You are on page 1of 8

Oleh : H. Kliwon Suyoto Kepada anak didik, guru selalu menganjurkan untuk tampil bersih.

"Bersih itu pangkal kesehatan", pesan mereka. Juga dianjurkan agar murid membuang sampah pada tempatnya, yang tentu berkaitan dengan aspek kebersihan. Tetapi, apakah anjuran guru tersebut melekat pada diri seorang anak didik ? Apakah anak didik yang kemudian beranjak dewasa, bahkan menjadi kepala keluarga peduli dengan arti pentingnya pesan tersebut ? Ini tentu tidak lepas dari kultur lingkungan keluarga. Bagaimana kebersihan di lingkungan keluarga kita kondisikan ? Sudahkan kita memiliki budaya yang adaptif dengan lingkungan?, mengelola sampah dengan baik ? Jawaban pertanyaan tadi penting artinya bila dikaitkan dengan kondisi lingkungan kita yang semakin terancam dengan kerusakan. Setelah di pedalaman hutan dibabat habis, gundul dan rawan banjir serta tanah longsor. Di kota pun seolah tak mau ketinggalan, hujan sedikit saja dapat menimbulkan genangan air di jalanan. Sebab, sejumlah got saluran air tersumbat oleh sampah non-organik, yaitu plastik bekas kemasan aneka minuman dan makanan yang dibuang sembarangan. Sementara kecenderungan kita sebagai masyarakat kota seolah tidak ramah lagi melihat permukaan tanah. Halaman rumah nyaris diplester habis, tidak menyisakan permukaan tanah untuk resapan air.

Selayaknya kita berterima kasih pada saudara kita yang nasibnya kurang beruntung. Menjadi pemulung, memilah-milah sampah di TPA (Tempat Pembuangan-sampahAkhir), sehingga problem sampah non-organik sedikit tertolong. Bayangkan, seandainnya para pemulung tidak ada, sampah plastik bekas kemasan aneka makanan dan minuman era kini menyumbat sejumlah got. Sistem drainase perkotaan tidak berfungsi. Hujan sedikit sekalipun bisa saja menimbulkan banjir, minimal genangan air yang potensial bagi pembiakan wabah penyakit, seperti nyamuk malaria serta berjangkitnya penyakit demam berdarah.

Sampah di sekitar kita ......... Pemko Medan belum mampu mengatasi sampah yang membukit di tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Kenyataan ini cukup menimbulkan keresahan, karena selain merusak pesona keindahan kota, tumpukan sampah yang berserak ke badan jalan juga menebar bau tak sedap. Demikian ditulis salah satu harian terbitan Medan, menyoroti sampah yang dibuang di TPS Jalan Pegadaian, yang tidak saja berasal dari Kelurahan Aur, tetapi juga dari kawasan lain. Fakta timbunan sampah di kota Medan ini konon tidak hanya di Jalan Pegadaian, juga di Jalan Mahkamah Kelurahan Masjid Kecamatan Medan Kota, TPS Pasar Petisah, TPS Jalan Pelangi Kelurahan Sei Mati, TPS Simpang Limun, TPS Sukaramai dan sejumlah TPS lainnya. Pihak dinas kebersihan kota Medan mengakui, pihaknya belakangan ini menghadapi kendala untuk segera mengangkut sampah karena keterbatasan sarana. Truk pengangkut sampah yang dibutuhkan tidak mencukupi jumlahnya. Selain itu, usia sebagian truk juga sudah lanjut, mencapai 16 tahun, sehingga perlu diimbangi dengan hari perawatan di bengkel.

Hal ini semakin meyakinkan, bahwa masalah sampah tidak dapat hanya berharap dari peranan pemerintah. Peran serta dan partisipasi masyarakat untuk ikut menanggulangi akan lebih menentukan. Apalagi produksi sampah sekota Medan mencapai 1.300 Ton/hari, sementara kemampuan angkut antara 800-900 ton Sampah/hari, sehingga ada saldo sampah 400-300 ton sampah/hari. Ha ha ... saldo kok sampah ....! Problem sampah ini diyakini tidak hanya di kota Medan sebagai ibukota Provinsi, tetapi hampir dipastikan juga dihadapi masyarakat di kota kecil. Apalagi kultur masyarakat kita saat ini yang cenderung kurang peduli terhadap sampah. Padahal, sebagai sesuatu yang nyaris sudah tidak berguna, sampah selain bisa memberikan manfaat juga bisa mengundang musibah. Sebaliknya, peduli terhadap sampah selain dapat menghilangkan kemungkinan musibah kita sekaligus bisa mendapatkan manfaat yang lebih besar darinya. Hj Dewi Budiati-salah seorang warga kota Medan-yang menggagas proses daur ulang sampah, terbukti berhasil sangat luar biasa. (Analisa, 7 Agustus 2008). Selain cara yang dilakukan Hj Dewi Budiati, penulis punya cara yang awalnya berasal dari salah satu Calon Walikota Bandung, Taufikurahman. Dengan alat pengebor tanah, dibuat lubang sedalam 30 - 50 cm berdiameter 15 Cm. Kedalam lubang tersebut dapat dijejalkan sampah limbah dapur, kemudian ditimbun bagian permukaannya. Luar biasa, satu lubang ternyata mampu menampung limbah tiga ikat kulit rambutan, yang dipastikan akan cepat didaur ulang menjadi hara tanah yang subur. Bayangkan kalau kulit rambutan dibuang setelah dibungkus plastik seperti yang sering kita lakukan selama ini. Produksi sampah perkotaan akan meningkat, perlu pengangkutan menuju ke TPA, perlu alat transportasi, perlu tenaga dan yang pasti menyedot anggaran APBD Pemerintahan Kota.

Dalam sehari cukup membuat 4 lubang dengan alat yang sangat sederhana. Semua sampah yang diproduksi dari keluarga dapat ditampung keempat lubang tadi, sehingga tidak perlu menimbun sampah, juga tidak perlu mengusung karung sampah mencari tempat pembuangan sampah, yang terkadang menimbulkan masalah baru. Betapa tidak, sampah terkadang dibuang di sisi rel kereta api, yang dengan pasti akan mengesalkan pekerja PT Kereta Api, karena selain potensial menimbulkan erosi tubuh jalan KA, juga menimbulkan bau yang tak sedap. Bahkan tidak jarang sampah dibuang di lahan kosong, yang pasti ada pemiliknya. Walaupun selama ini mungkin masih sah-sah saja, namun kita perlu empati, bagaimana kalau lahan kita dijadikan sebagai tempat membuang sampah? Alhamdulillah, berbekal alat yang penulis beli dari salah seorang anggota Tim Sukses calon Walikota Bandung-Kang Taufikurahman-kini rumah dan pekarangan bebas dari sampah. Dengan empat lubang yang penulis buat setiap pagi, selembar sampah, bahkan sepuntung rokok langsung diarahkan ke lubang tersebut. Esok paginya, sambil mempersiapkan empat lubang yang baru, empat lubang yang sudah penuh dengan sampah ditutup/ditimbun. Penulis yakin benar, cara ini juga akan berpengaruh pada terbukanya pori-pori bumi, air hujan mudah menyerap ke dalam tanah, sementara sampah yang membusuk kelak menjadi pupuk organik, yang pasti akan menyuburkan tanaman hias di pekarangan rumah.

Bisa Dihancurkan Manfaat bagi rumah tangga penulis, nyaris tidak ada lagi sampah dari aneka limbah dapur atau limbah apapun. Semua sampah yang tergolong organik, bisa dihancurkan dalam timbunan tanah, langsung masuk ke dalam lubang, kecuali sampah nonorganik seperti plastik bekas kemasan aneka makanan dan minuman. Tidak perlu

menyediakan tong sampah atau tempat pembuangan sampah secara khusus, yang terkadang juga dimanfaatkan orang lain, ikut membuang sampah di tempat yang kita sediakan.

Lingkungan rumah bebas dari aroma tak sedap, bebas dari lalat dan serangga lain yang berterbangan, bebas dari aroma tak sedap akibat simpanan sampah yang disimpan, bahkan pekarangan menjadi lebih bersih, karena sampah guguran dedaunan dapat langsung dimasukkan ke dalam lubang dan ditimbun.

Kalau saja semua rumah tangga berbuat seperti ini, rasanya kita tidak akan menemukan tumbunan sampah yang menantikan pihak Dinas Kebersihan Kota untuk mengangkutnya. Pemerintahan Kota tempat kita tinggal juga tidak perlu repotrepot menyediakan fasilitas transportsi kota, bisa mengurangi jumlah pegawai untuk urusan sampah, yang dapat dipastikan dapat mengalihkan alokasi APBD dinas Kebersihan Kota ke arah yang lebih prioritas. Misalnya, memperindah taman kota, menyediakan fasilitas olah raga masyarakat kota dan sebagainya. Kecuali sampah non-organik, yang harus kita kumpulkan secara khusus, yang kondisinya lebih bersih dan lebih manusiawi dikelola saudara kita yang berprofesi sebagai pemulung.

Sampah yang setiap hari kita kumpulkan selain membuka pori-pori bumi untuk resapan air, juga akan menjadikan tanah lebih subur. Sebab, sampah yang dipermentasi oleh tanah secara alami menjadi pupuk organik, bebas dari kandungan kimia, yang kalau pada lubang timbunan tanah tersebut ditanami dengan puhon buah-buahan dipastikan akan lebih lezat cita rasanya, bahkan lebih sehat kandungan gizinya. Khusus di perkotaan, pola pengelolaan sampah tadi juga akan mengurangi kemungkinan tersumbatnya got, sehingga sistem drainase dapat berfungsi

sebagaimana mestinya. Tidak seperti sekarang, hujan deras jalanan akan banjir, karena sejumlah got dipenuhi dengan sampah, baik sampah organik dan non organik.

Bisa jadi pembaca punya gagasan yang lebih besar dan lebih komersial untuk urusan sampah ini. Tetapi, sekecil apapun cara pengelolaan sampah yang penulis adopsi dari idenya salah satu calon Walikota Bandung pada Pilkada 10 Agustus 2008-Kang Taufikurahman-ini diyakini paling rasional dan paling realistis untuk dicoba. Biaya yang tidak terlalu mahal, tetapi manfaat yang kita hasilkan sangat besar. Tidak hanya untuk keluarga kita, juga untuk kepentingan warga masyarakat di sekitar tempat tinggal kita, bahkan potensial berkonstribusi pada Pemerintahan Kota. Oleh karena itu, mari kita mulai melakukannya, mengelola sampah dengan baik untuk kebaikan dan kesehatan kita, untuk keindahan dan kelestarian lingkungan kita bersama, untuk kemajuan kota dan negara kita. Semoga !!

Nama anggota :

CHINTIA DEWI

IIS NURAISYAH RATIH RAHMAWATI WINDA AGUSTIANA

You might also like