti, mencari fakta-fakta dan detail-detail yang mendukungnya. Kembalilah ke bagian awal bab itu dan bacalah paragraf-paragrafnya secara berurutan untuk mengetahui ide pokok dan fakta yang mendukungnya. Terapkan teknik-teknik yang telah Anda pelajari dalam kegiatan-kegiatan terdahulu. Ikuti langkah ke-7 dan ke-8 dalam petunjuk tentang prosedur membaca paragraf di atas itu. Biasanya kita tidak akan merasa puas dalam memahami sebuah bacaan sebelum menimbang balik bab itu, menguji pemahaman, membuat catatan, dan melengkapi keterangan yang diperoleh. Dalam menimbang balik bab yang Anda baca, seyogianya Anda membaca lagi judul bab itu, demikian juga ikhtisar isi bab dengan jalan menulis jawab terhadap pertanyaan. "Apa yang dibicarakan penulis dalam bab yang baru dibaca itu?". Langkah selanjutnya ialah membuat tes untuk Anda sendiri. Ambillah bagian atau paragraf tertentu secara acak. Baca hanya judul bagian kalimat utama paragraf.

Selipkan secarik kertas untuk menandai bagian itu, lalu tutuplah buku Anda. Mulailah dengan menuliskan bagian-bagian penunjang judul atau kalimat pokok yang Anda baca tadi. Kalau Anda bermaksud mengetahui fakta-fakta ketika membaca judul atau paragraf itu, cobalah catat pada sehelai kertas semua fakta yang dapat Anda ingat dari bacaan itu. Setelah selesai, bukalah buku Anda dan periksa daftar fakta yang Anda buat dengan mencocokkannya dengan apa yang tertera dalam buku. Berilah angka pekerjaan Anda itu. Berapa persen yang benar? Catatlah skor yang Anda peroleh pada kertas yang Anda gunakan sebagai tanda tadi. Ulanglah tes seperti itu secukupnya. Lebih bagus jika Anda juga mengukur KEM yang Anda capai. Lihat kembali bab 3 buku ini. Setelah selesai membaca suatu bab tertentu, sangat bijaksana jika Anda membuat kartu baca, yakni catatan-catatan penting sebagai hasil baca pada kartukartu yang berukuran kira-kira 13 x 18 cm. Tuliskan ikhtisar singkat tentang apa yang Anda baca dengan mencatat ide-ide pokok dan ide-ide penunjang. Jangan lupa mencantumkan data bibliografis bacaan Anda. Baca lagi kartu itu, sebelum pergi kuliah. Susun dan simpanlah kartu-kartu itu untuk keperluan mendatang dalam menghadapi ujian dan membuat karya tulis. Di bawah ini Anda lihat contoh ikhtisar pada sehelai kartu berukuran 13 x 18 cm. Biasakanlah membuatnya supaya Anda mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Tidak semua materi yang Anda baca dapat dan perlu Anda ingat. Anda pun belum tentu dapat memiliki bahan bacaan itu dalam perpustakaan Anda sehingga dapat menggunakannya sewaktu-waktu, jika Anda memerlukannya. Anda dapat membuat tempat menyimpan kartu itu dengan murah saja. Tempatkanlah dekat tempat Anda belajar.

Kartu-kartu tersebut seyogianya disusun menurut abjad. Membiasakan diri untuk membuat kartu catatan dengan tertib berarti menyiapkan sumber pustaka pribadi yang sangat berharga. Anda akan memetik jerih payah itu di hari-hari mendatang dengan senang. Percacalah! Sekedar contoh, berikut disajikan sebuah contoh kartu baca. Anda boleh berkreativitas sesuai dengan selera masing-masing. Yang penting, data bibliografis dan data informasi penting dari hasil baca itu harus termuat di dalamnya.

Contoh kartu baca. /---------------------------------------------------\ | Harjasujana, A.S. (1988:21). Materi Pokok Membaca.| | Jakarta: PT Karunika. | | | | | | | | 6. Teknik Isian Rumpang 6.1 pengertian 6.2 Fungsi 6.3 Manfaat/Kegunaan 6.4 Kriteria Pembuatan 6.5 Prosedur Penilaian 6.6 Keunggulan dan Kelemahan | | | | | | | | |

\---------------------------------------------------/

5.3.2 Prosedur Membaca Bab Di bawah ini duraikan prosedur membaca bab selangkah demi selangkah beserta komentar-komentarnya.

Prosedur 1) Perhatikan judul bab dengan teliti. 2) Buka baliklah daftar isi. Pelajari hubungan bab yang sedang dibaca dengan bab- bab lainnya.

3) Perhatikan berbagai tipe penulisan dan ciri-ciri tipografis 4) Baca judul-judul secara sepintas. 5) Periksalah kalau-kalau ada ikhtisar pada akhir bab. 6) Bacalah secara skimming uraian yang akan Anda baca itu dengan kecepatan fleksibel.

7) Buatlah kartu baca untuk merekam hasil baca Anda.

Komentar/Keterangan 1) Suatu bab pada umumnya mem bicarakan suatu topik. 2) Daftar isi itu merupakan perencanaan buku. Darinya diperoleh gambaran tentang suatu pokok pembicaraan serta kaitan antara pokok pikiran yang satu dengan pokok pikiran lainnya. Daftar isi berisi petunjuk yang menyatakan organisasi buku sebagai cerminan dari pola pikir penulisnya. 3) Tipe menunjukkan suatu pe ngutamaan. Tipe tulisan yang lebih besar menunjuk topik yang lebih penting. 4) Tipe juga menunjukkan organisasi tulisan. 5) Ikhtisar bab itu merupakan intisari bab. Bacalah bagian ini sebelum Anda melangkah ke prosedur selanjutnya. 6) Teknik Anda menyekim akan bervariasi sesuai dengan variasi struktur setiap paragraf. Pada umumnya, ide utama biasa diletakkan pada bagian awal paragraf. 7) Setiap kali selesai membaca cobalah membuat catatan dalam kartu baca. Kartu ini akan membantu Anda dalam menanamkan informasi-informasi penting dalam ingatan Anda.

5.4 Membaca Buku 5.4.1 Hakikat Membaca Buku Membaca buku, terutama buku yang tebal dan sulit merupakan masalah yang berat yang dapat dihadapi oleh siapa saja. Membaca uraian prosa naratif-ekspositoris dalam kadar yang lebih pendek (seperti artikel, misalnya) jauh lebih mudah ketimbang dalam bentuk yang lebih panjang (seperti buku, misalnya). Hal yang sama tidak berlaku untuk karya sastra. Puisi

misalnya, meskipun wujudnya lebih pendek dari cerpen dan novel, namun tidak berarti puisi akan lebih mudah dipahami pembacanya. Mengingat bahan bacaan itu memiliki karakteristik yang berbeda, barangkali tidak ada salahnya jika terlebih dahulu Anda dituntut untuk memilah-milah bahan bacaan tersebut berdasarkan klasifikasinya. Tugas pertama Anda adalah mengetahui golongan/jenis buku yang akan/sedang Anda baca. Termasuk jenis buku apakah itu? Apakah bacaan Anda itu tergolong karya fiksi (cerpen, novel, drama, puisi) atau karya nonfiksi atau karya ekspositoris? Pengetahuan ini penting guna menentukan strategi baca selanjutnya. Untuk dapat memahami buku yang Anda baca, terdapat empat pertanyaan dasar yang harus diajukan pada saat Anda hendak membaca buku tersebut. Keempat pertanyaan tersebut, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut ini. 1) Secara umum, buku itu berbicara tentang apa? 2) Apa yang dikatakan penulis, dan bagaimana cara dia mengatakannya? 3) Apakah isi buku itu benar, baik secara keseluruhan maupun sebagian? 4) Apakah buku itu penting? Apa manfaatnya untuk Anda? Berbekal keempat pertanyaan tersebut, selanjutnya Anda siap menjelajahi buku itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dimaksud.

5.4.2 Prosedur Membaca Buku Untuk menjawab dua pertanyaan pertama, sebaiknya Anda menempuh langkah-langkah berikut di dalam membaca buku. Langkah-langkah tersebut meliputi langkah-langkah berikut ini. 1) Lihatlah halaman-halaman awal buku itu, kalau ada bacalah kata pengantarnya. Pada bagian pengantar biasanya penulis menyatakan tujuannya atau pendapat

khusus mengenai pokok-pokok tertentu dari buku yang ditulisnya. Dengan membaca kata pengantar diharapkan Anda mendapatkan gambaran tentang subjek buku tersebut. Berhentilah sejenak, dan bertanyalah pada diri sendiri, apakah buku ini sejenis dengan buku lain yang pernah Anda baca? 2) Pelajari daftar isi buku. Daftar isi buku mencerminkan pola organisasi buku yang bersangkutan. Dengan demikian, berarti pula mencerminkan pola pikir penulisnya. Dengan melihat daftar isi buku, Anda akan dapat menafsirkan gambaran umum isi buku yang hendak dibaca itu. 3) Periksa daftar indeks buku. Indeks memberikan informasi tentang berbagai topik masalah yang dibahas dalam buku itu, jenis-jenis buku, serta nama-nama tokoh penting. Jika Anda menemukan sesuatu yang Anda butuhkan informasinya, coba periksa dulu halamnnya sesuai dengan petunjuk indeksnya. Dari halaman-halaman yang dirujuk tersebut, mungkin Anda akan menemukan gagasan-gagasan yang paling penting tentang buku itu atau mungkin mengetahui sikap penulis terhadap hasil karyanya itu. 4) Bacalah pesan dari penerbit (jika ada) yang biasanya ditulis di sampul belakang buku. Banyak pesan itu tidak hanya ditulis oleh penerbit, melainkan ditulis oleh pengarangnya sendiri. Tidak jarang penulis itu menguraikan gagasan-gagasan utama bukunya itu di bagian tersebut. Sampai di situ, mungkin Anda sudah cukup mendapatkan informasi tentang rencana Anda selanjutnya. 5) Selanjutnya, melangkahlah pada judul-judul bab dan subbab. Lihatlah bab-bab atau subbab-subbab yang tampaknya paling penting bagi tema buku itu. Secara khusus tentang bagaimana cara membaca bab, lihat uraian terdahulu. Namun, secara umum lihatlah bagian-bagian awal bab dan bagian akhir bab, sebab biasanya gagasan penting akan termuat di situ.

6) Akhirnya, teruskan membaca buku dengan kecepatan yang fleksibel. Anda tentu tahu, bagian mana yang memerlukan tempo lambat, dan bagian mana yang memerlukan tempo cepat, atau bahkan bagian mana yang boleh dilewati karena dianggap tidak terlalu penting, atau tidak memberikan informasi baru.

Meskipun Anda telah melaksanakan prosedur di atas, bukan berarti Anda tidak akan mendapat rintangan dalam memahami buku tersebut. Jika Anda dihadapkan pada bacaan yang sukar untuk bacaan pertama kalinya, hal penting yang perlu Anda catat ialah bahwa Anda tidak boleh berhenti membacanya. Bacalah seluruh buku tersebut tanpa harus berhenti untuk memikirkan hal-hal yang tidak Anda pahami ketika itu. Pada kesempatan membaca yang kedua kalinya atau membaca buku lain yang berkaitan, mudah-mudahan Anda dapat mengatasi hambatan pemahaman tadi.

5.5 Membaca Karya Sastra 5.5.1 Hakikat Karya Sastra Perbedaan mendasar antara buku fiksi (karya sastra) dan buku nonfiksi (buku ekspositoris) terletak pada kebenaran faktanya. Buku ekspositoris berusaha menyampaikan pengetahuan, pengetahuan tentang pengalaman yang telah dialami penulis atau dialami orang lain. Bacaan fiksi berusaha menyampaikan pengalaman itu sendiri; pengalaman yang dapat dialami penulisnya sendiri atau dialami bersamasama pembaca melalui kegiatan membaca. jika penulisnya berhasil, maka pembaca akan beroleh kenikmatan daripadanya. Untuk mengetahui sesuatu dari bacaan, pembaca harus menggunakan pikiran dan penalarannya. Sedangkan untuk mengalami peristiwa-peristiwa yang tersaji di dalamnya, pembaca harus menggunakan indria dan daya khayal (imaginasi). Pada

umumnya, bacaan sastra memerlukan kepekaan imaginasi agar kita ikut terlibat di dalamnya. Tujuan bacaan fiksi dan nonfiksi tentu berbeda. Perbedaan tersebut berdampak pada penggunaan bahasa dari kedua jenis bacaan ini. Penulis buku ekspositoris menghindari penggunaan kata-kata yang ambigu, samar-samar, dan berbunga-bunga; sedangkan penulis karya sastra sebaliknya. Kekayaan dan kekuatan kata-kata dalam berbagai variasi akan menjadi daya tarik tersendiri dalam karya sastra. Adakalanya, sebuah puisi mengandung makna yang lebih banyak daripada kata-kata yang ada di dalamnya.

5.5.2 Prosedur Membaca Karya Sastra Empat pertanyaan mendasar yang seyogyanya diajukan pada saat hendak membaca karya ekspositoris (buku), juga berlaku untuk membaca karya sastra. Namun, tentu saja ada kekhasan tersendiri dalam menjabarkan pertanyaan tersebut ke dalam tuntutan jawabannya. Untuk melihat persamaan dan perbedaan karakteristik jawabannya, baiklah kita tinjau ulang keempat pertanyaan tadi. Pertanyaan pertama berkenaan dengan pertanyaan tentang isi umum buku. Tentang apa keseluruhan buku itu? Kesatuan sebuah cerita rekaan (karya sastra) terletak pada alur atau plonya. Alur cerita merupakan garis besar pengalaman, baik pada prosa maupun puisi. Untuk mengetahui alur sebuah karya sastra, Anda harus menemukan bagaimana puisi, cerpen, novel, drama tersusun dari bagian-bagian, rincian-rincian, peristiwa-peristiwa yang tersusun secara kronologis, yang terdiri atas bagian awal, tengah, dan akhir. Pertanyaan kedua berkenaan dengan apa yang dikatakan penulis dan bagaimana cara penulis mengatakannya. Untuk bacaan sastra, pertanyaan ini dapat

dijawab dengan jalan melibatkan diri dengan para tokoh yang terdapat dalam karya sastra. Anda hendaknya berusaha untuk mengenal dan memahami tokoh-tokoh cerita, pikiran-pikirannya, perasaan-perasaannya, tindakan-tindakannya, lingkungan mereka, serta mengikuti perkembangan mereka sepanjang alur cerita. Meskipun aturan-aturan ini lebih cocok diterapkan untuk prosa, namun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan ke dalam karya puisi pula. Puisi juga memiliki kesatuan: bagian awal, tengah, dan akhir. Puisi juga memiliki tokoh, paling tidak si pengucap puisi itu sendiri. Untuk memahami puisi harus dibantu dengan pengucapan kata-katanya, bukan hanya sekedar dibaca di dalam hati. Pertanyaan ketiga berkenaan dengan kebenaran isinya. Tolok ukur kebenaran karya sastra bukan terletak pada kebenaran faktanya, melainkan kebenaran khayalnua. Apakah cerita itu mungkin terjadi? Apakah cerita itu logis terjadi? Hal yang harus menjadi pertimbangan Anda dalam memberikan penilaian untuk pertanyaan ketiga ini adalah pemahaman Anda terhadap maksud dan tujuan penulisnya. Sejauh mana maksud penulis atas keterlibatan Anda dalam mengalami karya sastra yang disajikannya. Pertanyaan keempat berkenaan dengan tingkat kepentingan dan

kebermanfaatannya untuk Anda. Pertanyaan ini tidak perlu ditanyakan kepada karyasastra. Setelah membaca puisi, cerpen, novel, ataupun drama, pembaca tidak dituntut untuk melakukan tindakan apa pun. Bagi penulis karya sastra, Anda mengalami sesuatu melalui karya tersebut, Anda terlibat sudahlah cukup. Meskipun begitu, dampak dari bacaan karya sastra dapat menjurus ke tindakan merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.

5.5.2.1 Prosedur Membaca Novel

Para pakar sastra berpendapat bahwa novel merupakan pembuka kealiteratan siswa terhadap bacaan sastra, bahkan bacaan pada umumnya. Mereka beranggapan, para siswa sudah terbiasa dengan bentuk naratif juga tidak terganggu oleh beberapa masalah yang ditimbulkan oleh keringkasan cerita, seperti halnya dalam cerpen. Novel tidak sekedar lebih panjang dari cerpen, namun juga tidak tergesa-gesa memperkenalkan sejumlah tokoh yang terlibat dalam beberapa subplot, yang pada akhirnya saling berkaitan dalam mendukung plot utama. Berikut ini disajikan beberapa strategi untuk membaca novel dengan baik. Perhatikan petunjuk-petunjuk berikut ini. 1) Ingatlah nama-nama tokoh yang muncul dalam cerita itu: (a) camkan beberapa pernyataan/kalimat yang berkenaan dengan karakter mereka; (b) jangan hiraukan dulu hal-hal yang membingungkan Anda. 2) Tatalah alur yang kacau dengan jalan mengaitkannya dengan alur pada awal cerita. 3) Simpanlah subplot yang terpisah secara mental di dalam ingatan. 4) Camkan bagian tengah cerita, serta kaitan antarsubplot dengan plot utamanya. 5) Ikutilah gerak alur dan perkembangan tokoh secara seksama serta pengaruhnya terhadap peristiwa selanjutnya. 6) Buatlah ringkasan isi cerita dalam bentuk sinopsis. 7) Kenalilah bagian permasalahan, klimaks, dan solusi atau bagian akhir cerita.

5.5.2.2 Prosedur Membaca Puisi Untuk puisi-puisi balada yang seringkali disajikan dalam bentuk lirik-naratif, aturan-aturan strategi membaca novel dapat diterapkan untuk memahaminya. Di samping itu, pengetahuan tentang kapan sajak/puisi itu diciptakan, pola bahasa dan jenis-jenis bahasa figuratif yang dipakai, serta di mana jeda-jeda itu seharusnya

ditempatkan akan membantu pembaca dalam menghayati, memahami, dan mengapresiasi puisi tersebut dengan lebih baik. Tidak ada aturan yang baku tentang bagaimana sebaiknya membaca puisi agar dapat dipahami. Meskipun begitu terdapat sejumlah saran yang biasanya ditujukan kepada para guru dalam mebimbing siswanya ke arah pembacaan dan pemahaman puisi secara lebih baik. Chesler mengusulkan empat kriteria dalam memilihkan puisi untuk siswa. Keempat kriteria dimaksud adalah sebagai berikut ini. Pertama, puisi itu harus berada pada tingkat literal. Artinya, puisi itu dapat dipahami tanpa harus mendapat pertolongan guru atau kamus. Puisi literal tidak terlalu banyak mengandung kosakata sulit yang tidak bisa dipahami, meskipun dengan bantuan konteks. Kedua, puisi itu dapat mengajak siswa untuk dapat merasakan sesuatu. Pengalaman merasakan sesuatu itu dapat berupa pengalaman langsung atau pengalaman seolah-olah mengalami sendiri. Tentu saja, pengalaman pribadi masingmasing siswa turut andil dalam menciptakan keterlibatan emosi ini. Untuk menghubungkan dunia siswa dengan dunia sajak, guru perlu memberikan berbagai bentuk bantuan, misalnya melalui pengembangan imajinasi, sajian berbagai media, kekayaan ilustrasi, diskusi kelas, dan lain-lain. Ketiga, berkenaan dengan penampilan sajak. Chesler berpendapat bahwa makna bisa disampaikan secara jelas melalui bantuan alat-alat visual dan auditori. Peragaan pembacaan sajak secara visual dapat membantu siswa dalam mengapresiasi sajak tersebut. Keempat, berkenaan dengan daya tarik bunyi. Pendengaran yang terlatih dapat membantu mereka dalam mengapresiasi puisi. Oleh karena itu, sajak yang menampilkan bunyi-bunyi menarik serta kemampuan olah vokal yang menawan

dalam membunyikan baris-baris sajak itu, akan membantu siswa dalam mengapresiasi puisi tersebut.

RANGKUMAN MC merupakan sejenis keterampilan yang memerlukan ketekunan berlatih dan disiplin tinggi utnuk mencapai kecepatan dan daya baca yang tinggi yang bisa dicapai seseorang. Berbagai strategi pola membaca cepat yang sering dipraktikkan orang adalah pola vertikal, pola diagonal, pola zig zag, pola spiral, pola blok, dan pola horizontal. Ada berbagai bentuk latihan untuk mencapai kecepatan dan daya baca yang tinggi, misalnya metode membaca frase, membaca paragraf, membaca bab. Strategi-strategi tersebut disertai dengan petunjuk-petunjuk praktis tentang cara pelaksanaan latihannya. Latihan yang biasa dilakukan untuk menguasai metode membaca frase meliputi dua hal, yakni latihan yang abersifat mekanis dan latihan yang bersifat konseptual. Pemaduan dua keterampilan, yakni keterampilan mekanis dan keterampilan konseptual secara bersama-sama dilakukan pada saat melakukan aktivitas baca dengan menggunakan metode membaca frase. Hal yang harus diperhatikan dalam membaca paragraf adalah struktur paragraf, ide/kalimat inti, ide/kalimat penjelas, dan kalimat sumbang (kalimat pemuas). Pada dasarnya prosedur membaca bab hampir sama dengan membaca paragraf. Namun, sebelum membaca bab sebaiknya diawali dengan kegiatan penjajagan, berupa survei terhadap daftar isi atau organisasi bab itu. Membaca bab yang diawali dan dibekali dengan tujuan dan pertanyaan-pertanyaan jauh lebih baik ketimbang tidak memiliki tujuan apapun dan tidak memiliki pertanyaan apapun di

seputar isi bab itu. Kartu baca akan sangat membantu Anda di dalam mengarsipkan hasil kegiatan baca Anda untuk keperluan sewaktu-waktu, baik untuk kepentingan akademis maupun kepentingan sehari-hari. Untuk dapat memahami buku yang Anda baca, baik itu bacaan sastra (fiksi) maupun bacaan ekspositoris (nonfiksi) terdapat empat pertanyaan dasar yang harus diajukan pada saat Anda hendak membaca buku tersebut. Keempat pertanyaan tersebut, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut ini. 1) Secara umum, buku itu berbicara tentang apa? 2) Apa yang dikatakan penulis, dan bagaimana cara dia mengatakannya? 3) Apakah isi buku itu benar, baik secara keseluruhan maupun sebagian? 4) Apakah buku itu penting? Apa manfaatnya untuk Anda?

LATIHAN Petunjuk: Perhatikan dan baca teks berikut kemudian, ikuti instruksi-instruksi selanjutnya.

Teks 1 Orang Eskimo berkata bahwa surga itu panas. Orang Arab mempunyai surga yang sejuk tempat bidadari menari. Surga orang Persia adalah kebun yang selalu hijau. Tetapi bagiku, berilah aku sebuah danau pegunungan yang biru di ujung pendakian yang panjang. Pagarlah danau itu dengan kekayuan yang tidak luput oleh kapak. Masukkan ke dalamnya berbagai ikan parit. Biarkan matahari menghangat sehabis mandi berenang. Biarkan malam-malamnya sejuk dalam sinar sejuta bintang. Andaikata di sana ada juga nyamuk, suruhlah mereka berhinggapan dan diam di kala malam tiba. Biarkan burung kicau semua bernyanyi di musim dingin di tengah hari

dan murai berkicau di hari senja. Biarkan setiap sinar pagi yang pertama menyentuh padang-padang salju di pucuk-pucuk ufuk barat, dan biarkanlah suara merdu yang panjang unggas pelagu menyanyikan berita bahwa siang tiba.

Teks 2 Bagaimana bunyi tali bas yang mendengung dalam selubung paduan lagu polifoni, sebuah kata benda mempunyai tempat predominan dalam keseluruhan untaian paragraf. Di dalam paragraf, kata benda itu dijalin oleh berbagai variasi pikiran yang mengisi suatu desain yang rumit. Kata benda utama dalam paragraf dapat kita anggap sebagai pengganti sesuatu yang dipermasalahkan di dalam paragraf. Benda ini mungkin tampak jelas seperti rumah-rumah yang berdiri di dpan mata atau pun sebagai sebidang tanah subur. Benda itu mungkin selembut kasih sayang atau seperti angan-angan ingatan. Namun, ide-ide yang ada itu berubah menyilaukan, dan di bagian pusat setiap paragraf mesti ada kata benda. Kata benda inilah yang merupakan substansi dan jantung pikiran utama dalam paragraf. Sesungguhnya keseluruhan pikiran utama itu tidak lain dari penegasan yang lengkap yang dijelaskan dan dikembangkan oleh paragraf itu sendiri di sekitar kata benda polar.

Teks 3 Kemampuan membaca tingkat sembilan yang dimiliki oleh seorang dewasa tidak mencerminkan kemampuan berpikir seorang siswa kelas sembilan. Tidak seorang pun akan menolak bahwa orang dewasa mempunyai kelebihan dalam pengalaman, sikap, dan pelarapan emosional. Karenanya, mempersamakan

kemampuan membaca tingkat sembilan dengan kemampuan mental tingkat sembilan sudah tindakan yang keliru. Anggapan yang menyamakan kedua macam kemampuan itu hanyalah akan membawa penulis kepada suatu suasana mental mental yang menyebabkan tulisannya mempunyai kecenderungan untuk rendah.

Instruksi: 1. Kelompokkan teks 1 berdasarkan frase-frase atau kelompok-kelompok kata yang Anda duga sebagai satuan-satuan unit idenya yang Anda duga sebagai frase. Penandaan dapat dila kukan dengan membubuhkan tanda gatra (/) sebagai penyekat satuan unit ide. Cobalah Anda baca teks tersebut berdasar kan satuansatuan unit ide yang telah Anda tandai sambil camkan makna dan informasi yang terkandung di dalamnya. 2. Tentukan ide pokok dari ketiga teks di atas dengan kalimat Anda sendiri. Jelaskan rasionalisasi dari jawaban Anda tersebut! 3. Bagaimana struktur paragraf dari ketiga teks di atas? Jelaskan, tunjukkan buktinya!

You might also like