You are on page 1of 7

SEJARAH KEJAYAAN ISLAM

Tahun-tahun pertama pertumbuhan Islam di zaman pemerintahan Al-Khulafa Rasyidun, atau lengkapnya Khulafa Rasulillah Ar-Rasyidunn yakni para pengganti Rasulullah yang mendapat petunjuk Allah SWT, sebagai teladan terbaik kepemimpinan umat Islam pasca Rasulullah SAW.

Al-Khulafaur Rasyidun
Istilah khilafah atau kekhalifahan para khalifah, Dalam sejarah peradaban Islam, yang disepakati benar sebagai khalifah ada empat orang, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Ada juga sejarawan menambahkan nama Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz dalam deretan para pemimpin yang terkenal bijaksana tersebut, kerena mereka juga terkenal adil dan shalih. Periode mereka dimulai setelah Rasulullah SAW wafat pada 12 Rabiul Awwal 12 H atau 8 Juni 632 M. Sampai detik terakhir, sebagaimana diyakini mayoritas sejarawan, Rasulullah SAW tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa pengganti beliau, tak lama kemudian, sejumlah tokoh kaum anshar dan muhajirin bersitegang di saqifah (balai pertemuan) Bani Saidah, Madinah. Memperdebatkan siapa yang berhak menjadi pemimpin, melalui perdebatan alot, Abu bakar Ash Shiddiq, di baiat menjadi khalifah pertama, beliau menjabat khalifah selama dua tahun. Masa pemerintahan Abu Bakar yang singkat lebih banyak dihabiskan untuk menyelesaikan pergolakan dalam negeri akibat pemberontakkan kaum murtad. kekuasaan beliau hampir serupa dengan pemerintahan Rasulullah SAW yang sentralistis, eksekutif, legislatif, dan yudikatif berada ditangan khalifah. prestasi terbesar Abu Bakar ialah pembukuan Al-Quran untuk pertama kalinya. Menjelang wafat, Abu Bakar bermusyawarah dengan beberapa sahabat dan menunjuk sahabat terdekatnya, Umar bin Al khattab menjadi khalifah kedua. Penunjukkan secara langsung itu dianggap penting oleh Abu Bakar , mengingat sebagian besar prajurit muslim tengah berjuang diperbatasan Palestina, Irak, dan Syria. ia tidak ingin peristiwa di Saqifah Bani Saidah kembali terulang dan mengancam persatuan umat yang tengah berada di medan perang. Umar bin Al khattab menyebut dirinya Khalifatu khalifati Rasulillah, pengganti orang yang menggantikan Rasulullah SAW. beliau pula yang pertama kali memperkenalkan sebutan amirul mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Masa kekhalifahan beliau selama 10 tahun ditandai dengan ekspansi besar-besaran pasukan muslim keberbagai penjuru Asia. Satu persatu wilayah Irak, Mesir, Syria, dan Palestina jatuh ketangan kaum muslimin. Bertambahnya luasnya Negara Islam membuat pola sentralistis ala Rasulullah SAW dan Abu Bakar tidak cocok lagi. Meniru pola ketatanegaraan Persia, yang sebelumya merupakan salah satu Negara adidaya, Umar pun membagi pengelolaan

pemerintah menjadi delapan propinsi,dikepalai seorang Gubernur. Dan membentuk beberapa departemen, seperti departemen kepolisian, departemen keuangan (baitul mal), departemen pekerjaan umum, staf pemerintahan. Ia juga memisahkan lembaga eksekutif dan yudikatif dengan mendirikan lembaga peradilan. Ia mencetak mata uang standar, membakukan sistem pajak, dan penggajian pegawai serta tentara, membuat sistem penanggalan Hijriah. Pencapaian yang luar biasa dalam 10 tahun masa jabatannya, atau dua periode pemerintahan Negara modern. Pada 23 H/644 M, Khalifah kedua itu gugur syahid dibunuh oleh Abu luluah, bekas budak Persia. Sebelum wafat, ia menunjuk enam sahabat utama untuk memilih salah seorang diantara mereka menjadi khalifah ketiga. Setelah Umar wafat, tim formatur, yang terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga, karena alasan senioritas. Masa pemerintahan Utsman berlangsung 12 tahun. Ketika itu, ekspansi pasukan muslim sudah mencapai Armenia , Tunisia, Cyprus, Rodhes, dan Transoxinia. Beliau terkenal sebagai khalifah yang melakukkan pembangunan fisik, antara lain bendungan pencegah banjir, beberapa jembatan penghubung antar wilayah, beberapa masjid dan perluasan Masjid Nabawi. Prestasi monumentalnya adalah pembakuan ejaan Al Quran dengan dialek Quraisy, yang kemudian dikenal dengan istilah Mushaf Utsmani. Terobosan itu dilakukan karena belakangan beberapa suku Arab yang masuk islam sering keliru melafalkan ayat suci Al Quran sehingga maknanya berubah. Sayang perilaku Utsman tercoreng dengan perilaku saudaranya yang diangkat menjadi pembantu khalifah yang sudah sangat sepuh. Penyelewengan-penyelewengan itu menimbulkan kekecewaan dikalangan sebagian umat islam, dan berbuntut dengan meletusnya huru-hara di Madinah. Dalam insiden itu khalifah Utsman yang sudah berusia 90 tahun, dan sedang membaca Al Quran gugur syahid dibunuh seorang pemberontak. Tak lama kemudian umat Islam yang tumpah ruah di madinah segera membaiat Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Masa pemerintahan menantu Rasulullah SAW yang dikenal sangat tegas dan adil itu hanya berlangsung enam tahun. Sebagian besar waktunya imam Ali untuk meredam pergolakkan internal umat Islam. Beberapa pihak menuntut agar Beliau mengusut kasus pembunuhan Utsman. Namun khalifah keempat itu tidak ingin memperpanjang pertikaian antar umat Islam. Ia lebih memilih memperbaiki kinerja pemerintahn dengan mengganti semua gubernur yang diangkat Utsman bin Affan yang dianggap sebagai biang kekacauan. Ali juga mengambil tanah-tanah Negara yang dibagikan oleh keluarga Utsman kepada orang-orang dekatnya untuk dikembalikan kepada Negara. Kebijakkan itu memicu konflik baru, tuntutan agar khalifah mengusut kasus pembunuhan Utsman semakin hebat dan menimbulkan pemberontakkan sebagian umat Islam yang dipimpin oleh Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar. Dengan berat hati imam Ali memutuskan memutuskan menumpas mereka dengan operasi militer dalam pertempuran hebat yang disebut Perang Jamal atau Perang Unta. Pasukan Ali berhasil memenangkan perang saudara itu, sementara Thalhah dan Zubair terbunuh. Sedangkan Aisyah yang tertawan dikembalikan dengan penuh kehormatan ke Madinah.

Belum lama perang jamal usai, Muawwiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam yang dingkat Utsman menolak kebijakan pencopotan jabatannya oleh imam Ali dan memilih angkat senjata. Pertempuran lebih hebat pecah di Shiffin, memakan korban ribuan umat Islam. Ketika pasukkan Muawiyyah terdesak para pemimpin mereka mengikat mushaf Al Quran di ujung tombak dan menyerukan tahkim, yaitu penyelesaian konflik dengan kembali berhukum kepada Al Quran. Sayyidina Ali dan beberapa sahabat penghafal Al Quran, yang pada dasarnya memang mencintai perdamaian, memutuskan untuk menghentikan pertempuran dan berunding. Namun, sebagian pasukan Imam Ali yang berasal dari pedalaman, menolak menghentikan pertempuran , dengan alasan musuh adalah orang ingkar, yang layak ditumpas. Apalagi saat itu posisi pasukan Imam Ali sudah hampir menang. Namun Sayyidina Ali bersikukuh berdamai. Apa boleh buat, pasukan asal pedalaman itu membelot dari pasukan inti dan mengobarkan pertempuaran baru melawan pemerintah. Kelompok ini belakangan dikenal dengan nama kaum Khawarij. Dengan demikian, umat Islam terpecah menjadi empat kelompok: pengikut Ali, pengikut Muawiyyah, kaum Khawarij, dan sebagian kecil sahabat yang memilih netral. Pertempuran besar ketiga terjadi di Nahawand, antara pasukan pemerintah melawan kaum Khawarij, yang dimenangkan oleh kaum Khawarij. Kaum Khawarij tercerai berai, belakangan kaum Khawarij merencanakan membunuh tiga tokoh yang dianggap paling bertanggung jawab atas perpecahan umat Islam: Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah, dan Amru bin Ash. Panglima Muawiyyah yang mencetuskan ide bertahkim. Pembunuhan itu direncanakan akan dilakukan serentak ketika mereka mengimami shalat subuh. Muawiyyah berhasil lolos, karena pagi itu ia sakit perut dan tidak pergi ke masjid. Aru bin Ash pun selamat, hanya mengalami luka goresan dipinggang. Sementara imam Ali terluka parah akibat tikaman telak Abdurrahman bin Muljam di punggungnya. Dan wafat pada 20 Ramadhan 40H. Tak lama setelah Ali wafat, kaum muslimin membaiat putranya, Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, menjadi khalifah, sementara Muawiyyah terus merongrong pemerintah. Karena tak ingin umat Islam terus dalam perpecahan, Imam Hasan, yang berhati lembut, mengajak Muawiyyah berdamai.

Bani Umayyah
AL Hasan bersedia menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyyah dengan syarat: semua permusuhan diantara mereka dilupakan. Muawiyyah menerima persyaratan itu, bahkan berjanji akan tetap menjaga kehormatan ahlul bayt sampai kapanpun. Maka pada 41 H secara resmi kekuasaan khilafah berpindah ketangan Muawiyyah. Sukses ini menandai berakhirnya periode kekhalifahan yang Islami, dan berganti menjadi sistem Daulah Kerajaan. Al Hasan tak menyangka bahwa amanah yang Ia pikulkan ke pundak Muawiyyah akan dikhianati. Berbeda dengan sistem khalifah sebelumnya, yang

didasarkan pada integritas keshalihan seseorang, Muawiyyah menjadikan jabatan khalifah sebagai hak keluarga secara turun-temurun alias monarki absolute. Sejak itu (660 M) sampai sembilan puluh tahun kemudian, umat Islam diperintah oleh Daulah Bani Umayyah. Semua pemimpin Bani Umayyah memang masih menggunakan istilah khalifah dan dibaiat oleh umat Islam, namun proses pembaiatan dilakukan dengan penuh rekayasa. Ketika Muawiyyah tengah sakit keras, yang berakhir dengan kematiannya, ia mengarahkan pasukan untuk memaksa rakyat membaiat putranya, Yazid, sebagai khalifah berikutnya. Bagi yang menolak pasukan pemerintah tidak segan-segan menyiksa atau memenjarakan mereka. Satu-satunya khalifah sejati dalam sejarah pemerintahan Daulah Bani Umayyah hanyalah khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang naik tahta pada 99 H/717 M, menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik, pamannya yang wafat. Dalam upacara pemakaman Sulaiman, surat wasiat Khalifah dibacakan, dan Umarlah yang terpilih sebagai pengganti. Berbeda dengan para pemimpin Bani Umayyah lainnya yang gila jabatan, Umar mengembalikan mandat kekhalifahan kepada umat Islam, dan meminta mereka memilih pemimpin. Beberapa Ulama yang mengetahui kejujuran dan keadilan cucu Umar bin Khaththab itu segera membujuknya untuk menerima jabatan khalifah. Meski hanya selama tiga tahun, pemerintahan Umar bin Abdul Aziz penuh dengan kebajikan dan keadilan,. Ia juga mereformasi sistem pemerintahan dan memecat staf pemerintah yang korup. Tentu saja kebijakan Umar dianggap membahayakan kedudukan Bani Umayyah yang khawatir jabatan khalifah akan lepas dari tangan mereka. Pada 102 H/720 M, Umar wafat sebagai syahid karena diracun oleh salah seorang saudaranya. Maka umat Islam kembali memasuki fase yang monarkis, dan tak jarang juga mengalami penindasan oleh raja yang tiran, kejam dan sewenangwenang. Meski tak bisa dibilang ideal, pemerintahan Bani Umayyah menorehkan beberapa prestasi, seperti perluasan wilayah Islam hingga keseluruh wilayah Andalusia (Spanyol), dan bagian selatan wilayah Prancis serta Sind (India Barat) di Timur, perluasan Masjid Nabawi, dan peresmian bahasa Arab sebagai bahasa persatuan negeri-negeri Muslim. Belakangan muncul kekecewaan terhadap Bani Umayyah, terutama dari kalangan Bani Hasyim (keturunan keluarga Rasulullah SAW) dan dari kaum Mawali (muslim non Arab) yang sering mendapat perlakuan tidak adil, bahkan cenderung di tindas. Pada tahun 740-an muncul gerakkan Abbasiyah, pimpinan Abdullah Al Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Disebut Abbasiyah , karena para pemimpinnya keturunan Al Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW.

Dinasti Abbasiyyah

Pada 749 M, pasukan Umayyah di Kufah bisa dikalahkan oleh pasukan Abbasiyyah. Dan setahun kemudian, Damsyik (Damaskus), yang juga ibu kota kekhalifahan Bani Umayyah, jatuh ketangan Bani Abbasiyyah. Dengan jatuhnya Damsyik, runtuh pula masa kejayaan dinasti Muawiyyah bin Abu Sufyan. Khalifah Umayyah yang terakhir, Marwan bin Muhammad, dan keluarga yang tersisa, melarikan diri ke Mesir. Tak lama bersembunyi di Mesir, ia tertangkap dan dihukum mati. Sisa-sisa keluarga Marwan bin Muhammad melarikan diri kesisi Barat Afrika dan menyeberang masuk ke Andalusia. Di bawah kepemimpinan AbdurrahmanAdDakhil, mereka mendirikan kekhalifahan baru di Spanyol, dan mengalami masa kejayaan yang gilang-gemilang, menerangi seluruh Benua Eropa pada Tiga abad berikutnya. Sementara di Timur Tengah, Abdullah Al Saffah mendirikan pemerintahan baru di Al Hasyimiyyah, dekat kufah. Untuk memantapkan posisinya, tak lama kemudian ibu kota dipindahkan ke Baghdad. Masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyyah berlangsung antara 750 M sampai 1258 M, dengan beberapa pemimpin legendaris seperti Al Mahdi, Al Harun, Harun Al Rasyid, Al Mamun, Al Mutashim, Al Watsiq, dan Al Mutawakkil. Pada masa itulah umat Islam berada di Puncak Kejayaan, baik dalam segi Politik, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan. Puluhan universitas dan perpustakaan dibangun, membuat Baghdad dan beberapa kota besar lainya menjadi puasat kebudayaan, wiasata dan studi yang menyenangkan. Beberapa ilmuan besar lahir pada periode Abbasiyyah, seperti Ibnu Sina, Al Razi, Jabir bin Hayyan, Ibnu Rusyd, Al Farabi, dan Muhammad bin Musa, Al Khawarizmi, pendeknya, Baghdad menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dunia. Di abad-abad terakhir, kekuasaan Dinasti Abbasiyyah dilanda perpecahan. Karena wilayah Islam terlalu luas, kontrol terhadap wilayah-wilayah perbatasan menjadi sangat sulit. Maka satu persatu daerah- daerah yang jauh dari Baghdad memisahkan diri, mendirikan kerajaan baru, seperti kerajaan Thahiriyyah di Khurasan, Sajiyyah di Azerbaijan,, Thuluniyyah, Ayyubiyyah dan Fathimiyyah di Mesir, Umayyah II di Eropa Selatan, dan Bani Seljuk diberbagai wilayah. Bani Seljuk bahkan sempat menguasai Baghdad selama 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M). Keruntuhan total kekuasan Abbasiyyah terjadi ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenderal Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan ekspedisi dengan menggasak dan menjarah ke wilayah barat. Satu-perstau negeri muslim direbut, dirampok, dan di hancurkan. Baghdad pun tidak luput dari terjangan Suku Barbar yang ganas dari lereng Gunung Himalaya itu. Pada 656 H/1258 M, sekitar 200 ribu tentara Mongol tiba di gerbang kota Baghdad. Merasa tak mampu menandingi, khalifah Al Mutashim menawarkan perdamaian. Namun tentara yang mengepung kota itu bukanlah bangsa yang beradab. Tawaran damai dijawab dengan pembantaian, pemerkosaan, pembakaran, dan penghancuran pusat peradaban Islam itu. Satu-satunya negeri muslim yang selamat dari amukan tentara Mongol adalah Mesir, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamalik, yang menggantikan Dinasti Ayyubiyyah, sementara wilayah Asia Barat dan Tengah terus dilanda pergolakan dibawah pimpinan dinasti Seljuk.

Pada 1300 M, pasukan Mongol yang ganas kembali menghancurkan negerinegeri muslim, Sultan Alaudin, pemimpin terakhir Dinasti Seljuk, terbunuh. Salah seorang bawahannya, Utsman bin Ertogrul, berkebangsaan Turki, yang memimpin daerah kecil di Tepian Laut Kaspia, mengumumkan berdirinya Kerajaan Turki Utsmani, yang belakangan disebut Ottoman oleh sejarah Barat. Palan-pelan tapi pasti, Sultan Utsman membangun kekuasaan dengan menguasai daerah-daerah sekitarnya. Keturunanya mengalami pasang surut kekuasaan, gara-gara pertempuaran yang tiada henti dengan pasukan Mongol dibawah pimpinan Timur Lenk, yang ketika itu sudah menguasai wilayah Persia.baru ketika Timur Lenk meninggal, Sultan Muhammad I (1403-1421 M) berhasil melebarkan sayap ke berbagai penjuru negeri Muslim. Dan kemenangan besar bisa diraih oleh penggantinya, Sultan Muhammad II, yang bergelar Al Fatih. pada 1453 M, ia berhasil menundukkan Kostantinopel, ibu kota kerajaan Romawi Timur atau Byzantium. Di kota inilah ia mendirikan ibu kota kerajaan dengan nama baru Istambul. Kemajuaan yang dicapai Kerajaan Turki Utsmani di masa jayanya, antara lain dalam bidang kemiliteran, budaya dan agama. Dalam bidang kemiliteran, Daulah Utsmaniyyah terkenal dengan sistem tata militer yang modern dan sangat tangguh. Hal itu terbukti dengan kemenangan demi kemenangan dalam pertempuran melawan pasukan Mongol dan Eropa. Daulah Bani Utsmani juga dikenang sebagai pemerintahan yang memperkenalkan sistem kabupaten (al zanaziq) yakni penghubung antara rakyat dan gubernur (pasya). Sementara dalam budaya, Turki Utsmani telah membangun masjid-masjid megah di seluruh wilayah. Salah satu yang paling legendaris adalah masjid As Sulaimaniyyah, yang semula adalah Gereja Aya Sophia. Hingga kini masjid-masjid tersebut masih mnghiasi Republik Turki, terutama di Istambul. Dalam bidang ke agamaan para pemimpin Dinasti Utsmani dikenal sebagai pembela paham Ahlusunnah Wal Jamaah sejati.saat itu hampir seluruh penguasa Turki taat beragama dan menghormati para ulama Sunni. Dimasa-masa itu paham tarekat juga mengalami perkembangan pesat.tapi yang paling berkembang adalah tarekat Maulawiyyah dan tarekat bektasyi. Dukungan Negara dengan perkembangaan tarekat tampak dari banyaknya pengikut bektasyi dilingkungan pasukan elite Turki yang disebut jenissari. Pengaruh kebesaran Turki diakui oleh raja-raja muslim di penjuru dunia Islam. Semua raja yang baru di angkat dikerajaan Mataram di Jawa, misalnya, selalu minta restu sekaligus gelar kepada Sultan Turki Utsmani, atau melalui para Syarif di Makkah yang di tunjuk sebagai perwakilannya. Kerajaan Islam Turki Utsmani mengalami kejayaan sampai awal abad ke 17, memasuki abad ke 18, kerajaan besar itu mulai goyah, digerogoti para pemberontakan, munculnya gerakan Wahabi dan kolonialisme Barat. Puncaknya ketika kerajaan besar sangat di segani oleh pasukan Salib itu diruntuhkan oleh Musthafa Kemal At Taturk, politisi sekuler secara konstitusional, pada 3 maret 1924 Kemal At Taturk mengumumkan berdirinya Republik Turki di depan Dewan Nasional Turki Raya, menggantikan Turki Utsmani.

Dengan runtuhnya Kerajaan Islam Turki Utsmani, berakhir pula era Daulah Islamiyyah yang bersifat global. Sebab selaras dengan perkembangan zaman pasca kolonialisme, Negara-negara baru yang diproklamasikan atas dasar nasionalisme tidak lagi mengusung konsep Daulah Islamiyyah yang bersifat Global..

You might also like