You are on page 1of 8

APAKAH NABI MUHAMMAD SAW SEORANG BUTA HURUF?

Oleh: Fordian (Forum Studi ALQuran) Bagi kaum muslimin, kenyataan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak berbeda dengan yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Jibril adalah suatu hal yang tidak terbantahkan. Dalam perjalanannya, tidak ada sedikit pun campur tangan manusia, sampai pun Nabi, baik berupa pengurangan atau pun penambahan. Hal tersebut karena ke'terjagaan' nya telah menjadi jaminan Tuhan (Q.,s. al-Hijr; 9) Berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya, yang pemeliharaannya dibebankan kepada para penganut masing-masing (Q.,s. al-M'idah; 55). Belakangan, dalam kajian sejarah naskah Alquran dari para sarjana Barat muncul berbagai pertanyaan yang bermuara pada gugatan terhadap keaslian Alquran. Salah satunya yang menjadi judul tulisan ini. Kenyataan Nabi Muhammad saw. bisa membaca dan menulis dapat menjadi alasan untuk memperkuat dugaan Alquran hanya buatan manusia. Dalam banyak kajian, unsur metafisis yang banyak melatar belakangi proses sejarah naskah Alquran sering dilupakan. Kritik sejarah semata-mata dilakukan berdasarkan analogi masa lalu yang sama sekali tidak pernah menjadi bagian sejarah mereka dengan masa kini yang sedang mereka lalui. Dari sini maka kebenaran semakin sulit ditemukan. Pertanyaan di atas sebenarnya telah lama muncul. Sebab, selain informasi-informasi dari masa awal yang kita terima sangat beragam, di dalam Alquran sendiri tidak diketemukan ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan itu. Yang ada hanyalah beberapa ayat yang sama-sama mengandung kemungkinan jawaban ya atau tidak. Ini terlihat, misalnya, pada idiom Alquran "ummiy". Dari penggunaan idiom inilah polemik berkepanjangan muncul. Tulisan singkat ini berusaha memberikan sketsa polemik dalam masalah tersebut di kalangan ulama islam dan sarjana Barat. Pandangan Ulama Islam Setidaknya ada tiga kecenderungan di kalangan ulama islam dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Pertama, beliau (Nabi Muhammad saw.) tidak bisa membaca dan menulis sama sekali. Pandangan ini dianut oleh sebagian besar kaum muslimin. Diturunkannya Alquran yang sangat indah dan serasi dari segi bahasa dan kandungannya kepada seseorang yang buta huruf merupakan karakter i'jaz yang sangat tinggi. Sisi kemukjizatannya menunjukkan bahwa ia benar-benar utusan Tuhan. Kedua, awalnya beliau buta huruf, tapi sebelum meninggal beliau telah dapat membaca dan menulis. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama islam seperti Abu Dzar Abdulah Ahmad El-Harawy, al-Sya'by, Abu l-Walid al-Bjy dan sebagainya.[ 1] Menurut mereka, kemahiran Nabi dalam membaca dan menulis tidak akan menafikan kemukjizatan Alquran, bahkan, justru akan menambah sisi kemukjizatan lain. Sebab itu semua diperoleh tanpa dipelajari. Ketiga, selama masa kenabian, Nabi telah mampu membaca dan menulis.[2] Menurut sebagian Ahl al-Bayt semoga Allah meridhai mereka setiap kali Nabi memandang sebuah tulisan, huruf-huruf tulisan tersebut berbunyi sesuai bacaannya.[3] Pendapat kedua dan ketiga agaknya sedikit berdekatan. Argumentasi yang digunakan tidak jauh berbeda.

Lebih jauh lagi kita coba melihat argumentasi masing-masing pendapat. Pendapat pertama didasari pada beberapa alasan, di antaranya, sifat ummiy yang disandangkan kepada Nabi saw. dan bangsa Arab, masyarakat tempat beliau diutus, di beberapa tempat dalam Alquran.[4] Paling tidak ada tiga pendapat mengenai akar kata ummiy ini. Pertama kata ummiy merupakan kata turunan dari kata ummah ('umat' atau 'bangsa'). Kedua, kata ummiy terambil dari Umm al-Qur (julukan kota Mekah, tempat Nabi lahir dan dibesarkan) dan ketiga, kata ummiy berasal dari akar kata umm ('ibu'). Pendapat pertama dan kedua dikemukakan oleh beberapa pakar bahasa seperti, alRghib al-Ashfahny (w. 502 H), al-Fayrzabdy (w.817 H) dan Ibnu Manzhr (w. 711 H).[5] Menurut mereka, bangsa Arab (al-ummah al'arabiyyah secara umum dan penduduk Umm al-Qur khususnya) ketika itu adalah bangsa atau umat yang belum bisa baca-tulis. Kalau pun ada hanya beberapa gelintir orang saja. Ini bisa dilihat dari pernyataan beberapa sejarawan terkemuka seperti al-Baldziry. Dalam bukunya Futh al-Buldn ia mengatakan, "ketika islam datang, di kalangan suku Qureisy hanya ada 17 orang yang bisa menulis." Mengomentari itu, Ibrahim Anis, mantan ketua Majma' alLughah al-'Arabiyyah Mesir, mengatakan, jika suku Qureisy yang sedemikian majunya dalam kegiatan bisnis dan mempunyai kekuasaan tinggi di kalangan bangsa Arab seperti itu keadaannya, sudah tentu yang lainnya tidak lebih baik.[6] Dalam Alquran ada sebuat ayat terpanjang berupa perintah mencatat setiap transaksi yang dilakukan. Di situ terdapat ungkapan walyaktub baynakum ktibun bil-'adl (Hendaknya di antara kalian ada yang mencatatnya secara jujur). Penyebutan ungkapan tersebut setelah perintah mencatat (faktubh) menunjukkan bahwa para penulis dan pencatat masih sangat sedikit sehingga harus dicari setiap kali akan ada transaksi.[7] Dari sini, maka diutusnya seorang rasul dari kalangan mereka yang juga tidak menguasai baca-tulis tetapi mampu menyampaikan wahyu Allah tanpa ada perubahan dan penyimpangan merupakan suatu mukjizat. Sebab pada umumnya, orator-orator bangsa Arab yang mengandalkan hafalan dalam orasinya hampir selalu terjebak pada penambahan atau pengurangan ketika menyampaikan orasi yang sama untuk kedua kali. Tidak demikian yang terjadi pada diri Nabi Muhammad saw. ketika menyampaikan wahyu Allah. Kedua pendapat di atas dikuti oleh kebanyakan penulis tafsir seperti, al-Zamakhsyary, al-Baydhwy, Abu al-Su'd dan sebagainya.[ 8] Pendapat ketiga didasarkan pada apa yang pernah dikatakan oleh al-Zajjj (w. 311 H/924 M), salah seorang bahasawan (lughawy, linguist) Arab terkemuka. Menurutnya, al-ummiy huwa al khilqat al-ummah, lam yata'allam al-kitb, fahuwa al jibillatihi (ummiy adalah orang yang kondisinya tetap seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, tidak bisa membaca dan menulis, karena belum mempelajarinya. [9] Kata ummiy dengan pengertian tidak bisa membaca dan menulis ini didukung oleh sebuah ayat Alquran, meski tidak tegas (akan dibahas kemudian), yang menyatakan; Dan kamu (hai Muhammad) tidak pernah membaca sebelum Alquran sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkarimu (Q.,s. al-'Ankabt; 48). Bahkan Nabi sendiri pernah mengatakan, Inn ummatun ummiyyatun, L naktubu wal nahsib (Kami adalah bangsa yang ummiy, tidak bisa menulis dan menghitung). [10] Secara sintaksis, ketiga pendapat itu bisa saja diterima, tetapi tidak demikian jika dilihat

dari segi makna. Kata ummiy kalau berasal dari kata umm memang bisa berarti orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Tetapi kalau kata ummiy itu berasal dari kata ummah atau Umm al-Qur, kita tidak dapat menemukan makna 'tidak bisa baca-tulis'. Dari sini, menurut Abdurrahman Badawi, seorang filosof Arab terkemuka, mereka yang berpendapat seperti itu sebenarnya hanya menipu diri sendiri. Sebab ketika Alquran turun, sebagian besar bangsa-bangsa yang ada saat itu keadaannya tidak jauh berbeda dengan bangsa Arab. Lalu mengapa hanya bangsa Arab yang disifati demikian? Rasanya juga tidak mungkin untuk mengatakan, tradisi tulis menulis di kalangan bangsa Arab sempit atau tidak ada. Ayat-ayat di mana terdapat kata ummiy (baik bentuk tunggal maupun jamak) semuanya pun tidak mengindikasikan demikian.[11] Keberatan Badawi ini sebelumnya pernah dikemukakan oleh beberapa ulama terdahulu seperti al-Sya'by, Abul Wald al-Bjiy. Dalam pandangan mereka, terlepas dari kapan mulai bisa, pada masa kenabian, Muhammad saw. dapat membaca dan menulis. Ada pun sebelum itu, agaknya mereka sepakat dengan pendapat pertama yang menyatakan beliau tidak bisa membaca dan menulis. Menurut mereka, ayat 48 surah al-'Ankabt di atas hanya menerangkan ketidakmampuan ada sebelum Alquran diturunkan. Penyebutan lafal min qablihi memberi kesan jelas bahwa Nabi bisa baca-tulis setelah Alquran turun dan ajaran islam telah dikenal. Dengan demikian, ungkapan nabi inna umatun ummiyyatun tidak berarti selamanya dan, semuanya, tidak mengerti baca-tulis. [ 12] Tetapi sekadar gambaran tentang kondisi Nabi dan bangsa Arab saat Alquran turun. Pendapat ini diperkuat oleh beberapa teks hadits. Ibnu Ab Syaybah, seorang ahli hadits, meriwayatkan, m mta al-Nabiyyu Shallallhu 'alaihi wasallama hatta kataba wa qara'a (Nabi saw. wafat dalam keadaan telah dapat membaca dan menulis). Dalam sebuah hadits lain, Ibnu Mjah, salah seorang perawi Shahh, meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa pada saat Isra Mi'raj Nabi melihat tulisan di pintu surga yang berbunyi, sedekah akan dibalas dengan sepuluh kali lipat pahala dan memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan dibalas dengan 18 kali lipat.[13] Al-Haytsamy dalam kitabnya Majma' al-Zaw'id mencurigai hadits ini mengandung kelemahan dari segi sanad.[14] Meski demikian, dalam beberapa versi penandatanganan perjanjian alHudaybiya pada 628 M, yang diriwayatkan oleh para perawi sahih [15] dikatakan bahwa Nabi saw. telah menulis dengan tangannya sendiri. Wakil-wakil orang Mekah dalam perjanjian itu menolak pencantuman kata-kata 'Raslullh' dalam pembukaan dokumen perjanjian, dan Nabi memerintahkan Ali RA untuk menggantikannya dengan kata-kata 'Muhammad Ibnu 'Abdillh'. Ketika Ali menolak melakukannya, Nabi mengambil dokumen tersebut dan mencoret sendiri kata-kata yang ditolak wakil-wakil Mekah. Dalam Syarh Shahih Muslim dijelaskan bahwa nabi menuliskan kata-kata penggantinya dengan tangannya sendiri. Orang boleh memahami kata-kata 'Nabi menulis' tidak berarti beliau sendiri yang melakukan, tetapi boleh jadi beliau hanya memberi perintah. Penggunaan majaz (metafora) seperti ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Tetapi alNawawi dengan mengutip pendapat al-Qdhi 'Iydh, seorang kritikus hadits, mengatakan pengalihan makna lahir kepada bentuk majaz di sini sangat tidak beralasan.[16] Seperti diketahui, sebuat teks, Alquran atau hadits, tidak bisa difahami secara majaz selama dapat dipahami bentuk lahirnya, kecuali ada tanda-tanda pendukung, baik ucapan atau keadaan (Qarnah Maqliyah aw Hliyyah). Beberapa ulama Andalusia dan lainnya menolak pendapat ini. Bahkan, al-Bjiy, salah

seorang penganut pendapat ini sempat dikecam dalam beberapa mimbar mesjid dan dinyatakan telah kafir.[17] Meski berbeda pendapat, para ulama islam sepakat, bisa atau tidak Nabi membaca dan menulis, kedua-duanya tetap menunjukkan mukjizat. Diturunkannya Alquran yang begitu indah dan menakjubkan kepada seorang buta huruf adalah pertanda ia adalah wahyu Tuhan, bukan buatan manusia. Demikian pula kebisaan Nabi dalam baca-tulis, setelah sebelumnya buta huruf, tanpa dipelajari adalah bentuk mukjizat lain. Apalagi jika benar apa yang dikatakan sebagian Ahl al-Bayt bahwa huruf-huruf tulisan itu berbunyi sendiri, memberitahukan isinya kepada Nabi. Pandangan Sarjana-Sarjana Barat Berbeda dengan ulama islam, kajian para sarjana Barat di sekitar masalah ini lebih didominasi oleh keinginan mencari celah kelemahan Alquran. Salah satu argumen utama mereka juga berasal dari pemakaian kata sifat ummiy. Springer, salah seorang orientalis Eropa, dalam bukunya Kehidupan dan Akidah Muhammad (1861, Berlin) mengatakan bahwa kata ummiy berarti watsaniy (paganis, penyembah patung). Pendapatnya ini didasarkan pada kenyataan bahwa saat Alquran diturunkan, bangsa Arab terbagi dalam dua kelompok; Ahl al-Kitb (yaitu penganut Yahudi dan Nasrani) dan penganut paganisme.[18] Dengan kata lain, ummiy adalah orang yang tidak memiliki kitab suci tertulis. Arti ini cocok dengan bentuk jamak kata tersebut yang terdapat di dalam Alquran (Q.,s.; 3:20, 75 ; 62:2): dalam dua ayat pertama (Q.,s. 3:20,75) ummiyyn dikaitkan dengan orang-orang Yahudi, tetapi dibedakan dari mereka; sementara dalam ayat terakhir (Q.,s. 62;2) Nabi Muhammad saw. disebut sebagai seorang utusan yang dibangkitkan di antara ummiyyn, salah seorang dari mereka. Seluruh kenyataan ini benar-benar memastikan bahwa ummiy bermakna "non Yahudi" atau "bukan orang Yahudi". [19]Dengan begitu, seperti dikatakan Horovitz dalam bukunya Koranische Untersuchungen, kata ummiy terambil dari ungkapan bahasa Ibrani Ummot ha olam; "masyarakat dunia", yaitu penganut paganisme yang telah dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.[20] Pengertian ummiy sebagai masyarakat dunia ini, menurut Weinsink sesuai dengan kata Goyim yang terdapat dalam kitab Kejadian (14:1). Di situ disebut, Tideal, raja Goyim, salah seorang dari empat raja yang berperang melawan Bera, raja Sodom, Birsya, raja Gomora, Syinab, raja Admo, Syemeber raja Zeboim dan raja negeri Bela, yakni negeri Zoar.[21] Arti seperti ini terkesan negatif. Maka seperti dikutip Badawi, Frants Buhl dalam bukunya Das Leben Mohammeds, mempertanyakan penggunan tersebut. Sungguh aneh jika Muhammad mengambil dari orang Yahudi kata yang mengandung arti hina dalam bahasa mereka.[22] Frants Buhl berpandangan bahwa Muhammad sebenarnya bisa membaca dan menulis. Tetapi kitab-kitab suci Yahudi dan Nasrani tidak dipahami oleh beliau. Pandangan ini menyiratkan bahwa Muhammad bukanlah seorang yang mengerti masalah-masalah agama. Pendapat Buhl ini, menurut Badawi, tidak kalah rancunya dengan pendapat Horovitz. Bagaimana mungkin Nabi saw. menyifati dirinya di hadapan Yahudi dan Nasrani sebagai seorang yang tidak mengerti agama.[23] Nallino, dalam artikelnya Makna Kosakata Alquran (1940), berpendapat bahwa kata ummiy terambil dari kata ummah 'arabiyyah. Nallino dengan demikian sependapat dengan beberapa ulama islam. Hanya saja pendapatnya itu menjadi tidak bisa diterima

ketika ia menghubungkan temuannya itu dengan rasisme, fanatisme dan nasionalisme. Dengan demikian, menurutnya, Nabi Muhammad saw. diutus hanya untuk bangsa Arab, seperti halnya Ms As diutus kepada bangsa Yahudi.[24] Padahal, universalitas ajaran nabi Muhammad saw. adalah suatu hal yang tak terbantahkan. Dari beberapa pengertian kata ummiy tidak sedikit pun menunjukkan ketidak bisaan membaca dan menulis. Walau pun orang-orang awam Mekah masih buta tulis menulis, namun bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa suatu bentuk tulisan telah dikenal di Arabia selama berabad-abad. Terdapat prasasti-prasasti dalam bahasa Arab Selatan yang bertanggal jauh sebelum era Kristen. Selain itu, Mekah adalah kota niaga yang menggantungkan eksistensinya pada perniagaan. Dalam hubungan dagang yang teratur dengan beberapa daerah di mana tulis-menulis sudah umum, tentu saja pedagang Mekah memerlukan beberapa catatan transaksinya. Dengan begitu dapat dipastikan kalau tulis-menulis cukup dikenal di sana. Beberapa bagian Alquran penuh dengan tamsil yang bernuansa niaga dan menyiratkan penyimpanan catatan-catatan tertulis. Misalnya, Hari pengadilan adalah hari penghisaban, ketika kitab-kitab dibuka, dan ketika setiap orang ditunjukan catatan-catatannya, atau akan diberikan catatannya untuk dibaca. Tamsilan-tamsilan ini tidak akan digunakan Alquran jika belum difahami orang-orang Mekah.[25] Dalam pandangan orientalis, hadits tentang kisah pengangkatan Nabi saw. menjadi rasul di mana dikabarkan bahwa ketika malaikat berkata kepadanya, "bacalah" (iqra') ia menjawab, "m aqra'u" atau "m ana biqri'in" yang berarti 'saya tidak (tidak bisa) membaca', dianggap tidak meyakinkan sebagai bukti Nabi saw. tidak bisa baca-tulis. Richard Bell dan W.M. Watt, misalnya, mengatakan versi hadits dengan redaksi m aqra'u seperti di atas adalah yang paling awal. Selanjutnya kata-kata m aqra'u diganti dengan m ana biqri'in. Makna asli yang sebenarnya, menurut mereka, adalah versi hadits di mana jawaban Nabi saw. berbentuk kata-kata "mdz aqra'u" yang bermakna "apa yang mesti saya baca?" Dengan demkian, tentu saja di sini tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa Nabi saw. tidak bisa baca-tulis.[ 26] Satu hal yang mengurangi nilai obyektifitas para sarjana Barat, mereka tidak menerima metode kritik yang dikembangkan oleh ulama islam. Metode mereka, seperti kata Arthur Jeffery, lebih banyak diadasari pada matan riwayat ketimbang sanadnya.[27] Sehingga dengan bebasnya mereka mencomot pendapat ulama terdahulu yang sesuai dengan keinginan mereka, tanpa membedakan antara yang shahih dan dha'f. Pemahaman hadits di atas dapat dijadikan contoh. Seperti diketahui, redaksi m ana biqri'in dalam hadits pengangkatan Nabi sebagai rasul diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.[28] Dengan demikian, redaksi ini adalah yang paling dapat dipertanggungjawabk an kesahihannya dari segi mata rantai (sanad) periwayatannya. Sementara redaksi mdz aqra'u yang mengesankan Nabi saw. bisa membaca sehingga perlu bertanya "apa yang mesti saya baca?" diriwayatkan oleh Ibnu Ishq dari Ubayd bin Umayr. Riwayat ini, menurut DR. Ibrahim Khalifah, ketua jurusan Tafsir alAzhar, terputus sanadnya pada sahabat, yang berarti mursal. Dengan begitu, selain bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, hadits ini tidak dapat dipertanggungjawabk an untuk menjadi landasan. Demikian pula redaksi "kayfa aqra'u" yang berarti "bagaimana saya membaca(nya) ?". Kalau pun dapat diterima, kata-kata tersebut tidak berarti bentuk tanya untuk mengetahui cara membaca. Tetapi lebih bermakna sebagai

ungkapan rasa ingkar dan heran; Bagaimana saya bisa membaca padahal saya seorang buta huruf yang tidak pernah membaca sesuatu apa pun.[29] Sampai di sini dapat disimpulkan, hampir semua orientalis Barat sepakat Nabi saw. bisa membaca dan menulis. Suatu hal yang tidak berbeda dengan pandangan sebagian ulama islam seperti dikemukakan di atas. Hanya saja, kesan ingin me'manusia'kan Alquran dalam arti Alquran buatan Muhammad saw. terungkap jelas dalam beberapa kajian mereka. Sekali Lagi tentang Kata Ummiy Kata ummiy, menurut Ibrahim Anis, termasuk kata-kata yang tidak dikenal sebelum islam datang. Tidak ditemukan teks-teks dari sastera Arab kuno (Adab Jhiliy) yang shahih dalam penggunan kata tersebut. Demikian pula bangsa Arab tidak pernah menggunakan derivasi kata tersebut. Apa pun asal kata itu, yang tampak dari penggunaan Alquran di beberapa tempat, kata tersebut tidak dimaksudkan untuk merendahkan orang yang disifatinya. Juga, tidak terkesan bahwa yang dimaksud ummiy (bentuk tunggal) atau ummiyyn (jamak) orang-orang yang tidak mengerti bacatulis. Al-Thabary dalam tafsirnya meriwayatkan dari Qatadah dan Ibnu Zeid bahwa sifat Ummiy bangsa Arab adalah karena mereka tidak memiliki kitab samawi yang dapat dibaca dan dianut.[30] Pendapat serupa juga pernah dikemukakan Ibnu Abbas, seorang tarjumn al-Qur'n, seperti disebutkan al-Qurthuby dalam tafsirnya.[31] Dengan demikian, mengaitkan sifat buta huruf yang disandangkan kepada Nabi saw. dan bangsa Arab dengan ayat-ayat di atas menjadi tidak relevan. Menurut Badawi, kata ummiy yang dipakai sebagai sifat untuk Nabi saw. diambil dari kata umam (bentuk plural dari kata ummah) yang berarti 'lamiy', 'universal', dan diutus untuk semua bangsa (umam). Dengan demikian, yang dimaksud dengan al-nabiy alummiy dalam al-A'rf; 157 dan 158 adalah nabi yang diutus untuk semua bangsa (umam) atau, mungkin lebih tepat, adalah nabi yang memiliki sifat-sifat universal. Sedangkan bentuk jamaknya, ummiyyn, berarti umat manusia dengan berbagai bangsa atau jenis. Makna ini akan tampak jelas dalam konteks keempat ayat yang mengandung kata itu. Di sini Badawi mengusulkan, agar dipelajari perkembangan kata tersebut dalam kurun waktu lima abad pertama hijriah. Sehingga akan kelihatan pergeseran maknanya menjadi 'seseorang yang tidak mengerti baca-tulis'. [32] Al-Biq'iy, seorang pakar tafsir, punya pandangan lain ketika menafsirkan al-nabiyy alummiy pada ayat 158 surah al-A'rf. Menurutnya, kata ummiy terambil dari al-amm (pakai hamzah berharakat fathah) yang berarti sesuatu yang dituju untuk diikuti. Ketika Nabi saw. dipandang menguasai ilmu dunia-akhirat dan berakhlak sempurna maka ia pantas menjadi tujuan semua orang untuk ditiru.[33] Secara sintaksis, perubahan fathah pada hamzah menjadi dhammah dibenarkan dalam penisbatan. Pendapat ini didukung oleh sebuah qir'at Imam Ya'qb, salah seorang qri' tujuh, al-ammiy.[34] Namun sayang, al-Biqa'iy gagal menerapkan makna ini pada kata ummiyyn (bentuk plural) ketika dinisbatkan pada Ahl al-Kitb seperti pada al-Baqarah; 78. Waakhran Meski para sahabat Nabi saw. tahu persis semua seluk beluk dan perilaku dalam kehidupan beliau, sampai yang terkecil pun, tampaknya tidak ditemukan keterangan yang sangat tegas tentang bisa tidaknya Nabi membaca dan menulis. Bagi mereka

tidak penting apakah Nabi melek huruf atau tidak. Sebab dilihat dari isinya, mereka yakin Alquran bukanlah buatan manusia. Pemakaian kata sifat ummiy dengan arti tidak memiliki kitab suci (non Ahl al-Kitb) tidak berarti menafikan karakter buta huruf. Boleh jadi karena pengaruh lingkungan yang belum banyak mengenal baca-tulis Nabi saw. adalah seorang buta huruf. Namun ada benarnya apa yang dikatakan Abd. Shabur Syahin, karena sering bergaul dengan bacaan dan tulisan, setelah diangkat menjadi Nabi, beliau sedikit banyaknya menjadi mengerti baca-tulis. Ini terbukti dari perhatiannya yang serius terhadap pemberantasan buta huruf di Medinah, di mana ia menjadikan tebusan para tawanan perang berupa pengajaran 10 anak kecil kaum muslimin.[35] Wallhu a'lam. ------------ --------- --------- --* Disampaikan pada Diskusi Mingguan Forum Studi Alquran (FORDIAN) Kairo, Ahad, 1 Oktober 2000, di Wisma Nusantara. ** Annggota Fordian yang sedang menempuh pendidikan Pascasarjana Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Universitas. Al-Azhar Kairo. [1] Syihabuddin al-Alsy, Rh al-Ma'ny, Dr El-Fikr, Beirut, 1994, hal 20/7, 9/116-117 [2] Ketiga pendapat di atas terekam dalam apa yang dikemukakan oleh Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr al-Muhth, 7/155. [3] Al-Alsy, op.cit. hal. 20/7 [4] Kata ummiy disebut dalam Alquran sebanyak enam kali; dua kali dalam bentuk tunggal (Q.,s. al-A'rf; 157, 158) dinisbatkan kepada Nabi, empat kali dalam bentuk jamak (plural) (Q., s. al-Baqarah; 79, Q.,s. Alu Imrn; 20, 75, Q.,s. al-Jumu'ah; 2) [5] Lihat al-Mufradt karya al-Rghib, 1/29, Bash'ir dzaw al-tamyz karya Fayrz, 2/159 dan Lisn al-'Arab karya Ibnu Manzhr, [6] Ibrahim Anis, DR. Dallat al-Alfzh, Maktabah Anglo, 1997, hal. 189 [7] Ibid, hal. 189 [8] Lihat misalnya, al-Kasyf karya Zamakhsyary, 4/96, Tafsir al-Baydhwy, 1/362, Tafsir Abu al-Su'd, 2/304 [9] Al-Zajjj, Ma'ny al-Qur'n wa i'rbuhu, Dr el-Hadits Kairo, Cet. I, 1994, hal. 2/381 [10] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahhnya, kitb al-shawm, bb Qawl al-nabiyy l naktub wa l nahsib (1814, 2/675), Imam Muslim dalam Shahihnya, kitb al-Shawm, bb wujb al-shawm li ru'yat al-hill .. (1080, 2/761), Imam Ahmad dalam Musnadnya, 5147, 2/2 [11] Abdurrahman Badawy, DR. Dif'un an al-Qur'n dhidd muntaqidh, al-Dr alAlamiyyah, hal. 13 [12] Al-Alsy, op.cit. hal. 20/7 [13] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan, bb al-Qrdh, No. 2431, 2/812 [14] Al-Haytsami, Majma' al-Zaw'id, 4/126 [15] Shahih Bukhari, kitb al-Maghzy, bb 'Umrat al-Qadh dan al-Hudaybiya, kitb alSyurth bb al-shulh fil jihd [16] Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 12/138 [17] Al-Qurthuby, al-Jmi' Li Ahkm al-Qur'n, hal. 13/325, al-Alusy, hal. 20/7 [18] A. Badawi, op.cit. hal. 14 [19] Richard Bell, Pengantar Studi Alquran , Edisi revisi W. Montgomery Watt, Edisi Indonesia Taufiq Adnan Amal, Rajawali Press, Jakarta, Cet. II, 1995, hal. 51 [20] Lihat Abd. Shabur Shahin, DR. Trkh al-Qur'n, Ma'had Dirasat Islamiyyah

Zamalek, hal. 113 Badawi, op.cit. hal.16 [21] Al-Kitab, Kitab Kejadian (14:1), Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 1975, hal. 20 [22] Badawi, op.cit. hal. 16 [23] Ibid, hal. 17 [24] Ibid, hal. 17 [25] Richard Bell, op.cit. hal. 48 [26] Ibid, hal. 53 [27] Arthur Jeffery, Pengantar Kitab al-Mashhif karya Ibnu Abi Dawud As-Sajastni hal. 4, dikutip dari Abd. Shabur Syahin, op.cit. hal. 7 [28] Lihat Shahih Bukhari, bb kayfa budi'al wahy dan tafsir surat iqra', Shahih Muslim, bb bad'il wahy ilannabiy. [29] Ibrahim Khalifah, DR. Minnatul Mannn f 'Ulm al-Qur'n, Fak. Ushuluddin alAzhar, hal. 2/292 [30] Ibrahim Anis, op.cit. hal. 187, 188 [31] Al-Qurthuby, op.cit. hal. 18/83 [32] Badawi, op.cit. hal 19 [33] Al-Biq'iy, Nazhm al-durar f tansub al-yt wassuwar, 3/136 [34] Al-Alusiy, op.cit. hal. 9/117 [35] Abd. Shabur Syahin, op. cit. hal. 118

You might also like