You are on page 1of 19

Konsep Kebudayaan Menurut Geertz

Pendahuluan Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep yang dianggap baru pada masanya. Seperti dalam bukunya Interpretation of Culture, ia mencoba mendefinsikan kebudayaan yang beranjak dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn sebelumnya, yang menurutnya agak terbatas dan tidak mempunyai standard yang baku dalam penentuannya. Berbeda dengan Kluckholn, ia menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep semiotik, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit (Geertz; 1992, 5). Dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam (thick description). Konsep Kebudayaan Geertz Geerts secara jelas mendefinisikannya. Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaianpenilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan (Kuper; 1999, 98). Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang sifatnya hermeneutic . Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia seniotik. Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Pengaruh hermeunetic dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan fitur/keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik. Dari Paul Ricouer, ia mengambil gagasan bahwa bangunan pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan kumpulan laporan rasa yang luas tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan simbol dan hukum yang mereka beri makna. Sehingga demikian tindakan manusia dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti kita memperlakukan teks tulisan (Kuper; 1999, 82). Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz; 1992a, 3)

Agama Jawa Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Dimana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan digunakannya (Geertz; 1992b, 51). Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam 3 tipe variant kebudayaan berbeda, Geertz melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang datang kemudian, lalu berkembang menjadi sebuah sinkritisme (Geertz, 1983, 6). Geertz kemudian menginterpretasikan orang Jawa dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan, santri dan priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 inti struktur sosial yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut pandangan mereka- kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka, yang menghasilkan 3 tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan (Geertz; 1983, 5-6). Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan dalam penerjemahan makna agama Jawa melalui penekanan-penekanan unsur religinya yang berbeda. Seperti abangan yang menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi; santri yang menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasar-nya.. Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda tersebut berasal dari lingkungan yang dibarengi sejarah kebudayaan yang berbeda (Parsudi; VII, 1983). Dimana oleh Geertz masingmasing 3 varian tersebut mempunyai sejarah kebudayaan dan lingkungan yang berbeda. Abangan dengan tradisi petani-nya di desa, santri dengan pengalaman dagangnya di pasar dan pola migrasinya dari pesisir, dan priyayi dengan sejarah birokratik aristokratiknya yang dibangun mulai dari masa keraton hingga masa Belanda di kota. Sehingga dengan demikian Geertz juga mengkaitkan agama dengan penggolongan struktur sosial dan basis ekonomi, dan ideologi politik. Ada kesesuian keagamaan masing-masing varian ini dengan struktur sosial, organisasi sosial politik mereka. Seperti slametan yang ia nilai sebagai suatu kesatuan mistis dan sosial yang ikut serta didalamnya atau semacam wadah bersama. Kemudian Permai, yang tadinya berbasis organisasi politik kemudian semacam organisasi sosial kalangan abangan modern. Dimana memang ia pada masa awal kariernya menfokuskan kepada hubungan antara gagasan dan proses sosial dimana terjadi hubungan timbal balik antara kepercayaan dan pembangunan politik dan ekonomi. Suatu gagasan yang ia dapatkan dari Weber (Kuper, 1999, 80). Dengan sifatnya mencoba mengkaitkan dengan gejala-gejala lainnya tersebut, Kuper menyebutnya sebagai kebudayaan dalam bentuk agama yang terkonsentrasi yang dirubah bentuknya oleh politik dan ekonomi, sebagaimana pendapat Weber (Kuper; 1999, 97). Dalam pengkategorian 3 varian kebudayaan diatas memang tidaklah tepat benar. Hal ini memang telah dikemukakan oleh Harsja W. Bachtiar yang melihat bahwa sebenarnya abangan dan santri lebih merupakan suatu pengkategorian perilaku keagamaan seseorang, dan priyayi sebagai kategori kelas sosial tertentu (Harsja W. Bachtiar;1973,1525). Juga demikian seperti apa yang telah dikemukakan oleh Parsudi Suparlan yang melihat pengkategioian yang dibuat Geertz mengacu secara implisit kepada model struktur sosial yang dibuat oleh Robert Redfield. Suatu pembagian struktur sosial yang melihat kota dan desa sebagai 2 struktur sosial yang berbeda, yang masing-masing diwakili oleh warga elit kotan dan petani desa, yang keduanya juga mempunyai hubungan ketergantungan dan melengkapi sehingga membentuk suatu sistem sosial sendiri. Penekanan yang

berbeda dilakukan Geertz kepada dimensi struktur-nya, dan Redfield pada proses komunikasi terus-menerus antar kota dan desa (Parsudi Suparlan;1983, IX). Geertz juga dikritik bahwa penggolongan 3 varian kebudayaan tersebut itu merupakan bentuk penyederhaan realitas yang sebenarnya jauh lebih kompleks (Kuper;1999,92). Memang sebenarnya Geertz ingin mengungkapkan sistem penggolongan 3 varian kebudayaan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri., namun tetap saja kebudayaan sebagai suatu teks haruslah diinterpretasikan oleh seorang antropolog. Hal yang sama juga diutarakan Parsudi dalam pengantar Abangan, Santri, dan Priyayi tersebut (Parsudi Suparlan;1983,VIII). Kuper menuliskan kritiknya terhadap Geertz tentang hal ini. Sebuah kebudayaan tidaklah dipahami dengan mudah oleh seorang aing yang simpatik, seperti diperkirakan oleh Geertz. Kebudayaan mungkin sebagai suatu teks, tetapi ini adalah teks yang dibangun, fiksi yang ditulis seorang etnografer (Kuper;1999,19). Bagi Geertz, agama juga tidak hanya menekankan hubungan makna yang sifatnya harmoni dan penuh keseimbangan dari ketiga struktur sosial tersebut tetapi ia juga mempunyai kekuatan yang memecah. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem budaya agama jawa mempunyai kekuatan untuk menyeimbangankannya lagi. Seperti ia sebutkan beberapa faktor yang cenderung mempertajam konflik, seperti konflik ideologis, sistem stratifikasi sosial, perjuangan politik demi kekuasaan, dan kebutuhan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistem sosial yang cepat. Namun ada faktor-faktor yang menurutnya dapat meredakan konflik, yaitu perasaan kebudayaan yang satu, pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, toleransi umum, dan adanya mekanisme integrasi sosial yang sifatnya pluralistik (Geertz; 1981, 475-477). Nampak terlihat pengaruh Parson terlihat disini, karena dalam masa penulisan buku Religion of Jawa ini, Geertz memang berada masa awal karier ilmuwannya, dimana ia mendapatkan pengaruh wacana sistem yang kuat dari Parson (Kuper, 1999, 79). Didalam sistem ada keseimbangan, agama, struktur sosial, emosi, dan bentuk konvensional dari tindakan dan dorongan masing-masing (Kuper;1999, 101). Berkaitan dengan politik dan agama, ia melihat bahwa nilai-nilai yang dibagi bersama, yang ada dalam solidaritas yang pernah terwujud diantara masyarakat pedesaan telah terhapus pada saat mereka tinggal dikota oleh polarisasi keagamaan dan politik. Ritual-ritual yang pernah menciptakan kesatuan dalam masyarakat desa, sekarang telah terpisa-pisah, institusi politik yang lama tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan kondisi yang ada dan diruntuhkan oleh kompetisi untuk mendukung partai yang dihasilkan oleh perkembangan politik nasional (Kuper;1999. 92). Kuper juga mempertanyakan ketika Geertz melihat pembedaan 3 varian kebudayaan tersebut sebagai 3 elemen dari 1 masyarakat, bukan merupakan 3 masyarakat berbeda yang dalam suatu kota. Jika Mojokuto dilihat sebagai arena sosial yang tunggal, maka faktanya adalah bahwa disana ada 3 komunitas yang dapat memperkuat konflik dan disintegrasi sosial dan mengundang permasalahan politik (Kuper;1999, 90). Geertz memang tidak secara khusus memberikan perhatiannya pada konflik pollitik nasional yang kemudian menyeret pada konflik agama, seperti yang terjadi pada tahun 1965, ketika terjadi konflik politik (Komunis vs Tentara/Islam). Geertz sendiri sadar akan kekuatan eksternal ini, tetapi kerangka analitiknya tidak mencakup pengaruh politik lokal, nasional, dan internasional ketika itu (Kuper;1999, 95). Keadaan ini juga memperkuat kritik tentang batas pengetahuan lokal. Dimana etnografer dituduh mempertahankan kedekatannya dengan obyek yang diteliti, tidak memberikan perhatian pada perubahan yang sifatnya jangka panjang dan pengaruh yang datang dari luar. Geertz sesekali menerima tuduhan itu. Seperti ketika ia membuat generalisasi Mojokuto dengan Jawa atau bahkan Indonesia, atau ketika menganalisa proses sosial dan politik di dalam kota, ia tidak memperlihatkan hubungan antara Mojokuto dan Jakarta (Kuper,1999,99-100). Selain itu dalam membuat pengkategorian, Geertz yang berusaha membuat

pentipean secara ideal, sehingga menjadi suatu pembedaan yang kontras dan absolut. Meskipun ia sendiri melihat pembagian ini bukanlah pembedaan yang sifanya absolut, tetapi dari penggolongan yang ia lakukan terkesan pembedaan absolut itu. Seperti misalnya abangan dengan elemen petani pedesaan dan slemtan sebagai upacara ritualnya.Santri dengan elemen dagang dan pasar. Santri modern dengan Muhamadyah, santri kolot dengan Nadhatul Ulama. Dengan penggolongan seperti ini nampak terlihat Geertz melakukan homogenisasi obyek kajiannya, sehingga ia menutup atau mengurangi kemungkinan-kemungkinan lain. Seperti ia memberi label kepada tipe campuran dan kelompok marjinal pada tipe-tipe minoritas dan varian yang tidak berada secara tegas di 3 varian yang baku, abangan, santri, dan priyayi. Penutup Geertz memang dianggap memiliki pengaruh teoritis dalam ilmu antopologi, dimana ia menulis dengan sangat mahir mengenai gagasan-gasan tertentu dari kebudayaan dan menggunakannya untuk menganalisi kasus-kasus tertentu. dan dalam prosesnya, ia telah memberikan daya tarik bagi orang luas untuk membaca karya-karya antropolog. Dia meletakan suatu ide baru bagaimana kebudayaan bekerja (Kuper, 1999, 76). Penelitian Geertz tentang Religion of Jawa itu juga merupakan suatu deskripsi dari hasil permintaan dari the Committee on the New States. Dimana menjadi titik awal mereka pada rencana bahwa masyarakat tradisional telah menjadi tidak teratur karena adanya proses urbanisasi, spesialisasi ekonomi dan sekulerlisasi. Tujuan dari kebijakan di negara negara baru tersebut diserahkan pada antropolog untuk menspesifikasikan masalahmasalah kebudayaan yang ada didalamnya, khususnya pada Llyoyd Fallers dan Geertz. Mereka diharapkan dapat menemukan kekontrasan tradisonal; dan modernitas, suku bangsa dan negara, masyarakat yang suci dan duniawi, dimana kontradiksi-kontradiksi tersebut akan dapat membantu untuk menjelaskan kemampuan masyarakat di Asia yang sedang mengalami transisi penjajahan kolonial menuju ke kebebasan (Kuper;1999,84). Dalam konteks situasi seperti itulah, dimana Geertz mempunyai kepentingan dibaliknya, ia menafsirkan agama jawa. Dan tentu saja teori kebudayaan umumnya mengandung muatan politis yang membenarkan suatu tinjauan politiknya, menurut Kuper (Kuper,1999 XV) Bahan Bacaan 1. Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1983 2. Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992a 3. Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b. 4. Kuper, Adam, Culture, Harvard University Press, Cambridge, 1999 5. Symour-Smith, Charlotte, MacMillan Dictonary of Anthropology, London, MacMillan Reference Books, 1986.

KOMUNIKASI MULTIKULTURAL
Mengapa Komunikasi Multikultur perlu dipelajari? Perspektif materi apa yang menjadi titik fokus? Asumsinya : 1. Meningkatnya Intensitas dan pertemuan antar bangsa semakin tinggi diasumsikan dalam kajian ini lebih besar menimbulkan kesalahpahaman ketimbang kesepahaman. 2. Dengan dibukanya NAFTA dan perdagangan bebas, berarti akan banyak orang-orang asing masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, terjadinya peningkatan pertemuan antarberbagai bangsa dengan latar belakang kultur yang berbeda-beda. 3. Berjalannya kebijakan otonomi daerah telah memisahkan wilayah budaya secara substansial, ditandai dengan lahirnya egoisme daerah. Egoisme dan segala bentuk nasionalisme lokal dapat memicu konflik kepentingan antardaerah dan konflik horizontal.

Beberapa tema yang menjadi kajian komunikasi multi kultur dengan pendekatan etnografi komunikasi, psikologi sosial, sosiologi dan historis, antara lain : 1. Solidaritas sosial mengapa bisa terjadi dalam masyarakat heterogen 2. Integrasi Nasional mengapa dapat terwujud padahal masyarakatnya berbasis multietnik dan multikultural 3. Bagaimana kesenjangan sosial-ekonomi menjadi sumber-sumber konflik horisontal 4. Bagaimana ketidaksetaraan dalam gender melanggengkan dominasi dan ketidakadilan sosial 5. Bagaimana solidaritas global dapat terbentuk dan bagaimana resolusi konflik internasional dapat diatasi dengan cara-cara budaya Tema Tersebut dikembangkan lewat analisis komunikasi multikultural yang akan memfokuskan pada : 1. Seberapa jauh unsur-unsur budaya lokal, seperti, sistem kepercayaan, norma-norma dan nilainilai sosio-kultural yang berkembang di suatu wilayah tertentu mempengaruhi pola komunikasi warga masyarakatnya. Bagaimana latar belakang ras dan etnik, agama dan kelompok membangun stereotipe dan etnosentris sosio-kultural. 2. Pesan-pesan komunikasi interpersonal dalam interaksi simbolik multikultural baik lewat representasi produksi budaya maupun reproduksi budaya. 3. Pesan-pesann multikultural media massa, baik dalam konteks media global maupun konteks media lokal, berpengaruh terhadap simbol-simbol yang digunakan masyarakat sebagai alat untuk berkomunikasi. 4. Seberapa jauh transformasi budaya masyarakat multikultural memberi sumbangan terhadap integrasi nasional, solidaritas sosial. 5. Sejauhmana ketidakadilan dan kesenjangan, hegemoni dan dominasi, ketidaksetaraan dan kesewenang-wenangan yang mampu menjadi sumber konflik-konflik budaya. Latar Belakang Kajian Multikultural : 1. 2. 3. 4. Berkah Kehadiran Teknologi Komunikasi dan Transportasi Meningkatnya Kompleksitas kehidupan Global Akselerasi mutasi, mobilitas dan pertukaran warga desa global Perkembangan Teknologi, Globalisasi, dan perkembangan ekonomi dan politik.

Tujuan Mempelajari Komunikasi Multikultural : 1. 2. 3. Hidup Berdampingan Secara damai Kesepahaman Global Reduksi Asgresifitas Kemanusiaan

1. Inovasi Perpetual Untuk menjeleskan bagaimana cepat dan konsistennya teknologi informasi baru menggantikan teknologi lama. Pergeseran ruang dan waktu ; e-mail, e-bussines, e-government, borderless (menerobos batas) Akselerasi Sejarah: Perubahan dan pergeseran konsep ruang dan waktu melahirkan percepatan sejarah. Percepatan sejarah kompleksitas kemajuan yang dicapai manusia lewat laju kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dari manajemen strategis sampai mesin perang, komputer, informatika, rekayasa genetika, bioteknologi, kloningisasi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan globalisasi, mengakselerasi pegas sejarah secara tajam:

1. Akselerasi dan penyebaran inovasi ekonomi ke selururh penjuru dunia, penyesuaian politis dan budaya dari bangsa-bangsa untuk bekerjasama melangsungkan kehidupan dan menghindarkan diri dari kehancuran. 2. Akselerasi integrasi internasional, yaitu proses integrasi bangsabangsa kedalam wadah desa global. 3. Akselerasi sejarah ditandai oleh produk populer yang makin menumpuk dan berkembang setiap hari dengan aneka ragam jenis dan materinya. 4. Akselerasi sejarah juga ditandai dengan semakin tingginya kemampuan para industraiawan dalam proses pengambilan keputusan. 2. Kompleksitas Global Konsekuensi akselerasi sejarah dan percepatan aktivitas manusia di segala bidang kehidupan adalah meningkatnya kompleksitas permasalahan dalam kehidupan global itu sendiri. Sebuah desa raksasa yang dihuni oleh berbagai ras, suku, corak budaya yang berbeda, dengan berbagai kesibukan aktivitas ekonomi, membanjirnya bentuk entertaiment dan aktivitas kultural, senakin kuatnya tuntutan sosial, seperti tuntutan kebebasan, tuntutan hak asasi manusia, tuntutan pemerintahan yang baik, tuntutan pemeliharaan lingkungan hidup, gender, telah mendorong bangsabangsa yang dulu tidak ternsentuh oleh peradaban modern semakin memahami kedudukan dan posisinya. Konsekuensi lain dari berkah teknologi adalah meningkatnya frekuensi pertemuan antarwarga desa global dan meningkatnya intensitas pertemuan meraka Pertemuan dan pertukaran terjadi sehingga mampu menjalin sebuah jaringan internasional dengan menempatkan komunikasi sebagai seuatu yang vital.

GLOBALISASI BUDAYA
Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi telah mengubah dunia. Dulu tak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadi desa global (global village). Tahun 1964 ketika Marshall Mc Luhan mengemukakan teori determinisme teknologi dalam buku Understanding Media, banyak orang yang sulit mengert i, dan tidak bisa membayangkan konsepsi global village. Pemikiran Mc Luhan saat itu dinilai kontroversi, dan membingungkan. Tapi sekarang, globalisasi memang benar -benar menjadi kenyataan. Penduduk dunia saling berhubungan semakin erat hampir di semua as pek kehidupan. Dari bertukar informasi, budaya, perdagangan, i nvestasi, pariwisata, hingga persoalan pribadi, ataupun aspek kehidupan lain. Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan memang berimbas ke berbagai sektor. Media massa g lobal seperti CNN, MTV, CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain -lain, telah menjangkau dan menembus yuridiksi berbagai negara. Informasi mengalir deras melalui jaringan media global dan kantor-kantor berita internasional, seperti Reuters, UPI, AP, AFP dan lain-lain. Informasi-informasi itu sering dimaknai di dalamnya mengandung kebudayaan, maka terjadilah penyebaran budaya global. Media massa berperan sebagai kekuatan trend setter untuk isu-isu global, baik persoalan politik seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, maupun terorrisme internasional, hingga ke persoalan budaya dan gaya hidup. Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi baru dalam bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi dengan mediasi komputer melalui jaringa n on line internet yang memungkinkan adanya komunitas virtual yang berkomunikasi secara intensif di dunia maya, antara orang banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari berbagai belahan dunia tanpa batas (McQuail, 2002 hal: 113). Menurut catat an Nua.com, pertumbuhan pengguna internet ( growth of internet users) sampai tahun 2001, jumlahnya sudah mencapai 500 juta orang (Lister et all, 2003:204). Padahal tahun 1998 baru sekitar 120 jutaan. Artinya ada peningkatan yang sangat signifikan. Melalui CMC ini para pengakses mengakses internet menjadi akrab dengan situs-situs global seperti Yahoo,

Hotmail, Google, HTML (Hypertext Markup Language), Friendster, ataupun juga perusahaan Microsoft milik Bill Gate yang sangat terkenal. Nama-nama itu merupakan simbol-simbol global di dunia maya sekarang ini. Dengan demikian informasi jadi begitu mudah menyebar, sekaligus mendorong terjadinya fenomena globalisasi budaya. Tapi problemnya tidak semua warga dunia mampu mengikuti perkembangan globalisasi dan memanfatkannya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia malah sering menjadi obyek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang terjadi mengalirnya begitu banyak informasi dari negara -negara maju khususnya Barat ke negara-negara berkembang. Atau terjadi unevent globalization, globalisasi yang timpang (Lister et all, 2003:200). Konsep free flow of information antarnegara di dunia yang pernah diperjuangkan pada massa 1980 -an hanya menjadi wacana pada tataran konseptual (Mc Bride, 1982). Prakteknya arus inf ormasi di media-media internasional masih didominasi negara -negara maju, terutama Amerika Serikat. Negara dunia ketiga lebih banyak menjadi penerima, tanpa mampu mengirimkan secara seimbang informasi mengenai negaranya. Bahkan kalaupun ada informasi dari negara berkembang, informasi tersebut berada dalam bingkai persepsi negaranegara maju. Akhirnya yang tampil di media internasional lebih banyak sisi negatif. Inilah yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme budaya. Dimana negara Barat, khususnya Amer ika, melalui penyebaran informasi tadi telah menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain di dunia. Dari informasi pemberitaan, film, lagu -lagu, hingga gaya hidup orang Amerika, atau Barat menjadi trend di berbagai negara termasuk Indonesia. Dalam globalisasi bahasa tidak lagi menjadi penghalang. MTV misalnnya bisa masuk mulus ke berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Lagu-lagu Britney Spears, Michael Jackson , hingga musik hip hop Black Eye Peas dengan lagu Where is the Love-nya. Ataupun juga demam fenomena American Idols yang gaungnya sampai di pelosok dunia, termasuk Indonesia. Pop Culture yang diproduksi secara massal di Amerika Serikat untuk kepentingan hiburan, merambah secara global, merasuk ke mana -mana dengan menawarkan mitos dan gaya hidup. Media-media global merambah dunia bukan hanya dengan jaringannya yang luas, content yang menarik, tetapi di dalamnya juga menawarkan mitos dan gaya hidup. Seakan dengan mengkonsumsi lagu-lagu MTV, menjadi simbol semangat muda modern yang bebas. Sama halnya ketika seseorang memakai sepatu Nike, mitosnya lebih sehat dan sportif. Atau kesegaran dan jiwa muda dengan minum Coca Cola atau Pepsis Nex Generations dan sebagainya. Mc Donald adalah sebuah contoh lain dari simbol yang sangat tepat dari internasionalisasi aspek budaya Amerika dalam praktek bisnis yang merambah seluruh dunia. Keberadaan McDonald hingga Moskow dan kota-kota Eropa Timur yang lain, merupakan simbol yang amat tampak dari adanya pergeseran dari ekonomi sosialisme menjadi ekonomi pasar di sana (Ritzer, 2000). Keberhasilan McDonald membawa recipe standard dari pusatnya di AS melalui strategi penyesuaian dengan selera lokal, telah mampu menancapkan kuku invasinya, baik di negara yang penduduknya mayoritas Muslim, Hindu, Budha maupun Kristen. They know local tastes --- a beefburger is unwelcome in Hindu India, a baconburger can not be sold in muslim countries --- demands alterations to the recipes. Mc Donalds must operate as much on local basis as it does on an international one if people are to consume the burgers and relish (Lister, et al, 2003, 202). Kondisi semacam ini tentu saja memunculkan kekhawatiran, bahkan krisis kebudayaan di berbagai negara. Budaya lokal, baik yang berupa seni maupun budaya pop lokal banyak yang terancam tersisihkan. Atau terkontaminasi dari budaya global dari Amerika. Walhasil ada ketegangan -ketegangan karena terjadinya benturan antara budaya global yang dianggap modern, dengan budaya lokal yang mewakili semangat nasionalisme atau bahk an kedaerahan, tapi juga yang berkesan tradisional. Kekhawatiran atau penolakan globalisasi yang juga sering disebut dengan Amerikanisasi ini muncul tidak hanya di negara berkembang ataupun negara dunia ketiga. Di negara maju Eropa seperti di Perancis, Je rman, Itali bahkan Inggrispun tak henti-hentinya muncul kritikan dan ketidaksukaan pada globalisasi yang mereka nilai sebagai Amerikanisasi itu.

Sebagaimana dikemukakan oleh Simon Frith (2000), profesor dari University of Stirling, Scotlandia Inggris, yangmengatakan At the end of nineteenth century, there has been a recurrent fear of Americanization, whether articulated in defence of existing European culture or as and attack from the third world againt cultural imperialism, and it is easy enough to envisage to media future in which MTV is on every screen, a Hollywood film in every movie theatre. Disneyland in every continent. Meriah Carey on every radio station, and Penthouse and Cosmopolitan in every newsagent. How seriously should we take this pictures? Kekhawatiran yang paling tampak justru muncul di negara tetangga dekat Amerika Serikat, yaitu Kanada. Negara ini karena saking khawatirnya dengan apa yang disebut the invasion from the South, pemerintahnya sampai memiliki kementerian warisan budaya (Ministre of Cultural Heritage). Yang tugas utamanya adalah menjaga budaya Kanada dari serbuan budaya dari Selatan (Amerika Serikat). Kementrian ini memberikan kemudahan terhadap berbagai produk budaya lokal di media massa. Disamping juga memberik an insentif terhadap tumbuhnya film-film kanada maupun bentuk budaya yang lain. Kanada layak khawatir, karena negara ini memang dibanjiri oleh media dan produk budaya Amerika. Sementara pada tahun 1997 Kanada pernah ditekan oleh World Trade Organisation (WTO), ketika melakukan pelarangan terhadap peredaran majalah Sports Illustrated milik kelompok Time Warner (Chesney, 2000:81). Kanada tidak sendirian, Australia juga pernah mengalami tekanan dari WTO pada bulan April 1998, berkait dengan ketentuan kuota i si media domestik. Di negara-negara lain juga muncul isu sensitif adanya tekanan, untuk membuka pasar medianya. Norwegia, Denmark, Spanyol, Mexico, Afrika Selatan, dan Korea Selatan merupakan contoh yang memiliki tradisi memproteksi media domestik dan industri budaya nasional mereka. Pemerintah negaranegara tersebut mensubsidi film-film lokal dan berusaha melestarikan industri-industri kecil produksi film mereka. Di musim panas 1998, menteri kebudayaan dari 20 negara, termasuk Brasil, Mexico, Swedia, It aly dan Pantai Gading, bertemu di Ottawa membicarakan bagaimana mereka dapat membuat aturan dasar untuk melindungi ongkos budaya dari Hollywood juggernaut (serbuan luar biasa dari Hollywood). Rekomendasi pertemuan itu meminta agar perlindungan terhadap kebudayaan lokal dikeluarkan dari kontrol WTO (Chesney, 2000: 82). Kondisi globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti dunia runtuh, dan tidak pula semua orang menjadii pesimis. Ada suatu pemikiran yang menarik tentang efek globalisasi buday a. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Dawkins, ahli Biologi dari Oxford University, yang menunjukkan konsep ketahanan sosial masyarakat dari perubahan. Dawkins ilmuwan selebritis dari Inggris yang dikenal sebagai juru bicara teori Darwin dan penulis buk u Selfish Gen (1978), mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan sosial. Menurut Dawkins setiap kelompok sosial memiliki meme, sebagaimana individu memiliki gen yang akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok sosial akan mempertahan karakteristik nilai-nillai sosial dan budayanya kendati kelompok itu diterpa serbuan gencar budaya lain. Meme menyebar melalui komunikasi dan sosialisasi, ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang, yang mempengaruhi kejadian di lingkungannya sedemikian rupa sehingga makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998). Bisa jadi karena meme, bangsa Jepang kendati maju seperti Barat, tetapi budaya tradisional mereka tetap terpelihara dengan baik. Kesenian Tradisional Jepang seperti Kabuki, Sumo, Karate, ataupun Tarian Yosakoi justru malah berkembang dan dikenal di manca negara. Begitu pula orang Tionghoa, kendati sudah ratusan tahun berada di negara lain, budaya mereka tetap bertahan, dengan enclave China town di berbagai kota dunia. Tak heran kalau kalangan Tionghoa di berbagai perantauan masih akrab dengan kesenian China daratan seperti Barongsai, Liang Liong dan lain-lain. Ini juga berlaku untuk Orang Jawa yang sudah tinggal ratusan tahun di Suriname. Gerakan postmodernisme juga memberikan angin segar bagi budaya lokal dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan dengan berbagai hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali kepada hal-hal bersifat etnik, tradisionil, atau dikenal dengan retradisionalisasi. Namun terlepas dari itu semua, meningkatnya globalisasi dan komersialisasi dalam sistem media memang layak untuk dicermati dan diantisipasi. Fenomena komersialisasi media global dirasakan secara signifikan semakin menyatu dengan konsep neoliberal, ekonomi kapitalisme global. Hal demikian tidak aneh mengingat meningkatnya pasar media global disamping dikarenakan perkembangan teknologi digital yang baru dan teknologi satelit yang membuat pasar global

menjadi semakin efektif dan lukratif (menguntungkan), sebenarnya juga dipelopori oleh institusi kapitalisme dunia, seperti World Trade Organisation (WTO), World Bank, International Monetery Fund (IMF), Pemerintah Amerika Serikat dan Perusahaan-perusahaan Transnasional. Dalam perkembangannya, sistem media global juga terbukti menurut Robert W Chesney dalam pemberitaannya memiliki kebijakan mendukung misi-misi WTO, IMF, NAFTA, GATT yang tak lain untuk mewujudkan sistem ekonomi dunia yang bebas (neo liberal), yang jelasjelas menguntungkan mereka (Chesney, 2000, hal xxxxiii). Kritikan dan kekhawatiran terhadap media dan jurnalis yang mendukung kepentingan holdings dan kapitalisme, juga dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme (2003).

KARAKTERISTIK KEBUDAYAAN
1. Kebudayaan itu bisa di pelajari. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya digerakan oleh insting. Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkahlaku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis. Sehubungan dengan itu, proporsi dari kelakuannya manusia yang di peroleh melalui proses belajar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan binatang-binatang lain. Manusia mempunyai masa kanak-kanak yang paling panjang dari semua makhluk hidup. Mengenai jumlah dan rumitnya pola-pola kelakukan yang di pelajari dan diteruskannya kepada anaknya dengan cara yang unik untuk meneruskannya kebudayaan yaitu melalui bahasa. 2. Kebudayaan itu bersifat logis. Artinya suatu kebudayaan dikatakan logis manakala kebudayaan itu merupakan hasil pikiran yang masuk akal dan dapat diterima dengan akal sehat manusia. Sehubungan dengan itu hendaknya suatu kebudayaan dalam sosialisasinya atau prakteknya dalam kehidupan bermasyarakat haruslah tidak bertentangan dengan pikiran manusia. Sebab kebudayaan inilah yang akan memberikan gambaran tentang sistem sosial masyarakat yang bersangkutan. 3. Kebudayaan merupakan dasar dari identitas pribadi dan masyarakat Dalam kehidupan bermasyarakat sikap dan tingkahlaku seseorang maupun masyarakat itu sendiri dapat di lihat dari kebudayaannya karena setiap tingkahlaku dan tutur kata atau caracara berlaku seseorang atau masyarakat mencerminkan kebudayaannya masing-masing. Pada dasarnya dalam suatu kebudayaan terdapat suatu sistem simbolik yang nantinya menjadi identitas pribadi bagi masyarakat atau etnis tertentu. Setiap interaksi yang dilakukan seseorang tidak akan lepas dari pola-pola kebudayaannya karena sejak kecil manusia telah mempelajari kebudayaannya. Olehnya itu kebudayaan suatu masyarakat dapat menjadi identitas tersendiri baik secara individu maupun kelompok. 4. Kebudayaan menggabungkan yang tampak dan tidak tampak. Jika kita berada dalam lingkungan suatu masyarakat atau etnis tertentu banyak hal yang kita jumpai dalam kehidupan keseharian mereka yang mungkin jarang kita jumpai dalam kehidupan keseharian kita baik itu sistem sosialnya maupun sistem kepercayaannya. Kaitannya dengan konsep kebudayaan yang salah satu karakteristiknya yaitu mampu menggabungkan sesuatu yang tampak dan tidak tampat. Yang tampak seperti wujud kebudayaan berupa artefak yaitu hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan

didokumentasikan. Sedangkan yang tidak tampak seperti wujud kebudayaan berupa gagasan (wujud ideal) seperti ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Kedua wujud kebudayaan ini tergabung menjadi satu dalam suatu konsep kebudayaan masyarakat tertentu. 5. Kebudayaan itu bersifat dinamis Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis, ia selalu berubah atau bersifat dinamis. Tanpa adanya gangguan dari kebudayaan lain atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasi -variasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut. Jelas bahwa kebudayaan manusia bukanlah suatu hal yang timbul atau yang bersifat sederhana. Tiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat lain dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada lingkkungan tertentu.

Makalah Komunikasi Sebagai Proses Budaya


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain. Dalam hubungannya dengan proses budaya, komunikasi yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain adalah sebuah pertukaran budaya. Dalam proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa, sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Untuk mempelajari komunikasi sebagai proses budaya kita terlebih dahulu harus memahami apa yang dimaksud dengan istilah budaya atau kebudayaan dan apa yang dimaksud dengan istilah komunikasi, karena dengan memahami kedua istilah tersebut akan memudahkan bagi kita untuk membahas komunikasi sebagai proses budaya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahanpermasalahan berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan istilah Komunikasi 2. Apa yang dimaksud dengan istilah Budaya atau Kebudayaan 3. Bagaimana Komunikasi bisa menjadi suatu proses budaya 1.3 Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dari penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah yaitu sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah Komunikasi 2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah Budaya atau Kebudayaan 3. Untuk mengetahui mengapa Komunikasi bisa menjadi suatu proses budaya

Sedangkan manfaat dari penulisan makalah ini : 1. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah Komunikasi 2. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah Budaya atau Kebudayaan 3. Kita dapat mengetahui mengapa Komunikasi bisa menjadi suatu proses budaya BAB II PEMBAHASAN 2.1 Komunikasi Sebelum kita membicarakan komunikasi sebagai proses budaya tentu saja kita harus tahu apa yang dimaksud dengan istilah komunikasi. Kata atau istilah komunikasi dari bahasa Inggris communication. Secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Dalam kata communis ini memiliki makna berbagi atau menjadi milik bersama yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Ilmu komunikasi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner, tidak bisa menghindari perspektif dari beberapa ahli yang tertarik pada kajian komunikasi, sehingga definisi dan pengertian komunikasi menjadi semakin banyak dan beragam. Masing-masing mempunyai penekanan arti, cakupan, konteks yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya saling melengkapi dan menyempurnakan makna komunikasi sejalan dengan perkembangan ilmu komunikasi. Menurut Frank E.X. Dance dalam bukunya Human Communication Theory terdapat 126 buah definisi tentang komunikasi yang diberikan oleh beberapa ahli dan dalam buku Sasa Djuarsa Sendjaja Pengantar Ilmu Komunikasi dijabarkan tujuh buah definisi yang dapat mewakili sudut pandang dan konteks pengertian komunikasi. Salah satunya adalah sebagai berikut: Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain. Melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka dan lain-lain. (Berelson dan Stainer, 1964) Jadi definisi komunikasi secara umum adalah suatu proses pembentukan, penyampaian, penerimaan dan pengolahan pesan yang terjadi di dalam diri seseorang dan atau di antara dua atau lebih dengan tujuan tertentu. Definisi tersebut memberikan beberapa pengertian pokok yaitu komunikasi adalah suatu proses mengenai pembentukan, penyampaian, penerimaan dan pengolahan pesan. 2.2 Budaya atau Kebudayaan Guna melihat lebih jauh tentang komunikasi sebagai proses budaya kita perlu mengkaji secara ringkas Apa itu budaya atau kebudayaan agar mempunyai kerangka pemikiran dan konsep yang sama. Sebab definisi kebudayaan sangat banyak. AL Kroeber dan C. Kluckhlon dalam bukunya Cultural, A Critical Review of Concept and Definition (1952) pernah menghitung ada sekitar 179 definisi kebudayaan. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. 2.3 Komunikasi sebagai Proses Budaya Komunikasi adalah salah satu wujud kebudayaan. Sebab, komunikasi hanya bisa terwujud setelah sebelumnya ada suatu gagasan yang akan dikeluarkan oleh pikiran individu. Jika komunikasi itu dilakukan dalam suatu komunitas, maka menjadi sebuah kelompok aktivitas (kompleks aktivitas dalam lingkup komunitas tertentu). Dan pada akhirnya, komunikasi yang dilakukan tersebut tak jarang membuahkan suatu bentuk fisik misalnya hasil karya seperti sebuah bangunan. Bukankah bangunan didirikan karena ada konsep, gagasan, kemudian didiskusikan (dengan keluarga, pekerja atau arsitek) dan berdirilah sebuah rumah. Maka komunikasi, nyata menjadi sebuah wujud dari kebudayaan. Dengan kata lain, komunikasi bisa disebut sebagai proses budaya yang ada dalam masyarakat. Jika ditinjau secara lebih kongkrit, hubungan antara komunikasi dengan isi kebudayaan akan semakin jelas : 1. Dalam mempraktekkan komunikasi manusia membutuhkan peralatan-peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana berbicara seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi non verbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah peralatan komunikasi massa seperti televisi, surat kabar, radio dan lain-lain. 2. Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia. Komunikasi yang dilakukan lewat televisi misalnya membutuhkan orang yang digaji untuk mengurusi televisi. 3. Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi, misalnya sistem hukum komunikasi. Sebab, komunikasi akan efektif manakala diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar norma-norma masyarakat. Dalam bidang pers, dibutuhkan jaminan kepastian hukum agar terwujud kebebasan pers. Namun, kebebasan pers juga tak serta merta dikembangkan di luar norma masyarkat. Di sinilah perlunya sistem hukum komunikasi. 4. Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain. Wujud banyaknya bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya. Termasuk di sini juga ada manifestasi komunikasi sebagai proses kesenian misalnya, di televisi ada seni gerak (drama, sinetron, film) atau seni suara (menyanyi, dialog). 5. Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang tak lepas dari komunikasi. Bagaimana mungkin suatu komunikasi akan berlangsung menarik dan dialogis tanpa ada dukungan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang berbicara dan menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki menunjukkan realitas tersebut. Komunikasi sebagai proses budaya tak bisa dipungkiri menjadi obyektivasi antara budaya dengan komunikasi. Proses ini meliputi peran dan pengaruh komunikasi dalam proses budaya. Komunikasi adalah proses budaya karena di dalamnya ada proses seperti layaknya sebuah proses kebudayaan, punya wujud dan isi serta kompleks keseluruhan. Sesuatu dikatakan komunikasi jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya. Kebudayaan juga hanya bisa disebut kebudayaan jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yang membentuk sebuah sistem. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asumsinya dasarnya komunikasi merupakan suatu proses budaya. Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain, tak lain adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, anda berkomunikasi dengan suku Aborigin Australia secara tidak langsung anda sedang berkomunikasi berdasarkam kebudayaan tertentu milik anda untuk menjalin kerja sama atau mempengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa. Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian komunikasi juga disebut sebagai proses budaya. 3.2 Saran Mengetahui makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami sebagai penyusun makalah ini mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna menyempurnakan makalah ini. Sehingga diharapkan makalah ini dapat bermanfaat kedepannya sesuai dengan yang kita harapkan. Daftar Pustaka: Effendy, Onong Uchjana, 2007, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Franz, Josef Eliers, 1995, Berkomunikasi Antara Budaya, Nusa Indah, Flores-NTT Keesing, Roger M., 1981, Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer, Jakarta: Erlangga Mulyana, Deddy & Rakhmat, J., 1993, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta

Mengikis Praktik Diskriminasi Etnis Tionghoa


Oleh Choirul Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya. Mahfud

Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis ini tidak (bisa) terjun bebas berpolitik Saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keberadaan Undang-Undang ini memang sangat dibutuhkan di tengah maraknya praktek diskriminasi yang terus saja terjadi dari dulu hingga sekarang. Di antara kelompok yang selalu menjadi korban praktik diskrimasi adalah etnis Tionghoa yang sudah merasakan diskriminasi sejak zaman pra-kemerdekaan hingga saat ini. Sebetulnya, bahasan mengenai etnis Tionghoa bukan masalah baru, tapi hal ini masih penting didiskusikan kembali sebab praktik diskriminasi etnis Tionghoa masih terus terjadi. Lebih dari itu, praktik diskriminasi juga telah lama dijalankan, utamanya di masa Orde Baru (Orba). Di masa Orba itu, pintu kebebasan dan saluran komunikasi publik khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran, kalau peran warga etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, khususnya politik, sangat terbatas. Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan berpendapat mulai dibuka. Namun demikian, pola dan praktik diskriminasi di era reformasi seperti saat ini bukan berarti sudah tidak ada masalah. Justru masih menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah. Belum lama ini, penulis melakukan wawancara khusus dengan Aliptojo Wongsodihardjo, Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jatim. Dalam wawancara itu, Aliptojo

mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir, di Surabaya, diskriminasi etnis Tionghoa masih terus saja terjadi. Mulai dari diskriminasi oleh pemerintah kota dengan adanya pemberlakuan kebijakan 'tidak adil' yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam urusan kependudukan dan publik meski peraturan perundang-undangan sudah mengatur tapi dalam realitasnya masih saja dilanggar. Meski tak kelihatan secara kasat mata praktik diskriminasi dalam berpolitik juga terjadi. Karenanya, ia berharap praktik diskriminasi bisa dikikis sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak ada perbedaan dan praktik diskriminasi (Aliptojo, 2007). Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis ini tidak (bisa) terjun 'bebas berpolitik'. Tidak saja dalam konteks politik nasional tetapi juga lokal, seperti pilkada/ pilgub. Dalam pilkada di Surabaya lalu, misalnya, sangat tampak warga etnis Tionghoa masih 'takut' dalam berpolitik. Karena, perasaan was-was masih terus menghantui warga etnis ini. Secara historis, citra negatif etnis Tionghoa memiliki akar yang sangat panjang. Menurut pakar dan peneliti sejarah LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan bahwa secara historis, sejak masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, terutama pada masa kolonial. Masalah China (baca: Tiongkok) (Chineesche Kwestie) baru menghangat di koloni ini sejak 1900-an ketika timbul gerakan nasionalisme kaum peranakan China di Indonesia. Hal berbeda tapi agak serupa diungkap Andjarwati Noordjanah (2004) dalam bukunya Komunitas Tionghoa di Surabaya. Andjarwati menengarai praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih menggejala baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural, dalam benak penduduk pribumi nampaknya masih tersimpan stereotip yang memang sengaja dibuat sejak berabad-abad silam, bahwa warga etnis Tionghoa adalah warga kelas dua. Anggapan itulah yang bagi warga etnis Tionghoa merupakan satu contoh tindakan diskriminatif yang barangkali tidak disadari oleh warga pribumi. Sebetulnya, penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi atau kelas kedua di sini tidak tepat, namun karena dalam realitasnya masih saja dipakai, sengaja atau tidak, akibatnya terjadilah stereotiping. Karenanya, barangkali tepat bila istilah-istilah tersebut tidak seharusnya dipakai atau disebut lagi dalam interaksi sosial. Pasalnya, ungkapan-ungkapan semacam itu terasa bisa menyakiti pihak-pihak tertentu. Berbeda dengan Andjarwati, Aliptojo melihat akar masalah merebaknya praktik diskriminasi di negeri ini, termasuk di Jawa Timur, sesungguhnya bukan lebih disebabkan oleh masyarakat (kultural), tetapi disebabkan oleh faktor struktural dimana negara melalui produk hukumnya yang dianggap masih berbau kolonial melanggengkan praktik diskriminasi. Pasalnya, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Timur, meski berbeda suku, budaya, agama, etnis dan bahasa, faktanya justru tidak terlalu mempermasalahkan keragaman tersebut. Masalahnya justru ada pada hukum yang secara langsung maupun tidak mendorong orang untuk menafsirkan pada hal-hal yang mengarah pada pola dan praktik diskriminatif. Misal saja, secara substansial beberapa di antaranya adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang mengatur masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa masih saja dipersulit dalam mengurus urusan asal usul dan status kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum memiliki status kewarganegaraannya hingga saat ini. Karena masalahnya lebih pada aspek hukum, maka dalam konteks semacam ini langkah pertama yang harus ditempuh adalah hukum yang berbau diskriminatif itu perlu segera diubah dengan peraturan atau hukum baru yang lebih terbuka dan anti diskriminatif terhadap etnis apapun dan siapapun, khususnya etnis Tionghoa. Anggota dewan tentu saja harus memperhatikan kasus dan masalah ini dalam membahas Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Jalan Lain Bagi masyarakat secara umum, barangkali bisa ikut serta dalam menghapus praktik diskriminasi di tanah air dengan tidak berbuat sesuatu yang mengarah pada praktik diskriminatif. Selain langkah tersebut di atas, jalan lain yang bisa ditempuh adalah melalui penyelenggaraan model pendidikan antidiskriminatif. Tujuan pendidikan ini adalah memberikan pemahaman bahwa praktik diskriminasi itu tidak baik dan perlu dihindari dengan membiasakan hidup tidak saling bermusuhan dan mendiskriminasi hanya disebabkan karena berbeda suku, etnis, agama dan budaya. Dalam konteks wawasan nasionalisme, model pendidikan ini juga menanamkan spirit nilainilai kebangsaan yang akhirakhir ini semakin mengikis di tengah praktik cinta tanah air dan bangsa yang mulai hilang dan tampak sangat ritual formalistik. Karenanya, cinta tanah air dan bangsa perlu dipahami dan dipraktikkan mulai sejak dini, terutama usia-usia kanak-kanak dan masyarakat juga bisa membiasakan diri dengan kegiatan yang mengarah pada pola hidup demokratis, multikulturalis, dan nasionalistik. Singkat kata, pendidikan dan hukum adalah dua entitas penting yang mampu memperkuat terciptanya kesadaran masyarakat. Kesadaran ini menjadi penting sebab kesadaran menuntun pikiran. Pikiran akan menuntun pada tindakan. Jadi, tindakan diskriminasi sesungguhnya akar masalahnya lebih pada basis kesadaran ketimbang yang lain. Hukum tidak lain lahir dimaksudkan karena belum sadarnya masyarakat akan sesuatu hal. Karenanya, dibuatlah aturanaturan. Demikian pula pendidikan, esensinya barangkali juga karena masyarkatnya belum begitu terdidik dalam pengertian luas. Akhir kata, hukum dan pendidikan selain mampu berperan sebagai media penyadaran juga sebagai juru selamat bagi seluruh umat manusia yang menjadi korban diskriminasi ras, etnis, agama, bahasa, suku dan status sosial. Hal itu saya kira menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah yang belum digarap secara baik. Wallahu a'lam.***

JEJAK JEJAK AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DAN JAWA


Perayaan Imlek kini bisa dinikmati di seluruh negeri, sebagaimana masyarakat merayakan adat tradisinya masing-masing. Pengakuan Imlek sebagai bagian budaya nasional ini adalah sumbangsih presiden Abdurahman Wahid dengan mencabut beberapa peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa. Beberapa pengamat antropologi menyebut, saat-saat inilah titik keharmonisan budaya tionghoa dengan kebudayaan asli Indonesia kembali setelah mengalami diskriminasi dan konflik yang amat panjang di negeri ini. Pengakuan budaya tionghoa sebagai bagian budaya nasional, sudah semestinya dilakukan karena interaksi antar keduanya berlangsung cukup lama dan menghasilkan kebiasaan baru bagi keduanya. Dalam sejarah Nasional, orang-orang Tionghoa memberi kontribusi terhadap kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia. Sehingga dikotomi warga keturunan dengan bangsa Indonesia sudah semestinya ditiadakan. Namun disini penulis membatasi pada pembahasan silang budaya jawa dan tionghoa. Sebab dengan pembahasan ini sudah memberi gambaran fakta akan adanya akulturasi budaya tionghoa dengan pribumi. Dalam agama islam ada salah satu sunnah Rasul yang menyarankan : tuntutlah ilmu hingga ke negeri cina ! Mengapa Cina direferensikan sebagai negara tujuan. Jawabnya tentu bukan karena cina basis agama Islam. Melainkan karena Cina sudah memiliki peradaban tinggi sebelum masa Islam berkembang. Penduduk Cina sudah menguasai ilmu astronomi bahkan mempunyai tempat-tempat observasi, mampu membuat ramuan untuk mengawetkan mayat sampai membuat obat bahan peledak. Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah orang Cina bisa mengembara ke Asia Tenggara (termasuk Indonesia) hingga ke Timur

Tengah. Penyebaran orang-orang Tionghoa ke seluruh pelosok negara ini selain urusan berdagang juga urusan menyebarkan agama Budha dan Islam. Perkenalan dengan agama Islam ini, menurut Imelda dalam artikelnya di situs Beranda berjudul Budaya Tionghoa Bagian Dari Budaya Nusantara (14/12/2006), didapat dalam perantauan mereka ke Arab. Dengan teknologi tulis menulis dan cetak mencetak yang dimiliki orang Tionghoa sangat membantu bangsa Arab untuk menyusun Al-Quran. Sebaliknya, orang Tionghoa memperoleh bekal ajaran Islam ini yang kemudian mereka sebarkan ke negaranya sendiri hingga ke Asia Tenggara. Kedatangan pertama orang-orang tionghoa ke Indonesia dibuktikan dengan catatan Fa Xian, seorang bhikhu senior dinasti Jin Timur. Pada tahun 411, kapalnya hanyut dan Fa xian singgah di Yapon (pulau jawa). Fa Xian merantau selama 5 bulan dan membuat catatan mengenai pulau jawa. Bhikhu senior lainnya adalah Hui Neng dari dinasti Tang yang tiba di pulau jawa pada tahun 664-665. Selama 3 tahun ia bekerja sama dengan bhikhu Janabadra dari jawa untuk menerjemahkan kitab-kitab Agama Budha. Hui Neng cukup mahir berbahasa Jawa Kuno, yang menjadikannya lebih mudah bergaul dengan masyarakat Jawa. Ia mengajarkan makanan sayuran kepada masyarakat sekitarnya. Berikutnya, Hui Neng membawa 20 bhikhu senior lainnya di pulau jawa. Masuknya kelompok Tionghoa ke Jawa Timur utamanya terdapat di buku Nanyang Huarena (1990) berjudul The 6th overseas Chinese state. Kertanagara, raja Singasari yang terakhir, pada thn.1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tersebut, Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332. Gelombang kedatangan orang-orang Tionghoa berikutnya terjadi saat pelayaran Laksamana Cheng Ho yang membawa Armada besar, dengan 62 kapal besar dan lebih 200 kapal kecil, bersama lebih 27 ribu orang awak kapal pada tahun 1405. Pelayaran ini berturut-turut terjadi sebanyak 7 kali, pada tahun 1407, tahun 1412,tahun 1416, tahun 1421, tahun 1424 dan terakhir tahun 1430. Kehadiran para orang-orang Tionghoa ini melakukan interaksi dengan masyarakat pribumi. Mereka ada yang menikah dengan wanita-wanita pribumi dan saling bertukar kebudayaan. di Pantai Utara Jawa itu di samping menyebarkan ajaran Islam juga budaya Cina. Oleh karena itu di Sunda Kelapa (Pelabuhan kerajaan Padjajaran juga) budaya mereka berbaur dengan kebudayaan penduduk asli yng kemudian menyebut diri mereka sebagai suku Betawi dan hingga kini, kita mengenal kesenian cokek, lenong, dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya Cina dan Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi. Musik

Tanjidor yang merupakan musik khas Betawi pun beberapa alat musiknya menggunakan alat musik khas Cina, seperti rebab, dan lain-lain. Perhatikan pakaian pengantin Betawi, yang mirip pakaian pengantin di zaman dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina pada abad ke 7. Selain itu bahasa Indonesia pun banyak yang berasal dari serapan bahasa Cina, misalnya becak (Bhe-chia), kue (koe), dan teh (tee). Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sebagai berikut : Pertama, di kota-kota pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga-keluarga campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber-sumber sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota-kota pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Kedua, banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi. Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita-cita untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terakhir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang sekeras-kerasnya nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan menjadi segundo Turco (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya selain naik haji beliau telah mengunjungi Turki. Sumber-sumber Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama-nama tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi memihak pemberontak ketika orang-orang Tionghoa di Semarang berontak melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik. Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada tahun 1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur. Ketika pada tahun 1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Tashi (menurut prof. Muljana orang-orang Arab). Belum ada Muslimin Pribumi. Pada tahun 1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh orang-orang Muslim asal luar Jawa. Pada tahun 1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567

berlaku maklumat kaisar melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok. Hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan sebutan kyai untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tersebut peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian suhu, Saihu. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan. Satu dari Wali Songo mazhab Syi bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik. Akulturasi Budaya Interaksi orang-orang Tionghoa dengan masyarakat pribumi turut mempengaruhi budaya antar keduanya dan melahirkan kebudayaan baru yang menambah khasanah kebudayaan Indonesia. Apa saja hasil-hasil kebudayaan baru sebagai proses akulturasi dua kebudayaan itu? Arsitektur. Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid-masjid di Jawa terutama di daerah-daerah pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi dan/atau Syi dan ini bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz Khan.
1.

Sastra. Banyak hasil sastra yang dihasilkan bangsa Tionghoa di P. Jawa juga sebaliknya terjemahan yang diterbitkan di Tiongkok berasal dari Indonesia ke bahasa mandarin. Misalnya, cerita roman paling populer adalah cerita Saan Pek Ing Tai, di Jawa Barat Populer karya Lo Fen Koi. Cerita-cerita silat misalnya, Pemanah Rajawali, Golok Pembunuh Naga, Putri Cheung Ping, Kera Sakti, dan Sepuluh pintu Neraka. Puisi yang diciptakan penyair Tiongkok kuno pernah diterjemahkan sastrawan Indonesia, HB Jasin. Sedangkan di dunia novel kita sudah cukup akrab dengan karya Marga T, yang banyak mengambil latar belakang negeri Tiongkok.
2.

Bahasa. Menurut Profesor Kong Yuaanzhi terdapat 1046 kata pinjaman bahasa Tionghoa yang memperkaya bahasa Melayu / Indonesia dan 233 kata pinjaman Bahasa Indonesia kedalam Bahasa Tiong Hoa. Misalnya jenis alas kaki dari kayu Bakiak, kodok(jawa) asal dari nama Kauw Tok, Kap Toa menjadi Ketua.
3.

Kesenian. Pertukaran musik dan tari telah dilangsungkan sejak jaman Dinasti Tang (618-907). Alat musik seperti Gong dan caanang, Erhu (rebab Tiongkok senar dua), suling, kecapi telah masuk dan menjadi alat musik daerah di Indonesia. Gambang Keromong merupakan perpaduan antara musik jawa dan Tiongkok, pada mulanya dalah musik tradisional dari Betawi dan digunakan untuk mengiringi upacara sembahyang orang keturunan Tionghoa, kemudian menjadi musik hiburan rakyat. Wayang Ti-Ti atau Po The Hie, adalah wayang yang memakai boneka kayu dimakain dengan keterampilan jari tangan,dimainkan saat menyambut hari besar di upacara keagamaan orang Tiong Hoa.
4.

Olahraga. Misalnya olahraga pernapasan Wei Tan Kung kini menjadi Persatuan Olahraga Pernapasan Indonesia, Olahaga pernapasan Tai Chi menjadi Senam Tera Indonesia, olahraga bela diri Kung Fu yang populer di Indonesia.
5.

Adat Istiadat. Upacara minum teh yang disuguhkan kepada tamu sudah cukup populer di Jawa dengan mengganti teh dengan kopi. Kemudian tradisi saling berkunjung dengan memberikan jajanan atau masakan pada hari-hari raya, dan tradisi membakar petasan saat lebaran.
6.

Dengan bukti-bukti kekayaan kebudayaan Indonesia hasil akulturasi dengan bangsa Tiongkok serta besarnya kontribusi Bangsa Tiongkok terhadap perjalanan sejarah Indonesia

cukup menjadi alasan, mengapa kita harus menyambut baik pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap bangsa Tionghoa. Sebab kini, tidak perlu lagi memperdebatkan dikotomi warga keturunan Tionghoa dengan masyarakat pribumi, karena mereka adalah satu kesatuan NKRI.

You might also like