You are on page 1of 7

NASKAH AKADEMIK

PERUBAHAN

UU NO. 31 / 1997 Tentang PERADILAN MILITER

DISUSUN OLEH
INDONESIAN WORKING GROUP ON SECURITY SECTOR REFORM

Difasilitasi oleh ProPatria

Jakarta, 8 10 September 2002

NASKAH AKADEMIK Perubahan UU NO. 31 / 1997 Tentang Peradilan Militer


I. Pendahuluan

Pengembangan dan penyempurnaan sistem hukum merupakan salah satu aspek penting bagi upaya pengembangan profesionalisme tentara sebagai kekuatan dan alat pertahanan negara. Dalam konteks tersebut penataan sistem peradilan militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi militer dan sektor pertahanan. Penataan tersebut harus mencerminkan prinsip prinsip antara lain: (a) equality before the law bagi subyek hukumnya; (b) independensi peradilan; (c) imparsialitas; (d) fair mechanism; dan (e) political accountability. Sistem peradilan harus tunduk kepada kekuasaan kehakiman (judicial powers) yang berbasis pada prinsip supremasi sipil. Persoalan mendasar yang menjadi perhatian bagi perubahan UU no.31/1997 tentang Peradilan Militer antara lain: (a) kompetensi peradilan militer dan peradilan umum; (b) proses peradilan; (c) subyek hukum; (d) aparat penegak hukum; dan (e) restrukturisasi lembaga lembaga yang terkait dalam proses peradilan militer. Perubahan pada persoalan tersebut dilakukan untuk mewujudkan penegakan hukum yang efektif. II. Dasar Hukum Amandemen UUD 1945 Pasal 30 ayat (2), (3) dan (4) pada intinya menempatkan fungsi pertahanan dan keamanan pada institusi yang berbeda. Amandemen ini merumuskan kembali kewenangan TNI dan POLRI. Sebagai konsekuensinya, Ketetapan No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan No. VII/MPR/2000 secara eksplisit memisahkan POLRI dari angkatan bersenjata (TNI), sekaligus menundukkan prajurit TNI dan anggota POLRI kepada hukum dan prosedur peradilan pidana umum. Kedua Ketetapan MPR tersebut, serta UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia, mengharuskan pembaruan hukum pidana dan hukum acara pidana untuk prajurit TNI dan anggota POLRI.1 Hal ini berarti ada keharusan untuk mengubah UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Ketentuan pidana bagi TNI yang di-BKO kan menjadi Polisi dan polisi yang di-BKO kan untuk tugas tugas militer (Brimob) harus diatur dalam UU tersendiri.
1

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur tentang kewenangan pengadilan umum mengadili tindak kejahatan luar biasa/ pelanggaran berat HAM (extraordinary crimes) yang dilakukan oleh prajurit di peradilan umum. III. Permasalahan A. Susunan dan kekuasaan peradilan Tentang kewenangan peradilan: 1. Kewenangan peradilan pidana bagi prajurit militer bersifat arbitrer, yaitu disandarkan pada status pelaku sebagai militer dan ditentukan secara sepihak oleh militer. UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer terdapat pengkastaan jenjang peradilan atas dasar tinggi rendahnya pangkat prajurit yang dijadikan sebagai terdakwa, oditur, hakim, dan panitera. Hal ini tampak misalnya ketika Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama terhadap terdakwa prajurit dengan pangkat kapten ke bawah, maka dengan oditur paling rendah berpangkat Kapten dan hakim paling rendah berpangkat Kapten. Pengadilan Militer Tinggi yang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama terhadap terdakwa prajurit dengan pangkat mayor ke atas, maka dengan oditur paling rendah beroangkat Letnan Kolonel, dan hakim paling rendah berpangkat Letnan Kolonel. Mengapa harus dibedakan pengadilan yang akan memeriksa dan memutus misal untuk tindakan pelanggaran terhadap ketentuan (pasal) yang sama, sementara terdakwanya berbeda pangkatnya? Model administrasi peradilan militer yang eksklusif, baik dalam peradilan pidana militer maupun peradilan tata usaha militer. Kewenangan institusi militer (Papera) untuk menentukan proses peradilan termasuk untuk menentukan kewenangan peradilan yang menangani masalah pidana umum yang dilakukan oleh militer. Kewenangan institusi militer (Ankum) untuk mengambil keputusan penghukuman terhadap prajurit yang melakukan tindak pidana tanpa proses peradilan. Seharusnya lingkup wewenang ANKUM dibatasi pada pelanggaran disiplin militer. Tidak adanya pembatasan status keprajuritan yang berakibat terhadap perluasan kewenangan mengadili mantan militer.

2.

3. 4.

5.

6.

Kewenangan menentukan penuntutan

Kewenangan bertindak sebagai Penuntut Umum Perwira Penyerah Perkara (PAPERA) Oditur Pasal 123 (1) f menyerahkan perkara Pasal 130 (1) Penyerahan perkara oleh kepada pengadilan yang berwenang PAPERAdilaksanakan oleh untuk memeriksa dan mengadili; Oditur Pasal 123 (1) h dan (2) (2) Oditur membuat surat dakwaan menutup perkara demi kepentingan umum/militer Pasal 127 (1) penentuan penyelesaian perkara di dalam atau di luar peradilan militer..

B.

Susunan dan kekuasaan oditurat Institusi oditurat militer sebagai lembaga penuntutan dalam peradilan militer tidak independen karena berada langsung di bawah struktur komando Panglima TNI. Fungsi penuntutan oleh oditur militer subordinatif terhadap kebijakan Panglima sebagai atasan. Institusi oditurat militer dibatasi oleh kewenangan yang dimiliki pejabat administrasi militer yang bertindak sebagai Papera. Hal ini berakibat lembaga penuntutan pidana di kalangan militer menjadi alat kelengkapan pejabat administrasi militer. Tidak adanya aturan yang memberikan pembatasan terhadap kewenangan Papera dalam menjalankan kewenangannya untuk tidak/atau menunda pelimpahan perkara.

C.

Hukum Acara Pidana Militer 1. Hukum Acara Pidana Militer yang diatur dalam UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer mempertahankan persoalan impunity (crime without punishment is crime itself). Seharusnya hukum harus menjamin Hak asasi manusia (HAM), karenanya hukum tidak boleh digunakan untuk menghalangi perlindungan HAM. Polisi Militer sebagai lembaga penyelidik tidak memiliki independensi dari struktur militer. Tindakan PM sebagai penyelidik dan penyidik besifat komplementer terhadap kewenangan komando

2. 3.

4.

Tidak adanya fungsi penyelidikan dalam mekanisme penindakan hukum atas adanya dugaan tindak pidana oleh prajurit. Fungsi ini diambil alih oleh pejabat administrasi militer. Pengambilalihan fungsi penyidik oleh pejabat administratif militer (Papera). Pengadilan Umum yang mengadili kasus koneksitas tidak dapat berfungsi kecuali memperoleh persetujuan Papera untuk mengajukan prajurit yang melakukan tindak pidana ke peradilan umum. Pengadilan umum yang mengadili kasus koneksitas tidak dapat memulai proses penyidikan dan penuntutan kecuali Menteri Pertahanan menyetujui dibentuknya tim koneksitas (penyidik maupun penuntutan). Pemeriksaan tingkat kasasi pasal 231. Sistem peradilan militer masih tidak berdasar pada pola kekuasaan kehakiman yang berbasis pada supremasi sipil. Ada keharusan perubahan pada peradilan militer tunduk pada supremasi sipil, termasuk didalamnya otoritas peradilan sipil, baik di tingkat pertama dan/atau di tingkat kasasi (civil review).

5. 6.

7.

8.

C.

Hukum Acara Tata Usaha Militer Keberadaan Hukum Acara Tata Usaha Militer menciptakan dualisme peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sehingga bertentangan dengan prinsip prinsip transparansi dan efisiensi administrasi negara.

IV.

Perubahan Regulasi A. B. Perlu adanya pemisahan secara tegas kewenangan peradilan berdasarkan pada jenis kejahatan, subyek pelaku, motif, lokasi dan akibat. Peradilan militer hanya memiliki kewenangan atas tindak pidana militer yang dilakukan oleh Prajurit TNI yang melanggar ketentuan hukum pidana militer. Pengadilan umum memiliki kewenangan mengadili tindak pidana yang dilakukan prajurit militer yang melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pidana umum. Dalam hal seseorang melakukan tindak pidana umum dan sekaligus di dalamnya terdapat tindak pidana militer, maka menjadi tindakan ini menjadi kewenangan peradilan umum melalui mekanisme koneksitas.

C.

D.

SUBYEK MILITER LOCUS MILITER Wewenang Peradilan WAR PEACE Pengadilan Militer Pengadilan Militer

SUBYEK SIPIL LOCUS SIPIL

LOCUS SIPIL LOCUS MILITER

Pengadilan Militer Pengadilan Militer Pengadilan Militer/Umum Pidana Umum Pidana Umum Pengadilan Umum Pidana Umum Pidana Umum

Hukum Materiil

Pengadilan Pengadilan Militer/Umum Umum Pidana Militer/ WAR Umum (tergantung Pidana Umum act) Pidana Militer/ PEACE Umum (tergantung Pidana Umum act)

E.

Acara pemeriksaan koneksitas pasal 198 1. Apabila terjadi tindak pidana yang meliputi tindak pidana militer dan umum yang dilakukan oleh prajurit maka kasus tersebut menjadi kewenangan peradilan umum. Tahap penyidikan dan penuntutan dalam peradilan umum dilakukan oleh tim koneksitas untuk kasus tindak pidana militer dan umum secara bersamaan. Kejaksaan Agung memiliki kewenangan membentuk tim koneksitas. Tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer berlaku ketentuan penyelidikan dan penyidikan di dalam KUHAP. Fungsi PM terbatas hanya pada tindakan penyidikan atas tindak pidana militer. Pelibatan PM dalam pengusutan tindakan pidana umum yang dilakukan oleh prajurit dilakukan apabila polisi memerlukan upaya paksa. PM berada di bawah Departemen Pertahanan dan terdiri dari ketiga angkatan (AD,AL,AU). Hal ini akan mengurangi pengaruh kewenangan tingkat komando (chain of command).

2.

3. 4. 5. 6.

7.

F.

Institusi Oditur Militer yang menjalankan fungsi penuntutan tindak pidana militer sebaiknya berada pada Kejaksaan Agung dan diubah namanya menjadi jaksa penuntut militer. Peradilan militer harus membuka peluang mekanisme habeas corpus. Habeas corpus tidak berlaku terhadap tindakan komandan dalam situasi pertempuran (battle) misalnya: penahanan sementara, mengamankan bukti, dan lain lain, dan memiliki mekanisme akuntabilitas setelahnya. Menghapus penempatan prajurit TNI sebagai hakim di Mahkamah Agung.

G.

H.

V.

Manajemen Transisi & Penutup : A. Menetapkan prajurit TNI dalam 2 yurisdiksi peradilan. Hal ini akan membawa implikasi pada penegasan kembali tentang pengaturan tindak pidana yang sama dalam KUHPM dan KUHP. Pengurangan kewenangan Ankum dan Papera. Memindahkan PM dari kewenangan Mabes TNI ke Dephan. Hal ini akan membawa implikasi pada restrukturisasi Mabes TNI dan DepHan. Memindahkan kewenangan fungsional penuntutan Oditur Militer ke Kejaksaan Agung. Hal ini akan membawa implikasi untuk melakujkan restrukturisasi Kejaksaan Agung. Kewenangan Kejaksaan Agung membentuk tim koneksitas. Kompetensi Peradilan Militer tidak berdasarkan jenjang kepangkatan pelaku dan aparat penegak hukumnya. Hal ini akan mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih menguasai masalah secara luas dan kompleks dari sebelumnya. Mekanisme habeas corpus. Revisi perundang-undangan terkait (UU kekuasaan kehakiman, MA, kejaksaan, KUHAP, KUHPM, KUHP, dll.)

B. C. D.

E. F.

G. H.

Crowne Plaza Hotel, 8 10 September 2002 Tim Penyusun: Munir S.H, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh MA, Dr. Rudy Satriyo Dr. Kusnanto Anggoro, Dr. Edy Prasetyono, Dr. Rizal Sukma, Riefqi Muna MDefStu. Tim Fasilitasi: T.Hari Prihatono, Alexandra Retno Wulan, Dwi Wahyuni, Silvia Juliana Malau, Herri Achya Suryadikatma, Endra Hermawan, Liza Feradiani, AA.Rahmat, Unang Rochman.

You might also like