You are on page 1of 9

Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Tanah merupakan tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, dan bahkan tanah merupakan unsur wilayah dalam kedaulata n negara. Oleh karena itu, tanah bagi Bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan bai k. Tanah yang merupakan hak dasar setiap orang, keberadannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarak at untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. Gadai adalah hubungan hukum antara seseo rang dengan tanahkepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai.Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai.Pengembalian uang gadai ata u yang lazim disebut penebusan, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan .

Gadai dalam hukum adat dikenal juga dengan istilah jual gadai. Ada beberapa para ahli hukum yang memberikan pendapat mengenai pengertian gadai menurut hukum adat seperti yang diungkapkan Ter Haar, gadai adalah suatu perjanjian dimana pemilik tanah menyerahkan tanahnya, guna menerima sejumlah uang tunai dengan janji. Bahwa yang menyerahkantanah berhak menerima kembali tanahnya setelah membayar uang tebusa n sebesar nilai uang yang telah diterimanya.

Menurut Soerjono Soekanto, gadai atau yang disebut dengan jual gadai adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanahkepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut.

Adapun ciri Jual Gadai yang diatur dalam hukum adat adalah :

1. Hak Pembeli Gadai Dengan penerimaan tanah itu si pembeli gadai berhak : a. Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik , dengan pembatasan : Tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada orang lain; Tidak boleh menyewakannya untuk lebih dari satu musim lamanya (jual tahunan) b. Mengoperkan gadai ataupun menggadaikan kembali/menggadaikan lain jika ia sangat

dibawah harga, tanah tersebut kepada orang

memerlukan uang, sebab ia tidak dapat memaksa si penjual gadai semula untuk menebus tanahnya; c. Mengadakan perjanjian bagi hasil / belah pinang / paruh hasil tanam / maro dan sejenis itu. 2. Sifat Hubungan Gadai a. Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang uang dengan tanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai; b. Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak menebus itu bahkan dapat beralih kepada ahliwarisnya.

c. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai, dalam hal transaksi jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh si penjual gadai sendiri, dengan janji : jika si penjual (merangkap penyewa) tidak membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat d itagih kembali oleh si pembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap : menjadi objek gadai dan sekaligus objek sewa pula). 3. Kemungkinan Mengoperkan Gadai dan Menggadaikan Kembali Menurut hukum adat, pemegang gadai tidak dapat menuntut p emilik tanah untuk menebus tanah gadainya. Oleh karenanya jika pemegang gadai memerlukan uang, ia dapat menempuh dua jalan, yaitu dengan mengalihkan gadai atau dengan menganakkan gadai. a. Setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai dapat mengoperkan gadai itu kepada pihak ketiga, yaitu menyerahkan tanah tersebut kepadanya dengan menerima sejumlah uang tunai. Dengan demikian terjadilah pergantian subjek di dalam perutangan yang sama : hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai semula beruba h menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai yang baru. b. Tanpa setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai menggadaikan kembali tanah itu kepada pihak ketiga, dengan janji : ia sewaktu -waktu dapat menebus tanah itu dari pihak ket iga tersebut. Dengan demikian, terdapatlah dua perutangan : 1) Antara penjual gadai semula dengan pembeli gadai semula (terang terangan); 2) Antara pembeli semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ketiga yang menjadi pembeli gadai baru (sembunyi -sembunyi)

Jika pada suatu ketika penjual gadai semula menebus tanahnya, maka pembeli gadai semula cepat -cepat menebusnya dari pembeli gadai yang

baru. Dengan demikian tanah yang menjadi objek transaksi rangkap itu kembali dengan aman kepada pemiliknya. Mengenai waktu gadai, dalam hukum adat tidak mengenal daluarsa (verjaring).Jika waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemberi gadai belum mampu untuk menebus tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai, maka penerima gadai tidak berhak mendesak pemberi gadai. Penerima gadai dapat mengalihgadaikan tanah tersebut kepada pihak atau memperpanjang perjanjian gadai atas tanah, atau dengan jalan pemberi gadai menjual tanah tersebut kepada penerima gadai atau pihak lain dan hasil penjualannya dipergunakan untuk mengemb alikan uang milik penerima gadai dan sisanya bila ada dikembalikan pada pemberi gadai.

Transaksi seperti ini terdapat di seluruh Indonesia. Perbedaannya tidak prinsipal, hanya terdapat dalam pelaksanaannya saj seperti di Aceh, dalam akta wajib dicantumkan formula ijab-kabul; di tanah suku Batak transaksi harus dijalankan di atas nasi ngebul; di Minangkabau ada kebiasaan yang membeli gadai setiap tahunnya memberi kiriman nasi kepada yang menjual gadai, satu tanda bahwa yang belakangan ini berhak untuk meneb us (pitungguh gadai).

Dasar hukum masih diberlakukannya gadai tanah menurut hukum adat di Indonesia adalah terletak pada :

1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Maksud dari isi pasal tersebut adalah tetap diberlakukannya segala peraturan yang dibuat pada mas a penjajahan kolonial Belanda, dimana didalamnya terkandung suatu ketentuan bagi penduduk Indonesia golongan Bumi Putera berlaku hukum adat mereka masing-masing.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok -Pokok Agraria dalam Pasal 5 (lima) yang menyatakan sebagai berikut : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang Undang ini dan dengan peraturan perundang -undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur -unsur yang bersandar pada hukum agama.

Jadi maksud dari isi Pasal tersebut diatas adalah bahwa dalam Und angUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok -Pokok Agraria (UUPA) ini, hukum adat turut dijadikan sebagai dasar pembentukan peraturan tentang Hukum Agraria Nasional.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan -Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai -nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Maksud dari ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2004 ialah bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis atau masih berada dalam suatu masa pergolakan, maka peran hakim dalam hal ini, berfungsi sebagai perumus dan penggali nilai -nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam lingkungan masyaraka t, sehingga hakim harus

mampu terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, mengetahui, dan dapat memahami dan merasakan akan arti penting hukum dan rasa keadilan yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Kemudian, sesudah UUPA berlaku, terjadi p erubahan dasar hukum perjanjian jual gadai tanah dari ketentuan jual gadai adat menjadi ketentuan jual gadai yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Perpu itu berisi pembatasan terhadap lamanya waktu men ggadaikan tanah dan bermaksud memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi gadai tanah tersebut. Perpu ini merupakan bagian dari upaya perubahan format hukum untuk menuju masyarakat yang rasional. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar Pasal 53 ayat 1 UUPA yang menjelaskan bahwa hak gadai merupakan hak yang sifatnya sementara dan harus diusahakan hapus dalam waktu yang singkat. Selain itu juga jual gadai menuntut ketentuan adat yang dalam prakteknya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Dan hal tersebut tentunya bertentangan dengan moral bangsa y ang berlandaskan nilai -nilai Pancasila. Dalam Pasal 7 Perpu tersebut ditentukan bahwa tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun atau lebih, harus dikembalikan kepada pemilik tanah/penjual gadai, tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar uang tebusan. Pengembalian tanah itu dilakukan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang terdapat disitu selesai dipetik hasilnya.

Mengenai gadai yang berlangsung kurang dari 7 tahun, si pemilik tanah dapat memintanya kembali setiap waktu setelah selesai pemetikan hasil ta naman yang ada disitu, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumusan : (7+1/2) - waktu berlangsungnya gadai 7 Pelanggaran terhadap ketentuan itu diberi sanksi berupa pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,x uang gadai

Akan tetapi, sengketa gadai yang lahir akibat adanya ketentuan Pasal 7 UndangUndang Nomor 56/Prp/1960 cukup mempengaruhi perkembangannya , disamping itu jika terjadi sengketa, para pihak biasanya mengutamakan musyawarah. Berdasarkan hukum adat, gadai tanah merupakan cara yang dibenarkan dalam pengalihan hak tanah pusaka sehingga sampai sekarang masih tetap hidup contohnya di wilayah Minangka bau. Mengenai pelaksanaan Pasal 7 Undang -Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah , masyarakat masih menganggap bahwa undang-undang ini masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan bertentangan dengan rasa keadilan yang telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat.
Selama hampir setengah abad, Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang memberikan dasar bagi pelaksanaan jual gadai t anah, pada pelaksanaannya masih belum bisa menampakan keefektifan keberlakuannya. Beragamnya alasan yang kompleks pada masyarakat Indonesia baik menyangkut ekonomi, adat istiadat, pengetahuan masyarakat, dan lain sebagainya merupakan faktor yang menjadi alasan masih digunakannya jual gadai tanah menurut cara adat. A. PERBANDINGAN GADAI ANTARA UNDANG-UNDANG POKOK

AGRARIA DENGAN HUKUMADAT

Gadai menurut UUPAadalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yangtelah menerima uang gadai da ripadanya.

Hukum gadai menurut hukum adat 1. Harus dilakukan di hadapan kepaladesa/kepala adat selaku kepala masyarakat. 2. Tidak tertulis 3. Hak gadai hukum adat merupakanperjanjian pokok yang berdiri sendiri, yang dapatdisamakan dengan juallepas (adol plas) atau jual tahunan (adol tahunan). 4. Kalau tidak ditebus dalam masa yangdijanjikan, maka tanah menjadi milik yang membeli gadai.. 5. Tanah tidak boleh ditebus selamasatu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli gadai. 6. Pembeli tidak dapat meminta kembaliuang nya kepada penjual gadai. 7. Selama tanahnya tidak ditebus makatanah tersebut menjadi hak milik pemegang gadai berserta hasil dari tanahtersebut. 8. Hukum gadai dilakukan sesuai denganadat setempat. 9. Jangka waktu hak gadai tidakditentukan. 10. Hak gadai dalam bentuk penggarapantanah. 11. Hak gadai dalam perjanjianpinjam -meminjam uang. Gadai menurut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1. Tanah yang sudah digadai selama 7tahun harus dikembalikan kepada yang mempunyai tanah tersebut tanpakewajiban untuk membayar uang tebusan. 2. Mengenai gadai yang belumberlangsung 7 tahun maka pemilik tanahnya berhak meminta kembali suatu waktu setelah tanaman yangada selesai di panen dengan membayar uang tebusan yang besar nya dihitungdengan rumus. 3. Pembayaran uang gadaibisa dibayar dengan emas. 4. Pemegang gadai yangtidak melaksanakan kewajiban mengembalikan tanah yang dikuasainya denganhak gadai menurut ketentuan pasal 7 dapat dipidana dengan hukum kurunganselama 3 bulan atau denda sebanyak Rp. 10.000. 5. Gadai dalam ketentuanUUPA mempunyai jangka wa ktu selama 5 sampai 10 tahun.

6. Hak gadai dalam UUPAbersifat tertulis. 7. Tanah gadai tidakdapat diperjual belikan. 8. Tanah gadai biasdipindah gadainya kepada orang lain.

You might also like