You are on page 1of 14

PENYAKIT AKIBAT KERJA 1. Pendahuluan Undang-undang No.

23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 tentang Kesehatan Kerja menyatakan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja. Perlindungan utamanya ditujukan pada Penyakit Akibat Kerja/Akibat Hubungan Kerja dan Kecelakaan Akibat Kerja.1 Perkembangan industri mengubah pola penyakit yang ada di masyarakat khususnya bagi pekerja. Pekerja menghabiskan sepertiga waktunya tiap hari di tempat kerja dimana lingkungan kerja berbeda dengan lingkungan sehari-hari. Pajanan dan proses kerja menyebabkan gangguan kesehatan.2 Data International Labour Organization (ILO) tahun 2003 didapatkan setiap hari 6000 orang meninggal karena pekerjaan, 1 orang tiap 15 detik dan 2,2 juta per tahun akibat penyakit atau kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan. Jumlah pria yang meninggal dua kali lebih banyak daripada wanita. Indonesia menduduki peringkat ke-26 dari 27 negara. Data di Indonesia jumlah pekerja berdasarkan Biro Pusat Statistik tahun 2000 adalah 95 juta orang, 50% bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, 7080% angkatan kerja bergerak di sektor informal. Pekerja di sektor itu umumnya bekerja dalam lingkungan kerja yang kurang baik, manajemen kurang terorganisasi, perlindungan kerja tidak optimal, dan tingkat kesejahteraan yang kurang. Populasi pekerja terus meningkat. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2004, jumlah tenaga kerja di Indonesia kini lebih dari 142 juta jiwa.1 Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah perusahaan besar yang belum menerapkan K3 sebesar 14.726 buah (98%), yang sudah menerapkan sebesar 317 buah (2%). Jumlah kasus kecelakaan ringan 45.234 kasus (87%), cacat sebagian 5.400 kasus (10%), cacat total 317 kasus (1%) dan kematian 1.049 kasus (2%).2 Makalah ini menyajikan penyakit akibat kerja dan beberapa cara penegakan diagnosis dan penilaian cacat penyakit akibat kerja. Kondisi penyakit akibat kerja saat ini menyangkut beberapa hal antara lain adalah sejauh mana penyakit akibat kerja telah

diatur

dalam

ketentuan

perundang-undangan,

bagaimana

sosialisasi

dan

juga

pemberlakuan ketentuan dimaksud, apa saja informasi tentang data penyakit akibat kerja, seperti apa kepatuhan pengusaha untuk melaporkan penyakit akibat kerja, apa yang telah terjadi pada profesi dunia kedokteran yang berkaitan dengan penyakit akibat kerja, apakah telah cukup baik koordinasi antara pengawasan dan penelitian dalam mengatasi persoalan penyakit akibat kerja, dan sebagainya.3 2. Definisi dan Istilah Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (pasal 1, peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.01/MEN/1981) tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja. Definisi yang digunakan dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEPTS.333/MEN/1989 tentang Pelaporan Penyakit Akibat Kerja merujuk pada ketentuan Permen Nakertrans No.PER.01/MEN/1981.3 Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Pasal 1, Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja (Keppres No.22 Tahun 1993).3 Terdapat 3 istilah untuk suatu kelompok penyakit yang sama yaitu penyakit yang timbul karena hubungan kerja, penyakit yang disebabkan karena pekerjaan atau lingkungan kerja dan penyakit akibat kerja. Ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama dan masing-masing memiliki dasar hukum perundang-undangan yang menjadi landasannya.3 3. Kondisi yang Berhubungan dengan Penyakit Akibat Kerja Kondisi yang berhubungan dengan penyakit akibat kerja antara lain: 3 a. Peraturan perundang-undangan mengenai penyakit akibat kerja telah cukup banyak. Ketentuan tersebut terdapat dalam undang-undang yang mengatur keselamatan kerja dan undang-undang yang mengatur jaminan sosial tenaga kerja beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Substansi yang diatur mencakup hal-hal mendasar seperti pengertian penyakit akibat kerja, cara diagnosis serta penggolongan penyakit dan ketentuan-ketentuan yang 2

dengan tegas wajib dilaksanakan yaitu kewajiban melapor penyakit akibat kerja, jaminan sosial terhadap penyakit dimaksud, sanksi-sanksi, dan lainlain. Masalah yang dihadapi adalah kepatuhan melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. b. Upaya sosialisasi telah sering dilakukan, berbagai upaya penyuluhan dan pendidikan telah dilakukan. Upaya ini masih terbatas dan hasilnya tidak serta merta menjadikan perusahaan, pengusaha dan pekerja sepenuhnya patuh kepada ketentuan yang berlaku. Program sosialisasi bukan aktivitas sesaat melainkan harus terus dilaksanakan secara berkelanjutan. Masih banyak institusi yang bisa berpartisipasi dalam program sosialisasi serta demikian pula aneka media masih terbuka luas guna dimanfaatkan. Dari semua potensi dapat dipilih cara yang lebih efektif agar diraih hasil upaya yang sebaik-baiknya. c. Data mengenai penyakit akibat kerja yang bersumber kepada aktivitas pengawasan dan juga pelaksanaan jaminan sosial terhadap penyakit akibat kerja sebagai suatu aspek dari jaminan kecelakaan kerja relatif sangat minim. Pertahun tercatat sekitar 100.000 kecelakaan kerja, angka kecelakaan ini pada umumnya terus meningkat, korban meninggal sebagai akibat kecelakaan kerja pertahunnya berkisar antara 1500 sampai 2000 orang. Data penyakit kerja relatif sangat minim yaitu kurang dari 1% dari jumlah kasus kasus kecelakaan kerja. Hal ini berbeda dengan temuan penelitian yang menunjukkan angka sakit dan keparahan yang jauh berbeda dengan data statistik operasional. d. Profesi kedokteran kerja adalah dengan kompetensi khusus terhadap penyakit akibat kerja, yaitu okupasi. Kedokteran okupasi memiliki kolegium yang mempunyai mengatur kedokteran okupasi. e. Penyakit akibat kerja masih sangat jarang dilaporkan karena keengganan pihak perusahaan atau pengurus perusahaan untuk melaporkannya. Perusahaan juga kuatir akan konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi apabila yang bersangkutan melaporkan penyakit akibat kerja yang dialami oleh tenaga kerja atau pekerja di perusahaan tersebut.

f.

Perlunya koordinasi antara otoritas pengawasan yang menjalankan penegakan hukum (law enforcement) dan institusi atau organisasi yang melakukan fungsi-fungsi pelayanan, penyuluhan, pelatihan, pendidikan dan penelitian sehubungan dengan penyakit akibat kerja.

Agar pencegahan terhadap penyakit akibat kerja dan semua ketentuan yang berlaku bagi penyakit akibat kerja dapat diselenggarakan dengan baik serta penyelenggaraan jaminan kecelakaan kerja yang berkaitan dengan penyakit yang disebabkan karena pekerjaan atau lingkungan kerja dapat terlaksana dengan baik pula, perlu terwujud kesepahaman dan pemahaman secara benar mengenai pengertian penyakit akibat kerja, metoda diagnosis penyakit yang disebabkan karena pekerjaan atau lingkungan kerja, jenis penyakit akibat kerja, deteksi dini terhadap penyakit dimaksud, pencegahan serta penatalaksanaannya. Selain itu sangat penting peranan koordinasi yang sebaik-baiknya diantara unsur pengawasan dan penelitian yang bersangkutan. Di atas segalanya pendekatan inovatif dari semua pihak terkait dituntut untuk meningkatkan perannya dalam upaya promotif, preventif, kuratif,dan rehabilitatif medis terhadap penyakit akibat kerja serta juga dalam upaya sehubungan dengan pelaksanaan jaminan kecelakaan kerja yang penyakit akibat kerja termasuk dalam cakupannya.3 Upaya sosialisasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit akibat kerja kepada semua pihak yang bersangkutan dan juga menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tentang penyakit aibat kerja terutama bagi dokter pemeriksa atau dokter yang merawat tenaga kerja yang terkena penyakit akibat kerja, dokter penasehat dan pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan syarat mutlak guna mencapai sukses penanganan penyakit akibat kerja. Juga sangat penting masuknya penyakit akibat kerja dalam pendidikan dokter dan berkembangnya profesi kedokteranyang secara khusus berfokus kepada efek pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap kesehatan. Peran penelitian atau survei lapangan merupakan pintu masuk bagi diketahuinya problema penyakit akibat kerja yang sebenar-benarnya, temuan yang dihasilkan oleh penelitian/survei perlu dimanfaatkan seefektif mungkin bagi penatalaksnaan penyakit akibat kerja.3 4. Faktor Penyebab

Faktor Penyebab terjadinya Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakaan Akibat Kerja antara lain faktor manusia (pekerja), jenis pekerjaan yang dilakukan dan proses kerja (bahan baku, peralatan kerja dan lingkungan tempat kerja).1 Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan: 4 a. Golongan fisik Contohnya: suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik. b. Golongan kimiawi Bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan dan kabut. c. Golongan biologis Bakteri, virus atau jamur d. Golongan fisiologis Biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja e. Golongan psikososial Lingkungan kerja yang mengakibatkan stress. 5. Penggolongan Penyakit Akibat Kerja Penggolongan Penyakit Akibat Kerja menurut Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 diatur menurut jenis Penyakit Akibat Kerja. Secara teoritis penggolongan Penyakit Akibat Kerja dapat pula dibuat atas dasar faktor penyebab yaitu faktor fisik, biologis, fisiologis/ergonomis dan mental psikologis.1 Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1993 tentang penyakit yang timbul akibat hubungan kerja:1,3 1. Pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentuk jaringan parut (silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan siliko tuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian. 2. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronchopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras. 3. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronchopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, hennep dan sisal (bissinosis).

4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5. Alvolitis allergika yang disebabkan faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu organik. 6. Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun. 7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun. 8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun. 9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun. 10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun. 11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun. 12. Penyakit yang disebabkan oleh air raksa atau persenyawaannya yang beracun. 13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun. 14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun. 15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida. 16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aromatik yang beracun. 17. Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun. 18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena atau homolognya yang beracun. 19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya. 20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol dan keton. 21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel. 22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan. 23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat tulang, persendian, pembuluh darah tepi atau saraf tepi). 24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih. 25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi mengion. 26. Penyakit yang disebabkan oleh penyebab-penyebab fisik, kimiawi atau biologis.

27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, inyak mineral, antrasena atau persenyawaan produk atau residu dari zat tersebut. 28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes. 29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki resiko kontaminasi khusus. 30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau kelembaban udara tinggi. 31. Penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lainnya termasuk bahan obat. 6. Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman: 4 a. Tentukan diagnosis klinisnya Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinis ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau tidak. b. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup: Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh Lama menekuni pekerjaan tersebut Bahan yang diproduksi Materi (bahan baku) yang digunakan penderita secara kronologis

Jumlah pajanannya Pemakaian alat perlindungan diri Pola waktu terjadinya gejala Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan

gejala serupa) (Material Safety Data Sheet/MSDS), label, dan sebagainya. c. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut. Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya). d. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat kerja. e. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi. Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan atau lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.

f. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit.

Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab-penyakit. Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja. g. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya. Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah.

Gambar 1. Penggunaan Alat Pelindung Diri untuk mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja

6.1 Pedoman Diagnosis Penyakit Akibat Kerja di Bidang Penyakit Kulit 9

Batasannya adalah penyakit kulit akibat kerja ialah setiap penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja yang berupa faktor resiko mekanik, fisik, kimia, biologik dan psikologik.5 Dapat berupa:5 Dermatitis kontak Dermatitis kontak foto Acne Infeksi kulit (bakteri, jamur, virus, parasit) Neoplasma kulit Kelainan pigmentasi kulit Cara penegakan diagnosis adalah setelah identifikasi dan penilaian potential hazards di tempat kerja, maka data pemeriksaan penderita dapat dievaluasi kemungkinannya berupa akibat kerja.6 a. Anamnesis 6 Keluhan Riwayat pekerjaan (dahulu dan sekarang) Riwayat penyakit keluarga Riwayat perjalanan penyakit b. Pemeriksaan fisik 6 Inspeksi Palpasi Pemeriksaan dengan kaca pembesar c. Pemeriksaan Penunjang 6 - Pemerikasaan Laboratorium Pemeriksaan KOH 20% Test serologis untuk sifilis Kelainan kulit karena Human Immunodeficiency (HIV) - Pemeriksaan dengan lampu Wood Untuk hipo atau hiperpigmentasi kulit tanpa peradangan Untuk pemeriksaan psoriasis versicolor - Histopatologi

10

Khususnya untuk neoplasma kulit - Uji tempel Uji tempel terbuka Uji tempel tertutup Penilaian cacat bidang penyakit kulit sulit diperhitungkan terhadap penurunan kemampuan kerja dan tidak tercakup dalam lampiran PP No.14 tahun 1993.6 6.2 Pedoman Diagnosis Penyakit Akibat Kerja di Bidang Neurologi Kelainan dapat berupa : 6 Kelainan motorik Kelainan sensibilitas Kelainan otonom a. Anamnesis b. Pemeriksaan Fisik : Umum dan Neurologik c. Pemeriksaan Penunjang - Lumbal punksi/ CSF - Electroencefalography (EEG) - Electromiography (EMG) - Photo Roentgen - Computerize Tomography (CT) Scan kepala Cara Penilaian cacat adalah: 6 a. Saraf Motorik Kelumpuhan (plegia) dan kelemahan (parese) Uraian cacat: Jelaskan kelumpuhan atau kelemahan Jelaskan batas anatomik Jelaskan % fungsi yang hilang Metode menentukan tingkat cacat

Cara penegakan diagnosis: 6

11

Dilakukan dengan metode manual muscle test (MMT) terdiri dari derajat 0 5. Penilaian tingkat cacat adalah bila kelumpuhan sama dengan amputasi (MMT=0, berarti kehilangan fungsi 100%). Kelumpuhan dengan tidak ada kekakuan sendi penilaiannya adalah sebagai berikut: MMT1 berarti kehilangan fungsi 80% MMT2 berarti kehilangan fungsi 60% MMT3 berarti kehilangan fungsi 40% MMT4 berarti kehilangan fungsi 20% MMT5 berarti kehilangan fungsi 0%

Penentuan ganti rugi mengacu pada lampiran PP No.14 tahun 1993 b. Saraf Otonom Berkeringat Gangguan total 100% Gangguan tidak total 50% Tidak ada gangguan 0% Miksi/Defekasi Gangguan total 100% Gangguan tidak total 50% Tidak ada gangguan 0% Gangguan Libido Yang belum punya anak 40% Yang sudah punya anak 20% Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi neurologik 100% sama dengan 70% dari upah sehari.6 7. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkungan kerja ditempuh tiga langkah utama ( World Health Organization (WHO), 1997) yakni :5 a. Pengenalan lingkungan kerja

12

Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal (walk through inspection), dan ini merupakan langkah dasar yang pertama-tama dilakukan dalam upaya kesehatan kerja. b. Evaluasi lingkungan kerja Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul, sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan. c. Pengendalian lingkungan kerja Pengendalian lingkungan kerja dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap agen berbahaya di lingkungan kerja .Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi hanya dapat dicapai dengan teknologi pengendalian yang memadai untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para pekerja.

13

DAFTAR PUSTAKA 1. Markkanen PK. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. Manila: International Labour Organization, 2004. 2. Handayani. Occupational Health and Safety. Pekanbaru: Universitas Riau, 2008. 3. Suma,mur. Penyakit Akibat Kerja, Kondisi Saat Ini dan Penggolongannya serta Sistem Pelaporannya. 4. Sulistoma A. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan Sistem Rujukan. Maj Cermin Kedokt Indo No. 136, 2002. 5. Aremania 6. Aryawan HF. Mengenal Penyakit Akibat Kerja. http:// hanscoy.blogspot.com/2009_04_01_archive.html. [Diakses tanggal 24 Juni 2009]. Wichaksana. Penyakit Akibat Kerja di Rumah Sakit dan

Pencegahannya. Maj Cermin Kedokt Indo No. 136, 2002.

14

You might also like