You are on page 1of 9

ASAL MASYARAKAT TANA TORAJA Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos

yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan tangga dari langit untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut. Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah orang yang berdiam di sebelah barat. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Sejarah Aluk

Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua. Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi dirura.Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi. Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi adalah pembawa aluk Sabda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna. Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Babana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja To Unnirui suke papa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerahsebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Tabi,

Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : To Unnirui suku dibonga, To unkandei kandean pindan, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial. Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial To unnirui suke dibonga, To ungkandei kandean pindan, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Biti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu, Parange menuju Buntao, Pasontik ke Pantilang, PoteMalla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Babana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Madandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle. Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo arti harfiahnya adalah Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masingmasing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Related Posts / Artikel Terkait : Agama


Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' OngonOngon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.[18] Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan

Kel

i l

Dalam masyarakat Toraja awal hubungan keluarga bertaliandekat dengan kelas sosial Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi dii inkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih [5] dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
[16] Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di t , sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut ). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekatt milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Kelu

Sebuah perkampungan suku Toraja Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam sukuToraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap t memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuathubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk [13] bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara



timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang. Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung. Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.[15]

Suku Mandar adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka. Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, struggle for survival), dan membangun kebudayaannya.

Melaut bagi suku Mandar merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membangun identitasnya. Mencari penghidupan di laut (sebagai nelayan) bukanlah pekerjaan sembarangan bagi orang Mandar. Mereka tahu betul bagaimana beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di laut. Oleh karenanya, benar apa yang dikatakan Chistian Pelras dalam bukunya yang berjudul Manusia Bugis (2006), bahwa orang-orang Mandar merupakan pelaut ulung. Mereka tidak akan bisa hilang dan tersesat di lautan. Interaksi masyarakat Mandar dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, yaitu: berlayar (paissangang asumombalang), kelautan (paissangang aposasiang), keperahuan (paissangang paalopiang), dan kegaiban (paissangang). Pengejawantahan dari pengetahuan tersebut di antaranya adalah: rumpon atau roppong dan Perahu Sandeq. Rumpon merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar. Perangkap ini terbuat dari rangkaian daun kelapa dan

rumput laut. Sedangkan Perahu Sandeq merupakan perahu layar bercadik yang khas Mandar, ramah lingkungan, dan tercepat di kawasan Austronesia. Perahu khas Mandar ini terbuat dari kayu, sehingga sekilas terkesan rapuh. Namun jika membaca sejarahnya, akan diketahui bahwa perahu yang terkesan rapuh itu mampu dengan lincah mengarungi lautan luas. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter, dan di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang. Untuk berlayar, perahu tradisional ini mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong Sandeq hingga berkecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kapal, dan bodi-bodi. Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para pembuat Sandeq dengan cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan, khususnya untuk mengejar kawanan ikan tuna yang sedang bermigrasi. Oleh karenanya, perahu yang dibuat harus bisa melaju cepat. Perahu ini juga digunakan para nelayan untuk memasang perangkap (rumpon) pada musim ikan terbang bertelur (motangnga). Suku Mandar adalah suku asli di Sulawesi Barat. Menurut situs "Joshua Project" suku Mandar berjumlah 253.000 jiwa. Suku Mandar juga berjiwa petualang hingga Ke kalimantan, sebagian besar suku Mandar bermukim di pulau Laut, Kabupaten Kota Baru. Rumah adat suku Mandar di sebut boyang. Upacara adat suku Mandar di Kecamatan Pulau Laut Selatan yaitu "mappando'esasi" (bermandikan air laut). Populasi suku Mandar di Propinsi Kalimantan Selatan : 29.322 (BPS sensus th. 2000) Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Mandar di Kalimantan Selatan berjumlah 29.322 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu : * 49 jiwa di kabupaten Tanah Laut * 29.123 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu) * 17 jiwa di kabupaten Banjar * 1 jiwa di kabupaten Tapin * 2 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan * 7 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah * 12 jiwa di kabupaten Tabalong * 105 jiwa di kota Banjarmasin * 6 jiwa di kota Banjarbaru Mandar dalam Perspektif Kesejarahan Kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu mandar yang berarti sungai dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga

sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang. Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti Cahaya; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti Kuat; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar. Demografi (Lokasi Lingk ngan Alam) Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu. Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di Sulawesi. Berdasrkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan PolewaliMamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi. Kota Mandar secara geografis tidak sebatas dengan wilayah keresidenan (Kabupaten) Polewali atau Majene, atau mungkin tidak sebatas kedua wilayah ini secara simultan, melainkan seluas wilayah yang diperjuangkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat (Provinsi Sulbar). Dengan kata lain, dalam konteks geografis dan bukan konteks kultural, istilah Mandar mencakup seluruh wilayah sulbar. Mungkin juga bisah diterima bahwa secara kultural dan terbatas, Mandar mencakup masyarakat Polewali, Majene, dan Mamuju. Jadi ada Mandar Polewali, ada Mandar Majene, dan ada Mandar Mamuju. Karena itu, Mandar, dalam Konteks Kultural, lebih sempit dari pada mandar dalam jangkauan makna geografis. Dalam konteks geografis, Provinsi Sulbar tidak hanya dihuni oleh masyarakat Mandar Polewali, Mandar Majene, dan masyarakat Mandar Mamuju, melainkan juga oleh masyarakat suku Toraja di Kabupaten Mamasa. Wilayah Mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 1o-3o Lintang Selatan dan antara 118o-119o Bujur Timur.

Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 Km2, terurai dengan :


y y y

Luas Kab.Mamuju dan Mamuju Utara : 11.622.40 Km2 Luas Kabupaten Majene : 1.932.00 Km2 Luas Kabupaten Polewali Mamasa : 9.985.00 Km2

Jadi luas Kabupaten Polewali sendiri : 9.985.00 Km2 Dikurangi luas Kabupaten Mamasa sekarang : Km2 Nilai B daya ata Kesenian Tanpa hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak seluruh hasil penelitian tentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat dilahirkan karya tulis yang memadai. Namun, dalam batas makala pengantar diskusi atau makala pemicu, catatan ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan untuk memancing hal hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan. Beberapa cabang seni Mandar dapat dikemukakan disini hanya semata-mata sebagai sample dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara turun-temurun. Masihkah masyarakat Mandar ingin menghiduokan kembali nilai-nilai utama, yang tetap relevan menembus saman dengan berbagai tantangan baru, sebelum di berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya, mustahil bisa diberdayakan. Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan. Lebih parah lagi budaya yang belum berdaya hendak di berdayakan oleh manusia yang tercabut dari akar budayanya sendiri atau oleh masyarakat yang kurang secara kultural. Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagulagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu Tengga Tengga Lopi dengan Baturate Maribulang. Tari-tarian mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat. Tari Patadu menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan mereka menari nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa ditemukan pada tari Pakarena di dalam seni tari Bugis-Makassar. Bahasa

Seperti suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa , etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya. Konon masih sama dengan etnis lainnya di Indonesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indonesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib dkk (1992), bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa. Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar. Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999). Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar. Sedang menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa utamanya etnis Jawa , yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring Str kt r Pemerintahan Selam dua tahun terakhir, sangat kencang terdengar tuntutan pemekaran Provinsi Sulsel menjadi sejumlah provinsi. Tuntutan awal yang sangat menonjol terhadap berdirinya provinsi baru dengan nama Provinsi Sulawesi Barat atau Provinsi Sulbar dicetuskan oleh masyarakat Mandar. Berdirinya Sulbar sebagai provinsi baru menuntut pemekaran kabupaten sebagai prerequisite yang harus dipenuhi sesuai dengan undang-undang. Karena itu, Kabupaten Polewali Mamasa dimekarkan menjadi Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa. Usul agar kabupaten diubah menjadi Kabupaten Mandar sebaiknya diubah menjadi KABUPATEN MANDAR POLEWALI karena kemungkinan masih akan ada Kabupaten (Mandar-)Majene, dan Kabupaten (Mandar-)Mamuju, sedangkan Kabupaten Mamasa tetap saja Kabupaten Mamasa tanpa embel-embel lain seperti Mandar karena mayoritas masyarakat

Mamasa termasuk masyarakat Toraja Barat. Bisa saja orang Mamasa yang ingin mengubah nama Kabupaten Mamasa menjadi Kabupaten Toraja Mamasa. Kata Toraja menunjukkan etnis budayanya, sedangkan Mamasa menunjukkan ikatan politik atau ikatan geografis yang menjadi tumpuan bagi institusi pemerintahan didalam wilayah Provinsi Sulbar yang akan dibangun. Karena itu, tak mengherankan bahwa para tokoh pendiri Provinsi Sulbar tidak menjadikan Sulbar Provinsi Mandar seakan-akan Provinsi Sulbar hanya khusus bagi masyarakat Mandar karena Kabupaten Mamasa adalah juga bagian tak terpisahkan dari Sulbar. Desentralisasi dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui adalah sebuah proses yang bertolak belakang dari sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah menguasai masyarakat nusantara yang maje muk yang hidup di berbagai kepulauan nusantara yang bertaaburan diatas samudra. Mayarakat nusantara mengalami perlakuan yang tidak adil. Jalan keluar dari ketidakadilan adalah desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah. Dengan kata lain, otoda adalah anak kandung dari usaha untuk memerangi ketidakadilan dan usaha untuk mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan otoriter yang membelenggu rakyat atau masyarakat nusantara. Bukan mustahil, lahirnya rencana Provinsi Sulbar adalah juga didasarkan pada reaksi politik terhadap ketidakadilan dan management pemerintahan daerah yang meniru -niru pusat. Kehadiran Provinsi Sulbar diharapkan dapat menjamin penegakan keadilan oleh pemerintah Provinsi (Sulbar) terhadap kabupaten-kabupaten hasil pemekaran. Kata kunci bagi pengembangan Provinsi Sulbar yang sudah lama ditunggu follow-up hukum/undang-undang dan politiknya adalah demokrasi, keadilan, dan kemajemukan. Demokrasi menuntut dihormatinya perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat dengan background multi-ethnic yang saling berbeda. Perbedaan itu akan hadir dan menjadi sesuatu kenyataan hidup yang mempesona jika nilai keadilan justru menjadi kekuatan yang menjamin kerukunan hidup bagi masyarakat yang pluralis.

You might also like