You are on page 1of 10

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% - 90% tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Hadidjaya, 1994). Menurut laporan Ismid. S. (1996) hasil penelitian pada murid Sekolah Dasar di daerah Jakarta Pusat ternyata prevalensi askariasis sebesar 66,67% dan trikuriasis 61,12% sedangkan infeksi campuran 45,56%.1 Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling sering ditemukan di negara-negara berkembang. Pawlowski (1984) mengumpulkan berbagai data dari berbagai negara berkembang di Asia. Afrika dan Amerika Latin, dan menempatkan kecacingan seperti infeksi cacing gelang pada tempat ketiga setelah penyakit diare dan tuberkulosis, infeksi cacing tambang pada tempat keempat dan infeksi cacing cambuk pada tempat ketujuh.2 Infeksi cacing usus ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing, tempat tinggal yang tidak saniter dan cara hidup tidak bersih merupakan masalah kesehatan masyarakat, di pedesaan dan di daerah kumuh perkotaan di Indonesia. Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan (Faust dan Russell, 1964).1 Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E,1993). 3 Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah (Soil Transmited Helminths). Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut Ascariasis. Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan

fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.3 Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otototot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal. Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).3 Prevalensi cacing usus pada murid SD-WGT-Taskin di Jakarta Utara 80% positif Ascaris lumbricoides, Jakarta Selatan 68% positif, Jakarta Barat sebanyak 75%, Jakarta Timur 58%. Dari ke lima wilayah tersebut yang terbanyak sampel tinja positif telur A.lumbricoides yaitu SD-WGT-Taskin wilayah Jakarta Barat dan wilayah Jakarta Utara. Kedua wilayah tersebut keadaan lingkungan sekolahnya termasuk daerah lingkungan yang kumuh dan padat penduduknya. Di empat wilayah penelitian ternyata murid yang positif kecacingan banyak ditemukan telur A. lumbricoides di atas 58%.1 Terjadinya kecacingan karena beberapa faktor, antara lain seperti kurangnya kebersihan perorangan atau lingkungan, dapat juga terjadi pencemaran tanah dari telur cacing. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Djarismawati (2007), menyatakan kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan juga sangat berperan dalam penularan kecacingan.1 Mahfudin dkk (1994), pernah melakukan penelitian dengan menggalakan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, dan sesudah buang air besar (BAB) ternyata dapat menurunkan infeksi cacing usus. Cara tersebut memang sesuai dengan salah satu cara pencegahan infeksi cacing usus, yaitu pendidikan kebersihan dan kesehatan perorangan yang sangat penting sebagai usaha memutuskan rantai penularan (WHO, 1997).1

1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan penulisan ini adalah : 1. Menurut Hadidya (1994), prevalensi kecacingan di Indonesia masih tinggi antara 60% - 90% tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan. 2. Menurut laporan Ismid. S. (1996) hasil penelitian pada murid Sekolah Dasar di daerah Jakarta Pusat ternyata prevalensi askariasis sebesar 66,67%. 3. Pawlowski (1984) mengumpulkan berbagai data dari berbagai negara berkembang di Asia. Afrika dan Amerika Latin, dan menempatkan kecacingan seperti infeksi cacing gelang pada tempat ketiga setelah penyakit diare dan tuberculosis. 4. Moersintowarti. (1992), dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi). 5. Hasil penelitian Mardiana (2008) mendapatkan prevalensi cacing usus pada murid SD-WGT-Taskin di Jakarta Utara 80% positif Ascaris lumbricoides, Jakarta Selatan 68% positif, Jakarta Barat sebanyak 75%, Jakarta Timur 58%. 6. Djarismawati (2007), menyatakan kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan juga sangat berperan dalam penularan kecacingan. 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dan penularan penyakit ascariasis. 2. Mengetahui cara pencegahan dan pemberantasan penyakit ascariasis dengan pendekatan kesehatan lingkungan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pendahuluan Ascaris lumbricoides cacing perut manusia termasuk Nemathelminthes. Ciri-ciri nemathelminthes antara lain sebagai berikut : Tubuh simetribilateral, bulat panjang (gilig) disebut cacing gilig Memiliki saluran pencernaan Dioceous (berumah dua) reproduksi seksual (jantan dan betina) Memiliki rongga badan palsu Triploblastik Pseudoselomata Kosmopolitan, ada yang parasit dan ada pula yang hidup bebas Cacing betina ukurannya lebih besar daripada cacing jantan dan dinding posterior cacing jantan terdapat kait yang digunakan untuk reproduksi seksual. Tubuhnya licin karena terselubungi lapisan kutikula yang terbuat dari protein. 4 Ascaris lumbricoides menyebabkan penyakit yang disebut Askariasis. Mereka hidup di rongga usus halus manusia. Berukuran 10-30 cm untuk cacing jantan dan 22-35 cm untuk cacing betina. Satu cacing betina Ascaris lumbricoides dapat berkembang biak dengan menghasilkan 200.000 telur setiap harinya. Telur cacing ini dapat termakan oleh manusia melalui makanan yang terkontaminasi. Telur ini akan menetas di usus, kemudian berkembang jadi larva menembus dinding usus, lalu masuk ke dalam paru-paru. Masuknya larva ke paru-paru manusia disebut terinfeksi sindroma loeffler. Setelah dewasa, Ascaris lumbricoides akan mendiami usus manusia dan menyerap makanandisana, disamping tumbuh dan berkembang biak. 4 Inilah yang menyebabkan seseorang menderita kurang gizi karena makanan yang masukdiserap terus oleh Ascaris lumbricoides. Di Indonesia, penderita Askariasis didominasi oleh anak-anak. Penyebab penyakit ini bisa karena kurangnya pemakaian jamban keluarga dan kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. 4

2.2 Siklus Hidup Siklus hidup parasit "Ascaris lumbricoides" dimulai dari cacing dewasa yang bertelur dalam usus halus dan telurnya keluar melalui tinja lewat anus (1), sehingga tahap ini disebut juga dengan fase diagnosis, dimana telurnya mudah ditemukan. Kemudian telur yang keluar bersama tinja akan berkembang di tanah tempat tinja tadi dikeluarkan (2) dan mengalami pematangan (3). Selanjutnya setelah telur matang di sebut fase infektif, yaitu tahap dimana telur mudah tertelan (4). Telur yang tertelan akan menetas di usus halus (5). Setelah menetas, larva akan berpindah ke dinding usus halus dan dibawa oleh pembuluh getah bening serta aliran darah ke paru-paru (6). Di dalam paru-paru, larva masuk ke dalam kantung udara (alveoli), naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan (7). Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Mulai dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (lihat gambar dibawah ini ) 4

2.3 Patologi klinik 5

Gejala klinis akan ditunjukkan pada stadium larva maupun dewasa. Pada stadium larva, Ascaris dapat menyebabkan gejala ringan di hati dan di paru-paru akan menyebabkan sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan kumpulan tanda seperti demam, sesak nafas, eosinofilia, dan pada foto Roentgen thoraks terlihat infiltrat yang akan hilang selama 3 minggu. 4 Pada stadium dewasa, di usus cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak nafsu makan, muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual. Bila cacing masuk ke saluran empedu makan dapat menyebabkan kolik atau ikterus. Bila cacing dewasa kemudian masuk menembus peritoneum badan atau abdomen maka dapat menyebabkan akut abdomen. 4 2.4 Gejala Klinis Gejala bisa timbul sebagai akibat berpindahnya lara melalui paru-paru dan akibat adanya cacing dewasa di dalam usus. Perpindahan larva melalui paru-paru bisa menyebabkan demam, batuk dan bunyi nafas mengi (bengek). 4 Infeksi usus yang berat bisa menyebabkan kram perut dan kadang penyumbatan usus. Penyerapan zat makanan yang buruk bisa terjadi akibat banyaknya cacing di dalam usus. Cacing dewasa kadang menyumbat usus buntu, saluran empedu atau saluran pankreas 4 2.5 Diagnosis Infeksi oleh cacing dewasa biasanya didiagnosis berdasarkan adanya telur didalam contoh tinja. Kadang di dalam tinja atau muntahan penderita ditemukan cacing dewasa dan di dalam dahak ditemukan larva. Jumlah eosinofil di dalam darah bisa meningkat. Tanda-tanda adanya perpindahan parasit bisa terlihat pada foto rontgen dada.4

BAB III
6

PEMBAHASAN
3.1 Pencegahan Pencegahan dan Upaya Penanggulangan berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya untuk pencegahan dapatdilakukan langkah sebagai berikut : Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti : Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. Khusus pada daerah endemik atau rentan, Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut : 1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah yang rawanterhadap penyakit askariasis. 2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan. 3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing misalnya memakai jamban/WC. 4. Makan makanan yang dimasak saja. 5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk.

3.2 Pemberantasan

Pengobatan askariasis dapat digunakan obat-obat sepreti pirantel pamoat, mebendazol, albendazol, piperasin. Mebendazole (Vermox) (C16H13N3O2). Memperlambat pergerakan/perpindahan dan kematian cacing dengan memilih secara selektif serta menghalangi pengambilan glukosa dan bahan gizi lainnya dalam usus orang dewasa dimana cacing tersebut tinggal. Dosis 100 mg tiap 12 jam untuk 3 hari. Mebendazol tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena bisa membahayakan janin yang dikandungnya. Piperazine (C4H10N2.C6H10O4). Efek melumpuhkan cacing, jika digunakan akan membuat cacing dengan sendirinya pingsan didalam tinja dosis 75 mg/kg max 3.5g). Pyrantel pamoate (Antiminth, Pin-Rid, Pin-X) (C11H14N2S.C23H16O6) Menyebabkan kelumpuhan kejang pada cacing. Dengan dosis 11 mg/kg dan tidak melebihi 1 g. Albendazole (C12H15N3O2S) Menyebabkan penghabisan energi, penghentian, dan akhirnya kematian. Dosis 400 m. dan tidak diberikan pada wanita hamil dan anak-anak dibawah 2 tahun. Thiabendazole. Menyebabkan migrasi cacing ke dalam kerongkongan, pada umumnya dikombinasikan dengan piperazine. Juga, obat golongan corticosteroids dapat mengobati gejala seperti peradangan, yang dapat ditimbulkan oleh cacing ini.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


8

Kebanyakan penderita ascariasis dapat sembuh dengan spontan walaupun tanpa pengobatan. Namun, komplikasi dapat disebabkan oleh cacing dewasa yang bergerak ke organ tertentu atau berkembangbiak berlebihan sehingga dapat menyumbat usus. Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik. Kesembuhan askariasis mencapai 70 hingga 99%. 4.1 Kesimpulan Cacing ascaris merupakan cacing kosmopolit yang tersebar di seluruh dunia. Cacing dapat menyerang anak-anak sampai orang dewasa. Perantaraannya lewat tanah yang mengandungn telur cacing ascaris. Pencagahan penyebaran cacing asacris adalah dengan menjaga hygiene keluarga dan hygiene pribadi. 4.2 Saran Sanitasi lingkungan dari masalah jamban dan perilaku buang air besar yang harus diperbaiki Mengingat korban terbanyak adalah anak-anak maka kebersihan anak-anak harus lebih diperhatikan Mengadakan penyuluhan tentang bahayanya cacingan dan pencegahannya

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardiana, Djarismawati. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2 Agustus 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpada Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Diunduh dari http://www.docstoc.com/docs/25262479 2. Pawlowski, ZS, Ga, Sehad, GJ, Stott, 1991. Hookworm Infection and Anaemia. Approaches to Prevention and Control. WHO. Geneva. 3. Drh. Rasmaliah, M.Kes Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3749/1/fkmrasmaliah.pdf. 4. Indonesia Public Health Corner, Free Environmental Sanitation, Behaviour And Health Service Guide. The Real Public Health Information http://helpingpeopleideas.com/publichealth/index.php/2009/06/ascarislumbricoides/ 5. Prof. Dr. Srisasi Gandahusada, Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga, 2004, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.

10

You might also like