You are on page 1of 27

MAKALAH DIABETES MELITUS

PATOFISIOLOGI

Disusun Oleh : Kelompok 2

Ferry Indar Ardiansyah Indah Fadlul Maula M. Muwaffaq Zaky Nur Khoirani Nurul Komariah Nurul Robiatul Adawiyah Vita Fitria

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

DIABETES MELITUS

DEFINISI Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: , diabanein, tembus atau pancuran

air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan gula darah tinggi ( glukosa ) tingkat, yang dihasilkan dari kerusakan sekresi insulin, atau tindakan, atau keduanya di mana tubuh tidak memproduksi atau menggunakan insulin. Insulin adalah hormon yang diproduksi di pankreas, organ di dekat perut. Insulin diperlukan untuk mengubah gula dan makanan lainnya menjadi energi. Bila menderita diabetes, tubuh pastinya tidak membuat cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin sendiri sebagaimana mestinya, atau keduanya. Pada pasien dengan diabetes, tidak adanya atau kurangnya produksi insulin menyebabkan hiperglikemia. Diabetes adalah suatu kondisi medis yang kronis, yang berarti bahwa meskipun dapat dikontrol, itu berlangsung seumur hidup. Tingkat kadar glukosa darah menentukan apakah seseorang menderita DM atau tidak. Tabel berikut menunjukkan kriteria DM atau bukan : Bukan DM Gangguan Toleransi Glukosa DM Puasa Kapiler > 120 Puasa Puasa Vena < 100 2 jam PP -

Kapiler < 80 Vena 100 - 140 Kapiler 80 - 120 Vena > 140

2 jam PP

Vena 100 - 140 Kapiler 80 120 Vena > 200

2 jam PP Kapiler > 200

Pada diabetes, kemampuan tubuh ubntuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakhibakan komplikasi metabolik akut seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan

peningkatan insidens penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer.

PENYEBAB DIABETES Kurangnya produksi insulin (baik mutlak maupun relatif terhadap kebutuhan tubuh), produksi insulin cacat (yang tidak umum), atau ketidakmampuan sel untuk menggunakan insulin dengan benar dan efisien menyebabkan hiperglikemia dan diabetes. Kondisi terakhir mempengaruhi sebagian besar sel-sel lemak dan jaringan otot, dan hasil dalam suatu kondisi yang dikenal sebagai resistansi insulin. Ini adalah masalah utama pada diabetes tipe 2. Kurangnya insulin absolut, biasanya sekunder untuk proses destruktif yang mempengaruhi sel beta penghasil insulin di pankreas, adalah gangguan utama dalam diabetes tipe 1. Dalam diabetes tipe 2, juga ada yang terus menurun sel beta yang menambah proses gula darah. Pada dasarnya, jika seseorang resisten terhadap insulin, tubuh dapat, untuk beberapa derajat, meningkatkan produksi insulin dan mengatasi tingkat resistensi. Setelah beberapa waktu, menurunkan produksi jika dan insulin tidak bisa dilepaskan sebagai keras, hiperglikemia berkembang. Glukosa adalah gula sederhana yang ditemukan dalam makanan. Glukosa adalah nutrisi penting yang memberikan energi untuk berfungsinya sel-sel tubuh. Karbohidrat dipecah dalam usus kecil dan glukosa dalam makanan dicerna kemudian diserap oleh sel-sel usus ke dalam aliran darah, dan dibawa oleh aliran darah untuk semua sel-sel dalam tubuh di mana ia digunakan. Namun, glukosa tidak bisa masuk ke sel sendirian dan kebutuhan insulin untuk membantu transportasi nya ke dalam sel. Tanpa insulin, sel-sel menjadi haus energi glukosa meskipun kehadiran glukosa yang melimpah dalam aliran darah. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel khusus (sel beta) dari pankreas. Pankreas adalah organ yang mendalam dalam perut terletak di belakang perut. Selain membantu glukosa masuk ke dalam sel, insulin juga penting dalam ketat mengatur kadar gula dalam darah. Setelah makan, naik kadar glukosa darah. Sebagai respon terhadap kadar glukosa meningkat, pankreas biasanya melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah untuk membantu glukosa masuk ke dalam sel dan menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Ketika kadar glukosa darah diturunkan, pelepasan insulin dari pankreas adalah ditolak.

TANDA DAN GEJALA Simtoma hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
y y

Poliuria - sering buang air kecil dalam jumlah banyak. Polidipsia - selalu merasa haus dan ingin minum terus sebagai efek banyaknya cairan yang

dikeluarkan oleh tubuh.


y y

Polifagia - selalu merasa lapar dan Meningkatnya nafsu makan. Penurunan berat badan tiba-tiba menurun , seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1.

Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.

TIPE DIABETES Ada beberapa tipe diabetes melitus yang berbeda ; penyakit ini dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Klasifikasi diabetes yang utama adalah :
y y

Tipe I : Diabetes melitus tergantung insulin (insulin dependent mellitus [IDDM]) Tipe II : Diabetes melitus tidak tergantung insulin (non insulin dependent mellitus [NIDDM])

y y

Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya Diabetes melitus gestasional (gestational diabetes melitus [GDM]) Kurang lebih 5% hingga 10% penderita mengalami diabetes tipe I, yaitu diabetes

yang tergantung insulin. Pada diabetes jenis ini, sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses otoimun. Sebagai akibatnya, penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes tipe I ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun. Kurang lebih 90% hingga 95% penderita mengalami diabetes tipe II, yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes tipe II, yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (yang disebut resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes tipe II pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan glukosa darah tetap terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik oral. Pada sebagian penyandang diabetes tipe II, obat oral tidak mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan penyuntikan insulin. Disamping itu, sebagian penyandang diabetes tipe II yang dapat mengendalikan

penyakit diabetesnya dengan diet, latihan dan obat hipoglikemia oral mungkin memerlukan penyuntikan insulin dalam periode stres fisiologi akut (sperti sakit atau pebedahan). Diabetes tipe II paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Komplikasi diabetes dapat terjadi pada setiap individu dengan diabetes tipe I atau tipe II dan bukan hanya pada pasien yang memerlukan insulin. Sebagian penyandang diabetes tipe II yang mendapat terapi obat oral mempunyai kesan bahwa mereka tidak sungguh-sungguh menderita diabetes atau hanya memiliki diabetes borderline. Penyandang diabetes ini mungkin beranggapan bahwa penyakit diabetes yang mereka derita bukanlah masalah serius jika dibandingkan dengan pasien yang memerlukan suntikan insulin.

Tabel. Klasifikasi Diabetes Mulitus dan Intoleransi Glukosa yang Berhubungan Klasifikasi Sekarang Tipe melitus I : Klasifikasi Sebelumnya Ciri-ciri Klinik  Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (<30 tahun).  Biasanya bertubuh kurus pada saat didiagnosis; dengan penurunan berat yang baru saja terjadi.  Etiologi genetik, mencakup imunologi faktor atau

Diabetes  Diabetes juvenilis tergantung  Juvenile-onset diabetes. Diabetes ketosis  Brittle diabetes cendrung

insulin (IDDM) (5%10% dari seluruh

penderita diabetes)

lingkungan (misalnya; virus)

 Sering memiliki antibody sel pulau Langerhans  Sering pernah insulin  Sedikit atau tidak mempunyai insulin endogen.  Memerlukan hidup.  Cendrung memngalami ketosis jika tidak memilki insulin.  Komplikasi akut hiperglikemia; ketoasidosis diabetes. Tipe II : Diabetes  Diabetes awitan dewasa tidak  Maturity-onset diabetes (90%-95%  Diabetes stabil seluruh (stable diabetes) diabetes  Awitan terjadi disegala biasanya diatas 30 th bertubuh gemuk usia, insulin untuk memiliki antibody

terhadap insulin sekalipun belum mendapatkan terapi

mempertahankan

kelangsungan

mulitus tergantung (NDDM) dari penyadang

insulin  Diabetes resisten-ketosis  Biasanya  Etiologi obesitas, lingkungan

(obese) pada saat diagnosis mencakup herediter factor atau

obese 80% dari tipe II; nonobese tipe II) 20% dari

 Tidak ada antibody sel pulau Langerhans  Penurunan endogen produksi atau insulin

peningkatan

resistensi insulin.  Mayoritas dapat glukosa penderita obesitas kadar melalui

mengendalikan darahnya

penurunan berat badan.  Agens hipoglikemia oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah

bila modifikasi diet dan latihan tidak berhasil.  Mungkin panjang memerlukan insulin

dalam waktu yang pendek atau untuk mencegah

hiperglikemia.  Ketosis jarang terjadi, kecuali bila dalam keadaan stress atau menderita infeksi.

Diabetes mulitus yang Diabetes skunder berikatan dengan

 Komplikasi

akut;

sindrom

hiperosmoler nonketotik  Disertai dengan keadaan yang diketahui dan dicurigai dapat menyebabkan penyakit;

keadaan atau sindrom lain

pankreasitis, kelainan hormonal, obat-obat seperti glukokortikoid dan preparat yang mengandung estrogen penyandang diabetes.  Bergantung pancreas insulin; pada untuk pasien kemampuan menghasilkan mungkin

memerlukan terapi dengan obat oral atau insulin.

Diabetes gastasional

Diabetes gastasional

 Awitan

selama

kehamilan,

biasanya terjadi pada trimester kedua atau ketiga.  Disebabkan oleh hormon yang dieksresikan  Resiko plasenta dan menghambat kerja insulin. terjadinya komplikasi

perinatal khususnya

diatas makrosomia

normal, (bayi

yang secara abnormal berukuran besar)  Diatasi dengan diet dan insulin (jika diperlukan) secara untuk ketat mempertahankan

kadar glukosa darah normal  Terjadi pada sekitar 2%-5% dari seluruh kehamilan  Intoleransi glukosa terjadi untuk sementara waktu tetapi dapat kambuh kembali:
y Pada kehamilan berikutnya y 30%-40%

akan

mengalami

diabetes yang nyata (biasanya tipe II) dalam waktu 10 thn (khususnya jika obesitas).  Factor risiko mencakup; obesitas, usia diatas 30 tahun, riwayat diabetes dalam keluarga, pernah melahirkan (lebih dari 4  Pemeriksaan toleransi bayi kg) skrining glukosa) (tes harus yang besar

dilakukan pada SEMUA wanta hamil dengan usia kehamilan antara 24 hingga 28 minggu. Toleransi terganggu glukosa  Diabetes borderlin  Diabetes laten  Diabetes kimia  Diabetes subklinis  Diabetes asimtomatis  Kadar glukosa darah diantara kadar normal dan kadar diabetes, pada akhirnya 25% individu akan menderita diabetes  Kerentanan terhadap penyakit

aterosklerosis diatas normal  Komplikasi renal dan biasanya tidak signifikan  Dapat obesitas atau nonobesitas; penderita obesita sharus menurunkan berat badanya.  Harus berkala. Kelainan toleransi Diabetes laten Pradiabetes  Metabolisme terakhir normal  Ada previos sakit)  Pemeriksaan glukosa darah riwayat hiperglikemia glukosa yang menjalani pemeriksaan retinal

skrining untuk diabetes secara

glukosa yang terjadi sebelumnya (preVAGT)

(misalnya; selama hamil atau

abnormality of glucose tolerance)

secara preodik sesudah usia 40 thn jika terdapat riwayat diabetes dalam kelurga atau jika

asimtomatik  Menganjurkan berat badan yang ideal karena penurunan 5 -7 kg, dapat memperbaiki

pegendalikan glikemik Kelainan toleransi Pradiabetes  Tidak ada riwayat intoleransi glukosa.  Risiko mengalami diabetes

glukosa yang potensial (PotAGT, pontensial

abnormality of glucose tolerance)

meningkat jika :
y Riwayat dalam keluarga positif y Obesitas y Ibu dengan berat bayi diatas 4

kg pada saat dilahirkan


y Anggota suku asli Indian amerika

(mis; Suku prima)

 nasehat

untuk

pemeriksaan

skrining dan berat badan eperti pada preVAGT.

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologi, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatah dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan menghubungkan dengan faktor sosial ekonomi serta demografi masyarakat masing-masing. Dikenal 3 periode dalam transisi epidemiologi. Hal tersebut terjadi tidak saja di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang sedang berkembang. Periode I. Era pestilence dan kelaparan. Dengan kedatangan orang -orang barat ke Asia pada akhir abad ke 15, datang pula penyakit-penyait menular seperti pes, kolera, influenza, tuberkulosis dan penyakit kelamin, yang meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada waktu itu. Periode II. Pandemi berkurang pada akhir abad ke 19. Dengan perbaikan gizi, higienis serta sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata-rata harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperi di pulau Jawa nampak bertambah. Periode III. Periode ini merupakan era penyakit degeneratif dan pencemaran. Karena komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat, penyakit-penyakit degeneratif, seperti hopertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus meningkat. Tetapi apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tersebur umumnya jarang ditemukan. Dari penelitian Zimmet (1978) dapat dilihat bahwa beberapa golongan etnik mempunyai semacam proteksi terhadap efek buruk pengaruh barat, antara lain bangsa Melanesia dan Eskimo. Di samudra Pasifik, diabetes sangat jarang terdapat pada orang

Polinesia yang masih melakukan gaya hidup tradisional, bedah dengan daerah urban seperti Mikronesia, Guam, Naura dan negara-negara Polinesia seperti Tonga, Hawai, Tahiti, di mana jmlah pasien diabetes sangat tinggi. Begitu pula banyak penelitian yang menunjukkan

adanya kenaikan prevalensi diabetes pada penduduk emigrasi seperti pada orang Yahudi yang berasal dari Yaman dan pindah ke Israel, masyarakat India di Afrika Selatan, orang Indian di Amerika Serikat dan penduduk asli di Australia yang bermigrasi ke daerah perkotaan. Sebagi dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, meskipun diakui bahwa angka penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga angka kesakitan TBC yang tampaknya masih tinggi.dan akhirakhir ini flu burung, demam berdarah dengue (DBD), antraks dan polio melanda negara kita yang kita cintai ini. Di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, diantaranya diabetes meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit itu diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serta dari sayuran, ke pola makan kebarat-baratan, dengan komposisi makanan yang mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir akhir ini sangat digemari terutama oleh anak muda. Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apabila bagi para eksekutif hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan menu makanan barat yang aduhai. Pola hidup beresiko seperti inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia.

DM tipe II di Indonesia Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.

Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% di daerah rural. Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapatan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya idup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angkamitu tidak berbedah yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Militus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu. Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM Tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicaraka n terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding dengan tahun 1995.

TINJAUAN FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Fisiologi normal

Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang merupakan salah satu dari empat tipe sel dalam pulau-pulau langerhans pankreas. Insulin merupakan hormon anabolik atau hormon untuk mentimpan kalori (storage hormon). Apbila seseorang makan makanan, sekresi insulin akan meningkat dan menggerakkan glukosa kedalam sel-sel otot, hati serta lemak.dalam sel-sel tersebut, insulin menimbulkan efek berikut ini: a. Menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati dan otot (dalam bentuk glikogen). b. Meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adiposa. c. Mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel. Insulin juga menghambat pemecahan glukosa, protein dan lemak yang disimpan. Selama masa puasa (antara jam-jam makan dan pada saat tidur malam), pankreas akan melepaskan secara terus-menerus sejumlah kecil insulin bersama dengan hormon pankreas lain yang disebut glukagon (hormon ini disekresi oleh hormon-hormon alfa pulau langerhans). Insulin dan glukagon secara bersama-sama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa dari hati. Pada mulanya, hati menghasilkan glukosa melalui pemecahan glikogen (glikogenolisis). Setelah 8 hingga 12 jam tanpa makanan, hati membentuk glukosa dari pemecahan zat-zat lain selain karbohidrat yang mencakup asam-asam amino (glukoneogenesis).

Patofisiologi diabetes a. Diabetes tipe I Pada diabetes ini terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh sel-sel autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa ynag berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi , ginjal tidak dapat menyerap lagi semua glukosa yang tersaring keluar; akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan dalam urin, ekskresi ini akan

disertai

pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan

diuresis osmotik. Karena kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus( polidipsia). Defisien insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya adalah kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis ( pembentukan gula-gula baru dari asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang

merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannyadapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki kelainan dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar glukosa darah yang sering merupakan komponen terapi penting. b. Diabetes tipe II Pada diabetes ini terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi terganggu , keadaan ini terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan

dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun apabila sel tidak mampu mengimbangi peningkatan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan protein, harus terdapat peningkatan insulin yang di sekresikan. Meskipun demikian diabetes tipe II yang tidak terkontrol akan menyebabkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (NHNK). Diabetes tipe II sering terjadi pada usia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat toleransi yang lambat dan progresif maka awitan diabetes tipe II dan berja tanpa lan terdeteksi. Gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuhnya. Adapun penanganan primer pada diabetes tipe II adalah dengan menurunkan berat badan karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsur yang sangat penting untuk menungkatkan efektivitas insulin. c. Diabetes dan kehamilan Diabetes yang terjadi pada saat kehamilan perlu mendapat perhatian khusus. Wanita yang telah diketahui terkena diabetes melitus sebelum terjadinya pembuahan harus mendapatkan penyuluhan tentang penatalaksanaan diabetes selam a kehamilan.

Pengendalian diabetes yang buruk saat pembuahan dapat menyebabkan timbulnya malformasi kongenital. Oleh karna itu wanita harus mengendalikan diabetes secara baik sebelum konsepsi terjadi dan sepanjang kehamilan. Dianjurkan wanita tersebut melakukan program terapi secara intensif dengan maksud mencapai kadar hemoglobin A1c yang normal tiga bulan sebelum pembuahan. Diabetes yang tidak terkontrol pada saat melahirkan akan disertai peningkatan insidens makrosomia janin ( bayi yang sangat besar), persalinan dan kelahiran yang sulit, bedah sesar saat kelahiran mati (stillbirth). Selain itu, bayi yang dilahirkan ibu yang menderita hiperglikemia dapat engalami hipoglikemia pada saat lahir. Keadaan ini dapat terjadi karena pankreas bayi yang normal mensekresikan insulin untuk mengimbangi keadaan hiperglikemia ibu. Bayi ini membutuhkan pemantauan yang sangat ketat dalam kamar bayi, dan kadar glukosa darah harus sering diukur. Jika terjadi hipoglikemia, pemberian gula harus segera dilakukan.

d. Diabetes gestational. Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi karena sekresi hormon-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalani skrining pada usia kehamilan 24-27 minggu untuk mendeteksi kemungkinan diabetes. Panatalaksanaan pendahuluan mencakup modifikasi diet dan pemantauan kadar glukosa. Jika hiperglikemia tetap terjadi, preparat insulin harus diresepkan. Obat hipoglikemia oral tidak digunkan selam kehamilan. Tujuan yang ingin dicapai kadar glukosa antara 70-100 mg/dl sebelum makan ( kadar gula nutcher), dan kurang dari 165mg/dl pada dua jam setelah makan (postprandial). Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal. Walaupun begitu, banyak wanita yang mengalami diabetes gestational ternyata dikemudian hari menderita diabetes tipe II. Oleh karena itu, semua wanita yang menderita diabetes gestational harus mendaoatkan konseling guna mempertahankan berat badanidealnya dan melakukan secara teratur sebagai upaya untuk menghindari awitan diabetes II.

ETIOLOGI Diabetes tipe I Diabetes Tipe I ditandai oleh penghacuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta. Faktor-faktor genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi, mewarisi suatu predisposis atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA mrupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses antigen lainnya. Sembilan puluh lima persen pasien berkulit putih (Caucasian) dengan diabetes tipe I memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Risiko tejadinyadiabetes tipe I meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Risiko tersebut meningkat sampai

10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum). Faktor-faktor Imunologi. Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respons otoimun. Respons ini merupakan respons abnormal di mana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengn cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I. Riset dilakukan untuk mengevaluasi efek preparat imunosupresif terhadap perkembangan penyakit pada pasien diabetes tipe I yang baru terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes (pasien dengan antibodi yang terdeteksi tetapi tidak memperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset lainnya menyelidiki efek protektif yang ditimbulkan insulin dengan dosis kecil terhadap fungsi sel beta. Faktor-faktor lingkungan. Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap

kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta. Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam etiologi diabetes tipe I merupakan pokok perhatian riset yang terus berlanjut. Meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta tidak dimengerti sebelumnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya diabetes tipe I merupakan hal yang secara umum dapat diterima.

Diabetes Tipe II Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II. Faktor-faktor ini adalah:
y y y

Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun) Obesitas Riwayat keluarga

Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika)

KOMPLIKASI DIABETES Komplikasi:


y y y y y y

Penglihatan kabur Penyakit jantung Penyakit ginjal Gangguan kulit dan syaraf Pembusukan Gairah sex menurun

Jika tidak tepat ditangani, dalam jangka panjang penyakit diabetes bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Maka bagi penderita diabet jangan sampai lengah untuk selalu mengukur kadar gula darahnya, baik ke laboratorium atau gunakan alat sendiri. Bila tidak waspada maka bisa berakibat pada gangguan pembuluh darah antara lain:
y y y y y

gangguan pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata (gangguan penglihatan), pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), pembuluh darah ginjal (gagal ginjal), serta pembuluh darah kaki (luka yang sukar sembuh/gangren).

Penderita juga rentan infeksi, mudah terkena infeksi paru, gigi, dan gusi serta saluran kemih. Kardiopati diabetik Kardiopati diabetik adalah gangguan jantung akibat diabetes. Glukosa darah yang tinggi dalam jangka waktu panjang akan menaikkan kadar kolesterol dan trigliserida darah. Lama kelamaan akan terjadi aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah. Maka bagi para penderita diabet perlu pemeriksaan kadar kolesterol dan trigliserida darah secara rutin. Penyempitan pembuluh darah koroner menyebabkan infark jantung dengan gejala antara lain nyeri dada. Karena diabetes juga merusak sistem saraf, rasa nyeri kadang-kadang tidak terasa. Serangan yang tidak terasa ini disebut silent infraction atau silent heart attack.

Kematian akibat kelainan jantung dan pembuluh darah pada penderita diabetes kira-kira dua hingga tiga kali lipat lebih besar dibanding bukan penderita diabetes., pengendalian kadar gula dalam darah belum cukup untuk mencegah gangguan jantung pada penderita diabetes. Gangren dan impotensi Penderita diabetes yang kadar glukosanya tidak terkontrol respons imunnya menurun. Akibatnya, penderita rentan terhadap infeksi, seperti infeksi saluran kencing, infeksi paru serta infeksi kaki. Banyak hal yang menyebabkan kaki penderita diabetes mudah kena infeksi, terkena knalpot, lecet akibat sepatu sesak, luka kecil saat memotong kuku, kompres kaki yang terlalu panas. Infeksi kaki mudah timbul pada penderita diabetes kronis dan dikenal sebagai penyulit gangren atau ulkus. Jika dibiarkan, infeksi akan mengakibatkan pembusukan pada bagian luka karena tidak mendapat aliran darah. Pasalnya, pembuluh darah penderita diabetes banyak tersumbat atau menyempit. Jika luka membusuk, mau tidak mau bagian yang terinfeksi harus diamputasi. Penderita diabetes yang terkena gangren perlu dikontrol ketat gula darahnya serta diberi antibiotika. Penanganan gangren perlu kerja sama dengan dokter bedah. Untuk mencegah gangren, penderita diabetes perlu mendapat informasi mengenai cara aman memotong kuku serta cara memilih sepatu. Impotensi juga menjadi momok bagi penderita diabetes, impotensi disebabkan pembuluh darah mengalami kebocoran sehingga penis tidak bisa ereksi. Impotensi pada penderita diabetes juga bisa disebabkan oleh faktor psikologis atau gabungan organis dan psikologis.

Nefropati diabetik Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah. Sebagaimana diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit penyaring (glomerulus). Setiap unit penyaring memiliki membran/selaput penyaring. Kadar gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput penyaring ini. Gula yang tinggi dalam darah akan bereaksi dengan protein sehingga mengubah struktur dan fungsi sel, termasuk membran basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein rusak dan terjadi kebocoran protein ke urin (albuminuria). Hal ini berpengaruh buruk pada ginjal. Menurut situs Nephrology Channel, tahap mikroalbuminuria ditandai dengan keluarnya 30 mg albumin dalam urin selama 24 jam. Jika diabaikan, kondisi ini akan berlanjut terus sampai tahap gagal ginjal terminal. Karena itu, penderita diabetes harus diperiksa kadar mikroalbuminurianya setiap tahun. Penderita diabetes tipe 1 secara bertahap akan sampai pada kondisi nefropati diabetik atau gangguan ginjal akibat diabetes. Sekitar lima sampai 15

persen diabetes tipe 2 juga berisiko mengalami kondisi ini. Gangguan ginjal, menyebabkan fungsi ekskresi, filtrasi dan hormonal ginjal terganggu. Akibat terganggunya pengeluaran zatzat racun lewat urin, zat racun tertimbun di tubuh. Tubuh membengkak dan timbul risiko kematian. Ginjal juga memproduksi hormon eritropoetin yang berfungsi mematangkan sel darah merah. Gangguan pada ginjal menyebabkan penderita mengalami anemia. Gejala nefropati diabetes baru terasa saat kerusakan ginjal telah parah berupa bengkak pada kaki dan wajah, mual, muntah, lesu, sakit kepala, gatal, sering cegukan, mengalami penurunan berat badan. Penderita nefropati harus menghindari zat yang bisa memperparah kerusakan ginjal, misalnya pewarna kontras yang digunakan untuk rontgen, obat antiinflamasi nonsteroid serta obat-obatan yang belum diketahui efek sampingnya. Retinopati diabetik Diabetes juga dapat menimbulkan gangguan pada mata. Yang terutama adalah retinopati diabetik. Keadaan ini, disebabkan rusaknya pembuluh darah yang memberi makan retina. Bentuk kerusakan bisa bocor dan keluar cairan atau darah yang membuat retina bengkak atau timbul endapan lemak yang disebut eksudat. Selain itu terjadi cabang-cabang abnormal pembuluh darah yang rapuh menerjang daerah yang sehat. Retina adalah bagian mata tempat cahaya difokuskan setelah melewati lensa mata. Cahaya yang difokuskan akan membentuk bayangan yang akan dibawa ke otak oleh saraf optik. Bila pembuluh darah mata bocor atau terbentuk jaringan parut di retina, bayangan yang dikirim ke otak menjadi kabur. Gangguan penglihatan makin berat jika cairan yang bocor mengumpul di fovea, pusat retina yang menjalankan fungsi penglihatan sentral. Akibatnya, penglihatan kabur saat membaca, melihat obyek yang dekat serta obyek yang lurus di depan mata. Pembuluh darah yang rapuh bisa pecah, sehingga darah mengaburkan vitreus, materi jernih seperti agar-agar yang mengisi bagian tengah mata. Hal ini menyebabkan cahaya yang menembus lensa terhalang dan tidak sampai ke retina atau mengalami distorsi. Jaringan parut yang terbentuk dari pembuluh darah yang pecah di korpus vitreum dapat mengerut dan menarik retina, sehingga retina lepas dari bagian belakang mata. Pembuluh darah bisa muncul di iris (selaput pelangi mata) menyebabkan glaukoma. Risiko terjadinya retinopati diabetik cukup tinggi. Sekitar 60 persen orang yang menderita diabetes 15 tahun atau lebih mengalami kerusakan pembuluh darah pada mata.

PENCEGAHAN DIABETES MELITUS

Salah satu penyebab penyakit ini adalah cara atau pola makan yang tidak benar. Untuk itu, demi menghindari penyakit ini, sebaiknya Anda mulai menerapkan pola hidup sehat, yaitu dengan cara mengkonsumsi makanan bergizi, lengkap dengan sayur dan buah setiap hari. Sering berolahraga setiap hari juga mampu untuk meningkatkan kesehatan dan membuat Anda jarang terkena penyakit sekaligus menghindari obesitas (kegemukan). Obesitas memang seringkali mengundang datangnya banyak penyakit, termasuk diabetes melitus.

DIAGNOSIS
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plaasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darh adalah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian : 1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi petida penghubung (C-peptide). Nilai-nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini. 2. Indeks proses diabetogenik Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe dan subtipe HLA, adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau langerhans, Anti GAD (glutamic acid decarboxylase) dan sel endikrin lainnya adanya cell mediated immunity terhadap pankreas, ditemukan susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya.

OBAT ANTIDIABETIKA Pada tahun 1954 karbutamid diperkenalkan sebagai obat diabetes oral pertama dari kelompok sulfonilureaI yang struktur dan efek sanpingnya mirip sulfonamida. Beberapa tahun kemudian, disintesis derivatnya, yaitu tolbutamida dan klorpropamida tanpa efek sulfa, yang selanjutnya disusul oleh banyak turunan lain dengan daya kerja yang lebih kuat. Sementara itu sekitar tahun 1959 ditemukan senyawa lain dengan daya antidisbetes, yakni

kelompok biguanida, antara lain metformin. Pada tahun 1990 dipasarkan penghambat alfaglukosidase (akarbose, miglitol) yang cara kerjanya sangat berlainan dengan kedua jenis lainnya. Akhirnya pada pertengahan tahun 90-an dilancarkan senyawa tiazolidindion dengan daya peningakat sensitivitas insulin, khususnya uptake glukosa perifer. Antidiabetika oral kini dapat dibagi dalam enam kelompok besar, sebagai berikut : 1. Sulfonilurea Antara lain : tolbutamida, klorpropanimida, glibenklamida, gliklazida, glikidon dan glimepirida. Kedua obat pertama termasuk obat generasi ke-1 sedangkan yang lainnya dinamakan obat generasi ke-2 dengan daya kerjanya atas dasar berat badan 10-100x lebih kuat. Sulfonilurea menstimulasi sel-sel beta dari pulau Langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Di samping itu, kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah diperbesar melalui pengaruhnya atas protein-transpor glukosa. Obat ini hanya efektif pada penderita tipe 2 yang tidak begitu berat, yang sel-sel betanya masih bekerja cukup baik. Ada indikasi bahwa obat-obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan terhadap insulin dan menurunkan absorpsi insulin oleh hati. Resorpsinya dari usus umumnya lancar dan lengakap, sebagian besar terikat pada protein antara 90-99%. Plasma t nya berkisar antar 4-5 jam (tolbutamida,glipizida), 6-7 jam (glibenklamida) sampai 10 jam (gliklazida) atau lebih dari 30 jam (klorpropamida). Efek samping yang terpenting adalah hipoglikemia yang dapat terjadi secara terselubung dan ada kalanya tanpa gejala khas, khususnya pada derivat kuat seperti glibenklamida. Agak jarang terjadi gangguan lambunga-usus (mual, muntah, diare), sakit kepala, pusing, rasa tidak nyaman di mulut, juga gangguan kulit alergis (exhantema, fotosensitasi). Nafsu makan diperbesar dan berat badan bisa naik, terutama pada mereka yang tidak menaati diet. Toleransipun dapat timbul pada 5-10% pasien sesudah beberapa tahun, mungkin karena sel-sel beta hilang kepekaannya terhadap insulin. Dengan alkohol terjadi efek disulfiram (efek antabuse), khususnya pada klorpropamida.

2. Kalium-channel blockers : repaglinida, nateglinida Merupakan golongan meglitinid. Senyawa ini sama mekanisme kerjanya denga sulfonilurea, hanya pengikatan terjadi di tempat lain dan kerjanya lebih singkat serta struktur kimianya sangat berbeda. Golongan obat antidiabetika oral ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel pankreas. Pada pemberian oral

absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan metabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara berhati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.

3. Biguanida Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanida : fenformin, buformin dan metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin. Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan gula darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan (efek anoreksan) hingga berat badan tidak meninagkat, maka layak diberikan pada penderita yang kegemukan. Penderita ini biasanya mengalamin resistensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif. Mekanisme kerjanya hingga kini belum diketahui dengan eksak. Telah dibuktikan bahwa metformin mengurangi terjadinya komplikasi makrovaskuler melalui perbaikan profil lipida darah, yaitu peningkatan HDL, penurunan LDL dan trigliserida, juga fibrinolisis diperbaiki dan berat badan tidak begitu meningkat. Efek sampingnya yang serius adalah acidosis asam laktat dan angiopati luas, teriutama pada lansia. Oleh karena ini biguanida sejak tahun 1979 telah ditarik dari peredaran, antara lain fenformin dan buformin. Metformin pada dosis normal hanya sedikit meningkatkan kadar asam laktat dalam darah.

4. Glukosidase-inhibitors : akarbose dan miglitol Zat-zat inibekerja atas dasar persaingan merintangi enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida monosakarida terhambat. Dengan

demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar gula darah dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat gizi. Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan terutama berguna pada penderita gemuk, bila tindakan diet tidak menghasilkan efek. Kombinasi dengan obat-obat lain memperkuat efeknya. Obat ini diberikan pada waktu mulai makan dan absorpsi buruk. Akarbose merupakan oligosakarida yang berasal dari mikroba, dan miglitol suatu derivat desoksi nojirimisin, secara kompetitif juga mengahambat glukoamilase dan sukrase, tapi efeknya pada -

amilase pankreas lemah. Kedua preparat dapat menurunkan glukosa plasma postprandial pada DM tipe 1 dan 2, pada DM tipe 2 dengan hiperglisemia yang hebat dapat menurunkan HbA1c secara bermakna. Pada pasien DM dengan hiperglisemia ringan sampai sedang, hanya dapat mengatasi hiperglisemia sekitar 30-50% dibandingkan antidiabetik oral lainnya (dinilai dengan pemeriksaan HbA1c). akarbose paling efektif bila diberikan bersama dengan makanan yang berserat, mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila akarbose diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada pemberian sukrosa, polisakarida atau maltosa.

5. Thiazolidindion : rosiglitazon dan pioglitazon Obat dari kelas ini dengan kerja farmakologi istimewa disebut insulin sensitizers. Berdaya mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin. Oleh karena itu penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat, juga kapasitas penimbunananya di jaringan ini. Efeknya ialah kadar insulin, glikosa dan asam lemak bebas dalam darah menurun, begitu pila gluconeogenesis dalam hati. Obat-obat ini, misalnya pioglitazon, seringkali ditambahkan pada metformin bila antidiabetikum ini kurang memuaskan.

6. Penghambat DPP-4 (DPP-4 blockers) : sitagliptin (januvia), vidagliptin (galvus) Obat-obat kelompok terbaru ini bekerja berdasarkan penurunan efek hormon increatin. Incretin berperan utama terhadap produksi insulin di pankreas dan yang terpenting adalah GLPI dan GIP, yaitu glukagon like peptide dan glicose-dependent insulinotropic polypeptide. Incretin ini diuraikan oleh suatu enzim khas DPP4 (dipeptylpeptidase). Dengan penghambatan enzim ini, senyawa gliptin mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, sehinggn kadar insulin akan meningkat. Sitagliptin telah diregistrasi di AS pada tahun 2006 dengan indikasi DM-2, sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan metformin atau pioglitazol, bila obat-obat ini kurang memberikan efek (H. Croonen et el. Januvia en Galvus, top of flop? Pharm. Wkbl 2007; 142:24-7).

7. Dan obat Lainnya : alfa-liponzuur, (krom) pikolinat dan kayu manis

Antidiabetika oral umumnya baru diberikan bila diet (selama minimal 3 bulan), gerak badan dan upaya penurunan berat badan tidak (cukup) menurunkan kadar gula yang tinggi. Pasien kurus biasanya diberikan obat sulfonilurea dari generasi pertama yang agak lemah, yakni tolbutamida atau klorpropamida, karena resiko hipoglikemia lebih ringan. kombinasi sulfonilurea dengan insulin (medium-acting, satu injeksi sehari) semakin banyak digunakan. Begitu pula pasien kurus dengan berat badan normal dan kadar gula amat tinggi dapat diberikan insulin. Pasien yang gemuk sekali (BM > 30) umunya secara primer diberikan metformin dengan khasiat anoreksans, karena biasanya pada mereka terdapat resistensi insulin yang tinggi. Kira-kira 80% dari semua pasien tipe-2 terlalu gemuk dengan kadar gula tinggi sampai 17-22 mmol/i (=300-400 mg/100 ml). Biguanida berdaya memperbaiki kerentanan sel bagi insulin. Insulin pada umumnya baru disuntikan, bila obat-obat oral tersebut tidak memberikan (lagi) efek yang diinginkan atau menunjukkan resistensi. Insulin yang dibutuhkan dapat berjumlah lebih banyak daripada penderita tipe-1 berhubung lebih sering mengalami resistensi. Dewasa ini dianjurkan agar insulin mulai digunakan pada fasa lebih dini, karena demikian resiko akan komplikasi lambat dapat diperkecil. Pada keadaan khusus seperti kehamilan, keto-acidosis, infeksi, pembedahan atau gangguan hati dan ginjal tidak dapat digunakan antidiabetika oral. Dalam hal demikian tidak perlu diberikan antidiabetika oral terlebih dahulu, tetapi perlu segera disuntik insulin. Cara pengobatan yang alami pun sangat dianjurkan bagi para penderita diabetes, misalnya dengan melakukan diet ketat dan sehat yang sesuai anjuran dokter. Perbanyak makan sayur dan buah yang tinggi serat merupakan hal yang bagus untuk mengobati diabetes. Contoh makanannya adalah sayur brokoli dan juga buah pepino. Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi nonfarmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini diantaranya : - Menurunkan berat badan - Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik

- Menurunkan kadar glukosa darah - Memperbaiki profil lipid - Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin - Memperbaiki sistem koagulasi darah Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan : 1. Glukosa darah mendekati normal
y Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl y Glikosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl y Kadar A1c < 7%

2. Tekanan darah < 130/80 mmHg 3. Profil lipid :


y y y

Kolesterol LDL < 100 mg/dl Kolesterol HDL > 40 mg/dl Trigliserida < 150 mg/dl

4. Berat badan senormal mungkin Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutri i dan s faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas.pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat denhgan mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana.

DAFTAR PUSTAKA
 Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8. Editor, Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare ; alih bahasa, Agung Waluyo et al; editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester et al. Jakarta : EGC.  Departemen Farmokologi Dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta: FKUI.  Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FKUI.  Sherwood, Lauralee. 1996. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC  Tan Hoan Tjai & Kirana Raharja. 2008. Obat-Obat Penting Edisi Keenam. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.

You might also like