You are on page 1of 13

EKSISTENSI PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN AUSTRALIA TENTANG ZONA KERJASAMA DI DAERAH ANTARA TIMOR TIMUR DAN AUSTRALIA

BAGIAN UTARA DALAM HAL TIMOR TIMUR MENJADI NEGARA MERDEKA I. Pendahuluan
Pembicaraan mengenai Timor Timur akhir-akhir ini menjadi semakin ramai dan mengundang banyak perhatian dunia apalagi setelah Pemerintah Indonesia menawarkan usulan untuk melepaskan Timor Timur dari wilayah RI sebagai opsi kedua apabila opsi pertama yaitu memberikan status khusus dengan otonomi luas ditolak. Berdasarkan hasil jajak pendapat rakyat Timor Timor yang dilakukan 30 Agustus 1999 dan diumumkan 4 September 1999, 79% (tujuhpuluh sembilan persen) rakyat Timor Timur memilih opsi kedua yaitu menghendaki adanya pemisahan dari Indonesia atau berkeinginan untuk merdeka, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa Timor Timur akan terpisah dengan Indonesia dan berdiri sebagai negara baru yang merdeka. Kemudian Timor Timur merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Menurut hukum internasional, munculnya negara baru ini akan membawa banyak konsekuensi internasional, seperti hutang hutang negara lama, arsip-arsip, pengakuan dan keterikatannya pada perjanjian inter-nasional yang telah diratifikasi oleh negara lama. Hal itu tidak terkecuali Timor Timur yang menjadi negara baru yang merdeka terlepas dari Indonesia. Kondisi di atas akan dihadapi baik oleh Timor Timur sendiri sebagai negara yang baru merdeka maupun Indonesia yang telah kehilangan kedaulatannya di wilayah Timor Timur. Hal tersebut adalah wajar, karena Timor Timur sebagai negara baru telah memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, berhak menentukan kebijakan politik dalam dan luar negerinya. Sehingga berkaitan dengan itu pula Timor Timur berhak menentukan tetap akan terikat atau tidak pada perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral yang telah dilakukan oleh Indonesia. Bagi Indonesia sendiri merdekanya Timor Timur tersebut berakibat tidak memilikinya kedaulatan atas wilayah tersebut. Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa setiap kebijakan internasional yang telah dibuat Indonesia yang berkaitan dengan Timor Timur termasuk perjanjian-perjanjian internasional harus ditinjau kembali atau menjadi tidak berlaku menurut hukum internasional.

Salah satu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Indonesia yang berobyek atau yang berkaitan dengan dengan Timor Timur adalah perjanjian mengenai Zona Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara.

II. Permasalahan Berdasarkan kondisi di atas, permasalahannya adalah bagaimanakah eksistensi Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Zona Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dengan Australia Bagian Utara dalam hal Timor Timur menjadi negara merdeka? III. Pembahasan A. Suksesi Negara
Pasal 2 angka 1b Konvensi Wina 1978 menentukan bahwa "succestion of

states means the replacement of one state by another in the responsibility for the international relations of territory." Selanjutnya menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1978, suksesi negara dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu: 1. Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru. 2. Apabila negara pengganti sebagai negara baru yang beberapa waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang tidak bebas yang dalam hubungan internasional di bawah tanggung jawab negera (negara-negara) yang digantikan. 3. Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih menjadi suatu negara merdeka. 4. Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi beberapa negara baru. Kemudian suksesi menurut Starke adalah: principally concerned with the transmission of right and obligations from state which have altered or lost their identity to other states or entities, such alteration or loss identity occurring primarily when complete or partial changes of

souveregnty take place over portions of territory."(Starke, 1989: 321).

Pada hakikatnya bahwa di dalam suksesi negara akan terjadi persoalan kepindahan hak dan kewajiban dari negara pendahuluan kepada negara pengganti. Walaupun begitu tidak selamanya perpindahan hak dan kewajiban dalam negara itu selalu didahului dengan adanya suksesi. Dapat dikatakan bahwa suksesi ini merupakan masalah hukum internasional karena hal ini menyang-kut hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara sebagai subyek hukum internasional serta menyangkut persyaratan dasar dari suatu negara menurut hukum internasional. Implikasi dari suksesi negara yang sering muncul dalam masyarakat internasional adalah dalam hal: 1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pengganti. 2. Keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan negara ketiga; 3. Nasionalitas; 4. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hak milik, termasuk dana negara dan arsip negara; 5. Tanggung jawab negara pengganti atas hutang negara pendahuluan. Dapat dikatakan bahwa berdirinya Timor Timur sebagai negara baru yang merdeka termasuk dalam salah satu bentuk suksesi negara menurut hukum inernasional karena memenuhi salah satu cara adanya suksesi, yaitu apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru, sehingga akan berpengaruh terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban Indonesia atas Timor Timur secara internasional.

B. Perjanjian antara RI dengan Australia mengenai Zona Kerjasama Di Daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara.

Berawal dari belum tercapainya kesepakatan batas landas kontinen antara RI dan Australia di Selatan Timor Timur (Celah Timor) dan agar tidak mengganggu hubungan bilateral yang baik dengan Australia, serta agar tidak tertundanya pemanfaatan potensi sumber daya minyak dan gas bumi di Celah Timor, maka pada tanggal 11 Desember 1989 ditanda-tangani perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Zona Kerjasama di daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara, untuk selanjutnya disebut "Perjanjian".

Perjanjian tersebut merupakan pengaturan sementara yang bersifat praktis untuk memungkinkan dimanfaatkannya potensi sumber daya minyak dan gas bumi tanpa harus menunggu tercapainya kesepakatan batas landas kontinen, yang akan terus diupayakan. Dengan demikian Perjanjian tersebut bukan merupakan Perjanjian untuk menetapkan batas landas kontinen kedua negara. Perjanjian tersebut mengatur mengenai "Zona Pengembangan Bersama" (Joint Development Zone) di daerah "tumpang tindih klaim" negara-negara yang bersangkutan (dispute area). Lembaga "Zona Pengembangan Bersama" sebagai suatu pengaturan sementara lebih diperkuat lagi dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pasal 83 ayat (3) Konvensi tersebut menentu-kan bahwa: "Sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai, negara-negara yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis batas landas kontinen yang final". Pembagian Daerah di dalam Zona kerjasama menurut Perjanjian Zona Kerjasama dibagi menjadi 3 daerah dengan kekuasaan hukum (legal

regim) yang berbeda-beda sesuai dengan status hukum dari masing-masing daerah tersebut. Daerah A Daerah A merupakan sebagian dari daerah tumpang tindih klaim (daerah tumpang tindih klaim yang sebenarnya adalah daerah yang dalam Perjanjian ini disebut Daerah A dan Daerah C). Daerah A akan dimanfaatkan bersama oleh kedua pihak dengan pembagian hasil masing-masing 50%. Untuk mengelola Daerah A akan dibentuk Dewan Menteri dan Otorita Bersama, dan diberlakukan Kontrak Bagi Hasil.

Daerah B Daerah B merupakan daerah di sebelah Selatan garis tengah yang terletak di luar daerah-daerah tumpang tindih klaim, dan di Selatan dibatasi oleh batas 200 mil laut dari garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia. Daerah B ini akan dikelola oleh Australia seperti yang berlaku selama ini, tetapi Australia akan memberikan kepada Indonesia 16% dari penghasilan pajak bersih atau "Net Resource Rent Tax" (Net RRT) atau 10% dari penghasilan pajak kotor (Groos RRT). Selain itu Australia akan memberikan informasi kepada Indonesia tentang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Daerah B sebelum kegiatan tersebut dimulai. Daerah C Daerah ini sebenarnya merupakan bagian dari daerah tumpang tindih tuntutan yurisdiksi masing-masing pihak. Daerah C tersebut akan dikelola oleh Indonesia, dengan ketentuan bahwa Indonesia akan memberikan 10% dari Pajak Pendapatan Kontraktor. Selain itu Indonesia juga akan memberitahukan Australia tentang kegiatan tersebut. C. Eksistensi Perjanjian karena Timor Timur Merdeka. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu implikasi yang muncul dari adanya suksesi adalah, keterikatan negara pengganti pada

perjanjian internasional yang telah dibuat oleh negara pendahulu, atau tentang eksistensi perjanjian internasional yang telah dibuat negara pendahulu apabila terjadi suksesi. Sebagai pegangan dasar dan agar tidak menyimpang jauh dalam pembahasannya, maka setiap kajian tentang akibat suksesi terhadap perjanjian internasional tidak akan lepas dari konvensikonvensi hukum internasional yang telah ada yang berkaitan dengan suksesi dan perjanjian internasional, yaitu Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasi-onal dan Konvensi Wina tahun 1978 tentang Suksesi Negara dalam kaitan dengan Perjanjianperjanjian. Prinsip dasar dalam perjanjian internasional sebagaimana ditentukan dalam pasal 34 Konvensi Wina 1969 adalah bahwa suatu perjanjian tidak menciptakan baik hak maupun kewajiban bagi negara ketiga tanpa persetujuan daripadanya (negara ketiga tersebut). Hal itu dapat dikatakan sebaliknya, jika pihak ketiga mau terikat oleh perjanjian, maka harus memberikan persetujuan. Persetujuan ini diberikan secara tertulis serta kewajiban dan hak pihak ketiga tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian itu. Kewajiban pihak ketiga harus bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanji-an, dan ia akan tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan kehendaknya yang berlainan (Mieke Komar, 1972: 19). Hal ini berkaitan dengan asas yang menjadi dasar dan yang telah diterima secara umum dalam hukum internasional, yaitu pacta tertiis nec nocent nec procent, suatu asas yang berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara dan persamaan negara. Pasal 73 Konvensi Wina tahun 1969 mengatur bahwa ketentuanketentuan Konvensi ini tidak akan mempersoalkan dahulu setiap masalah yang mungkin timbul mengenai suatu perjanjian dari suatu suksesi negara-negara atau dari pertanggungjawaban internasional suatu negara atau dari pecahnya permusuhan di antara negaranegara. Berkaitan dengan itu, Pasal 8 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1978 menentukan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari

negara yang digantikan berdasarkan perjanjian yang mengikat pada saat terjadinya suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara pengganti terhadap peserta lain dari perjanjian itu, kecuali apabila antara negara yang diganti dengan negara pengganti telah diadakan perjanjian penyerahan yang menyatakan bahwa hak-hak dan kewajibankewajiban itu diserahkan kepada negara pengganti. Dan bahwa hak hak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian yang berlaku pada saat terjadinya suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara pengganti atau negara peserta lain yang menjadi pihak dalam perjanjian itu, kecuali apabila ada pernyataan dari negara pengganti itu yang menegaskan mengenai kelanjutan berlakunya perjanjian itu di wilayahnya. Ketentuan tersebut sesuai dengan asas res inter alios acta, yaitu bahwa pihak yang bukan peserta dari perjanjian tidak terikat perjanjian yang dibuat oleh negara peserta perjanjian itu (Tien Saefullah, 1981: 11). Teori lain mengatakan bahwa mengenai keter-ikatan negara pengganti pada perjanjian internasi-onal yang dibuat oleh negara pendahulu, tidak ada aturan yang berlaku umum. Terhadap pihak ketiga pergantian negara tidak mempunyai pengaruh, tetapi persoalan biasanya diselesaikan dengan perjanjian bilateral antara pihak yang terkait. Perjanjian mengikat negara internasional pengganti. yang berkaitan juga dengan perjanjian wilayah tetap Demikian internasional

multilateral universal tetap mengikat negara pengganti. Tetapi perjanjian internasional mengenai politik tidak mengikat negara pengganti. Demikian juga tidak ada kaidah umum bahwa semua hak dan kewajiban traktat beralih, begitu pula tidak ada prinsip yang diterima secara umum yang demikian kuat menyokong kemungkinan berlanjutnya hubunganhubungan traktat (Starke,1989: 325). Suksesi merupakan peristiwa yang terjadi dalam suatunegara yang dalam peristiwa itu terdapat perubahan keadaan yang fundamental (fondamental Change of circumstances) atau lebih dikenal dengan doktrin "rebus sic stantibus". Para ahli hukum internasional enggan untuk menentukan atau membatasi lingkup doktrin tersebut dan enggan mengatur secara ketat, demi keamanan perjanjian

dengan adanya doktrin tersebut (Hugh Kindred, 1987: 171). Bahkan Komisi Hukum Internasional dalam sidangnya yang ke 18 tahun 1966 menolak teori yang tersirat tentang adanya klausula rebus sic stantibus itu, dan lebih suka mendasarkan pada doktrin perubahan keadaankeadaan yang fundamental dengan alasan persamaan derajad dan keadilan serta telah membuang kata-kata rebus sic stantibus, karena menimbulkan akibat-akibat tidak diinginkan (D.J. Harris, 1983: 624). Para penulis mengatakan yang ada bahwa di dalam itu sistem diadakan, hukum yang internasional diakui bahwa apabila timbul perubahan yang mendasar dalam kenyataan-kenyataan pada perjanjian mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perjanjian, maka keadaan yang demikian dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri perjanjian atau menarik diri dari perjanjian tersebut (Ian Brownlie, 1979: 617). Memang sebagian besar penulis hukum internasional mengakui adanya faktor perubahan keadaan yang mendasar dalam kaitannya dengan dasar sebagai alasan tidak terikatnya suatu negara pada perjanjian internasional.
Perkembangannya kemudian adalah bahwa dalam menerima keberadaan dan atau penggunakan doktrin rebus sic stantibus, para ahli hukum internasional menerima doktrin tersebut dengan suatu kecenderungan untuk membatasi ruang lingkupnya dan mengatur prosedur penggunaan alasan ini dengan saksama. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa adanya sikap yang demikian mengingat dalam sistem hukum internasional tidak dikenal yurisdiksi memaksa (compulsory yuris-diction), khususnya di pengadilan internasional (Mochtar Kusumaatmadja, 1982: 131).

Demikian juga apabila di dalam mendefinisikan klausula atau doktrin itu tidak hati-hati, maka mungkin dipakai dan sering kali dipakai hanya untuk membenarkan tindakan pelanggaran terhadap suatu kewajiban dalam perjanjian, yang dianggap berat oleh suatu negara untuk dipenuhi. Mieke Komar mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 62 ayat 1 Konvensi Wina 1969, jika terjadi perubahan yang mendasar, baru dapat digunakan sebagai dasar untuk menghentikan suatu perjanjian atau untuk menarik diri dari perjanjian apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan perjanjian. 2. Perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang fundamental bagi perjanjian tersebut. 3. Perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para pihak. 4. Keadaan yang berubah merupakan dasar yang penting atas mana diberikan persetujuan terikatnya (concent) negara peserta. 5. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas lingkup kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian itu (Mieke Komar, 1972: 40). Namun demikian tetap terdapat beberapa macam perjanjian tertentu tetap berlaku mengikat walaupun terpenuhinya doktrin rebus sic stantibus antara lain: 1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang telah berganti pemilik seperti, traktat-traktat yang menetapkan rezim perbatasan, servitude, atau quasi servitude, misalnya hak melintas, atau traktat-traktat netralisasi atau demiliterisasi wilayah terkait. 2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika, hakhak manusia dan hal-hal serupa, yang dimaksudkan untuk berlaku, meskipun ada perubahan-perubahan wilayah. Pendapat tersebut sesuai dan sejalan dengan Konvensi Wina tahun 1969 yang menentukan bahwa suatu perubahan keadaan keadaan yang mendasar yang telah terjadi terhadap keadaan12 keadaan yang telah ada pada saat pembuatan perjanjian, dan yang tidak terlihat oleh para pihak, tidak dapat dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian kecuali:

1. Keberadaan keadaan-keadaan itu merupakan suatu dasar esensial bagi persetujuan pihak-pihak untuk terikat pada perjanjian. 2. Pengaruh perubahan-perubahan itu adalah untuk mengubah secara radikal luasnya kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan menurut perjanjian itu. 3. Kemudian Pasal 62 ayat 1a, 1b dan ayat 2a Konvensi Wina 1969 menentukan bahwa suatu perubahan keadaan-keadaan yang mendasar tidak boleh dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian apabila perjanjian itu menetapkan perbatasan. Prinsip clean slate lebih senang dipakai dalam masalah susesi ini terutama bagi negara-negara baru hasil proses dekolonisasi, karena berdasarkan prinsip tersebut negara baru sama sekali tidak terikat pada perjanjian internasional yang dibuat oleh negara pendahulu (Mohd. Burhantsani, 1990: 62, Tien Saefullah, 1981: 15 - 16, Starke, 1989:
329).

Tetapi kelangsungan

dalam

praktek

tidak

mutlak baru

demikian,

sebab

untuk perlu

eksistensinya,

negara

yang

bersangkutan

mengadakan hubungan dengan negara lain lewat perjanjian internasional. Di samping itu perlu juga menghindari kesan bahwa negara baru tidak mau menghormati perjanjian internasional yang berkaitan dengan wilayah negara baru, yang dibuat oleh negara pendahulu. Karena alasan tersebut, maka sering dipergunakan prinsip pilihan bebas atau free choice. Dalam melakukan pilihan umumnya negara baru tidak mengabaikan kecenderungan masyarakat internasional dalam menentukan kelangsungan mengikatnya perjanjian internasional pada negara pengganti. Di samping itu negara baru dapat memberitahukan pemilahan (pick-and-choose) terhadap perjanjian-perjanjian yang sebelumnya berlaku (Shaw, 1986: 442-444, Starke, 1989: 329-330).

Suksesi terhadap sebagian wilayah negara, Pasal 15 Konvensi Wina tahun 1978 menentukan bahwa apabila terjadi suksesi negara sedemikian rupa, perjanjian yang dibuat oleh negara yang digantikan berhenti mengikat terhadap wilayah dimana terjadi suksesi, pada saat terjadinya suksesi itu. Dan perjanjian itu mulai berlaku bagi negara yang menggantikan pada saat suksesi negara itu terjadi, kecuali apabila nampak dari perjanjian itu, atau apabila ditetapkan bahwa diberlakukannya perjanjian itu di wilayah tersebut akan bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri, atau akan mengubah sama sekali keadaan untuk dapat dijalankannya perjanjian itu. Kemudian Pasal 16 mengatakan, pada pokoknya negara baru tidak terikat untuk tunduk atau untuk menjadi pihak pada suatu perjanjian, kecuali apabila perjanjian itu telah mengikat pada saat terjadinya suksesi negara. Pasal ini dapat pula ditafsirkan bahwa negara baru yang terbentuk dari hasil suksesi itu mempunyai kebebasan untuk memilih atau mengadakan pemilahan perjanjian perjanjian mana yang akan mengikatnya. Telah diketahui bahwa yang menjadi obyek penjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Zona Kerjasama adalah daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara. Dalam hal Timor Timur berdasarkan hasil jajak pendapat kemudian menjadi Negara baru, maka Timor Timur bukan lagi sebagai bagian wilayah Indonesia. Berdasarkan Hukum Internasional khususnya Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1978, berdirinya negara Timor Timur Merdeka merupakan salah satu bentuk suksesi negara. Berlakukah alasan untuk menerapkan doktrin rebus sic stantibus (fundamental change of circumstences). Hal itu berakibat bahwa Indonesia sudah tidak mempunyai kedaulatan lagi di Timor Timur. Akibat lebih jauh lagi adalah bahwa segala perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia berkaitan dengan Timor Timur akan tidak berlaku lagi atau setidaktidaknya akan ditinjau kembali. Termasuk di dalamnya adalah perjanjian mengenai Zona Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara, yang jelas-jelas obyek adalah daerah di Timor Timur.

IV. Kesimpulan 1. Secara de jure Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Zona Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Autralia Bagian Utara menjadi tidak berlaku atau tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat khususnya bagi Indonesia karena adanya doktrin rebus sic stantibus atau perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances) dalam bentuk suksesi wilayah negara. Secara de facto perjanjian tersebut akan ditinjau kembali secara bersama antara Indonesia, Australia dan Timor Timur. 2. Negara Timor Timur Merdeka tidak secara otomatis menggantikan posisi Indonesia dalam perjanjian tersebut karena beberapa alasan dan prinsip dasar Hukum Internasional.

V. DAFTAR PUSTAKA BROWNLIE IAN, Principles of Public International Law, ELBS & Oxford University Press, London, 1979. HARRIS D.J., Case and Materials on International Law, Sweet & Maxwell, London, 1983. KINDRED HUGH, International Law, Chiefly an Interpreted and Applied in Canada, Emond Mongovery Publication Ltd., Canada, 1987. MIEKE KOMAR KANTAATMADJA, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Mengenai Hukum Perjanjian Internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1972. MOCHTAR KUSUMAATMADJA, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1982. MOHD. BURHAN TSANI, Hukum Dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990. SHAW M.N., International Law, Grotius Publication Ltd., Cambridge, 1986. STARKE J.G., Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989.

TIEN SAEFULLAH, Suksesi Negara Sehubungan dengan Perjanjian Internasional, makalah, PPS UNPAD, Bandung, 1981. United Nations Vienna Convention on The Law of Treaties, 1969. United Nations Vienna Convention on Seccession of State In Respect of Treaties, 1978. ( http. // www.google.com//makalah hukum international )

You might also like