You are on page 1of 116

PERTANAHAN

[1]

BAB I PENDAHULUAN

Di negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni [2]

kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik. Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskinmemperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya. Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya.

[3]

BAB II KONFIK PERTANAHAN

Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah land hunger. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial. Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanahrakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukanpelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapisebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. [4]

Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk membebaskan tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum. Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik,seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat ideologis seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat local diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adapt dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan

[5]

marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya. Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak. Mengenai Negara sebagai pemilik semua tanah yang ada di Negara ini oleh beberapa sarjana telah dipertanyakan kebenaran teoritiknya yang mendasari konsep itu; salah satunya adalah Werteim, dalam bukunya: Evolution and Revolution: The Rising Waves of Emancipation (1974) menyatakan bahwa konsep itu berasal dari suatu interpretasi yang keliru dari Raffles perihal system pemilikan tanah di Indonesia, khususnya di Jawa. Raffles dengan salah menginterpretasikan bahwa raja adalah pemilik semua tanah yang ada di pulau Jawa. Konsep ini kemudian diadopsi oleh pemerintah colonial dan juga oleh pemerintahan kita setelah merdeka.masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan. Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan

[6]

secara paksa dengan kekerasan. 3. Perubahan Pola Konflik & Dampaknya Pada Masyarakat Adat Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang disebut dengan proyek pembangunan konsumtif untuk memenuhi kehidupan konsumstif kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan ini menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit land hunger dalam skala yang luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah pertanian potensial yang merupakan tulang punggung kelestarian program swasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan pembangunan proyek konsumtif dimaksud. Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai UndangUndang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang-undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang- Undang PokokKehutanan. Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan Untuk melindungi kepentingan sektoral, dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi kepentingan departemen/sektoral masingmasing. Penghuni hutan bisa dipindahkan (terkadang secara paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur masalah pemanfaatan tanah ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat

[7]

siapa sebenarnya yang menjadi administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional-kah atau Departemen-Departemen yang memiliki undangundang pokok tersebut? Begitu pula orang mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut masih berlaku ataukah sudah digantikan dengan UU Pokok Kehutanan yang lebih menonjol termasuk pengaturan hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah HPH. Bagaimana mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di negeri ini? Apa dasar hukum atas semua hal ini? Pertanyaan dan jawaban demikian seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah yang diakui oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan negara. Cukup banyak sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA tidak berlaku di kawasan hutan (wilayahnya 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh daratan Indonesia). Realitas pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar di negara hukum, apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria menyatakan bahwa pembatasan berlakunya UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang merupakan bagian dari paket hukum ekonomi liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis dibekukan dengan alasan yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. Alasan yang disampaikan pemerintahan Soeharto menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU Kehutanan adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum); (2) bahwa relasi UUPA UU Kehutanan memang betul merupakan UU yang lebih khusus tetapi UU ini tidak mengatur lebih jelas hal-hal yang berkaitan dengan status hak-hak atas tanah di dan UU Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola relasi

[8]

Agrarische Wet 1870 dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31168 jo. 134-163, yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai eigendom (milik) seseorang merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan (3) realitas politik Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya. Apapun alasannya, penguasaan tanah, terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan kebijakan primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah Orde Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih berlaku seperti UUPA.3 Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan yang sangat kuat dan berkuasa. Ironisnya kebijakan tersebut masih berlanjut sampai sekarang. Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum bagi rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan mereka. Pembatasan berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya koreksi atas sesat hukum yang telah terjadi selama ini dan pembenahan sistem hokum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara luas, termasuk di dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli. TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling bertentangan dan berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lainnya oleh department/instansi sektor haruslah dihentikan, karena pertentangan ini menciptakan kemiskinan dan penurunan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan ini harus direvisi, dicabut atau

[9]

diubah menggunakan pendekatan holistik. Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil. Selain itu, memahami karakter konflik agraria di Indonesia, maka prosesproses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan lembaga khsusu penyelesaian konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hokum formal dari tanah yang dikonflikkan. Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu. Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah: 1 2 3 memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas; menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan,

penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh prosesmasa lalu, dan 4 memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.

[10]

BAB III PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG JUAL BELI TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT

Jual beli hak atas atas tanah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, bahkan bagi golongan tertentu jual beli ini sering dilakukan. Penjual merupakan pemilik tanah yang sah atas tanah tersebut, jika jual beli tersebut dilakukan oleh pihak lain dengan surat kuasa dari penjual yang sah dengan itikad tidak baik maka dapat menyebabkan perbuatan hukum tersebut batal demi hukum. Pengertian jual beli dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela. Dalam transaksi jual beli tanah sering kali bangunan dan atau tanaman di atas tanah bersangkutan turut menjadi obyek jual beli, hal ini harus dipertegas sebelum transaksi yang dilakukan, apakah bangunan dan atau tanaman tersebut juga merupakan obyek jual beli atau tidak. Jika bangunan dan atau tanaman tidak disebutkan dalam obyek jual beli secara jelas dan tegas maka secara hukum bangunan dan atau tanaman tersebut tidak turut diperjual belikan, keadaan yang demikian ini karena dalam hukum pertanahan di Indonesia berlaku hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal yaitu bangunan dan atau tanaman bukan merupakan bagian dari tanah, dengan demikian hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi kepemilikan bangunan yang ada di atasnya. Jika hal ini tidak diperhatikan secara teliti dan seksama maka dapat menjadi konflik bagi masyarakat yang melaksanakan jual beli tersebut. Kebisaaan yang dilakukan masyarakat dalam jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan membayar sejumlah harga pada saat bersamaan dilakukan secara tunai dan terang. Tunai artinya ketika jual beli dilakukan, penjual menyerahkan tanah tersebut kepada pembeli dan penjual menerima pembayaran harganya dari pembeli dan pembeli menyerahkan selemba kwitansi sebagai bukti telah dilakukan pembayaran untuk selanjutnya pembuatan jual beli tersebut dianggap telah selesai. [11]

Terang artinya telah diserahkan fisik benda yang dibeli tersebut dalam hal ini adalah tanah. Perbuatan hukum ini adalah jual beli yang dimaksudkan dalam hukum adat. Namun demikian ada juga sebagian masyarakat melakukan jual beli di bawah tangan yaitu dengan cara hanya menggunakan selembar kwitansi sebagai bukti peralihan haknya, dimana pembeli menyerahkan sejumlah uang untuk pembayaran dan penjual menyerahkan kwitansi berikut alas hak atas tanah baik berupa SKT (Surat Keterangan Tanah) atau surat-surat lain yang menjadi dasar kepemilikan atas tanah tersebut kepada pihak pembeli untuk dikuasainya, hal ini dilakukan mereka antara lain adalah untuk menghindari biaya yang relatif besar dan prosedur yang berbelit-belit jika mereka harus melakukan transaksi jual beli atau pelepasan hak dihadapan pejabat yang berwenang akan tetapi ada juga masyarakat yang melakukan jual beli ini karena tidak mengetahui tentang prosedur jual beli atau pelepasan hak itu sendiri sehingga mereka menyamakan antara jual beli benda bergerak dengan benda tidak bergerak (tanah).

[12]

Seseorang yang melakukan jual beli tanah dengan cara sederhana hanya menggunakan kwitansi sebagai bukti pembayaran maupun sebagai bukti peralihannya adalah perbuatan hukum yang salah dan tidak mempunyai kekuatan hukum ketika kepentingan orang tersebut selaku pembeli terhadap pihak lain tidak terpenuhi, misalnya sebagai berikut: 1 Pihak pembeli yang terakhir mau melakukan jual beli lagi dengan atau Peralihan Hak Atas Tanah yang tentunya surat-surat dengan memperlihatkan surat-surat ini maka adalah satu-satunya surat yang pihak lain kemudian mereka pergi ke Kantor Camat untuk membuat Surat Pelepasan Hak aslinya diperlihatkan kepada pegawai Kantor Kecamatan untuk diperiksa dan diteliti secara seksama diketahuilah bahwa kwitansi tersebut

merupakan bukti bahwa jual beli telah tejadi maka hal ini tentunya menjadi hambatan bagi penjual dan pembeli untuk menindaklanjuti jual beli diantara mereka. a. Untuk mengatasi hal ini bisanya dilakukan penandatanganan ulang antara penjual dengan pembeli yaitu dengan menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi, setelah hal ini ditandatanganai maka surat ini dilegalisasi oleh Camat setelah hal ini selesai kemudian dibuatlah Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Rugi yang baru yaitu antara pembeli tersebut dengan pihak ketiga (pembeli terakhir), jika penjual telah meninggal dunia maka ahli warislah yang harus menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Rugi. b. Jika penjual tidak dijumpai lagi karena telah pindah atau tidak diketahui keberadaannya maka Camat akan mengeluarkan Surat Keterangan Tanah setelah berkordinasi dengan pihak kelurahan serta pernyataan-pernyataan dari pihak-pihak yang berkepentingan. 2 Kantor Untuk mendaftarkan tanah agar mendapatkan Sertipikat dari Pertanahan Medan. Pada saat melakukan pendaftaran tanah pada

Kantor Pertanahan maka semua surat tanah secara kronologis akan dilihat, diperiksa dan diteliti secara seksama jika ada surat-surat yang tidak lengkap

[13]

maka harus dilengkapi, kwitansi tersebut sebagai surat pengalihan hak tidak diterima oleh Kantor Pertanahan untuk melakukan pendaftaran, tentunya sipemohon segera kembali Kantor Lurah atau Camat untuk membuatkan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah mengenai tanah yang di perjual belikan tersebut. 3 Untuk memperoleh pinjaman uang di Bank, dalam prakteknya surat tanah tersebut dapat dijadikan jaminan saat meminjam uang, setelah permohonan diperiksa oleh pihak bank maka diketahui bahwa kwitansi sebagai dasar kepemilikan calon debitur tidak dapat diproses sebagaimana mestinya, maka calon debitur harus membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah oleh Camat. Jual beli dalam masyarakat awam intinya adalah bergantinya subyek kepemilikan yaitu antara pemilik lama dengan pemilik yang baru dengan adanya pembayaran sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati tanpa memperhatikan prosedur jual beli, aspek-aspek hukum maupun konsekuensinya di kemudian hari. Perlu ditegaskan jual beli yang dimaksudkan adalah sama dengan Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris maupun Camat, hal ini dikarenakan tanah tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu 4 Untuk mendaftarkan tanah agar mendapatkan Sertipikat. Pada saat melakukan pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan maka semua surat tanah secara kronologis akan dilihat, diperiksa dan diteliti secara seksama jika ada surat-surat yang tidak lengkap maka harus dilengkapi, kwitansi tersebut sebagai surat pengalihan hak tidak diterima oleh Kantor Pertanahan untuk melakukan pendaftaran, tentunya sipemohon segera kembali Kantor Lurah atau Camat untuk membuatkan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah mengenai tanah yang diperjualbelikan tersebut. 5 Untuk memperoleh pinjaman uang di Bank, dalam prakteknya surat tanah tersebut dapat dijadikan jaminan saat meminjam uang, setelah permohonan diperiksa oleh pihak bank maka diketahui bahwa kwitansi

[14]

sebagai dasar kepemilikan calon debitur tidak dapat diproses sebagaimana mestinya, maka calon debitur harus membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah oleh Camat. Jual beli dalam masyarakat awam intinya adalah bergantinya subyek kepemilikan yaitu antara pemilik lama dengan pemilik yang baru dengan adanya pembayaran sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati tanpa memperhatikan prosedur jual beli, aspek-aspek hukum maupun konsekuensinya di kemudian hari. Perlu ditegaskan jual beli yang dimaksudkan adalah sama dengan Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris maupun Camat, hal ini dikarenakan tanah tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu (sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 16 UUPA) dan status kepemilikan tanah tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai negara. Peralihan hak atas tanah adalah perubahan status kepemilikan, penguasaan, peruntukan atas dasar jual beli, hibah, tukar menukar, pemasukan ke dalam perseroan pemisahan dan pembagian atau karena warisan. Untuk tanah yang belum bersertipikat atau tanah yang dikuasai oleh Negara maka seseorang hanya boleh menguasainya untuk diusahakan sehingga mendapat manfaat dari tanah tersebut. Apabila dilakukan jual beli terhadap tanah tersebut berarti terjadi peralihan hak dari penjual kepada pembeli yang diikuti dengan pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas peralihan hak atas tersebut, mengusahakan atau mengelola tanah tersebut. Hak-hak atas tanah yang belum bersertipikat dikuasai lebih mengacu kepada kepada hak seseorang yang telah memperoleh manfaat dari tanah yang langsung oleh negara, tanah tersebut masih dalam kekuasaan negara dan seseorang dapat menggarapnya untuk diusahakan atau dikelola. Seseorang yang telah menjadi pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat tidak dapat memberikan haknya tersebut kepada orang lain dengan begitu saja karena hak itu merupakan kewenangannya namun yang dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya dengan akta Pelepasan Hak tanah hak yang dimaksudkan adalah hak dalam arti menguasai dan

[15]

Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris ataupun Surat Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dilegalisasi oleh Notaris ataupun Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh Camat. Dengan melepaskan haknya itu, tanah yang terlibat menjadi tanah negara, yaitu dikuasai langsung oleh negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain selain negara yang berhak atas tanah tersebut.56 Pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Salah satu kunci yang cukup menentukan dalam perbuatan hukum di atas adalah yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasan hak atau penyerahan tanah itu adalah imbalan sebagai pengganti nilai tanah yang diserahkan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan ini dapat kita ketahui bahwa ganti rugi merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah yang telah dilepas atau diserahkan oleh pembeli. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka jelaslah bahwa begitu mudah dan gampangnya masyarakat untuk melaksanakan peralihan hak atas tanah tanpa mengetahui proses ataupun cara peralihan itu sehingga pada saat pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan maupun segala hal yang menyangkut tanah tersebut terhadap pihak lain pastilah terjadi kesulitan. Bagi sebagian masyarakat yang telah mengetahui teknis dan tata cara peralihan hak atas tanah tentu tidak akan mau untuk melakukan transaksi jual beli tersebut dengan demikian mudahnya, apalagi jika tidak sesuai prosedur karena dapat menimbulkan sengketa atau konflik di kemudian hari. Untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum peralihan atau pelepasan hak atas tanah maka harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang untuk melaksanakan peralihan atau pelepasan hak atas tanah tersebut yaitu ke Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan ataupun ke Kantor Notaris guna menjamin kepastian hukum tentang peralihan atau pelepasan hak atas tanah tersebut. Kenyataan ini dapat kita lihat dengan adanya surat-surat tanah yang dibuat oleh Camat maupun Lurah. Surat-surat yang dibuat Camat ataupun Lurah adalah

[16]

untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang mereka kuasai, tanah-tanah tersebut merupakan tanah-tanah yang belum dikonversi atau tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang diduduki oleh rakyat, sehingga tanah tersebut merupakan hak seseorang. Pada umumnya Camat sering mengeluarkan SK Camat (Surat Keterangan Camat) yang dibuat dengan berbagai judul seperti Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi dan lain sebagainya, surat ini dibuat oleh Camat sebagai bukti hak ataupun bukti peralihan hak atas tanah sehubungan dengan adanya jual beli tanah. Dari penelitian dan data-data yang diperoleh, pada Kantor Camat Medan Johor judul surat pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat adalah Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi, sedangkan terhadap tanah-tanah yang tidak mempunyai surat sama sekali karena hilang, musnah ataupun karena tidak punya sama sekali Camat membuatkan Surat Keterangan Tanah. Surat-surat kepemilikan ini dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk diterbitkan sertipikatnya. Berdasarkan penelitian dan angket serta wawancara yang dilakukan dengan responden (10 orang) dapat diketahui bahwa: Masyarakat yang melakukan jual beli hak atas tanah yang belum bersertipikat pergi ke kantor Lurah 2 orang, ke kantor Camat 5 orang, sedangkan sisanya sebanyak 3 orang pergi ke kantor Notaris. Alasan yang menyatakan kenapa mereka pergi ke kantor Camat, Lurah maupun Notaris adalah masing-masing menyebutkan dikarenakan biaya yang relatif lebih murah dan merasa lebih mudah serta telah kenal dengan Lurah, Camat, Notaris ataupun setidak-tidaknya dengan pegawainya. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakseragaman jual beli adalah: 1 2 3 4 Ketidaktahuan Kebiasaan. Biaya. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai ketidakseragaman

bentuk perolehan haknya

[17]

BAB III BENTUK BENTUK SURAT PERALIHAN HAK ATAS TANAH SEBAGAI LANDASAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT

A. Pengertian Jual Beli Perbuatan jual beli dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki dengan sukarela. Berdasarkan perkembangan hukum kebendaan yang terjadi di Indonesia dapat dibedakan mengenai jual beli dan pengalihan haknya. Undang-undang Pokok Agraria tidak mengatur secara khusus tentang jual beli namun dapat dipahami bahwa pengertian jual beli dalam hukum tanah nasional adalah jual beli tanah dalam pengertian hukum adat mengingat bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hokum adat sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat yaitu perbuatan hokum penyerahan tanah untuk selama-lamanyanya disebut dengan jual beli lepas dimana penjual menerima pembayaran sejumlah uang dari harga penjualannya. Dengan demikian menurut hukum adat yang merupakan dasar dari hukum tanah nasional yang yang berlaku saat ini sebagaimana termuat dalam Undang-undang Pokok Agraria peralihan hak atas tanah terjadi sejak ditandatanganinya surat/akta dihadapan pejabat yang berwenang dan dibayarnya harga oleh pembeli kepada penjual, peralihan atau pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli berarti pemindahan penguasaan [18]

secara yuridis dan fisik sekaligus, namun ada kalanya

peralihan atau

pemindahan hak tersebut baru secara yuridis saja karena secara fisik tanah masih dibawah penguasaan orang lain, misalnya karena hubungan sewa yang belum berakhir waktunya. B. Bentuk-Bentuk Surat Perolehan Hak Atas Tanah 1. Surat-Surat Peralihan Camat/Lurah Pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat berkedudukan di ibukota negara sedangkan Pemerintah Daerah berada di daerah yang terdiri dari Pemerintah propinsi yang dipimpin Gubernur dan Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati/Walikota. Salah satu unsur pemerintah yang merupakan bagian dari Pemerintahan Kota yang berada dibawah kepemimpinan Walikota adalah Camat yang membawahi wilayah suatu kecamatan tertentu berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota atau Bupati (jika berada di bawah kepemimpinan Bupati). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah telah ditegaskan bahwa kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten atau kota. Camat dalam kedudukannya sebagai Kepala Pemerintahan adalah Camat merupakan pemerintah kecamatan merangkap sebagai administrator kecamatan. Secara umum suatu wilayah kecamatan mempunyai 4 (empat) pengertian, yaitu: a. Wilayah pemerintahan dan administrasi umum; b. Wilayah jabatan (daerah administratif); c. Aparatur atau perangkat pemerintahan/administrasi; d. Unit organisasi pemerintahan territorial dekonsentral. Segala tugas dan kewenangan yang dimiliki Camat sebagai perangkat daerah dan kepala wilayah kecamatan tertentu yang menerima pelimpahan sebahagian tugas dan kewenangan dari Bupati atau Walikota Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh

[19]

merupakan tugas-tugas dalam bidang hukum administrasi negara. Tugastugas dan kegiatan-kegiatan sebagai administrasi negara, antara a. Melaksanakan dan menyelenggarakan kehendak-kehendak (strategi, policy) serta keputusan-keputusan pemerintah secara yata (implementasi). b. Menyelenggarakan Undang-undang (menurut pasal-pasalnya)sesuai dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang ditetapka oleh pemerintah. Surat atau akta jual beli ataupun peralihan dan pemindahan hak ata tanah yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang adalah dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu mengalihkan atau memindahkan hak dan kewajiban hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Berdasarkan kenyataannya, dalam masyarakat terdapat bermacammacam bentuk surat/akta jual beli yang ditemukan untuk peralihan atau pemindahan hak atas tanah tersebut, namun demikian tidak semua bentuk surat/akta itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum termasuk untuk pendaftaran haknya guna memperoleh sertipikat pada Kantor Pertanahan Medan. Berdasarkan penelitian dan data-data yang diperoleh pada Kecamatan Medan Johor, semua surat peralihan hak atas tanah baik peralihan berikut bangunan ataupun tanpa bangunan yang alas haknya belum bersertipikat dan masih merupakan tanah negara yang dialihkan atau diganti rugikan dibuatla suatu Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi (dibuat rangkap tiga), rangkap pertama untuk arsip di Kantor Camat, rangkap kedua untuk arsip di Kantor Lurah dan rangkap yang yang ketiga untuk pembeli), Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi ini ditandatangani oleh Pihak Pertama (selaku Penjual) dan Pihak Kedua (selaku Pembeli) kemudian surat ini dilegalisasi oleh Camat dengan diberi nomor dan tanggal sesuai dengan daftar nomor urut dan tanggal yang ada dalam buku register di Kantor Camat.

[20]

Dalam satu set Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dilegalisasi oleh Camat ini berisikan: 1. Surat Pernyataan Pelepasan Pengusaan Tanah Dengan Ganti Rugi 2. Keterangan Situasi Tanah 3. Surat Keterangan 4. Surat Kuasa (jika dikuasakan) 5. Surat Pernyataan/Pengakuan Pemilikan Tanah 6. Berita Acara Pengukuran Atas Tanah 7. Surat Jaminan 8. Surat Pernyataan Ahli Waris (jika pemilik tanah telah meninggal dunia). Syarat-syarat a. Asli Surat Tanah b. Kartu Identitas Penjual (suami/istri) c. Kartu Identitas Pembeli d. SPPT PBB tahun berjalan e. Surat Pernyataan Ahli Waris (jika pemilik tanah yang terdaftar dalam Surat Keterangan Tanah telah meninggal dunia). f. Pas photo ukuran 3x4 sebanyak 2 (dua) lembar. Perbuatan hukum untuk menerbitkan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atas tanah-tanah negara yang belum mempunyai sertipikat sebagaimana terjadi merupakan kewenangan dalam kedudukan Camat sebagai kepala wilayah kecamatan yang bertujuan untuk tertib administrasi di Kantor Camat. Camat dalam hal ini berperan sebagai pejabat pemerintah berdasarkan jabatannya dapat mengetahui tentang kepemilikan tanah dalam wilayah pemerintahannya maka Camat dapat menjadi saksi atas dasar jabatannya untuk menguatkan kebenaran isi surat tersebut apabila dikemudian hari terjadi perselisihan sampai ke Pengadilan karena dalam surat itu sendiri Camat mengetahui tentang keberadaan tanah yang diperjual belikan tersebut. untuk membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi adalah:

[21]

Keadaan yang demikian ini bagi masyarakat menambahkan keyakinan bahwa dengan diketahui oleh Camat maka jual beli yang mereka lakukan lebih sah lagi dalam arti bahwa Camat telah mengetahui bahwa kepemilikan tanah di wilayah kerjanya telah berganti antara penjual sebagai pemilik lama dengan pembeli sebagai pemilik yang baru. Dalam satu tahun di Kecamatan ini terdapat lebih kurang 200-250 transaksi peralihan hak atas tanah yang dibuat dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi dengan biaya pembuatan surat tersebut berkisar antara Rp.1.000.000 sampai dengan Rp.1.500.000 dan dapat disiapkan satu hari sampai tujuh hari setelah penandatanganan surat tersebut. Begitu banyaknya transaksi peralihan hak atas tanah yang berlangsung pada Kecamatan ini tidak ada sekalipun pembeli meminta kepada Camat untuk melanjutkan peralihan tersebut segera didaftarkan pada Kantor Pertanahan Medan untuk memperoleh Sertipikat, sehingga dapat dipastikan peranan Camat dalam pendaftaran hak tidak ada. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kantor Camat Medan Johor untuk menerbitkan atau membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi, antara lain: a. Surat tanah tidak ada (sama sekali belum pernah ada) b. Surat tanah hilang. c. Biaya d. Tanah tersebut dalam sengketa. Jual beli atau peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat tidak pernah dibuat oleh Lurah yang bersangkutan namun Kantor Lurah hanya meneruskan keinginan dari masyarakat yang datang ke kantor tersebut untuk membuat jual beli atau peralihan hak tersebut ke Kantor Camat, sedangkan yang dibuat berkaitan dengan jual beli atau pengalihan hak tersebut di Kantor Lurah adalah Surat Pernyataan/ Pengakuan Pemilik Tanah, Berita Acara Pengukuran Tanah, Keterangan Situasi Tanah, Surat Keterangan dan Surat Jaminan serta Surat Pernyataan Ahli Waris (jika

[22]

pemilik telah meninggal dunia) yang disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah, kemudian surat tersebut dikirim ke Kantor Kecamatan Medan Johor, bahkan terkadang jika para pihak ingin cepat menyelesaikan jual beli atau peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat itu blanko Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi itu ditandatangani di Kantor Kelurahan yang memang telah dipersiapkan dan diambil dari Kantor Camat Medan Johor. Berdasarkan penelitian dan data yang diperoleh dalam 1 (satu) tahun di Kelurahan ini terdapat 80-110 kasus yang datang ke Kantor Lurah untuk dibuatkan transaksi peralihan hak atas tanah yang dibuat dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi dengan biaya pembuatan surat tersebut sama dengan yang diterapkan di Kantor Camat berkisar antara Rp.1.000.000 sampai dengan Rp.1.500.000 dan surat peralihan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu 1 hari sampai 7 hari setelah penandatanganan surat tersebut. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kantor Lurah Gedung Johor dalam menerbitkan surat-surat yang berkaitan dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh Camat adalah: a. Tidak sesuai surat sebagai alas hak atas tanah dengan ukuran tanah di lapangan. b. Batas-batas dengan jiran tetangga yang tidak jelas sehingga dapat menimbulkan sengketa. c. Biaya. 2. Akta Peralihan Hak Atas Tanah yang dibuat Notaris Akta yang dibuat Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya, karena Undang-undang yang memberikan wewenang kepada Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di Pengadilan jika dikemudian hari terjadi sengketa diantara para pihak yang membuat akta itu.

[23]

Akta yang dibuat oleh Notaris atau dibuat dihadapan Notaris merupakan suatu alat bukti, sehingga dalam membuat suatu akta seorang Notaris harus memperhatikan norma-norma selain kode etik dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Akta adalah tulisan yang ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti. Ditinjau dari cara pembuatannya akta dibedakan atas 2 (dua) bagian yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan dibuat oleh pejabatpejabat (ambtenaren)yang berwenang yang menurut atau berdasar pada Undang-undang dibebani untuk menyatakan apa yang telah disaksikan(waarneming) atau dilakukannya, sedang akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu akta yang dalam bentuk ditentukan oleh Undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Dari perumusan ini dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis akta otentik, yaitu: a. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris. Akta seperti ini bisaanya diberi nama akta relaas atau Acara, yangtermasuk jenis akta ini antara lain akta berita berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian. Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihat, atau apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan orang lain. b. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan van een) Notaris. Akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan- keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak- pihak dalam akta bersangkutan. Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan

[24]

sebagainya. Pasal 1 ayat (7 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2007 (UUJN) menyebutkan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang. Mengenai bentuk-bentuk Akta dalam Undang-undang Jabatan Notaris diatur dalam pasal, antara lain yaitu: Pasal 42, menyebutkan sebagai berikut: 1) sama 2) singkatan. Ruang dan sela kosong digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3) Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka. 4) kuasa. Pasal 43, menyebutkan sebagai berikut: (1) (2) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi surat kuasa yang belum menyebutkan nama penerima Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan

digunakan dalam akta Notaris wajib menterjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. (3) Apabila Notaris tidak dapat menterjemah atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah resmi. (4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang Undang-undang tidak menentukan lain. (5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana yang dimaksud dalam

[25]

ayat (4), Notaris wajib menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Pasal 44, menyebutkan sebagai berikut: 1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris, kecuali ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangan dalam akta dengan menyebutkan alasannya. 2) 3) Alasan sebagaimana disebutkan pada ayat (1) dinyatakan Alasan sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) secara tegas dalam akta. ditandatangani oleh penghadap, saksi, Notaris dan penterjemah resmi. 4) Pembacaan, penterjemahan atau penjelasan dan penandatanganan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta. 3. Akta Peralihan Hak Atas Tanah yang dibuat Notaris Mengalihkan hak atas tanah haruslah dilakukan dihadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Untuk akta-akta tanah, sebenarnya kewenangan khusus dari PPAT karena untuk membuat akta otentik dalam perjanjian peralihan hak atas tanah dimaksudkan adalah: a. Memindahkan hak atas tanah; b. Memberikan sesuatu hak baru atas tanah; c. Menggadaikan tanah; d. Meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. Dalam kenyataannya perjanjian peralihan hak atas tanah seperti yang disebutkan di atas dapat dilaksanakan dihadapan Notaris. Terhadap tanah- tanah yang besertipikat jual beli atau pengalihan hak atas tanah berikut segala sesuatu yang berada di atas tanah tersebut harus dilaksanakan dihadapan PPAT tetapi ada kalanya kewajiban PPAT ini atas permintaan para pihak/penghadap dibuat dengan akta Notaris.

[26]

Bentuk akta dalam peralihan hak yang dibuat oleh PPAT adalah akta yang berbentuk baku yaitu yang mempergunakan formulir baku yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga setiap deeds of conveyance (setiap peralihan hak ataupun pengikatan sebagai jaminan dengan hak tanggungan) haruslah menggunakan formulir baku tersebut. Sedangkan dalam bentuk akta Notaris diatur berdasarkan UUJN. Dalam perbuatan hukum jual beli/peralihan hak atas tanah yang bersertipikat haruslah dibuat dengan akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah tetapi jika ada syarat ataupun sebab lain sehingga peralihan/pemindahan hak atas tanah tersebut kurang memenuhi persyaratan pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sedangkan perbuatan hukum jual beli tanah dan atau berikut bangunan tetap dilakukan oleh penjual dan pembeli, maka Notaris haruslah membuat akta Perikatan Jual Beli dengan akta Notaris. Seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat menolak untuk membuat akta jual beli atas tanah yang bersertipikat Hak Milik dengan alasan, antara lain: a. Sertipikat belum cek bersih di Kantor Pertanahan b. Pajak Penghasilan (PPh) belum dibayar oleh penjual c. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) belum dibayar oleh pembeli d. Sertipikat masih terdaftar atas nama pewaris e. Sertipikat masih ada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) belum di Roya f. Sertipikat induk belum dipecah, pembeli hanya membeli sebagian g. Pembeli orang asing, sertipikat tersebut harus ditanggalkan hak miliknya h. Pembeli adalah Perseroan Terbatas sehingga sertipikat tersebut harus diturunkan hak miliknya menjadi Hak Guna Bangunan i. Sertipikat (atas tanah dimaksud) berada di luar wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut.

[27]

j. Pembeli tidak menginginkan Sertipikat atas namanya karena ingin menjual kembali dengan kapling-kapling, dengan memakai Surat Kuasa Menjual. Kewenangan seorang Notaris dapat melakukan pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat, antara lain adalah: a. Berdasarkan Pasal 1 UUJN Menurut pasal ini, bahwa Notaris adalah Pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, hal ini mengandung pengertian bahwa Notaris mempunyai kewenangan khusus untuk membuat akta-akta otentik tentang semua tindakan-tindakan, perjanjianperjanjian dan keputusan-keputusan. Akta otentik ini harus dibuat berdasarkan apa yang dikehendadki oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan oleh Undang-undang harus dinyatakan dalam suatu akta. b. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 16 ayat (1) UUJN menyebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang terutama membuat akta-akta yang diperlukan oleh yang berkepentingan, Notaris dibenarkan untuk menolaknya apabila ada alasan-alasan yang kuat. c. Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang mengatur wewenang Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan tanah. d. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). e. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 bahwa bangsa Indonesia bukanlah tempatnya bertindak sebagai pemilik tanah, lebih tepat jika Negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat bertindak selaku badan penguasa. Kekuasaan negara yang dimaksudkan adalah mengenai semua bumi, air, ruang angkasa. Jadi walaupun sudah dimiliki haknya oleh seseorang maupun tidak, kekuasaan Negara mengenai hak yang sudah dipunyai dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak tersebut artinya sampai seberapa jauh

[28]

Negara memberikan kekuatan kepada yang memilikinya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah kekuasaan Negara. Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunya dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Berpedoman pada tujuan yang disebutkan, Negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang ataupun badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. f. Berdasarkan Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah, ada yang diatur dalam KUH Perdata yang tertulis dan ada yang diatur hokum adat yang tidak tertulis. Menurut ketentuan pasal ini yang disebut dengan jual beli adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah disebut penjual menyerahkan tanah kepada pihak lain yang disebut pembeli. Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apapun atas hak atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu ketentuan hukum mengenai jual beli tanah tersebut bukan merupakan hukum tanah, melainkan ketentuan perdata, tegasnya hukum perjanjian Barat. Tidak ada bedanya dengan jual beli benda-benda bukan tanah, biasanya jual beli dilakukan dihadapan Notaris. Hak atas tanah baru berpindah kepada pembeli jika penjual telah menyerahkan secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459 KUH Perdata). Menurut Pasal 616 dan 620 KUH Perdata penyerahan harus dilakukan dengan membuat akta dan wajib didaftarkan pada pejabat yang disebut penyimpan hipotik. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli. Pasal 1888 Kitab Undangundang Hukum Perdata menyebutkan bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada aktanya asli. Dengan demikian mengacu kepada pasal ini kekuatan pembuktian dari akta Notaris terletak dalam minuta aktanya. Menurut Pasal 16 UUJN, minuta asli akta itu tetap disimpan oleh

[29]

Notaris dan tidak akan diberikan kepada siapapun kecuali Undang-undang menyatakan lain. Mengenai akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang dibuat dengan akta Notaris mempunyai akibat hukum yang sah terhadap akta yang telah dibuatnya. Jika Pemilik tanah yang baru hendak mendaftarkan haknya dikemudian hari maka akta ini dapat diterima Kantor Pertanahan sebagai alas hak yang sah atas tanah yang belum bersertipikat tersebut. Sebelum membuat akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi seorang Notaris haruslah memeriksa keabsahan dan kelengkapan alas hak maupun surat-surat yang berhubungan dengan pembuktian kepemilikan tanah tersebut sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai syarat untuk membuat suatu akta. Mengenai kebenaran isi dari surat-surat yang diperiksa Notaris tidak dapat mengujinya secara materil dengan eksistensi keberadaan tanah yang bersangkutan, dengan kata lain Notaris tidak pergi ketempat dimana letak tanah itu berada ataupun untuk melihat batas-batas tanah sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat-surat tersebut.

[30]

Notaris cukup melihat bukti-bukti yang diberikan kepadanya berdasarkan surat-surat tersebut Untuk menghindari bahwa atas tanah yang belum bersertipikat tersebut memang benar kepunyaan penjual dan tidak dalam keadaan sengketa maka sebelum akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi dibuat untuk ditandatangani para pihak maka Notaris selalu meminta dibuatkan Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa (biasa juga disebut SS) yang diterbitkan oleh Lurah dan dikuatkan oleh Camat bersangkutan dimana tanah itu berada, surat ini isinya menerangkan bahwa di atas tanah yang akan dijual tersebut tidak bersengketa dengan pihak manapun juga. Mengenai berlakunya Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa dapat dijelaskan bahwa pengeluaran atau penerbitan Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa atas tanah tidak ada dasar hukumnya, surat tersebut bersifat keterangan mengenai keadaan fisik tanah di lapangan yang diketahui oleh Lurah maupun Camat, namun demikian surat ini juga sering menjadi bukti kepemilikan tambahan oleh pemilik tanah. Kegunaan dari Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa antara lain: a. Untuk menunjukkan itikad baik bahwa benar objek hak atas tanah yang hendak dijual tidak dalam keadaan sengketa. b. Itikad baik dari pembeli terhadap penjual bahwa pembeli percaya atau membenarkan Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa tersebut diterbitkan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat merupakan suatu kebenaran terhadap keadaan tanah yang hendak dijual. c. Melindungi Notaris dalam menjalankan tugasnya menjaga kebenaran akan bukti-bukti yang diperlukan dalam perjanjian peralihan hak atas tanah tersebut. Hal ini merupakan salah satu perbedaan dalam hal pelaksanaan pembuatan akta Peralihan Hak Atas Tanah yang dibuat di Kantor Notaris dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh Camat. Pada saat para pihak datang menghadap kepada Notaris hendaklah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan antara lain:

[31]

a. Tanda Pengenal (KTP) suami/isteri atau identitas para pihak b. Surat Kuasa (bagi mereka yang dikuasakan penjual dengan akta Notaris ataupun yang dilegalisasi dan bagi pembeli diperbolehkan dengan kuasa lisan) c. Asli Tanda bukti hak atas tanah (alas hak atas tanah) d. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) Tahun berjalan. Syarat-syarat ini kemudian diserahkan kepada Notaris untuk selanjutnya diteliti guna pembuatan akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi. Selain dari syarat-syarat yang disebutkan di atas Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa juga diperlukan dan merupakan suatu kewajiban bagi pembuatan akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi, jika tidak ada Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa maka tidak akan dibuat akta tersebut tetapi cukup dilegalisasi tanda tangan saja, sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 15 ayat (2) a Undang-undang Jabatan Notaris. Berdasarkan data yang diperoleh dari Daftar Akta yang diperbuat pada kantor Notaris Roosmidar, SH, SpN jumlah akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi 1 selama (satu) tahun jumlahnya mencapai 40 sampai dengan 50 akta, termasuk Surat Peralihan Hak Atas Tanah yang yang dilegalisasi tanda tangan, judul akta yang digunakan adalah Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi. Pada umumnya masyarakat (pembeli) yang membuat akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi di kantor Notaris tidak melanjutkan untuk melakukan pendaftaran hak (membuat sertipikat), kecuali hanya bagi mereka yang mempunyai kepentingan tertentu diantaranya untuk meminjam uang pada bank untuk dijadikan agunan yang melanjutkan pendaftaran haknya setelah melakukan pelepasan hak tersebut dengan bantuan Notaris. Berdasarkan data yang diperoleh sehubungan dengan peralihan hak atas tanah dapat diketahui ada satu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat yang dilakukan seseorang (pembeli) dengan cara membeli sebidang tanah dengan atau tanpa bangunan namun

[32]

demikian pada saat mendaftarkan haknya tetap atas nama pemilik tanah yang lama (penjual) pada Kantor Pertanahan Kota Medan, walaupun segala hak dan kewajiban atas peralihan hak atas tanah tersebut telah dipenuhi kedua belah pihak yang artinya sejak akta Pelepasan Hak Dengan Ganti tersebut ditandatangani kedua belah pihak maka segala keuntungan dan kerugian yang diperoleh akibat peralihan hak tersebut menjadi tanggung jawab pembeli.

[33]

Namun demikian ia tetap mendaftarkan tanah tersebut atas nama pihak pertama sehingga sertipikat yang dimohonkan pendaftarannya tersebut terbit atas nama penjual. Segala hak dan kewenangan pembeli terhadap tanah tersebut setelah sertipikat itu diterbitkan adalah berdasarkan Surat Kuasa yang penandatanganannya dibuat bersamaan dengan akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi. Isi dari Surat Kuasa ini memuat antara lain, untuk memohonkan sertipikat, menerima sertipikat setelah selesai diproses, melakukan pemecahan sertipikat pada Kantor Pertanahan, untuk menjual kepada pihak-pihak lain, menandatangani akta jual beli dan menerima uang hasil penjualan, hal ini bisaanya dilakukan oleh seseorang yang mempunyai usaha properti atau jual beli rumah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Daftar Akta yang diperbuat pada kantor Notaris Erna Waty Lubis, SH, SpN, jumlah Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi 1 (satu) tahun sebanyak lebih kurang 20 sampai dengan 30 akta, termasuk Surat Peralihan Hak Atas Tanah di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris. Judul akta yang digunakan adalah Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi, jika obyek yang diperjual belikan tersebut sebidang tanah kosong, tetapi jika terdapat bangunan diatasnya maka judul aktanya adalah Jual Beli Dan Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Daftar Akta yang diperbuat pada kantor Notaris Darwin Zainuddin,, SpN, jumlah Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi 1 (satu) tahun sebanyak 5 sampai dengan 10 akta dan tidak ada Surat Peralihan Hak Atas Tanah dibawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris. Judul akta yang digunakan adalah Penglepasan Hak Dengan Ganti Rugi Serta Pemberian Kuasa.

[34]

BAB IV PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT DAN KENDALA-KENDALA YANG UMUMNYA DIHADAPI MASYARAKAT DALAM PENDAFTARAN TANAH PADA KANTOR PERTANAHAN

A. Pelaksananaan Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah menurut ketentuan Peraturan Pemerintah, sebagai mana diketahui bahwa semula Jawatan Pendaftaran tanah adalah bernaung dibawah Departemen Kehakiman, dengan dibentuknya departemen agrarian maka jawatan pendataan tanah digabungkan kepada departemen agrarian yang merupakan instasi sendiri. Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor Tahun 1988 dengan dibentuknya Badan Pertanahan Nasional (BPN) maka yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah merupakan wewenang Badan Pertanahan Nasional tersebut, untuk daerah tingkat 1 (Kanwil BPN) dan untuk daerah tingkat dua II adalah kantor pertahanan kabupaten/Kotamadya. Kegiatan pendaftaran adalah kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. Ketentuan ini merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan pendaftaran tanah, hal ini merupakan jaminana adanya kepastianhukum bagi pemegang hak, tentang kepastian hukum ini diatur oleh Pasal 3 PeraturanPemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) dan Peraturan Pelaksanaannya. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa apabila seseorang hendak mendapatkansertipikat hak atas tanah harus melalui tahap-tahap tertentu dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.Pendaftaran tanah pada masa mendatang merupakan aksi yang penting dalampengadministrasian tanah, demi untuk mengamankan hak-hak seseorang atas tanahdan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi pertanahan yang akuratdan [35]

terjamin,

sudah

barang

tentu

negara

akan

melaksanakan

tugas

tersebutuntukkepentingan warganya dan kepentingan negara itu sendiri. Kegiatan pendaftaran yang diatur dalam Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997,meliputi dua kegiatan yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaandata pendaftaran tanah.Pendaftaran Tanah untuk pertama kali, yaitu pendaftaran yang dilekatkanterhadap obyek pendaftaran tanah (tanah negara dan bukti hak lama) yang belum didaftar berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997.Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali sebagaimana yang imaksudkan dalam Pasal 12 ayat (1 )PP Nomor 24 Tahun 1997 meliputi: 1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik; 2. Pembuktian hak dan pembukuannya; 3. Penerbitan sertipikat; 4. Penyajian data fisik dan data yuridis; 5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen. Pemeliharaan data pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan pendaftaran data pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis. Dengan kata lain, pendaftaran baru karena adanya perubahan yang terjadi dikemudian hari, baik mengenai tanahnya (pemisahan dan penggabungan serta hapusnya dan pembebanannya), hak maupun subyek haknya karena tujuan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum atas tanah. Pasal 65 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan bahwa berdasarkan Berita Acara Pengesahan data Fisik dan Data Yuridis sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 64 ayat (1) dilaksanakan sebagai berikut: 1. Penegasan Hak Hak atas bidang tanah yang alat bukti tertulisnya lengkap sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 60 ayat (2) dan alat bukti tertulisnya tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) oleh Ketua Panitia Ajudikasi ditegaskan konversinya menjadi Hak Milik atas

[36]

nama pemegang hak terakhir. 2. Pengakuan Hak Hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan kenyataan pengakuan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun sebagimana dimaksud dalam Pasal 61 oleh Ketua Panitia Ajudikasi diakui sebagai hak milik. 3. Pemberian Hak Menurut Pasal 4 Undang-undang Pokok Agraria yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria, kepada perorangan atau badan hukum dapat diberikan berbagai hak atas tanah. Meskipun tidak secara tegas diatur, akan tetapi wewenang untuk memberikan hak-hak atas tanah seperti tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria adalah Negara Republik Indonesia cq Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pasal 66 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, menyebutkan: 1. Berdasarkan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan data Yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), Ajudikasi mengusulkan secara Kolektif Ketua Panitia kepada Kepala Kantor

Pertanahan setempat pemberian hak atas tanah-tanah Negara termasuk tanah Negara yang menjadi obyek landreform. 2. Dalam pendaftaran tanah secara sisitematik Kepala Kantor Pertanahan diberi wewenang untuk menetapkan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Menurut ketentuan pasal 12 ayat (2) PP Nomor 24 1997, kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi yaitu: 1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; 2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya; Pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah secara sistematik (massal) diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan rencana kerja jangka panjang dan tahunan

[37]

serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan. Pendaftaran tanah secara sporadik (massal atau individu) dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak-pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya Untuk melaksanakan pendaftaran secara sistematik maka sesuai dengan Pasal 15 PP Nomor 24 Tahun 1997, bahwa kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dimulai dengan pembuatan peta dasar pendaftaran. Peta dasar adalah peta yang memuat titiktitik dasar teknik dan unsur- unsur geografis, seperti sungai, jalan bangunan dan batas fisik bidang tanah. Untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyelenggarakan pemasangan, pengukuran, pemetaan dan pemeliharaan dasar teknik Nasional disetiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Wilayah yang belum ditunjuk sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) diusahakan peta dasar pendaftaran untuk keperluan pendaftaran secara sporadik (Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997). Dalam kegiatan dan pengumpulan dan pengolahan data fisik hal yang dilangsungkan menurut Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas pada disetiap sudut bidang tanah yang bersangkutan yang melakukan pengukuran dan pemetaan dalam proses pendaftaran secara sistematik adalah Panitia Ajudikasi . Hak yang akan didaftarkan adalah hak baru dan hak lama, dimana pembuktian hak baru ini menurut Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997 dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah pengelolaan. Pembuktian menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, adalah: 1. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya

[38]

hak-hak tersebut berupa alat-alat bukti tertulis, keterangan saksidan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tana secara sporadik, dianggapcukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak lain yang membebaninya. 2. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat alat pembuktian sebagaimana pada ayat (1), pembukuan hak dapatdilakukan berdasarkan kenyataan penguasaab fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat: a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/ kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa apabila seseorang hendak mendapatkan sertipikat hak atas tanah harus melalui tahapan-tahapan tertentu dan harus memenuhi persyaratanpersyaratan yang ditentukan, semua persyaratan-persyaratan ini sangat diperlukan guna mendapatkan penjelasan tentang: 1. Orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah (kepastian mengenai subyek haknya); 2. Letak, batas-batas, luas, dibebani hak tanggungan hak lain atau tidak berada dalam sengketa atau tidak dan sebagainya (kepastian mengenai obyek haknya) Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan diproses antara lain dengan penelitian kelapangan oleh Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A atau Panitia B), kemudian apabila telah memenuhi syarat maka sesuai kewenangannya dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak

[39]

Atas Tanah. Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke kas negara dan atau Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) jika dinyatakan dalam Surat Keputusan tersebut. adalah: 1. Surat Permohonan Pendaftaran; 2. Surat Pengantar Surat Keputusan Pemberiah Hak; 3. Bukti Pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila diisyaratkan identitas pemohon. Tanah-tanah yang belum pernah didaftarkan, sekaligus diperlengkapi dengan pendaftarannya dan sebagai bukti diberikan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sebagai kelengkapan dari persyaratan-persyaratan. Kegiatan selanjutnya dilakukan oleh aparat Seksi Pendaftaran Tanah. Kegiatan-kegiatan itu meliputi pengukuran, pemetaan dan pendaftaran haknya. Untuk keperluan penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah tersebut dipergunakan 4 (empat) macam daftar, yaitu: 1. Daftar tanah; 2. Daftar buku tanah; 3. Daftar surat ukur; 4. Daftar nama. Kegiatan pengukuran, pemetaan dan lain sebagainya untuk permohonan yang diisyaratkan harus diumumkan terlebih dahulu hanya akan dilakukan bila tenggang waktu pengumuman itu telah berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak lain. Pasal 26 PP Nomor 24 Tahun 1997, mengatakan bahwa: 1. Pengumuman ditempatkan di Kantor Kepala Desa/Kelurahan dan Kantor Kecamatan selama 1 (satu) bulan dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 2 (dua) bulan dalam pendaftaran tanah secara sporadik untuk memberi kesempatan pada yang berkepentingan mengajukan yang diperlukan untuk pendaftaran surat keputusan tanda bukti hak pemberian hak untuk memperoleh sertipikat

[40]

keberatan. Pengumumannya dilakukan melalui media masa. 2. Hasil pengumuman tersebut akan dituangkan dalam suatu berita acara, dimana berita acara tersebut menjadi dasar untuk: a. Pembukuan atas tanah, hal ini berdasarkan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997. b. Pengakuan hak atas tanah, yaitu dalam hal penguasaan fisik bidang tanah selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut. c. Pemberian hak atas tanah, yaitu tanah tersebut adalah tanah Negara misalnya Surat Keterangan Camat. Tanah-tanah yang akan diukur dan dipetakan harus diberi tanda batas, sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961. Penetapan batas batas tanah itu dilakukan atas dasar persesuaian pendapat antara para pemilik tanah yang berbatasan (system contradictoire delimite). Oleh sebab itu selain pemilik tanah, perlu hadir pula pemilik tanah yang berbatasan, dengan demikian dapat dihindari adanya salah letak terhadap tanda batas tersebut. Pengukuran tanah dilakukan dengan sistem kadasteral dan dilakukan oleh juru ukur, hasil pengukuran ini kemudian dipetakan kemudian dibuat surat ukurnya dan surat ukur tersebut harus sesuai dengan peta pendaftaran tanahnya. Surat ukur tersebut diberi tanggal dan nomor urut menurut tahun pembuatannya. Bidang tanah yang telah diberi tanda batas, diukur dan dipetakan dan ditetapkan subyek haknya, kemudian haknya dibukukan dalam daftar buku tanah dari Kelurahan yang bersangkutan, daftar buku tanah terdiri atas kumpulan buku tanah yang dijilid. Satu buku tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah.

[41]

Tiap-tiap hak atas tanah yang sudah dibukukan diberi nomor urut macam haknya. Semua hak-hak atas tanah telah dibukukan dibuatkan salinan dari buku tanah yang bersangkutan. Salinan buku tanah itu dan surat ukurnya kemudian dijahit menjadi satu dengan diberi kertas sampul yang bentuknya telah ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri Cq. Direktur Jenderal Agraria. B. Sistem Pendaftaran Tanah Dengan terlaksananya pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah diharapkan seseorang lebih merasa aman tidak ada gangguan atas hak yang dipunyai. Jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah adalah sangat digantungkan kepada sistem apakah yang dianut dalam melaksanakan pendaftaran atau pendaftaran hak atas tanah. Menurut Bachtiar Effendie, sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh banyak Negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah, yaitu: 1. Sistem Torrens Adapun sertipikat tanah menurut sistem Torrens ini merupakan alat bukti pemegangan hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak bias diganggu gugat. Untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin kecuali jika memperoleh sertipikat tanah dengan cara pemalsuan dengan tulisan ataupun dengan cara pemalsuan. 2. Sistem Positif Suatu sertipikat tanah yang telah diberikan itu adalah sebagai suatu tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Ciri pokok sistem positif ini ialah bahwa pendaftaran tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidakdapat dibantah kendatipun ia ternyata bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut. 3. Sistem Negatif Segala apa yang tercantum di dalam sertipikat tanah dianggap

[42]

benar sampai dapat dibuktikan yang sebaliknya (tidak benar) di muka siding pengadilan. Ciri pokok sistem negatif ini adalah bahwa pendaftaran tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemiliknya. Pengertian negative disini adalah bahwa adanya keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan sedangkan pengertian positif adalah bahwa adanya peranan aktif dari petugas pelaksana pendaftaran tanah dalam hal penelitian terhadap hak-hak atas tanah yang didaftar tersebut. Menurut pendapat Mariam Darus Badrulzaman, dalam buku Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya bahwa: Sistem yang dianut di Indonesia adalam sistem campuran antara sistem positif dan sistem negatif. Hal ini terlihat dengan adanya perlindungan hukum kepada pemilik sebenarnya (sistem negatif) sedangkan sisitem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah dimana Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Seksi Pendaftaran Tanah meneliti kebenaran setiap peralihan suatu hak atas tanah. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa Mariam Darus Badrulzaman, berpendapat bahwa bahwa sistem yang dianut Undang-undang Pokok Agraria adalah sistem campuran antara sistem positif dan sistem negatif. Sedangkan Boedi Harsono dalam buku Bachtiar Effendie Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya mengatakan bahwasannya sistem yang dipakai Undang-undang Pokok Agraria adalah sistem negatif bertendens positif. Pendaftaran tanah di negara kita menurut Pasal 19 ayat (1) bertujuan untuk menjamin kepastian hukum tetapi bukan maksudnya akan mempergunakan apa yang disebut sistem positif. Dengan demikian dapat disimpulkan Pasal 19 ayat (2) huruf (c) bahwa surat tanda bukti hak yang akan dikeluarkan berlaku sebagai pembuktian yang kuat.

[43]

Ayat tersebut tidak menyatakan bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang mutlak. Menurut Abdurrahman, dalam buku Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan PeraturanPeraturan Pelaksanaannya bahwa, beliau lebih cenderung kepada pendapat Mariam Darus Badrulzaman, yang telah menyatakan bahwa: Sistem pendaftaran tanah yang sekarang dianut oleh Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem campuran antara sistem tertutup. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pendapat para sarjana tersebut bahwa sistem pendaftaran tanah yang sekarang dianut oleh Undangundang pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem campuran system positif dan sistem negatif. Sedangkan pendapat Sunaryati Hartono dalam buku Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya menyatakan bahwa: Sudah saatnya kita berpegang pada sistem positif yang menjadikan sertipikat tanah satu-satunya alat bukti untuk membuktikan hak milik atas tanah dengan perngertian bahwa apabila dapat dibuktikan bahwa sertpikat itu palsu atau dipalsukan atau diperoleh dengan jalan yang tidak syah (karena paksaan atau pungutan liar atau uang sogok misalnya) maka tentu saja sertipikat wegenietig). Berdasarkan uraian di atas sangat jelas sekali bahwa pendapat ini menunjukkan bahwa sistem pendaftaran tanah adalah memakai sistem positif. Sedangkan A.P. Parlindungan berpendapat bahwa sistem yang dianut Undangundang Pokok Agraria adalah: Sistem Torrens karena sistem ini selain sederhana, efisien dan murah dan selalu dilihat diteliti pada akta penjabatnya siapa-siapa yang bertanda tangan dan pada sertipikat hak atas itu dianggap tidak syah sehingga menjai batal dengan sendirinya (van rechts positif dengan sistem negatif, dimana dalam sistem yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negatif dan positif sudah

[44]

tanahnya setiap mutasi diketahui dan oleh karena pada sertipikat tanah jika terjadi mutasi maka nama yang sebelumnya dicoret dengan tinta halus sehingga masih terbaca dan pada bagian bawahnya tertulis nama pemilik yang baru disertai dengan dasar hukumnya. Sistem ini dapat diidentifikasi dari: 1. Orang yang berhak atas tanahnya harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah itu agar negara dapat membuktikan hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan. Hal ini sejalan dengan ide dasar sistem Torrens dimaksud dimana manakala seseorang mengklaim sebagai pemilik fee simple baik karena Undang-undang maupun hal lain harus mengajukan permohonan agar tanah yang bersangkutan diletakkan atas namanya. 2. Dilakukan penelitian atas alas hak dan obyek bidang tanah yang diajukan permohonan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang berifat sporadis. Penelitian ini dikenal dengan examiner of title. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia mengenal ini dengan nama Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A untuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dan Panitia B untuk Hak Guna Usaha).77 Sedangkan menurut Suardi dalam buku Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah mengatakan: Tujuan ditelitinya alas hak ini ternyata akan memperkokoh keabsahan formalitas data yuridis dan data teknis, sehingga pada akhirnya panitia dapat berkesimpulan: 1. Tanah yang hendak didaftar tersebut baik dan jelas tanpa keraguan untuk memberikan haknya; 2. Permohonan tersebut tidak dijumpai ada sengketa kepemilikan; 3. Tanah yang dimohon diyakini sepenuhnya oleh tim ajudikasi atau Panitia pemeriksaan tanah untuk dapat diberikan haknyasesuai yang dimohonkan pemilik tanah; 4. Tanah tersebut diadministrasikan dengan pemberian bukti haknya tidak ada yang bersengketa lagi dan tidak ada yang keberatan terhadap kepemilikannya;

[45]

5. Indikator ini berarti atau bermakna mendukung asas publisitas dan asas spesialitas dari pelaksanaan pendaftarn tanah yang dilakukan di Indonesia. Keberadaan sistem pendaftaran model Torrens, persis apa yang disebutkan atas permohonan seseorang untuk memperoleh hak milik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 Undang-undang Pokok Agraria: 1. Terjadinya hak milik menurut hak adat diatur dengan peraturan pemerintah. 2. Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi: a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. b. Ketentuan Undang-undang. Dengan kata lain setiap akan terjadinya hak milik (diproses pendaftaran untuk hak miliknya) harus melalui penetapan pemerintah, agar permohonan dapat disetujui untuk dikeluarkan bukti haknya setelah diajukan seseorang kekantor pertanahan setempat. Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang dianut oleh Undangundang Pokok Agraria sekarang ini sebagaimana yang dikatakan oleh Bachtiar Effendie yaitu telah tiba saatnya untuk meninggalkan sistem yang dianut Undang-undang Pokok Agraria sekarang ini, karena dengan sistem positif sertipikat tanah merupakan satu- satunya tanda bukti hak atas tanah dengan demikian demikian dihindari tumpang tindihnya sertipikat tanah sehingga apa yang diharapkan suatu kepastian hukum dalam pemegangan hak atas tanah akan dapat terlaksana. Hal ini dapat kita lihat dari Penjelasan Umum dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mana antara lain menyatakan bahwa pembukuan sesuatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan seseorang yang sebenarnya berhak untuk atas tanah itu akan dihilangkan haknya, orang tersebut masih dapat menggugat orang yang berhak. Jadi pendaftaran yang diatur dalam

[46]

peraturan pemerintah ini tidaklah mutlak maka system pendaftaran kita adalah sistem negatif yang bertendensi positif. Berdasarkan uraian di atas diharapkan bagaimanapun sistem yang dianut dalam pendaftaran tanah yang paling penting disamping selain berfungsi untuk melindungi pemilik, juga mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya, sehingga akhirnya tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun dapat dicapai. C. Subyek Pendaftaran Tanah Subyek hak atas tanah merupakan orang perserorangan atau badan hokum yang dapat memperoleh hak atas tanah, sehingga namanya dicantumkan dalam buku tanah selaku pemegang sertipikat hak atas tanah yang mempunyai hak, kehendak dan dapat melakukan perbuatan hukum untuk mengambil manfaat bagi kepentigan dirinya, keluarganya, bangsa dan negara. Orang perserorangan/pribadi selaku subyek hak atas tanah, yaitu setiap orang yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang berdomisili di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah. Badan Hukum selaku subyek hak atas tanah antara lain badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia atau badan hokum asing melalui penanaman modal asing di Indonesia, lembaga pemerintahan Indonesia, lembaga perwakilan negara asing, lembaga perwakilan internasional, badan keagamaan atau badan sosial lainnya. Perhimpunan orang yang tergabung dalam badan hukum walau tidak berjiwa seperti halnya manusia, namun mempunyai kehendak dan dapat melakukan perbuatan hukum sehingga dipersamakan dengan orang yang selanjutnya oleh Undang-undang diakui sebagai subyek hukum seperti badan hukum publik, badan hukum privat dan badan hukum lainnya. D. Obyek Pendaftaran Tanah

[47]

Obyek hak atas tanah merupakan bidang-bidang tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang dapat dipunyai dengan sesuatu kepemilikan hak atas tanah oleh orang atau badan hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek hak ini merupakan sesuatu yang tidak mempunyai hak dan tidak menjadi pihak dalam hukum namun sematamata hanya diobyekkan bagi subyek hak. Dalam hukum perdata yang menjadi obyek hak itu adalah benda, diantaranya adalah benda tak bergerak yaitu tanah. Tanah yang dimaksud adalah daratan di lapisan kulit bumi nusantara yang dapat dipunyai dengan sesuatu kepemilikan hak atas tanah oleh perseorangan atau badan hukum. Menurut ketentuan hukum perdata bahwa tanah selaku obyek bukan saja dipandang sebagai benda (zaak) tak bergerak berujud yang dapat dilihat secara nyata, juga dipandang terpisah sebagai benda tak bergerak dan tak berujud, sehingga jika terjadi peralihan haknya harus diikuti dengan penyerahan haknya (levering), sesuai ketentuan Pasal 612 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang obyek Pendaftaran Tanah, yaitu: 1. Obyek Pendaftaran Tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. Tanah hak pengelolaan; c. Tanah wakaf; d. Hak milik atas satuan rumah susun; e. Hak tanggungan; f. Tanah Negara. 2. Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (f), pendaftarannya dilakukan dengan acara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah. E. Tata Cara Pendaftaran Tanah

[48]

Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa Pendaftaran Tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, hal ini berbeda dangan apa yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa penyelenggara pendaftaran tanah dilakukan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah yaitu ketika masih berlaku merupakan suatu jawatan di Departemen Kehakiman dan kemudian digabungkan pada Menteri Agraria dan teruslah jawatan pendaftaran tanah tersebut mempunyai kantor tersendiri sebagai Kantor Pendaftaran Tanah dan instansi atasannya adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pendaftaran Tanah dan kemudian atasan lanjutannya adalah Jawatan Pendaftaran Tanah. Persyaratan permohonan sertipikat hak atas tanah yang ditentukan dalam Standar Prosedur Pengaturan dan Pelayanan (SPPP) di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional telah dibuat secara konstelasi hukum positif, terutama Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksananya, baik diproses secara sistematik melalui Panitia Ajudikasi ataupun Sporadik melalui pemilik tanah sendiri di Kantor Pertanahan. Faktualnya, pada setiap pengajuan permohonan sertipikat kepemilikan hak atas tanah di Kantor Pertanahan yang lebih dahulu diperiksa dan diteliti, yaitu mengenai tiga persyaratan data: 1. 2 3. Pemilik, sebagai subyek hak Tanah, sebagai obyek hak Surat, sebagai alas hak. Untuk melengkapi pemeriksaan dan penelitian dengan tiga persyaratan data di atas diperlukan dua persyaratan data pendukung, yakni: 1. 2. Tujuan Penggunaan Hak Cara Perolehan Hak. Hal ini dilakukan guna mengurangi resiko terjadi kesalahan prosedur penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan Kota Medan. Alas hak yang dijadikan dasar dalam penerbitan sertipikat kepemilikan hak

[49]

atas tanah di Kantor Pertanahan merupakan alat bukti yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian yuridis atas kepemilikan atau penguasaan suatu bidang tanah, baik secara tertulis ataupun berdasarkan keterangan saksi Permohonan Hak untuk pertama kali terhadap alas hak sebagai alat bukti tersebut dapat dijadikan dasar untuk penerbitan sertipikat pada Kantor Pertanahan sebagai : 1 Penegasan Hak Atas Tanah Penegasan hak atas tanah merupakan Keputusan Badan Pertanahan Nasional, yaitu mengenai penegasan hak atas tanah yang berasal dari tanah milik adat, sertipikat a. b. c. d. e. ditegaskan untuk permohonan melalui prosedur perolehan hak atas tanah di Kantor Pertanahan dengan pemenuhan

persyaratan permohonan, sebagai berikut: Surat Permohonan; Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri pemohon; Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri penerima kuasa disertai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan; Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan; Bukti tertulis hak atas tanah yang asli, yaitu: 1) 2) 3) Surat bukti hak milik yang terbit berdasarkan Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja PMA Nomor 9/1959 Surat keputusan pemberian hak dari pejabat yang berwenang baik sebelum atau pun sejak berlakunya Undangundang Pokok Agraria yang tidak disertai dengan kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban didalamnya; 4) Petuk pajak bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kiktir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 5) Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan

[50]

yang

dibubuhi

tanda

kesaksian

olehKepala

Adat/Kepala

Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang ialihkan; 6) Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai dengan alas hak yang dialihkan; 7) Akta ikrar wakaf/akta pengganti ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 dengan disertai alas hak wakafnya; 8) Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang berwenang yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan 9) 10) Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat pengganti tanah yang diambil oleh pemerintah daerah atau; oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan; 11) Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-undang Pokok Agraria; 12) urat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan diberlakukannnya Undang-undang Pokok Agraria. Sehubungan dengan penegasan hak atas tanah tersebut di atas maka prosedurnya pemohon mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat (Pertanahan Medan) melalui loket penerimaan dengan persyaratan sebagai berikut: a. b. Setiap fotocopy yang dipersyaratkan sudah Setelah surat keputusan penegasan hak atas dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. tanah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka dimohonkan

[51]

penerbitan sertipikat hak atas tanahnya tanpa pembayaran BPHTB dan uang pemasukan kepada negara. Dasar hukum dari persyaratan perolehan sertipikat hak atas tanah melalui prosedural perolehan penegasan hak atas tanah, yaitu: a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. c. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002. d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. e. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. 2 Pengakuan Hak Atas Tanah Pengakuan hak atas tanah merupakan keputusan Badan Pertanahan Nasional, yaitu sehubungan dengan pengakuan hak atas tanah yang berasal dari tanah milik adat yang diakuai melalui prosedur perolehan sertipikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan, dengan pemenuhan persyaratan sebagai berikut: a. Surat Permohonan; b. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri pemohon; c. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri penerima kuasa disertai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan; d. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan; e. Bukti tertulis hak atas tanah yang asli disertai dengan: 1) Surat pernyataan pengakuan fisik bidang tanah secara terus menerus selama 20 tahun atau lebih (turun temurun atau alih beralih) yang dibuat oleh pemilik tanah, disaksikan oleh 2 orang saksi dan diketahui oleh kepala desa.lurah, dan 2) pengetua Surat adat Keterangan setempat. dari Kepala Desa/Lurah dengan yang disaksikan oleh 2 orang saksi dan penguasaannya dibenarkan oleh Sehubungan persyaratan

[52]

permohonan pengakuan hak atas tanah tersebut di atas yang disampaikan oleh pemohon kepada kepala Kantor Pertanahan setempat (Pertanahan Kota Medan) melalui loket penerimaan dengan persyaratan sebagai berikut: a. b. tanahnya Setiap fotocopy yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Setelah surat keputusan pengakuan hak atas diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka

dimohonkan penerbitan sertipikat hak atas tanahnya tanpa pembayaran BPHTB dan uang Pemasukan kepada negara. Dasar hukum dari persyaratan perolehan sertipikat hak atas tanah melalui prosedural perolehan pengakuan hak atas tanah, yaitu: a. b. 1997. c. d. e. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Nasional Nomor 600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. 3 Pemberian Hak Atas Tanah Pemberian hak atas tanah merupakan keputusan Badan Pertanahan Nasional, yaitu sehubungan dengan pemberian hak atas tanah kepada pemohon yang berasal dari tanah negara melalui prosedur perolehan sertipikat a. b. pemohon; hak atas tanah di Kantor Pertanahan, dengan pemenuhan Surat Permohonan; Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri persyaratan sebagai berikut:

[53]

c.

Fotocopy

Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri

penerima kuasa disertai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan; d. e. f. g. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan; Surat pernyataan tanda batas telah dipasang; Bukti tertulis hak atas tanah yang asli, atau Apabila tidak ada bukti lainnya maka dibuat surat

pernyataan pengakuan fisik tanah secara terus menerus selama 20 tahun atau lebih (turun temurun atau alih beralih) dibuat oleh pemilik tanah, disaksikan oleh 2 orang saksi dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah dan didukung oleh Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah yang didukung oleh Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah yang disaksikan oleh 2 orang saksi dan penguasaannya dibenarkan oleh tetua masyarakat setempat. Sehubungan dengan persyaratan permohonan tersebut di atas yang disampaikan oleh pemohon kepada kepala Kantor Pertanahan setempat (Pertanahan Kota Medan) melalui loket penerimaan dengan persyaratan sebagai berikut: a. Setiap fotocopy yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. b. Setelah surat keputusan pemberian hak atas tanahnya diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka permohonan dilengkapi dengan bukti: 1) 2) Pembayaran pajak BPHTB terutang; Pembayaran uang Pemasukan kepada negara yang

terutang (khusus bagi Pegawai Negeri Sipil dikenakan uang pemasukan sebesar 50% dari yang seharusnya dan bagi pensiunan Pegawai Negeri Sipil dikenakan 10% dari yang seharusnya, dengan melampirkan bukti fotocopy Surat Keputusan terakhir. Dasar hukum dari persyaratan perolehan sertipikat hak atas tanah melalui prosedural perolehan pemberian hak atas tanah, yaitu: a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

[54]

b. c. d. e.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan nasional Kegunaan dari alat bukti ini berdasarkan ketentuan Pasal 1865

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Nomor 600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Kitab Undang- undang Hukum Perdata bahwa alat bukti hak dapat digunakan untuk: a. b. c. d. Mendalilkan kepunyaan suatu hak; Meneguhkan kepunyaan hak sendiri; Membantah kepunyaan hak orang lain; Menunjukkan kepunyaan hak atas suatu peristiwa hukum. Dengan demikian, pembuktian hak atas tanah merupakan proses yang dapat digunakan pemegangnya untuk mendalilkan kepunyaan, meneguhkan kepunyaan, membantah kepunyaan atau untuk menunjukan kepunyaan atas suatu pemilikan hak atas tanah dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Mengenai ketentuan pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Syarat-syarat dan Tata cara permohonan serta pemberian hak milik sebagaimana yang disebutkan dalam Bab II (Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah Secara Individual atau Kolektif), Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut: Pasal 8 ayat (1) Hak milik dapat diberikan kepada: a. b. Warga Negara Indonesia Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh pemerintah

[55]

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: 1) 2) Bank Pemerintah; 2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial

yang ditunjuk oleh Pemerintah. Ayat (2) : Pemberian Hak Milik untuk badan hukum sebagimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) hanya dapat diberikan atas tanah-tanah tertentu yang benar-benar berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsinya Pasal 9 ayat (1) Permohonan hak milik atas tanah negara diajukan secara tertulis. Ayat (2), permohonan hak milik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) memuat: 1 a. kewarganegaraan, tempat menjadi tanggungan b. Apabila badan hukum: nama tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hokum yang dapat mempunyai hak milik berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. 2 a. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik: Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertipikat, girik, kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan Keterangan mengenai pemohon: Apabila perorangan: nama, umur, tinggal dan pekerjaannya serta

keterangan mengenai isteri/ suami dan anaknya yang masih

[56]

hak dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya; b. nomornya); c. pertanian); d. e. tanah negara); 3 a. Lain-lain: Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk tanah-tanah yang dimohon; b. perlu. Pasal 10 Permohonan hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilampiri dengan: 1 Mengenai pemohon: a. b. atau peraturan pendiriannya Jika perorangan: fotocopy Jika badan hukum: fotocopy dan salinan surat surat akta bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. keputusan Keterangan lain yang dianggap Rencana penggunaan tanah; Status tanahnya (tanah hak atau Jenis tanah (pertanian/non Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan tanggal dan

penunjukannya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2 Mengenai tanahnya: a. b. Data yuridis: sertipikat, girik, surat Dan pelunasan tanah dan rumah dan kapling, surat-surat bukti pelepasan hak atau tanah yang dibeli dari Pemerintah; akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan lainnya;

[57]

c. dan IMB, apabila ada; d. e.

Data fisik; surat ukur gambar situasi Surat lain yang dianggap perlu. Surat pernyataan pemohon mengenai

jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon. Kemudian setelah ketentuan mengenai alas hak atas tanah maka selanjutnya diatur juga tata cara pemberian atau penetapan dari hak atas tanah tersebut sesuai dengan konstitusi dan makna negara hukum yang menginginkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebisaaan dan tindakan pejabat dalam menjalankan tugasnya harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Tata cara pemberian ataupun penetapan hak tersebut termasuk dalam kategori aturan formalitas yang harus dijalankan dan dilaksanakan disertipikatkan. Tata Cara Pemberian Hak Milik: Pasal 11 Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diajukan kepada menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Pasal 12 Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan: 1 yuridis dan data fisik. 2 Lampiran 4 3 4 Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Memeriksa dan meneliti kelengkapan data oleh pejabat terkait maupun pihak-pihak yang berkepentingan dengan obyek tanah yang akan didaftarkan atau

[58]

tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh lampiran 6. Pasal 13 Ayat (1) : Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelapangan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan hak milik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) : Dalam hal surat tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk melakukan pengukuran. Ayat (3) : Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada: a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering rapport), sesuai contoh lampiran 7. b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara, sesuai contoh lampiran S; atau c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk (b), yang dituangkan dalam memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dan huruf Ayat (4) : Dalam hal data fisik dan data yuridis belum lengkap Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya. Risalah Pemeriksaan Tanah sesuai contoh lampiran 9.

[59]

Ayat (5) Dalam hal keputusan pemberian hak milik telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak milik atas tanah yang dimohonkan penolakannya. Ayat (6) Dalam hal keputusan pemberian hak milik tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan Tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh lampiran 10. Pasal 14 Ayat (1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk: a. contoh lampiran 11 b. meminta Kepala Kantor Memeriksa dan meneliti kelengkapan Pertanahan bersangkutan untuk data yuridis dan data fisik dan apabila belum lengkap segera melengkapinya. Ayat (2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Mencatat dalam formulir isian sesuai atau keputusan penolakan disertai dengan alas an

[60]

Kepala Kantor Pertanahan sebagimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ayat (3) Dalam hal keputusan pemberian hak milik telah dilimpahkan Kepala Kantor ilayah sebagiman dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alas an penolakannya. Ayat (4) Dalam hal keputusan pemberian hak milik tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh lampiran 12. Pasal 15 Ayat (1) : Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Menteri memerintahkan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk: a. contoh lampiran 13. b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk melengkapinya. Ayat (2) : Menteri meneliti, kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon dengan memperhatikan pendapat pertimbangan Kepala Kantor Wilayah sebagimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan selanjutnya memeriksa kelayakan permohonan tersebut atau tidaknya Mencatat dalam formulir isian sesuai

[61]

dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) : Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusan pemberian Hak Milik atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakan yang disertai dengan alas an penolakannya. Pasal 16 Keputusan pemberian Hak Milik atau keputusan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 ayat (3) disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak. Pasal 76 ayat (2) Pemberian hak secara umum sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (1) merupakan pemberian hak atas sebidang tanah yang memenuhi criteria tertentu kepada penerima hak yang memenuhi kriteria tertentu yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak. Pasal 78 Permohonan hak milik atas tanah untuk rumah tempat tinggal diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerahnya meliputi letak tanah yang bersangkutan, permohonan hak milik ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 79 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, memuat: a. Keterangan mengenai pemohon: nama, tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan keterangan mengenai bidang tanah yang dipunyai. b. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik: sertipikat, letak, batas-batas dan luasnya (sebutkan tanggal dan nomor surat ukurnya) c. Keterangan mengenai jumlah bidang,

[62]

luas dan status tanah-tanah yang dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon. d. Setelah dibuktikan adanya hubungan hukum atau penguasaan atas tanah yang dimiliki oleh pemohon (subyek hak), maka pemerintah sebagai pemangku Hak Menguasai Negara yang berwenang melakukan pengaturan dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah, melaksanakan tugasnya memformalkan hubungan hukum tersebut dengan memberikan hak-hak atas tanah yang dibuktikan dengan keputusan penerbitan haknya (sertipikat). F. Kendala-kendala yang Menghambat Pendaftaran Tanah Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas bidang tanah tersebut. Oleh sebab itu setiap bidang tanah yang dimiliki wajib dilakukan pendaftaran tanah, baik melalui sporadik maupun sistematik. Permasalahan status hak atas tanah secara umum adalah: 1 2 3 4 5 Potensi sengketa dan konflik pertanahan menjadi tinggi akibat Jumlah bidang tanah yang bersertipikat masih rendah. Lemahnya kepastian hukum menyebabkan hak-hak masyarakat Kurangnya sumber daya manusia dari segi kualitas dan kuantitas Masih timpangnya struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan Pendaftaran tanah adalah program dan tugas pokok dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu untuk melaksanakan dan memberikan landasan hukum bidang pertanahan untuk terwujudnya suatu tata kehidupan bagi masyarakat dimana tanah di samping mempunyai fungsi sosial namun aturan hukum pertanahan belum sepenuhnya memberi kepastian hukum.

menjadi kurang terlindungi, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin

dan pemanfaatan tanah.

[63]

juga berfungsi atau memberikan nilai ekonomis bagi pemilik hak atas tanah dan mempunyai nilai jaminan bagi pemegang hak. Pendaftaran tanah berarti mencatat hak-hak yang dipegang oleh perorangan atau kelompok ataupun suatu lembaga atas suatu bidang tanah oleh pejabat yang berwenang dan mengeluarkan surat bukti hak. Secara yuridis pendaftaran tanah telah dijamin di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria yang menyatakan demi kepastian hukum tanah harus didaftarkan. Hukum menghendaki kepastian. Kepastian dibutuhkan untuk menghilangkan keragu-raguan. Hukum pertanahan Indonesia menginginkan kepastian mengenai siapa pemegang hak milik mestinya. Terhadap hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat sekarang ini dengan suatu bukti kepemilikan ada sifatnya yang tertulis dan ada juga yang tidak dilengkapi dengan suatu bukti (alas hak) yang jelas, hal ini disebabkan tanah yang ada yang dikuasai pemiliknya berasal dari pembukaan tanah pada zaman dahulu secara bersama-sama oleh suatu kelompok masyarakat yang tentunya dapat menyebabkan peluangnya terjadi sengketa semakin besar. Berlakunya peraturan tentang pendaftaran tanah sehingga peraturan tersebut dapat berfungsi denngan baik, salah satu faktor adalah dilihat dari kelembagaan dan aparat pelaksana. Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria telah disebutkan bahwa pendaftaran tanah merupakan kewajiban bersama antara merintah dengan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dan memenuhi Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 24 Tahun 1997. Dalam melakukan pendaftaran tersebut ada kalanya timbul kendala-kendala dan permasalahan, baik yang dihadapi pemerintah (BPN) ataupun masyarakat (yang mempunyai hak atas tanah). Unsur-unsur yang menjadi kendala di luar ketentuan Undang-undang mungkin baik itu kendala dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri, yaitu terbatasnya tenaga pelaksana, sarana, biaya dan kurangnya penyuluhan atau hak-hak lain atas sebidang tanah. Namun pendaftaran tersebut tidak berjalan sebagaimana

[64]

yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat kurang berminat dan kurang mengerti arti dan pentingnya sertipikat itu, mungkin juga karena biaya pengurusan yang terlalu mahal atau proses pengurusan pendaftaran tanah terlalu lama dan berbelit. Selain dari hal-hal yang disebut di atas, keadaan obyektif bidangbidang tanah yang luas dan tersebar di wilayah yang luas dan sebagian besar pula penguasaannya tidak pula didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya juga menjadi sebab terjadinya kendala dalam terwujudnya pendaftaran tanah dari segi kualitas maupun kwantitas telah mengupayakan beberapa cara dan strategi dalam pelaksanaan dan percepatan pendaftaran tanah dengan berbagai bentuk kerja lembaga pertanahan seperti PRONA, Program Ajudikasi, Konsolidasi tanah serta Program sertifikasi massal swadaya lainnya seperti LARASITA (Layanan Masyarakat Untuk Sertipikat LARASITA yang Tanah) pada saat ini. Program sedang dilaksanakan pelayanannya saat ini di Kantor

Pertanahan Medan sifatnya sangat membantu masyarakat namun demikian masih banyak juga kendala yang dihadapi, antara lain: 1 2 3 4 Masyarakat tidak di tempat. Masyarakat tidak memahami fungsi dan makna sertipikat. SPPT PBB tidak siap dan belum didistribusikan dari Kantor Nilai Jual Obyek Pajak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dan data-data yang diperoleh maka dapat diketahui mengapa terjadi kendala-kendala untuk mendaftarkan hak atas tanah yaitu: 1 a. b. c. 2 a. Pada Kantor Pertanahan Kota Medan Sumber daya manusia kurang mencukupi. Peralatan kurang memadai. Sistem pemetaan kurang baik. Pada masyarakat umum. Alas hak yang ada kurang lengkap.

Pelayanan Pajak setempat.

[65]

b. c. d.

Tanda batas tidak dipasang. Terjadinya sengketa (konflik) tanah. Dibutuhkan biaya yang relatif besar, diantaranya untuk

membayar Uang Pemasukan Negara dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan. e. f. Jenuh dengan prosedur yang panjang dan berbelit-belit. Beranggapan bahwa alas hak yang mereka pegang sekarang sia-sia saja

mempunyai kekuatan yang sama dengan sertipikat sehingga untuk mensertipikatkan tanahnya hanyalah pekerjaan yang tanah (sertipikat) masih relatif rendah. Jika saja aktivitas kinerja pembuatan sertipikat dilakukan dengan program sederhana, biaya murah dan waktu yang relatif singkat benar-benar dapat dilaksanakan maka hal ini membantu pemerintah dalam mewujudkan Catur Tertib Pertanahan yang telah dicanangkan dan sudah saatnya bagi masyarakat yang masih ingin meningkatkan pengetahuannya terhadap sertipikat pemerintah harus berperan aktif berada di posisi terdepan untuk memberikan pengetahuan akan arti dan manfaat sertipikat tersebut. dengan kata lain tingkat pengetahuan terhadap pentingnya pendaftaran

BAB V CACAT YURIDIS DALAM PROSEDUR SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hokum tata negara dan hukum administrasi (Hadjon, 1998: 90). Wewenang

[66]

dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum (Indroharto, 1991: 68). Setiap kebijakan atau tindak pemerintahan harus bersumber atau bertumpu atas kewenangan yang sah, baik dari sumber atribusi, delegasi maupun mandat. Pemerintahan yang bersih atau Rechtmategheid Van Bestuur adalah asas keabsahan tindak pemerintahan yang memiliki tiga fungsi; (1) bagi aparat pemerintah berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuur normen); (2) bagi asyarakat berfungsi sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroep ronden); dan (3) bagi hakim berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsings gronden). Ruang lingkup keabsahan tindak pemerintahan meliputi: kewenangan, prosedur dan substansi (Hadjon, 2005). Kewenangan lahir atas; atribusi, delegasi, mandat, serta dibatasi oleh isi (materi), wilayah dan waktu. Prosedur berdasarkan asas negara hukum, yaitu berupa perlindungan hukum bagi masyarakat; asas demokrasi yaitu pemerintah harus terbuka, sehingga ada peran serta masyarakat; asas instrumental, yaitu efisiensi dan efektifitas, tidak berbelit-belit serta perlu deregulasi. Substansi bersifat mengatur dan mengendalikan apa (sewenangwenang/legalitas ekstern) dan untuk apa (penyalahgunaan wewenang, melanggar Undang-Undang/legalitas intern). Setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang syah yang diperoleh dari sumber; atribusi, delegasi dan mandat. Aspek prosedur hukum merupakan salah satu syarat penting yang harus dipenuhi oleh suatu keputusan atau ketetapan yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Dalam Pasal 53 ayat (2) a, UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, salah satu alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam penjelasan pasalnya ditentukan bahwa suatu keputusan tata usaha negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila yang bersangkutan (keputusan) itu bertentangan dengan

[67]

ketentuanketentuan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang bersifat Prosedural. Dengan demikian aspek prosedur hukum merupakan salah satu yang menjadi dasar putusan peradilan tata usaha negara untuk membatalkan sertipikat hak atas tanah disebabkan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara telah melakukan perbuatan hukum mengeluarkan keputusan atau ketetapan karena adanya kesalahan yang bersifat prosedur hukum dalam penerbitannya, artinya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara tersebut bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Dengan ditemukannya adanya kesalahan prosedur menjadikan dasar alasan pengadilan dalam putusannya untuk menyatakan batal (nietig) keputusan tersebut. Soehino menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan prosedur atau formal dari sebuah keputusan antara lain: berhubungan dengan tatacara atau prosedur atau proses pembentukan ketetapan administrasi, dimulai dari persiapan sampai terbentuknya ketetapan administrasi, harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan. Ketetapan administrasi harus dituangkan dalam bentuk sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasar hokum dibentuknya ketetapan administrasi itu. Syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan ketetapan administrasi itu harus dipenuhi. Jangka waktu ditetapkan antara adanya hal-hal atau keadaan yang menyebabkan dibentuknya ketetapan administrasi dan diberikannya ketetapan administrasi itu kepada yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan ketetapan administrasi itu, tidak boleh dilampaui. Lebih lanjut dijelaskan, setidaknya ada empat aspek yang harus dipertimbangkan dalam suatu keputusan tata usaha negara yakni: berhubungan dengan proses syarat-syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan, berhubungan dengan bentuk keputusan, syarat pelaksanaan keputusan dan jangka waktunya. Menurut van der Pot, sebagaimana dikutip Soehino, tata cara dan prosedur menjadi syarat yang bersifat menentukan atau bestaansvoorwaarde tergantung dari pada yang ditentukan dalam hukum positif yang bersangkutan, demikian juga halnya mengenai cara pelaksanaan ketetapan administrasi. Dengan demikian apabila suatu keputusan tidak memenuhi prosedur hukum dan cara

[68]

pembuatannya maka keputusan tersebut menjadi batal karena tidak memenuhi prosedur hokum atau syarat formal, dan menurut penjelasan Pasal 53 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku Bertitik tolak dari latar belakang di atas, pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah-tanah yang berstatus hukum tanah negara adanya perbedaan pengaturan meskipun obyek berstatus tanah negara. Dengan demikian rumusan masalahnya ada perbedaan perlakuan berkaitan dengan aspek prosedur hukum yang mengatur penetapan keputusan pemberian hak atas tanah antara tanah negara bekas hak barat pada umumnya dengan tanah negara bekas milik Warga Negara Belanda. Dalam kasus sengketa ini pokok persoalan hukum yang hendak diungkapkan bahwa tergugat dalam menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah sengketa tersebut cacat hokum berkaitan dengan aspek wewenang. Hal tersebut disebabkan untuk tanah-tanah dengan status obyek landreform, Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara merupakan alas hak untuk terbitnya sertipikat hak milik atas tanah. Setiap pembuatan keputusan harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah digariskan. Dengan mengikuti prosedur hukum akan memberikan kemungkinan bagi warga masyarakat untuk memasukkan pengaruh yang dikehendaki, dalam artian bisa ikut dalam proses pengambilan keputusan. Apabila ketentuan-ketentuan mengenai prosedur hukum tidak mendapat perhatian oleh Badan atau pejabat tata usaha negara, akan berakibat dapat diganggu gugat atas keputusan yang telah dikeluarkan. Pertanyaan yang muncul adalah apa akibat bagi keputusan yang tidak sah? (Hadjon, 1988: 24) menjelaskan, keputusan yang tidak sah dapat berakibat nietigheid an rechtswege (batal karena hukum), nietig (batal) atau vernietigbaar (dapat dibatalkan). Nietig berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada. Konsekwensinya, bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada. Vernietigbaar berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan

[69]

oleh hakim atau badan lain yang kompeten. Nietigheid van rechtswege artinya bagi hukum akibat suatu perbuatan dianggap tidak ada tanpa perlu adanya suatu keputusan yang membatalkan perbuatan tersebut. Tindakan pemerintahan dapat berakibat batal karena hukum, batal, atau dapat dibatalkan tergantung pada essentiel-tidaknya kekurangan yang terdapat di dalam keputusan itu. Selanjutnya perbedaan antara nietig, van rechswegenietig dan verniegbaar seperti tabel di bawah: Uraian Sejak batal Tindakan pembatalan Nietig Van rechtswege Nieteg Ex tunc Tanpa perlu ada putusan/kept. Vernietiegbaar Ex tunc Mutlak harus ada putusan/kept: Sifat putusan/kept: konstitutif

kapan Ex tunc Dengan putusan/kept. Sifat putusan/kept: Konstatering/

deklaratur (1) ex tunc: secara harfiah ex tunc berarti sejak waktu (dulu) itu. Dalam konteks ini, ex tunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada. ex nunc: secara harfiah ex nunc berarti sejak saat sekarang. Dalam konteks ini, ex nunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya. Pertanyaan berikut yang muncul adalah, keputusan yang tidak sah dari tindakan emerintah itu berupa nietigheid van rechtswege (batal karena hukum), nietig (batal) atau vernietigbaar (dapat dibatalkan)? Untuk menjawab pertanyaan di atas karena tindakan pemerintah tersebut merupakan hukum administrasi maka berpedoman pada asas vermoeden van rechmatigheid. Artinya keputusan organ pemerintah tersebut hanya dapat dibatalkan (vernietigbaar) dan bukan batal atau batal karena hukum. Menurut Stellinga (Utrecht,: 115-116), keputusan pemerintah selalu tidak boleh dianggap batal karena hukum. Lebih lanjut dijelaskan, Suatu keputusan tidak pernah boleh dianggap batal karena hukum, baik dalam hal keputusan itu dapat digugat dimuka hakim administrasi atau banding administrasi, maupun dalam hal kemungkinan [70]

untuk menggugat dan untuk memohon banding itu tidak digunakan, demikian juga dalam hal kedua kemungkinan tersebut tidak ada. Dalam vernietigbaar, perbuatan hukum adalah sah sampai dinyatakan batal. Suatu perbuatan hukum yang dapat dibatalkan adalah suatu perbuatan yang mengandung cacat. Selama pihak yang berkepentingan dengan pembatalan itu tidak pernah menyatakan bahwa karena cacat ini perbuatan itu dipandang sebagai tidak sah onrechtmatig, maka tidak bisa dikatakan adanya pembatalan vernietiging. (Prawirohamidjojo, tanpa tahun: 3-5). Dengan kata lain, ketika ada gugatan dan kemudian gugatan telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhitung sejak saat keputusan tata usaha negara itu dinyatakan batal (nietig).

[71]

Aspek prosedur hukum penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak berdasarkan ketentuan, dengan melihat waktu terbitnya sertipikat hak milik tahun 1965. Berdasarkan SK Menteri Pertanian dan Agraria No. SK.XIII/17/Ka/1962 tentang Penunjukan Pejabat (lihat Pasal 14 PP No. 221/1962), adalah Kepala Inspeksi Agraria (Kinag) atau saat ini Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi. Aspek cacat prosedur hukum adalah perbuatan atau tindakan hukum pendaftaran dan penerbitan sertipikat tanah obyek sengketa tersebut oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat, tanpa adanya alas hak yang berupa Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah terlebih dahulu. Kasus sengketa antara AASO, dkk, (para penggugat) melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar (tergugat I), Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (tergugat II). Putusan Pengadilan yang terkait PTUN Denpasar No.Reg. 25/G/TUN/PTUN.Dps, tanggal 28 April 1999; PTTUN Surabaya No.Reg. 82/B/TUN/1999/ PT.TUN. SBY, tanggal 4 Agustus 1999; Putusan MARI No.Reg. 370 K/TUN/1999, tanggal 12 Oktober 2001; dan PK MARI No. 39 PK/TUN/2002, tanggal 17 Maret 2004. Obyek sengketa adalah tanah obyek landreform berasal dari tanah (adat) yang terkena ketentuan UndangUndang kelebihan maksimum sertipikat hak milik No. 129/Pemecutan Kaja, atas nama I Gusti NMM, terbit tanggal 23 Desember 1965, yang dibatalkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN tanggal 20 Juli 1998 No. 9-XI-1998. A. Kasus Posisi Bahwa para penggugat fundamentum petendi mendalilkan, pemilik tanah obyek sengketa yang berasal dari Ni Gusti AS berdasarkan atas SK Panitia Landreform Daerah Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari 1963 No. A/XX/202/57 atas nama wajib lapor I Gusti Adi termasuk sebagai tanah yang dipilih untuk tetap dimiliki dan menjadi bagian dari I Gusti NMM sebagai salah satu dari delapan unit keluarga wajib lapor tersebut; Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN No.9-XI-1998 tanggal 20 Juli 1998, sertipikat hak milik tanah obyek sengketa dibatalkan atas permohonan dari pihak ketiga yakni. DL, Dkk., dan atas dasar surat keputusan pembatalan

[72]

tersebut tergugat menerbitkan sertipikat hak milik No. 3395/Pemecutan Kaja, atas nama DL, dkk. Bahwa tindakan tergugat I dan II tersebut menurut penggugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan larangan berbuat sewenang-wenang serta bertentangan dengan asas- asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 a dan c UU No. 5 tahun 1986. Atas dasar hal tersebut maka penggugat mengajukan petitum gugatan yang pada pokoknya memohon agar pengadilan untuk: memerintahkan kepada tergugat I untuk menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan khususnya sertipikat hak milik No.3395/Pemecutan Kaja tas nama DL, dkk, sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; menyatakan batal atau tidak sah SK Menteri Negara Agraria/KBPN No. 9-XI- 1998 dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar berupa pengiumuman tentang pembatalan sertipikat tanggal 31 Agustus 1998 No. 630. 61-1627 Denpasar dan sertipikat hak milik No. 3395/Pemecutan Kaja, atas nama DL dkk.; serta memerintahkan kepada tergugat I untuk mencabut SK Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar berupa pengumuman tentang pembatalan sertipikat No. 630. 611627Dps tanggal 31 Agustus 1998 dan sertipikat hak milik No. 3395/Pemecutan Kaja atas nama DL dkk. Dan memerintahkan kepada tergugat II mencabut SK Menteri Negara Agraria/KBPN No. 9-XI- 1998 tanggal 20 Juli 1998. Pertimbangan hukum Peradilan Tata Usaha Negara Denpasar pada pokoknya berpendapat bahwa tergugat tidak terbukti telah melakukan tindakan atau perbuatan hokum yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (2) sub a UU No. 5 tahun 1986. Dasar pertimbangan hukumnya: bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan 3 dan Pasal 55 ayat (3) serta Pasal 52 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997; dan menimbang meskipun terjadi sengketa atas tanah hak yang menyangkut mengenai data fisik dan yuridis sepanjang tidak ada cacatan di dalam buku tanah sebagaimana Pasal 30 ayat 1 huruf c, d dan e PP No. 24 tahun 1997 tidak ada halangan untuk menerbitkan sertipikat.

[73]

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, terbukti bahwa terbitnya sertipikat hak milik No. 3395, atas nama DL, dkk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat prosedural, formal, material, substansial dan wewenang sesuai Pasal 53 ayat (2) sub a UU No. 5 tahun 1986. Dengan tidak terbuktinya melanggar ketentuan peraturan perundangundangan maka dengan sendirinya tidak terdapat adanya unsur sewenangwenang dari tergugat I dan II didalam mengeluarkan obyek sengketa; Atas dasar pertimbangan hukum tersebut maka putusan PTUN, No. Reg. 25/G/1998/PTUN. Denpasar, tanggal 28 April 1999, dalam amar putusannya pada pokoknya: menolak gugatan penggugat-penggugat seluruhnya. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini dikuatkan oleh Putusan PTUN No. Reg. 82/B/TUN/1999/PT.TUN. Surabaya, tanggal 4 Agustus 1999, dengan amar putusannya: menguatkan putusan PTUN, No. 25/G/1998/PTUN. Denpasar, tanggal 29 April 1999; Dalam tingkat Kasasi, Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya berbeda pendapat dengan putusan pengadilan sebelumnya, bahwa: pertama, termohon kasasi telah menerbitkan Surat pembatalan sertipikat hak milik No. 129/Desa Pemecutan Kaja. an. I Gusti NMM menjadi an. LSP, hanya atas dasar kesimpulankesimpulan dan fakta-fakta saja yang disampaikan oleh DL, salah satu an. LSP, yang mendapat kuasa dari saudaranya; kedua, bahwa menurut Mahkamah Agung in casu sebenarnya terdapat suatu sengketa pemilikan obyek perkara antara para pemohon kasasi/penggugat dengan LSP; ketiga, bahwa untuk dapatnya membatalkan suatu sertipikat hak milik dalam perkara ini, seharusnya tergugat I, II mendasarkan kepada suatu putusan dari pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tentang siapa pemilik obyek perkara tersebut; Atas dasar pertimbangan hokum tersebut Mahkamah Agung dalam putusan MARI No. Reg. 370 K/TUN/1999 tanggal 12 Oktober 2001 yang dalam pokok perkara memutuskan: menyatakan batal atau tidak sah surat keputusan pembatalan dari Menteri Agraria/KBPN dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan kota Denpasar berupa pengumuman tentang

[74]

pembatalan sertipikat dan sertipikat hak milik No. 3395/Pemecutan Kaja atas nama DL; serta memerintahkan kepada tergugat I untuk mencabut Surat Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kota Denpasar berupa pengumuman dan sertipikat hak milik No. 3395/Pemecutan Kaja, atas nama DL dan memerintahkan kepada tergugat II untuk mencabut Surat Keputusan Pembatalan Menteri Agraria/KBPN; Dalam Putusan Peninjauan kembali Mahkamah Agung PK No. Reg. 39 K/TUN/2002. Tanggal 17 Maret 2004 amarnya: Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali I dan II. Berkaitan dengan kasus sengketa ini, akan dikaji dan dianalisis permasalahan yang berkaitan dengan aspek prosedur hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah yang berasal dari tanah obyek landreform. Pertanyaannya, apakah tergugat dalam menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah obyek landreform tanpa adanya surat keputusan pemberian hak milik terlebih dahulu sebagai dasar penerbitannya sudah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. B. Ketentuan Tanah Obyek Landreform Salah satu karakteristik bahwa obyek sengketa dalam kasus ini merupakan tanahtanah obyek landreform adalah adanya Surat Keputusan Panitia Landreform Daerah Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari 1963 No. A/XX/202/57. Kode A merupakan kode yang memberikan petunjuk bahwa tanah obyek landreform tersebut semula berasal dari tanahtanah adat/yasan yang terkena ketentuan kelebihan maksimum sebagaimana yang diatur dalam UU No. 56/prp/1960 (LN 1960 No. 174) tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 56/prp/1960 merupakan ketentuan batas kepemilikan tanah yang dapat dimiliki oleh satu keluarga, dimana ditentukan: seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersamasama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, yang jumlah

[75]

luasnya tidak tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat 2 pasal ini. Untuk mengetahui luas maksimum disuatu daerah kepemilikan tanah pertanian didasarkan pada Daftar Lampiran Keputusan Menteri Agraria No. SK.978/Ka/1960 (TLN No. 2143) tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian, yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961. Untuk luas maksimum kepemilikan tanah pertanian didaerah Kabupaten Badung berdasarkan daftar lampiran keputusan Menteri Agraria ini untuk tanah sawah 7,5 ha, dan untuk tanah kering seluas 9 ha. Sehingga apabila seseorang memiliki luas tanah pertanian di atas luas maksimum yang ditentukan akan terkena ketentuan kelebikan maksimum. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 3 UU No. 56/prp/1960 dan diwajibkan melaporkan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara setempat dalam jangka waktu 3 (tiga)bulan, sebagaimana ketentuan pasal tersebut: orang-orang dan kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlahnya melebihi luas maksimum wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan didalam waktu 3 bulan sejak dimulai berlakunya peraturan ini, kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban melaporkan tentang keberadaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum tidaklah selalu yang menguasai tanah tersebut akan tetapi bisa orang lain. Bagi tanah-tanah pertanian yang ternyata diketahui merupakan tanah kelebihan maksimum maka bagian tanah-tanah yang merupakan kelebihan maksimum dikuasai negara melalui pernyataan penegasan penguasaan sebagaimana Surat Keputusan Menteri Agraria No. Sk 409/Ka/1961 tentang pernyataan penguasaan oleh pemerintah atas bagianbagian tanah yang merupakan kelebihan dari luas maksimum. Keputusan ini menetapkan: Pertama, menyatakan bahwa bagian bagian tanah yang merupakan kelebihan dari luas maksimum, sebagai tanah-

[76]

tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Kedua, menyerahkan untuk menetapkan bagian yang menjadi hak pemilik dan bagian-bagian tanah yang dikuasai langsung oleh pemerintah sub 1 kepada Panitya Landreform Daerah Tingkat II/Kotapraja yang dibantu oleh Panitya kecamatan dan desa. Dengan adanya perbuatan hukum penegasan dari Badan atau pejabat Tata Usaha Negara (PMA No. 409/Ka/1961) maka karena hukum bagian tanah-tanah pertanian yang terkena kelebihan maksimum berdasarkan penetapan Panitya Landreform Daerah status hukumnya berubah bukan lagi merupakan tanah yasan/adat, tetapi menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah negara) sejak tanggal 24 September 1961. Tanah-tanah ini dikenal dengan sebutan tanah negara obyek landreform. Berdasarkan PP No. 224 tahun 1961 (TLN. No. 2322), tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi; ditetapkan dibagikan kepada para petani yang mengerjakan tanah tersebut dengan hak milik yang memenuhi syarat dan kewajiban yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Apabila ternyata berdasarkan ketentuan yang berlaku calon penerima hak memenuhi persyaratan yang ditentukan maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara berbentuk Surat Keputusan Pemberian Hak. Karakter khusus dari Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah yang berasal dari obyek landreform ini tidak sama dengan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah negara pada umumnya. Perbedaan keduanya terletak pada pada kekuatan hukum berlakunya surat keputusan hak milikitu sendiri. dalam Surat Keputusan Hak Milik Atas Tanah Obyek Landreform, begitu surat keputusan tersebut ditetapkan, maka sejak saat itu status tanah negara berubah menjadi tanah hak milik, tanpa harus memenuhi persyaratan dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan pemberian haknya. Berbeda dengan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah negara lainnya yang akan menjadi batal dengan sendirinya apabila persyaratan dan kewajibannya tidak dipenuhi dalam jangka waktu tertentu.

[77]

Sebaliknya, kekuatan hokum berlakunya surat Keputusan pemberian hak milik atas tanah obyek landreform tidak dapat batal dengan sendirinya bilamana penerima hak milik tidak memenuhi persyaratan dan kewajiban yang dimaksud dalam surat keputusan tersebut, kecuali dicabut atau dibatalkan. Di dalam setiap Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara selalu dicantumkan klausula yang berisi syarat-syarat, kewajiban dan jangka waktu yang harus dipenuhi oleh penerima hak atas tanah dan bila tidak dipenuhinya persyaratan dan kewajiban serta jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan maka pemberian hak milik atas tanah tersebut akan batal dengan sendirinya. Hal ini berbeda dengan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara Obyek Landreform, tidak ada klausula yang menentukan kalimat batal dengan sendirinya. Di dalam Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah Obyek Landreform tercantum klausula: kelalaian di dalam memenuhi kewajibankewajiban atau pelanggaran terhadap larangan tersebut di atas dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak milik yang diberikan itu. Kalimat tersebut adalah contoh Surat Keputusan yang diatur dan terlampir dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. XIII/17/ 1962. C. Prosedur Hukum Pemberian Hak Milik Atas Tanah Obyek Landreform Berdasarkan ketentuan, struktur organisasi dan kewenangan dalam pemberian hak milik atas tanah negara adalah Menteri Agraria sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/61, tentang Pembagian Tugas Wewenang Agraria. Demikian pula dalam ketetapan Pasal 14 ayat (3) PP No. 224 tahun 1961 yang menetapkan: pemberian hak milik tersebut pada ayat 2 pasal ini dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya dst. Sebaliknya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. XIII/17/Ka/1962 (TLN. No. 2512) tentang Penunjukkan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 224

[78]

tahun 1961, menetapkan penyimpangan dari ketentuan PMA No. SK. 112/Ka/1961, menunjuk pada Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan, sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi wewenang untuk memberikan hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka pelaksanaan landreform, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 PP No. 224 tahun 1961. Berdasarkan ketetapan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria ditetapkan bahwa penerima hak milik diberikan kutipan surat keputusan pemberian hak milik yang dikeluarkan oleh Kepala Agraria Daerah. Hal tersebut ditetapkan dalam penetapan kedua, huruf b: Pemberian hak milik kepada petani yang mendapat pembagian tanah disatu daerah tingkat II dilakukan bersama dalam satu surat keputusan. Pemberian kutipan dapat dilakukan oleh Kepala Agraria Daerah. Kata dapat dalam ketentuan ini bisa diartikan dua kemungkinan, yakni dapat dilakukan oleh Kepala Inspeksi Agraria dalam menerbitkan Surat Keputusan sekaligus Kutipan Surat keputusan atau bisa juga dilimpahkan kepada Kepala Kantor Agraria Daerah, dimana kutipan surat keputusan ini merupakan tanda bukti bagi penerima hak milik atas tanah Negara obyek landreform. Atas dasar surat keputusan pemberian hak milik tersebut para pemegang hak milik setelah memenuhi syarat dan kewajiban yang ditentukan dalam PP No. 224 tahun 1961 diwajibkan mendaftarkan hak miliknya, yang pada waktu itu adalah Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat. Dalam perkembangan selanjutnya, karena perubahan struktur organisasi tugas dan wewenang dari badan atau pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur dalam PMDN No 6 tahun 1972, kewenangan pemberian hak atas tanah obyek landreform ada pada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi, dan berdasarkan PMNA/KBPN No. 3 tahun 1999, kewenangan tersebut didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, demikian juga dengan pendaftaran hak milik atas tanahnya. Berkaitan dengan kasus sengketa, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut: pertama, bahwa tanah obyek hak milik No. 129 tersebut asalnya adalah milik Ni. Gusti ABS, pipil No. 159, Persil No.8a, yang dalam rangka

[79]

landreform dilaporkan oleh wajib lapor I Gusti Adi yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh Keputusan Panitya Landreform Daerah Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari 1963 No. A/XX/202/57. Didalamnya ditetapkan terdiri 8 unit keluarga yaitu: I Gusti Adi, dkk; Berdasarkan dalil tersebut untuk unit keluarga I Gusti NMM ditetapkan berhak atas tanah sawah seluas 3 ha dan tanah kering seluas 5,400 ha. Untuk I Gusti Ngurah Made sendiri memperoleh tanah yang letaknya di Subak Tanggulaji, pipil 159, persil 8a, seluas 3.200 m2. Dari riwayat tanah obyek sengketa tersebut menunjukkan bahwa obyek sengketa adalah tanah obyek landreform. Hal yang tidak terlihat dalam kasus sengketa ini adalah bukti adanya pembagian atas tanah yang berupa surat keputusan dan kutipan surat keputusan pemberian hak milik yang merupakan prosedur dan dasar penerbitan sertipikat hak milik; kedua, apabila tidak ada bukti kutipan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah, berarti bahwa berdasarkan ketentuan landreform status tanah tersebut masih merupakan tanah dengan status hukum tanah negara obyek landreform yang belum terbagi. Dengan status tanah masih merupakan tanah negara maka tergugat tidak berwenang untuk menerbitkan sertipikat hak milik sebelum ada keputusan pemberian hak atas tanahnya yang merupakan prosedur dan sekaligus merupakan alas hak untuk dapat terbitnya sertipikat hak milik. Berarti terdapat adanya cacat yuridis berkaitan dengan aspek prosedur hukum yang dilakukan oleh tergugat dalam menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah obyek sengketa.

[80]

BAB VI AKSI KOLEKTIF PENGUATAN HAK MASYARAKAT ATAS LAHAN

Sejak jatuhnya Pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, krisis ekonomi, reformasi politik dan desentralisasi telah menciptakan berbagai peluang dan tantangan bagi para pihak, termasuk masyarakat sekitar hutan. Sekalipun desentralisasi memberi kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan sumberdaya alam di wilayahnya, namun persoalan kebutuhan lahan pertanian, pemukiman dan investasi bagi industri kehutanan dan perkebunan tidak mudah untuk diselesaikan. Konflik hak-hak kepemilikan atas lahan yang semakin marak di seluruh tanah air terjadi karena persepsi yang berbeda soal hak kepemilikan atas lahan, tidak jelasnya hukum pertanahan dan tumpang tindih antar peraturan. Sekalipun telah ada upaya penyelesaian konflik atas lahan baik antar masyarakat, maupun antara masyarakat dengan pihak lain seperti perusahaan, namun masih belum ada kejelasan soal hak properti, baik dalam bentuk hak kepemilikan maupun hak kelola. Seiring dengan bertambahnya penduduk, tuntutan masyarakat semakin tinggi terhadap lahan garapan sebagai sumber mata pencaharian. Terbatasnya lahan pertanian di sekitar hutan mendorong masyarakat untuk memperluas lahan kegiatan pertanian yang seringkali masuk ke kawasan hutan. Di satu sisi, kawasan hutan sebagian dalam kondisi tidak berhutan dan cukup potensial bagi kegiatan pertanian atau wana tani yang dapat memberi keuntungan sosial ekonomi masyarakat maupun lingkungan. Di sisi lain upaya untuk memanfaatkannya secara optimal masih terkendala akibat tidak jelasnya peran masyarakat dan hak properti. Padahal hak properti yang jelas menjadi faktor penting bagi semua pihak, termasuk masyarakat dan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, untuk mengelola sumberdaya secara lebih baik. [81]

Dengan menerapkan penelitian aksi partisipatif atau PAR (participatory action research), kelompok masyarakat di dua desa, Sungai Telang di Kabupaten Bungo dan Lubuk Kambing di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi, difasilitasi untuk belajar bersama memperkuat kelompok, mengenali masalah dan peluang, menyusun rencana dan melakukan aksi dan refleksi. Melalui pendekatan ini, partisipasi berbagai pihak diperlukan untuk mencari solusi praktis bagi berbagai permasalahan dan juga meningkatkan kemampuan setiap individu dan masyarakat (Brydon- Miller et al, 2003). Melalui aksi kolektif, kelompok masyarakat berinteraksi dan bernegosiasi dengan para pihak di luar desa serta membangun jaringan kerja dalam rangka memperjuangkan hak kelola atas sumberdaya alam di sekitarnya.

Gambar. Memetik hasil dari sumberdaya yang terbatas A. Aksi Kolektif dan Hak Properti Aksi kolektif diartikan sebagai suatu aksi yang dilakukan sekelompok individu, baik secara langsung maupun melalui suatu organisasi, untuk mencapai kepentingan bersama (Marshal,1998). Kelompok dapat terbentuk sendiri secara sukarela maupun, dibangun oleh institusi-institusi eksternal, baik formal maupun tidak formal. Aksi kolektif akan timbul, bila dalam mencapai satu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu (Ostrom, 2004). Dalam penelitian ini, aksi kolektif juga dipahami sebagai aksi bersama secara sadar oleh berbagai pihak melalui berbagai proses sosial dan politik untuk memperoleh manfaat pembangunan. Melalui aksi kolektif seseorang

[82]

berpeluang lebih untuk mengatasi keterbatasannya dalam hal sumberdaya, kekuasaan, kemampuan dan hak suara. Sebagian pihak seringkali mengartikan hak property sebagai hak kepemilikan, baik hak milik Negara ataupun pribadi. Walau terdapat berbagai pendapat mengenai konsep dasar hak properti, namun penting dipahami suatu pengertian hak property secara luas. Bromley dalam Meinzen-Dick et al (2001) memandang hak properti sebagai ruang untuk secara kolektif mempertahankan suatu pengakuan atas tuntutan alur manfaat. Dalam hal ini, hak tidak hanya terbatas pada suatu bentuk fisik, tetapi mencakup kepastian memperoleh manfaat dari suatu kesepakatan hukum suatu kelompok sosial, baik kecil maupun besar. Bagi masyarakat sekitar hutan, hak properti tidak dipandang terbatas pada hak secara ekslusif mengambil keputusan (kontrol) atas sumberdaya, tetapi juga hak menerima manfaat dan mengelola sumberdaya tersebut. Di Indonesia, terdapat berbagai hak atas tanah diantaranya hak milik yang merupakan hak terkuat dan pemiliknya mempunyai kontrol penuh atas tanah-, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak memungut hasil hutan. Sumberdaya hutan di Indonesia dikuasai oleh Negara yang wewenang pengaturan dan pengurusannya berada pada pemerintah. Lahan yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan merupakan milik Negara yang wewenang pengaturannya dipegang oleh Departemen Kehutanan. Di tingkat masyarakat, negara mengenal hak masyarakat tradisional (adat), baik individu maupun komunal. B. Kepastian Lahan bagi Masyarakat Lahan merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Bertahun-tahun masyarakat hidup dengan aturan sosial yang membentuknya dan lahan adalah bagian penting di dalamnya. Selain fungsi sosial, lahan pun punya fungsi ekonomi tempat bergantung bagi masyarakat petani miskin. Di Indonesia, budaya dan aturan sosial juga mengatur pengelolaan sumberdaya dan distribusi manfaatnya. Mewariskan lahan kepada keturunan merupakan tradisi budaya turun temurun. Namun apa yang akan terjadi bila

[83]

sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui ini harus menyokong populasi yang terus bertambah dan memenuhi berbagai kepentingan pembangunan? Pertambahan jumlah penduduk, baik angka kelahiran atau masuknya pendatang di suatu daerah menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kebutuhan atas lahan sebagai sumber penghidupan. Ketika lahan tidak cukup lagi untuk dibagi dan memenuhi kebutuhan hidup mendasar, maka seorang petani akan mencari lahan lain untuk memenuhi kekurangan tersebut. Akibatnya, lahan baru dibuka demi memperluas lahan pertanian. Pembukaan lahan tidak hanya terjadi di sekitar wilayah desa, namun meluas hingga areal hutan di sekitarnya yang dalam banyak kasus melahirkan konflik lahan. Secara mendasar, masyarakat memandang pentingnya kepastian lahan sebagai kebutuhan atas hak pengelolaan sumber daya alam. Kebutuhan akan kepastian lahan merupakan salah satu permasalahan penting yang ditemui di kedua desa yang difasilitasi. Umumnya, lahan milik yang diperoleh baik dari hasil jual beli maupun warisan tidak disertai dengan surat bukti kepemilikan. Kekhawatiran semakin meningkat ketika masyarakat desa dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis yang lahir dengan sendirinya dari diri mereka soal kepemilikan, terutama tentang kekuatan hokum lahan yang mereka miliki dan resiko-resiko yang harus mereka hadapi bila lahan tidak mempunyai kekuatan hukum. C. Kelompok yang Difasilitasi Berdasarkan aspek terbentuknya kelompok, gender, etnis, motivasi, periode keberadaan kelompok, topik yang menjadi tujuan kelompok serta masukan dari tingkat kabupaten, dua kelompok dipilih untuk difasilitasi: Sinar Tani di Desa Sungai Telang, Kabupaten Bungo dan Tunas Harapan di Desa Lubuk Kambing, Kabupaten Tanjabar. Kelompok Sinar Tani adalah kumpulan para petani laki-laki yang mengolah padi sawah, terdiri dari berbagai elemen masyarakat seperti aparat pemerintahan desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh masyarakat dan masyarakat.

[84]

Tunas Harapan merupakan kelompok petani laki-laki pendatang dari berbagai etnis. Kelompok ini bekerjasama dalam mengolah lahan di dusun termuda Desa Lubuk Kambing (Deskripsi lebih lanjut setiap kelompok disajikan pada Tabel 1). Selain karena terbentuk secara mandiri, kelompok dipilih karena mempunyai ciri-ciri kelompok yang kuat dan kukuh. Tingginya motivasi dan komitmen anggota untuk berkelompok dan aturan kerja yang masih berlaku menjadi cermin kekuatan dan keutuhan kelompok. Tabel 1. Ciri-ciri Kelompok yang difasilitasi Deskripsi kelompok Sungai Telang Lubuk Kambing Kelompok Sinar Tani Kelompok Tunas Harapan Anggota kelompok berjumlah 17 orang Kelompok ini beranggotakan 34 orang laki-laki yang berasal dari organisasi yang semuanya adalah laki-laki dari desa dan masyarakat di dusun-dusun di satu RT di Dusun Sukamaju. Desa Sungai Telang. Kelompok Anggotanya berasal dari para pendatang membutuhkan Kelompok lahan ini untuk bertujuan membantu anggota petani lainnya untuk mengolah lahan, dan yang menerima bimbingan dari

Petugas kegiatan bertujuan masingprogram

Pertanian Lapangan (PPL). Kelompok pertanian.

terbentuk ketika ada program saling membantu pemerintah terkait perbaikan proyek mengolah lahan irigasi terbatas untuk sejak lahan Kelompok ini memiliki aktivitas yang terbentuk menerima ketika

pertanian ada

persawahan. masing anggota kelompok. Kelompok bantuan pemerintah yang menyediakan dana

pemerintah tahun 1998, untuk namun kelompok ini masih tetap pembangunan perkebunan kelapa sawit melakukan kegiatan bersama. Pada di tahun 2000. tahun 2001, kelompok ini memperoleh bantuan pemerintah dalam bentuk bibit padi, akan tetapi hanya beberapa anggota saja yang tertarik dalam proyek ini. [85]

D. Mencari Kepastian Lahan, Sebuah Langkah yang Tertunda Di Sungai Telang, persoalan-persoalan ketidakpastian hak atas sumber daya alam terkuak ketika kelompok Sinar Tani berkumpul menggali permasalahan. Kelompok bersama-sama melihat, memahami serta menganalisa persoalan yang mereka hadapi dan berupaya mencari jawaban bagi penyelesaian permasalahan tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Anggota kelompok ini memang merupakan orang-orang yang memiliki lahan dalam satu hamparan yang selama ini melakukan kegiatan bertani secara berkelompok. Dengan berkelompok, mereka ingin agar pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam bisa optimal dan saling membantu meningkatkan keterampilan dan membina kepercayaan sesama anggota. Masalah yang sering terjadi pada lahan mereka adalah terjadinya pergeseran batas lahan mereka oleh pemilik lahan tetangganya. Masyarakat merasa kesulitan untuk menunjukkan bukti-bukti batas lahan mereka, karena lahan-lahan tersebut diperoleh dari hasil warisan yang umumnya tidak dilengkapi surat-surat keterangan tanah. Pembagian warisan atas lahan di Desa Sungai Telang memang masih menerapkan pola tradisional adat minang secara turun temurun. Pembagian warisan dilakukan secara lisan oleh para ninik mamak yang disaksikan oleh tokoh masyarakat tanpa disertai bukti kepemilikan atas lahan ataupun surat warisan. Dasar ukuran lahan yang tidak jelas menyebabkan tidak jelasnya berapa ukuran dan batas lahan yang seseorang warisi. Proses jual beli lahan juga umumnya tidak disertai bukti kepemilikan dan surat jual beli. Anggota kelompok menjadi sadar bahwa pengakuan atas kepemilikan lahan yang hanya berdasar kepercayaan diantara pemilik lahan saja ternyata tidak cukup, dan bukti- bukti kepemilikan atas lahan mereka menjadi sangat penting. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat akan pentingnya kepastian hak juga muncul ketika mereka berencana memanfaatkan lahan untuk mendirikan sebuah bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP) bagi sarana pendidikan anak-anak mereka

[86]

Dukungan dari pihak pemerintah daerah berupa bantuan dana pembangunan sebenarnya sudah tersedia, tetapi mereka dihadapkan pada persyaratan bahwa lahan tempat dibangunnnya sekolah harus bersertifikat dan mempunyai bukti kepemilikan yang kuat. Seperti halnya lahan kebun dan sawah mereka, lahan calon lokasi bangunan SMP ini pun tidak mempunyai status hukum yang jelas.

Gambar. Perempuan dan pengelolaan sumberdaya Kesadaran untuk memperoleh lahan yang statusnya jelas juga dipicu oleh sempitnya lahan pertanian di desa seiring dengan pertumbuhan penduduk. Banyak pasangan muda baru menikah tidak mempunyai lahan sehingga mereka membuka lahan baru, seringkali letaknya sangat jauh sehingga sulit untuk dicapai, kata salah seorang anggota kelompok dalam percakapan bukan formal di salah satu pertemuan desa. Beranjak dari permasalahan tersebut, anggota kelompok tani sepakat untuk bersama-sama memperoleh kepastian atas lahan mereka. Sebagian anggota pernah mendengar istilah sertifikat sebagai bukti pengakuan hak atas lahan mereka. Mereka juga mengetahui bahwa sertifikat lahan tersebut dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah. Anggota kelompok sepakat menyusun rencana bersama untuk menempuh proses pengajuan secara kolektif dan langkah awalnya adalah menemui pihak pemerintah daerah untuk menyampaikan masalah mereka. Seorang wakil kelompok ditunjuk untuk

[87]

mewakili kelompok tani menghadap pihak Bappeda, sebagai instansi pertama yang dikunjungi. Wakil kelompok tersebut menyampaikan aspirasi kelompok tani untuk mendapatkan kepastian hak atas lahan mereka yang belum dilengkapi oleh surat bukti kepemilikan. Keinginan kelompok tani tersebut mendapat respon positif dari pihak Bappeda. Pihak pemerintah daerah memandang tuntutan masyarakat tersebut datang tepat pada waktunya, karena pada saat yang bersamaan mereka sedang intensif memperkuat pemahaman hukum soal pertanahan. Seorang penyuluh dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) didampingi wakil dari Bappeda, berkunjung ke desa dan memberi penjelasan tentang sertifikasi lahan. Dalam kesempatan lain, anggota kelompok disertai fasilitator desa mendatangi kantor dinas kabupaten untuk bertemu kembali dengan pegawai pemerintah guna mengetahui prosedur dan persyaratan pembuatan sertifikat lahan. Masyarakat sepakat melaksanakan pertemuan desa untuk mengetahui lebih jauh soal sertifikasi lahan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan beberapa dinas kabupaten seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Badan Perencanaan Pengembangan Daerah (Bappeda). Masyarakat Desa Sungai Telang, baik perempuan maupun laki-laki. dan anggota masyarakat desa tetangga lainnya juga hadir. Tidak saja kelompok, masyarakat juga merasa pertemuan tersebut memberi kesempatan untuk mengklarifikasi permasalahan berhubungan dengan pertanahan melalui diskusi secara langsung dengan wakil pemerintah kabupaten dan penyuluh pertanian. Berbagai pertanyaan muncul, mulai dari pertanyaan dasar tentang pengertian sertifikat sampai dengan prosedur dan biaya yang harus dikeluarkan.

[88]

Gambar. Perempuan di tengah berlimpahnya sumberdaya Masyarakat juga mendapat informasi terbaru tentang kebijakan dan peraturan yang berhubungan dengan pertanahan. Mereka juga mengetahui adanya program pemerintah yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh pengakuan hukum atas lahan, yakni sertifkat lahan. Salah satunya adalah program pemerintah yang disebut dengan Program Nasional Agraria (PRONA). Melalui program yang dilakukan setiap tahun anggaran dengan sasaran di seluruh wilayah Indonesia ini, masyarakat miskin diberikan kesempatan untuk memperoleh sertifikat dengan biaya yang sangat ringan. Beragam informasi tentang prosedur dan persyaratan pengajuan sertifikasi lahan telah mendorong masyarakat untuk melanjutkan langkah memperoleh pengakuan hak milik atas lahan. Dari sebuah pertemuan kelompok, anggota kelompok sepakat untuk secara kolektif mengajukan permohonan melalui program PRONA. Mereka memilih program ini karena lebih mudah dan murah untuk mendapatkan legalitas atas hak kepemilikan lahan, karena program ini didukung oleh sumber dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Langkah selanjutnya yang dilakukan kelompok tani adalah menyiapkan persyaratan yang diperlukan untuk pengajuan program PRONA. Semangat kerja bersama dan pembagian peran antar anggota kelompok yang jelas mempercepat pengumpulan data. Aksi kolektif dan dukungan berbagai pihak di tingkat desa mendorong

[89]

kelancaran proses pengajuan permohonan kepada BPN. Secara individu, anggota kelompok dan masyarakat desa melakukan upaya mendapatkan pengakuan atau legitimasi hak atas lahan berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Pengakuan atas Fisik Lahan (sporadik), yang merupakan bentuk pengakuan hak atas lahan yang umum dikenal masyarakat dan keduanya dikeluarkan oleh kepala desa. Akhirnya, upaya kelompok mengumpulkan persyaratan dan menyampaikan berkas permohonan kepada pihak BPN tercapai. Namun demikian, harapan kelompok untuk mendapatkan sertifikat ternyata masih belum bisa terwujud. Kepala Dinas BPN Kab. Bungo mengungkapkan bahwa untuk tahun anggaran 2005, kuota sertifikat PRONA yang dikeluarkan BPN Kabupaten Bungo adalah sebanyak 250 sertifikat. Seluruh kuota telah dilokasikan untuk desa-desa lain di Kab. Bungo, yang telah mengajukan permohonan kepada BPN pada tahun 2004. Dana pemerintah yang terbatas untuk pelaksanaan program tersebut tidak cukup untuk dapat menjangkau seluruh wilayah kabupaten secara bersamaan. Penentuan prioritas desa yang mendapat jatah tidak semata-mata didasarkan pada kebutuhan dan kesiapan masyarakat tetapi juga melibatkan faktor-faktor bukan teknis. Kelompok Sinar Tani tidak dapat berbuat banyak menghadapi keadaan tersebut, kecuali menerimanya dengan lapang dada. Mereka berharap untuk mencoba kembali pada kesempatan berikutnya di tahun 2007. Sekalipun belum berhasil, upaya kolektif yang dilakukan telah membawa banyak pelajaran dan pengalaman yang berharga bagi anggota kelompok. Berbeda dengan Kelompok Tani Sinar Tani, kelompok masyarakat Tunas Harapan di Dusun Suka Maju, Desa Lubuk Kambing yang sebagian besar pendatang tidak mengandalkan upayanya untuk memperoleh kepastian lahan pada program PRONA. Mereka justru mengajukan usulan bantuan pengadaan bahan, sarana dan prasarana di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan, pendidikan dan kesehatan. Mereka berpendapat bahwa pemberian suatu bentuk bantuan

[90]

pembangunan dapat menjadi petunjuk awal bagi adanya pengakuan atas keberadaan dan kepemilikan di wilayah mereka. Bupati ada memberikan bantuan atap seng untuk gedung sekolah dasar perintis di dusun kita. Itu tandanya Bupati sudah mengakui masyarakat di dusun ini (warga Dusun Suka Maju). Kalau jalan sudah dibuka pemerintah, itu berarti dusun kita ini sudah diakui sebagaibagian dari wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat (warga Dusun Suka Maju) lahan tempat mereka bermukim dan membuka ladang adalah kawasan hutan produksi yang selama ini silih berganti dikuasai oleh beberapa perusahaan swasta, baik dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI), seperti PT. Sadar Nila (1977-1997), PT. Loka Rahayu (19771997), PT. Inhutani V (1997-2000) dan kini oleh PT. Wira Karya Sakti dengan masa konsesi 100 tahun dimulai 2004. menggusur lahan dan pemukiman kami. Seluruh perempuan nekat menghadang buldoser perusahaan. Ibu-ibu nekat membuka baju sambil berteriak inilah KTP kami, ketika PT. Inhutani V mempertanyakan identitas kami (seorang ibu, warga desa Lubuk Kambing). Berdasarkan wawancara, sebagian masyarakat terkesan tidak terlalu mempermasalahkan status kepemilikan. Karena kurang eratnya hubungan hukum antara mereka dengan lahan tempat mereka sekarang hidup, mereka lebih cenderung mengharapkan pemerintah bisa memberikan akses dan hak kelola untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Masyarakat juga menganggap program pemerintah yang diberikan kepada mereka merupakan bentuk lain dari pengakuan pemerintah terhadap keberadaan mereka di wilayah tersebut. Selama ini, sebagian besar masyarakat pendatang memperoleh pengakuan hak atas kebun dalam bentuk SKT yang dikeluarkan kepala desa secara sporadik. Meskipun tanpa legalitas yang kuat, selembar kertas yang berisi keterangan atas kepemilikan lahan dan ditandatangani oleh kepala desa dianggap sebagai suatu pengakuan yang memberikan rasa aman bagi mereka. Dulu tahun 1997, kami pernah beramai-ramai menentang petugas PT. Inhutani V yang mau

[91]

Setidaknya surat ini dapat mereka gunakan untuk mempertahankan hak mereka atas lahan ketika muncul persoalan/ tuntutan dari penduduk lokal. Ketika anggota Kelompok Tani Tunas Harapan bersama-sama menggali masalah, pemanfaatan sumberdaya alam yang belum optimal adalah salah satu yang teridentifikasi. Karena keterbatasan kemampuan petani dalam menggarap dan mengelola lahan, banyak lahan yang tidak produktif. Sebagian besar masyarakat menyampaikan keinginan agar pemerintah memberikan perhatian terhadap kegiatan budidaya pertanian mereka. Salah seorang warga masyarakat, misalnya, menyampaikan harapannya kepada kepala desa ketika dalam sebuah pertemuan di Dusun Suka Maju. Lahan di wilayah ini luas pak! sedangkan pembinaan pertanian belum pernah ada, untuk itu tolong bapak datangkan penyuluh pertanian (PPL) agar dapat membina kami. E. Menanti Kepastian atas Sumber Kehidupan Bagi warga pendatang yang bermukim di Dusun Suka Maju, Desa Lubuk Kambing, memperoleh pengakuan hak milik atas lahan dalam bentuk sertifikat masih merupakan mimpi. Persoalannya, Dari sebuah pertemuan, anggota kelompok sepakat untuk mencari informasi tentang program pertanian dari instansi terkait, khususnya Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Merlung. Dengan bantuan fasilitasi, wakil anggota terpilih beberapa kali melakukan kunjungan ke BPP. Perjalanan panjang mempertemukan kelompok tani dengan BPP membuka harapan baru bagi kelompok tani. Pihak BPP mengakui bahwa mereka merasa kembali disadarkan akan masih adanya masyarakat yang membutuhkan peran mereka. Komunikasi antara kedua pihak tersebut mulai terjalin. Banyak informasi program pemerintah di bidang pertanian dan perkebunan sampai kepada masyarakat. Aspirasi kelompok tani untuk mendapatkan pembinaan juga mendapat respon positif dari BPP, yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk temu lapangan di Dusun Suka Maju. Dari kegiatan tersebut, pihak BPP semakinmengetahui kondisi masyarakat dan potensi lahan pertaniannya.

[92]

Dalam pertemuan kelompok, anggota belajar berefleksi dan menyusun rencana baru. Beragam ide bermunculan dari masing-masing anggota. Umumnya, ada keinginan untuk mendapatkan bantuan pemerintah di bidang pertanian. Namun kelompok dihadapkan pada dua pilihan, yaitu perkebunan atau tanaman pangan. Muncul perdebatan diantara anggota atas pilihan mana yang akan diambil. Kepentingan dan kebutuhan pribadi beberapa anggota tampak jelas menjadi alasan atas pilihan yang mereka yakini untuk dijadikan pilihan kegiatan kelompok. Berdasarkan kebutuhan sebagian besar anggota dan tersedianya potensi sumberdaya, akhirnya anggota sepakat untuk mengajukan bantuan penanaman tanaman karet melalui sebuah program yang mereka pernah dengar dari hasil interaksi dengan pihak pemerintah daerah. Program P2WK (Peningkatan Perkebunan di Wilayah Khusus) menjadi salah satu harapan mereka untuk memperoleh suatu pengakuan atas keberadaan mereka di wilayah tersebut. Sewaktu keputusan diambil, anggota kelompok secara partisipatif menyusun sebuah rencana aksi. Anggota kelompok sepakat untuk kembali mencari informasi yang lebih dalam tentang program P2WK dari Kantor Cabang Dinas (KCD) Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Merlung. Kelompok menunjuk beberapa anggota dan mempercayakan tugas mencari informasi dengan bantuan fasilitasi penelitian. Dari diskusi yang dilakukan dengan staf KCD Kehutanan dan Perkebunan, diperoleh informasi lengkap tentang program P2WK, termasuk prosedur dan prasyarat pengajuan permohonan bantuan. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, anggota kelompok tani menyelesaikan secara bersama- sama kelengkapan persyaratan permohonan P2WK. Pembagian kerja yang jelas di dalam kelompok dan Ketika rencana dijalankan, ternyata ada anggota yang telah diberi kepercayaan oleh kelompok tidak melaksanakan tugas tanpa alasan. Ini merupakan realita yang terjadi sebagai bagian dari dinamika kelompok tani. Pada kenyataannya, konflik internal dalam kelompok menjadi penyebabnya. Bagi sebagian anggota, perilaku tersebut dianggap sebagai penghianatan semangat kerja bersama

[93]

membuat proses persiapan menjadi cepat. Harapan yang besar dari anggota untuk memperoleh peluang bantuan menjadi salah satu pemicunya. Selesainya dokumen permohonan P2WK kelompok bukan berarti pengajuan permohonan berjalan mulus. Hambatan mulai muncul ketika kelompok tani meminta dukungan aparat desa terhadap permohonan yang akan mereka ajukan. Namun dukungan tersebut tidak dapat diperoleh karena alasan ketidakjelasan status kependudukan kelompok tani ini Desa Lubuk Kambing. Hambatan ini kemudian dibahas dalam pertemuan kelompok. Dari refleksi yang dilakukan, muncul tanggapan negatif anggota kelompok tani terhadap aparat desa. Anggota kelompok menilai bahwa alasan untuk tidak mendukung upaya kelompok tani tersebut sangat tidak berdasar dan lebih bersifat tendensius untuk menghambat kemajuan mereka. Meskipun sempat membuat semangat kelompok tani melemah, hambatan tersebut tidak membuyarkan keinginan kelompok untuk melanjutkan langkah pengajuan permohonan. Salah satu gagasan yang muncul dalam sebuah refleksi adalah membuka komunikasi dengan Pemerintah Kecamatan Merlung, sebuah langkah yang berani karena melangkahi struktur kepala desa. Dengan bantuan pemerintah kecamatan, akhirnya permohonan disampaikan kepada instansi terkait di kabupaten. Namun, sayangnya harapan kelompok tani mendapatkan bantuan P2WK masih belum dapat terwujud saat ini. Kuota bantuan program P2WKuntuk Kecamatan Merlung tahun anggaran 2005 yang disetujui DPRD seluas 50 ha telah dialokasikan untuk kelompok tani dari desa lain, yang telah mengajukan permohonan pada tahun 2004. Kenyataan lain yang juga harus diterima oleh kelompok tani adalah bahwa ada kemungkinan permohonan P2WK mereka tidak dapat disetujui karena lokasi lahan yang diajukan berada di dalam kawasan Hutan Produksi (HP), yang pemanfaatannya perlu lebih dulu disetujui di tingkat pusat. Mereka juga berpeluang terlibat dalam program perhutanan sosial misalnya hutan kemasyaratan (Hkm) dan Perdebatan sengit antar sesama anggota kelompok terjadi ketika membahas keengganan

[94]

kepala desa menandatangani surat permohonan P2WK mereka. Sebagian kecil anggota usul agar permohonan P2WK dibatalkan karena dia khawatir , kepala desa marah bila keinginan tersebut tetap dilaksanakan. Ini akan berdampak buruk bagi keberadaan mereka di wilayah tersebut. Sebaliknya, sebagian anggota kelompok berpikir untuk tetap mengajukan permohonan dengan menempuh jalan lain, yaitu menyerahkan permohonan P2WK tanpa harus mendapatkan tanda tangan kepala desa. Akhirnya anggota kelompok tani sepakat untuk tetap mengajukan permohonan, dengan tetap mencoba kembali berbicara dengan kepala desa. Harapannya, kepala desa mau membubuhkan tandatangannya. Pertemuan juga sepakat untuk menugaskan wakil ketua kelompok, yang kebetulan adalah masyarakat asli Desa Lubuk Kambing untuk berbicara dengan kepala desa, dengan bantuan fasilitasi. Pembicaraan dengan kepala desa dilakukan, namun tetap tidak membuahkan hasil. Beliau tetap tidak bersedia menandatangani surat permohonan. Dalam kesempatan itu, kepala desa justru menyatakan bahwa permohonan P2WK telah diajukan dengan mengatasnamakan masyarakat Desa Lubuk Kambing dan bukan atas nama Kelompok Tani Tunas Harapan. memanfaatkan lahan tanpa perlu mengubah status kawasan hutannya. Jika status kawasan hutannya diubah menjadi Areal Penggunaan Lain, mereka juga berpeluang memperoleh hak sewa, hak pemanfaatan atau bermitra dengan perusahaan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Namun, kedua peluang sama-sama menuntut proses panjang sebelum bisa diwujudkan. Seperti halnya Kelompok Suka Maju, kelompok ini pun harus terhenti langkahnya sebelum memperoleh keberhasilan dengan aksi kelompoknya untuk memperoleh pengakuan atas lahan. Namun demikian, pengalaman aksi kolektif telah memberi mereka banyak pelajaran tentang berkelompok dan membuka banyak kesempatan, termasuk diantaranya meningkatkan kemampuan bertani mereka. Salah satu staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengakui kelompok ini mempunyai peluang menjadi kelompok terpilih jika program hutan kemasyaratan diterapkan. Alasannya, cara bertani dan

[95]

komitmen mereka untuk berkelompok dan mengelola sumberdaya lahansangat mengesankan. F. Refleksi tentang Hak Properti, Program Pembangunan dan Aksi Kolektif Kedua kasus tersebut memberi pelajaran penting bahwa hak properti, baik berupa hak milik maupun hak kelola jika didefinisikan dengan baik dan ditegakkan akan memberikan kepastian bagi masyarakat dalam mengelola lahannya. Kasuspertama di Sungai Telang menggambarkan upaya masyarakat yang telah memiliki lahan untuk memperoleh kepastian lahan dalam bentuk sertifikat. Kasus kedua menunjukkan upaya masyarakat salah satu dusun di Lubuk Kambing dalam mencari kepastian lahan berupa hak kelola atas lahan garapan mereka. Hak properti bagi masyarakat tidak semata-mata hak kepemilikan dan selalu berwujud sertifikat lahan, tetapi juga dapat berupa hak kelola atas sumberdaya alam. Hak kelola memberikan kepastian dan jaminan kepada pemegangnya. Secara berkelompok, misalnya, masyarakat mengelola lahan yang berada di kawasan hutan dalam bentuk hutan tanaman industri skala kecil (HTI mini) atau Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Dengan aturan yang jelas soal hak dan kewajiban dan rentang berlakunya waktu, pihak-pihak pemegang hak mendapatkan insentif untuk mengelola sumberdaya di atas nya dengan lebih lestari. Ini menjadi sebuah pembelajaran bagi pihak-pihak yang memegang kontrol atas sumberdaya hutan, yang selama ini memahami hak properti secara sempit dan cenderung enggan membicarakannya.Masyarakat dan pihak lain, seperti pemerintah daerah, juga perlu belajar dari kasus ini bahwa ada banyak pilihan-pilihan bagaimana sumberdaya dikelola dansejauh mana kesejahteraan masyarakat bisa dicapai.Pemberian hak kepemilikan dan perubahan statuskawasan hutan menjadi areal penggunaan lain bukan satu-satunya pilihan. Sepanjang ada aturan yang jelas, mekanisme yang transparan, proses

[96]

kolaboratif diantara berbagai pihak dan sanksi yangtegas, sumberdaya alam dapat lebih mudah dikelolasecara berkelanjutan.Masyarakat berpendapat bahwa berbagai programpembangunan, baik dari pemerintah pusatmaupun daerah, masih jarang sekali menekankanpada pentingnya keberlanjutan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam yang memberi kepastian hak properti masyarakat. Sebagai contoh, sebagian besar program masih bersifat bantuan yang manfaatnya dirasakan secara singkat saja. Dukungan di bidang kehutanan dan pengembangan kapasitas hanya terbatas pada pemberian bibit tanaman dan cara-cara bercocok tanam, tanpa diiringi dengan dukungan dan evaluasi mengenai bagaimana Pada awal tahun 2006, tepatnya tanggal 2 Februari 2006, ada pertemuan di rumah Kepala Desa Lubuk Kambing antara PT. Wira Karya Sakti (WKS) dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat. Pada pertemuan tersebut pihak PT. WKS mennginformasikan keberadaan mereka di kawasan hutan produksi eks PT.Sadar Nila dan PT. Loka Rahayu. Saat itu, PT WKS sudah menguasai izin konsesi kedua perusahaan tersebut dan akan mulai melakukan pemasangan patok batas kawasan konsesi mereka, khususnya antara konsesi mereka dengan lahan Koptas Kotalu, sebuah perkebunan kelapa sawit. Pada pertemuan tersebut, perangkat desa beserta tokoh masyarakat menolak klaim PT. WKS tersebut dan meminta agar pihak perusahaan tidak mengerjakan kegiatan apapun sebelum ada kejelasan atas status lahan dimaksud. Perangkat desa beserta tokoh masyarakat secara tegas menyatakan tidak akan bertanggung jawab bila ada tindakan arogan dari masyarakat seandainya PT. WKS tetap melanjutkan rencananya. Menanggapi hal itu, PT. WKS bermaksud membahas lebih lanjut dengan fasilitasi pihak pemerintah daerah, dalam hal ini Kecamatan Merlung. Sekalipun ada tuntutan dari masyarakat, pihak perusahaan pada kenyataanya tetap menjalankan rencana mereka melakukan pemasangan patok batas areal konsesi. Masyarakat meresponnya dengan melakukan aksi bersama secara spontan mencabut setiap tanda batas yang telah dipasang.

[97]

Masyarakat juga beberapa kali mengusir karyawan perusahaan yang hendak memulai pekerjaan di wilayah tersebut, utamanya pekerjaan merintis jalan dan pal batas. Bentuk penolakan masyarakat tidak mengarah pada aksi kekerasan, sekalipun tidak tertutup kemungkinan mengarah pada bentrokan fisik/kekerasan bila jalan keluar tidak segera ditemukan. Bagi masyarakat, apa yang mereka lakukan hanyalah sebuah upaya untuk mempertahankan lahan yang telah mereka buka. Jerih payah masyarakat ternyata tidak sia-sia. Pemerintah daerah memperhatikan aspirasi mereka. Harapan muncul ketika dalam sebuah lokakarya tentang tata ruang dan kawasan hutan di ibu kota propinsi, ternyata pemerintah daerah kabupaten dalam usulan revisi tata ruangnya telah memasukan areal dimaksud sebagai bagian dari kawasan hutan yang diusulkan perubahan statusnya menjadi areal penggunaan lain. Sekalipun Departemen Kehutanan belum memberikan persetujuan, langkah tindak lanjut dari para pihak di daerah terus berlanjut. Pihak perusahaan berinisiatif mengeluarkan wilayah yang dipersengketakan dari areal konsesi mereka. Bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, perusahaan melakukan inventarisasi luasan areal yang sudah dibuka masyarakat. Beberapa alternatif solusi juga sudah mulai dibicarakan, diantaranya bentuk kemitraan dengan perusahaan, penerapan sistem hutan kemasyarakatan sampai pada upaya hukum memindahkan mereka ke wilayah lain. Apakah masyarakat diuntungkan dari proses ini dan apakah akhirnya mereka akan memperoleh hak properti seperti yang diidamkan? Jawaban terhadap pertanyaan ini masih harus ditunggu. Proses masih terus berjalan dan semua pihak belajar. masyarakat memelihara dan memperoleh manfaat dari tanaman yang ditanam. Aspek-aspek hak properti dan sejauh mana masyarakat mendapat insentif untuk memelihara dan memanen hasil tanaman mereka dalam jangka panjang masih belum tersentuh program-program tersebut. Persoalan lain adalah tidak seluruh informasi Mengenai program pemerintah tersebut tersampaikan secara utuh kepada masyarakat. Sebaliknya, tidak seluruh aspirasi masyarakat tersampaikan kepada pemerintah. Proses fasilitasi yang

[98]

dilakukan lewat penelitian ini menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan pihak di luar desa, khususnya pemerintah kabupaten. Upaya membangun komunikasi dilakukan dengan cara mempertemukan wakil dari kelompok masyarakat dengan wakil instansi pemerintah terkait di kantor kecamatan atau kabupaten. Hasilnya, kedua pihak memperoleh pengalaman dan dapat berbagi informasi dan bersama-sama mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Masyarakat memperoleh banyak informasi di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian dan pertanahan. Sementara pihak pemerintah dapat mendengar langsung permasalahan dan kebutuhan masyarakat desa. Proses tersebut tidak terlepas dari hasil belajar Kelompok masyarakat yang bersama-sama menyusun rencana, melakukan aksi, mengawasi proses aksi yang dilakukan, dan berefleksi terhadap langkah-langkah yang telah dilalui. Melalui rangkaian proses yang terus berulang dengan pola yang sama tersebut, masyarakat lebih sadar akan potensi diri dan sumberdaya yang ada. Kepercayaan diri mereka menjadi lebih baik, karena mereka sadar bahwa masalah yang mereka hadapi dan langkah yang mereka lakukan bukan hanya milik mereka sendiri melainkan sebuah aksi dan kebutuhan bersama.

[99]

BAB VII PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara; c. bahwa pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditunjukan untuk menciptakan ketertibah hokum, tetapi juga untuk mennyelesaikan masalah , sengketa, dan konflik pertanahan yang timbul; d. bahwa kebijaksanaan nasional di bidang pertanahan perlu disusun dengan memperhatikan aspirasi dan peran serta masyarakat guna dapat memajukan kesejahteraan umum; e. bahwa sehubungan dengan dasar menimbang sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta dalam rangka penguatan kelembagaab Badan Pertanahan Nasional, dipandang perlu untuk mengatur kembali Badan Pertanahan Nasional dengan Peraturan Preseiden; Mengingat : 1. 2. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

[100]

3.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 NOmor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 NOmor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL BAB I KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI Pasal 1

(1) (2)

Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh Kepala. Pasal 2

Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi : a. b. c. d. e. f. g. h. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus;

[101]

i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t.

penyiapan

administrasi

atas

tanah

yang

dikuasai

dan/atau

milik

Negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan; pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; kerja sama dengan lembaga-lembaga lain; penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara, dan konflik di bidang pertanahan; pengkajian dan pengembangan hokum pertanahan; penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; pembatalan dan penghentian hubungan hokum antara orang, dan/atau badan hokum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturn perundang-undangan yang berlaku. BAB II ORGANISASI Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 4 Badan Pertanahan Nasional terdiri dari : a. b. c. Kepala; Sekretaris Utama; Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan

[102]

d. e. f. g. h.

Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan; Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat; Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan; Inspektorat Utama. Bagian kedua Kepala Pasal 5

Kepala mempunyai tugas memimpin Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. Bagian Ketiga Sekretaris Utama Pasal 6 a. b. Sekretariat Utama adalah unsur pembantu pimpinan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala. Sekretariat Utama dipimpin oleh Sekretaris Utama. Pasal 7 Sekretariat Utama mempunyai tugas mengkoordinasikan perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Pasal 8 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Sekretariat Utama menyelenggarakan fungsi : a. b. c. pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional; pengkoordinasian perencanaan dan perumusan kebijakan teknis Badan Pertanahan Nasional; pembinaan dan pelayanan administrasi ketatausahaan, organisasi, tatalaksanan, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga Badan Pertanahan Nasional;

[103]

d.

pembinaan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, data dan informasi, hubungan masyarakat dan protocol di lingkungan Badan Pertanahan Nasional;

e. f.

pengkoordinasian

penyusunan

peraturan

perundang-undangan

yang

berkaitan dengan tugas badan Pertanahan Nasional; pengkoordinasian dalam penyusunan laporan Badan Paretanahan Nasional. Bagian Keempat Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan Pasal 9 (1) Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala. (2) Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan dipimpin oleh Deputi. Pasal 10 Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan. Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan menyelenggarakan fungsi : a. b. c. d. perumusan kebijakan teknis di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan; pelaksanaan survei dan pemetaan tematik; pelaksanaan pengukuran dasar nasional; pelaksanaan pemetaan dasar pertanahan. Bagian Kelima Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Pasal 12 (1) Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

[104]

Kepala. (2) Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dipimpin oleh Deputi. Pasal 13 Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah. Pasal 14 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalamPasal 13, Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah menyelenggarakan fungsi : a. b. c. d. e. f. perumusan kebijakan teknis di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah; pelaksanaan pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; inventarisasi dan penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah; pelaksanaan pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah, pemerintah daerah, organisasi sosial keagamaan, dan kepentingan umum lainnya; penetapan batas, pengukuran dan perpetaan bidang tanah serta pembukuan tanah; pembinaan teknis Pejabat Pembuat Akta Tanah, Surveyor Berlisensi dan Lembaga Penilai Tanah. Bagian keenam Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Pasal 15 (1) Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan adalah unsure pelaksana sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di bidang pengaturan dan penataan pertanahan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala. (2) Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan dipimpin oleh Deputi. Pasal 16 Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengaturan dan penataan pertanahan.

[105]

Pasal 17 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan menyelenggarakan fungsi : a. b. c. d. perumusan kebijakan teknis di bidang pengaturan dan penataan pertanahan; penyiapan peruntukan, persediaan, pemeliharaan, dan penggunaan tanah; pelaksanaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan pemilikan tanah serta pemanfaatan dan penggunaan tanah; pelaksanaan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya. Bagian Ketujuh Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat Pasal 18 (1) Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat adalah unsure pelaksana sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala. (2) Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat dipimpin oleh Deputi. Pasal 19 Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Pasal 20 Dalam melaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat menyelenggarakan fungsi : a. b. c. perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat; pelaksanaan pengendalian kebijakan, perencanaan dan program penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; Pemberdayaan masyarakat di bidang Pertanahan;

[106]

d.

evaluasi dan pemantauan penyediaan tanah untuk berbagai kepentingan. Bagian Kedelapan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Pasal 21

(1)

Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan adalah unsure pelaksana sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala.

(2)

Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dipimpin oleh Deputi. Pasal 22

Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. Pasal 23 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasa122, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan menyelenggarakan fungsi : a. b. c. d. e. f. perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan; pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa, daii konflik pertanahan; penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum; penanganan perkara pertanahan; pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya; pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan;

[107]

g.

penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hokum antara orang dan/atau badan hokum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kesembilan Insipektorat Utama Pasal24

(1) (2)

Inspektorat Utama adalah unsur pengawasan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala. Inspektorat Utama dipimpin oleh InsPektur Utama. Pasal 25

Inspektorat Utama mempunyai tugas melaksanakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Pasal 26 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 25, Inspektorat Utama menyelenggarakan fungsi : a. b. c. d. penyiapan perumusan kebijakan pengawasan fungsional di lingkungan Badan Pertanahan Nasional; pelaksanaan pengawasan kinerja, keuangan dan pengawasan untuk tujuan tertentu atas petunjuk Kepala Badan Pertanahan Nasional; pelaksanaan urusan administrasi Inspektorat Utama; penyusunan laporan hasil pengawasan. Bagian Kesepuluh Lain-lain Pasal 27 (1) (2) (3) Di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dapat dibentuk Pusat-Pusat sebagai unsur penunjang tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. Pusat dipimpin oleh Kepala Pusat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala melalui Sekretaris Utama: Pusat terdiri dari sejumlah Bidang dan 1 (satu) Subbagian Tata Usaha, masing-masing Bidang terdiri dari sejumlah Subbidang. Pasal 28 (1) Untak menyelepggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di

[108]

daerah, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi di Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Kabupaten/Kota. (2) Organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. Pasal 29 Di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dapat ditetapkan jabatan fungsional tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 (1) Sekretariat Utama terdiri dari paling banyak 5 (lima) Biro, masing-masing Biro terdiri dari paling banyak 4 (empat) Bagian dan masing-masing Bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Subbagian. (2) Deputi terdiri dari paling banyak 4 (empat) Direktorat, masing-masing Direktorat terdiri dari paling banyak 4 (empat) Subdirektorat dan masingmasing Subdirektorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Seksi. (3) Inspektorat Utama terdiri dari paling banyak 5 (lima) Inspektorat dan 1 (satu) Bagian Tata Usaha, Inspektorat membawahkan kelompok jabatan fungsion I Auditor dan Bagian Tata Usaha terdiri dari paling banyak 4 (empat) Subbagian. BAB III STAF KHUSUS Pasal 31 Di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dapat diangkat paling banyak 3 (tiga) orang Staf husus Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Badan Nasional sesuai dengan penugasan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pasa1 32 (1) Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat berasal dari Pegawai Negeri atau bukan Pegawai Negeri.

[109]

(2)

Pegawai Negeri yang diangkat sebagai Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri.

(3)

Pegawai Negeri yang diangkat sebagai Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri apabila telah mencapai batas usia pension dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(4)

Pegawai Negeri yang berhenti atau telah berakhir masa baktinya sebagai Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional diaktifkan kembali dalam jabatan organiknya apabila belum mencapai usia batas usia pensiun. Pasal 33

(1) (2)

Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Masa bakti Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional paling lama sama dengan masa jabatan Kepala Badan Pertanahan Nasionai yang bersangkutan.

(3)

Staf khusus Badan Pertanahan Nasional apabila berhenti apabila atau berakhir masa baktinya tidak diberikan pension atau uang pesangon. Pasal 34

(1)

Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional diberikan setingkat dengan jabatan struktural eselon II.a atau setinggi-tingginya eselon I.b.

(2)

Dalam pelaksanaan tugasnya, Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional difasilitasi oleh Sekretariat Utama.

[110]

BAB IV KOMITE PERTANAHAN Pasal 35 Untuk menggali pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan bidang pertanahan dan dalam rangka perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan, Badan Pertanahan Nasional membentuk Komite Pertanahan. Pasal 36 Komite Pertanahan mempunyai tugas memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. Pasal 37 Komite Pertanahan di ketuai oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional secara Exofficio. Pasal 38 (1) (2) Keanggotaan Komite Pertanahan berjumlah paling banyak 17 (tujuh belas) orang. Keanggotaan Komite Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari para pakar di bidang pertanahan dan tokoh masyarakat. Pasal 39 Keangotaan Komite Pertanahan diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pasal 40 Dalam melaksanakan tugasnya, Komite Pertanahan didukung oleh Sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Pasal 41 Ketentuan mengenai susunan keanggotaan, rincian tugas, masa jabatan keanggotaan, dan tata kerja Komite Pertanahan, diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

[111]

BAB V TATA KERJA Pasal 42 Semua unsur dilingkungan Badan Pertanahan Nasional dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Badan Pertanahan Nasional sendiri maupun dalam hubungan antar instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Pasal 43 Setiap pimpinan satuan organisasi wajib melaksanakan sistem pengendalian intern di lingkungan masing-masing yang memungkinkan terlaksananya mekanisme uji silang. Pasal 44 Setiap pimpinan satuan organisasi bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan masing-masing dan memberikan pengarahan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan. Pasal 45 Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk dan bertanggung jawab pada atasan masing-masing serta menyampaikan laporan secara berkala tapat pada waktunya. Pasal 46 Dalam melaksanakan tugas, setiap pimpinan satuan organisasi wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap satuan organisasi di bawahnya. BAB VI ESELON, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN Pasal 47 (1) (2) Kepala adalah jabatan negeri. Kepala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dijabat oleh bukan Pegawai Negeri. Pasal 48 (1) Kepala yang berasal dari Pegawai Negeri, Sekretaris Utama, Deputi, Inspektur Utama adalah jabatan eselon I.a.

[112]

(2) (3) (4) (5)

Kepala Biro, Direktur, Kepala Pusat, Inspektur, dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi adalah jabatan eselon II.a. Kepala Bagian, Kepala Subdirektorat, Kepala Bidang, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota adalah jabatan eselon III.d. Kepala Subbagian, Kepala Seksi, dan Kepala Subbidang adalah jabatan eselon IV.a. Pasal 49

(1) (2) (3)

Kepala diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sekretaris Utama, deputi, dan Inspektorur Utama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulan Kepala. Pejabat Eselon II kebawah diangkat dan diberhentikan oleh Kepala. Pasal 50

Pelantikan Kepala dilakukan oleh Presiden atau Menteri yang ditugaskan oleh Presiden. Pasal 51 Hak keuangan, administrasi, dan fasilitas-fasilitas lain bagi Kepala Badan Pertanahan Nasional yang dijabat oleh bukan pegawai negeri diberikan setingkat dengan jabatan eselon I.a. BAB VII PEMBIAYAAN Pasal 52 Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan Pertanahan Nasional, dibebankan kepada Anggaran Pendaatan dan Belanja Negara. BAB VIII KETENITUAN PERALIHAN Pasal 53 (1) Peraturan pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 dan

[113]

Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005 yang mengatur mengenai Badan Pertanahan Nasional, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah dan/atau diganti dengan peraturan baru berdasarkan Peraturan Presiden ini. (2) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Presiden ini, seluruh jabatan yang ada beserta pejabat yang memangku jabatan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, tetap melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional sampai dengan diatur kembali berdasarkan Peraturan Presiden ini. (3) Sampai dengan terbentuknya organisasi Badan Pertanahan Nasional secara terinci berdasarkan Peraturan Presiden ini, seluruh satuan organisasi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tetap melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 54 Rincian lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja Badan Pertanahan Nasional ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka : a. Ketentuan sepanjang mengenai Badan Pertanahan Nasional sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata

[114]

Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005; b. Ketentuan mengenai Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Badan Pertanahan Nasional sebagaimana diatur dalam Keputusan Presoden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2005, dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 56 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tangal ditetapkan.

[115]

DAFTAR PUSTAKA

[116]

You might also like